
Halo semua, apa kabar?
Semoga sehat, bahagia, dan tetap semangat!
Ada yang berbeda pada karya baru ini! BAB GRATIS akan saya berikan secara acak, mengikuti plot cerita.
Selamat membaca. Semoga bermanfaat 🙏
Tak pernah berhenti mengucapkan terima kasih atas dukungan kalian semua.
Salam ❤️
~~~
BLURB
Perpisahan dengan Ernest, tidak saja membawa duka mendalam, tapi juga memaksa cinta dan benci saling berlomba mendominasi hati.
Tabir perselingkuhan yang terkuak dalam sebuah tragedi, menyadarkan Gemintang bahwa...
Bab 1 – Percintaan Terakhir
GEMI terkulai lemas setelah sesi percintaan yang berlangsung lama. Meringkuk kedinginan dan tak berdaya untuk sekedar meraih selimut yang terlipat rapi di ujung tempat tidur.
Ernest keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Hanya melirik sekilas, sebelum langkahnya mengarah ke pintu menuju ruang kerja. Saat kembali satu jam kemudian, Gemi masih berada dalam posisi sama.
“Gemi, bangun!” Ernest menepuk-nepuk pipi yang terasa hangat, lalu meraba dahinya yang juga hangat.
Mata Gemi terbuka, menatap sayu. “Kepalaku pusing sekali.” Kembali terpejam.
“Kamu harus membersihkan diri sebelum tidur.” Gemi tidak bergeming. “Hei …!” godanya gemas. Jarinya mempermainkan wajah dengan lesung pipi yang tak cukup sekali memandang.
“Hmmm …, jangan ganggu aku!”
Melihat reaksinya, pasti tak akan bangun. Ernest bangkit menuju kamar mandi. Kembali dengan membawa handuk yang sudah dibasahi air hangat. Akan melakukan seperti yang sering kali Gemi lakukan untuknya, bila tidak sanggup bangkit setelah sesi bercinta.
Dengan gerakan lembut, mulai mengelap leher jenjang, payudara dan perut langsing Gemi, tempat ia mendaratkan ciuman dan jilatan bertubi-tubi untuk melampiaskan banyak rasa. Berpindah ke selangkangan dan bagian intim, dadanya berdebar lebih kencang dengan tangan canggung. Ini kali pertama ia melakukannya.
Hasrat tiba-tiba kembali bergelora, membuatnya menelan ludah berkali-kali dengan jakun naik turun. “Gemi …,” bisiknya pelan, sebelum mendaratkan ciuman di telinga. Tidak ada reaksi.
“Gemi,” panggilnya lagi dengan mengelus pipi. Juga tidak ada reaksi, menghilangkan kesabaran sementara hasrat sudah tak tertahankan.
Ernest tak menyerah, mulai melancarkan ciuman agak kasar. Melumat dan menghisap bibir, sudah pasti akan membangunkan Gemi. Usahanya berhasil, Gemi segera terbatuk-batuk karena sesak napas.
“Apa lagi?” tanyanya dengan sedikit menghardik. Tatapan mesum Ernest, bagaikan jarum yang akan ditusukkan ke tubuhnya. Membuat semua bagian menjadi ngilu. “Aku capek!”
“Satu kali lagi.” Wajah Ernest memelas.
“Kamu minum apa, sih …? Kenapa bisa pengin terus?” Ingin saja ia menangis.
“Please …, satu kali lagi. Besok sampai minggu depan, tidak ada yang akan mengganggumu. Hm?”
“Tadi kamu juga bilang seperti itu!”
Meski raut muka Gemi terlihat sangat menderita, tak berhasil menyentuh titik komprominya. “Please ….”
“Iya, iya! Selesaikan dengan cepat. Tidak perlu pakai for ….” Bibirnya langsung terkunci oleh ciuman. Bereaksi semampunya, berniat menjadi pihak pasif, tetapi begitu mendengar desahan erotis Ernest, hasratnya pun ikut bergelora juga.
“Tadi katanya capek?” Ernest sempat menggoda sebelum memasuki tubuh Gemi yang menegang sempurna. Tak ada balasan atas ledekannya, yang terdengar hanya namanya disebutkan berulang-ulang.
***
WULANDARI sudah menunggu cukup lama di meja makan. Pukul 09.00 pagi ketika melihat kemunculan Ernest sendirian, tanpa sang menantu. Tarikan napasnya semakin berat, bisa dipastikan bahwa Gemi, si Nyonya Besar, belum terbangun. Memunculkan rasa teraniaya yang semakin dalam.
“Istrimu masih tidur jam segini? Tidak merasa punya kewajiban melayani suami, sarapan?” tanyanya dengan wajah menunjukkan ketidaksenangan.
“Sudah lama Mama datang?” Ernest malah balik bertanya.
Huh! Ernest, sang putra, tak pernah menganggap serius keluhan-keluhannya mengenai sang istri. Entah jampi-jampi apa yang telah diberikan Gemi, menjadikannya sebagai suami sangat penurut.
“Sudah menghabiskan sepiring nasi goreng dan segelas teh,” jawabnya dengan maksud menyindir.
“Oh! Gemi tidak tahu Mama akan datang. Dia sedang kurang sehat, tubuhnya agak sedikit demam. Aku menyuruhnya untuk tidur saja, tidak perlu menemaniku sarapan.”
“Kamu terlalu memanjakan dia! Sehingga membuatnya besar kepala.”
“Yaaa, pasti dong, Ma! Kami tidak punya anak …, aku harus memanjakan siapa lagi?” Ernest tersenyum, tak mau terkontaminasi energi negatif yang selalu ada pada diri Mama saat membicarakan Gemi.
“Ya, itu masalahnya! Kamu terlalu memanjakan dia, sehingga dia merasa tidak ada yang salah dengan belum mempunyai anak!”
“Kalau belum ada, mau diapain, Ma? Kehamilan itu bukan sesuatu yang bisa kami ciptakan, meskipun sudah mendatangi banyak ahli.”
Wulandari sadar, tidak akan pernah bisa mempengaruhi Ernest untuk menyalahi Gemi. “Mama datang ke sini untuk membawa Gemi ke klinik akupuntur. Kamu masih ingat Tante Maudy?” Gelengan langsung membuatnya sebal. “Anaknya berhasil hamil setelah diakupuntur.”
“Aku tidak setuju! Terima kasih atas perhatian Mama, tapi urusan program hamil, biarkan kami yang mengatur sendiri. Aku tidak akan mengizinkan Gemi bersentuhan dengan jarum karena dia tripanofobia. Mama kan tahu, sudah berapa kali dia pingsan sebelum disuntik? Bagaimana bisa Mama tega menyarankan terapi akupuntur?”
“Kalian sudah menikah lima tahun!”
“Lantas masalahnya apa, Ma? Aku dan Gemi baik-baik saja dan bahagia.”
Mata Wulandari langsung berkaca-kaca saking kesalnya. “Kamu penerus keluarga kita. Apa Mama salah bila ikut campur?”
“Masih ada Prisma!”
“Tapi dia tidak tertarik untuk menikah.”
“Mama tinggal carikan jodoh, kemudian paksa dia menikah. Mama bisa berpura-pura sakit atau apalaaah …, pasti Prisma menyerah.”
“Abangmu itu seperti tidak bergairah kepada wanita. Mama khawatir dia ….”
Tawa keras Ernest langsung terdengar. “Mama ini, ada-ada saja! Aku jamin Prisma bukan gay! Dia hanya belum bertemu dengan wanita yang tepat.”
“Mama sudah tua, Nest. Kapan lagi Mama menimang cucu?”
“Lha! Anaknya Maureen, apa tidak Mama anggap sebagai cucu?”
“Beda, Nest! Anak Maureen membawa garis keturunan keluarga Nico. Mama menginginkan cucu dari anak laki-laki yang akan menyandang nama Lakeswara.”
Ernest merasa tiada guna lagi berdebat. Jam juga sudah menunjukkan pukul 09.30, ada sidang pagi yang harus dihadirinya. “Aku harus berangkat sekarang. Mama mau menunggu Gemi terbangun atau mau kuantar pulang?”
“Kamu usir Mama?” tanyanya dengan suara tinggi.
Ernest tersenyum sambil menggeleng. “Mana mungkin! Kenapa sih Mama sensi banget? Ingat, Ma …, pikiran negatif bisa membuat penyakit-penyakit berbahaya yang tidak ada, menjadi ada. Jangan khawatir berlebihan, dunia tidak akan berakhir tanpa kehadiran anak.”
“Mama tunggu Gemi saja!”
“Oke. Dengan satu syarat, tidak boleh membawa Gemi ke klinik akupuntur.” Agak khawatir karena Gemi pasti akan menurut atas nama menyenangkan mertua.
Wulandari tidak mau menjawab, wajahnya langsung berpaling ke arah lain. Sebegitu pedulinya Ernest kepada Gemi, membuatnya semakin membenci. Gemi mengambil terlalu banyak cinta dari putra bungsunya.
***
SAMPAI sekarang, asal-usul Gemi masih tidak jelas. Dia anak siapa, keluarganya seperti apa, dan berasal dari mana. Hanya Ernest yang tahu! Lima tahun lalu ketika Ernest kembali ke Surabaya setelah dua tahun bekerja di Jakarta, dia membawa serta Gemi dan mengenalkannya sebagai istri yang dinikahi secara sah.
Hanya nama Gemintang yang tertera di buku nikah dan KTP-nya. Sudah berusaha mendesak Ernest untuk berterus terang, tetapi selalu ditanggapi dengan penolakan. Tadinya mereka sempat berburuk sangka bahwa kehamilan telah memaksa Ernest menikahi dengan terburu-buru.
Ketidakjelasan itu, tentu saja membuatnya tidak menyukai Gemi. Bagaimana mungkin keluarganya dengan bibit, bebet, bobot jelas …, bisa menerima seorang menantu yang entah siapa orang tuanya. Atau jangan-jangan …, malah tidak mempunyai orang tua yang jelas. Tebakan-tebakan buruk membuatnya tidak pernah bisa menyukai Gemi.
Melihat Gemi tidak terbebani dengan masalah yang menurutnya sangat besar dan serius, menjadikannya sukar menghilangkan kecurigaan akan tujuannya mencintai Ernest. Jangan-jangan Gemi hanya ingin menikmati fasilitas mewah sebagai istri pengacara terkenal. Lihat saja kemewahan yang melekat di tubuhnya. Sama sekali ia tidak bisa mengerti, mengapa Ernest rela menghamburkan-hamburkan uang.
Hubungan mereka bagaikan api dalam sekam dengan ia yang terus berusaha membakar. Meskipun Gemi selalu memperlakukannya dengan hormat dan menuruti kemaunnya, tapi entah mengapa, hatinya belum bisa menerima. Sejak kehadiran Gemi, hidupnya tak pernah tenang.
Entah sudah berapa kali ia menyarankan Ernest untuk menikah lagi, tapi belum apa-apa, langsung ditolak dengan menasehatinya panjang lebar. Membuatnya tersinggung berat dan merasa tidak dianggap ada. Bagaimana mungkin, putra tersayangnya berubah total setelah menikah?
***
Bab 2 - Makanya Segera Punya Anak!
“MAMA sudah lama datang?” Gemi muncul di ruang makan. Rambut panjangnya yang masih basah terurai indah.
“Satu setengah jam lalu! Mama mau membawamu ke klinik akupuntur.”
Seketika senyum di wajah Gemi sirna, menunduk sambil menikmati sarapan pagi dengan menu hasil racikan seorang ahli gizi. Sudah hampir setahun ia harus melakukan diet mediterania, mempersiapkan tubuh untuk mendukung kehamilan. Sejujurnya, ini sia-sia saja! Melakukan ini hanya untuk menuruti permintaan mertua agar tak selalu mencerewetinya.
“Nanti aku hanya akan merepotkan Mama saja.”
“Kamu itu sebenarnya pengin punya anak, tidak, sih? Jangan traumamu saja yang kamu pikirkan! Kamu juga harus memikirkan Ernest! Usianya 37 tahun dan sudah menikah lima tahun!”
Kalau pembicaraan sudah sampai di tahap ini, Gemi memilih diam. Separah apa pun Beliau, ia menyayanginya seperti rasa sayang kepada bunda sendiri. Meskipun sering kali, tetap meneteskan air mata bila mengingat semua usaha Beliau untuk membuatnya bisa hamil. Tubuhnya ini sudah seperti mesin produksi yang gagal.
“Bagaimana kalau terapi yang lain, Ma? Aku akan mengikuti apa pun yang Mama rencanakan, asal tidak berhubungan dengan jarum. Bagaimana aku bisa rileks kalau belum apa-apa sudah ketakutan?” Tetap tersenyum, meskipun ditatap dengan penuh selidik.
“Kamu ada acara hari ini?”
“Kursus merajut, pukul 11.00.”
“Sejak kapan kamu hobi merajut? Ernest tahu?” Gelengan memancing rasa keingintahuan.
“Beberapa kursus yang kuikuti, sudah selesai. Jadi aku cari kegiatan baru,” jawabnya dengan senyum terkembang. Sengaja menyibukkan diri dengan banyak kegiatan untuk membunuh kesepian. Ernest selalu pulang malam dan sering menghabiskan weekend dengan bekerja.
“Makanya segera punya anak!”
Kalimat mujarab yang akan selalu terdengar bila Mama marah. “Aku pengin, Ma. Sangat pengin …, tapi mau bagaimana lagi?"
“Keinginan itu harus diwujudkan dengan tindakan dan usaha, bukan hanya bermimpi!”
Gemi tidak tahu lagi harus menjawab apa. Semakin hari sang mertua semakin ketus. Mulai menggelitik kesabaran yang dengan susah payah dibangunnya. Pada dasarnya, ia bukanlah tipe penyabar dan penurut. Sudah menentukan pilihan, membuatnya harus bisa beradaptasi dengan baik. Suka, maupun tidak suka!
“Mama ikut kamu ke tempat kursus.”
“Baik, Ma.” Sering kali Beliau menjadi detektif swasta untuk menyelidiki tindak tanduknya.
***
WULANDARI memperhatikan Gemi yang tampak bersemangat, bergabung dengan peserta kursus. Begitu dia mengeluarkan hasil rajutannya, ia pun tertegun. Sebuah kaos kaki bayi berwarna pink yang hampir terbentuk sempurna. Matanya berbinar-binar saat mulai membuat lilitan di ujung benang.
Rasa bersalah menyerang, selama ini belum sekalipun melihat ketertarikan Gemi kepada hal-hal berhubungan dengan bayi, karena itu selalu meragukan kesungguhannya.
Diam-diam Gemi mencuri pandang ke sang mertua yang terperanjat. Kebetulan sekali Beliau meminta ikut kemari, jadi mempunyai kesempatan untuk mengetahui apa yang sebenarnya ia rasakan. Memang sudah berencana menggantung kaus kaki ini di teras rumah dan menghiasinya dengan lonceng.
Itu akan menjadi sebuah isyarat bahwa ia juga sangat menginginkan seorang bayi mungil segera hadir di rumah mereka. Mungkin itu bisa menyenyapkan mertua untuk sementara waktu, sambil berharap sebuah keajaiban terjadi. Masalah yang sedang mereka hadapi, hanya bisa teratasi dengan mukjizat.
Tak terhitung berapa banyak program hamil yang sudah mereka ikuti. Berbagai macam pemeriksaan yang baginya terasa menyakitkan, sempat menghadirkan trauma. Tubuhnya sudah seperti relawan manusia yang terkontaminasi dengan banyak obat dan vitamin.
Demi menjaga rahasia mereka, tetap saja, ia rela menuruti saran mertua untuk mengikuti pengobatan alternatif. Pijatan, terapi, olah raga khusus, program diet mediterania, tak ketinggalan …, berkonsultasi dengan orang pintar. Semua dilakukannya atas nama cinta.
Ponsel berbunyi, Ernest menelepon.
“Gemi di mana?”
“Lagi di luar bersama Mama.”
“Mama memaksamu ke klinik akupuntur?”
“Enggak! Mama ikut denganku ke kursus merajut.” Terdengar tarikan napas lega.
“Pukul empat nanti, datang ke kantor ya? Ada pertemuan dengan bos baru. Pakai pakaian resmi dan jangan norak!” Tawa Gemi membuatnya menahan senyum.
“Baik, Mas. Resmi dan tidak norak!” ulangnya dengan wajah masih tersenyum.
Sebenarnya, penampilannya tidak norak, hanya pernah sekali saja salah berpakaian. Bersepatu kets di acara makan malam kantor Ernest. Ernest yang salah, mengundangnya tanpa memberitahukan acara apa. Ia terbiasa berpakaian santai dengan sepatu kets ke mana-mana, sangat berbanding terbalik dengan penampilan Ernest, mengingat profesinya sebagai pengacara.
Usia mereka yang berbeda tujuh tahun, berpengaruh banyak pada perbedaan selera. Wajahnya terlalu imut-imut untuk standar wanita yang sudah lima tahun menikah. Bahkan banyak teman kerja Ernest yang menganggap mereka tidak sepadan dan ia sering mendapat pandangan sinis karena itu.
***
“SELAMAT malam, Pak Siregar.” Gemi menyapa orang pertama yang ditemuinya di pintu.
“Selamat malam, Gemi. Pak Bernard, ini Nyonya Ernest Lakeswara.”
“Oh ….” Bernard yang tak menyangka, tertawa kecil.
“Gemi, ini Pak Bernard, Bos baru.”
“Apa kabar, Pak? Saya Gemintang. Selamat dan sukses untuk posisi baru.”
Dari jauh Ernest memperhatikan Gemi sekilas, lega melihat gaun selutut berwarna navy dan high heels yang dikenakannya. Hanya itu yang menjadi fokusnya, selebihnya, ia tidak perlu khawatir. Gemi, seperti biasa, akan bisa berbaur dengan baik dan tidak akan terpengaruh dengan cara orang lain memperlakukannya.
“Selamat malam, Bu. Saya Gemintang, istri Pak Ernest.”
Gemi memperkenalkan diri kepada seorang wanita yang dikerumuni oleh rekan kerja Ernest. Wanita cantik dan tampak sangat pintar ini, pastilah istri Pak Bernard. Sudah dari tadi menunggu seseorang berinisiatif untuk memperkenalkannya, tetapi seperti biasa, mereka selalu cuek kepadanya, seramah apa pun ia.
Entah mengapa rekan kerja Ernest, khusus wanita lajang, selalu bersikap seperti itu kepadanya. Sekarang bahkan mereka secara terang-terangan menunjukkan wajah terganggu dengan interupsinya.
“It’s my pleasure to meet you. Saya Leona.” Keduanya berjabatan tangan.
“Bu Leona, ini Ibu Rintha, istri Pak Siregar.” Salah satu dari mereka langsung mengalihkan perhatian.
Gemi tersenyum lebar, sangat mengerti tujuan mereka. Membuatnya memutuskan untuk menjauh dari kerumunan. Widya, salah satu pengacara senior, melambaikan tangan ke arahnya.
“Apa kabar, Mbak?”
“Good. Kamu sehat?”
Gemi mengangguk. Terakhir kali mereka berjumpa di rumah sakit saat Widya menjenguknya, terbaring lemah setelah pingsan.
“Jangan pedulikan mereka.”
“Mana mungkin aku sempat …, terlalu banyak hal yang harus kupikirkan.” Jawaban bijak yang membuat Widya terbahak.
“Masih berkutat dengan hal sama?” Gemi mengangguk. “Kalian hanya bisa membungkam mulut berbisa dengan menunjukkan fakta sebenarnya.”
Gemi menarik napas panjang, sesuatu yang hanya akan mereka lakukan kalau terpaksa banget. Sekarang ini belum perlu, stok kesabaran meskipun pasang surut, tetapi masih bisa terus dipupuk.
“Pilihan sulit!”
“Berumah tangga memang memusingkan. Pernah berpikir untuk bercerai saja?” Godaannya membuat Gemi melotot, sebelum ikut tertawa, menghadirkan lirikan-lirikan tak senang mengarah ke mereka.
***
“GEMI, mau jalan-jalan sebentar?” Ajak Ernest begitu mereka keluar dari kantor.
Gemi langsung mengangguk. Langit cerah dengan bintang bertaburan, menikmati kebersamaan dengan berjalan di taman dalam area perkantoran, akan sangat menyenangkan. Tempat yang selalu dipilihnya bila harus menunggu Ernest, dibanding duduk bengong di dalam kantor dengan dihujani tatapan sinis.
“Enggak jadi berangkat ke Bali, Mas?” Seharusnya Ernest berangkat dengan pesawat terakhir malam ini.
“Diundur ke pesawat paling pagi, pukul empat nanti.”
“Boleh aku ikut?”
“Aku ke sana untuk bekerja. Jadwalku sangat padat, nanti kamu pasti kecewa. Tidak ada bedanya dengan saat kita di Surabaya.”
Gemi merebahkan kepala ke bahu Ernest yang disambut dengan pelukan erat di pinggangnya. Kalau Ernest bertugas ke luar kota, itu artinya mertua akan lebih sering mondar-mandir di rumah. Mencekcoki dengan banyak hal, seolah ia adalah tertuduh yang gerak-geriknya perlu diawasi. Itu salah satu ketidakenakan tinggal di perumahan yang sama dengan mertua.
“Kuusahakan cepat selesai, aku juga tidak kuat menahan rindu.”
“Gombal! Mas itu bukan rindu …, tapi kepengin itu!” Ernest terbahak. “Pria yang merindu, pasti akan menelepon. Mana pernah Mas meneleponku? Hubungan kita seperti terputus saat Mas ke luar kota. Aku sampai tak pernah lagi mau menghubungi Mas.”
“Aku berburu waktu agar cepat selesai dan cepat pulang.”
“Hm …, kayak beneeer aja!”
“Aku janji, nanti pasti akan kutelepon.”
“Kalau ingkar, uang jajan bulan depan harus ditambah seperempat.”
“Itu pemaksaan yang membangkrutkan!” Senyum di wajah Ernest, membuat Gemi langsung menghadiahkan sebuah kecupan sebagai tanda terima kasih. “Aku pasti akan menelepon, aku tidak mau rugi.”
“Ya Allah, tolong buat dia amnesia ….”
“Jahat!” Ernest geram, langsung mendekap erat. Mengingat pengorbanan Gemi untuknya, rasanya tak akan pernah sanggup membalas. Dalam banyak hal, ia merasa sangat bersalah.
***
PERPISAHAN kali ini, agak di luar kebiasaan. Kalau biasanya Ernest hanya mengecup kening dan memeluk sesaat, tapi tadi Ernest menciumnya berulang-ulang dan mendekap seakan berat untuk pergi. Sampai harus diingatkan bahwa supir sudah menunggu lama.
Kata-kata cinta dibisikkan dengan penuh penekanan. Sesuatu yang bukan tipikal Ernest, menunjukkan cinta dengan tindakan, bukan kata-kata. Mereka seperti bertukar kepribadian. Ia yang biasanya sangat romantis, malah tak tersentuh mendengar gombalannya. Lebih tepatnya, ia merasa geli sendiri.
Gemi tercenung lama di sebalik jendela, menatap pintu pagar yang sudah tertutup kembali sejak tadi. Gerimis mulai mereda, menghadirkan keheningan di pukul dua dini hari. Bulu kuduknya terasa berdiri, segera menutup gorden lalu kembali ke kamar.
***
Bab 3 – Gemintang, I’m Sorry!
SUARA ketukan terdengar sangat nyaring di pagi buta. Gemi membuka mata dengan kepala pusing, baru setelah Subuh tadi bisa tertidur. Siapa lagi pelaku keonaran di pagi hari, kalau bukan sang mertua yang terhormat!
Paling hobi membangunkannya sepagi mungkin kalau Ernest tidak ada. Entah apa masalah Beliau, tak sanggup melihatnya menikmati hidup tanpa kerempongan. Gemi bangkit dengan enggan, melangkah pelan menuju pintu.
“Iya, Ma ….” Langsung menutup mulut untuk menutupi kuap.
“Bagaimana bisa hamil kalau bangun pagi saja, malas!”
Ya Allah! Entah apa hubungan bangun pagi dengan kehamilan! Selama ini hanya karena menghormati Ernest, menyabarkannya untuk mencoba mengerti betapa pedasnya lidah mertua.
“Cepat mandi! Mama punya sesuatu yang harus diminum saat perut kosong.” Mengangkat sebuah plastik putih dengan wajah optimis.
“Apa , Ma?”
“Mama tunggu di ruang makan.”
Kalau boleh, ingin saja dibantingnya pintu, mengunci dan melanjutkan tidur. Kurang tidur membuat emosi dengan mudah cepat tersulut. Wahai hati, bersabarlah! Semoga mertuanya segera mendapat hidayah yang bisa melembutkan lidah.
***
PLASTIK putih itu ternyata berisi minuman sarang burung walet sebanyak 12 botol untuk terapi promil yang harus dikonsumsi selama 12 hari berturut-turut. Perutnya bergejolak, seolah sedang diterjang angin puting beliung. Dahi mengernyit karena pusing dengan rasa mual tak tertahankan. Gemi menutup mulut untuk meredakan rasa, mencoba bertahan dalam hujaman tatapan sadis penuh amarah.
“Apalagi! Tidak mau minum ini? Manja sekali!” Wulandari naik pitam. “Kamu tahu ini harganya berapa?” Benar-benar kecewa dengan reaksi Gemi.
Dorongan untuk muntah begitu kuat, membuat Gemi mengabaikan hardikan. Bangkit terburu-buru, lalu dengan setengah berlari menuju kamar.
“Sangat tidak tahu diuntung!” Tensi darahnya berhasil naik karena menahan marah. Ingin sekali memaki sesadis yang ia bisa, tapi juga khawatir akan sampai laporan kepada Ernest.
Salah satu makanan yang membuat Gemi merasa jijik sejak kecil adalah sarang burung walet. Dulu almarhum Kakek adalah juragan rumah walet yang dengan itu, berhasil menyekolahkan semua anak-anaknya di universitas bergengsi.
Sarang burung walet adalah makanan wajib di rumah, Papa mengharuskan mereka mengonsumsinya karena dipercaya bisa meningkatkan konsentrasi dan merangsang pertumbuhan otak. Hanya ia yang tidak patuh, selalu memuntahkan kembali. Ingatan bahwa itu berasal dari air liur burung, benar-benar membuatnya jijik.
Itu menjadi alasan mengapa Papa suka sekali merundungnya. Bahwa prestasinya yang sangat biasa, jauh dibanding saudara-saudaranya yang langganan juara kelas, adalah karena tidak mau mengonsumsi sarang burung walet. Sangat mengada-ngada! Menyebabkan Gemi kecil pernah menyimpan dendam dengan sengaja tidak mau belajar untuk membuat Papa lebih kecewa lagi.
Bagaimana perasaan seorang dosen di bidang ilmu kimia, saat mengetahui bahwa anaknya menempati rangking ke-29 dari 30 siswa?
***
SETELAH merasa lebih baik, Gemi kembali ke ruang makan. Tidak ada seorang pun di sana. Memeriksa semua ruangan, juga tidak menemukan jejak. Keluar ke teras dan melihat pintu pagar tidak tertutup sempurna. Tebakannya, Mama pergi dalam keadaan marah besar. Baguslah kalau begitu, setidaknya ia bisa menikmati kedamaian dalam beberapa hari ke depan.
Tak sengaja matanya melihat tong sampah di depan pintu garasi dengan tutup menganga. Kecurigaan membuatnya melangkah ke sana. Benar saja, kotak minuman walet ada di dalamnya. Bukan itu yang mengejutkannya, tapi botol-botol yang sudah tidak berisi! Mama menumpahkan semua isinya ke dalam tong sampah, padahal masih bisa dihadiahkan untuk wanita lain.
Pernikahan awalnya berjalan nyaris sempurna. Kehamilan yang tidak kunjung datang di tahun ketiga, sama sekali tidak merisaukan mereka. Kicauan-kicauan Mama dan Maureen-kakak perempuan Ernest, mulai sering terdengar. Seperti biasa, dalam hal ini, istri selalu menjadi pihak yang tersudutkan.
Kenyinyiran bisa merembes ke hal-hal lain, mengoreksi apa pun yang tidak sesuai dengan selera dan aturan mereka. Menghilangkan kenyamanan, merasa seperti diteror membuatnya mulai sering menangis diam-diam. Ernest pada akhirnya menuruti permintaannya untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan.
***
JANJI akan ditelepon tak kunjung tiba, sudah tiga hari sejak kepergiaan Ernest. Seperti biasa, sebuah pesan yang mengabarkan bahwa dia sudah sampai di tempat tujuan pun, tidak ada. Sangat berharap Ernest bisa berubah menjadi sosok yang lebih peka, tapi ya …, begitulah. Tidak lagi membuatnya kecewa karena sudah sangat terbiasa.
Gemi bisa saja menjadi pihak pertama yang menghubungi, tapi itu selalu berakhir dengan suasana hati yang berubah jelek. Jarang sekali Ernest menyambut telepon atau sekedar membalas pesan. Jadi lebih baik, tidak memulai sesuatu yang pasti akan berakhir mengecewakan.
Sebuah pesan masuk, notifikasi dari bank. Ernest sudah mentransfer uang jajan bulanan yang dilebihkan seperempat dari jatah biasa. Sama sekali tidak membuatnya kesenangan. Candaannya hanya diniatkan untuk mengingatkan Ernest kepadanya saat mereka berjauhan.
***
DERINGAN ponsel dengan nada khusus yang sangat dinantikannya, akhirnya terdengar juga. Membangunkannya dari tidur yang memang tidak nyenyak. Gelisah entah mengapa, sempat beberapa kali terbangun, lalu mencoba untuk tertidur kembali.
Pukul 03.00 pagi, bukan waktu yang umum untuk menelepon. Gemi segera bangkit dengan menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Mengambil ponsel dari atas nakas di samping tempat tidur, lalu menyentuh tombol hijau.
“Halo,” sapanya setelah diam sekian detik, menunggu Ernest duluan menyapa. Tidak ada jawaban.
“Halo, Mas …,” ulangnya.
Sangat hening, tidak ada suara apa pun terdengar dari seberang. Kalau Ernest sedang tertidur dan tanpa sengaja menyentuh ponsel, suara ngorok khasnya pasti akan terdengar.
“Mas Ernest, are you okay?” Tiba-tiba saja Gemi menjadi sangat khawatir, apalagi saat mengingat perasaan gelisah yang baru saja menyerangnya.
“Halo, Mas!” Mulai meninggikan suara, siapa tahu Ernest memang menelepon tanpa tersengaja.
“Mas, jangan membuatku panik! Jawab aku, atau kuputuskan sambungan ….”
“I love you!”
Terdengar suara bergetar yang segera meredakan kepanikan. Mimpi apa ia semalam? Jarang sekali Ernest mau mengungkapkan rasa cinta dengan kata-kata.
“I know how much you love me! Karena itu aku bersedia meninggalkan apa pun demi bisa bersamamu.”
“Gemintang, I’m sorry.”
“Kamu kenapa, Mas?”
“Sayang ….”
Mata Gemi melotot dengan dada berdegup kencang. Itu bukan suara Ernest! Tapi suara wanita! Seperti desahan manja, tetapi terdengar sangat jelas.
“Siapa itu, Mas?” Suara siapa itu? Kamu sedang bersama siapa?” tanyanya panik dengan suara meninggi.
Tut …, tut …, tut …! Telepon terputus.
“Mas! Mas!” Gemi berteriak kalut. Mencoba menghubungi kembali, tapi ponsel Ernest malah sudah tidak aktif.
Sebuah dugaan langsung memenuhi benak. Naluri istri mengatakan bahwa Ernest berselingkuh! Tidak ada alasan yang bisa difahami, berada bersama wanita pada pukul segini! Panggilan sayang pasti ditujukan untuk Ernest! Suasana di seberang begitu hening, tidak terdengar suara-suara lain yang bisa membuyarkan dugaannya bahwa mereka sedang berdua saja.
Mengapa sambungan telepon harus terputus di saat ia menuntut penjelasan? Dan mengapa ponsel bisa tiba-tiba tidak aktif alias dimatikan? Semua fakta itu, terlalu kebetulan bila terjadi berbarengan.
Menangis, itu yang bisa dilakukannya untuk menenangkan diri. Meskipun dugaannya sangat kuat, tetapi masih berusaha untuk berpikir positif dengan mencari kemungkinan lain. Semakin ia menolak, malah instingnya semakin kuat. Satu per satu sikap Ernest seolah dipertontonkan kepadanya.
Saat berjauhan, tidak pernah menghubungi seolah hubungan terputus. Selalu menjawab belum pasti ketika ia bertanya akan menginap di mana. Sudah lama mereka tidak menghabiskan weekend bersama, alasan Ernest selalu sama, banyak pekerjaan.
Dalam hal kemurahan hati, Ernest juga berubah total. Terlalu mudah mengabulkan permintaannya. Bahkan belakangan ini, suka memanjakan dengan memberi banyak kejutan dan hadiah.
Jika diingat-ingat kembali, sebenarnya ada yang aneh dengan perubahan perilaku seksual Ernest. Kalau sebelumnya mereka hanya melakukan dua-tiga kali dalam seminggu, belakangan ini hampir setiap malam dan berulang-ulang. Ia bisa merasakan kepuasan Ernest, tapi entah mengapa, selalu tidak cukup.
Apa mungkin Ernest berubah untuk menutupi rasa bersalah karena telah melakukan kesalahan dalam pernikahan mereka? Dengan membuatnya melambung tinggi seakan sangat dicintai, sehingga tidak sempat menaruh curiga?
***
Bab 4 – Kenapa Kamu Tidak Menangis?
SAMPAI menjelang siang, ponsel Ernest masih mati. Membuatnya semakin tersiksa dan putus asa dengan rasa marah yang siap meledak kapan saja. Gemi menebak, Ernest sengaja melakukan itu! Jelas Ernest mendengar tuntutan penjelasan darinya sebelum memutuskan sambungan.
Keingintahuan yang tinggi, menyeret langkahnya ke kantor Ernest.
“Maaf Bu Gemi, aku tidak bisa memberitahukan di mana Pak Ernest menginap.”
“Kenapa? Aku istrinya!” Darahnya langsung mendidih mendengar respon Linda-asisten Ernest yang sangat tidak masuk akal. Dia salah satu yang selalu menghujaninya dengan pandangan sinis.
“Pak Ernest sedang menangani kasus berat. Aku tidak bisa memberitahukan karena itu menyangkut keamanan pengacara.” Linda memperjelas alasannya.
“What the fuck is that? Aku ini siapa? Apa mungkin aku mengancam keamanan suamiku sendiri?” Suara tingginya memecah keheningan. Suara-suara langkah yang mulai mendekat, terdengar jelas.
“Pak Ernest sendiri yang melarang tanpa pengecualian siapa pun.”
“Kamu tahu kenapa aku sampai datang ke sini? Karena ponsel Ernest tidak bisa dihubungi!”
“Tapi barusan, sekitar setengah jam lalu, Pak Ernest menghubungi saya.”
“Dengan nomor apa?”
Bila ternyata dugaannya salah dan memang terjadi sesuatu pada ponsel Ernest, bukankah semestinya Ernest berusaha menghubunginya dengan cara apa pun untuk menjelaskan? Ini malah bisa menelepon ke kantor, sementara membiarkannya dalam tanda tanya besar.
“Nomor ponsel kantor.”
“Berapa nomornya?”
“Maaf, Bu Gemi. Pak Ernest juga merahasiakan itu kepada siapa pun.”
Lagi-lagi jawaban tidak masuk akal, seperti sengaja dibuat untuk menutupi sesuatu. Membuatnya tertawa keras di tengah rasa kecewa yang memuncak.
“Oke, baik! Tolong sampaikan pesan kepada Bapak Ernest Lakeswara, S.H., M.H. untuk menghubungi istrinya dalam waktu dua jam, terhitung mulai detik ini! Kalau tidak, aku keluar dari rumah.” Wajah di depannya tampak kaget.
“Gemi, ada apa?” Suara Widya membuatnya berpaling ke pintu.
“Aku hanya ingin tahu Ernest menginap di mana karena ponselnya mati. Tapi dia bilang, itu rahasia. Aku juga tidak boleh tahu nomor telepon kantor.”
“Linda! Kenapa bisa begitu?” Widya menghardik.
“Maaf, Bu. Itu memang Pak Ernest yang mau.”
“Persetan dengan aturan Ernest! Kalau tidak dalam keadaan darurat, mana mungkin istrinya sampai mau datang ke sini? Cepat berikan sekarang, atau aku akan membuatmu dipecat!”
Kalau Gemi yang dikenalnya sebagai sosok lembut dan patuh, bisa berubah sikap sedrastis itu, pasti ini bukan hanya masalah ponsel mati.
“Baik, Bu.”
“Sudah tidak perlu! Sampaikan saja pesanku. Terima kasih, Mbak.”
“Gemi …,” Widya segera menghalangi langkahnya yang hendak keluar.
“Maaf, Mbak. Aku sedang ingin sendiri.”
“Hati-hati di jalan,” teriaknya pasrah, sebelum sekali lagi, menatap Linda dengan penuh intimidasi.
***
ERNEST sedang mengemudi sambil mendengarkan Linda yang berbicara di telepon. Laporan berakhir dengan sebuah pesan dari Gemi yang membuatnya refleks menginjak rem.
“Sayang, jangan seperti ini! Semua sudah terjadi, kita harus menghadapi kenyataan.” Audra, sang wanita impian lain, menjulurkan tangan untuk mengelus lengan Ernest, tapi segera ditepis.
“Kamu dengan sengaja memancingku!” Masih tidak mengerti, mengapa sampai bisa kebablasan.
“Memang aku yang salah! Melanggar perjanjian kita. Aku sudah tidak kuat menahan diri untuk bisa merasakan tubuhmu! Sudah lama aku menginginkan hubungan kita lebih dari sekedar teman mengobrol.”
Audra menangis dengan dada sesak, semua melenceng dari rencana. Tadinya berpikir setelah berhasil merasakan tubuh Ernest, hubungan mereka akan memasuki babak baru. Mempunyai keberanian untuk meninggalkan pasangan resmi masing-masing dan memulai kehidupan baru mereka secara sah.
Kemurkaan Ernest setelah terbangun, telah meruntuhkan semua mimpi indahnya. Pertengkaran hebat yang terjadi setelah itu, membuatnya sampai pada tahap menyesali kenekatan.
Ernest membenturkan kepala ke setir, suara klakson panjang terdengar memekakkan telinga, tapi ia tak peduli. Kalut, tidak tahu bagaimana cara menghadapi Gemi. Untuk menghubunginya saja, tidak ada keberanian. Ancaman Gemi sangat menakutkannya.
“Nest ….”
“Diam! Aku bilang, diam!” bentaknya dengan suara tinggi, lalu mulai menyetir tanpa tujuan pasti.
“Kita melakukannya sekali saja dan hanya aku yang dalam kesadaran penuh. Kamu adalah korban keegoisanku, tidak bisa disalahkan. Bisa kita lupakan saja? Anggap tidak pernah terjadi!”
“Kamu berbicara seperti orang idiot! Itu kesalahan fatal! Sadar, tidak sadar, tetap tidak bisa dimaafkan.”
“Nest, pelankan sedikit laju mobil.” Kecepatan yang semakin tinggi, mulai mengkhawatirkan.
“Aku sangat mencintai istriku! Hubungan kita hanya untuk meredam rasa bersalahku kepada Gemi. Aku tidak pernah punya keinginan mengkhianati Gemi dengan membagi tubuhku kepada wanita lain.”
Hati siapa yang tak merana mendengar kata-kata sadisnya? Lalu bagaimana menjelaskan kedekatan mereka yang sudah berjalan setahun lebih? Seharusnya saat Ernest mulai memasuki tubuhnya dengan mendesahkan sebuah nama, ia langsung menghentikan perbuatan terlarang mereka.
Tapi, tidak! Ia terlalu egois, sehingga rela merendahkan harga diri. Berpikir bahwa itu hal biasa, sangat yakin bisa membuat Ernest segera melupakan kenangan lama seiring dengan kemajuan hubungan mereka.
“Nest!”
Hampir saja mobil menyenggol pengendara motor. Aksi Ernest menyalip sesukanya, mulai menakutkan. Tidak ada keterkejutan di wajahnya, seolah memang melakukan itu dengan sengaja dan sudah memperhitungkan. Audra mempererat pegangan pada hand grip. Keringat dingin terasa membasahi kening.
“Nest! Aku belum mau mati!” teriaknya histeris.
Manuver mobil tidak berhasil, Ernest kembali ke jalur. Silap sekian detik saja, sebuah truk tronton dari arah berlawanan sudah dipastikan akan meremukkan mereka.
“Turunkan aku di mana kamu bisa menepi, aku tidak mau mati sia-sia!”
Audra mulai putus asa karena Ernest kembali mencoba menyalip. Kali ini berhasil, jalanan yang lengang malah lebih mengkhawatirkan. Memberi peluang untuk menambah kecepatan, mobil terasa melayang-layang.
“Nest! Di depan! Lihat ke depan …!”
Sebuah mobil yang juga melaju kencang dengan jarak tidak jauh di depan mereka, tiba-tiba saja menghidupkan lampu samping kanan, hendak berbelok ke persimpangan. Ernest terkesiap, refleks membanting setir ke arah pembatas jalan di sebelah kiri untuk menghindari tabrakan.
BRAAAK! Terdengar suara benturan keras seiring dengan mobil menabrak pembatas jalan. Dunia gelap seketika. Mobil terbalik dan sempat berputar-putar.
“Ge …, mi ….” suara rintihan terdengar menyayat hati, sebelum keheningan datang.
***
GEMI terbangun dari tidur karena mendengar suara bel berbunyi. Di luar cahaya mulai redup, ternyata hampir menjelang Maghrib. Cukup lama ia tertidur dengan mimpi buruk yang saling berkelebat. Meraih ponsel yang terletak di atas nakas, untuk melihat siapa yang datang.
Prisma-abang tertua Ernest! Tumben sekali! Bisa dibilang tak pernah Prisma mendatangi rumah mereka. Prisma sangat tertutup, selama menjadi istri Ernest, mungkin bisa dihitung berapa kali saja mereka pernah saling berbicara.
“Sebentar, Mas,” ucapnya sebelum bangkit, lalu melangkah keluar.
“Ernest sedang di luar kota.”
Menerima tamu pria saat suami tidak berada di rumah, meskipun itu ipar, membuatnya canggung juga. Mengingat hubungan mereka sama sekali tidak dekat.
“Aku tahu. Gemi …,” Prisma ragu sejenak.
Gemi menyadari ada yang tidak biasa dari ekspresi Prisma. Seperti sangat berat untuk menyampaikan sesuatu. Apa yang menjadi masalahnya?
“Ada apa, Mas Pris?”
“Terjadi sesuatu di Bali. Ernest …, Ernest kecelakaan dan dinyatakan meninggal di tempat.”
Sosok di depannya hanya terdiam tanpa reaksi berlebihan, mungkin masih mencerna kabar duka yang dibawanya. Prisma mendekat dan langsung memeluk begitu menyadari tubuh Gemi melemah. Isakan pelan tumpah di dadanya, tanpa kata-kata.
“Aku akan berangkat ke Bali, sekarang.”
“Aku ikut, Mas!”
“Kamu lebih baik menunggu di rumah saja ….”
“Dia suamiku! Aku harus datang menjemputnya pulang.”
Kehadiran Wulandari dan Maureen yang meraung-raung dengan meneriakkan nama Ernest, memecah keheningan.
“Ya Allah, mengapa harus Ernest? Anakku masih terlalu muda. Cabut nyawaku saja!” Wulandari berteriak histeris sambil memukul-mukul dada.
Prisma segera memeluknya. “Istigfar, Ma. Astagfirullahalazim …, astagfirullahalazim …, astagfirullahalazim,” pandunya dengan sabar sampai Mama mengikuti ucapannya.
“Ernest sayang, Ernest cinta Mama, astagfirullahalazim, astagfirullahalazim.” Wulandari mencoba menenangkan diri.
“Kalau Mama sayang Ernest, jangan meraung-raung. Kasihan Ernest, Ma. Ringankan kepulangannya.”
“Kamu! Kenapa kamu tidak menangis?” Maureen begitu marah setelah menyadari Gemi hanya diam terpaku. Tidak ada air mata yang menetes deras di pipinya, meskipun mata tampak sembab.
“Reen!” hardik Prisma.
“Ini semua karena dia! Ernest banting tulang, bekerja siang malam hanya untuk memenuhi gaya hidupnya. Untuk apa? Dia tidak bisa memberi Ernest anak!”
Nico-suami Maureen yang baru sampai, langsung menenangkan istrinya dengan pelukan.
“Aku dan Gemi akan berangkat ke Bali, sekarang.”
“Mama ikut!”
“Tidak, Ma! Melihat reaksi Mama, pasti akan sangat merepotkanku di sana.”
“Kenapa harus bersama dia? Dia, siapa? Bukan keluarga kita, tidak terhubung dengan darah!”
Gemi sadar betul, inilah saat tepat bagi mereka untuk menunjukkan kebencian secara terang-terangan. Tidak ada lagi penghalang. Mereka menjadikannya kambing hitam atas kehamilan yang tak kunjung tiba, dan sekarang, juga melampiaskan kemarahan atas kepulangan Ernest.
“Kalau kalian mencintai dan menyayangi Ernest, seharusnya kalian juga menghormati wanita yang dicintai Ernest. Bukan begini caranya, Ma. Aku akan menjemput Ernest, bersama Gemi. Gemi lebih berhak mendampingi Ernest daripada kita semua.” Terdiam sejenak dengan tatapan tajam ke Mama dan Maureen yang memilih diam.
“Gemi, segera berkemas. Bawa dokumen-dokumen penting dan pakaian seperlunya saja. Kalau memungkinkan, besok kita sudah kembali.”
Gemi mengangguk, lalu bergerak cepat.
Inilah akhir dari ikatan cinta mereka. Bukan akhir bahagia di saat takdir datang memisahkan. Kemarahan dan kecurigaan, telah menodai akhir kisah seperti yang diimpikannya. Penyesalan selalu datang terlambat. Gemi menangis dalam diam, tanpa bersuara. Hanya air mata yang keluar dan segera diusapnya.
***
Bab 5 – Seorang Psikolog dan Seorang Pasien!
PUKUL 02.30 pagi saat Prisma, Gemi dan Pak Siregar, yang mewakili firma hukum, tiba di rumah sakit. Langsung menuju Kamar Jenazah, Wisesa-sahabat Prisma, sudah menunggu di sana. Dia yang dari awal mengurus jenazah Ernest.
Gemi mematung di pintu, menatap jenazah Ernest diselimuti kain putih. Kakinya seketika kehilangan kekuatan, tidak sanggup melangkah ke dalam. Prisma yang menyadari keraguannya, segera berbalik.
“Ernest menunggumu.”
“Aku takut akan menangis histeris.”
“Kalau kamu mencintainya, pasti tidak akan melakukan itu. Ernest tidak mau melihatmu bersedih.”
Gemi menarik napas berat, sebelum melangkah pelan dengan dada berdebar kencang. Persis seperti dulu, saat pertama kali mendekati sosok Ernest dan memastikan bahwa ia telah jatuh cinta kepadanya.
Sekarang ia akan menemui pria yang sama, tapi dalam keadaan berbeda. Pria yang tak lagi bisa membalas tatapan dan menyembunyikan senyum, saat melihatnya tersipu malu.
Dengan tangan gemetar, disibaknya kain yang menutupi wajah Ernest. Hampir saja terjatuh kalau Prisma tidak segera menahan tubuhnya. Pria yang masih sangat dicintainya, meskipun sempat terbesit kecurigaan, seperti sedang tertidur saja. Tidak tampak raut kesakitan dan penderitaan.
Di kening dan kepalanya ada jahitan panjang. Hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa Ernest mengalami luka dalam yang sangat parah di bagian dada dan kepala. Gemi memberanikan diri mengelus pipi yang terasa dingin dengan selembut mungkin, khawatir sentuhannya akan menyakiti. Saat kulit mereka bersentuhan, air mata pun tak bisa tertahankan.
“Malam itu aku meminta ikut …, tapi kamu melarang. Ternyata kamu ingin pulang sendirian,” ucapnya terbata-bata sambil berusaha kuat untuk tidak menyuarakan tangis.
“Aku datang menjemputmu, Mas.” Gemi mengusap air mata di pipinya dengan syal. Memastikan benar-benar sudah kering, sebelum mencium ubun-ubun, kening, pipi, hidung, dan berakhir di dagu.
“Gemi, kalau sudah, Ernest akan dimandikan.”
Gemi mengangguk, sangat faham bahwa harus berburu dengan waktu. Kondisi tubuh Ernest tidak memungkinkan untuk memperlama pemakaman. Sekali lagi mengulang mencium kening, lalu menutup kembali wajahnya.
“Kami harus ke hotel untuk mengambil barang.”
“Saya tunggu di sini saja sambil mengurus dokumen keberangkatan.”
“Terima kasih, Pak.” Prisma memang akan melarang seandainya Pak Siregar berniat ikut bersama mereka. Ada yang belum diberitahukannya kepada Gemi, sesuatu yang sangat pribadi.
“Wis, aku harus merepotkanmu lagi. Tolong cari penerbangan untuk keberangkatan hari ini.”
“It’s okay, anything for my best Bro.” Wisesa tersenyum lebar saat Prisma meninju dadanya tanpa kekuatan.
***
“ADA yang belum aku beritahukan,” ucap Prisma begitu mobil keluar dari area parkir.
“Apa?” Gemi melihat keraguan di wajah yang sama sekali tidak mirip Ernest. “Aku akan baik-baik saja.” Meyakinkannya dengan otak berputar cepat. Apa masalah yang lebih serius daripada kepulangan Ernest?
“Ernest tidak sendirian dalam kecelakaan itu ….” Wajah eksotis berkulit sawo matang itu, tampak terkejut, lalu menatapnya dengan penuh selidik. “Ada wanita bersamanya …, bukan rekan kerja.”
Apakah kecurigaannya memang nyata? “Apa yang terjadi dengan wanita itu?”
Respon Gemi sangat tenang, cukup membuat Prisma kaget sekaligus lega. Sebelumnya ia pikir, ini mungkin akan menjadi berita yang lebih sulit diterima daripada kepulangan Ernest.
Ada banyak hal yang sepertinya sengaja disembunyikan tentang wanita itu. “Mengalami patah tulang yang cukup serius, sekarang berada di ICU. Namanya Audra, ber-KTP Jakarta. Hanya itu yang Wisesa tahu. Kamu kenal?”
Gemi mencoba mengingat nama yang disebutkan Prisma, lalu menggeleng. “Aku hanya mengenal rekan kerjanya saja. Ernest bukan tipe suami yang suka berbagi cerita, meskipun kami saling mencintai. Pernah berjanji akan setia sampai akhir, walaupun tanpa kehadiran anak.” Gemi menghembuskan napas berat.
“Sesuatu terjadi?” Jawaban Gemi memberi isyarat bahwa mengetahui sesuatu.
Gemi berpaling, menatapnya lama dengan mata mulai berkaca-kaca, sebelum mengangguk pelan dan menundukkan wajah. “Setidaknya kalau kecurigaanmu benar, aku sudah tidak terkejut. Memang terjadi sesuatu, akhir kisah kami tidak mulus.” Mengusap air mata yang kembali mengalir sambil memalingkan wajah.
Prisma hanya terdiam mendengar isakan yang coba ditahan. Ingin sekali menenangkannya, tapi tidak tahu dengan cara apa. Berani memeluk saja, itu sudah tindakan luar biasa yang pernah dilakukannya. Setelah sekian tahun memilih membujang.
“Sepahit apa pun kenyataan yang kamu ketahui …, aku memohon maaf atas nama Ernest.” Isakan pun terdengar lebih keras.
***
MEREKA tiba di hotel. Wayan-manager on duty yang sudah dihubungi oleh Wisesa, langsung mengantar ke kamar suite.
“Di dalam, ada keluarga Ibu Audra yang juga sedang mengambil barang.” Wayan merasa sangat tidak nyaman harus mengatakan itu. Pasangan bukan suami-istri yang menginap adalah hal biasa, tetapi akan menjadi sesuatu yang luar biasa dengan tragedi seperti ini.
Akhirnya, dugaannya terjawab. Malam itu, benar, Ernest sedang bersama wanita. Terasa sangat menyakitkan, bahkan luka yang ditorehkan lebih dalam dari kematian.
“Biar aku saja yang membereskan barang. Kamu tunggu di ….”
“Aku harus masuk ke dalam! Aku ingin melihat dengan mata kepala sendiri, agar tidak ada pertanyaan mengganjal sepanjang sisa hidupku. Biarkan aku masuk sendirian.”
Ketegasan di raut wajahnya membuat Prisma tak ingin mendebat. Gemi benar, sepahit apa pun kenyataan yang akan ditemukan di dalam, dia memang berhak untuk tahu. Dengan begitu, bisa memilih untuk memaafkan dan melupakan, ataupun tidak sama sekali.
“Keadaan kamar masih seperti saat ditinggalkan kemarin pukul 10.00 pagi. Tamu memasang tanda do not disturb di pintu. Silahkan, Mbak.” Wayan membuka pintu.
Gemi diam sejenak dengan menutup mata, menarik napas panjang, sebelum melangkah ke dalam.
***
JEJAK pertama ditemukannya di atas meja sofa, kotak rokok kosong dari merk yang biasa dihisap Ernest. Area dapur bersih, ada dua cangkir kopi di atas meja makan, salah satunya dengan bekas noda lipstik berwarna merah menyala.
Hanya ada dua ruang itu di luar kamar tidur yang pintunya sedikit terbuka. Mengintip sejenak sambil menguatkan batin untuk masuk. Terlihat punggung seorang pria berperawakan hampir mirip Ernest, mematung dengan kepala menunduk.
Dengan pelan Gemi mendorong pintu, tak ingin mengganggu pria tersebut. Entah apa yang menyita perhatiannya sampai sebegitu fokus ke lantai. Langkah Gemi terhenti melihat tangan pria itu tiba-tiba bergerak seperti mengusap pipi. Apa dia sedang menangis?
Sejauh ini, tidak ada yang mengagetkan dengan isi kamar. Tempat tidur agak berantakan, tapi setidaknya dari posisinya berdiri, tidak terlihat benda-benda aneh di atasnya. Dua koper berdiri berdampingan di samping lemari, juga tak lagi mengagetkan.
Harus menerima kenyataan meskipun tidak ikhlas, bahwa Ernest menginap sekamar dengan wanita lain. Yang sangat ingin diketahuinya adalah sejauh mana hubungan mereka. Apakah keduanya sudah sampai pada hubungan terlarang, melanggar batasan yang tidak bisa ia maafkan?
Gemi kembali melangkah mendekati pria itu. Sangat penasaran dengan apa yang sedang dilihatnya. Mensejajarkan posisi sehingga bisa menatap ke arah yang sama. Kenyataan di depan mata, benda-benda mati yang mampu memperjelas banyak hal, nyaris membuatnya tumbang. Untung saja pria itu segera menahan tubuhnya.
Isakan tumpah ruah seketika, tak tertahankan. Tubuhnya terguncang hebat dalam pegangan pria yang wajahnya saja belum sempat terlihat dengan sempurna. Lingerie, bra, celana dalam berenda, beserta bokser yang dia tahu adalah milik Ernest, berceceran di lantai.
Rasa penasaran terjawab sudah. Ernest mengkhianati pernikahan! Meskipun sudah menduga, tapi saat kebenaran ditampakkan di depan mata, tetap saja terasa sangat menyakitkan.
Pengorbanannya untuk pernikahan mereka, terlalu besar! Rela terputus hubungan dengan keluarga karena tidak mendapatkan restu. Tak hanya itu, bahkan kemudian juga harus rela menerima sebuah kenyataan pahit. Bahwa bila ingin tetap menua bersama sampai ajal menjemput …, hanya mukjizat yang bisa membuat mereka memiliki darah daging sendiri.
Atas nama cinta, ia memilih bertahan. Apakah pengorbanan sebesar itu, masih tidak cukup? Pantas dibalas dengan perselingkuhan?
“Terima kasih.” Menatap pria itu, berhasil membuatnya tertegun beberapa saat.
“Aku Damar, suami …, Audra.”
Suaranya terdengar berat menyebut nama itu. Matanya terlihat merah, mengisyaratkan luka yang juga tertoreh sangat dalam. Mereka merasakan luka yang sama.
“Aku Gemi ….” Menghela napas berat. “Tak perlu kusebutkan, kamu pasti tahu aku siapa.”
Mengamati penampilan serta sikap Damar, bisa ditebak bahwa dia bukan pria biasa. Ada sesuatu tentangnya yang bisa menyihir begitu dalam. Memiliki karisma kuat yang bisa dirasakan oleh lawan bicara, hanya pada pandangan pertama. Apa lagi yang kurang darinya sehingga sang istri berselingkuh?
“Cara mengenalkan diri yang aneh.” Damar berusaha tersenyum. Wanita itu akhirnya ikut tersenyum meskipun sangat dipaksakan. “Ayo kita bereskan kekacauan ini dan segera keluar dari sini.”
Gemi masih tak bergerak. Menatap seksama ekpresi Damar saat memunguti barang bukti perselingkuhan sang istri. Wajahnya tampak mengeras, menahan emosi.
“Jangan terus bengong di situ! Jangan habiskan waktumu untuk mengenang sesuatu yang tidak pantas,” ucapnya tanpa berpaling.
Damar benar, berada lebih lama di sini, hanya akan memperlarut kesedihan pada sesuatu yang tidak pantas untuk dikenang. Gemi pun mulai bergerak, memungut bokser, lalu beranjak ke arah lain.
Matanya sempat menangkap noda berwarna kuning pada sprei, bukti otentik telah terjadi hubungan terlarang. Cukup lama tertegun di situ dengan benak dipenuhi bayangan Ernest saat mencapai puncak kenikmatan. Apakah dia juga merasakan kepuasan yang sama seperti saat bercinta dengannya?
Damar melirik, mengetahui apa yang membuat Gemi tidak bergerak. “Aku sudah selesai. Kamu berani tinggal sendirian? Oh, aku lupa! Tentu saja kamu tidak sendiri, arwah suamimu masih bergentayangan di sini.”
Damar menyembunyikan senyum begitu melihat ekspresi kaget diliputi takut. Segera saja pergerakan menjadi sangat cepat, memasukkan pakaian ke dalam koper tanpa termenung.
“Boleh kutanya sesuatu?” Gemi mengikuti Damar, keluar dari kamar tidur.
“Silahkan.”
“Kamu tahu hubungan mereka sebelum kejadian ini?”
Damar berhenti melangkah, lalu berpaling ke belakang.
“Aku seperti sedang berjalan dalam kegelapan, tidak sekalipun terbayangkan akan berhadapan dengan situasi seperti ini.” Mereka akan segera berpisah, mungkin inilah satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan sedikit petunjuk.
“Seorang psikolog dan seorang pasien.” Wajah di depannya, terkesiap.
“Pasien yang kamu maksud adalah …, Ernest?
Anggukan kembali melemahkan Gemi. Masalah mental apa, sampai mengharuskan Ernest berkonsultasi dengan seorang psikolog? Ternyata mereka belum saling mengenal seutuhnya!
“Kamu masih muda, perjalanan menuju kebahagiaan yang sesungguhnya, terbuka sangat lebar. Saranku, coba segera ikhlaskan. Jangan melarutkan diri dalam kesedihan yang terjadi di luar kuasa manusia. Semoga kamu segera menemukan pria yang lebih baik dan tentu saja, setia.”
Gemi hanya tertegun menatap Damar melangkah dengan kepala tegak, keluar sambil mendorong koper. Pria memang sangat cepat bisa menyembunyikan rasa.
Ingatan untuk mengucapkan terima kasih, menyentakkannya. Segera menyusul keluar, hanya ada Prisma di koridor. Matanya sempat melihat pintu lift tertutup sempurna, membawa pergi pria itu.
***
Bab 6 – Pulanglah dengan Tenang
KEDATANGAN jenazah Ernest disambut banyak orang. Suara tangisan membahana, memecah keheningan malam. Wulandari langsung pingsan begitu peti dibuka. Melihat jahitan panjang di kening dan kepala putra tersayang, membuatnya histeris sampai tak sadarkan diri.
Gemi duduk terpaku di samping peti, ungkapan kesedihan dan tangisan dari pelayat, tak membuatnya ikut terbawa suasana. Terlalu banyak kejutan datang bersamaan, memorakporandakan perasaan. Masih berat mengikhlaskan kepergiannya, tapi di sisi lain, bergejolak hebat menuntut penjelasan atas pengkhianatan cinta.
Saat seperti ini, sebenarnya ia sangat ingin didekap Bunda. Membisikkan kata-kata penyejuk jiwa yang telah dikuasai kemarahan. Seperti dulu, Bunda selalu berhasil menenangkan saat kemarahannya memuncak.
Prisma menghampiri Gemi yang merebahkan kepala ke atas pinggiran dinding peti dengan mata menatap sendu ke dalam. Sejak keluar dari kamar hotel, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Hanya mengangguk atau menggeleng untuk merespon.
“Kamu istirahat di kamar saja, besok akan lebih melelahkan.” Hanya merespon dengan melirik sekilas. “Kamu tidak boleh menyiksa diri.” Pukul tiga pagi, sudah lebih dua puluh empat jam mereka tidak beristirahat.
“Biarkan aku menemaninya sampai besok. Karena setelah itu, aku tidak tahu. Masih bisa mencintai atau malah membenci.” Air mata yang ia pikir sudah mengering, menetes kembali.
Kehadiran Wulandari menghentikan percakapan mereka. Gemi tak memedulikan tatapan tajamnya yang jelas menampakkan kebencian.
“Kamu geser ke bagian kaki! Mama mau duduk di situ.”
“Mama!” Prisma segera menahan tangan mama yang hendak menarik lengan Gemi. “Apa-apaan ini, Ma?” bentaknya marah.
“Surga istri ada di telapak kaki suami! Apa salah kalau Mama perintahkan untuk duduk di posisi kaki suaminya?”
Gemi memilih bangkit untuk menghindari perdebatan. Berpindah ke posisi kaki, duduk diam membisu. Wanita itu meskipun sudah dituruti kemauannya, tetap menatap dengan penuh kebencian. Kebencian yang kini berani diperlihatkan secara terang-terangan. Tidak ada lagi penghalang.
Apa yang akan terjadi kepadanya setelah Ernest dimakamkan? Apakah ia akan terusir? Hal yang sudah pasti, perlakuan kejam ibu mertua, sudah menunggunya.
Prisma tidak berani meninggalkan keduanya. Mama pasti akan kembali menyerang dengan sindiran dan umpatan sadis. Sejak kehadiran Gemi, tak pernah sekalipun ia mendengar Mama memujinya. Sungguh malang menjadi menantu perempuan di keluarga Lakeswara.
***
SATU per satu keluarga dekat memberikan ciuman terakhir sebelum peti ditutup dan salat dilaksanakan. Gemi yang duduk di samping peti, belum juga beranjak untuk melakukan hal yang sama. Wulandari dan Maureen sangat tersinggung melihatnya terus menundukkan wajah. Untung saja banyak orang, kalau tidak, pasti akan menyeretnya dengan paksa untuk menunjukkan rasa hormat.
“Ada lagi? Sudah bisa saya tutup? Bu Gemi?” Pak Ustaz bertanya.
Gemi akhirnya bangkit juga, meskipun belum menemukan jawaban atas keraguannya. Seandainya Ernest masih hidup, sudah pasti ia akan menempuh jalur pidana untuk menuntut perceraian.
Lantas sekarang, apakah Ernest masih pantas mendapatkan ciuman terakhir darinya? Tetapi mengingat momen-momen bahagia yang pernah mereka nikmati bersama, apa ia tega menyakiti jasadnya? Hanya sebuah ciuman! Apa kerugian besar karena itu?
Air mata kembali mengalir saat bibirnya menyentuh kening sedingin es. Meskipun kecewa, hati tak sanggup mengingkari bahwa masih banyak cinta untuk pria pertama dalam hidupnya. Bibirnya turun ke mata, pipi, hidung, dan berakhir di dagu.
Seakan merasa belum cukup, Gemi berbisik, “Kamu sempat meminta maaf, kuterima maafmu. Apa pun alasanmu melakukan itu, sudah kumaafkan. Sekali lagi, aku sudah memaafkanmu. Kamu tidak meninggalkan dendam di hatiku. Pulanglah dengan tenang.”
Semua terpaku melihatnya menangis dengan tangan menutup mulut. Suara yang tertahan membuat tubuhnya berguncang.
***
SELAMAT jalan.
Meskipun akhir kisah kita tidak sempurna, tapi aku tetap bahagia pernah menjadi bagian darimu. Aku bisa merasakan ketulusanmu mencintaiku.
Terima kasih, Mas.
Sebelum beranjak pergi, sekali lagi Gemi meraba ukiran nama Ernest di batu nisan. Sungguh dahsyat keikhlasan meskipun mungkin, belum sepenuhnya sempurna. Kebencian yang hampir saja berhasil menguasai jiwa raga, berangsur pergi. Tenyata hatinya terlalu lemah untuk bisa membenci.
“Gemi, terima kasih.”
Gemi hanya melirik Prisma yang sedang menyetir. Dari pergi tadi, hanya mereka berdua saja di mobil. Dia menolak Mama semobil dengan mereka.
“Untuk apa?”
“Memperlakukan Ernest dengan baik sampai akhir.”
“Di malam terakhirnya, dia sempat menelepon pada pukul 03.00 pagi. Mengucapkan I love you dengan suara bergetar. Jarang sekali aku mendengarnya mengucapkan itu. Dia juga meminta maaf, Gemintang, I’m sorry. Itu kalimat terakhirnya. Aku yakin, dia meminta maaf untuk itu ….”
Prisma segera mengulurkan tisu begitu melihat mata Gemi kembali berkaca-kaca. Seharusnya ia tidak memulai bicara.
“Aku sudah memaafkannya meskipun mungkin sulit untuk melupakan. Aku melakukan ini untuk diriku sendiri, untuk ketenangan batinku.” Akhirnya ia bisa tersenyum, membenci sangat melelahkan. Membuatnya hanya bisa melihat setitik keburukan dalam berjuta kebahagiaan.
Prisma merasa lega menyadari Gemi sudah bisa menerima kenyataan. Ada hal yang sangat ingin ia ketahui. “Apa yang kamu lihat di dalam kamar? Apa yang pria itu katakan?”
Gemi tidak merespon, membuatnya segera meralat ucapan. “Lupakan pertanyaanku tadi. Maaf.”
“Aku tidak bisa menjawab. Aku harus menjaga aib suamiku. Mas Pris, perihal Ernest menginap sekamar dengan wanita lain, tolong rahasiakan kepada siapa pun. Hanya antara aku, Mas Pris dan Wisesa, saja.”
Prisma langsung mengangguk, menyesal telah bertanya. Ernest sungguh beruntung. Mendapatkan istri yang tetap setia menjaga aibnya meskipun telah tersakiti.
***
GEMI tertidur pulas begitu acara tahlilan selesai. Kelelahan serta kejutan bertubi-tubi, membuat tubuhnya berada di luar ambang batas. Sangat pulas sampai tidak bisa mengingat, apakah ia memimpikan sesuatu tentang Ernest. Berbanding terbalik dengan malam-malam sebelumnya yang selalu bertemankan mimpi buruk.
Pukul empat pagi ketika ia keluar dari kamar, memeriksa keadaan di luar. Sepi! Satu kamar lain di lantai bawah, ternyata tidak berpenghuni. Apakah tidak seorang pun dari keluarga Ernest, bersedia menginap di sini? Menemaninya melewati malam pertama sebagai janda cerai mati?
Dalam keluarga yang benar, seharusnya salah satu dari mereka akan menemaninya tidur. Tidak akan membiarkannya sendirian di rumah sebesar ini. Tiba-tiba kesedihan kembali datang, perasaan sangat tidak diinginkan membuat dadanya terasa perih. Tidak bisakah mereka berkompromi sebentar saja, setidaknya sampai malam ketujuh?
“Ge …, mi?”
Sebuah panggilan persis suara Ernest!
“Aaaa …!” Gemi berteriak kaget, refleks menutup wajah dengan kedua tangan. Bulu-bulu halus serentak berdiri menyempurnakan ketakutan. Semilir angin terasa menerpa tubuh membuatnya kedinginan. Padahal tadi sempat melihat tidak ada jendela yang terbuka.
“Jangan ganggu aku! Aku sudah memaafkanmu,” gumamnya dengan suara bergetar.
Prisma yang memanggil dari tangga! Menutup mulut untuk menahan tawa. Sengaja tidak bersuara, menikmati sesuatu yang baru diketahuinya. Ternyata sang adik ipar adalah penakut akut. Sosok percaya diri yang selama ini melekat kuat padanya, luntur seketika. Kini ia melihat Gemi dari sudut berbeda. Hanya ada satu kata …, menggemaskan!
“Kamu kenapa? Ini aku, Prisma! Masih berujud manusia, belum menjadi Casper ….” Setelah merasa puas menikmati, akhirnya ia bersuara.
Gemi segera melepaskan tangan dari wajah, lalu menatap menyelidik. Senyum jahil yang tertahan di wajah dengan rambut agak berantakan itu, menyadarkannya bahwa telah dipermainkan. Sangat geram, tapi tentu saja, tidak bisa bereaksi berlebihan.
“Aku pikir tidak ada yang bersedia menginap di sini. Karena itu aku kaget sekali.” Tidak mungkin memberitahu alasan sebenarnya yang pasti akan membuat mereka sama-sama kikuk.
“Padahal aku memanggil dengan nada sangat biasa. Oh ya, Mama dan Maureen sedang kurang sehat, jadi aku yang menginap di sini, bersama temanku.”
Prisma pasti berbohong tentang alasan Mama dan Maureen, untuk tidak membuatnya bersedih. Mana mungkin mereka sedang kurang sehat? Di acara tahlilan tadi bahkan masih kuat menyindirnya dengan suara keras. Hampir saja ia terpancing.
Mungkin sekarang ini, keadaan mereka sama. Sama-sama tanpa penghalang! Apakah sudah tiba waktu untuk menunjukkan perlawanan? Meladeni perlakuan jahat mereka, toh ia juga pasti akan segera pergi untuk memulai kehidupan baru.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
