Cinderella Step Sister Bab 1

12
1
Deskripsi

Bagaimana jadinya jika tokoh Antagonis yang menjadi tokoh utama dalam sebuah dongeng?

.

Arumi, memilih menjalani hidupnya sebagai kakak tiri Cinderella, ia selalu kasar dan jahat pada adik tirinya (Sang Cinderella) yang bernama Luna.  Benci, adalah hal yang selalu ia ucapkan jika itu berkaitan dengan Luna, tak henti-hentinya ia selalu saja ingin membuat Luna menderita. Hingga puncak dari kebenciannya, ia menikahi pria yang dicintai oleh Luna. 

Arumi berhasil membuat Luna menderita...

Bab. 1

Sebuah kutukan

Pada jaman dahulu di sebuah rumah mewah nan megah di salah satu perumahan elit ibu kota. Dua anak perempuan sedang berain-main di rerumputan hijau halaman rumah itu. Keduanya bermain dengan asyik dan penuh canda seperti saudara kandung. Meskipun nyatanya mereka baru saja bertemu satu minggu yang lalu karena pernikahan kedua orang tua mereka. 

Anak perempuan tertua bernama Arumi usianya sepuluh tahun, dia gadis berwajah bulat dan bermata sipit. Terkadang ia menatap dengan tajam yang langsung membuat orang-orang beranggapan bahwa Arumi adalah gadis sinis dan tak heran jika ia tidak memiliki teman. Berbanding dengan Arumi, di usianya yang baru tujuh tahun Luna justru memiliki wajah imut nan cantik, matanya besar dan jika tersenyum orang-orang akan langsung berguman terpesona. Dia seperti seorang putri yang menarik pusat perhatian semua orang. Ibu Arumi menikah dengan Ayah Luna. Mereka menjadi saudara tiri yang langsung akrab ketika pertama kali bertemu. 

Hari itu, mereka bermain permainan sederhana khas anak perempuan. Sang Adik ingin bermain menjadi seorang putri dalam dongeng dan ia memilih untuk menjadi Cinderella kesukaannya. Karena ingin membuat Sang Adik bahagia, Sang Kakak pun mengalah dengan menjadi kakak tiri yang jahat untuk Luna. 

Awalnya permainan itu menyenangkan, lalu tiba-tiba saja sebuah kutukan mendatangi mereka. Cinderella tidak berubah menjadi upik abu selamanya, namun Sang Kakak tiri yang tadinya begitu menyayangi adik tirinya, memilih untuk mendalami perannya yang jahat selamanya. 

Arumi menerima kutukannya untuk menjadi kakak tiri yang jahat selamanya. Entah itu dalam sebuah permainan atau pun dalam kehidupan nyata.

 

 

“Aku benci Luna...Benci...Benci!”

 

 

====ooo===

 

Arumi memarkirkan mobilnya tepat di belakang mobil Jeep Rubicon kuning milik Papa Raffi. Mobil mewah yang selalu pria tua itu gunakan untuk bersenang-senang ke berbagai daerah. Tak jarang Arumi mendengar Papa Raffi dan Mamanya pergi berdua saja menjelajahi pulau jawa untuk berbulan madu yang kesekian kalinya. Sungguh romantis kehidupan sepasang kekasih yang sudah menikah selama 19 tahun itu.

Sudah tua masih saja seperti remaja yang lagi kasmaran

Arumi selalu sinis menanggapi kehidupan percintaan mereka. 

Keluar dari mobil, Arumi langsung berjalan menuju pintu depan. Sembari menaiki tangga yang mengarah ke teras rumah, ia memandangi halaman depan yang masih ditumbuhi rumput hijau dan tanaman bunga warna-warni peliharaan ibunya. Mungkin sebagian orang akan merasa romantis jika melihat atau saat sedang dikelilingi banyak sekali bunga, tapi Arumi tidak. Ia justru merasa jengkel karena menurutnya warna bunga-bunga itu membuat matanya sakit. Dan, alasan lainnya karena halaman rumah itu menjadi salah satu tempat bermain waktu ia kecil.

Mendekati pintu bergaya klasik, Arumi menoleh ke sudut tembok sebelah kirinya. Ibunya mengganti tanaman hijau rimbun yang dulu berada di sana dengan bunga anggrek ungu yang tergantung di pot putih. Sebenarnya ia tidak merindukan tanaman hijau itu, tapi ia terigat kalau di balik tanaman hijau itulah ia mematahkah kepala boneka barbie milik Luna. Sejak kapan tanaman Anggrek itu berada di sana? Atau lebih tepatnya sudah berapa lama ia tidak pulang ke rumah ini? Sejak ia mulai kerja atau sejak Luna mulai kuliah kedokteran? 

Entahlah, Arumi tak ingin mengingatnya. Ia mendorong pintu rumah dan masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mata hitamnya langsung tertuju pada banner besar yang menggantung di pagar pembatas besi berwarna hitam lantai dua, tepat di sebelah tangga yang menuju ke arah kamar anak-anak.

Selamat dan semoga jadi dokter yang hebat

Dr. Quamila Luna Cintya

 

Oh...terlalu norak!

Dua bulan yang lalu Luna lulus ujian terakhirnya untuk mendapatkan gelar Dokter setelah KOAS yang melelahkan selama 2 tahun dan hari ini wisuda kedokterannya. Ah, mengucapkan sumpah dokter seperti yang sering dibicarakan orang-orang. 

Arumi menaikkan bahunya tak peduli, ia malah bingung kenapa ia bisa berakhir di rumah ini sekarang. Karena ibunya yang menangis memintanya untuk datang atau karena ia penasaran ingin melihat seperti apa sekarang anak yang selalu dibanggakan oleh Papa Raffi dan Mamanya itu. Tak ingin berlama-lama di ruangan itu, Arumi melangkah menuju dapur. Tempat favorit keduanya di rumah ini. 

Rumah ini banyak berubah, dari dekorasi dan interiornya. Meskipun begitu, masih banyak kenangan yang bisa Arumi ingat hanya dengan melewati ruangan-ruangan di rumah itu. Melewati tangga, ia teringat pernah mendorong Luna dari anak tangga ketiga yang membuat kaki Luna harus memakai gips. Melewati kamar mandi, ia teringat pernah membuang kalung mainan pink kesayangan Luna di closet. Dan masih banyak lagi, semuanya kenangan tentang perlakuan jahatnya pada Luna.

Tidak sekali pun ia bersikap baik pada Luna dan anehnya anak itu tidak pernah marah, ia justru semakin baik pada Arumi. Berbeda dengan Papa Raffi yang akan menghukumnya atau mengurangi uang jajannya atau yang lainnya. Mamanya pun sama seperti Papa Raffi ikut memarahinya karena Arumi memang bersikap keterlaluan. Itu mungkin sudah menjadi kutukannya sejak permainan Cinderella itu, Arumi tidak bisa berhenti bersikap jahat pada Luna. Ia tidak ingat alasan kenapa ia begitu membenci Luna, yang ia tahu memang sudah takdirnya menjadi kakak tiri jahat untuk Luna. Memang sudah sifat yang mendarah daging karena tidak hanya kepada Luna ia akan bersikap jahat, pada seseorang yang berlaku tidak menyenangkan pun akan mendapatkan perlakuan sama dari Arumi. 

Karena sifatnya itulah, Arumi tidak memiliki teman akrab, tidak memiliki teman curhat, tidak memiliki seseorang untuk tempatnya bersandar. Tidak ada di mana pun yang mau mengakrabkan diri padanya, tidak di sekolah, di kampus, bahkan di kantor tempat ia bekerja saat ini. Siapa yang mau berteman dengan seseorang yang memiliki kepribadian aneh seperti dirinya? Bisa-bisa orang itu mati karena mungkin saja suatu hari Arumi akan membunuh mereka. 

“Arumi?” Suara bass seorang laki-laki menyambut Arumi setelah ia memasuki dapur. Arumi menoleh ke arah mini bar yang berada di sisi sebelah kanan dapur. Di sana ada seorang pria sedang duduk di salah satu kursi tinggi. Tinggi pria itu kurang lebih 172 cm, memakai celana jeans hitam dan kemeja abu motif kotak-kotak, rambut ikalnya tersisir rapih hinga belahan rambut di sebelah kiri kepalanya terlihat. 

Barry... Arumi melafalkan nama itu dalam hati. Cowok menyebalkan yang selalu datang untuk melindungi Luna dari aksi kejamnya. Setiap kali Arumi bertingkah, Barry selalu ada untuk membalas perbuatannya. Mereka sering bertengkar saat kecil dan sudah lama mereka tidak bertemu sampai-sampai ia lupa kalau mereka dulu tidak pernah akrab.

“Benar. Kamu Arumi, kan?” Laki-laki itu meneggakkan posisi duduknya dan menunjuk ke arah Arumi dengan tangannya yang sedang memegang gelas bening berisi air berwarna merah. “Si Chibi Maruko Chan.”

Arumi tidak tertawa, tidak juga memberengut kesal mendengar julukan yang pria itu berikan padanya sejak dulu. Ia malah melengos ke seberang Barry di meja mini bar yang berisi banyak sekali makanan. Ada banyak jenis kue termasuk cup cake cokelat kesukaannya. Di bangian paling ujung ada dua teko gelas kaca berisi minuman dingin berwarna merah dan orange. Sepertinya hari ini akan ada perayaan besar karena Arumi mencium aroma makanan berat  lainnya dari meja dapur yang berada di tengah-tengah dapur.

“Pesta nih,” komentar Arumi sinis sama sekali tidak mengubris Barry yang menatapnya lekat.

“Nggak mau say hello atau apa nih sama aku yang udah lama nggak ketemu?” Barry meletakkan minumannya ke atas mini bar, dan memangku dagu dengan tangan kanannya. 

Arumi menoleh ke Barry lalu berkedip. “Bukannya saya udah menyapa tadi? Pesta nih!” ia menekan kalimat terakhirnya.

Barry melipat kedua lengannya di depan dada, mundur sedikit sambil mengangguk berkali-kali. “Tetap Arumi yang dulu, to the point tanpa ngucapin salam di awal ongrolan.” Kemudian ia memiringkan kepalanya, menatap wajah Arumi yang tidak berkedip membalas tatapannya. “Tapi sepertinya ada yang berbeda.”

Arumi memalingkan wajahnya ke depan sambil menaikkan kedua pundaknya. “Ya emang, jaman udah canggih dan klinik kecantikan udah banyak. Jadi nggak ada salahnya sedikit perawatan atau setrika wajah biar jadi sedikit tirus dan cantik.” Jawaban panjang yang langsung pada inti pertanyaan Barry. Ia tidak suka harus berpura-pura tidak mengerti maksud dari pertanyaan Barry. Karena memang wajahnya yang dulu bulat dan bermata sipit sekarang sudah menghilang. Ia sudah semakin cantik dengan perawatan diri di sana-sini. Julukan Chibi Maruko Chan yang Barry berikan padanya sudah tidak ada lagi sekarang. 

“Heeeuumm...” Barry berguman pelan. “Sebenarnya bukan itu maksud ucapanku. Kamu emang jadi lebih cantik, wajah bulat kamu ilang itu yang buat maruko versi hidupnya jadi nggak ada lagi. Tapi yang kumaksud adalah kamu langsung ngajak aku ngobrol tanpa harus aku pancing-pancing. Dulu, butuh waktu setengah jam buat dengar suara kamu.”

Arumi mengangguk. “Banyak hal yang dipelajari seriring bertambahnya usia.” Arumi mengambil satu gelas dan menuangkan minuman berwarna orange yang sudah ia duga rasanya pun rasa jeruk.

“Semakin dewasa.” Barry merasa senang mendengar jawaban Arumi, hatinya sedikit menghangat dan senyum lebar mengukir wajahnya.

Arumi mengangguk setelah menegak minumannya dan meletakkan gelasnya di atas mini bar, lalu mengambil satu cupcake cokelat dan menggamatinya cukup lama sebelum mengigitnya. “Sudah lama?” tanyanya singkat.

“Nggak, baru setengah jam. Kamu kenapa nggak ke venue acara wisudanya?”

“Males. Kamu?”

Barry lagi-lagi tersenyum di setiap jawaban Arumi. “Sama!”

Arumi menaikkan alis kanannya. Seorang Barry malas untuk datang ke acara penting Luna? “Lagi berantem?” tanyanya penasaran.

“Siapa?” Barry mengerutkan alisnya namun tatapannya tidak lepas dari mulut Arumi yang mengunyah dan mengigit cupcakenya

“Kamu dan Luna.”

“Nggak. Kenapa mikirnya gitu?”

Arumi menaikkan bahunya sambil melahap gigitan terakhir. “Karena seorang Barry tidak mungkin tidak hadir langsung ke acara penting Luna.”

Barry mengerti ke mana arah pikiran Arumi, ia pun ikut mengambil satu cupcake karena ingin tahu seperti apa rasanya. “Arumi, aku dan Luna nggak pacaran?”

Arumi mengerutkan alisnya, ia pikir Barry dan Luna pacaran sejak...Sejak kapan? Sejak ia tinggal dan mengenal keluarga Papa Raffi. Karena setiap akhir pekan akan ada acara kumpul keluarga dan teman-teman dekat Papa Raffi. Barry adalah anak tunggal dari sahabat paling dekat Papa Raffi dan setiap minggu Barry pun ikut hadir. Setiap akhir pekan itu juga Arumi selalu melihat Barry dan Luna berduaan. Barry sudah seperti pangeran berkuda untuk Luna karena selalu siap menjadi pelindung dan berperang untuknya. Termasuk berperang melawan Arumi yang jahat. Jadi tidak heran jika Arumi mengira mereka sangat dekat dan berpacaran, mungkin kelak ketika dewasa mereka akan menikah. Mungkin setelah Luna menjadi dokter .

“Kami emang dekat, selalu berdua ke mana pun dan di mana pun. Tapi, bagiku Luna adalah adik kecilku. Aku sayang sama dia tapi tidak mencintainya”

Tapi sepertinya Luna tidak begitu, batin Arumi.

Hening cukup lama, Barry menatap lekat Arumi. Menunggu jawaban wanita itu tapi Arumi tidak mengatakan apa pun selain menatap pie aple di hadapan mereka. “Usia kami terpaut delapan tahun dan sejak dulu aku menginginkan adik perempuan. Karena Mommy nggak bisa punya anak lagi, jadi Luna kujadikan sebagai pengganti adik yang nggak pernah ada. Aku jaga, aku lindungi sampai nanti ada cowok yang bisa gantiin posisi itu.”

Arumi mengangguk, ia tidak pernah mendengar seseorang mencurahkan isi hatinya. Apalagi itu datang dari seorang Barry. “Luna pasti terluka,” ucap Arumi tanpa ada rasa sedih atau pun membela Luna. Hanya diucapkan untuk menjawab Barry.

“Aku tahu. Dia nyatain perasaannya ke aku tiga tahun yang lalu, aku coba jelasin ke dia kalau buat aku dia adik perempuan yang harus kulindungi. Dia nangis waktu itu dan sejak hari itu hubungan kami jadi renggang. Aku nggak tahu harus bersikap gimana ke Luna aku takut dia semakin sedih.” 

Baiklah, ini terlalu banyak.  Arumi mendesahkan napasnya dan menyudahi curhatan Barry. “Nanti juga akan baik lagi. Luna nggak pernah marah lebih dari sehari.”

Barry menggeleng. “Arumi. Luna bukan cuma marah, dia sakit hati karena sudah ditolak sama cowok yang dia suka sejak kecil.”

“Itu tahu. Kenapa masih dibuat sedih? Nikahin aja biar nggak jadi masalah dan hubungan kalian akan baik-baik aja selamanya.” Arumi hilang kesabaran karena kesal Barry tidak mengerti maksudnya ingin menyudahi pembicaraan ini. Otaknya belum terlatih untuk memberikan penghiburan pada orang yang sedang curhat.

“Tidak semudah itu, Arumi,” jawab Barry tanpa melepaskan pandangannya dari Arumi. “Aku mencintai perempuan lain.”

Wah...itu baru mengejutkan

Arumi menaikkan alisnya, dia tidak pernah menunjukkan banyak ekspresi tapi kali ini rona terkejut jelas terpampang di wajahnya. Terkadang sikap seseorang bisa berbanding jauh terbalik dari aslinya. Terlihat sangat mencintai Luna, tapi ternyata tidak. 

Arumi berusaha menemukan jawaban untuk pernyataan Barry, tapi tidak satu pun yang nyangkut dan syukurlah saat itu juga suara pintu-pintu mobil terbanting menutup menyelamatkannya. Ia mengembuskan napasnya lega tak kala bergerak menuju ruang tengah dan tahu pasti Barry menyusul di belakangnya karena aura maskulin begitu kuat terasa di punggungnya. 

“Selamat datang di rumah Dokter Luna.” Suara Papa Raffi terdengar membahana saat ia memasuki rumah dan Arumi kembali bernapas lega karena akhirnya ia terbebas dari curhatan Barry. 

 

***

Hubungan Barry dan Luna memang bermasalah. Itu jelas terlihat dari cara mereka yang saling menghindari tatapan satu sama lain. Meski duduk jauh dari orang-orang yang sedang mengobrol di ruang bersantai, Arumi tetap bisa mengamati dengan seksama dari balik piano di ruang keluarga. Ia memutar-mutar gelas berisi air berwarna merah di atas piano sambil mendengarkan dan mengamati pembicaraan yang berlangsung di sana. 

Sebagian isi dari obrolan itu adalah kebanggan Papa Raffi dan Mama Cindy pada Luna, sebagian lagi berisi perjuangan Luna yang akhirnya berhasil mengambil gelar dokternya karena menurut cerita Mama Cindy, Luna sempat mogok belajar dan tidak ingin koas setelah lulus Sarjana Kedokterannya. Luna merasa lelah dan tidak sanggup melanjutkan karena ternyata untuk menjadi dokter butuh kerja dan usaha keras. Namun dengan sangat perhatian Mama Cindy menyemangati Luna. Akhirnya setelah beberapa bulan, Luna berhasil lulus menjadi Sarjana Kedokteran, kemudian selama dua tahun ia mengikuti Koas, ia boleh mengikuti Ujian kedokterannya dan berhasil lulus dalam sekali ujian saja. Itulah yang membuat Papa Raffi dan Mama Cindy bangga karena di saat sebagian orang harus berjuang mengikuti ujian berkali-kali karena gagal dan gagal lagi, tapi Luna mampu lulus hanya dalam satu kali ujian saja.

Arumi mengerutkan dahinya, ia tidak mengira untuk menjadi dokter saja harus serumit itu. lantas, setelah berhasil menjadi dokter Luna sudah bisa buka praktik dokter?

“Udah lega dong sekarang ya, Lun?” tanya tante Rita – Mama Barry-.

“Alhamdulillah tante. Akhirnya bisa bernapas lega.” Suara Luna terdengar halus dan merdu. Selalu membuat orang terbuai karenanya. 

“Eh, tapi abis ini ada intership, kan?” tanya Om Samsul – Papa Barry- sambil melirik ke arah putranya yang dijawab dengan anggukan oleh Barry.

“Iya, tapi pembukaan intershipnya masih dua bulan lagi. Jadi masih bisa santai,” jawab Mama Cindy sambil mengusap pelan lengan Luna.

“Tapi nggak boleh santai juga, Cin. Selagi menunggu Luna boleh ikut praktik di klinik-klinik kan?” lagi-lagi Om Samsul menoleh pada Barry karena ia takut salah.

“Boleh kok, kayak klinik dua puluh empat jam. Pasti butuh banyak dokter,” jawab Barry.

“Loh, nggak bisa gitu di rumah sakit kamu? Jadi asisten kamu gitu?” Tanya Mama Cindy dengan senyum tersirat.

Barry tersenyum, “belum bisa, Tante. Luna harus intership dulu di rumah sakit pilihan dari kementrian kesehatan selama dua tahun baru boleh praktek atau melamar kerja di rumah sakit. Itu bentuk pengabdian para dokter sebelum mendapat izin praktek. Kalau ikut di klinik bisa menambah pengalaman dan setidaknya Luna bisa dapat sedikit penghasilan dari sana.”

Mama Cindy mengangguk sambil melirik ke arah suaminya.

“Semua tergantung Luna. Dia mau istirahat dulu nggak apa-apa, mau ikut jaga klinik juga nggak apa-apa. Yang penting dia senang melakukannya,” jawab Papa Raffi bijaksana.

Arumi tersenyum miring. Papa Raffi tidak pernah mendesak atau menolak keputusan Luna. Selalu dibebaskan memilih dan dimanjakan. 

“Lama juga ya harus menunggu dua tahun lagi. Nak Barry juga begitu ya? Apalagi sampai ngambil lagi sekolah spesialis bedah sarafnya.”

Alis kanan Arumi terangkat. Jadi Barry sekarang dokter spesialis bedah saraf? Dia tidak pernah tahu itu. Sudah lama ia tidak bertemu Barry. Terakhir bertemu adalah di pesta kelulusan gelar dokter Barry seperti Luna saat ini dan yang Arumi tahu Barry terlempar jauh di ujung pulau sumatera untuk interhipnya selama dua tahun. Setelah itu, ia tidak pernah tahu lagi beritanya karena ia sudah keluar dari rumah ini.

“Selama sekolah lagi saya tidak pernah melihat Barry tidur di rumah. Rumah sakit sudah menjadi rumah baginya.” Tante Rita menggelengkan kepalanya frustrasi. “Sekarang setelah lulus jadi dokter spesialis di rumah sakit ternama tetap membuatku pusing.”

“Kenapa tetap pusing, Mbak Rit?”

“Karena dia belum juga punya istri padahal usianya sudah tiga puluh empat tahun.”

Arumi memutar matanya saat mendengar suara dramatis Tante Rita. Di jaman serba canggih seperti ini bukankah wajar jika seseorang belum menikah di usia segitu?

“Iya, saya juga khawatir sama Luna. kalau dia terlalu fokus belajar seperti barry nanti gimana? Lama juga baru punya suami? Sekarang usia kamu kan sudah dua puluh enam ya, Lun?”

Arumi mengembuskan napasnya panjang. Hadeeehh...ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Pasti perjodohan. “Barry dan Luna sudah lama dekat dan cocok kenapa tidak kita nikahkan saja?” Endingnya akan seperti ini.

Arumi berdiri dari kursi di balik pianonya dan membawa gelas yang sudah kosong di tangannya ke arah dapur, yang artinya ia harus melewati orang-orang yang sedang berbincang itu. Ia sama sekali tidak peduli karena ibunya lebih mengkhawatirkan status Luna yang masih melajang di usia dua puluh enam tahun di bandingkan dirinya yang juga belum menikah di usianya yang sudah dua puluh sembilan tahun. Itu sudah jadi makanannya sehari-hari setelah ibunya menikah lagi. Ia menjadi nomor dua dan selalu seperti itu sampai saat ini. dan Arumi tidak kaget lagi, ia pun sudah terbiasa.

“Jadi bagaimana kalau kita...”

Kan...sudah bisa ditebak. Arumi berjalan melewati punggung Papa Raffi, Mama Cindy dan Luna. Ia menoleh dan tidak sengaja bertatapan dengan Barry. Laki-laki itu tidak lepas membalas tatapannya, ada sedikit sinar yang membuat Arumi berpikir kalau barry minta pertolongan. 

Barry minta tolong pada Arumi? itu hal yang mustahil. Musuh bebuyutan minta tolong pada si tukang rusuh.

“Jodohkan...”

“Barry sudah punya pacar.” Barry memotong ucapan Mama Cindy. Semua terdiam termasuk Arumi yang berhenti melangkah. Bukan karena ucapan Barry mengejutkannya, tapi tatapan Barry yang begitu kuat menghipnotisnya. 

“Apa?” entah siapa yang bersuara.

“Dan, kami berniat untuk menikah.” Barry terlihat salah tingkah, namun masih mampu memberikan cengirannya dan tiba-tiba saja ia menunjuk Arumi dengan dagunya. “Ya Kan, Rumi?”

Arumi berkedip sebagai jawabannya, ia sadar betul kalau Barry menjadikan dirinya sebagai tameng untuk melindunginya dari perjodohan itu. Jika saja ia orang yang baik hati, ia akan menolong Barry. Tapi, tentu saja dia tidak bersedia. Sejak kapan Arumi menjadi penolong musuhnya sendiri? 

Tapi...ekor matanya melirik pada Luna. Gadis itu menatapnya penuh harap. Berharap semua yang Barry katakan adalah omong kosong. Dari sanalah, sisi jahat yang selama beberapa tahun ini tertidur akhirnya bangun kembali. Kapan terakhir ia berniat untuk menyakiti Luna? sejak tidak tinggal bersama lagi. Sudut bibirnya menyunggingkan sebuah senyum licik. 

Oh...Luna yang malang, kau akan menangis dalam kubangan patah hatimu, sayang.

.

.

.

bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Cinderella Step Sister Bab 2
7
2
Cuplikasn Sebelumnya Arumi berkedip sebagai jawabannya, ia sadar betul kalau Barry menjadikan dirinya sebagai tameng untuk melindunginya dari perjodohan itu. Jika saja ia orang yang baik hati, ia akan menolong Barry. Tapi, tentu saja dia tidak bersedia. Sejak kapan Arumi menjadi penolong musuhnya sendiri? Tapi...ekor matanya melirik pada Luna. Gadis itu menatapnya penuh harap. Berharap semua yang Barry katakan adalah omong kosong. Dari sanalah, sisi jahat yang selama beberapa tahun ini tertidur akhirnya bangun kembali. Kapan terakhir ia berniat untuk menyakiti Luna? sejak tidak tinggal bersama lagi. Sudut bibirnya menyunggingkan sebuah senyum licik. Oh...Luna yang malang, kau akan menangis dalam kubangan patah hatimu, sayang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan