Ternyata Kita Tetangga - 5. Akhirnya Kita Bertemu

15
1
Deskripsi

Karmila ingin menenggelamkan dirinya ke dalam Samudra Atlantik, tenggelam dan mati membeku ketika tahu kalau tetangga baru di samping unit apartemennya adalah Pradipta. Ya, Pradipta yang lima belas tahun lalu menolak cintanya mentah-mentah dan mempermalukannya ketika mereka masih berseragam putih abu-abu.

Lima belas tahun, dan semuanya sudah berubah kecuali Pradipta. Lelaki itu masih tengil, kurang ajar, dan sialnya juga masih tampan, tidak berkurang sedikitpun malah semakin bertambah. 

Dipta menganggap...

“Karmila…,”

Nafas Dipta masih terengah karena harus berlari dari parkiran apartemen ke lift agar dia bisa segera sampai di unit miliknya. Dipta tidak bisa membayangkan sekacau apa pemandangan di depan pintu unit apartemennya nanti. Yang jelas dia lupa kalau hari ini beberapa perlengkapan yang dia beli akan diantar, dan di apartemennya sama sekali tidak ada orang.

Dipta memang sengaja tidak mempekerjakan asisten rumah tangga yang tinggal di apartemennya agar dia lebih bisa menjaga privasi. Sebagai gantinya akan ada yang datang seminggu dua kali untuk membersihkan tempat tinggalnya.

Selepas makan siang bersama dengan tim nya, Dipta bergegas pulang secepat yang dia bisa, sebelum semua barang-barangnya dipindahkan oleh pihak pengelola apartemennya karena mengganggu akses penghuni lain.

Dan sekarang, baru dua langkah menginjakkan kakinya di lantai dua puluh satu, Dipta kembali dikejutkan dengan kehadiran perempuan cantik yang sibuk mengangkat kopernya untuk menghindari barang-barang Dipta yang berserakan. Perempuan dari masa lalunya yang belasan tahun lalu menghilang tanpa kabar sebelum dia sempat mengucapkan permintaan maaf.

Sudut bibir Dipta tertarik sedikit membentuk senyuman kecil yang tidak dapat terlihat dan diketahui oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Karmila ada di hadapannya. Perempuan jenius yang dulu selalu jadi bahan bercandaan dan tertawaan Dior dan kawan-kawannya. Sialnya lagi Dipta secara tidak langsung ambil andil di dalamnya.

Senyum kecil Dipta menghilang ketika mengingat semua yang dulu pernah mereka lakukan pada perempuan di hadapannya sekarang. Dipta dapat melihat keterkejutan di wajah Mila, namun Mila bisa mengatasinya dengan begitu baik. Karmila selalu jadi yang paling ahli kalau masalah mengendalikan emosi.

 

“Pradipta…” Suara merdu Mila terdengar begitu lembut di telinga Dipta.

Dipta berjalan perlahan menghampiri Mila, mengikis jarak diantara mereka. Sementara Mila masih bergeming di tempatnya, diam tidak bergerak tapi juga tidak meghindar dari Dipta.

Tepat ketika Dipta berada di depan Mila, dia memaksakan senyum terbaiknya untuk perempuan di hadapannya ini. Lima belas tahun berlalu dan harus Dipta akui kalau Mila banyak berubah. Jauh lebih dewasa dan menawan dari terakhir kali mereka bertemu. Tentu saja karena saat itu mereka hanya anak sekolah.

Mila yang ada di depannya bukan lagi Karmila sederhana seperti dulu. Memang tidak ada make up tebal yang menghiasi wajahnya. Hanya riasan sederhana yang sangat cocok menunjang rahang tegas seorang Karmila Haditama, menampilkan kesan menawan dan status sosial yang begitu kentara.

Rambut panjangnya tergerai indah. Tubuhnya dibalut dengan sweater berwarna abu-abu muda, celana hitam pekat, sepatu boats sebatas betis dengan hak yang lumayan tinggi, dan jangan lupakan coat sepanjang lutut berwarna burgandy yang sangat cocok di tubuh Mila. Kalau melirik dari koper yang teronggok di samping Mila, tampaknya perempuan itu baru berpergian dari luar negeri, atau malah baru mau berpergian.

“Jangan bilang kalau kita jadi tetangga sekarang.” Dipta memulai pembicaraan lebih dulu. Matanya melirik pada pintu unit apartemennya, kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada Mila yang meskipun sudah menggunakan sepatu dengan hak tinggi tapi masih sebatas dagu Dipta.

“Kelihatannya begitu…” Jawaban yang singkat. Dipta tidak tahu saja kalau kepala Mila sekarang tidak bisa diajak bekerja sama sanking terkejutnya.

“Akhirnya kita bertemu lagi. Apa kabar Mila?”

Well, seperti yang kamu lihat aku baik-baik saja. Sehat dan masih hidup sampai sekarang…,” Mila tidak bermaksud menyinggung Dipta, tapi dari pemilihan kata-katanya siapa yang tidak tersinggung kalau dijawab seperti itu. Mila tidak peduli, dia tidak mau repot memikirkan perasaan Dipta. Toh mereka hanya dua orang yang pernah saling mengenal, tidak lebih.

Mila sedikit membungkuk untuk meraih kopernya yang terjatuh tadi, mengangkatnya kembali agar siap dia seret. Mila tidak mau berlama-lama dengan Dipta. Kalau bisa malah mereka tidak perlu bertemu lagi untuk selamanya.

“Aku rasa kamu perlu membereskan kekacauan ini. Aku permisi dulu karena ada yang harus aku kerjakan. Selamat tinggal Dipta…” Mila berlalu begitu saja tanpa mau mendengarkan jawaban Dipta. Dengan tergesa-gesa dia masuk ke dalam apartemennya yang tepat berada di sebelah Dipta.

Mila terlalu terburu-buru menutup pintunya hingga dia tidak sempat melihat senyuman Dipta yang begitu merekah. Entah ada apa, yang jelas Dipta bahagia bertemu dengan Karmila.

Meskipun masa lalu mereka jauh dari kata menyenangkan, tapi dengan melihat Mila hari ini baik-baik saja dengan kehidupannya sudah cukup bagi Dipta. Terlebih lagi mereka tinggal bersebelahan, benar-benar bersampingan.

Dipta tidak menampik kalau lima belas tahun belakangan ini rasa bersalahnya selalu ada untuk Mila. Dan penyesalan paling teralam Dipta adalah ambil andil untuk melindungi semua kegilaan Dior, bahkan ketika itu menyakiti banyak orang.

Mila memang bukan korban pertama Dior, banyak korban-korban lain sebelum Mila. Bedanya adalah Dipta masih sempat meminta maaf pada mereka atas nama Dior dan dirinya sendiri, tidak dengan Mila yang sudah terlanjur menghilang waktu itu.

Kali ini Dipta sudah bertekad untuk meminta maaf dari perempuan itu, bagaimana pun caranya. Paling tidak mereka bisa mempunyai hubungan yang baik seperti dulu. Dipta tidak pernah bermain-main dengan pertolongannya pada Mila. Meskipun dia melakukannya untuk melindungi Dior, bukan berarti Dipta menolong Mila hanya untuk itu. Mila atau siapa pun tidak pantas dirundung seperti itu.

Dipta beranjak dari tempatnya yang masih memandang pintu apartemen Mila yang tertutup. Besok-besok tentu dia akan mencoba bicara dengan Mila lagi. Paling tidak masih banyak waktu bagi mereka untuk bisa berdamai satu sama lain.

***

Dari dulu Mila tidak pernah suka dengan kejutan. Kejutan yang menyenangkan saja dia tidak menyukainya, apalagi yang menjengkelkan. Setengah membanting Mila menutup pintu apartemennya, membiarkan Dipta mendengar dentuman yang lumayan keras menurut Mila.

Dan Pradipta, lelaki itu bukan hanya sekedar kejutan yang menyambutnya pulang, tapi juga ibarat bom yang meledak tepat di depan wajahnya. Menghancurkan Mila sampai tidak berbentuk.

Mila membiarkan kopernya teronggok begitu saja. Mood nya sudah hancur berkeping-keping sejak tadi melihat kekacauan yang terjadi, ditambah lagi mengetahui siapa biang kekacauannya.

Indonesia itu luas, Jakarta itu besar, tapi bisa-bisanya mereka sedekat ini. Dari ribuan apartemen yang ada kenapa Dipta bisa-bisanya tepat berada di sampingnya, benar-benar di samping Mila persis.

Tuhan jadi saksi betapa enggannya Mila bertemu dengan Dipta. Doa yang selalu terlantun dari dalam hati Mila adalah jangan pernah biarkan mereka bertemu lagi. Mila sudah menutup lembaran kelam masa lalunya, mengubur dalam-dalam perasaannya untuk Dipta. Tidak adil rasanya kalau lelaki itu sekarang tiba-tiba berkeliaran di depan matanya.

Mila pernah jatuh cinta sejatuh itu pada Dipta, menanggung semua perundungan Dior hanya karena Dipta memintanya mengerti kalau Dior sebenarnya anak yang baik, hanya keadaan yang tidak pernah berbaik hati pada perempuan iblis itu.

Dengan bodohnya Mila mengerti, membiarkan Dior menindasnya karena yang Mila tahu saat itu adalah Dipta akan kecewa kalau Mila membalas. Ternyata mereka berdua sama-sama iblis mengerikan. Mila tidak bisa menjamin dia baik-baik saja kalau harus bertemu Dipta.

Mila sudah memaafkan, tapi tidak lupa ingatan. Kalau dulu dia hanya bisa diam, lain ceritanya sekarang. Entah apa yang akan terjadi, mungkin Mila sanggup memukul Dipta tepat di wajahnya kalau sampai lelaki itu membuat darahnya mendidih.

Melihat dari pertemuan tadi saja Mila sudah punya firasat kalau mereka tidak akan jadi tetangga yang menyenangkan. Tidak, bukan dirinya, tapi Dipta yang memang tidak pernah menyenangkan sejak dulu. Mila hanya bisa berharap semoga dia tidak perlu repot-repot bertemu dengan Dior. Dia benci dua manusia itu.

Melemparkan coat nya ke sofa, Mila ikutan berbaring di sana. Mengeluarkan ponselnya, mengecek beberapa email dan pesan, terutama dari teman-temannya yang menanyakan apakah dia sudah sampai dengan selamat. Lucu memang, untuk seseorang yang tidak memiliki sahabat dekat, dia cukup punya teman-teman yang menyenangkan.

Oh ya, Mila ingat apa yang harus dia lakukan ketika dia sudah kembali ke Indonesia. Mengabari ayahnya secepatnya. Mila masih ingat janjinya untuk bertemu dengan lelaki yang punya potensi untuk menjadi suaminya di masa depan.

 

To : Papi

Mila udah pulang ya pi… Sehat, selamat, dan baik-baik saja. Jadi mau kenalin Mila sama calon menantu idaman papi nggak? Papi aja yang atur waktunya, Mila ikut. Asalkan jangan hari Senin sama Rabu, aku ada meeting yang nggak tentu jamnya…

 

Mila menuliskan pesan pada papinya. Seharusnya siang-siang begini ayahnya tidak akan membalas karena pasti sibuk. Mila juga tidak lupa mengabari maminya kalau dia sudah ada di Jakarta.

Apalagi yang akan dilakukan tuan putri setelah perjalanan jauhnya selain istirahat? Mila bergegas bangkit menuju ke kamar mandi. Untungnya kamar mandi di apartemennya sudah dia sulap dengan bathtub yang tidak terlalu besar. Salah satu cara Mila menghilangkan penat, berendam.

“Berendam, pakai wangi lavender… Dududu… Setelah itu kita tidur sampai besok pagi!” Senandung aneh Mila.

Dengan semangat Mila mengisi air pada bathtub nya dengan air hangat. Dia menuangkan sabun wangi lavender yang katanya bisa menenangkan pikiran, sekaligus membuat busa yang banyak.

“Oh, ada satu yang lupa sebelum hibernasi sampai besok. Makan…” Kata Mila pada dirinya sendiri.

Mila menanggalkan pakaiannya, kemudian mulai masuk ke dalam bathtub dan mengistirahatkan tubuhnya yang benar-benar kelelahan. Menarik nafas dan menghembuskannya beberapa kali, akhirnya dia bisa merasakan otot-ototnya sedikit rileks.

Sambil bersantai Mila sambil memainkan ponselnya. Mencari-cari makanan apa yang mau dia makan di salah satu aplikasi pengantaran makanan. Hingga beberapa waktu kemudian Mila memutuskan memesan seloyang besar pizza untuk dia nikmati.

Kalau maminya tahu mungkin Mila akan diceramahi dari pagi ketemu pagi lagi tentang betapa tidak sehatnya makanan cepat saji. Tapi ini kan keuntungannya tinggal sendiri, dia bebas makan apa saja dan melakukan apa saja. Menikmati hidup sesuka hatinya.

Mila memejamkan matanya merasakan tubuh dan otot-ototnya serasa dipijat dengan air hangat. Padahal hanya sugesti saja karena dia terlalu bekerja keras di Paris kemarin.

“Sepertinya aku butuh liburan…., yang panjang…” Gumam Mila.

***

“Huuhh…,” Dipta mengelap keringat di keningnya, kemudian bertolak pinggang ketika melihat semua barang-barang yang ada di depan sudah berhasil dia bawa masuk. Melelahkan sekali ternyata.

Sejak tadi sembari memasukkan barang-barangnya, Dipta mencuri-curi pandang pada pintu apartemen Mila. Dia berharap pintu itu terbuka dan menampilkan Karmila dari dalamnya. Namun sayang harapannya tidak terkabul.

Dipta tertawa kecil kalau memikirkan harapannya barusan. Bagaimana mungkin, saat tadi mereka bertemu saja Mila sudah enggan melihatnya. Terlihat jelas di wajahnya. Lalu sekarang Dipta berharap Mila bisa keluar menyambutnya, beramah tamah sambil nostalgia tentang masa lalu mereka.

Lagi pula masa lalu apa yang mereka punya? Tidak ada selain kata-kata yang menyakitkan. Dia bahkan tidak sempat meminta maaf pada Mila dulu. Dan dia berharap Mila akan menganggapnya teman lama? Sungguh dia merasa jadi lelaki paling tidak tahu diri. Dengan semua yang Mila miliki, pertemuan mereka harusnya jadi hal yang paling Dipta takuti. Mila mampu melenyapkannya kalau perempuan itu mau. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan seorang Haditama.

Di sudut hati Dipta yang terdalam, dia bahagia bisa bertemu kembali dengan Mila. Tidak dia pungkiri, kembali ke Indonesia membuatnya begitu kesepian meskipun teman-temannya masih ada. Mereka tidak bisa sesering dulu bertemu saat masih di bangku sekolah. Mereka punya hidup masing-masing sekarang.

Keluarga pun Dipta tidak dekat untuk saat ini, dan sampai dengan jangka waktu yang belum dapat ditentukan. Kemudian Mila muncul di hadapannya, perempuan baik dan cerdas yang mungkin bisa dijadikan sahabat, atau teman berdebat. Dipta yakin kalau Mila bisa jadi teman bicara dan diskusi yang menarik, tentu saja karena dulu mereka sering melakukannya. Mila adalah orang yang paling reliable yang Dipta kenal.

Meskipun awalnya dia mendekati Mila hanya karena simpati, sekaligus permintaan maaf secara tidak langsung karena perundungan Dior. Lama kelamaan dia jadi nyaman sendiri berada di sekeliling Mila. Disaat perempuan lain sibuk mengejar-ngerjar anak basket, Mila hanya berkutat dengan buku pelajarannya dan juga materi olimpiade nya, setidaknya itu yang Dipta kira hingga Mila dengan beraninya mengatakan kalau dia jatuh cinta pada Dipta. Sayangnya Dipta sudah terlanjur jatuh pada Dior hingga rela melakukan apa saja yang Dior minta. Termasuk mempermalukan Mila.

Dipta gamang. Jauh di dalam hatinya dia ingin mengucapkan permintaan maaf yang tulus yang tidak sempat dia sampaikan dulu. Tapi ketika orangnya sudah berada begitu dekat dengannya, nyalinya ciut. Dia tidak berani, lebih kepada takut melukai Mila untuk yang kesekian kali. Permohonan maafnya tentu akan mengorek luka lama yang mungkin sudah Mila kubur dalam-dalam.

Ini yang Dipta benci dari menyendiri. Dia jadi tidak punya opini lain ketika dia sendiri sedang bingung. Siapa yang bisa dimintai pendapat? Damas? Jelas tidak mungkin. Damas tidak waras, tidak ada yang bisa dipercaya dari kata-kata Damas. Sementara Marvo adalah kebalikannya. Tanpa perlu bertanya juga Dipta sudah tahu apa yang akan Marvo sarankan. Jangan mengganggu Mila, jangan mengungkit masa lalu. Masalahnya masa lalunya yang menghampiri sekarang, dengan cara yang manis pula menjadikan mereka tetangga dan persis bersebelahan.

Dipta merebahkan dirinya di sofa. Menghirup nafas sedalam yang dapat ditampung paru-parunya. Ada yang mengganjal sebenarnya, kenapa Mila bisa tinggal di apartemen ini. Karmila orang kaya luar biasa, tidak mungkin rasanya dia memilih tinggal di sini. Oke, apartemen ini memang mewah, untuk kalangan menengah seperti dirinya. Tapi untuk Karmila? Yang luas rumahnya saja lebih besar dari lapangan bola, aneh rasanya.

Dipta menepuk jidatnya ketika dia ingat kalau masih ada satu barang lagi yang belum dia bawa masuk. Sepatunya yang tadi memang dia lepaskan ketika membereskan barang-barang. Dipta bergegas ke luar. Di sini memang dilarang membiarkan apapun berserakan di depan pintu rumah, apalagi sampai mengganggu koridor.

Ketika Dipta membuka pintu, dia mendapati Mila juga berdiri di ambang pintu menggunakan pakaian yang lebih santai serta menggulung rambutnya dengan handuk. Mila memesan makanan, pizza kalau dilihat dari tempatnya.

“Terima kasih, ini untuk uang parkirnya.” Suara lembut Mila kembali menggaung di telinga Dipta. Aroma penciumannya bisa menangkap wangi tubuh Mila yang begitu lembut. Mereka kembali bertatap mata sebelum akhirnya Mila lebih dulu yang memutus dan menutup pintunya rapat-rapat. Tanpa sapaan apapun. Lagi-lagi Dipta harus dibuat kecewa karena dibiarkan begitu saja.

Dipta, apa yang kamu harapkan? Mila akan dengan senang hati menawarkan untuk mampir dan makan bersama? Tidak mungkin. Dipta mengenyahkan pikiran anehnya dan bergegas mengangkat sepasang sepatu yang teronggok di depan pintu apartemen, membawanya masuk ke dalam dan meletakkannya ke dalam rak sepatu yang sepi. Hanya ada dua pasang sepatu dan sepasang sandal di dalam rak sepatu yang besar itu. Satu sepatu kerja, satu sepatu olahraga, dan satu sandal santai.

Dipta jadi membayangkan mungkin kalau dia sudah berkeluarga isi rak sepatu ini tidak akan sesepi sekarang. Paling tidak akan ada sepatu wanita di dalamnya, atau bahkan beberapa pasang sepatu mungil milik anaknya.

Dia memang tidak terlalu tua, tapi kebanyakan orang sudah berumah tangga kan? Meskipun sahabat-sahabatnya belum, tapi tetap saja. Teman-temannya dulu beberapa sudah memiliki keluarga kecil mereka sendiri. Dan dulu sekali Dipta juga mengharapkannya.

Dipta menggelengkan kepalanya, lagi-lagi mengusir apa yang otaknya baru saja putar. Bukan waktunya memikirkan keluarga kecilnya kalau keluarganya yang sekarang saja tidak karu-karuan.

Berjalan dengan lesu, Dipta kembali menyerahkan dirinya pada pelukan sofa. Jam menunjukkan hampir pukul setengah enam sore, dan perutnya sudah meronta-ronta untuk diisi. Tapi mau cari makan jam segini pun jalanan masih macet. Mau pesan makanan online tapi dia tidak punya aplikasinya. Dipta sama sekali belum mengisi apa-apa di ponselnya kecuali untuk beberapa aplikasi yang penting.

Sambil menunggu kemacetan Jakarta reda, dia membuka media sosialnya, mencoba mencari hiburan sambil bernostalgia. Siapa tahu dia bisa kembali berhubungan dengan teman lama. Sayang ketika baru membuka sosial medianya, orang yang tidak dia inginkan malah muncul di layar ponselnya.

Dior, tersenyum bahagia dengan rambut panjang berwarna pirang kecoklatan dan gaun berwarna biru muda sambil menunjukkan perut besarnya. Di sampingnya ada seorang anak perempuan yang baru berusia kurang lebih satu tahun. Dipta tersenyum kecil. Jadi ini yang dikatakan sahabatnya kalau Dior sudah akan memiliki dua anak.

“Selamat kalau begitu…” Ujar Dipta seolah-olah Dior sedang ada di hadapannya.

Jemari Dipta kembali menggulir layar ponselnya sampai tiba-tiba dia memikirkan satu nama di pencariannya. Karmila Haditama. Langsung saja tanpa pikir panjang Dipta mencoba mencari nama itu.

Dan tebak siapa yang muncul paling atas. Profil foto estetik dengan tema hitam putih. Di dalam foto tersebut menampilkan siluet seorang perempuan dari belakang dengan gaun hitam yang menjuntai panjang dan tatanan rambuk diikat satu rapi dengan anting-angting yang sedikit mencolok. Siapa lagi kalau bukan Karmila yang baru saja tadi Dipta lihat. Dan yang membuat Dipta makin melotot adalah jumlah pengikutnya yang mencapai lima juta, ditambah centang biru yang ada di sana.

 

MILLA, creative designer of Cartier.

 

Lima kata yang sudah cukup membuat siapa saja yang membacanya terkagum-kagum. Tidak Dipta sangka tetangga sampingnya ini begitu terkenal sekarang. Bahkan dengan kepopuleran yang seperti sekarang dia sendiri malah tidak tahu. Dan sepertinya memang tidak banyak yang tahu.

Foto-foto Mila tidak banyak. Kebanyakan adalah foto pemandangan dan tempat-tempat menarik yang dia kunjungi. Yang benar-benar menampilkan wajah perempuan itu sangat sedikit sekali. Bisa dihitung dengan jari, dan kebanyakan adalah foto ketika Mila menghadiri acara formal. Karmila memang pendiam, tapi selalu penuh dengan kejutan.

Dipta menelan ludah susah payah. Semakin memperhatikan Mila, entah mengapa dia jadi merindukan wanita yang tepat berada di samping apartemennya itu. Padahal sebelum pertemuan mereka Dipta bahkan tidak pernah memikirkan Mila, diluar rasa bersalahnya. Tapi baru sekali mereka bertemu kembali Mila sudah mampu membuatnya tidak mau berhenti menatap foto perempuan itu.

Dipta melempar ponselnya begitu saja ke sofa. Lama-lama pulang ke Indonesia belum ada satu tahun dia sudah bisa gila kembali. Dulu karena Dior, sekarang karena Mila. Yang lebih sadisnya kedua perempuan itu adalah masa lalunya. Tidak bisa kah dia menemukan orang lain untuk bisa menatap masa depan?

“Tuhan terlalu kejam sekali…”

 

***

post-image-66d155c58efb3.jpg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ternyata Kita Tetangga - 6. Kencan Buta
13
0
Karmila ingin menenggelamkan dirinya ke dalam Samudra Atlantik, tenggelam dan mati membeku ketika tahu kalau tetangga baru di samping unit apartemennya adalah Pradipta. Ya, Pradipta yang lima belas tahun lalu menolak cintanya mentah-mentah dan mempermalukannya ketika mereka masih berseragam putih abu-abu.Lima belas tahun, dan semuanya sudah berubah kecuali Pradipta. Lelaki itu masih tengil, kurang ajar, dan sialnya juga masih tampan, tidak berkurang sedikitpun malah semakin bertambah. Dipta menganggap dirinya bertemu dengan teman lama, sedangkan Mila tidak pernah menganggap lelaki sebagai itu teman. Dipta tidak tahu saja kelakuannya ketika menolak Mila mentah-mentah sambil mempermalukannya di depan seluruh kelas dulu menjadi trauma tersendiri untuk Mila.Mila kira bertetangga dengan Dipta sudah merupakan kutukan yang dia terima, tapi ternyata masih ada hal yang lebih mengerikan lagi selain itu. Benar-benar mengerikan karena bisa membuat Mila yang tidak punya riwayat asma jadi sesak nafas seketika.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan