Fabula - 2. Teman Baru

10
2
Deskripsi

Karel jatuh cinta pada Hanina, perempuan yang terlalu tinggi untuk diraih oleh seorang anak pembantu seperti Karel. Dunia hanya akan berbaik hati pada mereka yang memiliki segalanya, bukan pada seorang lelaki seperti Karel.

Disaat Karel kira Nina juga menaruh rasa padanya, nyatanya lelaki itu hanya dipermainkan. Yang Nina tidak tahu adalah dia tidak boleh bermain dengan hati seorang lelaki seperti Karel. Sekali terluka, tidak akan bisa terobati.

Marah, dendam, sedih, semua jadi satu memuncak di dada...

“Selamat pagi anak-anak..,” Bu Diaz, wali kelas baru ku menyapa seluruh murid-murid dengan ceria. Aku berjalan mengekori Bu Diaz, namun mataku menatap sekeliling orang-orang yang akan menjadi teman sekelasku.

Ada Hanina di sana, duduk di kursi yang ada di barisan belakang. Bukan kursi barisan depan. Nina cuek, tidak terlalu tertarik dengan kehadiranku. Ada dua orang perempuan yang bersebelahan dengan Nina yang kemungkinan adalah teman dekatnya, mungkin.

“Kita ada teman baru nih, ayo sini. Perkenalan dulu, nama lengkap sama dari mana sebelumnya.” Bu Diaz mengulurkan tangannya, memanggilku untuk masuk dan berdiri di tengah.

“Karel Yunanda, dari…, Jawa Timur.” aku sempat berpikir sebentar, sepertinya tidak perlu memberitahukan persisnya dimana.

“Selamat datang dan selamat belajar Karel,” Bu Diaz tersenyum ramah. Dia mencari tempat duduk yang kosong untukku yang memang kebetulan di belakang. Tepat di belakang Hanina. Satu bangku kosong bersebelahan dengan seorang lelaki yang kelihatannya setengah tertidur. “Kamu bisa duduk di sana Karel, tinggal itu yang kosong di sebelah Bram.”

Aku mengangguk, berjalan ke belakang menuju kursi kosong yang ada di belakang Nina. Aku menatap Bram, laki-laki itu nyengir melihatku. Dia langsung memindahkan tas ranselnya yang sebelumnya ada di atas meja, mempersilahkanku untuk mengisi kursi dan meja kosong tersebut.

“Lo yang berangkat bareng Nina kan tadi? Gue lihat lo turun dari mobil yang sama dengan Nina.” Bram berbisik tapi dengan suara yang cukup kencang untuk bisa didengar Nina dan orang-orang di sekitar kami.

Perempuan yang duduk di samping Nina berbalik ke belakang menghadapku. Dia tersenyum menunjukkan deretan gigi rapinya, kemudian mengulurkan tangan kanannya padaku. “Monalisa, jangan bilang gue lukisan. Lo siapanya Nina?” aku terdiam, melihat tangan Mona yang terulur. Beberapa detik selanjutnya aku menjabat tangan Mona.

“Karel…” bingung mau menjawab apa. Aku siapanya Nina? Kami tidak punya hubungan apa-apa.

“Jangan rese, dia anaknya Bu Yuli.” jawab Nina cuek. Dia bahkan tidak mau repot-repot menghadap ke belakang menatapku.

“Wow, kerja sama Nina jadinya lo? Apa cuma ikut nyokap sekolah ke Jakarta?” kali ini Bram yang penasaran. Dia mencondongkan tubuhnya mendekat padaku. Membuatku mundur sedikit.

“Dia nggak kerja sama Papa, cuma sekolah aja.” kata Nina, cukup mampu membuat Bram dan Mona mengangguk bersamaan.

Baru aku ketahui kalau Bram dan Mona adalah teman baik Nina. Mereka sudah sering main ke rumah Nina, jadi tentu sudah mengenal ibuku. Satu lagi, seorang perempuan yang duduk di barisan depan yang kemudian aku ketahui bernama Angela. Siswi berprestasi yang juga sahabat baik mereka.

Di sekolah ini anak-anak lebih individualis dibandingkan sekolahku yang dulu. Sangat jarang mereka bergerombol dan bersahabat. Kebanyakan dari mereka hanya sekolah, kemudian pulang ke rumah. Mereka hanya akan berkumpul jika ada tugas-tugas kelompok saja.

Lain dengan Nina dan teman-temannya yang memang lebih seperti ke sekolah untuk bermain, bukannya belajar. Mereka sangat santai, kecuali Angela tentu saja karena dia punya kesibukan yang luar biasa mewakili sekolah di beberapa kompetisi. Jadi kalau sedang berkumpul di rumah Nina dia yang paling sering absen.

Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu dekat dengan teman-teman Nina, tapi mereka memperlakukanku dengan baik. Tentu saja karena Nina juga tidak pernah berlaku buruk padaku. Semakin sering kami menghabiskan waktu bersama di sekolah dan di rumah, semakin aku tahu kalau Nina begitu kesepian.

Kesibukan ayahnya mengurus bisnis dan usahanya membuat Nina jarang memiliki waktu dengan ayahnya. Nina bukan anak nakal yang suka mencari perhatian, namun ada kalanya dia juga suka berulah.

Lama kelamaan aku mulai bisa nyaman dengan semuanya. Terutama dengan candaan Bram yang kebanyakan garing. Tapi harus aku akui satu-satunya teman lelaki yang kupunya di sekolah ini hanya Bram. Yang lainnya hanya sebatas bertegur sapa. Sudah aku bilang kan kalau mereka semua individualis.

Beberapa bulan mengenal mereka aku sudah tahu dan hafal sifat-sifat mereka. Rumah Nina menjadi markas besar mereka dengan semua pelajaran dan kekacauan karena diantara mereka hanya rumah Nina yang kosong, tidak ada pengawasan orang tua. Aku sudah seperti bagian dari mereka sekarang, tanpa aku sadari.

Bramantyo, lelaki ini cukup cerdas ternyata. Sangking cerdasnya dia suka bermalas-malasan karena bosan dengan pelajaran yang diberikan di sekolah. Sama sepertiku yang hanya orang biasa, Bram bukan dari keluarga kaya raya. Hanya keluarga sederhana. Dia berhasil mendapatkan beasiswa penuh karena kepandaiannya dan juga kebaikan Angela.

Sama-sama pintar dan cerdas seperti Angela, bedanya Angela berasal dari keluarga mampu. Ketika dia mendapatkan beasiswa dari sekolah Angela tidak mau menerimanya dan memberikannya pada juara dua yang ada di bawahnya karena dia merasa tidak pantas menerimanya. Angela mampu membayar biaya sekolahnya. Dan tentu saja juara dua di sekolah ini adalah Bram.

Sementara Monalisa, dia sebelas dua belas dengan Nina. Yang membedakan adalah Nina lebih cuek dan ketus, sementara Mona jauh lebih berisik. Selayaknya perempuan-perempuan normal. Untuk kasus Nina aku bisa mengatakan kalau Nina berbeda dari perempuan lain.

Rasa percaya diri Nina begitu tinggi. Nina bisa dengan senang hati menindas siapa saja yang tidak dia suka, atau malah membelanya dari tindakan perundungan. Nina tidak pernah bisa ditebak.

Setiap kali kami berkumpul bersama, Bram dan aku selalu menjadi kamus berjalan. Kami yang akan selalu ditanya tentang apapun yang berhubungan dengan pekerjaan rumah atau tugas-tugas dari sekolah.

Nina dan Mona lebih banyak bermain atau bersantai. Saat tugas selesai mereka akan menyalin tugas milikku dan Bram. Kesal? Tidak. Aku tidak merasa kesal. Biasa saja. Aku tidak protes sama sekali ketika mereka melakukannya. Aku sadar diri, paling tidak masih ada yang bisa aku lakukan. Berarti aku masih berguna.

Ya, semenjak bangun dari koma aku jauh lebih menghargai hidupku. Aku memang bodoh karena pernah menghabiskan waktu untuk hal tidak berguna. Karena itu aku tidak mau mengulanginya lagi. Dan Hanina, tanpa perempuan itu mungkin aku juga tidak bisa merasakan seperti sekarang. Belajar dengan sangat layak.

“Gue nggak sangka otak lo kinclong banget. Bahkan setelah kecelakaan dan setahun nggak dipakai? Ckckck…” Mona berdecak menatap ku. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Aku belum terbiasa menggunakan bahasa lo-gue, aku anak desa. Tidak bicara dengan bahasa seperti itu.

Namun belakangan Nina lebih sering menggunakan lo-gue ketika bicara denganku. Aku masih beradaptasi untuk hal yang satu itu. Namun sepertinya jika seperti ini terus tidak akan ada masalah yang berarti. Tapi tidak dengan Nina, aku tidak mungkin bisa sesantai itu pada Nina. Dia tetap majikan, sementara aku hanya anak seorang pembantu. Tidak pantas didengarnya.

“Koma tapi kan fungsi otak tetap berjalan.” jawabku singkat.

“Ya ampun Karel. Lo nanti mau ambil jurusan apa? IPA? IPS? Lo pintar sih harusnya masuk IPA aja.” ujar Bram.

“Kalian pada mau masuk jurusan apa memangnya?” tanyaku pada mereka.

“Gue? Gue sama Nina mah IPS lah. Mana mau pusing-pusing masuk IPA. Nggak tahu kalau si dodol ini mau ambil jurusan apa. Woy! Mau IPA apa IPS lo?” Mona melempar bantal kursi ke wajah Bram. Lelaki itu berdecak kesal namun tidak membalas melempar Mona dengan bantal juga.

“IPS aja lah, gue malas IPA. Lagian gimana nasib kalian kalau gue ke IPA? Apa daya kalian tanpa seorang Bramantyo?” kata Bram mendramatisir. Aku hanya tertawa melihat interaksi Mona dan Bram.

Mataku tertuju pada Nina yang sejak tadi diam. Sibuk memainkan ponselnya. Aku sama sekali belum memikirkan mau mengambil jurusan apa. Padahal kenaikan kelas tinggal sebentar lagi dan kami sudah mulai dipanggil untuk memiliki penjurusan yang kami inginkan.

***

“Ini tinggal jam pelajaran terakhir. Mau kemana?” aku bicara pelan, namun cukup kencang untuk didengar oleh Nina. Dia berbalik menatapku dengan melotot, yang malah lucu menurutku.

“Ssstt… Jangan berisik. Mau makan bakso, mau ikut nggak?” kata Nina kembali melihat pagar pembatas yang cukup tinggi. Jangan bilang dia mau memanjat pagar belakang sekolah dan bolos di pelajaran terakhir.

“Kamu mau bolos?” Nina mengangguk. Dia melemparkan tas ranselnya kencang hingga melewati pagar dan jatuh tepat di hadapannya.

“Buruan mau ikut nggak? Bram ada ekskul, Mona nggak masuk sakit. Mau temani gue makan bakso nggak?” tawar Nina lagi. Aku mengerutkan kedua alisku. Ini tinggal mata pelajaran terakhir, kenapa dia harus bolos segala? Tanggung.

“Jangan bilang lo nggak punya uang? Lo nggak dikasih uang jajan sama Bu Yuli? Pakai uang gue aja, gue ada banyak.” aku menggeleng.

“Ada, aku ada uang jajan. Kamu gak sayang bolos di pelajaran terakhir? Kalau ketahuan bagaimana?”

“Paling diomelin. Kalau lo takut diomelin ya udah, gue aja yang pergi. Lo balik ke kelas aja. Tapi jangan ngadu ya, awas lo kalau berani ngadu in gue bolos.” ancam Nina tidak main-main.

Nina langsung mengambil ancang-ancang untuk menaiki pagar. Aku bergegas mendekat, takut-takut kalau Nina jatuh. Dalam hati aku masih menimbang, haruskah aku ikut? Kalau ikut berarti aku harus bolos. Tapi Nina sendirian kali ini, tidak ada yang menemani. Akhirnya aku juga melempar tasku melewati pagar. Membuat Nina yang memang masih memanjat pagar kaget. Dia menunduk melihatku. Kemudian tersenyum puas saat aku mulai menaiki pagar yang cukup tinggi.

Aku melewati pagar lebih cepat dari Nina, tentu saja karena aku menggunakan celana. Jadi membuatku lebih mudah melakukannya ketimbang Nina yang menggunakan rok. Saat sudah sampai di bawah aku mengulurkan tanganku, membantu Nina. Posisinya tidak pas dengan satu tangan yang menggenggam tanganku dan satu lagi yang memegang pagar. Pelan-pelan aku membantunya turun, sekaligus berjaga-jaga kalau Nina oleng.

Setelah sampai di bawah Nina langsung mengambil tasnya, begitu juga dengan aku. Dia menatapku puas karena akhirnya tergoda dengan ajakannya untuk bolos.

“Ayo, nggak jauh dari sini kok.” Aku mengekori Nina berjalan di trotoar panas-panas begini. Memang tidak jauh. Nina berhenti di sebuah gerobak berwarna hijau terang.

Seorang Bapak tua yang berjualan bakso. Saat mendapati Nina datang Bapak itu tersenyum ramah dan menyapa Nina.

“Eh ada neng Nina,” dia melihat ke arahku dan tersenyum juga. “Sama teman baru ya neng.” ujarnya lagi. Aku hanya bisa tersenyum kikuk.

Nina mengambil dua kursi plastik dan menyodorkan satunya untukku. Aku kira Nina akan makan bakso di tempat yang lebih nyaman. Ternyata hanya bakso gerobakan yang makannya pun tidak ada meja. Hanya ada kursi plastik.

“Iya nih teman baru Nina. Pesan dua ya Pak.” setelah memesan Nina duduk di sampingku yang masih memperhatikannya. Seolah tahu isi kepalaku, Nina tertawa.

“Jangan salah sangka, ini bakso paling enak yang pernah ada. Kalau nggak bolos ngantrinya ramai banget dan nggak kebagian tempat nanti.” kata Nina menjelaskan.

Sepertinya aku harus meralat semua penilaianku tentang Nina. tidak semua yang berhubungan dengan Nina itu mewah dan mahal. Ternyata seorang Hanina juga memiliki sisi sederhana.

Pesanan kami pun datang. Nina langsung melahap makanannya. Selama bersama dengan Nina aku tahu kalau Nina tidak suka makanan pedas. Jadi dia tidak pernah menambahkan apa-apa pada makanannya.

“Di sana ada jus enak. Lo bisa pilih mau dicampur buah apa saja. Biasanya kita kalau habis makan bakso ya pesan jus. Oh ada burger juga sih. Gue nggak ngerti deh itu burger Abangnya bikin sendiri kayaknya. Daging ayam, tapi rasanya beda, lebih enak aja gitu.”

Aku mengangguk, merespon penjelasan Nina. Dari sekian banyak makanan yang enak, bersih, dan higienis yang disediakan kantin sekolah, Nina malah lebih suka makan di pinggir jalan dengan debu dan asap kendaraan yang menemani kami. Belum lagi panasnya terik matahari yang menyengat.

Lima belas menit aku dan Nina sudah menghabiskan satu porsi bakso. Dia bangkit berdiri meletakkan mangkok sisa makanannya pada ember kotor.

“Kali ini karena lo belum pernah ke sini, jadi gue yang traktir, semuanya. Tapi nanti gue minta bayarannya sama lo yang lain. Tunggu mood gue aja ya,” setelah mengatakan itu Nina menghampiri si Bapak. “Pak, bungkus empat porsi ya, kuahnya dipisah.” si Bapak mengangguk dan langsung membuat pesanan Nina.

“Untuk apa bungkus sampai tiga porsi?” tanyaku bingung. Banyak sekali sampai empat porsi.

“Untuk orang rumah, kan ada Bu Yuli, Mbak Icha, sama Pak Kus. Satu porsinya lagi buat gue besok. Mau sarapan bakso aja.” Bukan Nina namanya kalau tidak yang aneh-aneh. Sarapannya bakso, seporsi lengkap bakso. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku.

Nina menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah. Kemudian mengambil bungkusan yang berisi empat porsi bakso tersebut. “Ambil saja kembaliannya Pak. Buat jajanya adek di rumah.” kata Nina. Hal sederhana namun mampu membuat Bapak tersebut tersenyum.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku mengikuti Nina. Aku mencoba mengambil bungkusan bakso tersebut dari tangan Nina. Dia tidak mencegah. Kami berjalan ke tempat jus yang tadi Nina bilang.

“Mau jus apa?” tawar Nina padaku. Aku menggeleng, memang tidak ingin minum jus. Perutku sudah cukup kenyang dengan seporsi bakso.

“Kalau jalan sama gue nggak boleh nolak makan. Kalau nolak yang lain bodo amat, tapi makanan, harus makan pokoknya!” pemaksaan yang disukai oleh semua orang. Aku melihat menu yang ada di sana, bingung mau memesan apa karena aku memang sedang tidak ingin.

“Jus melon saja.” aku mencari opsi yang paling aman dan paling nyaman di perutku karena seharusnya melon tidak akan menambah isi perutku terlalu banyak.

“Satu jus melon, sama aku kayak biasa ya pak. Jangan manis-manis.” aku penasaran apa yang dipesan Nina.

Ternyata jus mangga. Aku tidak pernah melihat Nina makan mangga sebelumnya, jadi aku tidak tahu kalau dia menyukai mangga. Aku pikir Nina hanya suka stroberi dan kiwi karena di rumah aku sering memperhatikan Nina memakan buah-buahan tersebut.

“Aku gak tahu kamu suka mangga. Di rumah gak pernah ada mangga.” Nina menggeleng.

“Suka banget, tapi gue nggak bisa makan mangga. Bibir bisa jontor. Harus di jus. Kalau bikin jus mangga di rumah nggak seenak beli. Mending beli aja lah repot cuma gue aja yang minum bikin berantakan dapur.” Tuh kan, apa aku bilang. Nina memang unik.

“Mau beli burger sekalian nggak?” baru saja aku mengulum senyum mendengar jawaban Nina. Pertanyaannya malah membuat senyumku hilang begitu saja.

“Kita sudah banyak makan Nin ini…” belum selesai aku bicara Nina sudah berlalu, menghampiri tempat burger yang kata Nina enak itu. Aku hanya bisa menghela nafas tapi tetap mengikuti Nina.

***

post-image-66cf19f81308e.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Fabula
Selanjutnya Fabula - 3. Just Nina
8
0
Karel jatuh cinta pada Hanina, perempuan yang terlalu tinggi untuk diraih oleh seorang anak pembantu seperti Karel. Dunia hanya akan berbaik hati pada mereka yang memiliki segalanya, bukan pada seorang lelaki seperti Karel.Disaat Karel kira Nina juga menaruh rasa padanya, nyatanya lelaki itu hanya dipermainkan. Yang Nina tidak tahu adalah dia tidak boleh bermain dengan hati seorang lelaki seperti Karel. Sekali terluka, tidak akan bisa terobati.Marah, dendam, sedih, semua jadi satu memuncak di dada Karel. Membuat Karel begitu berambisi meraih segalanya di dunia ini. Tujuh belas tahun berlalu dan dia berhasil. Karel sudah membuang Nina jauh-jauh dari hatinya, namun ketika dia kembali bertemu dengan wanita itu lagi tanpa sengaja, amarah Karel kembali memuncak.Nina, sekalipun keadaan sekarang sudah terbalik bumi, wanita angkuh itu masih bisa mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Ego Nina terlalu sulit untuk ditaklukan, dan kali ini Karel pastikan dia akan memberikan pelajaran berharga bagi wanita itu. Dunia tidak berputar hanya untuk seorang Hanina saja. Happy reading, jangan lupa love dan comment nya. Terima kasih.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan