
Karmila ingin menenggelamkan dirinya ke dalam Samudra Atlantik, tenggelam dan mati membeku ketika tahu kalau tetangga baru di samping unit apartemennya adalah Pradipta. Ya, Pradipta yang lima belas tahun lalu menolak cintanya mentah-mentah dan mempermalukannya ketika mereka masih berseragam putih abu-abu.
Lima belas tahun, dan semuanya sudah berubah kecuali Pradipta. Lelaki itu masih tengil, kurang ajar, dan sialnya juga masih tampan, tidak berkurang sedikitpun malah semakin bertambah.
Dipta menganggap...
Pertama kali ditawarkan untuk berkenalan dengan putri semata wayang Wirya Haditama, Yoga tentu saja enggan. Apalagi Wirya sendiri yang menawarkannya. Bukan tanpa alasan, siapa yang tidak enggan kalau menjalin hubungan dengan putri dari pemiliki perusahaan.
Belum lagi fakta kalau mereka berasal dari keluarga terpandang. Jika dibandingkan dengan keluarga Yoga tentu tidak ada apa-apanya. Dia hanya putra dari keluarga sederhana yang termasuk beruntung kalau masalah pendidikan.
Yoga berhasil mendapatkan beasiswa penuh di salah satu Universitas Negri ternama. Setelah lulus dengan nilai yang memuaskan dia bergabung di perusahaan ini. Bersama dengan perusahaan Yoga membangun mimpinya hingga berhasil ada di posisi sekarang.
Mulai dari beberapa proyek yang dia tangani, hingga mendapatkan beasiswa dari perusahaan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri dan bekerja di perusahaan cabang, hingga akhirnya mengambil posisi sebagai Wakil Direktur di usia yang belum genap tiga puluh lima tahun. Bagi lelaki biasa yang tidak punya apa-apa ini adalah pencapaian yang luar biasa tentu saja.
Yoga tidak pernah berambisi untuk mendapatkan hal-hal yang rasanya tidak mungkin dia capai. Dia cukup tahu diri. Sejak kecil dia selalu dididik mandiri dan peka terhadap sekitarnya, dan hal tersebut berlanjut menjadi kebiasaan hidup. Seumur hidupnya dia tidak pernah jatuh cinta. Hidupnya sudah terlalu sibuk untuk belajar dan bekerja.
Kalau ditanya apakah dia ingin menikah, tentu saja mau. Dia juga ingin membangun keluarga kecilnya sendiri, hidup dengan pasangan yang sederhana dan tidak merepotkan, meskipun dia belum menemukan pasangannya. Kedua orangtuanya pun terkadang sudah mulai bertanya meskipun tidak mendesak.
Ditengah kebuntuan dan tidak ada jalan keluar begini lagi-lagi atasannya Pak Wirya malah menawarkan ide gila. Berkenalan dengan putri semata wayangnya, barangkali mereka bisa cocok. Tanpa perlu berkenalan juga Yoga sudah tahu kalau mereka tidak akan cocok.
Dia hanya membutuhkan perempuan yang sederhana dan tidak neko-neko. Kalau harus anak konglomerat dia tidak yakin hubungan mereka bisa berjalan dengan baik. Standar dan gaya hidup mereka terlalu berbeda jauh. Karena itu Yoga sudah pesimis duluan, tapi mau menolak juga tidak enak. Jadilah dengan terpaksa dia menerima tawaran untuk berkenalan dengan Karmila Haditama.
Kesan pertama bertemu dengan perempuan itu adalah cantik. Bukan cantik yang sangat, hanya cantik saja. Sopan dan anggun, dari atas kepala sampai ujung kaki semuanya tidak berlebihan. Dari yang Yoga tahu, Karmila memang tidak terjun membantu perusahaan.
Yoga menggaruk kepalanya ketika teringat makan malam mereka barusan. Karmila bukan perempuan yang menjaga image. Dia bisa makan banyak dengan santai di hadapan laki-laki. Dia juga tidak sungkan mengutarakan pendapatnya. Dari caranya berbicara Yoga bisa tahu kalau Karmila perempuan yang cerdas, yang dari pembicaraan mereka selanjutnya Yoga baru tahu kalau Karmila pernah akselerasi dua tahun. Wajar.
Yoga memang tidak ingin bertele-tele do pertemuan pertama mereka. Kata-katanya memang kejam, tapi on point. Dia tidak tahu kenapa perempuan itu menerima ajakan berkenalan dengannya, yang jelas Yoga tidak ingin memberikan harapan palsu pada siapapun.
Bukan dia yang membuat Karmila terkejut, tapi malah sebaliknya. Perempuan itu mencerna setiap maksud dari kata-katanya dan malah memberikan pertanyaan yang sanggup membuat Yoga tercengang untuk beberapa detik karena keberaniannya.
“Jadi bagaimana kesan pertama kamu sama aku? Mau melanjutkan hubungan kita?”
Yoga akui pesona Karmila begitu kuat. Cantik, cerdas, dan pembawaannya tenang. Padahal Yoga sudah siap mental kalau-kalau dia harus dipecat karena membuat putri pemilik perusahaan marah padanya. Kenyataannya di luar dugaan, Karmila malah menawarkan untuk melanjutkan hubungan mereka agar bisa semakin mengenal.
“Kamu diluar ekspektasi saya. Saya pikir kamu perempuan manja dan…, penuh dengan kemewahan. Ternyata kamu cukup dewasa.” Jawab Yoga santai. Mila terkekeh mendengarnya.
“Apa yang kamu harapkan, aku sudah tiga puluh tahun makanya papi kepanasan menjodohkanku dengan kamu.” Mila kembali terkekeh.
“Tidak ada yang salah dengan tiga puluh tahun. Jaman sekarang sudah bukan masalah besar kalau perempuan berkepala tiga belum menikah.”
“Bagi kamu, tapi bukan bagi papi. Apalagi aku yang nggak mau sama sekali ikut andil dalam perusahaan, “ Mila mengela nafasnya sedikit lesu. “Aku akan jujur sama kamu supaya kamu, tapi janji jangan marah,” Mila menjeda kata-katanya, menatap Yoga dalam dan mendapati anggukkan kecil dari lelaki itu.
“Aku nggak punya niat memimpin perusahaan, aku bukan orang bisnis, apalagi arsitektur. Aku punya pekerjaanku sendiri, dan salah satu alasan kenapa papi ngotot banget supaya kita bisa saling kenal karena papi mau ada yang bisa dipercaya di perusahaannya. Kolot memang, tapi kalau aku nggak bisa, dia maunya calon menantunya nanti bisa. Padahal hari gini kan orang lain banyak juga yang kompeten untuk ngurusin perusahaan, iya nggak? Please jangan merasa kalau kamu dimanfaatin…” Mila meringis takut-takut kalau ekspresi Yoga berubah jadi marah. Diluar dugaan Yoga malah tertawa mendengarnya. Sedikit membuat Mila lega.
“Lalu alasan kamu setuju bertemu dengan saya?” Tanya Yoga dengan sisa tawa yang masih melekat. Paling tidak lelaki itu sudah tidak sekaku saat tadi mereka baru bertemu.
“Karena papi bilang kamu lelaki yang baik, dan kita mungkin akan cocok? Terus kalau kita cocok kan aku nggak akan diusik lagi untuk ikut bantuin perusahaan. Udah ada kamu soalnya…” Cengiran Mila mengembang. Dia bingung kalau ditanya kenapa mau berkenalan dengan Yoga, masa iya Mila menjawab karena dia tidak punya pacar, jomblo akut seumur hidup.
Beberapa lama diisi dengan keheningan dan pikiran mereka masing-masing hingga akhirnya Yoga mulai bicara.
“Ayo kita lanjutkan, kalau memang tidak cocok baru kita berhenti…” Ujar Yoga yang sukses membuat mata Mila membulat.
Yoga tersenyum ketika mengingat kejadian saat makan malam tadi. Setelah obrolan singkat mereka untuk saling mengela, Yoga mengantarkan Mila kembali ke apartemennya. Entah sebenarnya mereka ini resmi berpacaran atau hanya sekedar berteman saja. Yang jelas hari ini tidak akan menjadi pertemuan mereka yang terakhir.
***
Mila memang tidak punya gambaran apa-apa tenang Yoga selain sedikit tentang gambaran fisik dan etos kerjanya yang diberitahu oleh papinya. Dan hari ini ketika dia berhadapan langsung dengan lelaki itu, sungguh Yoga diluar perkiraannya.
Lelaki itu lelaki dewasa dan matang yang cukup serius, tidak ada kata humoris dalam diri Yoga. Entah, mungkin sebenarnya ada tapi dirinya saja yang tidak melihatnya. Atau malah mungkin karena mereka belum saling mengenal jadi tidak mungkin langsung menunjukkan sifat asli bukan.
Setelah diantarkan sampai lobby apartemen, Mila tidak langsung naik ke atas. Dia malah melipir ke toko serba ada di dekat apartemennya. Tiba-tiba saja dia menginginkan coklat panas malam-malam begini, kalau bisa dengan croissant juga, tapi biasanya jam segini sudah habis semua. Padahal perutnya sudah kenyang, tapi mulutnya berulah.
Sampai di toko serba ada mata Mila langsung menatap nyalang pada croissant yang hanya tinggal satu itu. Buru-buru dia menghampiri kasir yang untungnya memang sedang kosong.
“Mba, aku mau croissant nya satu, tolong dipanaskan. Lalu aku mau hot chocolate nya satu, jangan terlalu manis. Makasih.” Kasir tadi langsung menghitung pesanan Mila dan langsung menyiapkan pesanannya setelah Mila membayarnya.
“Malam-malam begini kamu masih kelaparan?” Kepala Mila menoleh ke arah suara tadi berasal. Dipta dengan senyumannya berdiri di hadapan Mila sambil membawa barang belanjaannya. Roti tawar, selai coklat, dan satu liter susu rasa coklat juga.
“Sedang ingin makan yang manis-manis.” Ujar Mila santai. Kali ini Mila tidak sekesal biasanya jika melihat Dipta. Sepertinya dia sudah beradaptasi dan menerima kenyataan kalau kini mereka tetangga, akan sering bertemu walaupun hanya sekedar papasan.
“Mila, boleh kita ngobrol-ngobrol sebentar?” Alis Mila terangkat sebelah mendengarnya. Maunya sih ditolak saja, tapi mau sampai kapan dia perang dingin dengan Dipta? Yang ada lelaki itu malah jadi menganggapnya masih menaruh rasa. Akhirnya Mila mengangguk pelan. Setelah mengambil pesanannya Mila berjalan ke salah satu meja yang ada di sana. Sementara Dipta membayar pesanannya terlebih dulu, baru menyusul Mila dan duduk di hadapannya.
Mila mencomot croissant nya dan mencelupkannya ke dalam coklat panas, baru kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Cara makan croissant yang menurut Mila lebih enak dibandingkan dimakan begitu saja.
Dia tidak mau repot-repot menawarkannya pada Dipta. Kalau lelaki itu mau dia bisa beli sendiri, masa meminta punyanya. Dipta juga hanya memperhatikan Mila yang tengah asyik dengan makanannya tanpa berniat berkata apa-apa.
“Kamu mau ngobrol apa?” Tanya Mila akhirnya karena risih diperhatikan seperti itu.
“Banyak sebenarnya, tapi bingung mau mulai dari mana. Mau tanya kamu kemana saja selama ini tapi aku sudah tahu dari biodata kamu yang ada di internet sama sosial media kamu. Jadi aku masih mikir mau mulai dari mana…,” Dipta tertawa ringan.
“Kamu belum makan jam segini?” Tanya Dipta.
“Sudah, cuma mulut aku lagi mau aja.” Dipta mengangguk mengerti. Mila tidak begitu suka makanan yang manis sejak dulu. Satu-satunya makanan manis yang Mila suka adalah coklat, makanan yang tidak terlalu Dipta suka tapi malah jadi favoritnya sekarang, semenjak Mila pergi tepatnya.
“Mil…, sorry. Untuk semua yang dulu aku lakukan. Aku nggak pernah bisa bilang maaf ke kamu karena kamu keburu pergi duluan.” Mila menghela nafas. Dia malas kalau harus membahas masa lalu mereka. Karena itu dia tidak suka bertemu dengan Dipta lagi.
“Ta, itu sudah lama banget, aku sudah nggak mau mengingat-ingat lagi. Sudah dimaafkan, tapi kalau dilupakan nggak bisa. Jujur kamu dan Dior adalah dua orang yang paling aku hindari untuk ketemu lagi. Eh sekarang kita malah tinggalnya sebelahan. Dan ketemu sama kamu berarti sebentar lagi aku juga bakalan ketemu sama Dior. Jadi please, kalau kamu benar-benar mau minta maaf sama aku, jauhkan Dior dari aku. Aku nggak mau dia berulah lagi, karena aku nggak akan sebaik dulu. Kali ini aku nggak akan segan-segan membalas semuanya lagi kalau dia masih berulah.”
Wajah Dipta berubah mengeras untuk beberapa detik, dan Mila menangkapnya. Tidak lama Dipta tersenyum miris dan menundukkan kepalanya sebelum akhirnya sanggup menatap Mila kembali.
“Kalau yang kamu takutkan bertemu denganku adalah Dior, kamu nggak perlu khawatir. Aku dan Dior sudah nggak bersama lagi. Kami bahkan sudah lama nggak bertemu. Dia sudah punya kehidupannya sendiri.” Kata Dipta sendu. Mila terdiam dan berusaha mencerna raut Dipta.
Lelaki ini, entah apa yang terjadi antara Dipta dan Dior selama lima belas tahun belakangan ini, yang pasti Mila tahu mereka tidak baik-baik saja karena Dipta terlihat menyedihkan sekarang. Dari luar memang Dipta bisa tersenyum dan tertawa, tapi kali ini Dipta tidak bisa berbohong.
“Bagus kalau begitu.” Sahut Mila cuek. Dia tidak mau jadi orang kepo yang mau tahu urusan orang lain meskipun penasaran.
“Jadi bisa kan jangan menghindariku kalau kita bertemu? Cukup berteman saja? Bagaimana? Kita tidak mungkin musuhan selamanya. Kalau kamu masih dendam sama aku silahkan, kamu bebas membalaskannya. Aku nggak akan menolak kali ini, bahkan kalau kamu suruh aku loncat dari apartemen kita juga aku bakalan loncat.”
Mila tertawa kecil. Ini yang selalu dia suka dari Dipta, mampu membuatnya tertawa dan nyaman berada di dekat lelaki itu dulu. Setelah semuanya berlalu, Dipta memang masih nyeleneh seperti biasanya. Bahkan di usia mereka yang sudah kepala tiga.
“Aku nggak seganas itu sampai nyuruh kamu loncat dari apartemen. Kasihan penghuni lain kalau kamu bunuh diri, bisa-bisa harga pasaran apartemen ini jadi anjlok nanti.” Jawab Mila santai. Dia menyeruput coklat panasnya sambil menahan senyum.
“Dasar, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Kamu nggak berkecimpung dalam dunia bisnis tapi tetap saja darah Haditama nggak bisa dibohongin.”
“Aku tetap anak papiku bagaimanapun juga…”
***
Selepas obrolan singkat mereka yang lebih banyak bercanda mereka sama-sama kembali ke apartemen. Paling tidak hubungan mereka sudah mencair dan tidak sekaku sebelumnya.
Dari obrolan singkat tersebut Mila baru tahu kalau Dipta baru kembali ke Indonesia setelah dua tahun menetap di Singapura. Mila sendiri tidak perlu repot-repot menceritakan tentang dirinya karena Dipta kan sudah stalking media sosialnya.
“… Iya, jadi waktu itu aku kira semuanya sudah beres, kita bisa liburan tenang. Tapi memang sudah feelingada yang aneh nih. Cuma ya sudah lah karena hawa-hawa liburan sudah depan mata. Eh beneran baru ditinggal beberapa jam ternyata server kita meledak sampai bikin satu gedung panik. Niat awalnya mau liburan malah nggak bisa liburan dan harus standby.”
Dipta dan Mila sama-sama tertawa mendengar kisah Dipta saat dia baru pertama kali bekerja di perusahaan setelah lulus. Mila masih tertawa, sementara Dipta kini malah asyik menikmati wajah Mila. Nostalgia karena sudah terlalu lama Dipta tidak melihat wajah itu tertawa lagi.
“Mil…,” Dipta memanggil Mila dengan pelan, menghentikan tawa Mila dan langsung menatap Dipta. “Kamu kenapa tiba-tiba pergi ke luar negeri dan malah jadi Desainer? Kamu bilang mau ambil jurusan yang sama seperti aku juga?” Tawa Mila langsung memudar, berganti dengan senyuman kecil.
“Aku memang selalu mau jadi Desainer dari dulu. Cuma dulu aku bucin saja ke kamu makanya kemana kamu pergi aku mau ikut. Tapi karena kejadian terakhir aku jadi sadar sendiri. Rasanya tidak adil mengorbankan impian aku hanya untuk seseorang yang belum tentu akan menghargai aku seperti aku menghargai diriku sendiri kan?”
Dipta mengangguk setuju. Untuk kali ini dia tidak tersinggung karena memang benar kenyataannya seperti itu. Dia memang jahat pada Mila dulu, dan Dipta tidak mau membela diri. Bisa kembali bicara seperti sekarang saja dia sudah sangat bersyukur.
Tidak terasa mereka sudah sampai di depan apartemen masing-masing. Dipta dengan barang belanjaannya, dan Mila dengan segelas coklat panas yang masih tersisa.
“Sampai jumpa Mila, senang bisa ngobrol sama kamu lagi. Kapan-kapan mungkin kita bisa makan bareng.” Tawar Dipta yang hanya dihadiahi senyuman oleh Mila.
“Selamat malam Dipta…” Jawab Mila kemudian beranjak masuk ke dalam. Meninggalkan Dipta yang kini masih menatap pintu apartemen Mila.
Mila tidak mengiyakan tawaran Dipta karena menurutnya tidak ada hal lain yang perlu dibicarakan lagi antara mereka. Dipta sudah meminta maaf secara langsung, dan mereka juga tidak bisa dibilang langsung berteman lagi seperti sebelumnya.
Mila tidak ingin membuka kembali ruang di hatinya untuk Dipta. Dia perempuan polos yang tidak mengerti masalah cinta-cintaan di usia setua ini. Tapi dia mengerti tentang dirinya sendiri. Perasaan untuk Dipta masih ada, hanya tidak dia pupuk hingga tidak berkembang.
Untuk saat ini Mila ingin membuka pandangannya seluas mungkin. Melihat orang-orang dan semuanya dengan sudut pandang yang berbeda. Hidupnya tidak harus melulu berputar dengan masa lalu kan? Ada banyak orang yang akan dia temui kedepannya, termasuk Yoga yang baru saja menyusup dalam kehidupannya.
Untuk sekarang memang berteman saja menjadi pilihan yang paling tepat, tapi kedepannya Mila tentu akan memilih yang terbaik bagi dirinya. Entah dengan siapapun dia akan menempuh hidup baru, atau bahkan tetap sendiri meskipun dia harus siap menghadapi kekesalan kedua orangtuanya yang Mila yakin tidak akan berlangsung lama.
***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
