
Jonathan selalu menghindari untuk berurusan dengan gadis muda. Baginya mereka terlalu merepotkan, manja dan terlihat polos tetapi handal dalam hal menggoda. Namun ketika bertemu Sena, membuat Jonathan dengan lapang dada mempekerjakan wanita itu sebagai pengasuh baru anak kembarnya.
Tanpa Jonathan tahu, jika kepercayaan yang ia beri justru mengundang kematian datang lebih cepat.
Tahu apa yang paling membuat Sena kesal saat ini?
TAK! BRAAKK!
Kaki jenjang yang terbalut boots kulit itu tak segan menendang pintu kaca di depannya.
Pelaku pemancing keributan tersebut belum sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, terlalu muak jika harus berbagi oksigen di dalam sepetak bilik yang sama dengan dua manusia tak tau malu di atas sofa sana.
"Ohh... baby... faster, please!"
“Aaahh….!”
Suara jahanam yang tak ingin didengar itu menggelitik telinga. Jijik.
TAK! TAK!
Sena bisa menjamin, jika kurang dari semenit lagi tak ada respon untuknya. Penutup ruangan malang ini bisa pecah akibat tendangannya.
Darah wanita itu mendidih panas. Bukan karena ikut terangsang, tapi kesal atas diri sendiri yang tak punya nyali untuk melangkah pergi sekarang juga.
"Ohh Mister...." Wanita pasrah di bawah lelaki itu menggeram nikmat.
"Sh*t! Bisakah katakan segera untuk apa aku dipanggil ke mari?!"
"Aarrghh... Arsena! Sabarlah sayanghh..."
"Jangan sebut namaku, sialan!"
Arsena menggenggam knop pintu lebih kuat. Tiba-tiba merasa kotor karena lelaki berumur di sana menyebutkan namanya disela aktivitas ilegalnya.
Mata tajam wanita muda itu berpencar menelusuri sepetak ruangan besar yang dulu adalah ruang kerja William— ayahnya. Namun setelah orang tuanya meninggal, Rio, sang paman sekaligus wali pun mengambil alih semua.
Satu hal yang membuat Sena geram, tempat yang seharusnya dijadikan untuk berkutat bersama berkas penting justru berubah menjadi saksi bisu atas kegiatan penuh dosa Rio bersama banyak jalang bayaran.
Sadar sang keponakan masih membatu di tempat. Bibir tipis Rio kembali terbuka.
"Duduklah. Akan ku selesaikan ini," ucapnya santai tanpa beban.
Lelaki itu tersenyum penuh makna ketika melihat bokong sintal Sena yang bergerak menggiurkan saat keponakannya berjalan masuk menuju meja kerja. Hal yang kian memacu adrenalin Rio untuk segera menemui kepuasan.
Lagi dan lagi. Ini bukan pertama kali Rio menyuruh datang ketika lelaki itu tengah membuat repot malaikat pencatat dosa.
Dan tetap saja meski entah sudah berapa kali menonton permainan pamannya, Sena tetap tak terbiasa.
Andai bisa, ia pun tak sudi berada di sana.
Mario Ginevra adalah manusia gila. Lelaki brainless itu tak akan segan membolongi tempurung kepala orang lain dengan peluru sebagai pelampiasan amarah jika Sena tak menurut.
Kedua telinga Sena sudah tersumpal airpods dan sengaja menaikan volume penuh. Mendengarkan lagu jauh lebih baik daripada kicauan tak senonoh Rio dan jalangnya.
Terhanyut dalam dunia buatan sendiri, Sena nyaris terjatuh dari kursi kerja ketika seseorang memutarnya balik. Menghadapkan pemandangan indah bagi sebagian wanita di luar sana, tapi tidak untuk Sena. Perut kotak-kotak dan tubuh atletis penuh peluh Rio itu menjijikkan.
"Ini." Lelaki berumur kepala empat tersebut menyodorkan sebuah map coklat tebal. "Dia targetmu berikutnya," lanjut Rio.
Jemarinya santai menyelipkan rokok batangan sebelum dihisap nikmat. Berbanding terbalik dengan Sena, wajah cantiknya memerah menahan murka.
Wanita muda itu spontan berdiri, menggebrak meja. Tubuhnya mencondong pada Rio yang duduk tepat di depan.
"Paman bilang tidak akan mempekerjakanku seperti ini lagi!" pekik Sena. Dadanya kembang kempis menahan amarah.
Rio terkikik. Ia justru fokus dengan sesuatu yang jelas terlihat dari balik kerah baju V neck yang Sena kenakan. Dada yang indah.
Jika saja Sena bukan keponakan kandungnya, wanita tukang berontak itu pasti sudah berakhir menghangatkan ranjangnya.
"The last one, sweety. Aku janji," kata Rio bersungguh.
Ia pun terpaksa, sebab tak ada yang bisa Rio percaya selain Sena dalam hal 'membereskan' rival di dunia bisnis. Permainan Sena amat sangat rapi, tak terendus sama sekali. Namun, tiba-tiba. Boom! Musuhnya lenyap tak bernyawa dengan alibi kematian yang tidak terlihat seperti sehabis dibantai. Meskipun terkadang Sena lebih memilih melubangi jantung targetnya dari jauh ketika sedang malas menyusun strategi pendekatan.
Belum sempat Sena meluapkan protes. Rio lebih dulu berdiri, menarik kerah belakang Sena hingga bagian depan dadanya tak lagi terlihat.
Bagaimana pun seksinya, Arsena Ginevra masih keluarganya. Ada darah dari seseorang yang Rio cintai mengalir di dalam tubuh Sena.
"Paman itu pendusta! Terakhir kali juga berkata seperti ini!"
Kalau bukan karena terhutang budi karena telah membesarkan Sena dan adiknya secara berkecukupan. Wanita muda itu juga enggan membantu Rio. Sebab pun sudah terlanjur terperosok dalam lubang dosa, Sena sudah teramat biasa merenggut nyawa seseorang tanpa belas kasih. Tapi sungguh, kali ini ia ingin berhenti. Jalannya masih panjang dan ia ingin kehidupan normal seperti wanita lain di luaran sana. Bersenang-senang bersama teman sepantaran, menggosip, berpacaran dengan sesama manusia. Bukannya bercinta dengan kumpulan senjata api kesayangannya.
"Tapi kali ini yang terakhir. Aku janji."
"Aku tid—"
"Lihatlah dulu siapa targetmu!" Rio mengerling pada map di bawah mereka. "Dia yang selalu ingin kau lenyapkan. Kini aku memberikan izin padamu untuk melakukannya."
Kemarahan Sena menguap.
Hanya ada satu nama yang selama ini sangat ingin ia binasakan dengan tangannya sendiri, yaitu kepala keluarga Atmadja yang telah membunuh kedua orangtuanya. Sayang saja tua bangka sialan itu sudah lebih dulu diminta Tuhan datang ke neraka beberapa hari lalu karena serangan jantung. Kematian yang begitu mudah.
Kini Sena tak tau lagi siapa yang sangat ingin dibunuh. Dendamnya masih belum terbalas.
"Jonathan Atmadja. Putra tunggal Drevan Atmadja sekaligus CEO Beauty cosmetic yang sekarang," jelas Rio.
"Tapi dia tak ada sangkut pautnya dengan kematian orang tuaku!"
"Siapa bilang?" Bibir tipis Rio kembali melukis senyum. Jari telunjuknya mengetuk permukan map. "Bacalah info yang sudah susah payah aku kumpulkan, Sayang."
“Kau menjijikan!”
“Itu terlalu kasar, Arsena,” kekeh Rio mengerling santai.
Decak tak bersahabat meluncur keluar dari bibir tebal Sena. "Jelaskan saja, Paman! Aku bukan orang yang hobi membaca!"
Sena melempar diri ke atas kursi kerja yang empuk. Dalam hatinya puas ketika melihat Rio menghela napas sabar menyikapi tingkah lakunya saat ini.
"Kau persis seperti Will, si menyebalkan." Rio mendesis sebal.
"Dia Ayahku. Tapi aku tetap cantik seperti ibu kan?"
Kedua mata Rio berotasi malas.
Terkadang Rio bingung mengapa wanita tersayangnya bisa melahirkan anak sebuas Sena. Vivian terlahir anggun dan lemah lembut, sayangnya hanya sifat brutal William yang tersangkut pada genetik Sena. Meski tak menampik jika paras wanita itu begitu mirip dengan Vivian sewaktu muda, terlihat cantik dan tegas.
"Ayahmu itu seorang pebisnis yang sukses, tentu banyak yang iri dengannya. Termasuk—"
"Paman," potong Sena di tengah senyum palsunya.
Pupil mata Rio membesar. "Aku?" tanyanya disela tawa kecil. "Maksudmu aku iri dengan Kakak kandungku?"
Alis rapi Sena menyatu, pura-pura memasang wajah bingung.
"Siapa yang bilang begitu?" tanya Sena balik. "Aku tidak mungkin menuduh Paman yang sudah berbaik hati meneruskan semua usaha Papa dan membesarkan aku juga Siera dengan baik."
"Lantas kenapa kau menyebutku?" ketus Rio. Ia was-was keponakan pintarnya ini mengetahui sesuatu.
Wanita itu hanya tertawa. Ada yang sudah terpancing dalam jebakan.
Sena mengubah mimik wajah menjadi lebih santai. "Aku menyebut Paman, karena ingin mengatakan tak perlu menjelaskan siapa Jonathan. Jaman sudah canggih, hal seperti ini bisa dicari di internet."
Wanita muda itu merampas sebal map cokelat di atas meja lalu berjalan menuju pintu keluar tanpa sepatah kata lagi. Ia ingin segera pulang dan istirahat. Tubuhnya berasa remuk setelah menghajar gerombolan gangster yang berani menggoda adiknya sepulang sekolah semalam. Terlebih Sena belum sempat tidur karena diutus memata-matai target lain yang berpotensi merugikan perusahaan Rio.
"Aku tidak pernah mengajarimu menjadi tidak sopan, Arsena Ginevra."
Langkah lunglai Sena terhenti tepat di depan pintu. Dengan malas ia berbalik menatap tajam Rio yang terlihat kesal.
"Sadarlah Paman. Apa menurutmu, membiarkanku melihatmu bercinta dengan banyak wanita di ruangan ini dari usiaku masih belia adalah cara mengajari tentang sopan santun? Kau terlalu sensitif seperti kakek bau tanah."
Kepalan tangan Rio tercipta jelas, rahangnya mengeras menonjolkan otot wajah yang kaku. Ingatkan ia untuk suatu hari nanti menatar tingkah laku Sena.
"Ah... satu lagi." Tangan Sena teracung menganggkat map cokelat. “Jika Paman ingin aku mengurus ini, maka bebaskan tugas lain dariku. Aku tidak sedang kerja rodi!”
“Begitukah?”
“Berhenti menjadi penjajah Paman!”
"Haruskah aku mendengarkan ocehanmu?"
Bibir seksi Sena menarik senyum manis sealami mungkin. Lalu, sejurus kemudian ekspresi wanita itu berubah drastis menjadi dingin. Sepasang mata elang Sena menatap lekat tanpa rasa ragu, penuh intimidasi.
“Harus! Kau wajib mendengarkanku, Paman. Karena jika tidak, bersiaplah bertemu Tuhan.”
🌶🌶🌶
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
