
"Aaarrgghh, pelan-pelan Tar." Melvin memegang sudut bibirnya yang sudah sedikit bengkak dan membiru. Mereka kembali ke rumah Mentari, tidak mungkin ke kantor dengan keadaan Melvin yang begini. Alhasil Mentari putuskan untuk kembali ke rumah dan mengobati luka Melvin.
"Baru kena pukul sekali sudah begini." Mentari mencoba kembali mengompres Melvin.
"Sakit, pelan-pelan. Kamu kenceng banget ngompresnya. Pakai perasaan sedikit dong sayang." Mentari melirik kesal. Setelah apa yang terjadi, dia sama sekali...
"Kamu tahu kenapa aku menghilang begitu aja selama hampir satu minggu setelah kita jalan-jalan ke Dufan?" Mentari menggeleng.
"Aku pulang ke apartemen, menyendiri, memikirkan semua kata-kata Gemal waktu itu. Apa mungkin kita nggak bisa bersama? Apa mungkin kita memang harusnya nggak usah bertemu? Kalau kamu menyuruhky berpikir jutaan kali sebelum melamar kamu, percayalah bukan jutaan kali lagi yang aku pikirikan, mungkin sudah milyaran. Dan jawabannya tetap, aku mau kamu, bukan yang lain,"
Mata Mentari berair, dia berusaha menahan cairan bening yang menggenang di pelupuk matanya untuk tidak turun, namun ternyata dia tidak mampu. Tangan Melvin terulur, mengusap air mata Mentari, kemudian membawa wanita itu masuk ke dalam pelukannya.
"Mungkin kamu harus melewati jalan yang sama lagi ketika kamu memutuskan untuk tetap bersamaku, tapi percayalah, jalannya mungkin sama, tapi ujungnya akan berbeda. Kali ini kamu tidak sendirian, ada aku. Kamu hanya perlu berjalan, melewatinya lagi, sisanya biarkan aku yang membereskan. Aku yang akan membersihkan jalannya untukmu, kamu hanya perlu berjalan saja. Jadi jangan khawatirkan apapun, apalagi tentang Adrian, karena aku yang akan membereskan semuanya."
Mentari makin terisak di dalam pelukan Melvin. Sepuluh tahun terakhir dia tidak pernah menangis. Bahkan dia sendiri saja lupa bagaimana caranya menangis, dan Melvin mampu membuatnya luluh lantah hari ini.
Hampir setengah jam mereka ada di posisi itu. Mentari sudah berhenti terisak, namun dia masih betah berada di dalam dekapan Melvin. Entah mengapa dia jadi merasa begitu nyaman berada di dekat lelaki itu. Padahal dulu Melvin adalah spesies yang paling Mentari hindari.
"Kamu mau nangis terus sampai sore nih? Kamu nggak mau ke kantor?" Mentari melepaskan tubuhnya dari dekapan Melvin, menatap lelaki itu sedikit kesal. Ini memang baru pukul setengah sembilan pagi, tapi mood Mentari untuk bekerja sudah berantakan.
"Aku udah nggak niat kerja. Kalau kamu mau kerja ya kerja aja." Ketus Mentari yang hanya dihadiahi kekehan kecil dari Melvin.
"Aku mah suka-suka mau ke kantor apa nggak, kantor sendiri ini. Ya udah sini peluk lagi kalau nggak mau ke kantor," Melvin merenggangkan tangannya, bersiap menyambut Mentari masuk ke dalam pelukannya. Sayang dia malah dihadiahi lemparan bantal. "Yah, malah dikasih bantal." Melvin pura-pura kecewa sambil meletakkan bantal itu kembali ke sofa.
"Kamu kenapa nggak bilang sih kalau udah tau semuanya?"
"Aku menunggu kamu yang bicara. Menunggu kamu siap bilang siapa ayahnya Kai." Jawab Melvin santai.
"Terus kalau aku nggak bilang gimana? Kita bakalan lanjut aja seolah-olah nggak pernah terjadi apa-apa? Terus aku kalau ketemu sama keluarga kamu gimana?"
"Kamu nggak bakalan diem aja kalau kita udah mau married nanti, pasti ngomong juga. Nggak mungkin kamu mau menyembunyikan ini dari calon suami kamu kan?" Sungguh Melvin ini hidupnya memang tidak ada beban atau tidak ada pikiran sama sekali, atau jangan-jangan tidak ada otaknya. Bisa-bisanya dia sesantai ini.
"Apa kata keluarga kamu nanti? Mama kamu? Kakak kamu? Kita nggak akan direstuin Vin."
"Peduli setan, yang mau nikah kita kenapa mereka yang ngatur. Aku nggak peduli mereka mau setuju apa nggak, mereka nggak bertanggung jawab tentang kebahagian kita. Kan aku bilang kamu nggak perlu memikirkan apapun tentang kedepannya. Cukup jalani saja semuanya denganku, sisanya aku yang akan urus." Mentari hanya bisa menghela napas dan mengelus dada mendapati jawaban Melvin yang begitu.
"Kamu ngerti nggak sih yang akan kita hadapi kedepan itu apa? Adrian terang-terangan mau pengakuan sebagai ayahnya Kai, keluarga kamu bakalan shock berat kalau tau calon isteri kamu itu mantannya sepupu kamu sendiri. Kamu kebayang nggak kalau reuni keluarga ini mau jadi apa?"
"Nggak usah ikut reuni keluarga, lagian keluarga aku juga nggak pernah ngadain acara begitu-begituan."
"Terserah kamu aja deh." Mentari mengambil tasnya, meraih ponselnya dan mendiamkan Melvin. Dia memeriksa beberapa pesan yang masuk, siapa tahu ada yang penting.
"Tar....," Panggil Melvin tapi tidak mendapatkan respon apa-apa dari Mentari. "Tar, hey, lihat aku sebentar." Mau tidak mau Mentari mengalihkan perhatiannya pada Melvin.
"Keluargaku dan keluarga Mas Adrian tidak begitu dekat, tapi bukan berarti kami tidak punya hubungan. Semenjak Mas Adrian pulang dari Amerika dan sukses, kami hampir tidak pernah lagi berhubungan, apalagi semenjak dia menikah. Kita nggak akan sering-sering ketemu mereka, tapi kalau setahun sekali atau dua kali oke lah ya. Kalau masalah ibuku, itu biar aku yang urus nanti, dia lumayan cerewet sih memang. Kalau Mba Lora harusnya nggak banyak ikut campur. Udah deh intinya nggak ada yang harus dipikirkan banget. Males banget mikir keras buat orang lain Tar." Kata Melvin memelas.
"Aku nggak ngerti lagi deh otak kamu tuh se simple itu ya."
"Iya nggak usah mikir yang rumit-rumit lah, kasihan otak aku nanti kalau free space nya dikit jadi lemot, otak kan gak bisa upgrade space lagi Tar. Udah dikasih Tuhan segitu ya segitu aja kapasitasnya. Kamu nggak perlu pusingin keluarga aku deh, itu semua nanti aku yang urus, kamu terima beres. Habis itu kamu baru kenalin aku ke keluarga kamu." Melvin menaik turunkan alisnya, menunggu jawaban Mentari.
"Semoga aja bapak sama ibuku setuju ya..." Jawab Mentari asal.
"Ih! Setuju dong, masa calon suaminya aku nggak setuju. Melvin ini loh, udah cakep, baik, ramah, mapan, perhatian, sayang anak lagi. Kurang apalagi aku, udah suami-able banget."
Mentari menatap luka di sudut bibir Melvin yang belum kering-kering sekali. Masih terluka saja dia sudah bisa bertingkah seperti ini. Kalau dipikir-pikir, kelakuan Melvin jauh lebih aktif dibandingkan Kai yang masih dalam pertumbuhan.
"Kamu belum pernah ketemu sama keluargaku kan, mana tau mereka nggak setuju karena kamu terlalu pecicilan begini."
"Belum ketemu sih, tapi Kai banyak cerita. Sedikit banyak aku punya bahan analisis seperti apa calon mertua sama calon ipar aku nanti." Sepertinya Mentari harus memberikan briefing untuk putranya nanti supaya tidak terlalu terbuka dan gampang cerita pada orang lain.
"Curang kalau senjatanya Kai." Ujar Mentari kesal.
"Jangan cemberut gitu dong," Melvin mencolek dagu Mentari. "Makin menggoda aja kalau begitu jadinya." Mentari yang kaget makin melotot. Kelakuan Melvin makin kesini makin meresahkan.
"Ck, udah istirahat dulu sana, atau nggak kompres lagi itu lukanya. Aku mau telepon orang kantor dulu. Siapa tau ada yang bisa tolong bawain mobil aku."
"Oh iya, mobil kamu masih di kantor ya?" Melvin baru ingat kalau semalam mereka pulang bersama dan dia menyuruh Mentari meninggalkan mobilnya di kantor.
"Gara-gara siapa coba mobilnya masih di kantor? Pakai acara lupa segala. Iiisshhh!!!" Dalam hati Mentari sudah dongkol luar biasa. Dia beranjak ke dapur, meninggalkan Melvin sendiri di sofa. Dia butuh air dingin supaya hati dan otaknya tidak overheat.
Mentari bisa mendengar derap langkah kaki Melvin yang mendekat. Ternyata lelaki itu mengikuti Mentari ke dapur. Mentari mengambil sebotol besar air dingin sembari membawa gelas kosong di tangannya, kemudian dia menutup pintu kulkas dengan kakinya.
"Tar, nanti siang kita jemput Kai lagi aja berdua, jadi mobil kamu nggak masalah ditinggal di kantor sampai besok."
Belum juga Mentari minum, baru menuangkan airnya ke dalam gelas, itu juga baru setengah, kemudian dia tutup lagi botolnya. Dia berputar menghadap Melvin sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Kamu kira aku minta mobilku diantar cuma untuk jemput Kai doang? Kai biasanya pulang sekolah juga dijemput sama Yuli, naik bajaj kalau nggak taksi. I need my car Vin, besok kan aku harus berangkat kerja juga." Melvin mengangguk-angguk mengerti.
"Oh, gampang itu mah aku bis-"
"Don't, just don't..." Mentari memotong kata-kata Melvin, menyuruhnya untuk tidak berkata-kata lagi karena dia tidak ingin mendengarnya. Dia sudah bisa menebak usulan Melvin. Lelaki itu pasti dengan senang hati ingin menjemputnya besok, mengantar Kai ke sekolah lagi sekalian berangkat kerja bersama. Lama-lama mereka tinggal serumah saja sekalian. Dia berjalan meninggalkan Melvin yang masih bingung dimana letak kesalahannya.
"Tar!" Melvin berjalan mengekori Mentari.
***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
