
Di dunia yang terus melaju tanpa menoleh ke belakang, hal-hal kecil sering terlewat: percakapan yang terhenti, keputusan yang ditunda, atau harapan yang menggantung di antara langit dan tanah.
Keterputusan adalah kumpulan cerita sangat pendek tentang orang-orang biasa di Indonesia—mereka yang duduk di warung, berdiri di halte, atau menatap langit-langit kamar dalam diam. Fragmen-fragmen sederhana yang menyimpan makna dalam, menghadirkan jeda di tengah ketidakpastian, tempat kita diam-diam mulai memahami diri sendiri.
DAFTAR ISI
- Anjing Penjaga Gudang yang Lupa Cara Bermain
- Sandal Bagus di Tempat yang Salah
- Grup Whatsapp RT
- Jaring Terakhir
- Timbangan Rusak di Warung
ANJING PENJAGA GUDANG YANG LUPA CARA BERMAIN
Ia tak punya nama. Atau mungkin dulu pernah punya, tapi tak pernah dipanggil cukup sering untuk mengingatnya. Orang-orang memanggilnya "Anjing Gudang", dan itu pun lebih sering dalam obrolan antar manusia, bukan langsung kepadanya. Dia hanya sebuah nama panggilan tanpa makna yang jelas, sebuah label yang menggambarkan fungsinya, namun bukan identitasnya. Bahkan jika dia bisa mengingat namanya, mungkin itu akan terasa asing baginya—sebuah konsep yang terlalu jauh untuk dijangkau.
Sejak kecil, ia ditempatkan di sana—sebuah gudang beras di pinggir kota kecil yang tidak tumbuh-tumbuh. Gudangnya besar, dindingnya seng, lantainya dingin, dan penuh aroma tajam karung-karung beras yang tak pernah benar-benar bersih dari debu. Setiap sudut gudang itu tercetak dalam memori indah dan penuh kejelasan. Bau beras, suara gesekan karung di atas lantai, ritme langkah kaki yang berpindah-pindah, semua itu adalah bagian dari dunia yang tidak pernah berubah.
Ia dilatih untuk satu hal: berjaga. Keberadaannya adalah pengingat bahwa dunia ini tak selalu berputar pada kebahagiaan atau kepuasan, melainkan pada tugas yang harus dijalankan.
Gonggong kalau ada yang masuk. Gigit kalau perlu. Jangan pergi jauh-jauh. Jangan main-main.
Dan ia patuh. Sejak gigi masih kecil, tubuh masih kurus, hingga rambut mulai rontok di dekat telinga dan tulang belakangnya mulai naik seperti gundukan tanah kering—ia selalu berjaga. Tidak ada yang tahu bahwa di balik tugas itu, ia hanya memiliki satu tujuan: menjaga, dengan harapan bahwa suatu hari, jika ia cukup setia, ia akan dipanggil dengan nama atau diberikan perhatian, bahkan jika hanya untuk sesaat.
Pagi hari, sebelum matahari naik, ia akan mengelilingi gudang. Melewati tumpukan palet, truk-truk parkir, dan sudut-sudut yang sudah ia hafal bau dan nadanya. Baginya, setiap gerakan adalah bagian dari pekerjaannya. Setiap bau adalah tanda adanya potensi ancaman. Setiap suara adalah kode yang harus diartikan. Kalau ada tikus lewat, ia kejar. Kalau ada orang lewat, ia awasi. Ia tidak pernah lelah melakukan ini—karena itu adalah hidupnya. Bahkan ketika ia lelah, ia akan tidur sebentar di bawah truk tua yang sudah lama tidak hidup. Semua itu adalah rutinitas yang membentuknya, dan ia merasa nyaman dalam kepastian tersebut.
Tak pernah ada bola yang dilempar ke arahnya. Tak ada yang mengelus kepalanya sambil bilang, “Anjing pintar.” Ia tidak tahu apa itu pelukan, tak pernah tahu makna bermain. Baginya, duduk diam dan siaga adalah cinta. Gonggongan keras adalah pujian. Tugas adalah napas.
Namun, perubahan mulai datang secara perlahan. Truk-truk yang biasa datang untuk mengirim barang mulai berkurang. Waktu yang dulunya terasa penuh dengan aktivitas, kini berubah menjadi sunyi yang menekan. Namun, ia tetap berjaga. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan jika ia bisa merasakan perubahan itu, ia tetap setia pada rutinitasnya.
Sampai suatu hari, truk tidak datang lagi.
Awalnya ia berpikir ini hanya libur. Dulu pernah ada libur Lebaran, gudang sepi dua hari. Tapi ini sudah hampir seminggu. Tak ada langkah sepatu, tak ada suara tawa sopir, tak ada bunyi palet diturunkan. Ia berkeliling lebih sering dari biasanya. Menunggu.
Ia menggonggong satu malam. Tidak pada siapa-siapa, hanya untuk memecah hening yang terlalu lama. Suaranya terdengar aneh di ruang kosong. Ia menunggu balasan—mungkin gonggongan dari jauh, mungkin suara manusia. Tapi tak ada. Hanya angin dan bau karung lama.
Lalu, datanglah hari ketika papan kayu dipaku di gerbang: “DIJUAL.”
Ia tidak bisa baca, tapi bau cat baru dan suara palu menancapkan sesuatu ke dadanya. Pekerja datang, membongkar isi gudang. Beras terakhir diangkut, mesin dibongkar, truk terakhir keluar sambil batuk-batuk seperti orang tua yang malas bangun pagi.
Dan ia mencoba ikut. Ia mencoba untuk memahami, mencari tahu apa yang terjadi. Tapi seorang laki-laki muda menyuruhnya masuk kandang sementara. “Nanti dilepas, dia juga udah tua, males urus. Biarin aja.”
Dan benar. Tiga hari kemudian, ketika semua selesai, pintu kandangnya dibuka. Tidak ada pelukan perpisahan, tidak ada kata “terima kasih.” Hanya bau oli dan debu yang tertinggal. Tak ada yang peduli lagi.
Ia berdiri. Sendirian.
Tak ada tempat pergi. Ia tak tahu dunia di luar pagar. Jadi ia kembali ke tempat satu-satunya yang ia tahu: duduk di depan gudang kosong. Pintu sudah digembok. Lampu tak menyala lagi. Tapi ia tetap duduk, menatap, menjaga sesuatu yang sudah tak ada. Ia tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan dengan hidupnya. Semua yang ia tahu adalah menjaga. Itu adalah tujuan hidupnya—tugas yang diberikan kepadanya, yang membentuk segala eksistensinya.
Warga mulai memperhatikan. “Masih ada aja itu anjing gudang,” kata seseorang. Lalu berlalu.
Anak-anak kadang lempar kerikil dari jauh. Ia tidak marah. Ia hanya menoleh sebentar, lalu kembali duduk. Ia tidak tahu harus ngapain lagi. Hanya duduk. Menunggu. Mungkin ada sesuatu yang ia cari, atau mungkin hanya ada kebiasaan yang membuatnya tetap di sana.
Beberapa malam ia menggonggong pada bulan. Mungkin bulan adalah maling, pikirnya. Tapi bulan tak pernah lari. Dan malam tetap datang.
Hujan mulai turun lebih sering. Truk-truk lain lewat di jalan raya, tapi tidak berhenti. Gudang tetap kosong. Tapi ia tetap di sana, duduk. Sesekali tidur sebentar di bawah langit terbuka, lalu bangun dengan telinga tegak. Ia tidak tahu kenapa. Ia hanya melakukannya karena itu yang selalu ia lakukan.
Bau karung masih ada di lantai. Itu cukup membuatnya tinggal.
Lama-lama, tubuhnya mengering. Kaki mulai gemetar kalau ia berdiri terlalu cepat. Tapi ia tetap duduk tegak di pagi hari, seperti dulu saat tuannya masih ada. Ia tetap keliling satu putaran kecil, walau napasnya berat. Tak ada karung. Tak ada tuan. Tapi ia berjaga. Ia berjaga bukan karena ada yang bisa dijaga, tapi karena itulah satu-satunya cara ia merasa hidup. Itu satu-satunya yang ia tahu.
Ia berjaga, meskipun dunia sudah berubah di sekitarnya. Ia berjaga, meskipun tak ada lagi yang memperhatikannya. Ia berjaga, karena tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain itu. Itu adalah hidupnya—terbentuk dari pengulangan, rutinitas, dan kesetiaan yang tak terucapkan.
Dan suatu pagi, ia tidak bangun lagi.
Tubuhnya kaku dalam posisi duduk. Matanya setengah terbuka, menghadap pintu gudang yang kini berdebu. Tak ada tangisan, tak ada upacara. Beberapa anak sekolah lewat dan berbisik, “Eh, itu anjingnya mati ya?” Tapi tak ada yang berhenti.
Seorang bapak tua dari warung sebelah cuma geleng-geleng kepala, lalu berkata sambil menyeruput kopi sachet, “Lah, itu anjing gudang ya? Masih ada aja ternyata.”
Lalu ia kembali ke rokoknya. Tak ada yang tahu nama si anjing. Tak ada yang menabur bunga. Tak ada yang bilang dia setia, atau pahlawan, atau baik.
Tapi mungkin di matanya yang sudah tak bisa menutup itu, ia masih berjaga. Menunggu tuannya. Atau maling. Atau sekadar alasan untuk ada.
Pada akhirnya, "Anjing Gudang" bukan hanya seekor anjing tanpa nama, tapi sebuah simbol dari tugas yang diterima tanpa pertanyaan dan kehidupan yang terjalani dengan harapan-harapan yang tak pernah terucapkan. Ia tidak pernah tahu apa arti cinta atau kasih sayang, tapi setia pada satu hal yang ia kenal—peran sebagai penjaga.
SANDAL BAGUS DI TEMPAT YANG SALAH
Aku datang ke masjid dengan niat yang sederhana: salat Jumat, menunaikan kewajiban. Tidak ada ambisi besar. Tapi hari itu aku memakai sandal baruku—bukan sandal mahal, tapi cukup bagus dan bersih. Hadiah dari istriku seminggu sebelumnya. Kulit sintetis, empuk, warna cokelat gelap, sol-nya masih menggigit lantai. Rasanya nyaman dan ringan. Bukan sekadar alas kaki, tapi penanda kecil bahwa aku merawat diriku sendiri.
Masjid itu cukup ramai, seperti biasa. Deretan sandal dan sepatu berjajar tak rapi di depan tangga. Beberapa sudah menguning, sebagian sobek, dan ada yang hanya sebelah. Aku menaruh sandalku agak ke pinggir, tak jauh dari pintu tapi cukup tersembunyi. Aku bahkan sempat menengok sekali lagi sebelum naik ke lantai atas. Ada perasaan kecil, mungkin konyol, bahwa aku sedang berjudi.
Khutbah hari itu bicara soal keikhlasan. Tentang bagaimana kehilangan dunia bukanlah kehilangan yang sesungguhnya. Aku mendengarkan, atau setidaknya mencoba, tapi pikiranku melayang ke bawah. Sandalku. Aku mencoba menenangkan diri. Itu cuma sandal, kataku dalam hati. Tapi tetap saja, aku ingin ia tetap ada.
Begitu salat selesai, aku bergegas turun. Orang-orang berdesakan di tangga, beberapa mulai bercakap soal rencana makan siang. Tapi saat aku tiba di tempat tadi, sandal itu tidak ada. Di tempatnya hanya sepasang sandal spons tipis warna biru, usang, seperti benda yang sudah lama tidak punya pemilik tetap.
Aku celingukan. Berharap seseorang mungkin masih menggenggam sandal baruku, barangkali keliru. Tapi tak ada yang mencurigakan. Semua sibuk dengan kaki masing-masing. Aku tanya ke pria di dekatku, “Pak, lihat sandal cokelat di sini nggak?” Ia hanya menggeleng. Lalu matanya melirik ke arah sandal tipis itu.
“Kalau udah nggak ada, ya udah, Mas,” katanya pelan. “Biasanya gitu.”
Aku masih bertahan. Menunggu. Tapi semakin lama aku berdiri di sana, semakin kutahu sandal itu takkan kembali. Aku menuju pengurus masjid. Seorang bapak tua dengan peci hitam dan rompi hijau duduk di dekat toa.
“Sandal saya hilang, Pak. Baru. Saya yakin tadi taruh di pojok itu.”
Ia mengangguk, tapi bukan simpati yang kuterima.
“Mas bawa sandal bagus ke masjid ya?”
Aku terdiam. “Iya, kenapa?”
“Yah, ya itu... hati-hati aja. Di sini, biasa ketukar. Kalau mahal, mending jangan dibawa ke masjid.”
Aku tercekat. “Tapi kenapa saya yang disalahkan?”
Ia tersenyum datar. “Bukan salah-salahan, Mas. Ikhlas aja. Yang penting salatnya diterima.”
Aku tak menjawab. Ingin marah, tapi entah ke siapa. Ingin membela diri, tapi terasa konyol. Seorang jemaah lain yang ikut mendengar malah menambahkan:
“Bisa jadi itu orang yang kepepet. Sandal Mas bantu dia buat pulang. Hitung-hitung amal.”
Logika itu menggelikan, tapi semua mengangguk seolah mendengar kebenaran. Aku berdiri lama di depan rak sandal. Angin panas siang mulai naik dari aspal. Aku menatap sandal biru tipis itu. Akhirnya, dengan berat hati, kupakai juga. Kendur, licin, dan terasa aneh. Seolah kakiku menolak.
Tapi cerita tidak berhenti di situ. Aku memutuskan mencari. Bukan cuma sandal, tapi kejelasan. Aku menyusuri toko sandal di dekat masjid, berjaga-jaga siapa tahu ada yang menjual kembali barang curian. Tapi tak kutemukan. Aku ke masjid-masjid sekitar, bertanya ke pengurus—semua menanggapiku dengan senyum yang sama: “Sudah biasa.”
“Yang penting Masnya tetap berbuat baik. Ganti rugi ya ganti, tapi jangan sampai niat ibadahnya terganggu,” kata seorang ustaz muda yang kutemui di masjid kecil di ujung jalan.
Aku merasa seperti orang asing dalam negeri yang kuanggap rumah. Seolah-olah aku terlalu peduli terhadap hal sepele. Tapi bagiku, ini bukan soal harga sandal. Ini tentang hak milik. Tentang tidak membuat orang yang kehilangan merasa bersalah.
Aku sempat melapor ke pos polisi dekat pasar. Seorang petugas mendengarkan, lalu tertawa kecil.
“Sandal, Mas? Nggak usah dibikin serius. Udah biasa itu. Mending ikhlasin. Hidup lebih tenang.”
Hari berganti. Aku mulai menyadari satu hal: masyarakat ini tidak benar-benar peduli pada keadilan. Mereka peduli pada ketenangan. Protes dianggap mengganggu harmoni. Orang yang bersuara disebut tidak sabar, tidak berjiwa besar, tidak ikhlas. Kehilangan bukan sesuatu yang ditangisi, tapi diromantisasi. Aku bahkan menemukan brosur pengajian dengan judul “Keindahan di Balik Kehilangan Duniawi”.
Aku pulang berjalan kaki. Sandal biru kutinggal di depan warung. Tak tahan rasanya terus memakainya. Aspal panas menyentuh telapak kakiku. Beberapa anak melihat dan tertawa kecil.
“Pak, sandalnya mana?”
Aku hanya tersenyum. Di depan rumah, tetanggaku melihatku nyeker dan berkata, “Wah, rendah hati sekali. Kayak orang sufi.”
Aku tidak menjawab. Dalam hati, aku berkata:
Untuk dianggap baik, aku harus kehilangan segalanya.
Dan di situlah absurditasnya: kebaikan tidak lagi diukur dari cara kita memperjuangkan kebenaran, tetapi dari seberapa banyak kita sanggup diam dan menerima. Tidak peduli apakah kita dirampas, disalahkan, atau dibungkam—selama kita tenang dan tersenyum, kita dianggap bijaksana.
Malamnya, aku duduk di teras. Kaki telanjangku memijak lantai keramik dingin. Di sudut teras, istriku meletakkan sepasang sandal baru, mirip dengan yang hilang. Aku tak langsung memakainya. Ada rasa takut, bukan karena kehilangan lagi, tapi karena tahu aku akan kembali dianggap terlalu peduli.
Karena di dunia ini, ternyata, membawa sandal bagus bisa jadi sebuah kesalahan.
Dan bersuara bisa lebih berdosa dari mencuri.
GRUP WHATSAPP RT
Aku baru saja pindah ke sebuah kompleks perumahan yang tampak tenang dan teratur. Barisan rumah-rumahnya seragam, warna catnya netral, tidak mencolok. Pohon-pohon ditanam dengan jarak yang sama, rumput selalu pendek, dan suara jangkrik terdengar lebih teratur daripada radio. Tempat ini tampak seperti jawab atas doa orang-orang kota yang kelelahan: tenang, bersih, dan teratur. Aku pindah ke sini dengan harapan sederhana—untuk hidup lebih damai, lebih jauh dari kekacauan, lebih dekat pada sesuatu yang teratur.
Tapi aku tak menyangka bahwa keteraturan itu memiliki caranya sendiri untuk menggulung orang.
Aku pertama kali dimasukkan ke grup WhatsApp RT sehari setelah pindah. Ketua RT mengirim undangan lewat pesan pribadi, menyapaku dengan ramah, lalu berkata: “Biar bisa ikut koordinasi, ya.” Saat aku klik tautannya, aku masuk ke grup dengan ratusan pesan belum terbaca. Sebagian besar pengumuman, ucapan terima kasih, foto-foto kegiatan, dan kadang beberapa obrolan ringan yang cepat berlalu. Grup itu tampak formal, tapi juga akrab. Tidak kasar, tapi juga tidak sepenuhnya hangat. Ada semacam irama yang kukira hanya akan kutonton dari jauh.
Selama beberapa minggu pertama, aku hanya mengamati. Aku pikir, tidak ada salahnya untuk tidak terlalu cepat ikut bicara. Aku lebih suka mempelajari cara kerja suatu tempat sebelum melibatkan diri. Tak ada yang memprotes. Tapi aku mulai sadar bahwa meskipun tidak ada yang mempermasalahkan diamku, mereka mencatatnya. Bukan dalam bentuk catatan tertulis, tapi dalam bentuk sikap—respon yang lambat, emoji yang hilang, balasan yang tak pernah datang. Tak ada yang terang-terangan, tapi aku bisa merasakannya seperti udara yang berubah dingin tanpa angin.
Suatu hari, aku iseng bertanya, “Apakah ada laporan dana iuran bulan lalu yang bisa dibagikan?” Kupikir pertanyaanku wajar—aku terbiasa hidup di lingkungan yang lebih terbuka soal keuangan bersama. Tapi pertanyaan itu jatuh seperti batu di danau tanpa gema. Tak ada balasan. Chat berikutnya muncul sejam kemudian dari orang lain, membahas pemangkasan pohon di taman. Seolah-olah pesanku hanyalah jeda hening yang tak perlu diakui. Bahkan yang biasa rajin mengirim stiker lucu pun tak berkata apa-apa.
Beberapa hari setelah itu, aku mencoba lagi. Kali ini dengan lebih hati-hati. Aku bertanya, “Kerja bakti berikutnya kapan ya? Siapa tahu bisa bantu lebih awal.” Pesan itu dibaca, tapi tanggapannya seperti mesin yang sedang error: “Nanti dikabari.” Dan selesai. Tak ada “terima kasih”, tak ada “wah, semangat ya Pak”, seperti yang biasa mereka lontarkan ke satu sama lain. Rasanya seperti mengetuk pintu rumah yang kau tahu ada penghuninya, tapi mereka memilih diam di balik tirai.
Perlahan, aku mulai merasakan sesuatu berubah di luar grup juga. Satpam yang dulu menyapaku kini hanya mengangguk sekilas. Tetangga yang dulu tersenyum ketika aku menyiram tanaman kini hanya melihat ke arah lain. Anak-anak kecil yang bermain sepeda tidak lagi berhenti untuk menanyakan namaku. Semua ini tidak kasatmata, tidak frontal, tapi cukup jelas untuk dirasakan.
Aku mulai merasa seperti berjalan di tengah pertunjukan di mana aku satu-satunya yang tidak diberi naskah.
Orang-orang tampaknya hidup dengan mengikuti skrip—aturan-aturan tak tertulis yang membentuk keseharian mereka. Tidak tertulis, tapi jelas ada. Tidak diatur, tapi semua patuh. Siapa yang harus mengirim ucapan ulang tahun di grup, siapa yang akan membalas pertama, berapa lama maksimal seseorang boleh tidak ikut gotong-royong sebelum dianggap malas. Semua itu tidak pernah diumumkan secara resmi, tapi semuanya tahu. Dan siapa pun yang melanggar, akan merasakannya seperti aku: bukan dalam bentuk marah atau kritik, tapi dalam bentuk hening, penolakan halus, dan jarak yang tak bisa dijelaskan.
Aku ingin melawan. Ingin tetap menjadi diriku sendiri. Tapi setiap kali aku mencoba, aku merasa semakin terasing. Tidak ada yang benar-benar menyakitiku, tapi aku merasakan luka kecil setiap hari—ketika tidak diajak dalam percakapan, ketika tak direspons meski sudah menyapa, ketika namaku tak disebut dalam daftar apresiasi karena tak hadir di kegiatan yang bahkan tidak pernah kuanggap penting.
Akhirnya, aku menyerah.
Aku mulai hadir di kerja bakti, meskipun aku tak yakin pekerjaanku benar-benar dibutuhkan. Aku menyumbang saat ada acara, meskipun aku tak ingin datang. Aku mengirim emoji ketika orang lain ulang tahun, aku membalas pesan meski isinya tak penting. Aku ikut bercanda dengan gaya yang tidak kumengerti sepenuhnya. Aku belajar menyusun kata dengan ritme mereka, belajar kapan harus diam, kapan harus mengangguk.
Perlahan, kehangatan itu kembali. Senyuman kembali muncul, satpam mulai menyapaku lagi. Seorang tetangga bahkan meminjamkan alat kebunnya padaku. Semua kembali “baik-baik saja”.
Tapi aku tahu, aku telah berubah. Bukan karena mereka memaksaku secara langsung. Tapi karena aku ingin bertahan.
Aku tak lagi bertanya soal transparansi. Aku tak lagi penasaran tentang mengapa harus begini atau begitu. Hidupku kini bergerak sesuai rel mereka. Tapi aku kehilangan ruang untuk memilih. Aku kehilangan ruang untuk berbeda.
Setiap hari, aku berdiri di depan cermin dan mencoba mengingat bagaimana rasanya jadi diriku yang dulu. Tapi bayangan itu semakin kabur. Mungkin, ini memang bagian dari menjadi warga. Bagian dari menjadi “bagian”. Tapi saat malam datang dan grup WhatsApp kembali ramai dengan basa-basi yang harus kuikuti, aku tahu bahwa aku bukan lagi penonton. Aku telah menjadi pemain. Dan untuk tetap di panggung ini, aku harus terus memainkan peran yang tidak pernah kutulis sendiri.
JARING TERAKHIR
Aku terbangun di dasar gelas.
Licin. Bening. Terlalu tinggi untuk seekor laba-laba.
Mungkin aku jatuh. Mungkin terperangkap. Yang pasti, aku sendirian.
Tak ada peringatan. Tak ada tanda.
Seperti hidup, bukan?
Tak pernah menyapa sebelum menghukum.
Aku... seekor laba-laba. Tubuh kecil. Delapan kaki.
Tapi pikiranku—aku yakin—lebih gaduh dari kepala manusia paling menderita sekalipun.
Awalnya kupikir ini hanya akan jadi percobaan singkat.
Aku mencoba memanjat dinding kaca,
menginjak sisa-sisa debu yang nyaris tak ada.
Tapi tak ada tekstur. Tak ada titik tumpu.
Aku jatuh. Dan jatuh. Dan jatuh lagi.
Yang lucu, tak ada yang menyaksikan.
Bahkan waktu pun menolak menjadi saksi.
Aku mulai bertanya: apakah ini kematian?
Ataukah ini kehidupan yang sebenarnya—
Tempat kita hanya bisa melihat keluar,
tapi tak pernah benar-benar menyentuh apa yang kita lihat?
Atau mungkinkah... inilah makna dari "kehilangan kendali"?
Sebab, tak ada yang lebih menakutkan daripada tubuh yang tak bisa diselamatkan oleh pikirannya sendiri.
...
Tapi diam-diam, tubuhku mulai bergerak sendiri.
Merajut.
Tak tahu dari mana benangnya berasal.
Mungkin naluri. Mungkin harapan.
Mungkin... cinta.
Lapisan pertama jaringku tipis. Hampir tak terlihat.
Tapi aku menatapnya seperti seorang ayah menatap anak pertamanya.
Canggung. Gagal. Tapi hangat.
Kugantungkan diriku padanya—dan aku jatuh lagi.
Tapi saat itu, aku mulai ingat sesuatu.
Sebuah suara. Suara ibuku:
"Kalau kamu pernah jatuh, setidaknya kamu pernah mencoba naik."
Ibuku.
Wajahnya kabur. Tapi sarangnya… hangat, lembap, aman.
Adik-adikku.
Mereka terlalu muda untuk mengerti dunia, tapi cukup pintar untuk mencintaiku.
Kami pernah tidur bertumpuk, saling menjaga kehangatan.
Kami tak pernah tahu siapa yang paling lelah. Kami hanya saling diam. Saling hadir.
Aku merindukan mereka dengan cara yang bahkan aku tak tahu bisa kurasakan.
Aku baru sadar: rindu tak selalu menyakitkan. Kadang ia hanya… diam.
Menunggu di sudut gelap, sampai kau cukup hancur untuk melihatnya.
Lalu datang suara lain.
Lebih berat. Lebih lambat. Tapi tak kalah akrab.
Ayahku.
"Bukan tugas dunia untuk memberimu jalan.
Tapi tugasmu untuk membuat jalan,
walau tak ada dunia yang menunggu di ujungnya."
Ayahku tidak hangat seperti Ibu. Tapi dalam diamnya, ada keteguhan.
Kakinya pernah patah karena perangkap manusia.
Tapi ia tetap berjalan. Walau pincang.
Ia tak pernah mengutuk manusia.
Ia hanya berkata,
“Semua makhluk bertahan dengan cara yang berbeda.”
Sejak itu, caranya menenun berubah: lebih hati-hati, lebih terukur.
Dan lebih sunyi.
Aku pernah menirunya. Tapi sarangku selalu cacat.
Kini, dari dalam gelas ini, aku belajar: cacat adalah bentuk lain dari kejujuran.
Mereka berdua seperti kutub:
Ibu adalah cahaya kecil yang menghibur gelap,
Ayah adalah gelap yang mengajari cara melihat tanpa cahaya.
Aku lahir di antara keduanya.
Belajar mencintai keduanya dalam diam.
Dan sekarang, di dalam gelas ini,
Kenangan mereka datang bukan sebagai pelipur lara,
Tapi sebagai fondasi dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan:
keinginan untuk terus menjahit.
Aku menenun lagi.
Lapisan kedua.
Lapisan ketiga.
Jaringku kini menjulur setengah tinggi gelas.
Setiap simpul benang adalah kenangan.
Tentang tawa.
Tentang takut.
Tentang hari ketika kami hampir dimakan burung,
tapi berhasil bersembunyi di balik tirai.
Tentang malam pertama kami ditinggal ayah pergi.
Tentang suara ibu yang tetap bernyanyi meski tahu ia sedang menangis.
Lucu.
Aku membangun jalan keluar, tapi tiap sentimeter benangnya justru membawa aku lebih dalam ke masa lalu.
Tapi begitulah harapan bekerja, bukan?
Ia bukan tentang masa depan.
Ia tentang sesuatu yang sudah lama hilang,
tapi kita ingin percaya masih bisa ditemukan.
Kadang, aku membayangkan jika aku berhasil keluar dari gelas ini,
apa yang akan kulakukan?
Mencari keluarga? Membuat sarang baru?
Atau hanya duduk di sudut dunia dan mengulang semua ini dalam kepala?
Mungkin jawabannya tak penting.
Karena harapan tidak selalu butuh tujuan.
Ia hanya butuh alasan untuk tidak menyerah.
Aku mulai lelah.
Tubuhku gemetar.
Kaki-kakiku seperti karat.
Dan benang… mulai habis.
Aku tahu. Aku tahu aku tidak akan sampai.
Tapi aku terus.
Terus.
Terus.
Karena jika aku berhenti sekarang, maka semua jaring ini tak lebih dari sarang kosong.
Dan aku tidak ingin mati sebagai makhluk yang menyerah.
Ketika benang terakhir kulepaskan,
Aku sudah hampir sampai ke bibir gelas.
Jaraknya tak lebih dari dua tubuhku.
Tapi aku tahu aku tak punya tenaga lagi.
Aku menggantung di sana.
Seperti titik koma dalam kalimat yang tak selesai.
Aku tidak menjerit. Tidak marah. Tidak menangis.
Aku hanya diam.
Menatap ke atas.
Ada cahaya samar dari luar gelas.
Mungkin matahari. Mungkin lampu. Mungkin ilusi.
Tapi tetap saja, ada cahaya.
Dan untuk sesaat, aku percaya... itu cukup.
Jika aku mati sekarang,
Aku mati bukan sebagai makhluk yang menyerah,
Tapi sebagai makhluk yang menjahit harapan,
Meski tahu tak akan keluar dari gelas ini.
TIMBANGAN RUSAK DI WARUNG
Aku selalu membeli beras di warung yang sama.
Letaknya tak jauh dari rumah—hanya dua tikungan, satu jembatan kecil, dan deretan pagar besi yang telah kehilangan warna. Di sana, di bawah spanduk yang memudar karena matahari, warung itu berdiri. Setiap hari aku datang pukul tujuh kurang lima menit. Aku datang sebelum ayam benar-benar bangun, sebelum matahari punya keberanian untuk menjadi panas.
Warung itu tidak besar. Hanya ruang sempit berisi karung-karung kebutuhan dasar dan seorang perempuan yang dipanggil semua orang sebagai Bu Sari. Aku tidak pernah menanyakan nama aslinya. Mungkin aku takut tahu. Mungkin aku hanya ingin segalanya tetap seperti biasa.
Dan seperti biasa pula, setiap kali aku membeli beras satu kilogram, timbangan digital itu menunjukkan angka yang sama: 968 gram.
Awalnya aku diam saja. Mungkin alatnya belum dikalibrasi. Mungkin memang tidak bisa akurat. Atau mungkin aku yang terlalu cerewet, terlalu teliti pada sesuatu yang sepele.
Tapi setelah hari ketiga, keganjilan itu mulai mengusik. Dan pada hari keenam, aku tak bisa lagi diam. Aku menyebutkan hal itu pada Bu Sari.
“Oh, itu mah biasa,” katanya dengan suara ceria. “Timbangannya kadang error. Lagian juga cuma beda dikit. Nggak akan bikin Bapak miskin, kan?”
Aku tersenyum waktu itu. Tapi bukan senyum yang jujur. Ada sesuatu yang bergerak lambat di dalam dadaku. Seperti pasir yang bergeser sedikit demi sedikit, menciptakan lubang.
Aku pulang membawa beras, tapi tidak membawa ketenangan.
Keesokan harinya, aku membawa timbangan kecil dari rumah. Milik ayahku. Dulu ia sering menimbang barang-barang bekas, dan alat itu membantunya menakar nilai dari yang dianggap tak berguna. Sekarang alat itu milikku. Dan dengan alat itu aku menguji beras dari warung Bu Sari. Hasilnya? Sama. 968 gram. Lalu aku mencoba warung lain. Kadang 972. Kadang 1003. Tidak ada yang pasti. Tidak ada yang presisi. Dan yang paling membuatku resah: semua orang tampaknya tidak peduli.
Aku mulai mencatat. Setiap gram yang meleset, setiap penjual yang tertawa ringan sambil berkata, “Namanya juga alat.” Semua itu kutulis dalam buku kecil bersampul biru. Buku itu kutaruh di saku depan jaketku. Sejak saat itu, aku tidak pernah keluar rumah tanpa membawanya.
Tapi catatan itu tak memberi jawaban. Hanya daftar panjang ketidakakuratan yang tak bisa diperkarakan.
Lalu aku mulai menimbang hal-hal lain.
Bukan hanya beras.
Aku menimbang waktu yang diberikan bosku, saat aku berbicara tentang ideku. Sepuluh detik. Lalu ia melirik gawai dan berkata, “Ya, nanti kita bahas.”
Aku mulai menimbang pikiranku. Apakah cukup jernih? Apakah terlalu lama diam bisa dihitung sebagai dosa intelektual? Apakah keraguan itu terlalu berat untuk dipikul sendiri?
Tapi apa ukuran dari “cukup”?
Setiap hari, aku merasa dunia ini adalah timbangan besar yang selalu miring ke satu sisi. Tak pernah benar-benar imbang. Tak pernah benar-benar adil.
Puncaknya adalah ketika aku kembali ke warung Bu Sari dan menyampaikan temuanku.
“Bu, timbangan Ibu salah. Saya sudah cek dan bandingkan dengan tiga warung lain.”
Bu Sari tersinggung. Ia bilang aku menuduhnya mencurangi. Kami berdebat. Aku bicara dengan suara yang lebih tinggi dari biasanya. Ia membalas dengan tatapan yang penuh luka. Tapi di tengah amarah itu, aku sadar: aku tak sedang marah pada Bu Sari. Aku sedang marah pada dunia yang tak bisa kupahami.
Yang kutuduh bukan perempuan itu. Yang kutuduh adalah kenyataan itu sendiri. Realitas yang bisa berubah tergantung siapa yang melihat, tergantung alat apa yang digunakan, tergantung siapa yang punya kuasa atas angka.
Aku pulang tanpa membawa beras. Tapi bebanku justru lebih berat.
Sejak hari itu, aku mulai menimbang tubuhku sendiri setiap pagi.
Kutimbang setelah bangun tidur, sebelum makan, setelah makan, setelah buang air, setelah berpikir terlalu lama. Angkanya berubah terus. Kadang naik satu kilogram tanpa sebab. Kadang turun drastis padahal aku tak melakukan apa pun.
Apa itu berarti tubuhku berbohong? Atau timbangan yang menipuku? Atau mungkin, semuanya berubah tanpa kita sadari, dan kita hanya malas mencatatnya?
Aku mencoba menimbang sesuatu yang lebih halus: rasa bersalah.
Aku berdiri di depan cermin. Kuucapkan satu dosa masa lalu dengan suara pelan, lalu kulihat angkanya. Tak berubah. Tapi di dalam dada, terasa beban. Seperti ada batu yang ditanam tepat di belakang tulang rusuk.
Dosa tidak bisa ditimbang, ternyata. Tapi bisa dirasa.
Dan kadang, rasanya lebih berat dari timbunan batu.
Aku jadi terobsesi.
Aku ukur segalanya. Waktu yang dibutuhkan hujan untuk berhenti. Panjang senyap di antara dua percakapan. Berapa kali aku menghela napas dalam sehari. Berapa langkah menuju kuburan di belakang masjid.
Semua ingin kutimbang. Bukan karena aku ingin tahu jawabannya. Tapi karena aku ingin tahu apakah jawabannya tetap.
Tapi tidak ada yang tetap. Tidak ada yang utuh.
Setiap ukuran adalah hasil kompromi. Setiap angka adalah hasil kesepakatan yang rapuh.
Pagi ini, aku duduk di meja makan. Sendirian. Kukeluarkan nasi dari wadah plastik dan kutaruh di piring. Tak ada suara selain detak jam dan hembus kipas angin.
Sendokku masuk ke piring.
“Hari ini: 468 gram,” gumamku.
Tak ada yang menoleh. Tak ada yang bertanya. Tak ada yang tertawa. Dan itu tidak aneh lagi.
Aku menatap nasi itu lama. Butiran demi butiran. Aku tahu aku harus makan. Tapi pikiranku ke mana-mana.
Aku berpikir, siapa yang bisa pastikan berat kebenaran?
Apa kebenaran itu 1 kilogram penuh? Atau 968 gram yang dibungkus dengan senyum?
Apa dosa itu berat karena isi, atau karena kita tahu itu tak bisa ditimbang?
Apa kebaikan bisa diukur dari banyaknya ucapan, atau justru dari diam yang tidak meninggalkan luka?
Kadang aku merasa aku gila.
Kadang aku merasa aku satu-satunya yang waras.
Tapi yang paling sering, aku merasa aku hanyalah satu titik kecil dalam sistem besar yang tak pernah benar-benar stabil. Dan tugas utamaku adalah mencoba tetap tegak di atas lantai yang terus miring.
Di luar, hujan mulai turun.
Aku menatap jendela. Ada embun. Ada detak jam. Ada cahaya samar dari langit yang tidak yakin mau hujan atau terang.
Aku menggenggam sendok.
Aku tahu aku tak bisa memperbaiki semua timbangan di dunia.
Tapi mungkin, satu-satunya cara bertahan adalah menerima bahwa kita hidup dalam dunia yang tak akan pernah seimbang. Dan tetap menyendok nasi, tetap menimbang, tetap mencatat, meski tahu tak ada yang akan benar-benar akurat.
Dan saat itu terjadi—saat kita tetap melanjutkan meski tak ada kepastian—mungkin di situlah letak keadilan yang sesungguhnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰