It's Me_ Monik 13

12
6
Deskripsi

13. Ixixiixi, Gue Emang Sinting

Aku tersenyum cantik, sedikit genit, dan menguarkan sedikit feromon, kali saja pria setengah bule di depanku masuk jerat. Tapi menit berikutnya, aku memelototinya karena dia berkata, “aku pernah menghabiskan malam berkesan dengannya. Kuharap dia baik-baik saja. Aku merasa bersalah, tapi sampaikan maafku, aku tidak bisa menemuinya.”

Aku menarik lengannya kuat-kuat karena pria itu terlalu berat dan kuat, untuk kuseret-seret. Inginnya aku memperlakukan pria tampan dan terlihat mapan itu seperti ibu tiri jahanam. Apa mau dikata, tubuhku terlalu mungil melawan pria ini. Aku membawanya ke tempat yang sekiranya tidak akan terendus keluargaku.

“Hey pria kont*l ngac*ngan! Kau boleh bersikap jahanam tapi kalau benihmu sudah menjadi embrio, haruskan kupotong kont*l ngac*nganmu itu! Lalu kau boleh bersikap pengecut! Dasar tidak bertanggung jawab!”

Pria yang  terlihat risih kusebut dengan cara jorok itu membolakan mata. "Ap-apa?" tanyanya terbata.

“Orang mabuk, ya mabuk aja. Ngapain pake birahi ngac*ng segala, hah! Kau pikir, Kakakku kucing, habis kau ajak bergumul ala kebo terus kau tinggal? Berikan kartu namamu!”

Pria itu kesambet, terlihat dari tubuhnya yang kaku dan tatapannya yang jadi linglung. "Saat kau tiduri, menyeprotkan spermamu, apa kau sok linglung begini juga?" cibirku kesal.

“Kami cuma mabuk. Aku dan dia sudah punya pasangan masing-masing. ”

“Itu kau tau, tapi kau menungganginya lalu hendak kabur layaknya keledai pecundang, huh?”

"Aku benci kata-katamu, kau sangat tidak terpelajar." Pria itu menyipikan mata. Dia terlihat sangat jengkel padaku.

"Apa itu penting sekarang? Kau membuat Kakakku menginap di rumah sakit dan membohongi dokter bahwa dia cuma sakit lambung? Salahku di mana, aku cuma memperlakukan seseorang seperti dia berlaku. Seperti kebo, hewan, binatang. Kau tau maksudku Tuan Terpelajar, kau seperti hewan yang setelah mentap manimu, kau pergi. Kau pikir ucapan maafmu bisa membuat keadaan kembali seperti semula?" Aku menatapnya berani. Lututku memasang kuda-kuda untuk menendang asetnya kalau dia berani macam-macam padaku. 

"Kami melakukannya suka sama suka," katanya.

"Justru itu wahai Tuan Terpelajar, kalau kau memang terpelajar dan terdidik, kau bisa membedakan mabuk dan birahi. Jangan berlindung dibalik kalimat, 'kami melakukannya suka sama suka.' Cih! Sengac*ngnya orang teler, dia akan lebih memilih tidur dari pada mengeluarkan peluh. Kalau masih bisa main tunggang tunggangan namanya bukan mabuk, tapi napsu yang tetap menyisakan kesadaran manusia! Mana kartu namamu!" Aku menengadahkan tangan, dengan terpaksa pria itu mengeluarkan sebilah kartu dengan nama dan profesi serta nomor teleponnya.

"Pengacara? Oh, kau dari firma langganan Mamaku, rupanya. Bagus banget kalau diulas jadi berita. Seorang pengacara, main kuda-kudaan ala kebo ngac*ngan, sampai lawannya tekdung." Aku butuh memprovokasi pria ini.

“Apa maumu?”

"Selamatkan calon keponakanku dari putus asanya kakakku. Sayangi keponakanku selayaknya orang tua, penuhi kebutuhan jasmani rohaninya, dan ajari dia bertanggung jawab sejak dini. Dia tidak minta diciptakan Tuhan, tapi kau wajib memberikan haknya karena kau sudah mengadon dan mencetaknya. Ingat Bung, kau akan menuai apa yang kau tanam," ingatku sok bijak. Padahal aku punya misi sendiri. Ixixixi.

Aku berusaha keras Nak, demi masa depanmu dan Ibumu. Demi Tante juga mendapatkan kekasih tercinta Tante, Nak. Karenanya kau harus tumbuh baik di perut Ibumu lalu lahir ke dunia. Aku akan menantikanmu lalu kita akan saling berpelukan dan mengucap terima kasih satu sama lain.

"Kau sangat mengerikan, aku menyukai keberanianmu. Namun, aku tidak yakin akan ada lelaki betah di sisimu." Pria itu menatapku tepat di mata. Aku tentu tidak keder. Aku hanya akan keder kalau yang menatapku adalah Bang Bento-ku sayang.

“Simpan nasehatmu untuk dirimu sendiri. Nanti saat kau jadi iparku, kau boleh banyak bicara bahkan mengomentari hidupku.”

“Monik, kau menyukai tunangan Kakakmu, kan?”

Dia tahu namaku, dia juga tahu rahasia terdalamku? Fix, dia bukan sembarang pria. Yeah, walaupun dia pecundang pengecut ngac*ngan. Aku jelas berkilah. "Tentu, kenapa aku harus tidak menyukainya." Sialan! Bisa-bisanya dia membuatku sedikit kaget, untung aku pandai menutupi ekspresi.

“Kau tau maksudku.”

"Kau juga harus tau maksudku. Lakukan saja kewajibanmu. Sana, masuk, kalau kau pemberani atau pergi saja, kalau bisamu cuma birahi." Olokannku pasti membuatnya makin kesal.

"Mulut sialan! Untung perempuan, kalau tidak..." Dia menggeram, menahan marah. Langkahnya menjauh dari kamar Agnia. Dasar, pecundang! 

Bauklah, kata-kata hari ini. Berani ngac*ng belum tentu berani menafkahi. Kont*l Brengsek!

"Inting pirimpiin, kilii tidik bla bla bla!" Peduli setan pada gerutuannya yang unfaedah. Mari pamit pulang, lalu tunggu esok dan lusa untuk menyaksikan pertunjukan seru. Aku mengibaskan rambutku pada angin yang tidak memiliki andil membuatku jengkel. Hanya pria sedikit bule tadi, pengacara petentang-petenteng yang menyebarkan sperma pada Agnia hingga tubuhnya bau. Iyuhh, kenapa otakku berwisata, Malvin, nama pria tadi, juga menyemprotkan sembarangan cairannya pada tubuh Agnia. Iiihhhh, jijik! 

Semingguan ini hidupku penuh dengan rindu membiru pada ayang bebebku  cintaku, sayangku, pujaanku, Bang Ben. Tada...!  Di sinilah aku sekarang, di rumah berhalaman luas milik Bang Ben. Apakah aku berdua? Iyalah, Bang Ben benar-benar mengundangku datang dan memberikan sekoper hadiah. Isinya tentu saja ada kopi yang dia janjikan dan beberapa makanan yang katanya khas, meski menurutku di Jakarta banyak. Souvenir-souvenir cantik dan entah apa lagi, aku tidak peduli, bagiku Bang Ben saja sudah cukup. Ixixii, cinta tai kucing banget diriku ini.

“Bawa pulang sekoper-kopernya Mon, bagikan Mawar juga. Kalau ingat dia belain kamu sampai adu jambak gitu, aku jadi kasihan. Gimana endorsan, Mon?”

"Aku sedikit lebih kaya dari endorsan," jawabku kemayu membuat Bang Ben tertawa.

Aku menyesap kopiku malu-malu, padahal biasanya sinting. Kalau Mawar tau tingkahku, dia pasti akan menunjuk-nunjuk kepalaku sampai mengayunp untuk melampiaskan jijik. Rumah bernuansa vintage ini seperti selera kakek tua, padahal Bang Ben belum tua-tua amat. Sebenarnya ini kali ke-dua aku ke sini. Tapi waktu itu hanya untuk mengambil ponselnya yang tertinggal.

"Bang, rumah ini emang terasa hangat tapi jadul. Sangking jadulnya kek angker. Malah nggak jadi hangat, serem iya." Aku bergidik, seleraku memang hunian yang modern dengan berbagai alat rumah tangga kekinian yang memudahkan segalanya. Yah, rumahku yang kutempati dengan Mawar, meski imut nan mungil adalah yang terbaik, setidaknya menurutku.

Bang Ben tertawa. “Selera Mon. Aku membeli rumah ini selain arsitekturnya cantik, dekorasinya juga unik. Tapi tetangga sebelah emang sering kerasukan.”

"Hah, yang bener, Bang?" Aku menoleh ngeri ke arah rumah sebelah, lupa kalau ada dua tembok yang menghalangi pandangan. 

Mendadak suara berisik yang luar biasa menakutkan terdengar, disusul suara menggelegar, lalu gelap. Iya, gelap di mana-mana alias mati lampu. Semua itu terjadi dalam waktu yang teramat cepat dan singkat. Normal kan, kalau aku berjengit kaget, lalu tanpa sadar aku sudah naik ke atas Bang Ben. Please, jangan jorok karena ini malah konyol. Aku naik ke pangkuannya dengan spontan membuat dia yang tidak siap menumpahkan kopi yang dia pegang.

Aku dan dia bau kopi bukan mani, ixixixi jadi ingat Agnia. Mengabaikan baju kami yang jelas kotor, Bang Ben justru tertawa. 

"Aku takut, Bang!" Aku tidak merengek, suaraku berdecit mirip tikus terjepit. Rasanya aku kebelet pipis sangking takutnya. Kenapa momennya bisa pas begini. Baru saja Bang Ben mengatakan rumah ini angker, tetangganya sering kerasukan, tiba-tiba hujan angin yang menimbulkan suara berisik menakutkan dan ditambah mati lampu.

Di luar sana, angin masih menderu, bunyi brak dan kerompyang bersahut-sahutan. Sepertinya atap rumah seseorang diterbangkan angin ribut.

“Bang, kawasan ini emang sering begini, ya?”

"Baru ini Mon," katanya dengan nada sedikit aneh. Bang Ben seperti menahan sesuatu. Apa dia juga kebelet pipis, ixixi. Bang Ben sudah berhasil memegang ponsel dan dia hidupkan senternya. Tangan yang lainnya memegang punggungku, ha? Aku jadi kaget sendiri atas kesadaranku ini.

"Bang ini sampai kapan kita begini?" tanyaku berbisik, sedikit aneh juga. Aku memang oon kalau sedang takut dan jatuh cinta. Ixixixi, itu adalah kombinasi yang pas yang menderaku saat ini.

“Semaumu deh, Mon? Kalau kamu betah pangku begini, apa boleh buat. Aku terpaksa harus gendong kamu ke toilet juga. Aku harus ganti, kamu membuaku basah.”

Aku mauuuu digendong Abang sayang! Eh, aku membuatnya basah? Hah? Mataku berkedip-kedip, otakku jadi sedikit ngelag atas kalimat Bang Ben. Sontak aku jadi tersipu. Kupukul dadanya ringan. "Ih, Bang Ben, ambigu banget, deh!" Lalu aku bangkit hati-hati, takut menyenggol anu, ixixiixi. Khawatir jika sesuatu yang lain yang penting di tubuhnya, jadi basah juga. Ahay! Aku tidak mau menanggung resiko. Dosanya 40 tahun kata Mawar.

"Monik, otakmu terbuat dari apa Random!" Bang Ben bangkit dan menggelengkan kepala. Sepertinya sedikit kesal. Tidak lupa, dia mencubit pipiku. Setelahnya dia menggenggam tanganku untuk mengikutinya. Aku sampai kehilangan rasa hororku karenanya.

Banyangkan, sayangku kekasihku pujaan hatiku my darlingku, menggenggam tanganku yang mungil. Dia simpan di dalam genggamannya yang besar dan hangat. Astaga, aku ser-seran, dari perutku ke bawah sampai gemelatukan gemetar. Ya ampun, sedikit lebay tapi aku tidak bohong. Jantungku bahkan sudah jumpalitan di dalam sini. Bang..., jangan lepasin tangan adek selamanya, Bang...! Inginnya sih, kuteriakkan kalimat itu. Ixixiixi.

Ku pikir, Bang Ben mau membawaku ke pelaminan, ahaha. Ternyata dia membawaku ke ruang tamu untuk mengintip situasi di luar rumah dengan penerangan ponselnya. Apesnya, mobilku tertimpa pohon dan atap galvalum tetangga sebelah. Kabel listrik pun sepertinya ikut putus karena pohon tumbang itu, sehingga terjadilah kegelapan ini. Aku sampai speechless melihat nasib mobilku yang pastinya harus dirawat setelah ini. 

"Mobilku...," lirihku melas.

"Kasian banget," imbuh Bang Ben. Wajah kami sama-sama melongok ke luar kaca jendela.

"Iya, kasian mobil mulusku tersayang. Dompetku juga bakal merana buat nyembuhin dia." Suaraku merengek sedih. Kami masih khusuk melongok ke luar jendela kaca. Aku meratapi mobilku, Bang Ben, entah apa fokusnya.

"Aku yang bayarin, jangan khawatir." Bang Ben menggerakkan tangannya yang masih menggenggam tanganku hangat. Rasanya tidak apa-apa atap mobilku penyok kalau begini.

Kugoyang tanganku dalam genggamannya sebagai reaksi. "Beneran, ya?" Aku perlu memastikan, walau mataku masih jelalatan mengamati puting beliung di luar sana. Angin masih mengamuk, bahkan aku melihat ada genteng dan asbes yang terbang.

"Iya," jawab Bang Ben santai.

Aku jadi ingat interior kekinian di postingan otomotif. "Kalau gitu sekalian ganti interior, boleh, ya?" 

Tanpa pikir panjang Bang Ben menyahut. “Emh, boleh deh!”

"Argh," decakku sebelum melanjutkan. "Tau gitu sekalian minta beliin mobil baru." Aku menyesal karena kurang gercep, sebelum dapat getokan nyelekit di kepala, sihp. Membuatku menatapnya dengan mata menyipit. Tanganku yang lain menggosok kepala cerdas ini. “Sakit,  Bang!”

"Ngelunjak!" kesal Bang Ben tapi tak urung dia terkekeh. Aku pun terkikik sebelum menganga karena ucapan Bang Ben berikutnya.

“Jadi cewekku, kalau mau kubelikan mobil.”

Mauu! Pipiku auto merona, aku salting, lututku jadi mirip slime, di perutku ada kepak sayap kupu-kupu dan aku ingin terbang ke luar angkasa. Hampir saja aku bilang 'yes, Bang!' keras-keras. Namun otak cerdasku sudah mengantisipasi resikonya apabila aku menikung Bang Ben dari Agnia sekarang. 

'Sabar, sabar Monik, sebentar lagi Agnia yang akan pergi sendiri dari hidup Bang Ben, sabar...' monologku dalam hati.

"Takuuttt! Agnia bakal menelanku hidup-hidup. Ah, Bang! Jangan bercanda, nanti hatiku keseleo karena Abang cuma ngibul!" Ya ampun, ya ampun, ya ampun! Mimpi apa aku kemarin, sampai-sampai Bang Ben nembak aku. Aku tidak tau dia serius nembak atau hanya candaan yang membuatku ge-er sendiri. Pokoknya aku senang.

Bang Ben diam. Dalam remang aku meliriknya yang dari ekor mata terlihat menatapku. Untung mati lampu kalau tidak wajahku yang merona malu, pasti terlihat jelas. Apa kini dia menyadari bahwa aku cantik, menarik, dan tentunya sudah dewasa? Aku ingin tertawa dalam hati atas pemikiranku sendiri.

Aku menunggu Bang Ben mengatakan apapun, tapi dia seperti tengah kesambet. Ih, kok jadi horor begini. Aku hendak menoleh padanya tetapi hal picisan berikutnya membuat jantung kembali kebat-kebit. Bang Ben membelai rambutku dengan usapan lembut dan penuh kasih. Belum aku membatin, 'semoga ini bukan ke-ge-er-anku sendiri,' Bang Ben sudah membuatku ingin berteriak kegirangan. Dia mencium pucuk kepalaku. Auw, auw! Mama! Aku mau pingsan! 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
ItsMeMonik
Selanjutnya It's Me_ Monik 14
9
3
14. Dua Pacar, Satu Kecintaan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan