Ternyata Kita Tetangga - 2. Diluar Ekspektasi

14
0
Deskripsi

Karmila ingin menenggelamkan dirinya ke dalam Samudra Atlantik, tenggelam dan mati membeku ketika tahu kalau tetangga baru di samping unit apartemennya adalah Pradipta. Ya, Pradipta yang lima belas tahun lalu menolak cintanya mentah-mentah dan mempermalukannya ketika mereka masih berseragam putih abu-abu.

Lima belas tahun, dan semuanya sudah berubah kecuali Pradipta. Lelaki itu masih tengil, kurang ajar, dan sialnya juga masih tampan, tidak berkurang sedikitpun malah semakin bertambah. 

Dipta menganggap...

Lima belas tahun kemudian…

Apa yang diharapkan dari seorang jenius dengan IQ seratus tiga puluh lima, pemenang olimpiade matematika dan fisika sejak sekolah menengah pertama selain menjadi orang yang luar biasa. Setelah mengharumkan nama bangsa, tentu semua orang menaruh harapan bukan? Paling tidak si jenius mungkin akan meraih nobel penghargaan dalam bidang apapun itu, atau menjadi Ilmuwan atau Dokter yang tentu kepintarannya menjadi begitu berguna bagi banyak orang.

Kenalan dengan Karmila Haditama, si jenius yang disebut barusan. Akselerasi dua tahun, lulus sekolah menengah atas di usia lima belas tahun. Belum lagi sederet prestasi yang membanggakan. Kurang apa hidupnya hingga dia menyia-nyiakan bakat yang sudah Tuhan titipkan untuknya.

Orang-orang diluar sana begitu berharap menjadi seorang Karmila. Mari kesampingkan latar belakang keluarganya yang kaya raya, atau wajahnya yang menurut sebagian orang biasa saja. Tapi coba bayangkan kepintaran dan prestasinya. Karmila bisa menjadi orang paling sukses yang nama dan fotonya terpampang di majalah Internasional.

Kurang sempurna apa hidupnya. Lelaki akan silih berganti mengantri untuk bisa menjadi pasangannya. Putri tunggal Wirya Haditama, pengusaha real estate sukses di Indonesia. Otomatis Mila yang nanti akan mewarisi seluruh bisnis keluarganya. 

Tapi bukan Mila namanya kalau tidak melakukan hal bodoh yang membuat semua orang geleng-geleng kepala. Alih-alih memilih profesi bergengsi, atau paling tidak menekuni perusahaan yang dipimpin oleh papinya, Mila malah memilih jalan yang jauh berbeda.

Lulus dari sekolah menengah atas, Mila menata kembali hati dan pikirannya yang sudah hancur berkeping-keping karena masa paling suram dalam hidupnya. Mila berhenti mengandalkan dirinya sendiri. Niat awalnya yang tidak ingin memanfaatkan nama besar papinya dia kubur dalam-dalam.

Tidak ada yang akan menghargai Mila sebagai makhluk hidup kalau bukan karena gelar Haditama. Manusia tidak sebaik itu, kalaupun sampai bisa bertemu orang-orang baik, perbandingannya adalah satu banding seratus juta di dunia ini, alias sulit.

Jadi Mila menyerah. Menggunakan nama Haditama dan memanfaatkannya toh tidak dosa. Memang sudah rejekinya terlahir di keluarga Haditama. Menggunakan nama itu Mila bisa meraih segalanya, semua yang dia inginkan.

Rencana Mila kuliah di kampus yang sama dengan cinta masa lalunya juga ikut dia kubur dalam-dalam. Lelaki yang menorehkan luka paling dalam sekaligus melemparkan kotoran tepat ke wajahnya. Masih bagus dia tidak meminta papinya memberikan pelajaran pada lelaki itu.

Mila pergi ke Prancis, melanjutkan pendidikannya di bidang desainer perhiasan di salah satu Universitas terbaik di Perancis. Setelah lulus, Mila menetap di sana. Bekerja sebagai salah satu desainer perhiasan untuk brand Cartier.

Sebuah hal yang melenceng jauh bukan. Padahal papinya berharap Mila bisa menjadi penerus perusahaan, tapi Mila sama sekali tidak memiliki ketertarikan mengurusi perusahaan milik papinya.

Tiga belas tahun menetap di Prancis, dua tahun yang lalu Mila kembali ke tanah air. Apalagi alasannya kalau bukan karena orang tuanya yang mulai cerewet dan tidak tenang membiarkan putri semata wayangnya berkeliaran di negara orang.

Untung saja kontrak kerja Mila dan Cartier bisa di negosiasi. Dua tahun belakangan Mila masih menjadi desainer untuk Cartier, hanya saja dia lakukan dari Indonesia. Dia hanya akan berangkat ke Prancis jika memang pekerjaannya mengharuskannya untuk hadir langsung.

Pulang ke Indonesia, Mila mulai menempati apartemen yang dia beli dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri. Sebuah apartemen dengan dua kamar tidur yang tidak terlalu mewah, tapi berada di pusat kota.

Bayangkan betapa kesalnya orang tuanya ketika tahu kalau Mila tidak akan tinggal bersama dengan mereka. Prancis telah mengubah segalanya. Mila jadi lebih mandiri, cuek, dan terbiasa tinggal sendiri. Mila butuh tempat untuk dirinya sendiri, tempat bersembunyi ketika dia sedang malas menghadapi hari-harinya. Tinggal bersama orang tuanya tentu bukan ide yang bagus.

Orang tuanya seperti cctv dua puluh empat jam yang kelihatannya biasa saja tapi selalu mengawasi. Perubahan mood sedikit saja pasti langsung bisa mereka deteksi, dan Mila tidak mau hal itu terjadi. Hidupnya di Perancis adalah hari-hari terbaik yang pernah dia miliki. Tidak ada lagi Mila yang manja.

Apalagi belakangan ini papinya menjadi begitu gencar menanyakan perihal kekasih Mila. Itu malah tambah membuatnya tidak nyaman. Dari pada bertengkar dengan papinya, lebih baik Mila yang menghilang. Yang penting dirinya masih berada dalam radar NKRI, papinya pasti bisa mentoleransi karena dirinya masih dapat terdeteksi.

“Haaahhhh…” Mila menghela nafas sambil merenggangkan otot-otot lehernya yang terasa pegal. Empat jam lebih sudah dia tidak beranjak dari tempat duduknya, menggambar desain terbaru yang entah dari mana tiba-tiba saja muncul di kepalanya.

“Kalau begini terus lama-lama bisa mati kejang-kejang di kursi.” Keluh Mila pada dirinya sendiri.

Pekerjaannya memang tidak mengharuskannya bekerja seperti orang kantoran dari jam delapan pagi hingga jam lima sore. Dia bebas bekerja dimana saja dan kapan saja. Bagi sebagian orang di jaman sekarang itu adalah hal yang menyenangkan. But remember, every action comes with the consequences. Disaat orang lain bisa sedikit bernafas lega setelah melewati sehari penuh, Mila kadang malah baru akan memulai aktivitasnya.

Ide bisa datang kapan saja, termasuk tengah malam ketika dia sedang enak-enaknya bermimpi. Kalau sudah begitu tentu saja dia akan bangun dan mencatat semuanya, atau bahkan langsung menuangkannya dalam bentuk gambar. Ujung-ujungnya kalau dihitung dia malah bekerja lebih banyak ketimbang orang kantoran. Begitulah Mila, dia akan tetap senang hati melakukan apa yang dia sukai.

Mila bangkit berdiri, keluar dari ruang kerjanya dan berjalan ke arah dapur, menuangkan segelas penuh air mineral ke dalam gelas dan meneguknya. Disela-sela acara minumnya, dia sempat mendengar suara ponselnya yang bergetar.

Dia memang sengaja meninggalkan ponselnya di ruang tamu atau di kamar ketika sedang berada di ruang kerjanya. Alasan klise, pekerjaannya sedang tidak boleh diganggu. Apalagi sebentar lagi akan ada peluncuran koleksi baru. Mila sudah bersiap untuk terbang ke Paris minggu depan, dan akan berada disana kurang lebih selama satu bulan.

Tanpa perlu melihat juga dia sudah tahu siapa orang yang berani membombardirnya dengan telepon begitu banyaknya. Dua orang manusia dengan kasta tertinggi di kehidupannya. Kalau bukan papinya, maka sudah pasti maminya. Selebihnya tidak akan ada yang berani mengganggu Mila sampai segitunya.

Melirik sebentar ponselnya dengan malas, Mila malah kembali ke ruang kerjanya alih-alih mengangkat panggilan telepon tersebut. Dia kembali duduk di kursi panas, mengambil tabletnya dan mulai sibuk mencoretkan sketsa di sana.

“Biarkan saja mereka telepon terus, kurang kerjaan…” Keluh Mila menggelengkan kepala tidak habis pikir.

 

***

 

Rambut coklat panjang Mila berkibar tertiup angin. Sore ini dia punya janji dengan orangtuanya. Setelah menyelesaikan sketsanya, dia mengalah dan menerima telepon dari papinya yang berujung disinilah Mila sekarang. Rumah mewah di kawasan Menteng Jakarta Pusat.

Celana kulot panjang berwarna putih membungkus kaki jenjang Mila dengan sempurna, dipadukan dengan blouse berwarna krem muda yang sedikit kebesaran. Sederhana namun tetap terlihat anggun. Dia menatap sebentar rumah tersebut sebelum melangkah masuk setelah mengucapkan salam basa-basi pada satpam yang membukakan pintu untuknya tadi.

“Akhirnya mau datang juga…,” Amanda menyambut putrinya dengan sumringah. Dia merentangkan tangannya yang langsung memeluk Mila. “Mami tuh kangen, tapi kamunya nggak mau datang-datang, tinggal satu kota juga padahal. Kenapa sih harus pakai acara tinggal sendiri begitu Mil?” Serbu Amanda sedikit kesal pada putrinya.

“Mami kan tahu aku sudah dewasa, masa harus sama mami papi terus. Aku di Prancis juga terbiasa sendiri kan mam. Malu sama yang lainnya kalau masih tinggal sama orang tua. Papi mana mi?” Mila melongok ke dalam, mencoba mencari keberadaan papinya yang sama sekali tidak kelihatan.

“Papi masih di kantor, lagi di jalan. Sebentar lagi pulang. Ini kan hari kerja Mil, cuma kamu aja yang nggak punya hari kerja sama kerjaannya.” Mila menepuk jidatnya lupa. Tentu saja papinya masih di kantor, ini baru jam setengah lima sore. Mila memang sengaja berangkat lebih pagi untuk menghindari kemacetan di jam pulang kerja., tipikal Ibukota Indonesia.

Melangkah masuk ke dalam, rumahnya memang tidak pernah berubah. Isinya selalu minimalis dan tidak banyak yang aneh-aneh. Maminya bukan orang yang suka dengan sesuatu yang berbau mewah. Satu-satunya yang terlihat mewah di rumah ini hanyalah lampu kristal raksasa yang menggantung di atas ruang keluarga.

Mila tersenyum kecil kalau mengingat dia begitu membenci lampu tersebut. Dulu dia selalu protes pada maminya untuk menyingkirkan lampu tersebut dengan alasan dia bisa mati tertimpa lampu kalau ada gempa. Dan rupanya lampu itu panjang umur karena masih ada di sana sampai sekarang.

“Coba sering-sering pulang Mil, jangan harus di telponin terus, di kejar-kejar terus baru deh mau pulang. Padahal dulu kamu lengket banget sama mami, sekarang mami rasanya kayak nggak punya anak.” Mila menghela nafasnya. Entah sudah sesering apa ibunya berkata demikian, bahkan sudah sejak Mila masih di Prancis. Tapi makin kesini rasanya orang tuanya makin gencar.

“Bukannya Mila nggak mau sering-sering mampir. Mila kan kerja juga mi bukannya pengangguran. Ya, nggak ada jam kerjanya sih tapi yang pasti Mila juga sibuk. Kalau sering-sering kesini kapan Mila kerjanya? Disini Mila mana bisa kerja? Yang ada suruh temenin mami jalan-jalan sama arisan.”

Amanda tersenyum mendengar jawaban putrinya. Tidak salah memang, dia akan dengan senang hati menyeret putrinya untuk pergi bersama dengannya, seperti ketika Mila kecil dulu.

Kadang dia lupa kalau waktu begitu cepat berlalu. Putrinya yang dulu selalu menempel kemana-mana sekarang sudah tidak lengket lagi. Dulu Mila yang selalu minta diperhatikan, sekarang gantian dirinya yang meminta perhatian.

“Mami suka lupa kalau anak mami udah gede, nggak kecil lagi.” Gumam Amanda sembari mengelus rambut panjang Mila.

Mila hanya diam. Menghadapi maminya bukan hal yang sulit. Yang dia pikirkan sekarang adalah bagaimana nanti menghadapi papinya. Dia tahu betul apa yang papinya inginkan. Ini juga yang membuatnya malas pulang ke rumah, karena tentu saja Mila tidak bisa mengabulkan keinginan papinya.

Papinya pebisnis lawas, tahu betul cara terampuh menghadapi lawannya. Kelihatannya tidak memaksa, tapi papinya selalu sanggup membuat Mila merasa tidak enak hati karena menjadi anak yang selalu melawan keinginannya. 

“Eh itu papi sampai kayaknya…” Amanda bangkit berdiri, berjalan ke luar meninggalkan Mila untuk menyambut suaminya. Mila sendiri tidak mau repot-repot menyambut kepulangan papinya. Dia yakin setelah ini tanpa diminta pun dia akan sangat kerepotan dengan sendirinya karena menghadapi papinya. Dalam hati Milla berdoa semoga saja dia bisa melewati hari ini dengan baik-baik saja

***

Makanan rumah memang jadi yang paling menyenangkan, apalagi ketika sudah lama Mila jarang merasakannya. Sebagai seseorang yang tinggal hanya sendiri, benar-benar sendiri tentu Mila jarang memasak. Untuk apa repot-repot masak kalau yang makan hanya dirinya sendiri, toh dia makan juga tidak terlalu banyak.

Maminya memang bukan koki handal yang jago masak, tapi urusan makanan, selayaknya ibu rumah tangga lainnya, maminya juga tidak kalah. Masakan sederhana dengan rasa yang jauh lebih enak ketimbang Mila yang masak.

Jangan heran, setengah hidupnya dihabiskan di Eropa. Sudah pasti masakan yang bisa Mila kuasai tidak ribet seperti masakan Indonesia yang membutuhkan banyak bumbu. Paling-paling juga masakan Mila mentok di pasta atau malah hanya sandwich.

Jauh berbeda dengan makanan yang sudah tersaji di hadapannya. Ayam goreng, tahu tempe, ikan gurame asam manis, udang goreng tepung, cah kangkung, dan sedikit yang tidak nyambung adalah sayur sop. Well, Mila memang tidak suka kangkung, jadi sudah pasti sayur sop itu untuknya.

Mila menggaruk kepalanya. Agak meriah kalau hanya untuk makan malam. Makanannya seperti sedang menyambut tamu penting saja. Mila tahu kalau keluarganya kaya raya sampai sekarang, tapi seingatnya dulu mereka tidak pernah makan dengan segini banyaknya lauk.

”Tumben mami masak banyak, kaya mau pesta aja.” Protes Mila.

“Kan lagi ada anaknya datang. Kamu juga udah lama nggak makan beginian kan pasti. Makannya roti terus sih, udah lupa sama nasi kamu.” Jawab Amanda setengah menyindir.

“Disana mana ada nasi mi, cari beras susah, mahal pula. Ribet, mendingan roti yang dimana-mana ada kan.” Balas Mila cuek. Ibunya tidak mengerti betapa rindunya dia pada nasi saat pertama tiba di Prancis. Percayalah, beras bukan barang yang mudah ditemukan selain di supermarket. Sekalinya ada harganya tidak bisa dibilang murah. Mau tidak mau Mila harus terbiasa makan roti yang ternyata tidak buruk juga.

“Kamu mah apa-apa ribet, dikit-dikit susah…” Mila menutup telinga terhadap gerutuan Amanda. Dia menerima sepiring nasi yang disodorkan Amanda untuknya. Beberapa lauk juga mulai berpindah ke piringnya. Ayam goreng, beberapa potong fillet gurame, dan juga tahu tempe. Tidak lupa semangkuk kecil sayur sop untuknya.

Beberapa suapan sempat masuk ke dalam mulut Mila. Dia menikmati makan malamnya kali ini meskipun sebenarnya belum malam-malam sekali. Jam enam sore juga belum. Rasanya tidak menyesal juga pulang ke rumah.

“Kamu masih belum mau bantuin papi Mil?” Tanya Wirya to the point.

“Bantuin apa pi? Memang perusahaan papi kurang orang? Karyawan udah sebanyak itu masa masih kurang.” Mila sudah tahu, jadi dia tidak kaget. Dia malah menyeruput kuah sopnya dengan bunyi yang lumayan kencang.

“Karyawan papi banyak, tapi papi kan maunya kamu yang nerusin perusahaan. Papi kan mau pensiun juga Mil, mau menikmati hari tua. Jalan-jalan keliling dunia, kalau Tuhan masih kasih ya boleh lah lihat cucu dulu.”

“Mila mana bisa, orang Mila belajarnya gambar perhiasan bukan gambar rumah. Lagian perusahaan kalau dipercayakan ke orang yang tepat kan bagus pi. Kalau Mila mah mana ada yang percaya bisa handleperusahaan.”

Wirya terdiam. Dia lupa kalau keras kepalanya Mila itu sebelas dua belas dengan dirinya. Semakin dia memaksa maka putrinya akan semakin memberontak. Tapi dia juga sudah mulai gatal-gatal melihat hidup Mila yang tidak jelas begitu.

“Kalau nggak bisa nerusin perusahaan paling nggak kasih calon menantu yang bisa nerusin perusahaan. Jadi papi nggak ganggu-ganggu kamu lagi. Kamu bukan anak kecil lagi loh Mil, sudah kepala tiga. Sepantaran kamu sudah pada ada buntutnya.”

Bukan kali pertama papinya membahas tentang “Calon Menantu Potensial Untuk Meneruskan Perusahaan dan Keturunan.” Entah sudah yang keberapa kali, yang jelas semenjak usianya menginjak dua puluh lima tahun. Itu artinya lima tahun yang lalu. Bukan Mila namanya kalau ambil pusing.

Dulu-dulu dia jadi orang yang paling bodo amat kalau sudah disinggung masalah pernikahan, tapi sekarang lain lagi ceritanya. Dia sudah tiga puluh tahun, ya usia yang sangat amat tua bagi orang Indonesia kalau belum berkeluarga.

Hal yang wajar kalau dia masih di Prancis, sayangnya Mila ada di Indonesia, tepat di hadapan kedua orangtuanya. Apa yang harus dia lakukan untuk menikah kalau kekasih saja dia tidak punya. Jangankan kekasih, pacaran pun Mila belum pernah. Bule-bule diluar sana belum ada yang mampu meluluhkan hatinya.

Sekarang, harus Mila akui dia sedikit memikirkan tentang pernikahan. Bukan sedikit, tapi agak banyak. Tidak, lumayan banyak sampai dia khawatir. Siapa yang ingin hidup sendirian di masa tuanya? Mila tidak mau! Tapi siapa yang harus dinikahinya?

“Papi cariin lah buat Mila…” Kata-kata yang dimuntahkan Mila cukup membuat Wirya terkejut, bahkan Amanda sampai menjatuhkan sendoknya diatas piring hingga menimbulkan bunyi berdenting nyaring.

“Papi nggak salah dengar kan?” Tanya Wirya hati-hati sambil melirik istrinya dengan harap-harap cemas. Sementara hembusan berat nafas Mila begitu terasa.

“Mila memilih jalan yang diluar ekspektasi papi sama mami, dan papi sama mami tetap mendukung. Mila pikir nggak ada salahnya kan untuk kali ini Mila setuju sama orang tua sendiri. Masalahnya Mila kan baru balik ke sini, nggak punya banyak teman apalagi pacar. Kalau disuruh married papi mau aku married sama bule?” Wirya langsung menggeleng cepat.

“Yaudah kalau gitu cariin. Aku nggak punya calon soalnya…”

“Yakin mau papi yang cariin? Nggak mau cari sendiri?” Lagi, Wirya berusaha menjaga nada suaranya untuk tidak kelihatan terlalu girang. Putrinya ini ibarat bunglon yang bisa berubah warna sewaktu-waktu. Detik ini merah muda manis, detik berikutnya hitam mengerikan. Namun anggukkan Mila sudah cukup menjadi jawaban.

“Yang bener tapi carinya ya pi! Jangan yang aneh! Papi sama mami orang yang paling ngertiin aku, makanya aku percaya nih.” Jelas Mila sedikit mengancam.

“Ck, kamu kayak nggak tahu selera papi aja,” Wirya berdecak kesal. “Nggak akan menyesal kamu! Siap-siap ketemu sama orangnya. Papi sudah punya kandidat terkuat, dijamin kamu nggak bakalan nolak.” Lanjut Wirya bangga.

Mila memejamkan matanya sambil mengusap kedua pelipisnya. Detik ini dia buka suara untuk minta dicarikan calon, detik ini juga papinya sudah punya. Berarti memang papinya sudah berniat menjodohkannya. Untuk kali ini dia akan jadi anak yang patuh, kali saja mereka berdua memang berjodoh nantinya. Siapa yang tahu kan.

“Kapan kamu bisa ketemu? Papi atur waktunya.”

“Bulan depan, aku mau ke Paris kurang lebih tiga mingguan sampai satu bulan. Ada acara. Nanti aku kabarin papi kalau aku udah balik ke Indonesia.” Semangat Wirya yang menggebu-gebu hilang begitu saja.

“Ke sana lagi? Perasaan baru bulan kemarin kamu ke sana kok sudah balik lagi?”

“Ngaco! Itu lima bulan yang lalu aku ke sana dan nggak sampai dua minggu.” Wirya manggut-manggut sambil mengunyah makanannya.

“Oke, papi tunggu kamu pulang ke Indonesia.”

 

***

 

Katakanlah Mila bodoh. Hari gini masih ada yang namanya perjodohan. Bagi sebagian kaum awam memang aneh, tapi percayalah untuk kalangan dengan ekonomi atas seperti dirinya, ini adalah hal yang wajar.

Dia sudah sering dengar maminya bercerita tentang bagaimana putra-putri teman-temannya menikah karena perkenalan kedua orang tuanya. Perjodohan ini memang bukan perjodohan yang ekstrim seperti Siti Nurbaya yang penuh dengan paksaan. Tapi tetap saja kalau ada campur tangan orang tua tetap perjodohan kan.

Mila memandang kamar tidurnya yang tidak berubah sedikitpun sejak terakhir kali dia tinggalkan. Bahkan barang-barang yang ada di atas meja belajarnya juga tidak bergeser dari sana. Masih sama seperti dulu.

Seketika Mila tertawa miris. Pernahkah dia katakan kalau menjadi pintar itu bukan hal yang menyenangkan. Sesuatu yang dianggap anugrah malah berbalik jadi bencana untuk dirinya. Menjadi pintar itu berarti tidak memiliki teman, sama sekali, setidaknya itulah yang Mila rasakan.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Mila. Amanda, maminya berdiri di ambang pintu. Wanita lembut itu memasuki kamar Mila dengan senyum yang begitu teduh, ikut duduk di pinggir tempat tidur bersama Mila.

“Tidur di rumah Mil? Nggak kangen kamar kamu yang serba pink ini?” Amanda terkekeh.

“Hari ini Mila mau menginap, sebelum ke Paris. Kangen juga tidur disini. Kamar Mila nggak berubah ya mi.” Tidak ada jawaban dari Amanda selain elusan lembut pada rambutnya yang akhirnya membuat Mila menatap Amanda.

“Kalau kamu nggak mau nggak perlu dipaksa. Jangan dengerin papi, dia cuma lagi sensitif saja. Namanya sudah tua. Jangan menikah kalau kamu memang belum mau menikah. Urusan perusahaan, papi punya segudang karyawan yang mumpuni untuk meneruskan perusahaan. Nggak harus kamu.”

Bagaimana mungkin Mila tidak terharu. Dia punya ibu yang begitu pengertian dan menyayanginya. Kalau mau adu keberuntungan, memiliki ibu seperti Amanda saja dia sudah amat sangat beruntung.

“Siapa yang bilang Mila mau menikah mi? Mila bilang kan Mila setuju dengan ide papi, tapi kalau nggak ketemu orang yang pas gimana Mila mau menikahnya? Lagian kan nggak ada yang tahu, siapa tahu calonnya papi malah cocok sama Mila. Kesempatan nggak datang dua kali kan?” Mila menaik turunkan alisnya menggoda Amanda.

“Mami cuma nggak mau kamu merasa terbebani…”

“Nggak terbebani, kalau jadi beban Mila udah buru-buru kabur. Mami kayak nggak tahu anak manja mami ini aja. Mana bisa aku sedih-sedih sama susah-susah.”

Ibu dan anak itu saling berpelukan, menyalurkan rindu dan kasih sayang yang sudah lama terpendam. Mila terlalu ingin menjadi dewasa dan mandiri hingga lupa kalau pelukkan maminya begitu nyaman dan hangat, suara papinya begitu tenang untuk didengar.

“Pokoknya mami maau anak mami jadi dirinya sendiri, bahagia dengan apa yang dia lakukan. Nggak perlu dengerin omongan orang lain…”

 

***

post-image-66d15699b74f9.jpg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ternyata Kita Tetangga - 3. Itu-Itu Saja
12
0
Karmila ingin menenggelamkan dirinya ke dalam Samudra Atlantik, tenggelam dan mati membeku ketika tahu kalau tetangga baru di samping unit apartemennya adalah Pradipta. Ya, Pradipta yang lima belas tahun lalu menolak cintanya mentah-mentah dan mempermalukannya ketika mereka masih berseragam putih abu-abu.Lima belas tahun, dan semuanya sudah berubah kecuali Pradipta. Lelaki itu masih tengil, kurang ajar, dan sialnya juga masih tampan, tidak berkurang sedikitpun malah semakin bertambah. Dipta menganggap dirinya bertemu dengan teman lama, sedangkan Mila tidak pernah menganggap lelaki sebagai itu teman. Dipta tidak tahu saja kelakuannya ketika menolak Mila mentah-mentah sambil mempermalukannya di depan seluruh kelas dulu menjadi trauma tersendiri untuk Mila.Mila kira bertetangga dengan Dipta sudah merupakan kutukan yang dia terima, tapi ternyata masih ada hal yang lebih mengerikan lagi selain itu. Benar-benar mengerikan karena bisa membuat Mila yang tidak punya riwayat asma jadi sesak nafas seketika.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan