
Karmila ingin menenggelamkan dirinya ke dalam Samudra Atlantik, tenggelam dan mati membeku ketika tahu kalau tetangga baru di samping unit apartemennya adalah Pradipta. Ya, Pradipta yang lima belas tahun lalu menolak cintanya mentah-mentah dan mempermalukannya ketika mereka masih berseragam putih abu-abu.
Lima belas tahun, dan semuanya sudah berubah kecuali Pradipta. Lelaki itu masih tengil, kurang ajar, dan sialnya juga masih tampan, tidak berkurang sedikitpun malah semakin bertambah.
Dipta menganggap...
“Jangan melihatku seperti itu…” Kata Mila ketika dia sudah menutup pintu mobil Yoga. Lelaki itu tampak gagah tentu saja dengan kemeja biru muda, dasi garis-garis biru tua, dan celana abu-abu tua yang senada dengan jasnya. Tatapan menusuk yang terlihat jelas dari kacamata aviator yang digunakan Yoga.
Kemarin Yoga bilang jam tujuh pagi dia akan menjemput Mila di sini. Ketika Yoga bilang jam tujuh pagi, artinya bukan dia akan sampai jam tujuh pagi, melainkan mereka akan berangkat jam tujuh pagi dan Yoga sudah akan tiba sebelum jam tujuh pagi. Untung saja Mila tidak terlambat, tapi kenapa lelaki itu malah menatapnya begitu.
“Kamu masih ingat apa yang kita bicarakan kemarin di telpon?” Tanya Yoga yang langsung membuat kening Mila berkerut.
“Hampir semuanya aku rasa. Kenapa memangnya?”
“Coba sebutkan garis besar pembicaraan kita kemarin.” Kali ini adalah perintah, bukan perminataan. Terdengar jelas dari nada bicara Yoga.
“Aku bilang mau buka brand perhiasanku sendiri, lalu aku minta pendapatmu dan kamu bilang kita bicarakan hari ini, makanya kamu jemput aku kan?” Yoga mengangguk membenarkan. Cerdas, ketika dia bilang untuk menjelaskan secara singkat Mila benar-benar melakukannya.
“Good, artinya kamu sedang tidak mabuk semalam ketika menelponku. Pakai sabuk pengamanmu.” Mila benar-benar tidak percaya dengan lelaki yang ada di sampingnya ini. Dia meminta Mila mengulang semuanya hanya untuk memastikan kalau Mila serius dengan idenya? Keterlaluan Yoga.
“Aku nggak pernah mabuk! Segelas wine tidak akan membuat orang mabuk.” Protes Mila tidak terima sambil memasangkan sabuk pengamannya. Ketika Yoga sudah melihat sabuk pengaman itu terpasang, dia langsung menginjak gas dan melajukan mobilnya.
“Siapa yang tahu, mabuk mana bisa diprediksi kan.” Sahut Yoga cuek. Untung saja jalanan belum mulai padat, ya karena mereka berangkat masih pagi juga.
“Kamu sudah rapi sekali pagi-pagi begini.” Mila membandingkan penampilannya dengan Yoga yang sudah siap paripurna. Memang dia tidak jelek-jelek amat, tapi kalau disandingkan mereka amat sangat jomplang. Mila hanya mengenakan celana jeans biru muda dengan kaos slimfit hitam. Dia tidak menggunakan riasan wajah selain tabir surya dan alis.
“Saya harus kerja, memangnya kamu mengharapkan saya datang seperti apa? Kaos dan celana pendek?” Yoga sempat menatap Mila sebentar sebelum kembali fokus pada jalanan. Dengusan jengkel Mila tentu saja bisa didengar jelas oleh Yoga.
“Mulut lelaki ini tajamnya ampun…” Keluh Mila dalam hatinya. “Siapa tahu kan habis ini mau pulang siap-siap lagi.” Kata Mila pelan sembari memperhatikan jalanan.
“Repot dan macet, yang ada saya terlambat kerja nanti,” Biar pelan juga Mila lupa kalau Yoga tidak tuli dan masih punya pendengaran yang baik. “Kamu mau sarapan apa?” Yoga mengubah topik pembicaraan mereka sebelum nanti malah berakhir dengan saling adu mulut.
“Kopi, roti, atau croissant. Bubur ayam juga boleh, atau nasi uduk juga nggak apa-apa.” Yoga melirik Mila sekilas.
“Jadi mau yang mana? Nggak mungkin makan semuanya kan?” Tidak ada jawaban dari Mila, tapi Yoga tahu kalau Mila sedang berpikir sekarang. Sungguh untuk sekedar memutuskan mau makan apa saja sampai perlu berpikir sekeras itu? “Ya sudah semuanya saja…” Kata Yoga.
Yoga membawa Mila ke sebuah restoran cepat saji yang terkenal. Menu sarapan lumayan lengkap ada di sana, paling tidak kopi, bubur, dan nasi uduk bisa Mila dapatkan jadi dia tidak pusing memikirkan sarapannya.
Mata Mila berbinar ketika tahu Yoga membawanya kemana. Buru-buru dia keluar dari mobil dan mensejajarkan langkahnya dengan Yoga.
“Kamu the best! Aku makin suka sama kamu…” Tentu saja Mila girang bukan main. Sudah lama dia tidak makan langsung di restoran cepat saji, kebanyakan dia akan delivery makanannya ke apartemen dan menikmatinya sendirian. Sungguh bukan hal yang menyenangkan. Yoga sudah lebih dulu memesan pesanannya dengan menekan layar yang ada disana. Kopi hitam panas dan pancake.
“Kamu pilih sendiri kamu mau apa. Saya tunggu di kasir.”
“Kamu yang bayar ya? Aku lagi butuh modal banyak buat bikin usaha.” Kata Mila sedikit kencang karena Yoga sudah beranjak, tapi samar-samar Mila masih bisa melihat anggukan kepala Yoga dari belakang.
Langsung saja Mila melihat-lihat makanan yang mau dia pesan. Ice cappuccino, pancake, bubur ayam, dan apple pie. Rasanya sudah lebih dari cukup untuk sekedar sarapan. Mila langsung menyelesaikan pesanannya yang kemudian langsung muncul di kasir, tempat Yoga sudah berdiri sambil memainkan ponsel pintarnya.
Setelah membayar mereka mencari tempat duduk sambil menunggu pesanan mereka datang. Mila memilih tempat di lantai dua, sedikit pojok dan dekat dengan jendela.
“Aku sudah lama banget nggak makan disini. Nggak sabar mau makan…”
“Terus nggak jadi bahas ide cemerlang kamu yang muncul malam-malam begitu?” Mila terkekeh tidak enak hati jadinya. Padahal setengah sebelas malam itu belum terlalu malam menurutnya.
“Sebenarnya munculnya sudah dari kemarin siang, tapi aku masih mikir-mikir sampai malam. Pas malam aku keingat sama kamu, cuma kamu yang bisa aku ajak diskusi masalah ini,” Mila menjeda perkataannya ketika pesanan mereka datang. “Terima kasih.” Ujar Mila pada pramusaji yang mengantarkan pesanan mereka.
“Yakin sekali saya bisa jadi teman diskusi yang menyenangkan…” Mila mengangguk dengan semangat.
“Tentu saja. Kamu nggak merasa kita cocok? Aku sudah perhatikan beberapa kali. Sama kamu aku nggak perlu menjelaskan sesuatu panjang lebar tapi kamu sudah bisa tahu maksud aku. Aku nggak perlu bilang aku butuh ini dan itu tapi kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan. Kaya sekarang, tanpa harus aku bilang kita mau makan diamana saja kamu sudah bisa tahu harus bawa aku kemana dengan penjelasan gak jelas aku tadi. Aku nggak tahu kamu yang kelewat pintar atau gimana, tapi kayaknya nggak deh. Soalnya aku kan pintar juga, tapi aku nggak kaya kamu.”
Tawa Yoga pecah ketika mendengarkan semua penjelasan Mila. Sungguh dia tidak menyangka kalau bisa-bisanya seorang jenius dengan IQ diatas 120 ini bicara seperti itu. Yoga pikir Mila yang dibilang orang-orang jenius itu punya kepribadian yang kaku, sebelas dua belas dengan dirinya, itu juga poin yang membuat Yoga ragu akan hubungan mereka. Tidak tahunya Mila pandai berguyon juga.
“Kamu bisa menarik kesimpulan kalau kita cocok hanya dari itu?” Lagi-lagi Mila mengangguk, tapi kemudian dia menggeleng.
“Nggak juga sih, yang tadi karena aku merasakan sendiri, kalau yang lainnya ya karena papi sesuka itu sama kamu,” Mila menghela nafasnya. “Salah satu alasan yang bikin aku mau kenalan sama kamu karena papi sesuka itu sama kamu. Tahu kan papi jarang muji-muji orang, tapi kalau sama kamu berasa kamu yang anaknya. Semakin kesini aku semakin tahu kenapa papi bisa begitu. Dan aku nggak menyesal kenal kamu.”
Kalimat terakhir Mila mampu membuat hati Yoga bergetar. Bagaimana tidak, dia yang sebelumnya belum pernah punya perasaan dan menjalin hubungan dengan wanita manapun dihadapkan dengan sorang wanita cantik, mandiri, berprestasi, dan tentu saja baru memujinya mana mungkin tidak ada yang bergejolak dalam dirinya.
“Jadi kamu mau jadi kekasih saya?” Terdengar ringan diucapkan oleh Yoga, tapi sebenarnya dia sudah berusaha membuat dirinya setenang mungkin dan menyelipkan nada jenaka ketika mengucapkannya.
“Kalau aku bilang mau, kamu mau nggak sama aku?” Jawaban yang diluar dugaan Yoga. Sekarang dia malah bingung harus menjawab apa, tapi yang Yoga tidak sadari adalah tubuhnya bergerak lebih cepat dibandingkan pikirannya. Kepalanya mengangguk begitu saja sebelum dia sempat menyadari dan senyuman Mila sudah menyambutnya.
Yoga memejamkan matanya sesaat, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Baru kemudian dia berani menatap Mila. Setelah menetralkan degup jantungnya dan membawa pikirannya kembali ke alam sadar, Yoga mulai menegakkan duduknya.
“Kita coba sampai sejauh mana kita bisa melangkah, paling tidak kalau sudah dicoba kita sama-sama tahu.” Mila mengangguk setuju.
“Beritahu aku kalau kamu sudah jatuh cinta padaku, aku nggak akan pergi kemana-mana. Tetap di samping kamu…” mila mengaduk minumannya kemudian menyeruputnya sambil menunduk, menghalau tatapn Yoga yang tajam. Entah dari mana Mila memperoleh keberanian untuk mengatakan hal yang barusan. Yang pasti sekarang dia sedang menahan malu sebisa mungkin.
Suasana jadi terasa canggung. Mila yang sibuk dengan makanannya, dan Yoga yang sesekali mengecek ponselnya. Untuk beberapa saat mereka bisa menikmati makanan dengan tenang. Tapi bukan ini tujuan Yoga mengajak Mila sarapan.
“Jadi, bagaimana dengan ide bisnis kamu?” Yoga berusaha mencairkan suasana tegang diantara mereka. Makanan Mila sudah hampir habis, sementara dirinya hanya menyisakan kopi hitam yang tinggal setengah.
“Oh, jadi seperti yang kemarin aku bilang, aku mau buat lini perhiasanku sendiri. Cuma aku benar-benar memulainya dari nol. Aku nggak punya koneksi, nggak tahu harus kemana, nggak ada tempat, nggak ada apa-apa pokoknya, terlebih aku nggak ada pengetahuan bisnis sama sekali. Modal aku cuma bisa desain yang cantik saja…” Yoga berdecah mendengarnya.
“Makanya saya bilang papi kamu jauh lebih relate untuk di tanya-tanya masalah bisnis.” Mila memanyunkan bibirnya tidak setuju.
“Papi bawel, kamu jauh lebih baik. Kamu nggak mau bantu pacar kamu?” Mila menaik turunkan kedua alisnya menggoda Yoga yang kini pasrah.
“Mulai dari tentukan dulu market kamu ada di mana, baru nanti bisa kita urus semunya,” Kening Mila berkerut, tanda kalau dia tidak mengerti yang dikatakan Yoga. “Kamu pernah lihat Cartier ada di dalam pasar nggak? Padahal kan di dalam pasar banyak toko mas dan berlian.” Mila menggeleng.
“Kalau di Paris sih ada di pinggir jalan, cuma bukan jalan biasa, memang pusat belanja. Kalau di Indonesia rasanya cuma ada beberapa di mall besar.” Yoga mengangguk membenarkan.
“Target market Cartier berbeda. Sekalipun jualan berlian di pasar laku, tapi Cartier memang menargetkan pembelinya orang-orang kalangan menengah keatas, yang mainnya pun bukan ke pasar, tapi ke pusat-pusat perbelanjaan besar yang sederetannya brand mahal semua. Coba bayangin kalau Cartier buka di pasar Cikini, nggak relevan dengan pembelinya, yang ada sepi pengunjung. Jadi kamu bisa mulai dengan pikirin untuk siapa kamu bikin perhiasan ini. Saya nggak bisa jelasin disini karena panjang. Sebentar lagi juga saya harus ke kantor.” Yoga menatap jam tangannya yang sebentar lagi menunjukkan pukul delapan.
“Loh, terus aku ditinggal? Kan tadinya kita mau bahas ide aku untuk buka bisnis sendiri, kenapa belum apa-apa sudah mau ke kantor lagi?”
“Saya harus kerja, nggak mungkin saya meninggalkan pekerjaan saya hanya untuk membahas ‘ide kamu’ kan? Kita bisa bahas lain waktu lagi. Saya antar kamu ke apartemen.” Mila tidak suka dengan jawaban Yoga.
“Kamu sibuk, kapan lagi kita bisa bicara begini coba? Sebut tanggal dan jamnya.” Yoga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Karena perbincangan yang meleset tadi mereka malah tidak punya waktu banyak membicarakan hal yang seharusnya. Yoga tampak berpkir, mengingat-ingat jadwalnya hari ini.
“Ikut saya ke kantor dan kita bahas lebih lanjut. Saya tidak ada agenda rapat hari ini.” Telak, ucapan Yoga memang seperti perintah dibandingkan dengan tawaran. Seketika wajah Mila berubah menjadi cerah. Cepat-cepat dia menghabiskan minumannya dan bangkit berdiri supaya tidak ditinggal Yoga.
***
Berjalan beriringan dengan Yoga ternyata jadi salah satu hal baru yang menyenangkan bagi Mila. Ketika sampai di lobby kantor tentu saja seluruh karyawan yang lewat menyapa mereka. Ada yang curi-curi pandang penasaran, padahal Mila dan Yoga hanya berjalan biasa saja. Apalagi kalau mereka bergandengan tangan, ada yang akan pingsan mungkin.
Sampai di ruangan Yoga, Mila langsung duduk manis di sofa. Sementara Yoga langsung menuju ke meja kerjanya, membuka laptopnya dan membaca beberapa berkas yang kelihatannya penting karena lelaki itu sanggup mengabaikan Mila.
Tidak mau mengganggu, Mila juga mencari kesibukannya sendiri. Dia menemukan tumpukkan majalan arsitektur dan meraihnya, membolak-balikkan majalah tersebut. Siapa tahu dia jadi punya inspirasi baru.
Tiga puluh menit Yoga sibuk dengan laporannya hingga akhirnya dia punya waktu untuk mengalihkan perhatiannya pada Mila. Ditatapnya wanita yang kini duduk anteng sambil membaca majalah tersebut. Ketika mereka menginjakkan kaki di dalam ruangan, Yoga langsung membuka semua pekerjaan yang membutuhkan persetujuannya segera. Meninggalkan Mila sendirian, yang untungnya dengan begitu pengertiannya Mila tidak merecokinya.
“Kenapa tiba-tiba kamu mau membuka bisnis perhiasanmu sendiri, meninggalkan Cartier yang sudah membesarkan namamu seperti sekarang?” Mila mengalihkan pandangannya dari majalah, menatap Yoga dan kemudian meletakkan majalah tersebut begitu saja.
“Aku mau memulai sesuatu yang baru, keluar dari zona nyaman, dan berkreasi sesuai dengan kreativitasku. Mencari sesuatu yang berbeda saja, bonusnya aku tidak perlu jetlag karena terlalu sering terbang Jakarta-Paris,” Mila terkekeh, menutup majalah yang sempat dia baca tadi dan mengembalikannya ke tempat semula.
“Jangan bilang papi dulu please. Aku nggak mau papi tahu dulu, nanti malah jadi ribet. Kalau semuanya sudah matang dan pasti aku akan kasih tahu sendiri ke papi.”
Yoga tidak habis pikir dengan Mila dan ayahnya. Bagaimana mungkin mereka menyembunyikan sesuatu dari seorang Wirya. Mila dan dirinya tidak perlu repot-repot buka suara juga Yoga berani bertaruh Wirya akan tahu dengan sendirinya.
“Saya tidak habis pikir, kamu punya segalanya yang bisa membuat hidupmu jauh lebih mudah, tapi kenapa harus memilih jalan yang sulit. Banyak orang yang rela melakukan apa saja untuk bisa ada di posisi kamu sekarang.” Mila mendesah. Yoga bukan orang pertama yang mengatakannya dan terus terang saja Mila sudah muak mendengarnya.
“Nggak ada hidup yang mudah. Nggak sesusah yang lainnya bukan berarti mudah. Jangan kira ada di posisi aku enak. Semuanya terlihat enak dan mudah karena aku yang di posisi ini, kalau orang lain belum tentu. Bahkan kalau aku melihat kamu dari sudut pandangku sekarang hidup kamu jauh lebih menyenangkan dibandingkan denganku. Menurutku, tapi kamu pasti mau protes kan aku bilang begitu?” Sergah Mila cepat ketika mendapati Yoga akan segera melontarkan kata-katanya.
“Kamu harus kerja keras untuk ada di tempat sekarang kamu berada, tapi kamu punya hak seratus persen penuh untuk bangga dengan diri kamu sendiri. Kalau aku? Mau aku jungkir balik setengah mati juga orang-orang nggak akan menganggap itu hasil kerja kerasku, makanya sebisa mungkin aku menghindari campur tangan papi. Paling nggak walaupun aku nggak bisa pamer ke orang lain, aku masih bisa bangga dengan pencapaianku sendiri.” Lanjut Mila lagi.
Ya, Yoga memang tidak pernah tahu rasanya menjadi Karmila, karena yang Yoga lihat tentu sama seperti yang orang lain lihat. Kalau Mila bisa sukses dengan karirnya tentu tidak akan ada yang heran dan akan terlihat biasa saja. Berbanding terbalik dengan orang biasa.
“Masih ada beberapa berkas yang harus saya periksa, setelah itu kita lanjutkan pembicaraan kita tadi mengenai target market kamu.”
Tentu saja Mila bahagia bukan main mendengarnya. Dia mengacungkan jempol kanannya. Tenang saja, mau lama pun Yoga berkutat dengan berkas-berkasnya akan Mila tunggu.
***
“Gue kira Damas bercanda kemarin waktu bilang kalian sebelahan. Ckckck… Jangan macam-macam Ta.” Dipta menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Kemarin Damas, sekarang Marvo yang memperingatkannya. Padahal dia sama sekali tidak punya niat buruk pada Mila.
“Memangnya gue mau ngapain sih? Nggak Damas, nggak lo, sama aja kalian berdua.”
“Intinya jangan macam-macam dan berharap lebih sama Mila. Ingat status lo, kalian beda jauh. Bukan langit sama bumi lagi perbandingannya, tapi sudah surga sama neraka.” Tidak ada nada bercanda sedikitpun dalam kata-kata Marvo karena dia tidak berniat bercanda.
“Gue nggak macam-macam dan nggak berharap apa-apa. Biarkan semuanya mengalir begitu saja.” Jawaban Dipta cukup membuat Marvo puas.
Kedua sahabat itu kembali menikmati makan siang mereka. Marvo memutuskan mengajak Dipta makan siang bersama di salah satu restoran yang baru buka. Kebetulan jaraknya juga dekat dari kantor mereka. Berakhirlah pembicaraan mereka pada Mila. Siapa lagi biang keroknya sampai Marvo ikutan tahu tentang Mila kalau bukan dari Damas.
“Gue bukan nggak mau lo bahagia. Lo berhak bahagia setelah apa yang lo lalui, harus malah. Tapi dengan Mila? Setelah sejarah panjang kalian yang nggak baik-baik aja? Gue yakin lo udah banyak belajar dari pengalaman, terutama kegagalan hubungan lo sama Dior. Saran gue mending lo mulai dengan orang yang baru aja.”
Dipta tidak menjawab. Dia lebih memilih menikmati makan siangnya ketimbang mendengarkan Marvo yang paling bijaksana diantara mereka semua. Percuma juga dia menjelaskan segala sesuatunya pada mereka. Diam jadi pilihan yang paling baik. Seperti yang Dipta bilang tadi, biarkan mengalir begitu saja dan waktu yang akan menentukan.
Tanpa perlu diberitahu juga Dipta sudah tahu diri, tahu posisi dan tempatnya ada di mana. Tidak perlu dipertegas lagi juga dia sudah tahu kalau Mila terlalu jauh digapai. Dia sendiri tidak bisa dengan gamblang mengatakan kalau dirinya menaruh perasaan pada Mila dalam bentuk cinta. Dipta masih mengambang dan berusaha menyelami perasaannya sendiri.
Bisa saja apa yang dia rasakan pada Mila hanya sebatas kebahagiaan sementara karena akhirnya dia bisa bertemu kemabali dengan Mila. Atau mungkin Mila adalah semacam pelepas dahaga setelah dua tahun terakhir meninggalkan Indonesia dan mengasingkan diri, hidup dalam kesepian. Melihat Mila ada di hadapannya ibarat mendapatkan air dingin ditengah padang gurun.
Intinya Dipta juga tidak tahu. Cukup dengan berjalan seperti ini saja dia sudah senang. Kalau kedepannya akan berubah, dia hanya bisa berharap perubahan itu akan mengarah pada sesuatu yang baik, bukan yang menyakitkan seperti dirinya dan Dior.
“Lo sudah pergi terapi?” Tanya Marvo yang dijawan dengan anggukkan Dipta.
“Balik ke tempat yang dulu lagi, habisnya gue bingung mau kemana. Gue udah nyaman juga sama dia.” Kali ini gantian Marvo yang mengangguk.
“Kalau lo butuh sesuatu lo tahu kan kalau gue sama Damas selalu siap siaga. Tengah malam lo telpon saja kita pasti bakalan datang. Jangan sok kuat dan sok nggak butuh siapa-siapa. Semua orang butuh orang lain Ta…”
Dipta ingin menjewer bibir Marvo rasanya. Sahabatnya itu sekarang tampak seperti bapak-bapak usia enam puluh tahun yang sedang menceramahi anak lelakinya. Dipta jadi heran kenapa dia dan Damas bisa sedekat ini dengan Marvo.
Seingatnya dulu Marvo memang paling dewasa diantara mereka. Sekarang ketika mereka mulai beranjak dewasa, rupanya Marvo bertransformasi jadi tua dan suka ceramah.
“Lo kalau lagi mode begini mirip bokap gue. Nyebelin…”
“Kalau lo sama Damas bener gue nggak akan jadi kayak bapak-bapak begini. Gimana gue nggak kayak bapak-bapak kalau kaliannya pada kayak bocah. Yang satu susah move on dari masa lalu, yang satu lagi kebanyakan keluar masuk night club gonta-ganti mainan. Belum aja apes kena penyakit menular dia…” Dipta hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum.
***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
