
Pandangan pertama Ester kepada lelaki muda bernama Lukas, membawanya ke kejadian di mana dia meninggalkan pernikahannya. Ester diculik dan harus menghadapi kegilaan Lukas yang terus membicarakan kehidupan sebelumnya. Karena kau adalah istriku di kehidupan sebelumnya, begitu kata Lukas.
Manipulator
'Karena kau adalah istriku di kehidupan sebelumnya'
SUAMI
Ester berada di punggung Lukas, digendong layaknya orang tak berdaya menyusuri jalanan berbatu. Ester tidak demam, tapi dia kedinginan. Dia juga tidak sakit, hanya terkilir dan Lukas merasa bertanggung jawab akan hal itu. Mereka harus keluar dari hutan sebelum polisi kembali mengejar. Jalanan berbatu ini jalurnya panjang, kota terdekat bisa sampai berkilo-kilo jauhnya. Kalau mereka tak sampai ke sana sebelum gelap, atau polisi sudah mengejar lagi, dengan terpaksa mereka menyelinap kembali ke hutan dan bermalam di dalam sana.
Risikonya akan besar bermalam di dalam hutan. Mereka baru kehujanan, baju basah kuyup dan tak ada makanan. Selain mereka bisa sakit dan kelaparan, juga bisa dimakan binatang buas. Lukas jadi memikirkan makanan yang tadi dibelinya di minimarket, seandainya Lukas membawanya pun tetap bukan solusi tepat untuk tidur di dalam hutan. Jika Ester dalam keadaan baik, mereka akan mencapai kota kecil itu sebelum gelap, tapi sampai atau tidak, Lukas harus berusaha. Prioritas utamanya adalah Ester. Wanita itu harus dapat baju ganti, makanan dan pengobatan untuk kakinya.
Lukas mendengar suara deru mesin dari kejauhan. Awalnya dia curiga itu polisi, tapi setelah mendengar mobil itu melindas kerikil dengan brutal, Lukas yakin itu bukan mobil patroli polisi. Kemungkinan mobil berat untuk perjalanan di pedesaan. Ketika mobil itu makin dekat, dugaan Lukas benar. Itu mobil pick up dengan ban yang sudah diganti lebih besar. Mobil pengangkut jerami untuk pakan ternak.
"Ada apa menghentikanku?" tanya sopirnya. Lelaki gendut, berewok dan berwajah galak.
"Kami harus sampai ke desa terdekat sebelum gelap. Istriku sakit, kehujanan dan kakinya terkilir, tidak bisa berjalan sekarang ini. Bisa kau beri kami tumpangan!"
"Kau tahu jalanan dari tol ke kota sangat jauh, kenapa tak bawa kendaraan sendiri?" tanya si gendut itu. Agaknya dia tak tertarik memberi tumpangan.
"Mobilku mogok di pertengahan jalan, mungkin sudah di derek oleh bengkel." Walaupun keterangan Lukas masuk akal, sopir itu tak memberikan respons bagus. "Aku punya uang, itu akan jadi milikmu kalau bisa mengantarkanku ke sana."
Si gendut itu menepuk setirnya. Dia amat tertarik dengan tawaran barusan. Uang adalah raja di mana pun, termasuk di kepala si gendut itu.
"Tentu saja aku bisa. Tunggu, akan kupindahkan barang-barangku ke belakang agar kau dan temanmu bisa menempati kursinya."
"Tidak perlu. Di belakang ada jerami kan?" Si gendut mengangguk. "Apa bak pick up ini bisa ditutup?"
"Ya." Si gendut itu keluar dari mobilnya. "Kau yakin tak mau duduk di depan?"
"Aku perlu merebahkan temanku."
Lukas dibantu sopir gendut itu ke bak belakang. Si gendut membuka pintu bak, kemudian membantu mengangkat Ester ke atas. Dia juga membuatkan alas jerami untuk tempat merebahkan Ester. Belum selesai dengan Ester, lelaki itu kembali ke ruang kendali, mengambil kain tebal dan membawanya pada Lukas.
"Gunakan ini untuk temanmu!" katanya sambil mengulurkan kain itu pada Lukas. "Aku akan menutupi pintu bak dengan terpal, kau bisa istirahat dengan tenang. Sampai di mana aku harus menurunkanmu?"
"Di penginapan yang nyaman."
"Sebenarnya rumah kakakku sedang kosong, dia pergi ke ibu kota dan kembali sebulan sekali. Tempatnya memang kecil, tapi ada satu bilik dengan ranjang cukup besar yang bersih. Kalau kau mau, cukup tambahkan beberapa ribu lagi dan kalian bisa menempatinya."
"Baju kering?"
"Kebetulan masa muda kakakku badannya sebesar kalian, nanti kucarikan yang cocok."
"Makanan?"
"Akan kumintakan pada istriku."
Lukas merogoh saku jaketnya. Untung sekali dia tak pernah menaruh dompet di luar bajunya. Dia bisa menggunakan itu sekarang. Lukas membuka dompet dan mendapati setengah uangnya telah basah. Dia menarik beberapa lembar yang tak terlalu basah lalu mengulurkannya pada si sopir.
"Uang muka. Kuharap kau tidak keberatan dengan uang yang setengah basah."
"Tidak masalah. Basah atau kering ini tetap uang." Si sopir tersenyum ramah berbanding terbalik dengan sebelum Lukas menawarkan uang padanya. "Kita punya beberapa jam sebelum sampai, kau bisa tidur dulu. Akan kubangunkan kalau sudah sampai."
Si gendut telah menutup pintu bak, menurunkan terpal biru dari atas jeruji pick up untuk menyelimuti jerami dan dua penumpang barunya. Dia kembali ke ruang kemudi sambil berceloteh tentang kesukaannya melayani orang berduit banyak seperti Lukas. Kemudian pick up itu kembali dijalankannya..
.
.
.
"Kau bisa mendengarku?" tanya Lukas sambil menggosok pipi Ester dengan telapak tangannya.
"Tentu," jawabnya lemah. "Aku tak akan pura-pura tuli hanya karena membencimu."
"Jangan benci aku." Lukas tulus mengatakan ini. Dalam kehidupan rumah tangga, tidak ada suami yang ingin dibenci istrinya, termasuk dia. "Kita dapat tumpangan, tempat menginap, baju bersih dan makanan. Hanya butuh beberapa jam lagi untuk sampai ke sana."
Ester menggeser tubuhnya. Dia ingin menghindar dari belaian Lukas, tapi kakinya ngilu saat digerakkan. Ester mengeram menahan sakit. Dia mendesis karena tak mampu menahannya lagi.
"Ada apa?" Ester menggeleng. "Cobalah kau istirahat, tidur sebentar agar tenagamu tak banyak terkuras."
"Ada orang gila menculikku, mengajak lari ke hutan, kehujanan dan terperosok ke lubang. Pikiranku sakit, badanku juga sakit dan seenaknya kau suruh aku tidur. Kau kira aku bisa!" bentak Ester tak kenal menyerah.
Boleh kendalinya diambil alih Lukas, tapi tidak dengan hatinya. Ester sudah memantapkan diri untuk membenci lelaki muda tapi gila yang bernama Lukas itu. Selamanya kalau bisa.
"Maafkan aku!" kata Lukas lagi. "Jangan banyak bergerak, aku akan mencoba mengurut kakimu."
Lukas menggeser posisinya, duduk di dekat kaki Ester dan meraih kaki kirinya. Setelah melepas sepatunya, Lukas mulai mengurut. Sepertinya Lukas berhasil, Ester tak memberikan respons kesakitan sedikit pun saat Lukas memijit pergelangan kaki itu.
Ester mendengus. "Kakiku yang terkilir sebelah kanan."
"Oh, aku salah."
Lukas mengulang prosesi pijit pada kaki kanan Ester. Hasilnya buruk, Ester hampir menjerit, padahal baru sekali tekan di pergelangan. Lukas terpaksa berhenti saat Ester menendangnya dengan kaki kiri. Berarti terkilirnya kaki Ester sangat fatal, Lukas tak boleh sembarangan memijit atau Ester pincang selamanya karena salah pijit. Lukas sudah minta maaf, tapi Ester menghujaninya dengan makian. Dia baru berhenti memaki ketika Lukas menjauh ke arah gundukan jerami.
Tumpukan jerami baru yang dibuat Lukas di ruang kosong pick up lebih nyaman dari pada yang dibuat si gendut tadi. Ranjang jerami ini lebih tebal dan tertata rapi. Lukas mau mengangkat Ester ke atas ranjang barunya, tapi Ester menolak. Dia tertarik untuk pindah ke tempat empuk itu, tapi tidak dengan bantuan Lukas. Dia bisa duduk sendiri, tapi tak bisa berpindah, alhasil Lukas juga yang memindahkannya.
Masalahnya setelah Ester dipindahkan dan mulai merebah di jerami, Lukas ikut merebah di tempat yang sama. Ester protes, tapi tak diindahkan Lukas. Lukas membuat ranjang jerami baru itu memang untuk berdua, jadi kenapa dia harus menuruti Ester untuk pindah?
"Kau memang berhak tidur di sini, tapi tidak harus memelukku juga."
"Aku harus memelukmu." Lukas membungkus tubuh Ester dengan kain pemberian si gendut, kemudian Lukas menambahkannya dengan pelukan. "Aku takut kau sakit."
"Cukup kain ini, aku menolak pelukanmu."
"Kau tak berhak menolak, aku memaksakan pelukanku."
Ester mengumpat dalam hatinya. Dia benar-benar tak suka diperlakukan seperti wanita. Tak bisa menolak, itu terjadi lagi padanya. Ester hanya sanggup memandangi tangan Lukas yang melingkar di perutnya. Tangan itu, besar dan berotot, seperti bukan milik lelaki muda saja. Ester beranggapan kalau Lukas adalah pekerja berat, makanya dia dapat lengan kekar. Sebentar kemudian anggapan itu luntur. Kalau Lukas pekerja berat, dia tak akan mampu membeli mobil jeep yang dua kali lipat lebih mahal dari mobil biasa. Lukas juga punya dompet tebal yang dalamnya sudah dilirik Ester, uang, kartu kredit dan kartu-kartu lain. Tangan Lukas barusan juga mengelus pipinya, telapak tangan itu halus, tidak sama sekali mencerminkan milik seorang pekerja berat. Lalu dari mana Lukas mendapatkan lengan kekar itu?
Ngomong-ngomong soal dompet, Ester ingin melihat isi dompet Lukas. Ester mau tahu siapa sebenarnya Lukas. Pasti ada identitas yang ditaruh di dompet itu. Ester berniat mengambilnya saat si empunya sudah tidur, sayangnya keinginan itu tak terkabul karena dompetnya ada dalam jaket dan jaket itu berada jauh dari posisi rebahnya sekarang. Ester sibuk memikirkan cara menggapai jaket itu, hingga pasrah karena tak menemukan cara, lalu jatuh tertidur karena kelelahan. Dia tak sadar sebelah tangan Lukas menyusup ke bawah kepala dan lehernya.
***
"Lepas bajumu!"
"Kau suruh aku apa?" Ester terkejut mendengarnya.
"Lepas bajumu!" ulang Lukas datar. "Atau perlu aku yang lepaskan?"
Itu perintah biasa atau sugesti? Ester tak merasa tangannya bergerak sendiri untuk melepas bajunya, berarti perkataan Lukas tadi hanya perintah biasa. Selanjutnya apa yang diinginkan lelaki muda itu dengan menyuruhnya melepas baju? Apakah dia akan diperkosa? Ok, pemikiran itu terlalu berlebihan. Mereka tak saling kenal. Ester juga tahu kalau si gendut tadi masih dalam rumah ini, tidak mungkin Lukas akan melakukan hal tak senonoh di depan orang.
"Kalau aku tak mau apa kau akan menyugestiku untuk telanjang?"
Lukas menghela nafasnya sebelum menggeleng. "Aku hanya menyuruhmu. Kalau kau tak bisa, aku bisa membantu."
"Membantu orang lain telanjang?"
"Kalau kau tak lepas bajumu, kau bisa sakit," terangnya. "Ya sudahlah." Lukas pasrah, dia memutuskan keluar kamar.
Ester lega Lukas meninggalkannya sendiri. Walau badannya menggigil, kakinya juga sakit, setidaknya dia tak merasa tertekan karena ada Lukas di sekitarnya. Dia butuh sendiri, selain untuk menenangkan diri juga untuk memikirkan cara kabur dari lelaki gila yang telah menculiknya sekarang.
"Oh, kau menunggu bajunya?" Si gendut berdiri di ambang pintu membawa tumpukan baju bersih siap pakai. "Ada sedikit air panas, segeralah mandi sebelum airnya habis!"
Si gendut masuk meletakkan tumpukan baju itu di tepian ranjang, kemudian membantu Ester yang berusaha berdiri dari posisinya.
"Suamimu menyuruhku mencari tukang pijat, maka dari itu kau harus segera mandi. Setelah mandi dan ganti baju, kau bisa makan. Istriku ada di dapur menyiapkan makan malam kalian. Sementara kalian makan, aku menjemput tukang pijat."
"Lukas yang menyuruhmu?"
"Lukas?" Si gendut tak tahu siapa yang dimaksud. "Oh suamimu namanya Lukas? Ya, dia yang menyuruhku."
Ester bersedia dibantu si gendut. Dia dipapah ke dalam kamar mandi, dibawakan handuk dan baju gantinya ke dalam. Dibantu si gendut lumayan juga dari pada dibantu Lukas. Setidaknya si gendut ini lebih terlihat manusiawi. Dia tak punya ilmu hipnotis atau semacamnya. Niatan membantunya hanya untuk mengumpulkan uang, tidak seperti Lukas yang jelas-jelas menculiknya demi kesenangan pribadi.
"Nanti kau bisa jalan sendiri, kan?"
"Ya, lagi pula kakiku hanya terkilir, tidak buntung. Aku bisa kembali sendiri, terima kasih bantuannya."
.
.
.
Ester meringis ketika kakinya ditarik oleh tukang pijat. Dia ingin sekali mengekspresikan kesakitannya dengan teriakan, tapi karena di luar ruangannya masih ada Lukas, dia urungkan niatnya. Dia tak mau terlihat lemah di hadapan lelaki muda itu. Dan ketika kakinya dibalut ketat dengan ketat, Ester mengerang kembali.
"Di sini tidak ada dokter," kata tukang pijit itu tiba-tiba. "Kalaupun ada, dokter akan menyarankan operasi walau hanya perkara sepele seperti ini."
"Keseleo bukan hal sepele." Ester merasakan sakit di pergelangan kakinya. Tentu tulangnya bergeser, satu-satunya cara adalah dioperasi. Tulangnya dikembalikan seperti semula, dan dalam waktu 2-3 minggu akan bisa berjalan normal lagi.
"Bagi kami itu sepele. Seperti yang kulakukan tadi, tinggal kembalikan letak tulangmu seperti semula dan besok pagi sakitnya akan berkurang. Kakimu juga tak akan bengkak."
Teman Ester pernah cedera hamstring, dia menjalani operasi dan selama beberapa bulan harus terapi untuk mengembalikan fungsi kakinya dengan sempurna. Ester juga perlu itu, operasi kecil pengembalian posisi tulang. Bukan dia tak menerima dengan baik tindakan penyelamatan sementara dari tukang pijat ini, dia hanya khawatir kakinya salah diperlakukan lalu dia jadi cacat permanen.
"Sepertinya kau tak percaya apa yang kukatakan."
"Sedikit, aku tidak pernah melihat tukang pijat membenahi tulang yang geser."
"Sekarang kau sudah lihat, kan?" Tukang pijit itu mengikat kuat kain di kaki Ester. "Kau boleh periksa ke dokter setelah sampai pusat kota. Dan bila terjadi hal-hal tidak beres dengan kakimu, kau bisa menuntutku."
"Jauh terdengar lebih baik setelah kau memberiku garansi itu." Ester tidak akan melakukannya. Dia bisa pergi ke dokter dan meminta operasi bila masalah benar-benar datang pada kakinya. "Ngomong-ngomong, pusat kota terdekat jauhnya merapa kilo?"
"Kalau kau kembali ke jalan tol, dihitung dari tempat ini sekitar 10-12 kilo. Kalau lewat jalan di hutan lagi hanya separuhnya, tapi lewat sana sangat berbahaya. Sering terjadi perampokan kalau orang yang lewat sendirian."
"Adakah kendaraan yang pergi ke sana besok pagi?"
"Selalu ada. Kudengar suamimu tadi juga menanyakan hal barusan. Dia menyewa mobil tetanggaku untuk perjalanan kalian besok pagi."
Ester tidak terkejut. Tujuan Lukas, seperti yang sudah dikatakannya bahwa dia akan membawa Ester secepatnya menemui neneknya. Si gila itu jelas akan melakukan apa pun sebelum Ester berhasil kabur, tapi Ester tidak akan mudah menyerah.
***
Ester tak bisa tidur nyenyak, dia terbangun sejam sekali. Beruntung Lukas tidak tidur satu ranjang dengannya. Lelaki yang menurut Ester gila itu tidur di sofa dengan alasan tak ingin melukai kaki Ester secara tak sengaja. Dia tidur sekamar dengan Ester, berjarak dua meter antara ranjang dan sofanya. Maka dari itu walau Ester sering terbangun, dia bergerak sangat pelan.
Setelah membalik badan, Ester memperhatikan Lukas. Dari tempatnya rebahan, tampak Lukas yang tidur dengan sangat lelap. Ester langsung memikirkan cara menyelinap keluar rumah. Bisa jadi saat Lukas tidur, hipnotis yang ada padanya terlepas. Ester harus mencoba keluar sekarang.
Pertama-tama yang dia lakukan adalah menengok jam yang diletakkan di atas meja. Jam tiga pagi, waktu yang tepat untuk keluar tanpa diketahui orang. Ester bangkit dari ranjang. Menurunkan kaki kirinya terlebih dulu, kemudian kaki kanan. Dia sangat hati-hati agar tak menyakiti kakinya. Nyatanya kaki itu memang sudah tidak sesakit kemarin. Ester hanya merasakan nyeri, tapi sudah bisa berjalan normal. Dia sangat berterima kasih karena tukang pijat yang kemarin berkata benar.
Pelan-pelan membawa kakinya melangkah menjauhi ranjang, membuka pintu dan keluar kamar. Sejauh ini dia berhasil, satu hal lagi yang harus dilakukannya adalah keluar dari rumah ini. Ester lupa mengambil sepatunya di kamar tadi, mengingat jalanan di sini berbatu dia butuh alas kaki. Ester menemukan sepatu bot di pojok ruang. Tampak seperti sepatu bot untuk berladang, tapi lebih baik dia gunakan itu dari pada bertelanjang kaki. Dia juga mengambil kain tebal sore kemarin yang masih teronggok di sofa ruang tamu. Kemudian dia siap untuk melangkah keluar.
Ester memutar kenop pintu depan, sayangnya terkunci dengan rapat. Tak mau putus asa dia berpindah ke pintu belakang, dan mendapati pintu itu sama rapatnya dengan pintu depan. Padahal rumah ini terlihat tua, kenapa tidak pakai selot pintu saja untuk mengunci pintu dari dalam? Kalau dikunci begini, Ester kehabisan waktu bila harus mencari kuncinya dulu. Belum lagi kalau Lukas mengantongi kunci itu.
Ester berpindah pada jendela dapur, menggeser lebar lalu mencoba keluar dari celah itu.
Setelah berhasil menginjakkan kaki ke tanah belakang rumah, satu-satunya pertanyaan Ester adalah bisakah dia melangkah lebih jauh lagi dari ini? Bagaimana kalau sugesti atau ilmu aneh dari Lukas itu masih melekat di dirinya? Seraya berdoa yang entah pada Tuhan mana, Ester menggerakkan kakinya selangkah dan dia berhasil. Selangkah lagi, dia berhasil lagi. Lima langkah kemudian, dia masih berhasil. Lalu Ester melangkah lebih jauh, makin cepat dan menghilangkan gambaran rumah berisi orang gila di belakangnya.
.
.
.
"Hawanya segar sekali."
Ester menghirup udara sedalam-dalamnya pagi ini. Tepat dua jam dia berjalan, sebelum matahari terbit jam lima pagi. Ester mengeratkan kain tebal itu di tubuhnya. Memang udaranya dingin, kakinya yang terluka sudah sangat nyeri tapi udara kebebasan membuat semua kesakitannya teredam. Ester teramat senang, sebentar lagi dia akan tiba di keramaian. Bisa menemui siapa pun dan bisa minta bantuan agar diantar ke kantor polisi.
Kembali kakinya dilangkahkan, sakit sekali meski langkah itu ringan.
"Apa kau orang kaya?" tanya sebuah suara yang diikuti pemiliknya keluar dari belakang pohon. Dia menghentikan langkah Ester, menghadang tepat di depannya. "Aku dan kawananku belum menghasilkan apa pun dalam sebulan ini. Jarang sekali ada orang kaya lewat sini, yang ada cuma polisi patroli. Dasar sial polisi-polisi itu."
Jadi, ini perampok yang dibicarakan tukang pijat semalam? Seorang pemuda yang tidak lebih tua dari Lukas? Apakah anak muda sekarang sudah banyak yang geser otaknya? Bisanya cuma membuat orang lain susah. Menjadi penghipnotis, menculik orang, dan sekarang Ester bertemu seseorang lain yang jadi perampok. Kualitas anak muda sekarang telah berubah.
"Kalau kau mau merampokku, aku tak punya uang sedikit pun."
"Tapi tampangmu seperti orang kaya."
"Mana ada orang kaya berjalan sendirian di pagi buta begini. Kalau aku orang kaya, tempatku di pusat kota, bukan di pinggiran seperti sekarang."
"Kau boleh tak punya uang sekarang ini, tapi kau tak bisa dibohongi soal statusmu. Kau orang kaya yang tersesat di sini, kan?" Pemuda itu menyeringai. "Aku bisa menculikmu, menelepon keluargamu dan minta tebusan pada mereka."
Ester mendengus. Dia baru kabur dari penculik dan sekarang mau diculik lagi. Jangan harap dia diam saja. "Menculikku? Kau sendirian akan menculikku, anak muda?" Ester tertawa kecil. "Kau tak takut padaku."
Pemuda itu tertawa balik. "Kau yang harus takut padaku," katanya sambil menggeleng-geleng. "Sudah kubilang aku punya kawanan, kan? Tinggal kujentikkan jariku dan mereka akan mengepungmu."
Ester tak takut. Selama dia bukan di bawah pengaruh hipnotis, dia bisa melawan kawanan mana pun. Dia bisa berkelahi, itu yang diandalkannya, dan itu juga yang dilupakannya ketika berhadapan dengan Lukas. Menghadapi lima atau lebih pemuda macam yang ada di depannya sekarang bukanlah masalah. Dia memperingatkan pemuda itu, mengatakan bahwa dirinya jago bela diri, lalu mengancam akan mematahkan lehernya bila pemuda itu terus menghalangi jalannya.
Si pemuda berkata benar, dia memanggil kawan-kawannya. Tidak sebanyak yang Ester kira. Hanya ada empat orang yang terlihat belum genap berusia 20. Mereka seperti empat sekawan remaja labil yang hobinya memeras dan berkelahi, tidak lebih baik dari preman jalanan di kota besar. Bahkan keempatnya terlihat lebih payah. Satu persatu dari mereka membawa pemukul, senjata tajam, dan sebuah senapan angin.
"Bagaimana, kau sudah merasa takut pada kami?" Ester malah menyeringai mendengar pertanyaan itu. "Kau memberontak sedikit saja, pisauku akan menyayat kulitmu," ancamnya sambil tertawa-tawa.
Ester tak punya waktu untuk berlama-lama di jalanan itu. Dia harus segera pergi atau Lukas akan menyusulnya. Dia tak takut tongkat pemukul, pisau ataupun senapan, tapi dia takut diambil alih kendalinya oleh Lukas. Ester meladeni pemuda-pemuda itu, menerima tantangan mereka untuk berkelahi. Toh, dia yakin senapan yang dibawa salah satu pemuda itu tak ada isinya.
Pemuda bertongkat memukulkan tongkatnya, tapi tak mengena. Pemuda lain dengan tangan kosong membantu, tapi keduanya jatuh tersungkur terkena pukulan dan tendangan Ester. Begitu mudah, dua orang lemah seperti mereka jadi perampok, tak ada gunanya. Ketika dua orang lain menyerang dengan pisau dan senapannya, Ester terus bisa mengelak. Ester benar soal senapan tanpa isi, si pemuda tidak menggunakan senapan itu untuk menodongnya tapi untuk memukul. Empat orang maju dan mengeroyok, Ester masih menang. Pemuda-pemuda itu makin kalah saat sebuah mobil yang dikendarai dengan kencang berhenti, seorang pemuda turun dan membantu hingga mereka lari kocar-kacir setelah dipukuli.
"Kau lari dariku." Lukas mencengkeram lengan Ester, meremasnya kuat sampai si empunya tangan mengerang kesakitan. Mendapati reaksi itu, Lukas tersadar "Maaf!" katanya kemudian melepas cengkeramannya. "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Semenjak kau menculikku, kau sudah menyakitiku." Ester jatuh terduduk. Dia mendesis merasakan denyutan lagi di pergelangan kakinya. Si tukang pijat berhasil membuatnya pulih, tapi kecerobohan membuat kakinya sakit lagi. Pasti akan bengkak. "Jadi kau berhasil menangkapku lagi. Akan menculikku lagi."
"Sudah kubilang aku tak bermaksud melakukan ini. Jika kau mau menurut sebentar saja, semua akan berjalan lancar. Kita tak perlu dikejar polisi, kau tak perlu keseleo dan tak akan ada yang namanya perampok seperti tadi." Lukas berjalan mondar-mandir di depan Ester. Dia sangat tidak senang mendapati istri atau calon istrinya itu diserang kawanan perampok. Takut sekali, kalau terjadi apa-apa padanya. "Ayo pergi!"
Lukas mengulurkan tangan, tapi Ester tak menyambutnya. Saat Lukas memanggilnya, meminta Ester memandangnya atau mendengarkan suaranya, Ester tak menanggapi. Dia tahu dari situlah Lukas mengambil alih tubuhnya, menghipnotisnya lagi. Jadi, lebih baik Ester mengabaikan itu.
"Ayo temui nenekku!" ajak Lukas kembali.
"Kau pernah bilang kita adalah pasangan di kehidupan sebelumnya dan tak akan bisa dipisahkan kecuali terjadi kesepakatan antara kita berdua. Bagaimana kalau satu di antara kita tak mencintai?"
Lukas menjatuhkan diri di dekat Ester. Duduk berjarak setengah meter seraya menenangkan diri. "Maksudmu kau tak mencintaiku?" Ester mengangguk. "Tentu saja fisikmu tak mencintaiku karena kau hidup di masa sekarang, tapi percayalah kalau hatimu mengatakan yang lainnya. Kita terikat cinta yang tak bisa dipisahkan ruang dan waktu."
"Bagaimana kalau aku mati sekali lagi?"
"Itu tak akan terjadi." Lukas beringsut mendekat. "Aku akan menjagamu tetap hidup," janjinya sambil berusaha meraih Ester.
"Jangan sentuh aku!" ancam Ester membuat Lukas kembali ke posisi semula. "Kau hanya mengira aku mencintaimu. Bagaimana kalau aku di kehidupan sebelumnya memang tidak mencintaimu, lalu memilih mati di sebuah kecelakaan?" Ester melihat Lukas mengernyit tapi dia tak memberinya kesempatan menyela. "Begitu juga diriku di kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang. Aku tidak mencintaimu," katanya telak. "Oleh karena itu aku dilahirkan lagi sebagai calon istri orang lain. Tidak pernahkah kau berpikir begitu?"
"Maksudmu cintaku bertepuk sebelah tangan?" Ester mengiyakan. "Kita lihat nanti setelah kau bertemu nenekku."
"Kalau hal itu benar-benar terjadi, apa kau masih mau mengikatku dengan hipnotismu? Masih memaksaku bersamamu?"
"Aku belum memutuskan apa yang akan kulakukan, sebelum kubawa kau menemui nenekku. Beliaulah yang akan membuatku memutuskan tindakanku selanjutnya." Lukas berdiri, berjalan cepat ke hadapan Ester kemudian menangkup muka Ester dengan kedua telapak tangannya yang besar. "Ayo ke rumah nenekku!"
Ester mengumpat dalam hati. Dia kembali kehilangan kendali tubuhnya, kembali sebagai kerbau yang dicocok hidungnya. Menurut semua yang dikatakan Lukas, menerima uluran tangan si gila itu dan membiarkan dirinya dibopong Lukas untuk di masukkan dalam mobil.
***
"Kau boleh bicara!"
Ester diam
"Kau kuperbolehkan bicara," ulangnya.
Ester masih diam, memandang ke jalanan yang sedang mereka lewati. Badannya bergeming, mulutnya bungkam dan matanya enggan untuk berkedip atau sekadar melirik pada Lukas.
"Kau tidak apa-apa?" Lukas tampak cemas. Apa dia keterlaluan memperlakukan Ester? Dia tak mau itu terjadi, tapi keadaan mengharuskannya berbuat demikian. "Kau tidak apa-apa?" ulangnya sambil mengulurkan tangan berusaha menyentuh Ester.
"Jangan menyentuhku!" bentak Ester sambil menepis tangan Lukas.
Syukurlah Ester tak apa-apa. Lebih baik seperti itu, dari pada diam terus.
"Kita sudah dekat." Mereka melewati jalanan di kota. Kota besar berjarak hampir setengah mil dari tempat Ester diculik. "Rumah nenekku di penghabisan kota ini."
Lukas menyalip dua mobil, menempatkan kendaraannya di deret paling depan dari jajaran mobil. Dia mau sampai lebih cepat ke rumah neneknya. Tak sabar. Hal pertama yang diinginkan Lukas adalah mempertemukan Ester dengan neneknya, lalu melihat reaksi keduanya kalau sudah saling berhadapan.
Lima menit setelah saling terdiam, keduanya mendengar suara decitan mobil, kemudian suara tabrakan ringan. Ester menoleh ke belakang sedangkan Lukas melirik dari kaca spion. Sebuah mobil mini van melaju kencang di samping jajaran mobil-mobil. Mobil itu tak stabil, sekali dua kali menyenggol dan menyebabkan mobil satu sama lain berbenturan. Nyatanya mini van itu terus melaju dengan kencang. Setelah hampir mendekati mobil Lukas, baru tampak beberapa penumpang yang tertawa tawa. Sudah jelas mereka teler oleh minuman keras atau obat-obatan.
Tawa mereka makin nyaring, mobilnya berkelok-kelok. Untuk menghindari bersenggolan dengan mini van itu, Lukas memelan dan berjalan lebih ke tepi. Demikian juga mobil lain, memilih mengalah. Salah seorang sudah pasti menelepon polisi untuk mengatasi pemabuk-pemabuk itu. Dan ketika mobil patroli polisi dengan sirine keras berada jauh di belakang, mini van berisi orang-orang mabuk itu kelabakan. Mereka tertawa sekaligus panik. Sang sopir menginjak pedal gas, sedangkan orang lain mengganggu dengan kepanikannya. Berakhir menjadi pertengkaran di dalam mini van. Sopir ingin terus ke depan tapi temannya minta mereka turun dari jalan. Keduanya saling tarik kemudi dan berakhir menikung lalu menabrak mobil Lukas.
Mobil Lukas keluar dari jalur dengan buruk. Jatuh ke tepian berumput terguling beberapa kali dan berhenti di dataran landai dengan keadaan terbalik. Sedangkan mini van berhasil bertahan kembali melaju ke jalanan dengan kecepatan lebih tinggi. Beberapa meter berjalan mulus, berkelok kelok lagi, berakhir menabrak pembatas jalan.
"Kalian tidak apa-apa?" Seseorang mendatangi mereka.
Ada pecahan kaca menusuk bahu Lukas dan beberapa goresan di punggung. Pelipisnya berdarah, merah dan bengkak, selebihnya dia tidak apa-apa. Ester sedikit terkejut tapi dia baik-baik saja. Tentu karena Lukas memilih menggunakan punggungnya untuk melindungi Ester dari pecahan kaca.
"Oh, ya Tuhan. Ada kaca menusuk punggungmu. Kau tak menggunakan sabuk pengaman tadi?" tanya orang itu lagi. Orang yang datang dari mobil lain bermaksud menolong mereka berdua.
"Aku menggunakannya, tapi putus setelah mobilku terguling beberapa kali." Lukas mengangkat tubuhnya sendiri, memperhatikan Ester dan menanyakan keadaannya. "Bagaimana keadaanmu?"
"Aku tidak mati."
"Syukurlah!"
Seseorang di luar tadi dibantu beberapa lainnya berhasil membuka pintu mobil. Mengendurkan sabuk pengaman milik Ester dan menariknya keluar. Kemudian dilakukan juga pada Lukas.
"Harus menunggu petugas medis untuk mengobati punggungmu."
"Cabut saja," kata Lukas. "Sakit sekali kalau pecahan kaca ini tak segera di cabut."
Sorang wanita yang mengaku perawat menangani Lukas. Pecahan kaca yang lumayan besar itu dicabut dengan hati-hati, setelahnya si perawat memberikan pertolongan sebisanya.
"Ini harus dijahit. Aku bertugas di Rumah Sakit dekat sini, ayo kuberi kalian tumpangan ke sana!
Perawat itu meminta izin pada petugas polisi yang bergabung terlambat. Setelah mendata Lukas dan Ester, polisi itu mengizinkan mereka pergi.
.
.
.
"Suamimu harus menetap di sini, setidaknya semalam. Dia baru menjalani banyak pemeriksaan, dan besok hasilnya keluar." Ester mengangguk. "Sudah ada yang memeriksamu? Kelihatannya kakimu mengalami masalah, apa terjepit?"
"Tidak, aku mendapatkan luka ini sebelum kecelakaan tadi. Dokter memeriksanya lagi lalu membungkusnya dengan kain yang baru."
Perawat itu mengangguk. "Kalau mau menjenguk suamimu, kau bisa langsung ke dalam".
Perawat baik hati itu pergi, menyisakan Ester yang kembali duduk di kursi tunggu.
Ester sedang berpikir, apakah sekarang dia dalam keadaan bebas dari pengaruh hipnotis Lukas? Bagaimana kalau dengan terjadinya kecelakaan tadi, pengaruh itu terputus? Berarti dia bisa lari dari pemuda gila itu. Sekarang Lukas ada di dalam ruang rawat, perlu menginap semalam. Kalau Ester mau kabur, saat ini adalah waktu yang tepat.
Dia mencoba mengangkat tubuhnya, bangun dari kursi dan berdiri tegak di depan bangku. Setelah mencoba melangkah beberapa kali, Ester merasa kakinya sudah lumayan baik. Kemudian dia melangkah lebih banyak lagi, membuka ruang rawat dan masuk untuk melihat keadaan Lukas.
"Aku tidak apa-apa," kata Lukas saat melihat Ester berjalan ke arah ranjangnya. "Punggungku yang robek sudah dijahit, kita bisa melanjutkan perjalanan setelah ini."
"Perawat memberitahuku kalau kau perlu menginap semalam di sini."
"Ya, dokter sudah melakukan serangkaian tes, tapi aku tidak merasa sakit apa pun kecuali punggung dan pelipisku. Kita tidak perlu menunggu hasil tesnya."
Ester menggeleng. "Kita tetap di sini sampai kau diperbolehkan pulang!"
Walau bagaimanapun Lukas telah mengorbankan diri untuk melindungi Ester. Kalau aksi heroik tadi tak dilakukan, mungkin kaca itu menembus muka Ester. Ngeri sekali walau hanya membayangkannya.
Kalau mengingat awal mula Lukas menculiknya, lelaki muda itu pantas dibenci apalagi kelakuannya yang mengikat Ester dengan hipnotis itu. Begitu menyebalkan. Namun, kejadian barusan meluluhkan Ester begitu saja. Bukan dia jadi kasihan pada Lukas lalu melupakan kebenciannya, dia merasa berhutang nyawa pada lelaki muda itu. Ester perlu berterima kasih. Kemarin kalau Ester tak membuat onar di minimarket, mereka tak dikejar polisi. Lalu saat kehujanan dan kedinginan, Lukas merelakan jaketnya untuk dipakai. Saat keseleo di dalam hutan sampai kesulitan berjalan, Lukas yang menggendongnya. Hingga kejadian barusan ketika Lukas menyelamatkan. Itu semua jadi membuat Ester merasa bersalah.
"Aku tidak merasa kau menghipnotisku sekarang ini. Tubuhku terasa ringan. Apa karena pelipismu bocor, jadi kekuatanmu bocor juga?"
"Luka ini membuat kepalaku jadi sangat pusing." Lukas menghela nafas pasrah. "Aku tak mampu mengendalikanmu tentu saja, mengendalikan tubuhku sendiri aku tak mampu.
Dia sudah mencobanya tadi. Punggungnya yang baru dijahit memang perih, tapi tidak ada apa-apanya dibanding sakit kepala yang dirasakannya sekarang. Lukas kehilangan kontrol terhadap dirinya, waktu dia berusaha bangun dan berniat meninggalkan ruangan, tiba-tiba kepalanya yang sakit berdenyut makin parah. Lukas merasa pandangannya berputar-putar, badannya limbung dan berakhir jatuh. Dia sampai dimarahi dokter yang kemudian menyuruhnya menginap sehari di rumah sakit.
"Kau sudah diberi obat pereda sakit?"
"Ya. Obat itu membuatku kesulitan membuka mata." Ester bisa lihat Lukas membuka tutup matanya, berusaha melawan kantuk dari obat yang diberikan dokter padanya. "Aku harus membawamu ke rumah nenekku."
"Begini saja, karena kau baru menyelamatkan nyawaku, aku akan tetap di sini, akan ikut menemui nenekmu juga." Sebenarnya Ester tak yakin kenapa dia tidak kabur saja dari Lukas. Toh, Lukas tak akan mampu mengejarnya. Tetapi hutang nyawa membuatnya bertahan, anggap saja sebagai ganti terima kasih darinya. "Syaratnya, aku tak mau kau menghipnotisku lagi. Setelah aku bertemu nenekmu, mendengar bukti yang kau katakan tentang hubungan kita di kehidupan sebelumnya, kau tak berhak melakukan apa pun padaku dengan kekuatan gaibmu itu."
"Aku tidak punya kekuatan gaib," sangkal Lukas.
"Apa katamu saja …," potong Ester. "Kalau aku tetap pada pendirianku …, tak ingat atau tak mencintaimu seperti yang kau harapkan selama ini, kau harus melepaskanku!"
"Tapi aku ingin hidup denganmu."
"Dengan begitu kau tak benar-benar tahu kenapa aku mati dan bereinkarnasi jadi orang lain, kan?"
Lukas dalam masa transisi, sadar dan tidur. Dia kesulitan mencerna kalimat yang keluar dari mulut Ester.
"Kalau aku mencintaimu setelah mendengar penjelasan nenekmu, berarti di kehidupan sebelumnya aku memang mencintaimu. Bila terjadi sebaliknya, tentu kematianku di kehidupan itu menandakan kita tidak berjodoh."
Lukas sudah menutup mata saat Ester menyelesaikan kalimatnya. Malangnya Ester tak mengizinkan Lukas tidur sebelum mereka selesai bicara. Dia menoel Lukas berkali-kali, tapi hanya dapat gumaman sebagai balasan.
"Katakan kau akan melepasku setelah bertemu nenekmu?"
"Hm," gumam Lukas dari alam tidurnya.
"Bukan 'hm' tapi 'ya'," paksanya.
"Hm."
Sekeras apa pun Ester meminta, dia tak akan dapat jawaban. Lukas sudah tak sanggup lagi menahan kantuk.
***
Lukas berkeras tak mau menginap. Dia mau segera membawa Ester menemui neneknya. Di sinilah mereka sekarang, di depan rumah besar bergaya klasik. Mereka baru turun dari Taksi. Lukas memulai pembicaraan.
"Aku tak ingat kita bicara apa saja sebelum tertidur."
"Kau berjanji untuk melepasku setelah menemui nenekmu," jawab Ester santai.
"Aku tidak akan pernah mengatakan itu dalam keadaan sadar."
"Tapi kau mengatakannya. Sadar atau tidak, kau telah berjanji."
Lukas mengalah, dia segera mengajak Ester masuk dalam rumah besar itu. Pertama-tama berjalan hampir seratus meter dari depan pagar sampai teras rumah, melewati halaman penuh bunga dan tanaman-tanaman hias. Di depan pintu, Lukas tak mengetuk atau membunyikan bel, dia langsung mendorong pintu yang ternyata memang tidak dikunci.
"Pintu ini tidak pernah dikunci sebelum malam."
Mereka berdua masuk, langsung melewati lorong menuju ruang duduk di bagian belakang.
"Nenekku suka menghabiskan waktu sorenya di belakang."
Lukas kembali mendorong pintu belakang, setelah sampai di ruang yang dia maksud. Dia segera menggandeng Ester, ingin membawa Ester ke hadapan neneknya, tapi Ester bergeming.
"Kenapa?"
Dia kira Ester tak mau disentuhnya, takut dihipnotis atau apa pun itu. Lukas sudah mengiyakan untuk tak mengambil alih tubuh Ester lagi, dia tak akan melakukannya. Namun, Ester bergeming bukan karena Lukas, tapi karena pergerakan yang dia tangkap di balik kursi besar berlawanan arah dengannya. Ester gamang untuk bertemu neneknya Lukas.
Berbagai asumsi dimunculkan Ester dalam otaknya. Bagaimana kalau di kehidupan sebelumnya dia benar-benar istrinya Lukas? Bagaimana kalau dulunya dia memang mencintai lelaki muda di sampingnya ini, kemudian sekarang pun dia juga mencintainya? Ester takut nenek yang ada di balik kursi itu memang punya bukti hubungan mereka di kehidupan sebelumnya. Pertanyaannya, masa iya Ester harus menjadi pasangan Lukas?
"Lukas, kau kah itu?"
"Ya, ini aku," jawab Lukas sambil tersenyum ke arah Ester. "Aku membawa seseorang untukmu."
"Siapa? Bawa dia kemari!"
Ester lamat-lamat mengenal suara itu. Atau jangan-jangan memang di kehidupan sebelumnya mereka ada hubungan? Ester makin takut saat Lukas kembali menggandeng tangannya. Lukas memang mengisyaratkan kalau semua akan baik-baik saja, tapi kalau kenyataan yang akan didapat Ester tak seperti yang keinginannya bagaimana? Dia tak mau jadi gila atau semacamnya.
"Bawa dia kemari!" Suara nenek-nenek itu kembali terdengar.
Ester terpaksa menurut karena Lukas sudah sangat memaksa. Lukas bilang dia akan sangat terkejut nantinya, tapi Ester tak mau terkejut.
Dengan hati-hati Ester melangkah mengikuti Lukas. Dia berjalan sangat pelan. Berhenti mendadak setelah tepat berada di belakang kursi si nenek hanya untuk menguatkan diri, baru dia menyusul Lukas ke depan neneknya.
Ester melongo setelah melihat si nenek.
"Aku membawa calon istriku," kata Lukas, tapi Ester tidak protes, dia sibuk dengan perasaannya sendiri. Lukas mengodekan agar Ester tidak bersuara dan mengikuti petunjuknya. "Istriku cantik sekali, kau mau melihatnya?"
"Tentu. Mana calon istrimu?"
"Maaf, nenekku kehilangan penglihatannya beberapa bulan yang lalu. Boleh dia meraba wajahmu, kan?" Lukas berkata seolah-olah memberi tahu Ester. Itu pun sambil tersenyum.
Ester mendekat, kemudian bersimpuh di depan si nenek. Dia mengambil kedua tangan nenek dan menepatkan telapaknya di belahan pipinya. Nenek itu memandang ke depan, tapi tidak benar-benar melihat wajah Ester. Si nenek tersenyum sambil meraba dan mencoba mengenali wajah Ester.
"Lukas, calon istrimu manis sekali. Bentuk wajahnya bagus, matanya, tulang pipi, hidung, dan dagunya sempurna." Nenek memuji Ester sambil tertawa kecil. "Tapi rahangnya sedikit tegas."
"Apa nenek mau mengatakan bahwa dia terlihat familiar?"
"Tidak. Bukan begitu. Calon istrimu pasti telah melewati kehidupan yang keras. Tipe wanita yang mandiri," ralat nenek agar Ester tak merasa sakit hati. "Tapi sepertinya aku pernah melihat wajah yang seperti ini"
Ester kali ini tersenyum. Sudah sembuh dari keterpakuannya terhadap si nenek, sekarang rindunya membuncah. Rindu pada nenek yang tengah ada di depannya ini.
"Siapa namamu anak manis?"
Ester jadi teringat masa kecil dulu. Saat nenek mengajak ke rumah temannya, teman-temannya selalu salah sangka. Bertanya dengan nada seperti yang barusan 'Siapa namamu anak manis?' Ester selalu merasa dewasa, mana boleh dipanggil manis. Maka dari itu dengan ketus Ester menjawab 'Namaku Ester dan aku tidak manis!' untuk pertanyaan kali ini, Ester tidak akan menjawab dengan nada ketus seperti di masa kecilnya.
"Nenek," kata Ester mengambil perhatian neneknya. "Aku Ester. Cucumu yang manis ini namanya Ester."
"Oh." Nenek terkaget. "Kau benar-benar Ester?" Ester mengangguk walau neneknya tak bisa melihat. "Astaga, pantas saja aku mengenali wajahmu. Ya Tuhan, Lukas. Kau membawa cucuku kembali!"
Nenek terus merabai wajah Ester, menelusuri lebih teliti inci demi inci wajah cucunya. Nenek menangis seketika.
"Nenek …."
"Kau benar-benar sudah besar, cucuku."
Ester menyejajarkan tubuhnya dengan nenek. Dia membawa neneknya berpelukan, menyalurkan rindu yang terpendam bertahun-tahun lamanya.
.
.
.
"Jadi, siapa kau sebenarnya?" tanya Ester pura-pura tak tahu.
Mereka teman lama, itu kenyataannya. Waktu kecil bertetangga, main sama-sama, sekolah sama-sama sampai terkadang tidur sama-sama. Hanya karena orang tua pindah tugas, mereka akhirnya berpisah. Entah bagaimana Ester juga terpisah dengan neneknya. Pernikahan kemarin saja, tidak dihadiri seluruh keluarga dari pihak Ester. Hanya teman dan keluarga dari pihak mempelai lelaki.
"Lukas, suamimu di kehidupan sebelumnya," jawab Lukas santai, sesantai cara duduknya di depan perapian.
Ester tertawa kecil. "Bagaimana caramu melakukan yang kemarin?" Maksudnya soal hipnotis itu. "Kau belajar hipnotis dari mana?"
"Aku tidak pernah menghipnotismu. Aku juga tak punya ilmu apa pun." Lukas tersenyum. "Bukankah sejak kecil kau selalu menuruti semua kata-kataku. Kau ikut ke mana pun aku pergi, kau melakukan semua yang kulakukan, kau juga punya apa pun yang aku punya. Meski begitu kay tak mau disebut saudara atau teman."
Sial. Ester teringat kala itu.
"Kau lebih suka disebut istri. Selalu memaksaku bermain rumah rumahan. Kau juga memaksaku mengakui boneka dinosaurus itu jadi anak."
Usia mereka belum genap tujuh tahun kala itu. Ester yang terinspirasi teman perempuannya, menyukai bermain rumah-rumahan dan memaksa Lukas ikut serta. Ester jadi istrinya, Lukas suami, lalu boneka dinosaurus jadi anak mereka. Ester bisa tumbuh jadi istri Lukas betulan kalau kejadian seperti itu terus berlanjut. Sayangnya, keluarganya pindah. Ester tak pernah bertemu Lukas lagi setelahnya.
"Itu kesalahan masa kecil, sekarang aku sudah jadi wanita yang sebenarnya. Akan berumah tangga dan jadi istri yang baik."
"Pernikahanmu sudah gagal, kan?"
Ah iya. "Itu gara-gara kau." Ester mengeluh, sok kesal.
Dia perlu menanyakan bagaimana Lukas bisa terlihat lebih muda, padahal dia setahun lebih tua dari Ester.
"Katanya kau mau memberitahukan rahasia awet mudamu padaku!"
"Sudah kubilang kalau kau menikah denganku, kau akan awet muda secara otomatis."
"Sudah kubilang, aku sudah punya calon suami, tidak mungkin menikah denganmu."
"Zaman sekarang, meninggalkan calon suami demi cinta sejati itu tidak apa-apa." Lukas mulai memberi atensi lebih pada Ester. "Kalau kita tidak menikah, lalu bagaimana nasib anak kita?" Ester mengernyit dan Lukas segera menambahkan. "Dinosaurusmu ada di kamar, kau tak merindukannya?"
Lukas mengode Ester untuk segera naik ke kamar. Tentu saja hari sudah malam, nenek bahkan sudah tidur sedari tadi. Lukas tahu Ester lelah, dua hari ini menghadapi hari yang sulit. Kesalahan Lukas membawa paksa Ester dari pernikahannya, kesalahan Ester juga mau saja diajak Lukas kabur. Atau mungkin karena keduanya memang terikat status suami istri di kehidupan sebelumnya, hingga insting mereka memberikan jalan itu.
"Yang benar? Kau menyimpannya lebih dari dua puluh tahun?"
"Mau bagaimana lagi. Aku ayahnya, selama ibunya belum ketemu, terpaksa aku yang harus merawatnya," canda Lukas. "Jadi bagaimana, mau melihat anak kita sekarang?"
"Baiklah. Kebetulan aku juga merindukannya!"
Setelah sama-sama tersenyum, bolehlah mereka bergandengan ketika berjalan ke kamar. Mereka akan melihat anak mereka, kan? Harus terlihat mesra agar tidak dikira tengah berseteru.
End
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
