You and Me, Me and You bab 1-5

8
3
Deskripsi

Bella Permata Personal Asisten yang pekerjaannya begitu sempurna dimata boss galak dan cerewetnya. Seorang wanita berumur yang menangani perusahaan property di lokasi-lokasi strategis di Jakarta. Disaat putra Boss yang tinggal bersama sang ayah di luar negeri mengetahui ibunya memiliki kesehatan yang buruk, Zach Abraham. Memutuskan pulang menggantikan pekerjaan ibunya.
Bella yang berkepribadian hangat dengan boss baru yang sukanya mesum. Belum lagi pria hot lainnya asal Jepang yang tulus menyukai Bella. Simak yuk ceritanya... ๐Ÿ˜Š

Bab 1

"Pokoknya ya Bel.... Saya nggak mau tau. Saya mau kamu atur ulang meeting kita yang gagal sama pembeli asal Jepang itu."

Anisa Handoko memulai ceramah paginya di depan pintu ruangannya. Dimana aku sedang berdiri hendak mencari sekretaris bahenol dan menor wanita super cerewet ini yang pergi entah kemana. Tapi langkahku keburu di hadang olehnya.

Anisa Handoko, janda kaya raya mantan istri pengusaha properti asal Amerika. Cerewet, perfeksionis, galak dan suka nyalak kaya anjing komplek menurut Bella. Bu boss ini adalah seorang wanita tangguh pemilik sebuah majalah ngetop di ibukota Jakarta.

Jangan tanya penampilannya, princess Syahrini aja lewat. Mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut semuanya barang berkelas dan fenomenal. Ya emang sih, aku selalu dapat cipratan barang-barang mewahnya. Mulai dari lipstik, bb creame atau cushion ala - ala korea, dompet, tas, sepatu, baju, haduh banyak lagi deh lainnya. Royal si boss mah kalau soal begituan.

Sayangnya tidak ada gading yang tak retak. Mengenai pekerjaan misalnya, wanita yang ngakunya masih muda dan nggak mau disebut paruh baya itu sungguh kejam. Kalau ada bawahan yang nggak becus, ngomelnya kaya gerbong kereta api, panjang dan berisik. Tidak urung aku ini yang pasti kena imbasnya. Padahal aku tau apa coba? Ughh.... Untung gaji ku gede, kalo enggak ya mending kabur aja. Lebih enak ongkang kaki jadi simpenannya Hamish Daud.

Ngomong-ngomong, sejak pagi anaknya bu boss udah email-email aja. Pakai ngatain aku sok sibuk lah, sok cantik lah, sok model lah, gara-garanya aku nggak sempet bales.
Meski sedikit bingung apa hubungannya sok sibuk, sok cantik, dan sok model, dengan aku yang tak sempat membalasnya. Heran juga kenapa dia enggak telpon atau video call saja dari pada bertukar email denganku yang seringnya tenggelam, sangking banyaknya.

Nggak tau apa, emaknya nyolot aja mulai pagi tadi. Ceramahnya saja tidak berhenti sampai lima belas menit ini. Arrgghh!! I hate Monday, Tuesday, Wednesday, Thrusday, Friday, sometime Saturday also, and my disturbing Sunday. Aku hampir tidak punya hari libur bahagia, karena selalu direcoki Bu boss yang banyak banget maunya.

Ketika ceramahnya berakhir, aku kini menguras tenaga karena harus naik turun lift. Gantiin bu bos keliling divisi buat mastiin pekerjaan mereka bener, karena aku adalah personal asisten yang dituntut serba bisa olehnya. Setelah itu aku perlu croscek jadwal Bu boss yang sudah dibuat sekretarisnya. Jangan lupakan tetek bengeknya mengenai kostum yang, majalah, salinan kontrak yang mungkin saja tertinggal di rumahnya untuk ku urus.

Haduh please deh ya... mana sempet aku sok cantik apalagi sok model, kaki saja sudah mau jebol rasanya sangking padatnya pekerjaanku sepagi ini. Kesel deh sama si mamas yang masang tampang arogan itu di photo profil setiap medsosnya. Sebelas dua belas sih sama emaknya, gen emang enggak bisa bohong. Cih, dasar orang kaya! kaya bacotnya, nggak pernah disekolahin.

'Iya, bawel. Mamamu lagi meeting. Aku sudah pastiinn dia makan & minum obat teratur. Aku sibuk. Bye.'

Ku tekan tombol send dengan kesal, hingga beberapa saat kemudian pesan balasan ku baca.

'Atur yang bener jadwal mama, jangan kebanyakan meeting. Jaga kesehatan mama. Kalau enggak, saya rumah-in kamu, Bella!'

"Bawel!!"

Bella memutar bola mata malas. Seolah-olah Zach Abraham ada di depannya. Iya, Zach Abraham itu anak blasterannya bu boss.

Enak aja, bilang mau rumah-in aku, situ mau aku jadi istrinya apa, dirumahin segala. ih, dasar si muka rata, rata kaya hantu bioskop yang katanya gentayangan itu.

"Bella...!" itu suara melengking bu boss yang lagi darah tinggi. Beneran aku enggak bohong, itu sebabnya putranya yang menetap di Amrik Sono khawatir banget sama keadaannya.

"Iya, bu...!" Sedikit tergopoh, aku memasuki ruangannya yang pintunya tepat berada di belakang ku. 
Gimana meetingnya?! Pak Salman acc nggak bu?!"

"Nanti malam, kamu makan malam sama dia, saya udah konfirmasikan ke sekretarisnya."

Mulai deh nyonya medusa memanfaatkan Cinderella tak berdaya ini. Aku mendengus kecil, ngomel dalam hati betapa semena-menanya Bu boss ini.

"Harus saya ya bu boss?!" Sumpah ya, Pak Salman itu tua bangka yang minta dibacain Yasin, biar genitnya tobat sekalian.

"Bella, saya nggak mungkin nyuruh si Angel ini berlisat lidah sama pak salman." 
Tunjuk Bu Boss pada Angel yang mejanya berhadapan dengan mejaku.  "Yang ada pak salman malah salah fokus sama dia. Saya mau kamu yang selesaikan ini, Bella."
Imbuhnya final, tanpa lagi sudi mempertimbangkan keluhanku.

Selebihnya boss kejamku itu mendelik, sebelum kembali memasuki ruangannya yang mewah dan elegan hasil karya desain interior kenamaan.

Oh my, dinner sama si bangkot Salman. Istrinya udah empat tapi masih saja mata keranjang. Kalau ketemu aku, mata jelalatannya pasti mengarah ke kakiku. Liat aja tuh tua bangka, entar malem bakalan aku jujuin pake sambel tuh mata. Umpat ku tak takut dosa.

"Bawa juga proposal persetujuannya. Pastikan dia tanda tangan nanti malam. Jangan lepasin dia kalau dia mulai alasan lagi buat nolak kerjasama ini!". 
Timpalnya lagi setelah kembali membuka pintu ruangannya. Aku memutar bola mata jengah, pada kelakuan Bu boss yang terlalu sering membuatku sakit kepala.

"Bella...saya liat kamu!" Jerit nyonya medusa lagi. Suer, aku sampai melempar apapun yang ku pegang sebagai reaksi kaget karena teriakannya yang memekakkan telinga.

Ring........ring....... Shit!!! Kaget lagi aku kan!

"Hallo....!!!" Bentakku kesal, tak peduli Bu boss tengah melotot padaku.

"Sopan kenapa, Bella! mana mama?"
Cih!! Anak mama, mau ngapain. Bosan kali dia main email, bisa juga pakai telpon nih. Batinku mengejek.

"Bu, ini pak Zach..." Ku usahakan memerkan senyum termanis ku sebagai bentuk sikap profesional, khusus buat bu boss yang suka ngasih oleh-oleh saat pulang dari luar negeri ini.

"Iya sayang, gula darah mama udah turun kok!" Bu Anisa berubah mode dari serigala berbulu beruang, jadi kelinci berbulu angsa.

"......"

"Hp mama mode silent, maafkan mama membuatmu khawatir." Jawabnya pada pertanyaan Zach yang bisa ku terka.

"......"

"Kapan ngunjungi mama kamu?"

"...."

"Si Bella emang cerewet." Katanya sebelum mengakhiri sambungannya, tak lupa lirikan tajamnya yang ku rasa cukup menggores hatiku yang selembut jelly dan selemah agar-agar.

Kok jadi bawa-bawa namaku?Aku manyun dan si Angel memandang ilfeel kearahku.

Shittt! Anak sama emak sama-sama kurang gizi tuch mereka. Ngatain aku seenaknya, padahal tanpaku apalah mereka berdua ini. Ya Tuhan, nyebut.... Ku elus dadaku sendiri sambil menguatkan hati, sabar Bell gajinya gede.

Betewe, si Angel ini adalah sekretaris bahenolnya Bu Anisa. Bodynya udah kaya gitar spanyol yang aduhai. Dia nobatin diri jadi cewek tersexy segedung ini. Secara dadanya punya ukuran wah. perut rata jauh dari lemak dan bokongnya luar biasa empuk, dijamin bisa gantiin springbedmu. Cuma dia rada sinis sama aku, katanya "kok mbak Bella lebih cantik sih?" dan Mimik mukanya itu loh, kelewat menyebalkan pas dia bilang gitu. Aku mendengus dan say "no comen" who care.

"Ini hape kamu, yang sopan kalo ngomong sama Zach. Dia itu bakalan jadi pengganti saya. Yang artinya bakalan jadi the next your boss!" Bu Anisa mengingatkan. Batinku protes, toh masih setahun atau dua tahun lagi kalau Zach-nya mau.

Bab 2

Make up, cantik.
Softlens, oke.
Rambut, membahana.
Gaun, sip ini mah, menutup aurot sampai mata kaki. Kalah empok-empok mau ke pengajian.

Haha aku tertawa jahat dalam hati. Bayangin rencana beberapa menit lagi. Buat bikin si bandot tua Salman itu kapok sampai tujuh turunan.

Udah deh mari berangkat membuat perhitungan sama kakek-kakek mesum itu.

Kring....

"Hallo?"

"..."

"Sure, ini sudah di jalan."

"..."

"Oh pasti, oke terimakasih ya?"

Ku selipkan nada penuh kesopanan dan senyum yang kentara. Agar si penelpon tau aku begitu menghargainya.

Begitulah aku, dulu sebelum jadi Personal Asistan Bu Anisa 6 tahun lalu, aku adalah sekretaris biasa. Baik sekretaris maupun asisten, dua profesi ini menuntut diriku untuk selalu bersikap ramah kepada siapapapun.

Betewe, itu tadi seseorang dalam rencanaku buat ngasih pelajaran sama si bandot Salman. Lagi - lagi aku tertawa jahat dalm hati, membayangkan bagaimana nanti wajah si tua itu.

Pernah juga dua tahun aku menjadi asisten salah seorang pengacara terkenal, meski gajinya tak sebesar yang diberikan Anisa Handoko, tapi atasanku adalah seorang bapak-bapak bersahaja yang baik banget.

Aku mengenal Bu Boss dari sana, saat dia sering wira-wiri ke kantor pengacara tempatku bekerja. Ketika itu, dia yang butuh asisten cekatan melirikku dan menawariku bekerja padanya. Katanya dia suka performaku saat menangani klien. Tentu iming-iming yang diberikan begitu menggiurkan dengan syarat jam terbang yang padat. Tak masalah, toh apartemen mewah yang aku tempati sekarang sudah resmi jadi milikku tiga bulan lalu.

Dan tiga bulan ini gaji empat kali lipat dari yang bisa ku dapat di firma hukum tersebut, utuh masuk ke rekening tanpa potongan apartemen lagi. Coba kalo aku bertahan di firma hukum tempat ku bekerja sebelum ini, mana bisa aku bayar kreditan apartemen meskipun tidak terlalu mewah. Belum lagi kebutuhan tas, sepatu, baju dan make up serta minuman bergizi untuk tunggangan warna silverku.

Ku akui dampak negatif bergaul dengan sosialita sekelas Anisa Handoko adalah rentan terkena penyakit hati dan darah tinggi akut, mengingat betapa banyak maunya sekali wanita itu.

Siapkan pula batin dan jiwamu akan kebutuhan barang mahal, pesannya waktu itu.

"Seriously Bella? Kamu mau ngikut saya?"

Matanya yang mirip elangnya penyihir dalam cerita Maleficent, meneliti pelukanku dengan penghinaan.

"Mau ada dibelakang saya sepanjang hari hanya dengan tampilan murahan kamu ini?"

Kejam mulutnya, sekejam matanya yang jelalatan dari ujung kaki ke ujung rambutku.

"Kamu memang cantik ya, tapi kecantikanmu akan terlihat seperti bunga bangkai liar diantara onggokan sampah busuk kalau kamu bertahan dengan penampilan menggelikan macam itu."

Hinanya penuh dengan decakan dan cibiran menusuk kalbuku, tanpa jeda tanpa koma apa lagi titik.

Sejurus kemudian mobilnya masuk ke pelataran butik elit di Jakarta ini. Memborong pakaian kerja, tas, sepatu dan make up untuk ku pakai ke kantor. Dan katanya lagi,

"Ini potong gaji juga, sisa gajimu masih cukup buat beli sarapan nasi pecel sama makan malam mie instan."

Bushet mulutnya! Batinku terluka mendengar rentetan cibiran ya.

"Because, kamu harus nabung. Nggak perlu makan mewah dulu sekarang. Yang penting buat semua orang terpukau sama tampilan kamu yang kece badai kayak Syahrini."

Kata wanita yang nggak mau disebut tua ini cerewet, lebay juga khas emak-emak.

Cih, kalo nggak gajinya selangit aku mana sudi dengerin kuliahnya.

"Ingat ya Bel, kalo mau jadi bayang-bayang Anisa Handoko, kamu harus sepadan dengan saya." Tekannya mengintimidasi.

Tapi jangan pikir itu mempan untukku. Cuma mulutku ini waktu itu masih diam saja, berharap janjinya yang hilang bakal memberiku gaji gede itu bukan omong doang. Padahal aslinya kagak nahan udah mau nyablak.

Apa katanya tadi, bayang-bayang? Ninja kali. Hugh!

Tintin. Jerit klakson mobil dibelakang menyadarkan dari lamunan panjangku.

Aku berbelok memasuki restoran karena sampai di tempat janjianku dengan Salman si abg tua.

"Hai darling." Pria tua itu mengerling mesum padaku saat pertama kali menyadari keberadaan ku.
"Oh sayang sekali kaki indahmu tertutup longdressmu sayang." Katanya.

Cuiiih!!! Mana sudi aku nontonin kakiku sama dia. Tapi bibirku cuma bisa memamerkan senyum terpaksa.

Sementara dengan kurang ajarnya si bau bangke ini malah nyuri cipika-cipiki yang terlambat ku hindari.

Sialan bener! Lihat saja ya bentar lagi, masih bisa senyum nggak dia.

"Hehe pak salman, sudah malam kok masih cakep aja pak?" Kataku jijik tapi mimik mukaku mode senyum memuji.

"Ah. Dek Bella, bisa aja bikin saya salah tingkah." Sahutnya berbinar-binar.

Apa katanya, dia manggil aku "Dek"? aku mendengus, tapi segera mengganti dengan hiasan senyum manis yang lagi-lagi terpaksa. Kalo bukan karena kerjasama itu mana Sudi aku sih buang-buang waktu begini, gelay tau!

"Jadi pak, deal ya proyek Pulau Bidadari?" Segera aku masuk pada topik pembicaraan.
"Kalau resort itu sukses kita bangun, bapak harus ajakin saya berjemur matahari sore yang romantis di pantainya ya pak?" Rayuku mengiming-imingi. Ini adalah proyek pribadi Bu Anisa untuk mewujudkan mimpinya memiliki resort nyaman di pinggir pantai untuk dia dan keluarga beristirahat di kala hati penat.

Pak Salman mengangkat sebelah alisnya, seolah keberatan dengan topik berat yang langsung ku ambil.

"Dek bella, pesan minuman dulu aja ya..." Ujarnya, sedetik kemudian Salman mengangkat tangannya memanggil pelayan agar aku memesan. Sedangkan pria tua itu sudah memiliki segelas minuman di depannya.

"Tidak usah Pak Salman, saya lagi diet, cukup air putih saja." Tolakku halus, tapi seorang pelayan tiba-tiba datang bersiap mencatat pesanan kami. Aku tak peduli, pria tua bersemir hitam di rambutnya itu memesankan banyak makanan sepertinya.

"Emmm, pak... Mengenai planing kerjasama kita, bapak juga bisa ajak salah satu istri muda bapak menginap di resort yang nantinya dibangun khusus untuk pasangan kencan." Lanjutku terus mengusahakan agar apa yang diinginkan Bu Anisa tercapai, dan Pak Salman akhirnya setuju dengan kesepakatan yang diajukan.

"Itu potensi lo pak, dimana orang-orang lagi trend sekarang buat ngetrip. Nah sisi kanannya itu menyediakan cottage dengan tema petualang dan adventure, yang mana sesuai presentasi bu Anisa tadi siang. Cottage itu dibangun dengan material dan prabot kayu. Saya yakin, akan banyak stasiun Tv yang bakalan tertarik buat ngulas bangunan ini, nantinya Pak. Usaha kontruksi bapak bakal melejit lebih dari sekarang."

Yakinku syarat akan rayuan manis yang ku sampaikan dengan bahasa tubuh gemulai, bahkan aku sampai harus ngelus punggung tangan keriput mengerikan ini. Ih, jijay!

"Ok, Deal." Ucapnya mengulurkan tangan untuk ku jabat.

Akhirnya, baru kali ini suara laki-laki tua ini terdengar menarik. Walau sebelum ku jabat tangan itu, Salman melanjutkan tawarannya yang membuatku ingin muntah.

"Syaratnya, kamu harus nginep seminggu disana sama saya."

Helloooo gimana kabar 4 istrinya dong! Kalau ini orang ngajakin aku. Masa iya dia mau jadiin aku simpenan? Kagak sudi!

"Ah bapak, 4 istrinya dikemanain pak? Saya nggak mau loh kalo cuma jadi simpenan aja." aku berkedip manja. Menyugesti diri agar kuat menghadapi kenyataan kejam ini, Ya Tuhan.

"Saya nggak puas kalo dapat jatah cuma seminggu." Ucapku tetap tersenyum 5000 watt, tak lupa menyodorkan map terbuka yang harus di tandatangani bandot tua ini.

Liat ya, setelah proses pembubuhan tanda tangan ini sukses, bakal aku potong tuh burung keriputnya, ihhh!!

"Saya bakalan ceraikan mereka, Bella darling." Katanya, tangannya mulai bergerak lamban ngambil pena.

Duch lelet banget ngambil pena aja. Batinku berteriak-teriak tak puas.

"Beneran pak..?" Timpalku sok imut, berusaha memunculkan binar-binar ceria dimataku, aslinya aku mengeluh, iyuuuhh.

"Sure, everything for you baby." Pria itu tersenyum manis padaku.

Jari-jari keriput itu bergerak luwes sembari menggengam pena mahal import.

Dan....

y
Yesss!!!

Tanda tangan selesai.

Adegan dimulai, bisikku pada diri sendiri. Senyumku merekah, setelah dengan cepat memasukkan dokumen berharga itu pada tasku dengan hati-hati.

"Kalomau mereka nggak mau gimana pak, secara bukan rahasia umum istri pertama, ke dua, ketiga dan keempat pak salman cantik-cantik. Nggak sayang tuh pak?!"

"Kalau gitu saya ceraikan yang pertama saja, dan kamu bakal saya jadikan prioritas menggantikan yang pertama, toh yang pertama udah nggak bisa dipake lagi." Lirihnya penuh keyakinan padaku.

Sedetik kemudian terdengar suara melengking yang memekakkan telinga.

"APA!!" Kamu mau ceraikan saya? Saya udah nggak bisa dipake lagi?"

Seorang wanita paruh baya berdiri dari kursi yang berada tepat di belakang Pak Salam duduk. Tangannya auto menarik telinga pak Salman dengan brutal plus tenaga ekstra emak-emak yang lagi kerasukan.

Benar, dia istri pertamanya yang tadi ku hubungi.

"Aku sudah ijinin papa kawin lagi, dengan syarat bisa ngelola harta keluargaku dan kita nggak cerai. Tapi apa yang aku dengar ini, Pa? Kecewa aku!" Katanya dengan wajah garang dan sakit hati.

"Oke, kita cerai. Dan keluar dari rumahku tanpa membawa apapun. Aku bisa ngehandle semua perusahaan ini sendiri, pa. Toh dulu papa nikah sama mama cuma bawa burung aja. Kita cerai!" Kata istri pak salman penuh emosi. Sementara sekuat tenaga aku menahan tawa pada kata wanita baya itu yang bilang Pak Salman cuma bawa burung saja.

Kalian tahu apa yang tua bangka itu lakukan?

Dia berdiri gemetaran, sambil bilang, "Jangan ma... Jangan. Papa nggak seriusan kok. Mama cuma salah denger." Dan blablabla... Hahaaa rasain tuh!

Aku mundur teratur bersamaan dengan telp dari bu Anisa yang sedang meritih di seberang sambungan. Hell no! Kenapa lagi si nyonya cerewet ini.

Bab 3

Aku dirumah sakit, tengah berbicara dengan dokternya Bu Anisa Handoko. Katanya Bu Anisa butuh istirahat total. Tensinya 200/ 160, aje gile! gula darahnya bahkan mencapai angka 270. Pantas makin kesini badannya makin kurus.

Kalau begini bikin anak buah susah aja. Mana aku belum sempet ganti baju, untung ini aku inget ganti sandal jepit mahalnya beliau tadi di rumahnya. Coba bayangin aja. Ini longdres hitam, tanpa lengan, yang potongan dadanya terlalu turun. Untung payudaraku nggak sebesar Si Angel, kalau enggak udah dikira aktris bokep aja entar.

"Oke, dokter. Maksih ya." tutupku mengakhiri pembicaraan. Kemudian aku menuju ke kamar VIP bu Anisa, memastikan beliau baik-baik saja.

"Gimana Bella, pak Salman? Kamu tadi belum jawab saya."

Hemh, dasar nenek sihir gila kerja. Eh, aku ngatain wanita royal ini.

Bukannya tanya kondisinya yang menurut dokter harus banyak istirahat, eh malah tanya proyek Pulau Bidadari.

"Udahlah mami... "

Itu panggilan sayangku untuknya. Gimanapun wanita yang masih cantik meskipun sakit ini, begitu baik padaku dalam kurun enam tahun ini. Ya meskipun cerewetnya minta ampun. Sukanya nuntut aku lembur 6 hari kali 4 minggu dalam satu bulan. Bayangin aja, betapa lelahnya hayati ini.

"Mami, harus banyak istirahat. Proyek itu beres kok. Mami harus istirahat total. Nggak ada kantor, nggak ada proyek, nggak ada pekerjaan." Ku tepuk punggung tangannya memberi motivasi. Seketika wajahnya menjadi makin pucat dan layu.

"Mimisan yang keluar dari hidung mami, itu peringatan kalau mami terlalu capek kerja. Dokter nggak akan bisa cegah pendarahan masuk ke otak dan membeku disana kalau mami masih kekeh aja buat bekerja. Dokter udah mewanti-wanti saya ini buat pastikan itu. Saya bakal hubungi Mas Zach untuk segera datang."

Begitulah panggilan sopanku pada anak boss ku itu, pada saat mode aku maggil mami sama emaknya. Hubungan kami sedekat itu memang, aku yang sering mendapati wanita yang menua ini tak bisa tidur hampir tiap malamnya. Katanya pekerjaan adalah caranya untuk tidak kesepian dan berpikir macam-macam.

"Tapi Bell, Zach pasti sibuk banget bulan-bulan ini. Harusnya kamu enggak usah ngadu padanya. Toh saya cuma mimisan, enggak sampai pingsan."

"Mami terlalu banyak bekerja. Mami butuh sekretaris baru atau asisten baru untuk bantu pekerjaan mami." Jujur sebenarnya aku lumayan kewalahan sih, bukankah dengan mengatakan saran ini sama cocok dengan peribahasa sambil menyelam minum air.

"Kamu tahu mami bosan dirumah sendirian. Bik Jum, mana bisa ngerti obrolan saya. Bekerja lebih baik dari obat manapun yang diberikan psikiater manapun." Katanya penuh keluhan. Sebenarnya tak sekali ini aku mendengar Bu Anisa membicarakan hal yang sama.

"Mas Zach suruh pulang kesini saja, Mi. Suruh cepet nikah dan punya anak. Dijamin mami nggak akan kesepain." Aku masih mengelus punggung tangannya, dimana jarum infus tersemat.

"Itu masih lama, seenggaknya satu atau dua tahun lagi kalau Zach mau meneruti keinginanku yang satu itu seperti janjinya." Katanya mengerutkan bibirnya.

"Ya sudah mami, tidur aja. Jangan banyak pikiran. Sebentar lagi Angel datang bawain kebutuhan mami selama disini."

"Aku selalu saja repotin kamu ya Bell?" katanya sendu. Aku ingin sekali bilang iya. Tapi mana tega kalau situasinya seperti sekarang.

"Andai aku bisa lupain papanya Zachy. Aku pasti udah bisa punya keluarga lagi. Dan hidup mami nggak bakal begini Bell. Gila kerja, abai kesehatan." lanjutnya semakin melow.

Aku memposisikan diriku sebagai anak buah yang baik, menjadi pendengar dikala bossnya berubah jadi baper. Jadi radio rusak yang curhat menye-menye.

Bip..bip.. Tanda email masuk, di tablet yang aku bawa. Masih heran, kenapa Zach suka banget kirim email.

"Mama drop lagi? Berapa tensinya? Berapa gula darahnya? koj sampai mimisan? Kamu memang enggak becus jaga mama!" si Zach enggak pegal ya ngetik segitu banyak. Kenapa enggak telpon aja sih.

"Pulang nggak lo! kalau nggak pulang, gue taruh emak lo di panti jompo!" Balasku singkat via email juga. Peduli amat dia bakal marah-marah besok kalo udah nyampe sini.

"Bella!!!!! Awas kamu!!!!!" Balasnya dengan taburan tanda seru. Membuatku terkekeh dalam hati. Kalau nggak gitu, kamu susah disuruh pulang jenguk mamamu.

"Itu Zach ya?" Tanya Bu Anisa, wajah orang sakit selalu kelihatan makin menyedihkan.

Kau tersenyum sebagai jawaban. Kemudian menyuruh Bu bosku ini untuk segera memejamkan matanya, karena dia butuh banyak istirahat.

Jadi si Zach Abraham ini menjalankan perusahaan papanya yang tahun lalu mulai pensiun, Mr. Adam Abraham. Papanya udah membagi kekayaannya untuk kedua anaknya, si Zach dan adik satu ayah dari ibu yang berbeda dengan Bu Anisa.

Denger dari bu boss juga, perusahaan yang dikelola si Zach ini lagi ada di puncak. Mungkin dia juga susah sih mau kesini. Denger-denger juga papanya juga sekarat, ups! sakit katanya. Kayaknya Bu bos kepikiran kali ya, pengen jengukin mantan terindahnya di Amrik sono, cuma terhalang sama bini baru si mantan suami.

Setelah si Angel datang dan gantiin aku jaga. Aku pulang dengan janji ntar jam satu malam gantiin dia jaga. Katanya pacarnya mau dateng dari Bali naik penerbangan malam. Jadi jam 1 nanti dia bakal ke airport buat jemput doi-nya. Oke lah. Aku Cuma butuh baju yang nyaman buat tidur di rumah sakit, bersihin make-up dan mandi air anget. Nanti jam 10 aku kesini lagi. Jadi aku nggak perlu nyetir malam-malam ke rumah sakit. Apalagi kalau harus parkir di besmen rumah sakit yang serem kaya begini.

*****

Matahari udah mulai nampak. Aku mandi dan dandan kilat di toilet kamar rawat Bu Anisa. Sudah berasa cantik dengan setelan semi formal yang sengaja ku siapkan sejak semalam. Celana warna grey dan kemeja pink setengah lengan plus asesoris di leher. Ingat kata Anisa Handoko,
"Kamu harus jadi bayang-bayang yang elegan buat seorang Anisa Handoko, kapanpun dan dimanapun."

Kenyataannya, sekarang dia tertidur pucat di kasur rumah sakit dengan keadaan yang jauh dari kata elit. Memangnya ada orang sakit yang musti dandan? Pikirku bodoh.

Brak!!

Haduh, hampir copot ini jantung.

Hell!! ini bule kagak ada sopan-sopannya, masuk kamar rawat pasien, sekalipun pasien itu ibunya.

"Hellow....! Bu Anisa enggak mau ketambahan penyakit jantung kali ya! Buka pintu kamar rumah sakit kayak depkolektor sembelit aja!" semprotku.

Perlu kalian tahu ya, si Zach ini teramat lancar berbahasa indonesia, bahkan makian ala-ala pun dia fasih.

"Bella!!" katanya geram, suaranya keluar dari sela-sela giginya yang kinclong. Rahang tegasnya mengeras menahan emosi yang selalu sering muncul saat ketemu aku yang dianggapnya tidak pernah sopan.

"Iya bapak. Ibu lagi di kamar mandi di bantu perawat." Kataku jadi sok manis, radar di otakku mulai mencium tanda kemarahan Zachy Abraham pada ibunya sebentar lagi.

"Sejak kapan saya jadi bapak kamu!" Katanya galak. Duh galak aja masih keliatan cakep. Liat saja perawat-perawat yang masuk kamar ini bentar lagi. Pasti pada ngiler liat dia. Mungkin cuma aku disini yang udah geleng-geleng kepala sama anak semata wayang bu bos ini karena sudah tau tabiatnya.

Herannya aku, kenapa tiap liat aku, gayanya persis orang kesurupan. Bawaannya selalu marah-marah enggak jelas.

"Saya pikir, kamu udah kirim mama saya ke panti jompo." Katanya mendelik serem. Lah alamat RS yang aku kir apa kurang jelas? Lah dia masuk sini kan tahu, kalau ini RS bukan panti jompo. Ayak-ayak wae!

"Duileh, mana ada anak buah yang bisa nggiring bos besarnya ke tempat kaya begitu."

Aku bener-bener memutar bola mata tanpa tedeng aling-aling. Hadeh, si Zach ini.

"Nggiring? Emang mama saya bebek sawah, digiring?" Aku hanya berdecak, malas nyahut.

"Kalian ini jarang ketemu, tiap ketemu udah kaya anjing dan kucing." interupsi bu boss tepat saat keluar dari kamar mandi.

Apa aku bilang, perawat yang bantuin bu boss jadi megap-megap kaya lohan kekurangan air kan?

"dia anjingnya"

"dia anjingnya"

Itu suara kami kompak nggak mau ngalah.

"Ya udah Mami, aku ngantor dulu. Sekertaris pak salman, sudah diperjalanan menuju ke kantor. Mengenai kontraktor Jepang, asistennya udah konfirmasi bahwa besok Mr.Yoshinaga bersedia menemui ibu, tapi..."

Aku melirik bu bos yang tengah melirik anaknya yang nggak tau diri itu.

"Utusan pak salman kamu bisa handlekan Bell?" Tanya Bu Anisa penuh tuntutan padaku.
"Kalo kontraktor Jepang itu..." Kata si emak ragu, masih melirik anaknya yang enggak peka..

"Oke, fine. Aku yang bakal ketemu. Tapi Ma, mama tau aku nggak terlalu paham pekerjaan yang mama geluti inj. Katanya setengah frustasi."

"Itu, si Bella, selalu ada buat kamu, kapanpun kamu butuh." Kata bu boss besar.

Si arogan itu, memalingkan muka jauh dari aku yang bersedekap dan nyandar di jendela kamar VIP ini. Sama persis dengan apa yang dia lakukan. Aku juga ogah ngeliat muka juteknya. Eh bu boss malah bilang begini:

"Uughh kalian berdua, lucu sekali. Andai kamu punya adik cewek pasti seru begini, tiap pagi dan malam di rumah bakalan rame." melow lagi kan bu bos ini.

"Tuh kan, Mami enggak boleh mikir aneh-aneh lagi. Dokter bilang apa semalam, ingat. Ya udah ya, aku berangkat." Aku mendekati Bu Anisa dan mencium dua pipinya.

"Heh lo," tunjukku pada si Zach.

"Jangan tinggal mama lo, kalau enggak, gue bawa ke panti....." Aku belum selesai ngomong Zach sudah memotong.

"Bella!!" dia menggeram marah dengan nada yang terdengar rendah.

Tawa kecil Anisa Handoko memenuhi kamar rawat ini. Suara bu boss begitu ceria. Tentu anak adalah pelipur lara bagi setiap orangtua, kesedihan yang dirasa semalam hilang tak berbekas.

"Dokter nungguin kamu setengah jam lagi." Ingatku padanya dan segera berlalu keluar kamar.

"Segera cari pasangan nak."

Obrolan ibu anak itu tak lagi terdengar, seiring langkah kakiku yang semakin menjauhi kamar rawat itu.

OMG, betapa capeknya hari-hariku kedepan tanpa bu boss.

****

Hmmm.nikmat mana yang kau dustakan, saat berendam aroma therapi dengan air hangat, ditemani alunan musik yang aku sukai.

Kring!!!!

Oh shitt!! Dering ponselku mengganggu. Siapa lagi ini? Enggak penting, awas!

"Bella, jemput saya, nggak peke lama!" Suara Zach Abraham yang menyebalkan menggaung dalam jaringan.

"Oh bapak. Bapak mau kemana? Matahari udah mau tidur bapak." Kataku dengan sabar mengingatkan.

"Kamu ini, mama saya dirumah sakit, blabla." Aku jauhkan ponselku dari kuping yang udah mulai memanas dengerin suara bawel si Zach.
"Bella, pokoknya aku tunggu kamu dirumah. Kita kerumah sakit se-ka-rang!" Teriaknya, saat ku tempelkan lagi itu ponsel ke telinga.

Emang dia nggak bisa apa berangkat sendiri. Huft!! Bukannya ada Pak supir ya?

Bab 4

Ku bunyikan klakson mobil bertubi-tubi di depan rumah bu boss yang gelap gulita. Kemana si pembantu, kok nggak dihidupin lampu-lampu mahal dalam rumah megah ini, batinku bertanya-tanya.

Tit...tit... Sekali lagi ku tekan klakson bertubi

Tuh nongol yang ku tunggu. Lihat deh tampang sangarnya, mata setajam silet siap melukai wajahku yang kini ditatapnya dengan intens.

Aku yang merasa pria itu bakalan protes dengan aksiku membunyikan klakson dengan brutal, memasang senyum lebar. Istilahnya nyengir kuda.

"Emang kemana sih pak supir?" tanyaku tanpa menoleh karena konsentrasiku memundurkan mobil bersiap menuju rumah sakit tujuan kami, setelah pria ini masuk mobil dengan membanting pintu.

"....." tak ada jawaban.

"Mas... Mas Zach!" panggilku. Masih sulit melihat kearahnya karena tiba-tiba ada ibu-ibu yang nyebrang jalan kayak jalan di catwalk, lenggak-lenggok macem macan kelaparan. 
"Eh, buset! tante-tante menor nyebrang nggak liat-liat tempat." gerutuku.

Ouch, aku memang tidak pandai mengendalikan kendaraan jenis ini. Motor lebih baik untukku.

"Maz Zach, denger pertanyaanku kan?" aku bawa kepalaku kearah pria yang duduk disampingku ini. Pria itu tersenyum mirip setan, matanya menelisik pahaku yang tertupi sebagian karena rok mini denim yang tengah ku pakai ini. Sialan!
"Apa liat-liat!" aku melengos. Mukanya mesum banget nih orang.

"Kamu yakin, pakaian minimmu bisa bikin saya tertarik, tergoda begitu?" katanya penuh arogansi yang kental.

Aku tak menjawabnya tapi ku hempaskan saja mobilku, kebetulan kami melewati belokan yang lumayan tajam. Ini merupakan aksi sebalku pada anak bossku ini.

"Stop it, Bella!!" teriaknya. Otomatis aku mengerem mendadak mobil yang ku kendarai ini. Beruntung di belakang lagi sepi.
"Pindah." nada datarnya penuh perintah, bersamaan dengan suara pintu yang di buka. Zach berlari kecil kearah sisiku. Membuka pintu disebelahku lalu dengan gerakan mata, menyuruhku sekali lagi agar pindah posisi.

"Yakin?" tanyaku ragu. Bukannya...

"Bella." geramannya memutus apa yang ku pikirkan soal dia dan posisi setir mobil yang beda dengan yang biasa ia kendarai.

"Jangan liat!" Aku mendadak paranoid dengan arah pandangnya. Nggak lucu kalau aku lagi ngangkang saat pindah tempat diintipin sama dia. Lawong dia saja malah makin miring senyumnya.

"Pink baby." katanya menyebut warna underwearku. Malunya aku, jangan lupa tampangnya yang semakin menyebalkan dengan senyum yang semakin meremehkan. Apa maksudnya coba. Hhh...orang ini.

Ku lirik tajam bakal bossku ini, tampan sih. Rahang tegas, hidung mancung, alis tebal, dagu sedikit berjambang sekseh, dan jangan lupakan mata elangnya yang selalu menatap tajam ke manapun bergerak. Potongan rambutnya boleh juga.

"Sudah jatuh cinta kepadaku?" Tanyanya kepedean. Dia pikir siapa dia, sok kecakepan deh.

Pria itu kupikir sedang berkonsentrasi dengan kemudi sejak beberapa saat lalu, eh! nyadar juga aku lirikin dari tempatku duduk.

"Denger ya Mamas Zach yang sok kecakepan, anaknya bu boss. Mas Zach yang kepedean buah hati semata wayang nyonya besar, please deh ya! Ini semua karena bu boss, dia bilang,

"Bella, kalau kamu pengen jadi asisten saya kamu harus tampil selalu cantik dan seksi, dimulai dari bangun tidur sampai akan tidur lagi. Saya nggak mau ya, kamu jadi bunga bangkai yang kemana-mana nempel saya yang kece badai begini." Dulu aku tak menahan untuk memutar bola mata ketika Bu bos bilang begini.

"Gimana dong mas, ini juga fashion kan, hadiah dari nyonya besar dari Milan bulan kemarin." Aku membela diri.
"Jadi kaum pria harus jaga mata jaga pandangan. Secara apa gunanya emansipasi kalo para pria masih saja memandang kami, kaum wanita sebelah mata hanya karena penampilan." lanjutku panjang kali lebar.

Si Zach cuma berkedip acuh. Wajahnya selalu flat luar biasa. Bikin aku makin geram aja. Sudah menjelaskan menggebu-nggebu, eh dia no respon sama omonganku.

"Senyum dikit napa, mahal amat senyumnya." Gerutuku menahan emosi, membuang pandanganku ke depan ku rasa lebih baik.

"Kalau aku senyum, entar kamu makin jatuh cinta kepadaku." jawabnya sarkas.

Aku berdecih. Enggan menimpali guyonannya yang enggak banget. Tak sedikitpun aku meliriknya lagi. Keheningan menelan kami hingga sampai di Rumah Sakit.

Kami berjalan dari basment rumah sakit melewati lorong-lorong sepi. Hari sudah beranjak malam. Lingkar jam di tanganku menunjuk pukul 7 sore hari.

Terdengar obrolan dan tawa renyah dari balik pintu saat ruang rawat bu boss tepat berada di depan kami. Zach mengetuk beberapa kali sebelum melenggang ke dalam ruangan. Aku ngeloyor saja melewati si Zach, ku sampaikan thanks ketika aku berada di depan muka cakepnya. Tapi sebenarnya aku terkikik geli melihat tampang Zach yang nggak ikhlas. Siapa peduli, aku kesal padanya.

"Hey darling, uh makin cantik aja. Udah pantes jadi asisten designer. Kerja sama aku ya? Aku yakin performamu sangat baik sampai mbakku ini tahan lama mempekerjakan kamu." Sapanya panjang banget sambil reflek cipika-cipiki denganku mengabaikan si Zach keponakannya.

Beliu ini adiknya bu boss yang jadi desaigner di Singapura. Perempuan yang 5 tahun lebih muda dari bu boss nampak ayu nan elegan itu memeiliki karakter berkebalikan dari Bu bos yang judesnya minta ampun.

"Oh Zachy sayang...!" Katanya setelah selesai denganku. Dan Zach baru saja  berkangen ria dengan ibunya.

"Gimana Amrik sayang? Papamu apa kabar?!" cerocos Bu Anne lagi. Sementara aku menyalami pria tua kaya raya suaminya Bu Anne yang tiap kali ketemu selalu curi-curi pandang kearahku. Kalau begini mending aku jauh-jauh dari pria ini.

"Sayangku Steven, jangan memandang daun muda seperti itu ya, nggak baik buat jantungmu." Kata bu Anne memelototi suaminya. Berbanding terbalik dengan manis bibirnya yang terdengar manja.

Sementara si Zach yang belum sempat menjawab pertanyaannya menampilkan wajah lempeng saja menyaksikan interaksi kami.

Haduh dasar muka tembok.

"Sepertinya, mama bakalan pensiun dech Zach " Bu boss mulai mengeluarkan uneg-unegnya.

"Mama akan tinggal di Singapura dan berobat jalan disana. Lagian disana ada tantemu dan suaminya yang bisa bantu juga mama." Lanjutnya memprihatinkan.

"Jenita sebentar lagi juga udah punya baby, mama nggak bakal kesepian disana "

Jenita itu keponakan bu boss alias anaknya bu Anne yang udah nikah tahun lalu.

"Kalau memang begitu, Zach nggak masalah Ma. Bagaimana yang disini, Ma?" Tanya Zach, yang mana jawabannya bakal ku simak baik-baik.

"Ada kamu kan?!" bu boss menjawab singkat tanpa beban anaknya ini punya perusahaan lain di Amrik sono.

"Ma..." suaranya si Zach jelas tampak keberatan, semua mata diruang ini melihat ke arahnya.

"Mbak, Zachy kan punya perusahaan yang sama-sama harus diurus mbak." Sela bu Anne.
"Apa nggak sebaiknya dijual aja mbak?" imbuhnya. Oh no, aku terancam jadi pengangguran dong.

"Mama tahu kan, aku punya tanggung jawab disana, Ma." suara Zach kembali terdengar tak berdaya, mengahadapi si Mama yang emang banyak maunya.

Aku menghela nafas, menonton drama ibu anak ini. Yang satu bingung antara papa atau mama, yang satu nggak rela jauh-jauh sama anak semata wayangnya.

Zach Abraham melirikku tajam. Apalagi ini orang kenapa begitu ngelihat akunya.

"Oke Ma, kalau mama bersikeras," suara Zach terdengar lagi.
"Aku bakalan pulang pergi Jakarta-Newyork tapi,"

Kok aku berdebar ngeliat tampang si Zach yang matanya nggak pindah sama sekali dari mukaku.

"Ada Bella yang cantik itu kan?"

Dia menunjukku dengan ekor matanya. Kenapa juga harus diselipin kata cantik di belakangnya. Penuh sindiran halus tapi bermakna sadis. Soal arogansi memang Zach Abraham jagonya.

"Benar kan Om?" tanya kemudian pada paman, suami dari bibinya itu.

"Yes, you alright, son." Pria tua bertampang ramah itu menjawab ringan.
"Oh maaf sayang, dia memang cantik kan. Cocok sama Zachy, kurasa pekerjaannya juga bagus seperti yang kau bilang." Suami Bu Anne segera menjelaskan ketika mata Bu Anne meliriknya dengan Hujaman sinar laser.

"Please, jangan katakan apa yang aku pikirkan." Ucapku rendah tapi aku yakin semua orang mendengar pekikanku.

"Kamu yang akan menghandle semua disini langsung dibawah saya."

Bab 5

"Thankyou mister. Senang bekerja sama dengan anda." Aku menjabat tangan kolega dari Jepang ini dengan mantab. Bersyukur dalam hati akhirnya deal juga meski tanpa Bu boss.

"You are welcome, beauty. Kapan kita bisa makan malam bersama?" Tanyanya dengan mata berbinar.

"Hhh.... Kapan-kapan Mister Yoshinaga akan saya hubungi ya, beberapa Minggu ini, jadwal saya full." Aku tertawa canggung dengan ajakannya yang bikin anu. Aku kan jadi geer, sumpah.

Pria Jepang awal 40-an yang katanya masih lajang itu mengangguk senang saat aku tersenyum pada janjiku.

"Oke, i'm waiting. Kapanpun kau luang, darling." Katanya tersenyum menggoda. Aku mengangguk sopan menghargai klien yang sedikit suka tebar pesona ini. Tampan sih, dan catat, ka-ya. Sikapnya juga begitu memanjakan wanita, sungguh manis kan? Beda banget sama si, hadeh....liat dech matanya udah mau keluar aja yang melotot kearahku.

"Caper!" Bisiknya mengejek di sebelah telingaku. Setelah Mister Yoshinaga benar-benar keluar dari ruang kerja Bu boss.

Aku memutar bola mata sebal.
"Whathever!"

"Haruskah pake baju kekecilan begitu?" tanyanya dengan mata memincing.

Aku seketika menelisik ke busana kerja yang aku kenakan saat ini. Rock pensil selutut body fit dan kemeja merah berlengan panjang ukuran M yang pass juga tentu saja. Semua bajuku emang ukuran M, kekecilan dari mana coba.

"Kekecilan dari mana sih, bapak?!" tanyaku.

Pria itu mulai beranjak dari kursi yang biasa di duduki bu boss lalu melewatiku menuju sofa nyaman dan elegan yang menggambarkan si pemilik yakni Bu Anisa.  

"Tentu saja kekecilan, bra kamu tercetak jelas." jawabnya sambil lalu.

Saat aku sudah sejajar dengan langkahnya, dia berbisik rendah.

"Hitam menggoda." mukaku serasa kena badai api, memerah panas. Sialan nih orang tau dari mana coba. oke, kalaupun kemejaku ini terlalu ketat itu hanya mencetak bentuknya saja kan, bukan memperlihatkan warnanya juga.

Aku tak akan lagi berdebat masalah busana dengan orang ini. Aku menghentakkan kakiku kesal dan berlalu mendahului langkahnya. Dia justru terkekeh.

"Hallo, selamat siang bu boss?! Sapaku pada si pembuat sambungan di seberang sana.

"...."

"Iya, sudah beres bu, Mister Yoshinaga sudah tanda tangan. Beliau berkenan dengan yang kita ajukan terakhir itu bu."

"..."

"Baik, saya akan kesana selepas ngantor nanti, Bu bos."

"..."

"Iya bu bos." Sahutku menahan sabar pada permintaannya yang banyak.

Menyebalkan, ibu dan anak kompak menyiksaku. Kenapa juga aku mesti repot-repot kesana kalo disana nanti sudah ada keluarganya.

"Mbak Bella, Pak Zach." si angel memanggilku dengan suara yang manja dibuat-buat. Tapi arah pandangan matanya malah jatuh ke dada bidang dan perut rata si Zach. Ugh.... Si angel mah gitu, nggak bakal tahan sama model cowok yang begitu. Aku cuma geleng-geleng kepala saja, sudah tahu tabiat si Angel.

"Angel, apalagi jadwal Bu Anisa hari ini?" Tanyaku. Andai ada jadwal temu klien aku bisa mengkondisikan diriku saja yang ketemu atau perlukah dengan si bule wajah datar itu.

Ku lihat Pak Zach baru saja menutup telpon yang mendadak dia terima saat kami melewati meja angel tadi. Kami hendak menuju bagian perencanaan terkait kerjasama dengan mister Yoshinaga tadi.

Dia menoleh ke arahku dan aku membuang muka, sengaja aku mencebik dan memutar bola mataku. Bukankah dia akan marah kalau aku begini. Liat aja, satu, dua...aku menghitung dalam hati.

Tuh kan, dia mengacungkan jarinya kearah mataku lalu ke matanya. Nggak lupa pelototan galak yang justru bikin aku cekikin sendiri. Dasar pemarah. Tapi apa aku yang salah liat ya, sudut bibirnya sempat tertarik kan, yah meskipun sedikit sih.

Aku mengembalikan konsentrasiku kearah tablet yang ku pegang. Tugas-tugas yang harus ku kerjakan jadi berlipat akibat sakitnya bu boss. Pak boss mah, belum tentu ngeh dengan semua ini, bukannya dia bodoh, tapi memang dia nggak akan paham pekerjaan ibunya di kantor ini hanya dalam waktu beberapa jam saja dari dia masuk kesini kan.

"Bella, come here." panggilnya. Aku menghela nafas lelah menghadapi setan tampan ini.

"Ya, bapak... Ada yang bisa saya bantu? Atau Angel aja Pak kalau Bapak butuh something important." tawarku.

Zach mengerutkan dahi. Seolah dia mau ngomong,"Apa-apaan kamu, aku manggil kamu  kok, bukan Angel." tapi aku benar-benar sibuk jika pria ini mau tahu.

"Ini dibatalkan apa gimana?!" dia menunjuk ponselnya yang menampilkan sebuah hunian mewah, di Jakarta Utara. Dimana itu sebenarnya sudah di DP sama bapaknya tapi si anak katanya nggak setuju karena menginginkan Villa di pegunungan yang berhawa dingin. Bukan hunian yang menghadap ke pantai begini. Ah, ini adalah proyek Bu Anisa yang hendak melebarkan sayap.

Aku menjelaskan panjang lebar, pria itu kembali mengernyit sehingga kedua alisnya hampir menyatu.

"Terus DP-nya gimana?" tanyanya lagi.

"Minta kembali pak orangnya, tapi kemarin ibu belum setuju, toh dalam jual beli apapun, apabila terjadi kegagalan yang dikarenakan pihak pembeli maka DP tetap jadi milik kita." imbuh ku.

"Terus ini, orangnya bikin janji temu kan dengan kita, ini si Angel baru saja mengirimkan email keluhan pada saya."

Jadi email bu Anisa mulai dikendalikan oleh Zach sejak hari ini.

"Berapa sih DP-nya" Zach kembali bertanya.

"250 juta Pak." sahutku. Dia terdiam, mungkin mikir pantes aja diminta kembali, wong banyak.

"Sudah ya pak, pekerjaan saya banyak." aku nyelonong keluar ruangan, hendak menuju ke tempatku sendiri demi kedamaian yang aku butuhkan untuk menyelesaikan semua urusan.

Dia menggeramkan namaku lagi.
"Bella, nggak sopan kamu."

Peduli amat, aku cuma nyengir kuda dan kembali berjalan untuk kemudian menekuni laptop dan laporan-laporan yang harus ku periksa. Maklum ini akhir bulan. Kalau laporan dari manager keuangan ini belum beres diperiksa, mana bisa gajian anak-anak di lantai bawah, bahkan aku juga sih. Ini tugas Bu Anisa, tapi tiap bulan aku yang selalu melajukannya.

Hingga Angel mengingatkan makan siang, aku baru berhenti karena mengingat ada makhluk berjalan di dalam ruangan Bu Anisa. Aku menyuruh Angel menanyakan pada anak Bu boss mau dibelikan apa, atau mungkin dia pengen makan di luar.

Ku lihat muka Angel berbinar ceria, saat ku mendengar perintahku.  Sesaat kemudian dia kembali dengan kaki yang dihentakkan tidak wajar. Roboh ini gedung entar ya... Duile, ini cewek.

Setengah jam berlalu, Angel sepertinya membawa makanan masuk kedalam kantor si boss, aku masih tak menggubrisnya. Aku lebih khawatir jika 3 hari lagi nggak gajian.

"Mbak, dipanggil boss ganteng tuh." kata Angel nggak ikhlas.

"Ngapain?" Tanyaku masih tidak memperhatikan Angel karena tanganku bekerja kalkulator pada monitor.

"Mana aku tahu mbak." nada Angel udah mulai sewot. aku mengangkat kepalaku, dia bersedekap seperti menghakimiku.

"Apa ngel?" Tanyaku berusaha sabar.

Si Angel ini punya emosi yang mudah meledak. Hanya saja pekerjaannya bagus sehingga bu boss mempertahankan wanita awal 30-an yang masih suka gonta-ganti pacar ini. bukannya menjawab dia malah melengos dan berlalu kembali ke mejanya. Aku cuma menggeleng tak ambil pusing. Aku berdiri memutuskan menemui si Zach Abraham.

"Iya pak." aku nyelonong masuk tanpa mengetuk pintu kaca ini.

"Duduk." katanya singkat, nadanya syarat akan perintah yang tak mau dibantah.

"Buka itu, kita makan." Zach masih menekuni lembaran-lembaran kertas di mejanya. Aku membuka dua bento yang dibawa Angel tadi. Isinya sama loh, berarti salah satunya memang buatku kan ? haduww, perhatian sekali si Zach ternyata.

"Nggak usah ge-er, kalo kamu mati kelaparan, mamaku yang susah. Jadi aku berkewajiban menjaga perutmu." katanya. Aku bener-bener nggak kaget sama mulut judes pria ini. Selama aku jadi asisten ibunya, pria ini nggak pernah nggak mengejekku.

"O em ji, so sweet banget sih, calon lakinya siapa coba, perhatian banget sama perutku." cibirku tak tahan, manis kalimatku berbanding terbalik dengan wajah sebalku. Zach terkekeh, mengambil satu bento yang sudah kusiapkan dengan sepasang sumpit diatasnya.

"Airnya?" katanya memerintah satu-satunya orang di ruang ini selain dirinya. Aku beranjak nggak ikhlas menuju pantry di lantai ini, untuk mengambil air mineral botol yang biasa disiapkan untuk kebutuhan kami penghuni lantai tiga ini. Gedung yang kami tempati memang bukan gedung yang tinggi.

Aku meletakkan sebotol air mineraldi dekat piringnya, tidak lupa dengan gelasnya. Saat aku ingin mulai menyantap bagianku, pria ini bersuara kembali.

"Nggak dibuka dan dituang sekalian?" Auto aku melihat pada seluruh anggota tubuhnya yang semua sehat.
tangannya nggak patah kok bisikku gaya dalam hati. Dasar boss, semau dia deh! Ku buka dengan enggan dan ku tuang ke dalam gelas yang ku siapkan tadi dengan terpaksa.

Kami makan dalam diam, sepertinya seseorang didepanku sedang menatapku. Aku tak mau melirik apalagi melihatnya balik. Ogah, toh aku sudah hapal, senyumnya. Kalau bukan smirk menyebalkan, ya senyum miring yang bikin emosi jiwa.

"Cuma kamu yang berani nyuekin saya." ungkapnya. Aku tak merespon apa-apa. Aku memandangnya datar, mengambil air dalam botol bagianku dan meminumnya tanpa gelas. Bukan apa-apa, tadi itu ribet banget bawa 2 gelas dan 2 botol air sekaligus. Jadi minum langsung tak masalah buatku, lebih praktis.

"Whatever dech Maz Zach." aku menjawabnya acuh setelah ku teguk air putihku.

"Betewe, thanks ya makan siangnya, enak." Aku mengedipkan mataku sebelah dan berlalu membawa 2 kotak bento yang telah ludes isinya. Aku sengaja manggil dia Mas, itu artinya aku menghormati dia sebagai pria anak orang yang ku hormati juga. Pasti deh dia geleng-geleng kepala setelah ini menanggapi tingkat cuekku. Aku tertawa dalam hati. Syukurin aku juga bisa jadi menyebalkan.

Tanpa Bella sadari, Zach Abraham sempat tercengang dengan godaan Bella yang menurutnya terlihat begitu cantik hari ini.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya You and Me, Me and You bab 6-7
8
1
Happy Reading 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan