
14. Dua Pacar, Satu Kecintaan
Maafkan, lama update ๐คญ๐
Markica, mari kita baca...
happy reading ๐
_________
"War, ngapain si Felisia? Mau adu jambakan lagi?"
Mawar mendengus atas tanyaku. Dia menuang air mineral dingin ke dalam gelas tinggi mewah, yang aku bawa setengah lusin dari salon Mama, yang biasa Mama gunakan untuk menjamu pelanggan salon spesial. Seperti artis, sosialita, atau ibu-ibu pejabat. Kata Mama, dalam menjual jasa pelayanan benar-benar harus mengutamakan kualitas pelayanan itu sendiri.
"Mana gue tau, dia nyariin elu!"
"Ngapain coba!"
"Tanya aja ndiri. Bocoran aja sih, dia kesel sama elu karena justru elu yang banjir endorsan, sedang dia panen hujatan."
"Ya udah, War! Siapin jambakan maut elu! Saran gue lebih baik elu tendang aja dia pake jurus silat elu yang katanya bikin pingsan seketika."
"Elu mau nyuruh gue bunuh orang, Mon! Asal elu temenin gue masuk penjara sih, gue oke oke aja!" Sewot Mawar, moodnya sepertinya kurang baik. Aku dengar Gus Yusuf, dedemenannya itu, sudah dijodohkan oleh keluarganya supaya tidak membuat ulah terus-terusan. Jadi beberapa hari ini dia menjadikan aku sasaran bentakan, kekesalan, kejengkelan, dan kekecewaan. Sebagai teman yang baik aku sih mengerti. Tapi kalau keterusan, sepertinya aku harus membawanya ke ustad supaya dia diruqyah saja. Eh, bapaknya kan ustad.
Aku mengikuti Mawar berjalan ke ruang tamu. Jarak yang sangat dekat karena rumahku lumayan imut nan mungil. Ketika melihatku, Felisia mendelik. Dia menguarkan aroma permusuhan yang begitu kental. Ah, belum apa-apa aku lelah.
"Halo Felisia, pembukaan dulu dong, jangan tiba-tiba ngajak gelud. Jadi ada apakah dirimu mencari diriku!"
"Jangan banyak bacot, deh! Elu," dia menunjuk Mawar.
"Gue kirain udah ngerebut Yusuf, ternyata dia emang brengsek. Gue maafin elu!" Kemudian dia berpindah padaku dengan sorot mata lebih menakutkan.
"Elu, minta maaf yang bener di sosmed. Jangan menggiring opini seolah-olah gue yang salah! Gue capek di serang netizen, tau!"
Aku menunggu Felisia melanjutkan. Wajahnya terlihat sangat judes bin jutek. Dia memasang aura hendak mengancamku dari bibirnya yang tiba-tiba naik sebelah. Maka aku mendahului. "Kalau enggak, elu mau ngapain, Felisia?"
"Gue punya video Agnia selingkuh sama Malvin."
Aku mengangkat alis sebelah, apa dia mabuk. Kenapa dia menggunakan video mereka untuk mengancamku.
"Gue juga punya video elu jalan sambil elu gandeng tangan Benico Allan, produser terkenal yang selalu membuat film populer, yang adalah tunangan dari kakak elu. Oh, betapa bobroknya kalian dua bersaudara. Kau tau kekuatan maha kuasa netijen ples nam dua." Felisia menunjukkan raut kemenangan. Padahal, kalau aku sih, akan merasa beruntung jik sampai video keren Agnia viral. Oh, sayangku Bang Bento-ku tercinta, kau akan jadi milikku sebentar lagi. Ixixiixixi.
Aku sengaja membuat ekspresi pura-pura sedih menjijikan ala-ala istri tersakiti selingkuhan jahat seperti di TV. "Tolong jangan Fel, ampuni aku...! please Felisia ratu kegelapan abad ini," olokku lebai. Kemudian aku segera menjadi diriku sendiri yang sombong dan over percaya diri.
"Haruskah aku memohon begitu padamu? Ngaca lu, muke elu nggak ada bagus-bagusnya buat terus-terusan nantangin gue! Elu bukan level gue, tau! Sana ke Mars aja, kali ada alien punya waktu luang buat ngeladenin kechildishan elu." Kucemooh saja gadis menyebalkan ini.
"Dasar pecun!" Felisia mendelik saat memaki tapi detik berikutnya di berteriak.
"Argh! Sial!" Gadis itu beraung makin marah setelah suara byur yang mencengangkan. Pelakunya adalah sahabat terbaikku, Mawar, bukan nama samaran, yang sedang bad mood.
"Gue udah maafin elu, tapi elu perlakuin gue begini! Pantes Yusuf mau aja dijodohin dari pada merjuangin elu!"
Maka aku bertepuk tangan ketika suara byur ke dua terdengar. Kali ini yang Mawar gunakan adalah isi mini akuarium yang ditinggal mati dori biruku. Ya ampun, pasti amis, iyuuuhh!
Felisia menghentakkan kakinya tanda terlalu marah, tapi berikutnya dia minggat dari rumah mungilku ini. Rasain! Di baliknya asemnya Mawar, dia adalah serigala betina sesungguhnya. Mawar kok dilawan, aku sih ogah.
"Good job, War! Elu emang selalu bisa gue andelin."
"Selamat, Mon! Sebentar lagi cita-cita elu jadi pacaranya si Bento bakal kesampaian. Terus setelah itu apa?" Mawar mengucapkannya dengan nada sarkas. Orang lain akan tersinggung, tapi aku bodo amat. Mawar hanya sedang baper dan kesal, ayang bebebnya bakal kawin sama yang lain.
Eh, iya ya? Setelah aku sama Bang Ben nanti, terus ngapain? Bayangan 21+ seketika tersaji di pelupuk mata. Aku terkikik seperti orang gila. Sudah kukatakan Mawar memang serigala betina, dari kejauhan dia melempar bantal sofa tepat ke mukaku, menggangguku dari fantasi binalku yang anu, ixixiixi.
"Senyam-senyum, gila lu!" katanya berlalu masuk ke kamarnya.
"War, itu si Enrik sama Gia ngapain dia di sini?" Keluar dari area parkir kami berniat ke lobi untuk scane absen khusus karyawan. Namun, yang kudapati senyum ala matahari yang sedang menikmati dikagumi perempuan-perempuan dan beberapa talent artis yang kebetulan lewat untuk syuting. Enrik bersandar tampan pada mobil menterengnya. Itu Ferrari superfast apalagi warnanya semerah cabe, tentu saja mengundang banyak perhatian. Dia membawa buket uang merah yang tentu saja adalah kesukaanku. Entah ini tanggal berapa, momen apa bagi dia, peduli setan!
Sedang Gia, dia hanya berdiri santai dengan gaya klasik tapi asyik. Dia memasukkan satu tangannya ke saku celana, sesekali akan mengangguk sopan pada siapapun yang lewat sekedar menyapa. Vibesnya sangat positif, dia merupakan ekspektasi dokter-dokter tampan ala-ala novel.
"Sana, tanya mereka. Jangan pakai gelagat kek kucing abis nyolong ikan, lu!" Mawar hendak melangkah tapi kutarik dia agar tidak kemana-mana.
"Please War, jangan sensi di saat begini. Entar ketemu Bang Ben, gimana. Ini jamnya dia ngajakin gue kencan di kantin. Duh, itu dua pacar gue, kenapa sih, pake kompakan segala dateng bareng! Sial!"
Jadi, baru dua minggu lalu aku jadian dengan Gia. Awalnya aku enggan, tapi ketika dia nyogok alias menghadiahkan sebuah jam tangan Hublot aku langsung mengangguk iya, ketika dia nembak. Yeah, meskipun aku tahu, harga jam tersebut termasuk rate paling murah dari jajaran jam pada merk yang sama. Berapa sih, gaji dokter yang belum punya klinik sendiri? Kalau bukan karena dia dari keluarga kaya, mana mungkin dia mampu menghadiahkan jam puluhan juta.
"Elu sama Benico cuma ngopi aja keles, bukan kencan. Sungguh Mon, gue takut banget kehaluan elu berubah jadi kesintingan hakiki."
Aku mengabaikan gerutuan Mawar. Membayangkan Gia bakal histeris kalau aku keluar persembunyian sekarang. Pasalnya Enrik pasti akan menyongsongku dahulu, lalu, aih...! Aku ogah menjelaskan ini itu pada dua pria tersebut.
"War, tolongin gue. Gue sueneng banget sama hadiah-hadiah Enrik dan Perhatian-perhatian Gia, termasuk buket mawar duit kesukaan gue di tangan Enrik itu. Tapi enggak gini juga kali, War!"
"Putusin semua deh! Kata lu, mati satu tumbuh seribu." Mawar memang minta dijitak.
"Yang dua ini gue masih butuh. Yang seribu lainnya belum tentu bikin gue untung. Please War, bilangin Pak Satpam, suruh usir mereka."
Bukannya melakukan permintaanku, Mawar justru mendatangi Enrik dan aku tidak tahu apa yang dia katakan. Berikutnya Enrik melihat ke sekeliling lalu mengeluarkan ponselnya untuk mengetik pesan padaku.
"Sayang, aku tau kamu punya cowok lain selain aku. Kamu juga tau aku pun begitu. Karenanya, aku paling cinta kamu. Kamu bener-bener ngertiin aku. Kutitipkan bunga ini ke satpam. Nanti malam dinner, ya? Ada yang bakal aku omongin. I love you." Begitu bunyinya, pesan sinting yang membuatku misuh-misuh. Maka setelah Enrik pergi, aku keluar persembunyian dan pura-pura kaget pada keberadaan Gia.
"Gia..., kok kamu di sini, sih? Kupeluk dia singkat, niatku. Namun dia justru memeluk lebih lama, mengimbuhkan ciuman kecil di ujung kepala. Iih, aku nggak suka. Aku akan suka diperlakukan manis begitu kalau orangnya adalah Bang Ben.
Menutupi cebikan kesalku, aku tersenyum dengan sipu-sipu tidak jelas mirip jablai. Aku menarik diri menjauh, menoleh ke kanan kiri takut dilihat teman-teman kantor. Sayangnya yang melihat bukan mereka, tapi Bang Ben kecintaanku, kesayangku, kekasihku. Arghh! Kenapa dia di situ sih!
Dia menatapku dengan mata menyipit, lalu menggerakkan telunjuknya singkat. Seolah aku murid bengal yang ketahuan pacaran di jam pelajaran. Selanjutnya dia melangkah ke dalam lobi kantor, meninggalkanku yang merasa aku ke-gap selingkuh dari dia.
"Monik, are you oke?" Gia menyentuh bahuku. Menarik diri dari perhatianku yang tercurah pada Bang Ben seorang.
"Kok dia nggak senyum jenaka kek biasanya?" Aku hanya menggumam, tapi sepertinya Gia mendengar.
"Siapa, Mon?" Gia ikut menatap lobi.
"Abang."
"Oh, kamu punya abang?"
Mengabaikan pertanyaan Gia aku mencari tahu tujuannya datang. "O iya Gi, kok kamu di sini? Nggak telat nanti kamu ke RS?"
"Aku shift malem, semalem. Ini mau pulang, tapi aku inget kamu. Aku bawain kopi, aku tau kamu pasti udah sarapan."
Padahal aku tidak sempat sarapan karena Felisia. Sudahlah, aku akan makan di kantin sebentar lagi setelah absen.
"Gia thanks ya, dua menit lagi pukul delapan. Aku belum absen." Beda cerita kalau Bang Ben, absen tidak absen dia tidak masuk hitungan karyawan.
Aku senyam-senyum. Aku memang cantik tiada tandingan. Jelas cowok-cowok klepek-klepek sama aku, ixixii. Biarkanlah sifat over confidenceku ini, pemirsa.
"Oke. Baik-baik ya, jangan tebar pesona. Kamu terlalu menggoda bagi pria-pria." Gia mengusap rambutku sayang. Bahasa cintanya memang skin ship, mirip Bang Ben. Eh, otakku memang terkontaminasi Benico Allan.
"Da Gia, kamu istirahat ya, tidur yang nyenyak. Jan lupa, mimpiin aku." Aku melambai dan merasa lega lepas dari pandangannya. Sedikit berlari masuk lobi, berharap bisa menyusul Bang Ben tercinta. Sayangnya, seseorang merebut kopiku lalu meminumnya tanpa izin. Aku urung mendelik karena dia adalah orang yang aku cintai setengah hidup. ixixiii.
Dengan alami aku merelakan kopi pemberian Gia. Yang penting Bang Ben bahagia, aku tidak masalah. Jangankan hanya segelas kopi, sekolam madu cinta pun akan kuberikan, ahay. "Kok masih di sini, Bang?" Heran lah diriku ini dengan keberadaannya. Seharusnya dia sudah diangkut lift ke lantai 7 di mana kantornya berada.
Bang Ben mengikutiku yang bergerak ke mesin scane barcode kartu karyawan.
"Cantik banget, mau ke mana?" Dia tidak berbisik, tetapi rasanya begitu dekat di telinga. Tubuhku kemudian bergerak menghadapnya yang menurutku posisi Bang Ben terlalu dekat padaku. Tetapi mataku auto meneliti penampilan. Hanya celana jins cerah, inner putih yang kututupi dengan blazer gading. Bahkan rambutku kugerai asal karena aku tidak sempat styling. Aku sudah tahu, aku cantik. Gia bahkan mengakui tadi. Tapi ini Bang Ben, kali ini dia mengatakan dengan raut serius. Sekali lagi kukatakan, dia tidak tersenyum. Jadi kutempelkan punggung tangan ke jidat Bang Ben.
"Enggak demam, kok ngelantur?" Aku yakin, pipiku sedikit merona karena Bang Ben menyebutku cantik. Semoga saja jerat cinta yang kupasang telah menambat Benico Allan. Aw aw!
"Kamu emang cantik. Kopinya enggak enak." Dia menyerahkan kopi yang dia minum beberapa sesap pada OB yang kebetulan lewat. "Tolong, buangkan. thanks," katanya sebelum menarikku ke arah kantin, sepertinya.
Apa dia masih belum bangun dari tidur? Dia bilang kopi Setarbucek yang dibelikan Gia, tidak enak? Itu kopi yang biasa kami pesan kalau mampir di Setarbucek loh. Jangan-jangan dia juga ngelantur saat bilang aku cantik. Dasar Bang Ben! Setelah melambungkan hatiku ke planet Uranus, seketika menjatuhkan aku ke inti bumi. Ah...!
ย