Bab 3 - 4

3
0
Deskripsi

Cerita tentang gadis bunga yang bingung mau pilih dia atau si doi. Kisah mereka sesederhana ala cerita FTV siang.

 

Aryan Bagastaris.

     Tampaknya tak ada yang tak kenal dengan solois Indonesia yang satu ini.

     Berkarier dari usia delapan belas tahun. Karirnya terus menanjak seiring dengan popularitas yang didapat. Enam album berhasil diluncurkannya dengan penjualan yang terbilang fantastis. Penghargaan musik yang didapatnya tak terhitung lagi jumlahnya. Di rumahnya terdapat sebuah lemari kaca khusus untuk memajang semua trofi penghargaan.

     Penyanyi beraliran pop itu pun turut merambah ke dunia akting. Beberapa kritikus film pun memuji akting Aryan. Parasnya kian lekat di mata masyarakat Indonesia karena beberapa iklan yang dibintanginya. Namanya tak hanya terkenal di tanah air, bahkan hingga ke negara tetangga.

     Siang itu, Aryan yang tak ada jadwal, tampak begitu asyik bermain geim di smartphone di ruang tengah rumahnya.

     Rumah berlantai dua itu baru saja ditempatinya. Sejak setahun lalu, Aryan mulai jenuh menempati apartemen dan memutuskan untuk menempati rumah yang berada di kawasan perumahan elit.

     Dari balkon atas kamarnya yang terletak di lantai dua, ia bisa melihat danau yang membentang indah dengan taman berbunga di sekitarnya. Ia tak perlu lagi berolahraga di fitness center, karena di perumahan ini, ia cukup memanfaatkan jogging track untuk sarana berolahraga tiap pagi.

     "Konsermu tadi malam sukses." Riski—sang manajer, mengangsurkan ipad ke hadapan Aryan dan seketika menghalangi pandangan Aryan dari layar smartphone. "Banyak komentar yang memujimu. Banyak juga yang mengatakan kalau duetmu bersama Frizka sangat memukau."

     "Ya, iyalah." Aryan menyingkirkan ipad dari pandangannya.

     "Sudah dapat penulis buat menulis bukumu?" Riski duduk di sebelah Aryan.

     "Bang Julli lagi mencarikannya."

     "Kalau bisa penulis yang sudah berpengalaman dalam menulis biografi."

     "Iya, Pak Riski. Bang Julli pasti sudah menyeleksi penulis-penulis hebat yang akan menulis bukuku."

     Kemudian Riski mengangsurkan sebuah skenario film ke atas meja.

     Aryan melirik sekilas pada skenario tersebut, selebihnya ia tak peduli. Lalu lanjut bermain geim.

     "Ceritanya bagus dan sangat manis. Ariland pasti suka."

     Belum ada respon dari Aryan.

     "Lawan mainmu Frizka Maharani. Kalian juga akan berduet untuk mengisi soundtrack-nya."

     Masih belum ada respon dari Aryan. Sejujurnya ia tak suka berakting. Tapi, manajernya selalu menyuruhnya untuk menerima tawaran akting, agar karirnya berkembang dan tidak berjalan di lingkup itu-itu saja.

     Tapi, ia tak bisa membohongi hatinya kalau hatinya lebih merasa nyaman saat bernyanyi. Apalagi saat ia berdiri di atas panggung; mendengar Ariland meneriaki namanya; Ariland hapal dengan lirik lagunya; itu merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri yang tak ternilai harganya.

*

Melati membuka pagar kayu. Memburu langkah memasuki pekarangan samping Aurflower sambil memegang ponsel.

     "Adek! Adeeek!!"

     Dengan napas tersengal, Melati duduk di seberang Bunga yang sedang sibuk mengetik revisi naskah.

     "Gagal lagi?" skeptis Bunga mengenai wawancara kerja kakaknya. "Udah deh. Daripada wawancara sana-sini, bingung nyari kerja, terus dapat bos nggak bener lagi, mending kerja di tempatnya Mas Dika aja. Atau di tempatnya Rena. Nggak usah pilah-pilih."

     "Baca ini!"

     Melati menyodorkan ponsel ke atas meja.

     Pandangan Bunga teralihkan dari layar laptop ke layar ponsel. Judul headline artikel itu benar-benar membuat mata Bunga terbeliak.

     Aryan dan Frizka Tampil Mesra Di Konser. Benarkah mereka Pacaran?

     Bunga cepat membaca artikel yang tertulis.

     "Hanya karena mereka tampil mesra di konser, bukan berarti langsung diartikan pacaran, kan? Ini nggak bener ini!"

     "Kok adek sewot? Katanya nggak peduli Aryan pacaran sama siapa."

     "Iya. Tapi bukan sama Si Nenek Sihir itu!"

     "Tapi kan, masih gosip."

     "Nggak mungkin asap muncul begitu aja kalau nggak ada api!"

     Bunga lanjut membaca artikelnya.

     "Apaaa!!"

     Sikap Bunga persis seperti perempuan antagonis dalam sinetron yang sering ditonton ibunya.

     "Mereka mau main film bareng. Nggak bisa ini! Ini nggak bisa dibiarkan!"

     "Kenapa sih, Dek? Biarin aja kali."

     "Aku akan buat postingan jahat tentang Frizka."

     "Hmm." Melati melengkungkan ujung bibir ke bawah. Tak yakin dengan ucapan adiknya. "Sana coba. Aku mau lihat."

     Bunga menatap Melati sembari senyum nyengir.

     "Kalau Rena baru aku yakin dia bisa buat postingan jahat." Melati berkata enteng.

     "Waktu sekolah mana ada yang berani sama Rena."

     Obrolan mereka tertahan saat dering ponsel Bunga memanggil nyaring.

*

Bunga sudah menempati salah satu meja di Coffee Taste, yang berada di sudut dekat dinding kaca.

     "Sori." Sesal Nia—teman yang ditunggu Bunga, datang terlambat.

     "Nggak apa-apa. Aku aja yang datangnya kecepatan."

     "Kabarmu gimana, Nga?" Nia bertanya basa-basi.

     "Baik. Kamu?"

     "Aku baik juga. Eh, sekarang kerja di mana?" Nia mendaratkan pantat ke kursi.

     "Writerpreneur."

     "Writerpreneur? Kerjanya apa itu?"

     "Merangkai kata."

     Bunga yang melihat kerutan di kening temannya lantas tertawa kecil sembari meluruskan maksudnya.

     "Menulis."

     "Owalah. Kirain apaan."

     "Eh, kamu sendiri masih kerja di properti itu?"

     "Udah resign. Minggu depan aku ke Semarang. Kebetulan dapat kerja di sana. Jadi begini, Nga." Nia mulai masuk ke topik utama. "Sepupuku, Kak Echa ada kerjaan di Jepang. Tapi dia nggak bisa bahasa Jepang. Awalnya sih aku yang akan mengajarinya. Tapi, yach karena aku dapat kerjaan baru dan harus pindah ke Semarang, jadinya aku nggak bisa mengajari."

     Bunga tetap menyimak.

     "Bahasa Jepang mu kan, paling jago waktu di kelas. Bisa nggak kamu mengajari sepupuku bahasa Jepang? Sekitar satu bulan aja kok."

     "Bisa." Bunga menyanggupi.

     "Makasih ya, Nga."

     Mereka pun lanjut ke obrolan yang lebih menarik. Dari teman-teman, hingga dosen sekaligus mengenang masa kuliah.

     "Nga, nanti aku hubungi lagi, ya." Nia menyudahi obrolan mereka.  "Dah."

     "Dah."

     Bunga melambaikan tangan. Orang yang diberi lambaian tangan balas melambaikan tangan juga.

     Tampaknya Bunga masih betah di tempatnya. Rasanya begitu berat beranjak dari duduknya. Ditambah coffee shop ini sedang memutar lagu Aryan. Sepotong strawberry cheese cake dan jus stroberi menemaninya bersantai.

     Bunga menorehkan tulisannya di buku saku. Setiap kali ia mendapatkan ide akan segera ditulis. Takutnya ia lupa dan ide berharganya hilang.

     Telinganya menangkap obrolan tak menyenangkan dari meja di sebelah. Tiga perempuan—sepertinya masih anak kuliahan, beramai-ramai membicarakan Aryan.

     "Apaan sih Aryan? Cuma modal tampang doang. Suara juga nggak bagus-bagus amat."

     Telinga Bunga memanjang.

     "Sok ganteng banget."

     Mata Bunga melirik ke arah meja mereka dan terbeliak mendapati bonus poster Aryan pada majalah dicoret-coret. Salah satu dari mereka menyobek poster tersebut dari majalah, lalu meremasnya kasar.

     "Eh, udah, yuuk. Gue masih ada kelas. Dosennya killer."

     Mereka beranjak dengan riang gembira, bahkan tanpa memedulikan perasaan Bunga yang terluka.

     Bunga beranjak dari duduknya untuk memungut remasan poster itu. Remasan poster itu dibuka dan diusapnya dengan tangan. Berharap wajah kucel Aryan kembali mulus.

     Bunga kembali duduk di kursinya. Memandangi nanar wajah Aryan yang sekarang buruk rupa. Gigi Aryan diselang-seling diwarnai hitam hingga terkesan ompong. Alis yang supertebal seperti alis Sinchan. Ditambah lagi dengan bulatan hitam besar di pipi.

     "Mereka nggak tahu seberapa bagus suara kakak. Dasar haters. Nggak tahu apa-apa, tapi sok-sokan tahu."

     Tahu-tahu Bunga dikejutkan dengan suara lantang.

     "Oh-em-gee! Astaga!!"

*

Mobil Audi memasuki pelataran Coffee Taste.

     "Banyak yang berharap Mas Aryan jadian sama Frizka." Bena yang duduk di sebelah kemudi setir membujuk. "Filmnya diterima, kan?"

     "Nggak."

     "Kok nggak?" kecewa Bena—sang asisten. "Mas Aryan bisa lebih akrab lagi sama Mbak Frizka."

     Aryan melompat turun dari mobil. Mengabaikan celotehan Bena.

     "Mbak Frizka baik. Cantik. Kurang apa?" Bena mengekor di belakang.

     "Pacaran aja sana."

     "Mbak Frizka nya yang nggak mau sama aku."

     Mereka melangkah masuk ke Coffee Taste.

     Aryan menuju ke konter untuk memesan minuman, sementara Bena mencari tempat.

     Tepat di saat Bena melewati sebuah meja yang hanya ditempati oleh seorang gadis, tiba-tiba matanya membeliak mendapati sebuah poster di atas meja yang bergambar wajah Aryan dipenuhi dengan coretan-coretan, yang menurutnya sangat mengenaskan.

     "Oh-em-gee! Astaga!!"

     Bena memekik dengan lengkingan yang tentu saja membuat gadis itu tersentak kaget.

     Gadis berponi itu mengangkat wajahnya disertai dengan kerutan bingung. Sesaat Bena cukup terpesona melihat paras manis dan mata polos yang terpancar dari gadis merah muda, di mana gadis itu berpenampilan merah muda dari ujung kepala hingga mungkin ujung kakinya.

     "Haters!" Bena menunjuk ke gadis itu.

     "Ek?" gantian gadis itu yang memekik.

     "Berani-beraninya kamu, haters merusak wajah ganteng Mas Aryan, huh!" hardik Bena dengan menunjuk-nunjuk wajah gadis itu.

     "Bukan begitu—" Gadis merah muda itu menggoyang-goyangkan kedua tangannya.

     "Halah. Maling mana ada yang mau ngaku!"

     "Ada apa ini?" suara Aryan muncul tepat di belakang Bena, yang membuat gadis merah muda itu sontak beranjak berdiri.

     "Coba lihat ini!" Bena meraih poster tersebut dan memperlihatkannya pada Aryan.

     Aryan tak kalah membeliak melihat wajahnya yang kini telah berubah kucel disertai dengan coretan di sana-sini. Terutama gigi putihnya terlihat ompong dengan warna hitam. Melihat wajahnya yang mendadak buruk rupa, tentu saja, membuatnya marah. Ia menatap dingin pada gadis merah muda itu.

     "Kak Aryan salah paham. Aku bukan haters. Itu bukan aku yang melakukannya"

     "Teruuus?" Bena mengacak pinggang. "Kenapa ini bisa ada di mejamu?" ia mengangkat poster tersebut.

     "Itu... aku menemukannya..."

     "Ini!" Bena dengan sigap meraih bolpoin hitam yang berada di samping buku saku gadis merah muda itu. "Si haters ini pasti mencoret-coretnya dengan ini!"

     Tak mau berhadapan dengan haters, Aryan memilih untuk pergi meninggalkan Coffee Taste. Disusul Bena—dengan memasang muka dingin, namun masih bergerak dengan gemulai.

     "Kak Aryan!" Gadis itu memanggil nama Aryan berulang kali.

     Namun, Aryan mengindahkannya dan tetap berjalan tanpa menoleh ke belakang.

     Menyebalkan.

     Meskipun Aryan tak membenci keberadaan haters, tapi terkadang haters mengganggunya—apalagi dengan kritikan-kritikan tajam. Haters tidak mengenalnya, tapi begitu mudah menghakiminya. Bahkan ia memiliki perkumpulan orang yang membenci dirinya. Yeah, ia sadar diri. Ada yang suka, dan ada juga yang tidak suka. Yang menyukainya akan memujinya habis-habisan. Sementara, yang membencinya akan menjatuhkannya habis-habisan. Ia tak bisa memaksakan semua orang untuk menyukainya.

     Terdengar suara pekikan di belakang. Langkahnya terhenti seketika dan bermaksud untuk menoleh ke belakang untuk mencari tahu. Namun, Bena menyeret lengannya untuk terus melangkah maju.

 *

Tangis Bunga pecah. Kejadian di Coffee Taste diceritakannya kembali ke Rena.

     Dengan sabar Rena mendengarkan curhatan Bunga, sembari ia mengoleskan salep luka bakar di punggung tangan kiri Bunga.

     Luka bakar di punggung tangan Bunga didapatnya ketika ia berusaha mengejar Aryan, dan tanpa sengaja ia malah menabrak pelayan yang membawa kopi panas.

     "Udah gede, masa nangis sih? Malu ah, sama keponakanku."

     "Ini sakit banget tahu nggak, Ren? Sakitnya tuh di sini." Bunga menunjuk dadanya.

     "Haruskah kita tulis komentar jahat ke Aryan?" saran Rena, tersenyum culas.

     "Jangaaan... Kak Aryan nggak salah. Siapa pun yang lihat pasti bakalan salah paham."

     "Aryan harusnya bangga punya fans sebaik kamu."

     Bunga angguk-angguk kepala. "Besok aku mulai mengajar."

     "Mengajar di mana?"

     "Temanku Nia minta aku buat mengajari sepupunya bahasa Jepang. Satu bulan. Tapi tempatnya masih belum tahu di mana. Katanya, ntar malam mau di WA."

*

Dan, di sinilah Bunga sekarang.

     Bunga berdiri di depan gedung agensi Mint Entertainment. Agensi yang menaungi artis-artis besar, seperti: Aryan.

     "Kak Echa kerja di sini, ya? Hebat."

     Bunga pun berencana menemui Aryan untuk meluruskan kesalahpahaman.

     Baru beberapa langkah Bunga menjejak kaki di lobi, ia terpaku melihat Aryan keluar dari lift. Jikalau Aryan seorang diri pasti sudah dihampirinya. Sayangnya, Aryan sedang bersama Frizka.

     Bunga berbalik arah. Secepat kilat keluar dari lobi. Malang menimpanya, karena tanpa sengaja ia menabrak seorang staf laki-laki yang sedang membawa setumpuk kertas. Alhasil kertas-kertas itu berhamburan ke lantai.

     "Hati-hati, dong."

     "Maaf. Maaf, Mas."

     Bunga bantu memunguti kertas-kertas yang berserakan, lalu menyerahkannya ke staf tersebut.

     Tubuh Bunga menegang mendengar suara Aryan dan Frizka melangkah mendekat.

     Panik.

    Tahu-tahu Bunga merapatkan diri di samping pot tanaman yang sekiranya cukup melindungi tubuhnya. Kepalanya menunduk, menempel ke dinding.

     Suara saling bersahutan antara Aryan dan Frizka terdengar makin menjauh.

     Perlahan, Bunga keluar dari persembunyiannya. Mereka sudah berdiri di selasar gedung. Lekas saja Bunga menaiki lift menuju lantai tiga.

     Bunga melangkah keluar dari lift. Ia berjalan celingukan mencari ruang tunggu. Tersenyum ia melihat seseorang yang dikenalnya sedang duduk di sofa cokelat panjang.

     "Nino," panggil Bunga.

     Nino mengesiap kaget. "Bunga?"

     Gisella yang duduk berseberangan dengan Nino mengangkat senyum menyapa Bunga.

     "Kak Gisella—" Bunga terpana bertemu langsung dengan sang artis. "Kakak cantik banget."

     "Makasih." Gisella masih memasang senyum manis.

     "Sedang apa kamu di sini, Nga?"

     "Ada urusan sama Kak Echa." Bunga mengambil duduk di sebelah Nino.

     "Kak Echa siapa?" Nino balik bertanya.

     "Sepupunya Nia. Dia minta aku buat mengajari sepupunya, Kak Echa bahasa Jepang."

     "Hei." Gisella tersenyum menanggil Bunga. "Aku Echa. Sepupunya Nia."

     "Bohong—?" mulut Bunga membeo sendirinya.

     "Kamu Bunga yang akan jadi sensei* ku, kan?
     (*sensei = guru)

     "Ek?" kaget Bunga.

     "Echa nama panggilanku di rumah." Gisella menjelaskan kebingungan Bunga.

     "Oh." Bunga mengangguk paham. "Tapi Nia nggak pernah cerita kalau punya sepupu artis?"

     "Kayak kamu pernah cerita aja kalau punya teman artis?" sambar Nino, yang membuat Bunga menyengir senyum.

     "Aku dengar dari Nia kalau kamu Ariland, ya?"

     "Ariland generasi pertama, Kak." Bangga Bunga.

     "Aku kenal baik dengan Aryan. Kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu ketemu sama Aryan. Gimana?" Gisella mengerling pada Bunga.

     Orang yang dikerling membalas dengan senyuman superlebar.

     Dari hasil pembicaraan serius antara Gisella dan Bunga, diputuskan bahwa: jadwal les bahasa Jepang dari hari Senin hingga Jumat. Berlangsung selama 90 menit, dimulai dari jam empat sore hingga selesai. Proses pembelajaran akan berlangsung selama kurang lebih satu bulan. Sebuah ruangan yang terletak paling ujung setelah ruang tunggu—yang biasanya digunakan untuk rapat para staf, mereka jadikan sebagai ruang kelas.

     Bukan tanpa alasan Gisella Permata mengambil les bahasa Jepang. Gisella mendapatkan tawaran drama kerjasama antara Indonesia dan Jepang. Drama itu akan mengambil setting di negeri sakura, dan menuntut Gisella untuk mahir berbahasa Jepang.

*

Nino menyodorkan jus stroberi ke hadapan Bunga.

     Bunga meraihnya dengan senang hati. "Kafenya keren banget."

     Bunga mengamati kafetaria mewah Mint Entertainment yang berada di lantai teratas gedung.

     "Di sini kami bebas makan tanpa ada jeprat-jepret kamera. Semua menu yang ada di sini juga sama enaknya seperti di restoran-restoran mewah."

     "Enaknya."

     "Kamu juga bisa makan di sini habis mengajar Kak Gisella."

     "Oke, tuh." Bunga mengangguk setuju. "Tadi aku melihat Frizka."

     "Frizka sekarang pindah agensi ke sini."

     Bunga terkejut.

     "Aku nggak pernah bilang, ya?"

     Bunga menggeleng. "Horor," lanjutnya dengan menempelkan kedua tangan ke pipi.

     "Tapi tenang saja. Karena Frizka akan disibukkan dengan film terbarunya. Udah dengar kan, kalau Frizka akan main film bareng Kak Aryan?"

     Bunga membenamkan senyumnya.

 *

Aryan menghempaskan tubuhnya di kasur. Meletakkan sebelah tangannya di atas kening sambil memejamkan mata. Sesaat pikirannya melayang pada sosok gadis merah muda yang tanpa sengaja dilihatnya di lobi tadi siang.

     Tampaknya saja ia tak melihat. Tapi sebenarnya ia melihat gadis merah muda itu berlari menghindarinya. Semula ia tak terlalu mempedulikannya. Tapi saat melewati seorang staf yang sedang disibukkan memunguti lembaran kertas yang berserakan di lantai, ia pun sekilas memperhatikan gadis merah muda itu sedang menyembunyikan diri di balik pot kembang.

     "Ngapain si haters itu ke kantor?"

     Aryan menggapai-gapai ponsel di kasur. Setelah dapat, ia menekan nomor kontak WA Gisella.

     "Gimana tadi belajarnya?"

     "Berasa kembali ke bangku sekolah. Kayak anak TK baru belajar nulis." Curhat Gisella yang merujuk ke huruf Jepang. "Malam ini aku harus menghafalkan huruf-huruf ini. Besok ada tes dari sensei."

     "Sensei?"

     "Guruku."

     "Oh, sepupumu itu, ya?"

     "Bukan. Nia nggak bisa. Dia sekarang kerja di Semarang. Jadinya, Nia minta temannya buat mengajariku. Waktu Nia bilang temannya itu lulus cumlaude, nilainya rata-rata A. Pernah ikut pertukaran kebudayaan di Jepang. Dan hobinya membaca. Katanya, dia sudah mengeluarkan satu buku, lho. Jadi dalam bayanganku ya, dia itu memakai kacamata tebal. Rambutnya diikat rapi. Mungkin, bayanganku seperti Betty. Ternyata dia nggak seperti yang kubayangkan. Dia sangat manis. Serbapink lagi. Gemes deh lihatnya."

     "Pink?" Aryan seperti mengenali seseorang. "Berponi?"

     "Iya."

     "Sepertinya aku tahu orangnya."

     "Tahu?"

     "Tadi nggak sengaja ketemu di lobi."

     "Sensei penggemarmu lho, Ar."

     "Maksudnya?"

     "Sensei ku itu penggemar beratmu, lho. Dia itu Ariland."

     "..."

*

Bunga terkesiap melihat Aryan duduk santai di ruang tunggu di lantai tiga. Satu kakinya menopang satu. Tangannya membuka lembar per lembar halaman pada majalah.

     Kebetulan.

     Bunga akan menyapanya; meluruskan kesalahpahaman; dan permasalahan selesai. Ia tak mau dicap haters oleh idolanya.

     "Kak Aryan," panggil Bunga hati-hati ketika berdiri di depan Aryan.

     Aryan mengangkat wajahnya. "Hoh, kamu? Haters."

     "..."

     Bahu Bunga melesak jatuh.

     Haters?

     Sebuah awal perkenalan yang buruk. Sebelum kesalahpahaman ini terus berlanjut. Ia harus segera memperbaikinya.

     "Kak Aryan yang kemarin itu... bukan aku yang melakukannya. Aku ini adalah Ariland. Poster itu aku temukan sudah dalam keadaan dipenuhi coretan. Serius, Kakak."

     "Apa buktinya?" Aryan menantang.

     "Itu..."

     "Sensei," panggil Gisella dengan riang. Disusul Nino. "Jadi udah kenalan nih kalian berdua?" godanya kemudian.

     Bunga meringis.

     "Oh, iya, Sensei. Mulai hari ini kelas akan ketambahan satu orang lagi. Aryan mau ikut kelas kita. Boleh ya, Sensei? Makin banyak makin ramai," pinta Gisella pada Bunga, di mana Bunga hanya bisa tersenyum kaku menyanggupinya.

     Sembilan puluh menit pelajaran terasa begitu lama, menurut Bunga. Untuk bernapas saja terasa sulit. Tegang. Padahal ini bukan pertama kalinya ia mengajar. Bisa dibilang mengajar tiga orang lebih mudah ketimbang mengajar satu kelas anak SMA.

     Mengajar tiga orang ini harusnya tak terlalu sulit. Hanya tiga orang. Tapi semuanya menjadi sulit karena sedari tadi Aryan terus mengekori pandang ke arahnya. Menahan setiap gerakannya.

     Usai pelajaran, Bunga pamit terlebih dahulu. Melangkah tergesa menuruni anak tangga.

     "Bunga." Nino mengejar Bunga yang memburu langkah menuruni anak tangga.

     Nino berhasil menghadang langkah Bunga, di mana Bunga terpaksa mengerem langkahnya.

     "Kaget tauk, No."

     "Kamu tuh yang kenapa?"

     "Memangnya aku kenapa?"

     "Buru-buru. Ada apa? Bukannya kamu senang bisa ketemu Kak Aryan langsung?"

     Bunga mengembus napas berat. Mengambil duduk di salah satu undakan anak tangga sambil mengerucutkan mulut. Ia ceritakan kejadian yang terjadi di Coffee Taste secara mendetail.

     "Kak Aryan bukan orang pendendam, kok. Percaya, deh." Nino bantu menenangkan Bunga.

*

 Langkah ringan Bunga sesekali berganti dengan langkah berat. Senyumnya cerah karena akan bertemu dengan Aryan, tapi di sisi lain senyumnya pudar karena ia telah dicap haters oleh Aryan.

     “Moshi-moshi." Bunga menjawab panggilan telepon Nino dalam bahasa Jepang.

     "Nga, hari ini aku absen, ya?"

     "Absen? Baru juga sehari belajar udah absen."

     "Ada syuting di Yogya sampai minggu depan. Sori banget, Nga."

     "Kalau udah gini, mau apa lagi?" Bunga mengedik bahu.

     Tak selang beberapa saat setelah Bunga mengakhiri saluran telepon dengan Nino, ponselnya kembali berdering.

     "Halo."

     "Halo, Sensei. Gimana ini, ya? Aku masih ada di jalan. Baru saja selesai pemotretan. Mungkin tiga puluh menit lagi sampai." Gisella merasa bersalah. "Pelajarannya dimulai aja dulu. Nggak usah nunggu aku. Oke."

     "Oke..."

     Tubuh Bunga melunglai lemas. Terpaku di tempat.

     Gisella terlambat tiga puluh menit.

     Nino absen.

     Aryan!?

     Bunga mengendap-endap menuju ruang rapat. Semoga saja ia tak bertemu Aryan.

     Perlahan, Bunga mengintip dari balik pintu, mendorongnya perlahan, sebisa mungkin jangan sampai menimbulkan bunyi decit. Setelah yakin tak ada Aryan di dalam ruangan, Bunga pun mengembus napas lega.

     "Sensei, aku menunggumu dari tadi."

     Tak sigap dengan suara yang tiba-tiba muncul di belakangnya, hingga membuat Bunga tanpa sengaja membenturkan kening ke daun pintu. Pekikan kecil mengeluar dari bibirnya. Tangannya refleks mengusap-ngusap kening yang sebenarnya tak terlalu sakit.

     Tangan Aryan pun refleks mengusap kening Bunga.

     Bunga yang kaget sontak melangkah mundur ke belakang, dan sekarang giliran belakang kepalanya yang membentur daun pintu. Bagus. Dua benturan dalam satu waktu. Oh, alangkah baiknya jika tiba-tiba amnesia menyerangnya. Dengan begitu, ia bisa melupakan Aryan yang menyebut dirinya sebagai haters.

     "Sensei nggak apa-apa, kan?"

     "Iya, nggak apa-apa..."

     "Baguslah."

     Aryan melangkah masuk lebih dulu, disusul Bunga.

     Baiklah. Kelas hari ini hanya ada Bunga dan Aryan. Hanya ada mereka berdua di ruangan.

     Meja berbentuk oval putih yang dapat menampung sekiranya sepuluh orang, mendadak menjadi kecil.

     Bunga duduk berseberangan dengan Aryan, yang tanpa sadarnya terus memperhatikan Aryan. Ujung bibir Bunga terangkat dengan sendirinya. Masih belum dipercayainya bahwa sekarang ini ia berada dalam satu ruangan dengan Aryan. Hanya berdua. Bukan lagi melihat di teve, tapi menyaksikan secara langsung. Siapa sangka pula ia sedang mengajari bahasa Jepang kepada Aryan. Tak pernah ia memimpikan hal seperti ini. Sulit dipercaya, tapi inilah kenyataannya.

     Dan, oh Tuhan, betapa tampannya Aryan saat sedang serius mengerjakan latihan kosakata yang diberikannya.

     "Aku ganteng banget, ya? Sampai Sensei nggak kedip sedikit pun memperhatikanku." Aryan mengangkat wajah.

     Bunga gelandapan. Ia pura-pura sibuk membaca materi selanjutnya.

     Aryan menatap lurus ke Bunga yang duduk di depannya.

     "Sensei."

     Bunga tetap sibuk membaca.

     "Sensei, haters atau bukan?"

     Bunga melepaskan perhatiannya dari buku dan sontak menjawab, "Ariland!"

     "Buktikan." Tantang Aryan. "Buktikan kalau sensei adalah Ariland. Bukan haters."

     "..."

    ***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 5 - 6
2
0
Cerita ini tentang gadis bunga yang bingung mau pilih dia atau si doi. Kisah mereka sesederhana ala cerita FTV siang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan