
Lima tahun digantung dalam status istri, Alika baik-baik saja. Hidupnya tak melulu tentang sunyi dan hampa. Diantara kesibukannya, sesekali dia akan berkendara sendiri ke luar kota atau berpelesir ke luar negeri bersama teman-temannya. Suatu malam, disaksikan bapak-bapak yang sedang ronda malam, pintu rumah besarnya diketuk oleh pria berhodie. Ah tentu saja dia masih mengingat wajah yang jarang menampakkan mimik berarti itu, Anggar si suami yang tega meninggalkannya di malam ke tujuh kematian neneknya....
BAB 1
Bangunan megah dengan satu orang penghuni. Seseorang akan datang dalam beberapa hari sekali untuk membersihkan rumah. Sanak saudara datang berkunjung sesekali.
Hidup sebatang kara, bekerja santai mengurusi aset keluarga, sesekali mengemudi sendiri ke luar kota demi melepas penat, atau hanya bersosialisasi dengan khalayak memenuhi kewajiban sebagai manusia. Masih saja tak mengurangi rasa kosong dalam dada.
Mungkin ini yang dikhawatirkan nenek sebelum meninggal 5 tahun lalu. Aku kesepian diantara harta yang tak akan selesai urusannya. Sebelah rumah besar nan klasik bak istana ini adalah pasar tradisional. Dimana sebagian besar rukonya adalah milik nenek. Bapak ibu telah berpulang jauh sebelum nenek. Jadi tidak salah apabila hanya aku yang mewarisi ini sendiri. Kalaupun ada saudara, mereka tak tergolong ahli waris meski hanya sekedar menemaniku menghitung laba rugi di buku aset kumal yang ditinggalkan nenek untukku.
Sebenarnya aku baik-baik saja hidup dalam kesendirian. Aku hanya akan keluar masuk rumah dengan baju santai, makan tidur jika aku mau, jalan kalau aku tak sedang malas, belanja kalau aku mood. Atau hanya sekedar menjelajah daring untuk membunuh waktu. Begitu setiap hari, mungkin membosankan menurut orang lain. Tapi aku malas keluar dari zona nyaman yang tak sengaja ku ciptakan sendiri.
Kadang aku memasak atau membuat kue, meski lebih seringnya hasil masakan ku berakhir di perut orang-orang pasar yang datang ke rumah memberikan setoran hasil bagi modal kepadaku.
Dulu aku pernah menjadi guru beberapa tahun, namun aku lebih peduli pada peninggalan nenek ku dari pada bersabar menghadapi anak orang yang kadang nakalnya tak bisa ku atasi.
Ngomong - ngomong siapa yang membunyikan bel malam - malam begini. Aku menengok ke arah jam dinding, 08.00 WIB belum terlalu malam untuk orang normal. Tapi bagi single happy sepertiku, tidur.lwbih awal berpotensi mengurangi keriput, ah sudahlah.
Bergegas menuju pintu utama, dan berhenti sejenak untuk menarik nafas. Aku selalu takut menerima tamu malam-malam begini. Kadang aku memilih tinggal di hotel di kota terdekat hanya demi mengatasi rasa takut tak beralasan yang entah bercokol dari mana. Aku dikenal single, kaya, dan di dalam rumah ini banyak aset berharga. Meski aku telah memindahkan yang paling penting dan bernilai di salah satu bank di kota, termasuk beberapa set perhiasan kuno milik nenek dan ibuku. Jadi kalau boleh aku bilang di rumahku hanya ada mobil, sepeda motor matic, dan kurang dari 3 juta uang tunai. Tak urung aku selalu ketakutan.
Sedikit gemetar membuka kenop pintu, aku tercengang tak kala pria berhodie itu, mengangguk kecil kepadaku. Hilang takutku menjadi gemeruh rasa marah yang sebaiknya tak ku perlihatkan. Ekspresinya masih sama seperti trakhir kali bertemu, 5 tahun lalu saat kematian nenek. Meski di hari ke tujuh setelah acara tahlil, pria ini ikut menghilang seperti di telan bumi.
Aku bersedekap, mengangkat sebelah alis mau apa pria ini.
"Ada yang bisa ku bantu?" Aku berkata tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara kami.
"Boleh aku masuk?" Katanya.
"Untuk?" Aku bertanya, sungguh tak tau pria ini mau apa bertamu malam-malam begini.
"Alika..." Aku tak bergeming, rasa tak diharapkan, tak diinginkan, ditinggalkan tanpa kata kembali membayang, cukup sudah. Aku sangat tahu diri siapa aku di matanya.
Aku tetap menghadang langkahnya, tak goyah. Aku tak takut, pria ini mau apa. Tetangga kanan kiri ku mulai waspada, aku memang tak pernah ikut ronda, you know i m a women. Tapi makanan, minuman, rokok bahkan uang untuk sekedar beli kacang tak pernah tak ku berikan. Aku selalu menebar kebaikan pada para tetanggaku, jadi bolehkan aku berharap saat seperti ini mereka tak mengabaikan ku.
"Aku ingin bicara" masih irit dan tanpa basa-basi.
"Bicara saja"
"Alika, harus berdiri disini?"
"Oke silahkan duduk" aku keluar dan menarik tuas pintu, menutup akses masuk ke dalamnya. Mempersilahkan pria ini duduk di kursi teras dengan enggan. Nampak beberapa kali bapak-bapak yang bercengkrama di pos ronda mencuri pandang ke arahku. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah mereka.
"Ada tamu Mbak Alika?" Kata pak RT sedikit mengeraskan suaranya.
"Iya pak, cuma sebentar kok." Pak RT tersenyum pengertian. Sementara pria ini hanya memandangku tak acuh. Aku menghela nafas, sudah tak ada lagi rasa sedih yang sempat ku rasakan. Hanya saja rasa mengganjal masihlah terbit, di ujung hati.
Aku menoleh, "katakan, ada apa?" Aku memberikan seluruh perhatian kepadanya. Menelisik matanya, sayu dan seolah tak berdaya. Masih sama menipu setiap yang memandang, persis seperti waktu itu.
"Aku mau kembali" ujarnya setelah beberapa saat mempertahankan kesunyian.
Aku menaikkan sebelah alis, bertanya dalam diam, berharap pria itu mengerti, apa hubungannya denganku. Sejak awal aku bukan siapa-siapa mu, terus apa untungnya kamu ceritakan kepadaku. Kamu sehat?
"Aku ingin kembali padamu"
Aku terkekeh tanpa suara, sempat lupa kalau di luar pagar ada bapak - bapak yang pasti tengah memperhatikanku. Pria itu mengamatimu lamat-lamat.
"Maaf" aku menggeleng dan berdehem menetralkan suara.
"Kamu..." aku tergelak kembali, kali ini ku redam dengan telapak ku.
"Aku masihlah suamimu" jawabnya egois.
"Tentu" aku menarik nafas, mengembalikan suara dan ekspresi yang seharusnya ku pasang sejak tadi.
"Kamu tahu, aku belum mengirimkan surat cerai bukan karena aku tidak bisa, bukan karena aku mau" dia mengangguk.
"Selain karena wasiat sialan itu, aku cuma ingin tahu, seberapa pecundangnya kamu." Pria itu terdiam, tak menampik, rasa terhina yang ku harapkan tak muncul sama sekali di matanya.
"Mana mobilmu, atau kendaraan mu mungkin?" Aku bertanya penuh sarkasme, sementara dia menggeleng. Dulu salah satu cewek dekil dari perkumpulan pencinta alamnya akan selalu bergantian mengantar jemputnya. Padahal jelas nenek ku yang sangat menyayangi pria itu telah memenuhi kebutuhan kendaraan untuknya.
"Masih naif dan urakan" cibirku.
"Hartop ku ada di hotel atas, seorang teman mengantarku kesini" Ah, hartop ya, Aku mendengus. Selain pergaulan liarnya rambut panjang dan jens belel. Tidak, aku bukan orang yang suka menilai seseorang dari tampilannya. Tapi kalau kamu tahu siapa pria ini, kalian akan berpikir sama sepertiku.
"Pergi saja. besok pagi, seseorang akan mengantar surat cerai ke hotel mu. Aku mengabulkan semua permintaanmu, jadi berikan hak ku dengan gentle."
"Alika, aku...."
"Pak RT..." Aku memanggil Pak RT dengan sunggingan senyum manis. Tak menghiraukan apa yang akan Anggar ucapkan.
"Iya, Mbak...."
"Sini Pak, Bapak ingat pria ini nggak?"
Pak RT memenuhi panggilanmu, membuka pagar yang memang belum ku kunci. Lalu memekik heboh saat tau pria di sebelahku adalah Anggar, suamiku dulu.
"Loh, Mas Anggar, lama nggak ketemu mas, ada dimana selama ini?
"Saya, cuma keliling-keliling saja pak" aku berlalu masuk ke dalam rumah, mengunci pintu. Pak RT pasti mengerti akan tindakanku. Sebentar lagi akan ku kabari lewat grup what's app RT.
"Loh, koq ditinggal masuk, suaminya mbak? Eh, bener nggak sih?" Pak RT terdengar tak enak saat mengucapkannya, aku sengaja tak bergeser sedikitpun dari balik pintu.
"Biar saja pak" itu suara Anggar.
"Sudah cerai?" Itu suara Pak RT.
"Tidak akan Pak" jawabnya tak tahu malu.
"Pantas Mbak Alika marah, 5 tahunan ya mas, semenjak kematian Umi Herlina, mas Anggar nggak pernah pulang. Bapak pikir udah bercerai. Maaf bapak tidak bermaksud ikut campur. Kasian Mbak Alika mas" aku tak tahu bagaimana reaksi Anggar mendengar rentetan kalimat Pak RT.
"Kalau memang sudah tidak cinta, ya dicerai baik-baik aja mas, biar Mbak Alika bisa mencari pria yang bisa menjaganya. Kami semua kasian lihat dia sebatang kara mas. Bagaimana kalau ada orang jahat nyatroni rumah besar ini. Makanya kami bikin pos ronda pas depan sini mas. Kalau nggak ingat jasa-jasa Umi Herlina dan baiknya Mbak Alika buat apa kami mas.
Aku terdiam, kilasan - kilasan kesedihan dan kesulitan yang ku alami selama hidup sendiri terbayang. Beruntung banyak saudara dari ibu yang lumayan dekat dari rumah ini. Beruntung baiknya para tetangga. Tak sekalipun aku dengar suara miring membicarakan ku. Andai Anggar tak egois. Kalau soal wasiat itu, aku akan melanggarnya dengan senang hati. Jadi disini aku hanya sedang menyakiti diri sendiri, dengan menunggunya pulang hanya untuk menolaknya kembali.
Aku tahu saat ini pasti datang. Aku bukannya tak tahu apa yang dia lakukan di luaran sana. Aku juga tahu pria itu menikahi ku karena nenek, tanpa ada terselip rasa tanggung jawab sedikitpun di dalamnya. Kami hanya tinggal serumah untuk 3 bulan demi menghargai nenek. Itupun seringnya dia bepergian membuat kami tak saling kenal. Bukannya aku tak tahu dia kemana. Mudah bagiku mencari tahu, tapi untuk apa. Tak sudi rasanya kepo pada seseorang yang tak sekalipun mengingatkanmu.
BAB 2
Malas masak, aku pergi ke kota terdekat. Meski hanya kota kecil, cukuplah memenuhi kebutuhan desa-desa kecil di sekitarnya. Mencari makan di sini sangat mudah, mulai dari yang kaki lima sampai rumah makan ala-ala kafe biasa ditemui.
Aku memasuki rumah makan sederhana. Lalapan dengan udang 2x lebih banyak ku pesan. Di belakangku suara familiar turut memesan, aku reflek menoleh lalu memutar bola mata kala mendapati Anggar mengekor ku.
Aku diam, pura-pura menganggapnya tiada. Tadi pagi seseorang yang bertugas menjadi pengacaraku telah menyerahkan surat cerai itu. Dia tinggal menandatanganinya.
Aku tak mau lagi berurusan dengan pria ini. Pertama, kami tak saling mengenal sebelum pernikahan kilat itu. Kedua, aku tak peduli.
Aku meliriknya mengeluarkan entah apa dari balik sling bag sportnya. Robekan kertas kecil yang ku kenali sebagai surat cerai kami. Aku tak akan kaget, jadi aku diam saja. Mengutak-atik medsos sembari menunggu pesanan datang. Pria itu juga melakukan hal yang sama denganku. Aku mengangkat bahu, meski sebenarnya terganggu.
"Silahkan, mbak, mas" pelayan majikan pesanan kami. Dan sayangnya, terbalik.
"Maaf mbak, udang doble itu punya saya"
"Oh, maaf" ucap si pelayan ramah. Sempat membaca raut sumbang mbak pelayan, seolah dia mengatakan mengapa tidak ditukar sendiri saja sih, begini aja nyuruh - nyuruh.
"Makasih" ku ucap terima kasih setelahnya dan menyadari Anggar terganggu dengan sikapku.
Bergegas menghabiskan makanan ku. Aku lupa telah membuat janji dengan salon langganan ku setengah jam lalu. Si bencong itu pasti marah, aku datang telat. Pria di depanku telah menyelesaikan makanannya dan nampaknya sedang ke kamar kecil karena Sling bag sportnya masih ada di depanku, dan aku bersyukur untuk itu.
"Berapa mbak?"
"Sudah dibayar pacarnya mbak?" Aku menyipitkan mata skeptis.
"Ya sudah mbak gini aja, ini saya bayar punya saya, nah uang orang yang ngaku - ngaku pacar saya buat tipsnya mbak aja ya" aku menaruh uang 50rb sembarangan di meja kasir. Dan segera keluar.
"Alika..." Panggilan itu masih sama, membuatku menghentikan langkah tanpa berbalik. Tak perlu hiraukan Alika, bisik ku dalam hati. Aku membuka pintu Honda Jazz klasik ku dan berniat segera pergi dari tempat ini.
Namun, Anggar menarik tanganku, hingga aku terpaksa berbalik. "Apa sih?" Aku masih bersabar, tak perlulah mengeluarkan emosi berlebih menghadapinya.
"Alika, aku tahu kamu marah. Tolong dengar aku." Anggar melepaskan cekalan tangannya.
"Aku tidak dalam kondisi bisa marah" jawabku membalikkan pernyataan yang pernah Anggar ucapkan dulu. Anggar menghela nafas.
"Mari kita berdamai" tegasnya
"Kita tidak pernah terlibat pertengkaran apalagi permusuhan, Anggar..." acuh dalam suara sabar yang bisa ku lakukan. Anggar mengusap wajahnya kasar.
"Baik, aku minta maaf"
"Bukankah kamu tidak salah, nenekku yang salah, menjodohkan ku denganmu kan, yang cuma anak manja, matre, bodoh, tidak mandiri" kembali ku ucapkan obrolannya dengan teman - temannya 5 tahun lalu saat aku mencoba peruntungan membina rumah tangga dengannya.
"Shitt, Alika" pria itu menghela nafas seolah dia baru saja kehabisan nafas.
"Terima kasih, umpatannya. Surat yang sudah jadi sobekan itu mudah saja diurus kembali. Aku pergi."
"Tidak, Alika, please dengar aku, kamu tahu aku tak sedang mengumpatimu" aku mengangkat tangan dengan anggun mencegah apapun yang akan pria itu lakukan. Please, Alika jangan hilang kesabaran di depannya,kamu sudah 30 tahun Alika, jangan hilang kesabaran Oke, mantra ku kepada diriku sendiri.
Kali ini pria itu membiarkanku pergi. Aku memukul setir penuh amarah. Hilang susah emosi yang ku tahan - tahan selama ini. Keterlaluan sekali dia, apa salahku, meninggalkanku begitu saja. Tak bisakah dia berbicara baik - baik waktu itu. Kenapa harus selama ini menyadari keberadaan ku. Tak apa tak suka padaku. Tak apa tak menginginkanku. Dan biarkan saja seperti ini, tak perlu mengubah apapun lagi. Aku memegang dadaku, seolah ada yang berdenyut disini. Sungguh Anggar bukan apa - apa di hatiku, tapi rasanya siapapun akan nelangsa andai di posisiku. Kemalangan penuh kemalangan ku dapat silih berganti.
Air mata menitik di pipi, sudah lima tahun sejak kepergian nenek, aku tak lagi menangis. Hari ini, hanya karena masa lalu yang sekedar lewat aku tergugu tanpa suara. Perasaan kosong dan hampa itu kini semakin nyata.
Apa artinya Anggar buatku, jawabnya tidak ada. Aku hanya tak terima saja, pria sembarangan sepertinya bisa mempermainkan aku dalam sebuah pernikahan. Iya, oke itu memang perjodohan. Namun, tak urung nenek terlanjur berharap banyak pada pria itu.
***
Saatnya istirahat, tapi mata rasanya tak mau memejam. Pukul 11 malam, saat teleponku berdering. Aku memang belum tidur, melampiaskan gelisah dengan nonton Drakor favorit. Sempat bertanya-tanya siapakah nomor baru ini. Telpon berulang untuk ketiga kalinya, karena sengaja ku biarkan, menghindari orang iseng sih maksudku. Tapi sepertinya ini penting, ketika panggilan ke tiga berganti menjadi ke empat.
"Hallo"
"Selamat malam, dengan istri bapak Anggar?" Aku mengernyit bingung, dia menyebutku istri Anggar.
"Emm, kenapa ya?"
"Jadi benar ya ini istri Pak Anggar"
**
Memarkirkan sepeda motorku sembarangan di depan kantor polisi yang cuma berjarak 50 meter dari rumah. Lalu disambut tatapan pasrah Anggar yang tengah di elus manja oleh seorang wanita yang berkostum mirip dengannya. Jeans belel dan kemeja flanel serta sepatu boot kulit menutupi kaki. Posisi duduk dan penampilan hancur Anggar dan si wanita menjelaskan semua.
"Ada yang bisa saya bantu mbak?" Sapa seorang petugas polisi.
"Tadi seseorang dari Polsek ini menghubungi saya katanya seorang bernama Pak Anggar mengakui saya sebagai istri" aku bersedekap malas, sedikit menghalau rasa dingin yang masih menembus kardigan yang ku kenakan diluar daster panjang kesayanganku. Pak polisi melongo dengan pilihan kata yang ku ucapkan. Sekali lagi jurus tak peduli wajib digunakan saat menghadapi Anggar.
"Alika..." Tak perlu ku hiraukan suara itu, mengabaikan tatapan tak suka wanita disampingnya dan menuju pak polisi yang sudah ku kenal di meja pojok ruangan ini.
"Loh, tak pikir bocah itu ngapusi to mba, ngaku - ngaku suamine mbak e" aku tersenyum mendengar pak polisi senior yang sampai berdomisili di kampung ini karena tugas, membuatnya berada disini bertahun - tahun.
"Di hadapan negara masih suami kayaknya deh pak" aku menjawab seolah tak terganggu dengan kenyataan ini.
"Sabar mba, wong lanang koyo kui, tinggal ae. Wes duwe bojo ayu tur sugeh isih macem - macem. Iku mau nabrak rombong baksone Cak Man pengkolan kui loh mbak Alika" aku menghela nafas mendengar penjelasan pak polisi. Emang Anggar sekere itu ya, ganti rugi aja nggak kuat sampai diseret ke kantor polisi.
"Ya udah sih pak, kalo mereka berdua nggak mampu tanggung jawab, biar saya yang ganti rugi pak."
"Alika, bukan masalah itu." Suara Anggar menginterupsi. Dan akupun menoleh, mendapati dua sejoli itu tengah berpegangan tangan menurut kacamataku. Aku mengernyit jijik. Di tempat umum begini mereka mengumbar kedekatan seperti itu.
"Lalu, apa? Kamu nggak punya uang, nggak bawa uang, atau gimana?"
"Kalau saja mereka nggak mukul aku duluan, aku dengan senang hati akan bertanggung jawab, Alika"
"Terus kamu bales... Nggak omongan nggak tingkah laku sama - sama arogan ya" suara bernada kesal sangat. 5 tahun pergi, datang - datang malah bikin kacau. Apa-apaan dia, disaat begini aja nyari aku, mentang - mentang lokasinya sekarang dekat denganku. Jangan salahkan aku kalau aku selalu jadi suudzon begini sama dia.
"Kamu, ngomong apa sih?" Nada suara Anggar mulai terdengar tak enak dan aku sangat paham sekali.
"Gini aja deh pak polisi, kalau mereka berdua nggak mau tanggung jawab, saya, si anak manja ini, yang akan tanggung jawab sama kerugiannya Cak Man. Masalah mereka mau nginep disini sih terserah mereka" ingatanku kembali pada ucapan wanita itu 5 tahun lalu. Hah, jelaslah aku masih ingat wanita itu. Salah satu yang menyumbang efek kebencian ku makin besar pada Anggar.
BAB 3
"Alika!"
"Stop it, manggil - manggil aku"
"Aku tidak seperti anggapan kamu Alika, mereka mengambil, uang tunai, dan melempar dompetku entah kemana. Dan bapak - bapak polisi ini malah duduk santai disini, nggak mikir itu dompet saya banyak surat - suratnya, ponselku juga raib, entah kemana "
"Bener pak polisi?"
"Anak buah saya, sedang mencarinya"
"Tuh kan... Kamu denger"
"Oh, shitt. Tadi bapak - bapak ini bilang, nggak percaya kalau mereka buang dompetku" Anggar menarik rambutnya tampak frustasi. Lebam - lebam diwajah putih kemerahannya mulai terlihat.
"Itu Cak Man sudah datang" Pak polisi menunjuk ke arah luar pintu.
"Loh, ini kan Mbak Alika, koq Disni juga mbak?" Penjual bakso keliling itu mengenaliku, tentu saja aku sering makan baksonya.
"Dia, istri saya" Anggar menatap Cak Man kesal.
"Sontoloyo, ngaku - ngaku bojo wong ayu. Wong situ sudah ada gandengan." Sontoloyo, ngaku - ngaku istri orang cantik ini, padahal situ sudah ada pasangan.
Cak Man memindahkan posisi berdirinya di depanku seolah tindakannya itu mampu melindungi ku dari Anggar yang tengah menjulurkan kedua kakinya yang tampak tidak baik - baik saja.
"Sial!" Umpat Anggra.
"Mangkane kalau naik motor itu hati - hati. Jangan pacaran sambil berkendara, kalau begini, saya yang rugi, bakso terbuang percuma, rombong kesayangan hancur sudah" Cak Man membuat gerakan yang konyol seperti orang memerankan wayang.
"Gini aja Cak Man, biar itu urusan ganti ruginya sama saya." Aku menengahi, aku ingin semua ini cepat selesai dan pergi jauh dari tatapan Anggar.
"Jangan mbak Alika, wong yang nabrak, pasangan selingkuh ini, kenapa mbak Alika yang sudah ganti rugi saya" si penjual bakso sangat benar sekali.
"Apa, anda nuduh saya selingkuh" Kesabaran Anggar mulai habis, matanya sudah memerah campuran antara marah dan kesakitan.
"Lah kamu ngaku Mbak Alika bojo, tapi wedok an mu gak pethal blas soko gandengan kelek mu" kamu ngaku Mbak Alika istri tapi wanita mu ga melepas gandengan lenganmu.
"Rania, please" nampak dengan berat hati wanita itu melepas rangkulannya pada Anggar.
"Saya butuh ke rumah sakit segera, jadi mana bapak - bapak yang sudah mengeroyok saya?" Aku memutar bola mata.
"Mau apa kamu nyari mereka?"
"Mereka harus tanggung jawab, ini negara hukum kenapa main hakim sendiri"
"Wong Mase yang nyenggol rombong saya, ya jelas Mase yang salah"
"Salah bapak, nangkring di pengkolan pak, itu bukan tempat aman buat jualan"
"Wong sudah malam koq, mana ada kendaraan yang mau nyenggol rombong saya kalau bukan kendaraan Mase"
Aku memijit pangkal mataku, pukul setengah 12 malam. Sudah waktunya untuk merebahkan diri di ranjang hangat ku.
"Jadi Cak Man, mau ganti rugi berapa? Saya lelah Cak Man"
"Loh Mbak Alika pulang aja, atau saya antar dulu Mbak?"
"Oh My God...., Ayo donk kalian kooperatif, biar cepet selesai, dan saya yang nggak tau apa - apa ini biar bisa pulang"
"Saya mau kamu bantu saya Alika"
"Its oke, jadi kamu diem aja. Biar masalah ini cepet selesai setelah itu kamu bisa pergi jauh - jauh dari hidup saya" semua orang terdiam dengan kalimatku, Anggar nampak tersinggung dan suasana ruangan ini jadi canggung.
"Ayo Cak Man bilang, biaya perbaikan rombong cukup 500 ribu? Terus Cak Man dan bapak - bapak lain ada yang luka tidak?" Imbuh ku tak sabar.
"Nggak ada mba?"
"Oke, cukup apa kurang segitu?" Tanyaku memastikan.
"Hehe jadi nggak enak, ya saya nggak tau mbak habis berapa perbaikannya besok, ya cukup deh mba, kalau kurang saya tambahin sendiri, saya juga salah sih parkir di pengkolan"
"Nah, gitu donk, besok saya nyuruh orang pasar buat ngantar uangnya, cak man percaya saya kan?"
"Iya mba"
"Fix, pak polisi, saya mau pulang" aku beralih kepada Pak polisi yang sejak tadi hanya menonton kami.
"Mereka?" Pak polisi menunjuk Anggar dan wanita itu.
"Whathevr deh"
"Eh... Apa artinya mba"
"Bebas, suka - suka mereka, Pak"
"Alika antar kami ke puskesmas"
"Minta antar pak polisi, seperti kamu bilang, saya cuma orang asing dalam hidup kamu" Aku mengendikkan bahu dan berlalu keluar ruangan yang terasa pengap ini. Belum lagi tatapan permusuhan dari wanita itu.
"Please, Alika" aku berhenti namun tak berbalik. Suara Anggar terdengar kesakitan di telingaku, antara rasa kemanusiaan dan rasa kesal berkepanjangan aku memutuskan pulang.
Terus melangkah menuju sepeda motorku, sembari berpikir sungguh tak berperasaan kalau aku mengabaikan orang - orang terluka seperti mereka. Saat hendak naik ke matic unguku. Aku berbalik badan dan bilang pada polisi penjaga bahwa aku menyuruh mereka berdua menunggu sebentar.
Aku pulang menukar sepeda matic kesayanganku dengan mobil yang memungkinkan mengangkut mereka berdua. Ku tekan klakson kuat - kuat di depan kantor polisi, agar mereka segera keluar. Ku lihat Anggar berjalan kesulitan, wanita itu masih setia memapahnya.
Duduk di belakang seperti aku ini supirnya, dan cerocos kekhawatiran dari si wanita terus terlontar untuk Anggar, mengalihkan sunyi yang tercipta antara aku dan pria itu. Tak sekalipun aku melirik ke belakang, tak sudi tepatnya.
"Puskesmas, klinik, rumah sakit?" Ku ajukan pertanyaan agar dia menentukan sendiri.
"Yang terbaik menurutmu, tulang kaki dan bahuku sepertinya geser" ku rasakan Anggar terus menatapku, dan aku selalu tak peduli.
Rumah sakit masih 25 - 30 menit dari sini, karena Anggar ingin ronsen tulang, puskesmas mana ada. Aku memasang earphone di satu telinga. Sebagai pengalihan bertahan dalam situasi aneh yang tak ku sangka ku alami.
"Kami tak memiliki hubungan apapun, dia terus berpegangan padaku karena kacamatanya pecah tadi, pandangannya kabur tanpa kacamata" penjelasan Anggar.
Aku memandang Anggar lewat spion, mencebik ringan tanda aku tak peduli apapun yang mereka lakukan, bukan urusanku. Namun aku menangkap rasa kecewa dalam tatapannya.
"Terima kasih" wanita itu, Rania si judes. Lagaknya nggak banget, tak sekalipun menurunkan dagunya saat menatapku, bahkan saat seperti ini sekalipun.
"For what?"
"Sudah menolong kami" aku menggeleng tak percaya, dia menyampaikan itu seolah aku sudah merebut benda berharga miliknya.
"Mungkin aku pernah menyakitimu di masa lalu" tambahnya makin tak ikhlas. Bibirnya cemberut sungguh tak sopan.
"Aku bisa saja tak peduli pada kalian, bahkan ditengah malam dengan jalanan sepi seperti ini sekalipun, aku anak manja yang egois, kalian tahu itu" sarkasku acuh tak acuh.
"Alika...." Suara Bas Anggar terdengar memperingatkan ku.
"Apa?"
"Marah....,tak suka aku sinis kepadanya." Aku kembali bertukar pandang dengan pria itu, menantang kekeliruannya sekarang ini. Ayolah, siapapun mereka, mereka sedang tidak dalam posisi menguntungkan disini, kenapa musti si Rania itu tak tau diri sih.
"Masih beruntung aku mau membantumu, sudah disupiri, masih saja belagu. Lebih baik diam dari pada menyakiti hati orang lain, coba tanyakan pada diri kalian, kalian itu siapa sih." aku terkekeh skeptis, tak ada nada lucu sama sekali, miris ada ya orang seperti itu. Anggar melirik si Rania Rania itu yang sepertinya ta merasa bersalah sama sekali akan sikapnya.
"Maafkan kami, merepotkan mu" ucap Anggar pada akhirnya.
"Sangat merepotkan memang" balasku tak mau kalah. Lalu kamipun memilih larut dalam hening hingga tiba di Rumah sakit.
BAB 4
Sementara wanita itu cuma lecet - lecet karena saat kejadian, dia terlempar beberapa meter. Anggar mengalami geser bahu dan retak tulang kering. Belum lagi bekas keroyokan bapak - bapak setelahnya.
"Kamu pulang saja, kami bisa sendiri" suara sumbang Rania yang seakan ketakutan kalau - kalau Anggar terkontaminasi denganku.
"Baguslah" aku memilih keluar dari ruang rawat inap yang untuk mengurus administrasinya saja masih aku. Namun aku berbalik hanya untuk mengatakan kalimat penghinaan mungkin
"Oh iya, masalah kamu menumpang kendaraan ku, juga biaya administrasi dll itu, kamu nggak perlu khawatir, anggap aku menyumbang untukmu." Aku bersedekap santai setelahnya melanjutkan yang mengganjal pita suara.
"Sebagai info sih, aku bukan wanita miskin yang numpang makan sama Anggar. Justru Anggar beruntung seharusnya, dinikahkan denganku. Kalau kau tidak tahu, tanyakan padanya, apa saja yang sudah nenek ku hadiahkan untuknya.". Aku menatap wanita itu ramah berbanding terbalik dengan diamnya Rania yang nampak hendak membalas ucapanku.
"Satu lagi" aku mengansurkan tangan ke depan wajah Rania saat mulutnya hendak terbuka.
"Urusan Anggar tak pernah sekalipun menarik di mataku"
Aku sengaja menekan setiap kata bahkan memainkan intonasi setiap kalimat yang ku lontarkan, aku tahu Anggar mendengar semua. Kalau Anggar sakit hati itu akan sebanding dengan semua yang telah ku alami selama ini.
"Kamu..." Wanita itu mengacungkan jarinya ke wajahku.
Aku menahan tanganku lagi ke arahnya, mencegah wanita itu bicara.
"Saran ku, kalau kamu menyukai seseorang, jangan bertindak murahan di depannya, walau keadaanmu lemah sekalipun. Ku rasa Anggar tak suka wanita agresif dan genit, apalagi sekedar pura - pura lemah" soal ini aku menebak saja sih, gimana dia mau peduli sama yang pura - pura, yang beneran dalam posisi membutuhkan sandaran sepertiku ketika Umi pergi saja dia tak peduli.
"Kamu salah, Alika" hanya seorang saja yang menyebut namaku seperti itu dan orang itu adalah Anggar.
"Aku tak peduli, Anggar"
"Tidak seperti itu, Alika" Suara bassnya pernah beberapa bulan akrab di pendengaran ku.
"Tak masalah, aku memang tak pernah mengenalmu"
"Kamu masih istriku"
"Kamu merobek surat cerai itu"
"Kamu terganggu dengannya, Alika" Anggar menunjuk Rania dengan matanya.
Aku mendengus lalu tanpa bisa ku tahan tertawa tak percaya akan tuduhannya.
"I don't care, kalau kamu merasa makin pandai menilai ku" aku terganggu dengan Rania, jawabnya memang iya, tapi aku lebih terganggu dengan keberadaan Anggar.
Tmberdebat dengan Anggar tak akan ada usainya. Jadi pergi, menjadi diriku kembali yang selalu tenang dan sendiri.
Sudah pukul setengah 7 saat aku terbangun. Hiruk pikuk pasar terdengar dari dalam kamar. Mencuci muka dan sikat gigi, keluar rumah membawa dompet dan melangkah untuk mencari sarapan. Tak lupa membaca pesan what'sapp dari toko emas yang juga peninggalan Umi bahwa aku perlu bertemu pemasoknya karena ingin menaruh perak dan platinum di toko ku itu.
"Mbak Alika, lontong sayur mba?" Seseorang pedagang langganan menawariku.
"Pingin bubur yu, besok aja ya" aku menolak dengan senyum, mereka sudah terbiasa dengan pembeli yang kadang tertarik atau tidak.
Aku pengen bubur ayam kuah soto pedes, pasti enak. Terlintas ringisan kesakitan anggar saat menggeser bahu dan kakinya. Ah, ngapain ingat si pengecut itu. Dia bukan sakit pencernaan, hanya retak tulang. Ide mengiriminya bubur itu terdengar gila.
"Mbak Alika dari mana semalem, katanya bapak, keluar ke kantor polisi." Bu RT dalam mode kepo penuh. Dan aku maklum, Alhamdulillah, mereka nggak pernah nyinyir sampai bikin sakit hati banget.
"Iya buk, Anggar kecelakaan tadi malam"
"Loh, yang katanya nabrak rombong baksonya Cak Man itu ya" Bu RT mulai menghayati setiap perkataan, emang risih kadang tapi lumayan menghibur.
"Nyari bubur ayam juga" lanjutnya tatkala menyadari aku ogah bahas Anggar.
"Iya, buk"
"Ya udah makan sini aja, sama ibuk. Ibuk juga lagi males masak" aku
"Terus gimana Mas Anggar, masih ganteng nggak sih, dia"
Oh My God, Bu RT ini.... Aku sampai tersedak teh hangat yang aku minum. Bukannya nanya dia luka malah tanya itu. Pemilik warung bubur cuma terkekeh mendengar celoteh Bu RT. Semua orang pasti tahu aku pernah menikah. Hanya saja mereka tak tahu pasti aku masih bersamanya atau sudah pisah.
"Duh, neng, nanya mantan suami eh masih suami ya, udah keselek, pelan - pelang makanya" dasar Bu RT, ngomongnya lugu amat.
Aku tersenyum tak enak, berdehem membersihkan tenggorokan sebelum bercerita ala kadarnya harus mengantar Anggar ke rumah sakit.
"Ya sudah buk, bisa nggak saya nitip uang buat Cak Man. Buburnya biar aku yang bayar"
"Bisa donk, apalagi sudah disogok gini, mbak" Bu RT tertawa. Jadi Bu RT ini menjalankan 2 Ruko yang sebagian modalnya dari Umi dulu. Jadi begitulah, nenek ku emang se-eksis itu di pasar ini. Bersyukur aku tak pernah kekurangan apapun meskipun hanya tinggal berdua bersama beliau.
Setelah mandi, berganti baju yang nyaman, aku perlu duduk khidmat di depan meja kerjaku. Melihat berapa keuntungan bulan ini, perlu juga menyisihkan pendapatan untuk membayar zakat harta seperti pesan Umi di masa sehatnya. Hingga tak terasa suara adzan berkumandang, sudah tengah hari, meskipun kadang aku masih lalai terhadap perintah Tuhan, tapi sebisa mungkin aku memenuhi kewajiban ku sebagai umat.
4 misscall dari nomor baru, dari 2 nomor berbeda ku lihat. Aku mengernyit, bertanya - tanya siapa kira - kira. Mempertimbangkan apakah aku harus menghubungi balik. Namun Dewi Fortuna berpihak, salah satu nomor yang ku maksud menghubungi kembali.
"Halo" Aku menyapa ragu.
"Dengan mbak Alika?"
"Ya, siapa ya?"
"Saya temannya Anggar"
"Oh"
"Koq Oh" hening sejenak di ujung sana. Lalu aku harus menanggapi lebay kala seseorang menyebut nama Anggar gitu, pikirku sewot sendiri.
"Maaf mbak, saya mau bawa pulang Rania, tapi Ranianya nggak mau kalau ninggal Anggar sendirian" suara pria di ujung sana terdengar tak sabar.
"Hubungannya dengan saya?" Sok polos aku meladeni pria tak ku kenal ini.
"Gini mbak, Anggar nggak mau bikin kuatir ibunya, jadi keluarganya cuma mbak untuk saat ini"
"Oh ya" biarlah dikata aku nggak sopan.
"Ini dengan mbak Alika bukan sih?"
"Kamu bener temennya Anggar?" Entah apa hubungan Anggar dengan Rania, namun kalau boleh aku menilai pria ini tengah sangat mengkhawatirkan Rania.
"Iyalah mba?"
"Emang kamu tahu siapa saya"
"Istrinya"
"Emang kamu pernah denger Anggar punya istri 5 tahun ini" sedikit bermain - main boleh kan.
"Nggak sih mbak"
"Tuh kan, kamu salah orang sepertinya"
"Nggak lah mba, wong mbak juga nyambung kita bicara soal Anggar, Anggar yang sama yang kita maksud kan?" Ah kenapa rasanya aku terhibur.
"Saya janda 5 tahun, kalau kamu mau tahu"
"Ups, sorry mbak. Tunggu Alika!" Dan aku yakin, yang meneriakkan namaku itu suara Anggar.
"Please jemput aku, beri aku waktu seminggu memulihkan diri. Setelah itu kamu boleh melakukan apapun padaku, aku janji" Anggar terdengar seperti bukan Anggar.
"Maaf, aku nggak butuh" dengan itu aku mengakhiri sambungan secara sepihak. Memantau diriku sendiri bahwa tak apa mengacuhkan pria itu, toh selama lima tahun ini kemana saja dia.
Menetralkan degup jantungku, memutuskan menuruti langkah hanya untuk sekedar melihat - lihat bunga anggrek dan dedaunan di teras belakang. Sepertinya ide menambah kolam renang mini disini bagus juga. Tapi....., kasihan juga si Anggar. Ibunya yang sudah tua, dan adiknya yang harus merawat anak autisnya. Duh kepikiran deh aku. Tapi selama 5 tahun ini nggak mungkin juga kan dia nggak pernah sakit, toh dia sudah dewasa pastilah dia bisa ngurus diri sendiri. Tapi kan... Sekarang kaki dan tangannya cidera. Huffft...!! Aku masih kepikiran Anggar.
Baiklah, aku akan lihat dia, kalaupun dia sudah out berarti ya udah, bye Anggar. Biarlah dikata aku jahat. Bukannya dia emang keterlaluan.
Bab 5
Anggar terbaring tak berdaya, di atas ranjang rawatnya. Ah kalau begini siapa yang tega. Makanan jatah rumah sakit masih tertutup plastik wrap, ada titik air di luar gelas teh . Dia pasti kesulitan pikirku, seingatku dia masih punya beberapa saudara, tapi entahlah. Memangnya apa yang ku harapkan dari pernikahan yang seumur jagung ini meski hanya riwayat keluarga. Mungkin kalau masih ada Umi, aku bisa bertanya CV lengkap Anggar.
Aku duduk di sofa yang disediakan, membuka salah satu aplikasi favorit di hapeku untuk membunuh waktu. Sangking asiknya menjelajah aplikasi baca, hingga baru tersadar Anggar telah terbangun cukup lama untuk mengamatiku.
"Bangun? Butuh bantuan?" Huh, begini amat nasibku. Bukannya tak ikhlas, tapi situasi ini terasa amat aneh.
"Naikin dikit ranjang ku, please" ungkapnya, aku menyahuti dengan tindakan langsung membuatnya dalam posisi duduk. Mengulurkan teh kemudian berinisiatif menyuapinya. Tak ada perbincangan hanya denting sendok dan piring yang beradu hingga suapan terakhir. Semua yang kulakukan murni dorongan rasa kemanusiaan, menelisik muka kuyu bercampur sakit Anggar membuatku tak sampai hati mengabaikannya.
"Kamu udah nemuin dompet dan hape ku?"
"Sebelum kesini aku ke kantor polisi ngambil dompetmu, untung ketemu"
"Ambil debit card ku disitu, buat ganti uangmu ngurusin aku dan ganti rugi buat tukang bakso itu." Ku kendurkan bahu acuh. Pasti akan ku ambil nanti.
"Passwordnya, tanggal lahir mu" selorohnya, alis tebalnya menyatakan keseriusan.
"Apa?" Aku melongo tak percaya, memang tak sampai histeris namun tetap saja pekikan keheranan ku menarik raut terhibur di wajah kusut Anggar.
"Passwordnya tanggal lahir mu, Alika" ulangnya masih dengan ekspresi yang sama. Sampai aku melihat untaian senyum terbit di ujung bibir Anggar, seolah dengan membuatku cengo begini adalah hiburan baginya. Mengabaikan senyum menawannya, aku berusaha sadar dari rasa yang entah apa namanya ini. Mengerjap beberapa kali berpikir keras mengapa dia melakukan itu. Namun saat akhirnya kesadaran ku kembali, aku justru memutar bola mata.
"Alika"
"Apa?"
"Nggak sopan"
"Memangnya kamu sopan"
"Maaf"
"Huh"
"Antar aku ke Solo"
"Ngapain sih"
"Rumah sakit spesialis ortopedi" jauh amat pikirku.
"Aku ingin cepat sembuh, dan melakukan banyak hal yang seharusnya aku lakukan sejak dulu bersamamu"
"Ngigo" benarkan ngigo dia, lima tahun nganggurin aku tanpa kata, sekarang mudahnya bilang begitu. Minta ditampar biar sadar kali ya.
"Alika, aku akan membuktikan padamu"
"Kepalamu nggak benjol, tapi koq kamu jadi seperti bukan kamu" duh ngapain aku repot - repot ada disini sih.
"Emangnya aku seperti apa Alika?"
"Pikir sendiri"
"Maafkan aku"
"Obral maaf banget kamu"
"Harusnya Minggu depan aku pulang ke Malang setelah setahun ini ada di Australia" berusaha menyimak, mungkin aku bisa menggali alasan Anggar ingin kembali padaku.
"Salah satu sepupuku menikah"
Aku mengendikkan bahu ringan merasa bahasan itu terlalu asing buatku. Anggar pun sepertinya menyadari reaksiku.
"Ibu sering menanyakanmu"
"Aku nggak ngerti harus bilang apa, Anggar" aku memindai ruang rawat ini, warna hijau temboknya terasa menghibur pandangan.
"Kita tidak bertemu dalam situasi yang baik. Aku mengerti kalau orang sepertiku tak cocok dengan lingkar kehidupanmu. Jadi sudah seharusnya kamu melepaskan ku. Aku tak mungkin selamanya hidup sendiri begini, aku juga ingin punya seseorang yang sanggup menemaniku menua bersama, memiliki keturunan, dan kelak saat kami telah renta, ada anak - anak yang senantiasa mengkhawatirkan kami." aku menerawang membayangkan apa yang ku katakan, aku sedikit sentimentil mengingat aku sudah melalui semua ini sendiri.
"Kamu udah menyia - nyiakan pernikahan ini, lima tahun loh" aku mengeleng tak percaya bahwa aku duduk disini menungguinya yang sudah mencampakkanku selama itu. "Ayo kita buat ini mudah Anggar."
Anggar tak memutus pandangan terhadap ku, entah kenapa aku merasa sedih saat ini. Sungguh perasaan ingin hidup normal itu nyata ku inginkan.
"Kamu punya kekasih" aku tahu dengan pertanyaan itu Anggar tengah menguliti hidupku, nampak dari sinar matanya yang tak goyah.
"Kamu pikir, apalagi yang dilakukan wanita dewasa sepertiku dengan status menggantung, huh" aku terkekeh tanpa humor, sama sekali tak tersinggung dengan pertanyaan Anggar.
"Aku banyak bertemu dengan berbagai kepribadian, meskipun aku tak berniat menyelami mereka. Namun, cukup bagiku untuk tak merasa kesepian" sungguh aku terkadang berniat menyerah menanti Anggar datang dan memutuskan ikatan ini.
"Kamu bisa saja menikah kembali."
"Kamu pikir, mudah bagiku membina suatu hubungan serius setelah apa yang terjadi padaku. Tak diharapkan, tak diinginkan, ditinggalkan tanpa kata?" Lagi - lagi aku tertawa getir, tak peduli orang yang ku maksud adalah orang yang sedang mengajakku bicara.
"Alika..."
"Jangan meminta maaf lagi, aku sudah mulai muak dengan mu" aku menarik nafas, mengembalikan ekspresi biasa - biasa saja andalanku, lalu mengerjap singkat menghalau embun yang sudah mulai meluruh di mataku.
"Jangan mengasihani ku, karena jika dengan alasan iku kamu meminta kembali, aku tak akan pernah sudi berbicara padamu lagi" Anggar terdiam, memejamkan mata sekilas lalu membuang pandangannya jauh ke luar jendela kamar rawat ini. Sedangkan aku mengatur nafasku berkali - kali, mengatur sesak di dada agar tetap apik terkendali.
"Selamat siang, ibu istrinya bapak Anggar kan?" Aku melirik Anggar, tak sekalipun dia berpaling dari ujung pepohonan di luar jendela. Dia pasti sengaja, memposisikan aku seperti yang dia mau. Aku mengangguk dan mau tak mau memposisikan diriku seperti seharusnya. Biarlah mungkin dengan berperan sebagai istri kali ini aku bisa sekali lagi menampar Anggar.
"Dokter ingin bicara Bu, bapak kemaren mau pindah RS ya" aku kembali mengangguk, dan keluar kamar mengikuti instruksi perawat.
Setelah mengantongi surat rujuk ke salah satu RS di Solo atas permintaan Anggar, aku meminta bantuan perawat laki-laki untuk membantu memindahkan Anggar ke kursi roda setelah itu ke mobil di tempat duduk penumpang.
"Kita bawa ambulans gimana, biar kakimu ga perlu ditekuk begitu"
"Nggak perlu, ini cuma retak"
"Kamu pakai uangku kan"
"Iyalah, aku narik di ATM RS tadi. Masak iya aku pake uangku terus, toh kamu kecelakaan bukan salahku" Aku ngomel sepanjang jalan, Anggar hanya menanggapi sesekali, itupun hanya iya tidak, bahkan saat aku meliriknya karena tak puas dengan jawabannya yang terlampau singkat, ku dapati sebaris senyum yang beberapa waktu kebersamaan kami jadi sering ku lihat, sangat jauh berbeda dari 5 tahun lalu.
"Aku tak tahu, kalau mendengar omelanmu bisa sebahagia ini" katanya.
Aku mendengus tak habis pikir. Dimana bahagianya, harusnya dia balik marah, kalau dia waras.
"Otakmu sehat kan"
"Rasanya aku tak akan menyesal menghabiskan seumur hidupku bersama kamu, Alika"
"Huh, ngomong apa?"
"Beneran kamu bakalan nyetir sendiri dari sini ke Solo?" Mengganti topik pembicaraan hu, dasar pria.
"Menurutmu?"
"Beneran kamu nggak bisa menyelamatkan ponselku" aku memutar bola mata.
"Nih" aku merogoh tas lalu melempar ponsel retak yang lcd nya nyaris hancur ke pangkuannya. Tangan kiri Anggar membolak - balikkan ponsel rusak itu.
"Sial" umpatnya.
Tentu saja aku tak akan cari mati menyetir sejauh itu, sekalipun lewat tol. Aku menanti sambungan terhubung ke nomor salah satu rekan ku. Tak akan ada yang menolakmu selama uang berkuasa, begitu nasehat Ibu Hajah Herlina yang udah 3 kali naik haji dan 5 kali umroh, alias nenek ku.
"Sri! Kamu dimana? Aku memekik kala Sri meresponku di seberang.
"Sibuk nggak?"
"...."
"Mau donk, aku ajak jalan"
"...."
"Nggak jauh, sekiran Malioboro"
"...."
"Iiiyah, iih kamu, bencong matre"
"...."
"Mana mamih kamu, ihiiii"
"...."
"Sama cowok nih" melirik hingga menelisik seluruh wajah Anggar aku jadi tersenyum miring lalu menjawab Sri "seger lah..." Sekali lagi ku lirik Anggar yang tampak penasaran.
"Si bule ajak juga deh, biar gantian yang nyetir."
"...."
"Eh tapi beneran sih, kalian lowong?"
"...."
"Mana mamih kamu, biar aku ngomong langsung. Dia kagak ngangkat telpon aku beibe, iya. Oke."
"Hallo Jeung, ini aku mau ke Solo, ada kepentingan mendadak, kalo si Supri ga sibuk, aku bawa deh, ya paling lama 3 harian kali ya, kalo bisa solmetnya Supri aku bawa juga, iya buat gantian ngedriver. Beres... Aku udah deket banget"
"Siapa?" Anggar bertanya malas, nampak gurat lelah dan sakit di wajahnya.
"Tuh tempatnya" aku menunjuk dengan daguku salon yang tak terlalu besar, bersamaan dengan rem yang ku injak. Kemudian aku turun menggunakan sandal ternyaman, yaitu sandal jepit kesayangan yang selalu ku siapkan di mobil.
"Halo Jeung, mau keluar?"
"Iya, nanti seminggu lagi ada konser di desa ujung sana mbak Alika. Duh siapa itu, macho banget keliatannya? Cowok baru?" Jeung Salma berbinar menatap penasaran ke arah Anggar. Aku tertawa terbahak lalu berbisik " suamiku" ke arah Jeung Salma, salah satu rekan bisnis make up wedding. Dia bilang konser, berarti bakal ada seseorang yang akan menggunakan jasanya.
"Appahhhh" teriaknya, aku berlalu meninggalkan Jeung Salma yang sekarang sedang dadah dadah manjah ke arah Anggar.
"Mbak Alika...." Aku sedang berbincang dengan pria melambai yang ku sebut Sri di awal sambungan telpon tadi saat suara cempreng Jeung Salma menelisik telinga.
"Ini suaminya jangan dibawa ke rumah sakit Jeung, lama sembuhnya. Bawa ke tukang pijat aja, aku punya kenalan "sangkal Putung" loh......" Belum aku menjawab Jeung Salma yang sudah memapah mesrrahhh pria yang kini terlihat tak nyaman itu.
"Kamu sama suami cyin... Yang katanya 5 kali puasa 5 kali lebaran nggak pulang - pulang itu cyin..." Supri nama dagingnya yang lebih akrab disapa Sri ini, histeris dibuat - buat,ku jawab dengan mengangguk dramatis dan senyuman manis. Jangan tanya gimana ekspresi Anggar mendengar celotehan Sri. Udah keliatan sengak banget dia dan aku sangat menikmati.
"Oh my God, Tuhanku, suami yeiy bule beneran....., bikin eikehaus cyiiin" Sri alias Supri berkedip - kedip imut hingga bulu mata hasil eyelash terlihat berwarna pink karena maskara Korea yang digunakannya.
"Alika, bantuin aku" aku menoleh dan mendapati Anggar tampak tak berdaya sembari merangkul pundak Jeung Salma sebagai tumpuan.
"Ngapain ikut turun, sih?"
"Katanya kamu lama" Anggar melirik Jeung Salma dengan ekor matanya.
"Pasti sakit banget ya?" Tanyaku, tapi membiarkan Anggar sedikit lebih lama, aku mengikat rambutku tinggi - tinggi di depan cermin salon dengan santai. Menatap Anggar yang terus memohon padaku lewat iris coklatnya yang gelap.
"Alika..." Nggak salah kan aku mendengar suara pria merengek.
Jeung Salma tengah mengagumi otot - otot Anggar dan Sri sudah meraba udara tepat di sekitar dada dan perut pria itu. Bolehkan aku merasa terhibur sekarang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
