DON'T CROSS THE LINE - Free Chapter 1-15

18
0
Deskripsi

Free chapter 1-15

Selamat membaca!

 

Bab 1 

Suara musik berdentum keras diiringi dengan tawa yang sangat memekakkan telinga. Hanni yang duduk di pojokan bar, menutup telinga dengan kedua belah tangan. Bahkan earplug yang sudah sedari awal terpasang di telinga, tidak cukup kuat mengurangi tingkat kebisingan.

Sungguh terlalu! Seharusnya si bos tidak perlu mengajaknya ke tempat seperti ini. Apa coba yang bisa dinikmati dari ruang dengan pencahayaan remang-remang dan suara musik yang sangat menyiksa telinga?

Di keremangan lampu bar, Erlan yang sedang berbincang dengan salah seorang teman, mengambil minuman yang baru dibawa oleh pelayan. Hanni memperhatikan dengan seksama. Seperti biasa, wajah ganteng tanpa ekspresi si bos begitu menarik perhatian dan ada banyak pandangan berfokus ke sana.

Hanni tersenyum sendiri. Hanya dari jarak jauh dia berani menatap bosnya. Saat dekat, dia hanya berani menatap seperlunya saja untuk menjaga eye contact saat berbicara. Erlan mempunyai mata yang sangat tajam dengan alis yang indah. Pernah suatu waktu dia memberanikan diri menatapnya agak lebih lama. 

Dan apa yang terjadi? Dia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang yang menbuatnya menjadi nervous. Seakan merasa Erlan bisa membaca isi otak dan hatinya. Sejak saat itu, dia memutuskan untuk menatap seminimal mungkin. 

Erlan meminum seteguk, dua teguk sebelum menghabiskan segelas. Tidak beberapa lama, dia terdiam dengan pandangan fokus ke gelas. Dia mengambil ponsel di dalam kantong celana dan melihat ke arah pojokan ruangan. Dia tahu Hanni ada di sana.

Melihat panggilan masuk di ponsel, Hanni langsung memasang handsfree.

“Iya, Pak Erlan.”

“Ada yang tidak beres dengan minumannya. Bawa aku keluar dari sini!”

“Siap, pak.” 

Hanni langsung bangkit, berjalan cepat ke posisi Erlan. Sosoknya yang melangkah melewati tengah ruangan dengan wajah polos, berbeda jauh dengan penampilan cewek lain yang ada di bar. Hanni masih memakai pakaian kerja dengan rambut model bun dan berkacamata minus. Sangat sederhana tetapi daya pikatnya tetap mencuri perhatian teman-teman Erlan. Hanni tersenyum seperlunya, hanya ke sosok teman-teman Erlan yang dia kenal saja.

Begitu sosok Hanni mendekat, Erlan bangkit.

Sorry, aku balik duluan.”

“Lho, ada apa? Kita belum mengobrol banyak.” 

Evans ikutan bangkit dan melihat sosok Hanni, sang sekretaris yang selalu ada ke mana pun Erlan pergi.

Next time.”

“Oke.”

Hanni mengikuti Erlan yang berjalan di depannya. Begitu mereka keluar dari pintu bar, Erlan berhenti.

“Pegang lenganku, aku pusing sekali,” ucapnya tanpa berbalik. 

Hanni langsung melangkah ke samping Erlan dan menggandeng lengannya.

“Kita istirahat di kamar sebentar, saya akan menghubungi dokter Ricky.” 

Sambil berjalan Hanni menelepon ke manajer yang sedang bertugas.

“Tolong buka kamar 2001, bos perlu istirahat. Kami menuju ke sana dari bar. Urgent!”

"Siap, Hanni," jawab sang manajer yang mengenal Hanni.

“Mas Imam, cek posisi.” Hanni menelepon bodyguard Erlan.

"Seratus meter dari hotel," jawab suara agak serak dari seberang.

“Oke, segera ke kamar 2001. Bos perlu bantuan, urgent!” 

Imam yang sebelumnya dilarang Erlan untuk mengawal di bar, segera tancap gas. Untung saja posisi mereka tidak jauh dari hotel.

“Mas Ricky, bos perlu bantuan. Tolong bawa penawar untuk obat apa pun yang mungkin dicampur ke dalam minuman. Kamar 2001 Mars Hotel. Sekarang, urgent!” Kali ini Hanni menelepon dokter pribadi Erlan.

"Oke, Hanni. Segera meluncur," jawab Ricky yang segera membelokkan mobil menuju ke arah Mars Hotel.

Erlan merasakan tubuhnya yang mulai memanas dengan napas berangsur sesak. Dia berjalan mulai sempoyongan. Hanni menuntun Erlan memasuki lift dan menyenderkannya ke dinding.

“Sebentar lagi sampai, Pak Erlan,” ucap Hanni sambil berfokus menatap layar lift.

Erlan yang bersender di dinding dengan posisi di belakang Hanni, menatap sosok di depannya dengan penuh hasrat. Tiba-tiba dia memeluk yang membuat Hanni kaget sekali. Erlan memeluk dengan sangat erat sehingga dia bisa merasakan suhu tubuh dan nafasnya yang hangat dengan degup jantung yang berdetak kencang.

“Pak Erlan!” 

Hanni mencoba melawan tetapi Erlan memeluk lebih kuat lagi bahkan mulai mencium lehernya. Sepertinya dia mengetahui obat apa yang dimasukkan ke dalam minuman Erlan. Hanni berusaha setenang mungkin, mengendalikan degup jantung yang ikutan berdetak kencang. Dua tahun sudah dia menjadi sekretaris Erlan dan ini adalah kontak fisik intim pertama mereka. 

Hanni merogoh kantong blazer, mengeluarkan ponsel dan kembali menelepon Imam.

“Mas Imam, sudah sampai di mana?”

“Lima menit lagi, macet nih."

“Oke. Jangan matikan ponsel, bos mulai bereaksi. Usahakan cepat kemari, aku tidak sanggup melawan. Bos sepertinya dikasih obat perangsang.”

“Apa?”

“Cepatan! Aku perlu bantuan, jangan matikan ponsel!"

Suara lift berhenti. Hanni kembali memasang handsfree.

“Kita sudah sampai, pak.” 

Hanya ada satu president suite di lantai dua puluh dan Hanni melihat pintu kamar sudah terbuka. Erlan yang pikirannya antara sadar dan tidak, melepaskan pelukan dan dengan cepat menarik tangan Hanni keluar.

“Kami segera masuk ke kamar. Cepatan, Mas!”

“Bawa masuk bos langsung ke kamar, kunci dari luar. Menjauh!”

“Oke.”

Begitu sampai di luar pintu kamar, Erlan yang sudah tidak sanggup menahan hasrat, mendorong Hanni ke dinding koridor.

“Akh….!” 

Hanni berteriak kaget, kepalanya terasa nyeri dengan bahu sakit sekali. Dan sebelum dia sempat memprotes, Erlan sudah mencium bibirnya dengan kasar. 

Hanni mencoba melawan, tangannya memukul-mukul kedua lengan Erlan tetapi Erlan tidak peduli. Erlan malah semakin menciumnya dengan brutal. Hanni berusaha menggerakkan kaki tetapi sia-sia saja, dia sama sekali tidak sanggup melawan. Tubuh Erlan lebih tinggi dengan dada bidang, tubuh Hanni tenggelam di dalam pelukannya.

Imam yang mendengar teriakan Hanni, mulai merasa waswas.

“Tahan sebentar, kami sudah di lobi.”

Hanni tidak bisa merespon. Kali ini Erlan sudah berhasil membuka pertahanan bibirnya yang semula tertutup rapat. Hanni merasakan tubuhnya melemah bahkan dia bisa mendengar degup jantungnya yang begitu keras saat lidah Erlan menyentuh lidahnya dengan penuh hasrat. 

Erlan yang merasa tidak puas karena ciumannya yang tidak berbalas, mulai melingkarkan tangannya ke pinggang Hanni sehingga tubuh mereka menempel sangat erat. 

Hanni membuka mata yang semula terpejam karena menahan pusing akibat benturan. Dia melihat wajah Erlan dengan mata tertutup yang tampak sangat menawan dan seksi. Wajah seorang pria yang sedang di puncak hasrat. 

Seandainya Erlan dalam keadaan sadar, dia pasti dengan senang hati akan menyambut dan membalas dengan hasrat yang sama. Tetapi Erlan dalam pengaruh obat. Walaupun dia sudah lama diam-diam menyukainya, tetap saja ikut menikmati keadaan ini sangat tidak pantas dan hanya akan menyakiti diri sendiri.

Ciuman pertama yang jauh dari bayangan. Hanni mulai kesulitan bernafas sampai dia terbatuk-batuk yang membuat Erlan melepaskan ciuman. Erlan membuka mata yang semula terpejam. Dia menatap wajah di depannya dengan seksama. Pandangannya kabur, dia tidak bisa melihat dengan jelas. 

Hanni menarik napas lega. “Pak Erlan, ayo kita istirahat di dalam. Dokter Ricky sedang menuju kemari,” ucapnya dengan suara lemah.

Imam yang sudah berada di lantai bawah, segera berlari diikuti oleh dua bodyguard lainnya. Hanni menarik tangan Erlan dan membawanya ke dalam tetapi Erlan segera mengambil alih. Menarik tangan Hanni dan menyeretnya ke dalam kamar tidur. 

 

Bab 2 

Hanni yang mulai sigap langsung melawan dan berusaha melepaskan tangan Erlan, posisinya memungkinkan dia menendang kaki Erlan dan berlari ke arah sofa.

“Sorry, pak,” teriaknya setelah jarak mereka lumayan jauh. 

Erlan menatap dengan tajam dan segera berlari ke arah Hanni. Hanni berlari ke arah lain. Erlan yang hasratnya semakin memuncak, hanya bertindak sesuai insting. Dia merasakan tubuhnya harus segera mendapatkan seseorang untuk melampiaskan hasrat.

Hanni merasakan capek yang luar biasa dan kehilangan fokus, tubuhnya tersandung pojokan meja makan dan terjatuh ke lantai. Dahinya membentur kaki meja yang terbuat dari besi. Pandangannya menjadi kabur sehingga dia tidak bisa lagi terfokus memperhatikan Erlan yang sudah berada tepat di belakangnya.

Erlan menarik tangan Hanni dengan kasar yang membuat Hanni mengeluarkan air mata saking sakitnya. Lengannya terasa hampir copot dan dia seperti melayang-layang, hendak pingsan. Hanni berdiri dengan posisi yang hampir terjatuh kembali, untunglah pegangan Erlan erat sekali sehingga tubuhnya tidak jadi terjatuh.

"Pak Erlan,” ucapnya dengan lemah.

Erlan terdiam sesaat, pegangan tangannya mulai sedikit melemah. Hanni mengambil kesempatan itu untuk melepaskan diri tetapi Erlan dengan sigap menarik tangannya kembali. 

Blazer yang dipakainya sampai koyak di bagian ketiak. Erlan dengan kasar memeluk Hanni dan melepaskan blazernya. Hanni sudah tidak sanggup melawan, dalam keadaan sadar saja fisik Erlan begitu kuat, apalagi saat tidak sadarkan diri.

Erlan menatap nanar dengan penuh hasrat ke bagian dada Hanni. Tangannya menarik keras kemeja pink yang dikenakan Hanni sehingga beberapa kancing copot dan menampakkan bagian dada yang berbalut bra hitam. Erlan semakin menggila. Dia menarik kemeja, memasukkan tangannya ke dalam bra dan meremas payudara Hanni.

"Akh...!" 

Hanni yang masih pusing merasakan rangsangan yang begitu kuat, ini kali pertama payudaranya disentuh seorang pria.

“Cepat Mas Imam, kemejaku sudah koyak!” jeritnya sekeras yang dia bisa.

Tiba-tiba suara langkah orang berlari terdengar dari di luar, konsentrasi Erlan terpecah. Hanni segera mendorong tubuh Erlan dan dengan secepat kilat memegang bagian depan kemeja yang sudah tidak berkancing. 

Dia tidak mau Imam melihat bagian dadanya yang terbuka. Dia tidak mau siapa pun mengetahui kalau Erlan sempat meremas payudaranya. Itu akan sangat memalukan.

Hanni mengambil blazer yang tercampak di lantai, lalu memakainya. Sekarang keadaannya lebih nyaman, tidak ada bagian tubuh yang terekspos. Blazer hanya terkoyak di bagian ketiak tetapi ada kemeja di dalam yang menutupi tubuhnya

Sosok Imam dan dua bodyguard lainnya masuk ke dalam dan langsung memegang Erlan yang berusaha melawan. Mereka segera membawa Erlan ke dalam kamar tidur. Hanni masih terdiam mematung, dia sedang berusaha mengendalikan rasa syok.

“Kamu tidak apa-apa?” Imam keluar dari kamar.

“Tidak apa-apa, mas.” 

Dia menebak pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Wajah Hanni masih syok tetapi Hanni berusaha untuk tetap bersikap tenang.

“Halo,” sapaan dari pintu membuat perhatian mereka beralih ke sosok Ricky yang datang dengan mengenakan kaos dan celana jins, menenteng tas kulit hitam berisi peralatan medis.

“Bos di dalam.” 

Ricky menatap sosok Hanni yang pucat, sebelum masuk ke dalam. Hanni mengikutinya. Erlan terbaring dengan gelisah di atas tempat tidur. Sesekali dia menjerit minta dilepaskan tangan dan kakinya yang dipegang oleh bodyguard.

“Panas, panas, lepaskan aku! Aku haus!” teriaknya dengan mata memerah dan ekspresi marah. 

Imam mengambil segelas air dan langsung meminumkan ke Erlan yang kemudian tampak lebih tenang. Ricky meraba pergelangan tangan Erlan, memeriksa denyut nadi.

“Hanni, apa yang terjadi?” 

Hanni menatap Ricky sesaat, sebelum menundukkan kepalanya.

“Bos minum. Setelah habis segelas, bos bilang pusing dan minta dibawa keluar dari bar. Karena dia tidak sanggup berjalan lagi, aku membawa kemari. Aku tidak mau dia menjadi pusat perhatian semua orang. Aku tidak mau orang berpikir dia mabuk berat. Tapi di lift, dia mulai memelukku. Sepertinya dia dikasih obat perangsang, segelas minuman tidak akan mungkin membuatnya mabuk.” 

Hanni tentu saja tidak akan bercerita secara mendetail. Itu akan sangat memalukan mereka berdua nantinya dan dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia harus menghadapi Erlan bila Erlan tahu.

Ricky mengangguk, dia tidak akan menanyakan lebih detail. Dari wajah Hanni yang masih memucat, sudah pasti cerita yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Apalagi tangan Hanni memegang erat bagian depan blazernya seperti berusaha menutupi sesuatu dan ada memar yang cukup dalam di dahinya. Dia juga melihat bibir Hanni yang agak membengkak.  

“Oke.” 

Ricky mengamati Erlan sejenak yang masih berusaha untuk melepaskan diri. Tiga bodyguard dengan tubuh kekar, lumayan kewalahan dibuatnya. Akan sangat riskan memberikan suntikan. Ricky mengeluarkan beberapa obat dan meminta Imam mengangkat tubuh Erlan ke posisi duduk. 

Dia berusaha membuka mulut Erlan tetapi Erlan melawan dan tidak mau membuka mulut. Erlan malah menatap tajam ke seluruh ruangan sampai tatapannya berhenti di sosok Hanni yang juga menatapnya. Itu membuat Ricky mengetahui bagaimana cara tercepat membuat Erlan mau berkompromi untuk meminum obat.

"Hanni, sepertinya kamu yang harus membantu Erlan untuk minum obat."

"What! Bagaimana caranya?" 

Ricky tersenyum. "Kamu berpura-pura saja mau mencium dia. Saat dia membuka mulut, kamu masukkan obat dan Imam langsung kasih minum." 

Hanni melotot yang membuat Ricky dan yang lain, tertawa.

“Tapi aku tidak mau! Hari ini aku sudah cukup merasakan bagaimana gilanya pria yang..." Hanni seolah tersadar dan tidak meneruskan protesnya.

Please, kita tidak punya cara lain dan kita juga tidak mungkin membiarkan dia tersiksa lebih lama lagi. Sekarang ini yang dia butuhkan adalah wanita! Instingnya hanya akan bereaksi kepada wanita dan kamu satu-satunya wanita di sini. Atau, apa kamu mau gue memilih acak wanita yang ada di hotel ini untuk memberinya obat?" 

Hanni terdiam, opsi dari Ricky akan membuat keadaan lebih rumit lagi dan bisa-bisa berujung kepada skandal. Erlan dan keluarganya bukanlah keluarga biasa. Dan dia, dia juga tidak mau Erlan menderita lebih lama lagi.

“Sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Oke, baik! Aku akan melakukannya dengan cepat dan tepat." 

Ricky dan para bodyguard tersenyum lega. Wajah pasrah Hanni tampak terpaksa banget. Hanni mengambil dua butir pil yang sudah Ricky masukkan ke dalam plastik kecil. Dia segera beranjak duduk di samping Erlan sambil menatapnya dengan pandangan bercampur aduk. 

Erlan langsung bereaksi ingin lebih mendekat ke bau yang dia cari. Hanni menarik napas panjang untuk menenangkan degup jantung yang kembali berdetak cepat. Dia harus melakukan ini dengan cepat dan tepat.

Hanni mendekatkan wajahnya ke wajah Erlan dengan maksud berpura-pura hendak mencium, tetapi Erlan terlanjur cepat merespon. Bibirnya dengan cepat menyentuh bibir Hanni. Hanni yang kaget tanpa sengaja membuka bibirnya dan lidah Erlan dengan sukses menggapai lidahnya. 

Semua mata terbelalak, kaget. Ricky spontan tertawa keras, bodyguard yang memegang tangan Erlan langsung melepaskan Erlan dari Hanni.

“Sekarang bisa kasih obatnya,” pandu Ricky.

Hanni mengangguk. Wajahnya kembali mendekati wajah Erlan. Erlan langsung menyambut dengan membuka sedikit mulutnya. Hanni yang sigap langsung memasukkan sebutir pil. Imam memberi Erlan minum,  mungkin rasa pahit dari pil yang membuat Erlan segera mau minum.

Mereka menunggu sesaat, pil pertama bereaksi dengan cepat. Erlan yang tampak agak melemah menatap Hanni dengan mata yang masih bergairah tetapi pasrah. Mungkin hasratnya masih begitu besar tetapi tenaganya sudah melemah.

Hanni menyentuh lembut bibir Erlan dan memasukkan pil kedua. Kali ini tanpa perlu berpura-pura hendak mencium. Erlan sangat penurut, dia seperti menikmati sentuhan tangan Hanni pada bibirnya. Hanya beberapa menit setelah itu, mata Erlan tertutup. Dia tertidur lelap.

 

Bab 3

Jam menunjukkan pukul dua pagi saat mereka tiba di kediaman Erlan. Imam dan tim langsung membawa Erlan ke kamar tidur di lantai dua. Sementara Hanni menunggu di luar kamar.

“Kamu istirahat, kunci pintu. Emir akan menjaga di atas, kami bersiaga di mes.”

“Oke, mas.” 

Hanni turun dari tangga menuju kamar paling ujung di lantai bawah, tempat biasanya dia akan bermalam bila selesai bekerja di atas pukul sepuluh malam. Sementara Imam cs tinggal di mes, di belakang kediaman Erlan.

Hanni menatap sosoknya di cermin. Ada sedikit benjolan dan bagian yang memerah di dahi sebelah kiri. Ricky sudah memberikan salep khusus tetapi perihnya masih sangat terasa. Bibirnya, oh, tidak! Bibirnya menjadi sangat merah dan terasa agak membesar setelah dicium dengan brutal. Di leher bagian bawah, ada bagian yang memerah karena Erlan menarik kerah kemejanya dengan kasar. Bahkan, payudaranya masih terasa agak nyeri.

Jarinya yang menyentuh bibir Erlan, masih bisa merasakan betapa lembut bibirnya. Terus terang, dia sangat menikmati sentuhan itu yang mungkin akan menjadi kenangan terakhir dia bisa menyentuh Erlan. 

Malam itu Hanni tidak bisa tertidur nyenyak. Bayangan kejadian tadi terus saja mengganggunya. Yang lebih parah, dia malah bisa-bisanya bermimpi. Dia membalas ciuman Erlan dan mereka terlibat dalam sebuah hubungan intim yang begitu menggairahkan.

Hanni terbangun dari mimpi erotis karena merasa tidak nyaman. Bagian intimnya yang basah membuat dia syok berat. Di usianya yang hampir dua puluh tujuh tahun, ini kali pertama dia bermimpi basah. Bagaimana cara dia menghadapi Erlan besok pagi? Apa dia bisa bersikap biasa saja seolah tidak ada yang terjadi?

***

Erlan terbangun keesokan paginya. Saat matanya terbuka, dia merasakan sangat pusing. Erlan melirik jam, ternyata sudah pukul sembilan pagi. Dia berusaha bangkit secara perlahan dan menuju ke kamar mandi. Saat melihat sosoknya di cermin, dia tertegun setelah menyadari dia masih memakai pakaian kemarin. Bukan kebiasaannya tidur tanpa berganti pakaian kecuali sesuatu telah terjadi.

Dia ingat betul, kemarin malam dia ke bar ditemani Hanni. Setelah menghabiskan segelas minuman, dia merasa sangat pusing dan menelepon Hanni untuk membawanya keluar ruangan. Bahkan dia meminta Hanni untuk memegang lengannya karena khawatir terjatuh. Setelah itu, dia tidak bisa mengingat apa pun.

Tidak ada Hanni di ruangan bawah. Mungkin Hanni tidak menginap di sini semalam. Mungkin semalam mereka kembali sebelum pukul sepuluh jadi Hanni pasti pulang ke rumahnya. Kalau Hanni menginap di sini, pasti Hanni akan menunggunya terbangun dan berangkat bareng ke kantor. Sudah lama Erlan juga memberdayakan Hanni sebagai supir pribadi selain sebagai sekretaris, sejak Hanni mulai bisa menyetir.

“Selamat pagi,” ucap Inah saat Erlan muncul di ruang makan.

“Pagi, bik. Aku lapar sekali. Bibik masak apa?”

“Non Hanni tadi pagi masak nasi goreng.” 

Erlan melihat ke nasi goreng di atas meja. “Oh, Hanni menginap di sini?”

“Iya, tapi pukul tujuh tadi sudah berangkat ke kantor.”

“Oh...” Di luar kebiasaan Hanni. Erlan mulai mencium ada yang tidak beres.

“Mau nasi goreng atau roti?”

“Nasi goreng saja,” jawabnya.

***

Tiba di kantor, Erlan langsung menuju ke ruangannya. Dia melirik sekilas ke ruang sekretariat. Hanni yang terfokus membaca dokumen, tidak menyadari kehadirannya. Erlan duduk di kursi sambil menyenderkan kepala. 

Ada banyak hal yang harus dikerjakan hari ini. Dia sudah melihat selembar jadwal yang diletakkan Hanni di atas meja. Masih ada dua puluh menit lagi sebelum rapat pertama dimulai. Dia ingin mengecek beberapa hal tentang kejadian semalam.

Yang pertama dihubunginya adalah Ricky karena bila dia sakit, pasti Hanni akan menghubungi Ricky.

Yes! Apa kabar Mr. Boss?” jawab Ricky dengan suara agak menggoda.

“Aku kenapa semalam?” tanya Erlan to the point.

Ada obat tidur di minuman yang lu minum. Untung Hanni bertindak cepat, Imam dan gue bisa langsung membawa lu ke rumah.” 

Tentu saja Ricky, Hanni, Imam cs sudah berjanji untuk menceritakan skenario yang sama.

“Hm, tidak ada kejadian lain?”

Of course, not! Emangnya lu mau kejadian seperti apa?

“Mungkin saja aku membuka pakaianku dan menari-nari…?”

Ricky tertawa keras. "No, man! Itu hanya terjadi di California saat kita masih ABG. Lu tidak mabuk! Lu cuma pusing karena kebanyakan obat tidur.” 

Erlan ikut tertawa, lega rasanya saat mengetahui dia tidak berbuat hal-hal yang cukup memalukan di usianya yang sudah tiga puluh tahun.

“Oke,” ucap Erlan dengan langsung memutuskan sambungan telepon.

Hei,” protes Ricky di seberang. 

Ricky merasa beruntung sekali bisa menyaksikan adegan semalam. Erlan yang sangat tertutup soal wanita setelah pernah gagal menikah, akhirnya terlepas kontrol juga. Yah, walaupun dalam keadaan tidak sadar. 

Ricky sangat yakin, walaupun dia tidak memberitahukan kejadian yang sebenarnya karena telah berjanji kepada Hanni, Erlan pasti mempunyai cara sendiri untuk mengetahui apa yang terjadi.

Pengecekan selanjutnya, Imam.

Iya, bos,” sambut Imam begitu telepon masuk.

“Ada kejadian apa semalam?” 

Imam tersenyum ke arah teman-temannya.

Dokter Ricky bilang bos tidak sadarkan diri karena minuman yang bos minum sudah dicampur dengan obat tidur dalam jumlah banyak. Hanni menelepon saya, kami membawa bos pulang.”

“Oke, sip.” Erlan memutus sambungan telepon. 

Imam menarik nafas panjang.

“Hanni, come in.” 

Rapat akan dimulai sepuluh menit lagi dan Hanni memang berencana untuk menemui Erlan.

“Siap, bos,” ucapnya sambil melangkah menuju ruangan Erlan. 

Sepanjang pagi tadi, dia sudah menyiapkan mental dengan sangat baik untuk bersikap biasa saja. Bukankah selama ini dia sudah sangat terlatih menyembunyikan rasanya?

Erlan menatap Hanni dan seperti biasa, Hanni bahkan banyak karyawan di kantor jarang sekali yang berani menatapnya dengan pandangan yang sama.

“Iya, Pak Erlan.” 

Fokus tatapan Erlan berhenti pada dahi sebelah kiri yang tampak berwarna keunguan walaupun seperti sengaja disamarkan.

“Dahi kamu kenapa?” 

Hanni menatapnya, hanya sesaat lalu kembali menunduk. “Semalam saat saya menuntun bapak ke lift, dahi saya kejedot pintu lift.”

Hanni sudah terlebih dahulu mendapat info dari Ricky. Erlan mengernyitkan alis, alasan yang sukar dipercaya. Bagaimana bisa dahi Hanni yang kejedot pintu lift sementara dia yang dituntun. Seharusnya dahinya yang kemungkinan besar bisa kejedot pintu lift.

“Memangnya ada kejadian apa semalam?” 

Hanni tersenyum, dia harus bersikap setenang mungkin. Jangan sampai Erlan menangkap kegugupan yang mulai menyerangnya.

“Bapak tidak sadarkan diri. Dokter Ricky bilang ada obat tidur di dalam minuman yang bapak minum. Saya menelepon dokter Ricky dan Mas Imam,” jelas Hanni dengan sangat yakin.

“Oke.”

“Kita bisa ke ruang rapat sekarang? Lima menit lagi.” Hanni segera mengalihkan pembicaraan.

“Tunggu sebentar di luar.”

“Siap, pak.” 

Hanni langsung keluar. Dia menarik napas lega karena bisa bersikap sangat biasa. Tidak tampak ada kecurigaan di wajah Erlan. Begitu Hanni menutup pintu, Erlan kembali menelepon.

“Mars Hotel semalam antara pukul delapan sampai dini hari. Cek kamera bar dan koridor bar menuju ke lift. Cek semua rekaman yang ada aku dan Hanni. Cek recording ponsel Hanni di jam yang sama.” 

Erlan sangat mengetahui kebiasaan Hanni yang suka merekam pembicaraan melalui ponsel. Kebiasaan itu mulai dilakukan Hanni saat mereka sempat cekcok karena dia yang lupa telah salah memberi instruksi. Jadi Hanni memakai rekaman pembicaraan di ponsel sebagai referensi untuk menyelamatkan diri dari tegurannya.

Okay, sir.”

“Hasilnya harus sudah terkirim ke email dalam tiga puluh menit. Delete semua rekaman. Top secret!”

Top secret. Alright, sir.”

 

Bab 4 

Ruangan rapat, semua sudah berkumpul saat Erlan dan Hanni memasuki ruangan.

“Selamat siang semuanya.”

“Selamat siang, Pak Erlan,” jawab para direktur hampir serentak.

Erlan langsung duduk, diikuti Hanni yang duduk di sebelahnya. Erlan adalah CEO dari Mars Group yang mempunyai beberapa perusahaan yang bergerak di bidang real estat, importir mobil mewah, rumah sakit, perkebunan dan hotel. Rapat hari ini khusus dengan perwakilan dari perusahaan real estat yang melaporkan kemajuan pembelian tanah dan proses tender untuk pembangunan perumahan mewah di daerah puncak.

Sudah hampir tiga tahun Erlan kembali dari Amerika untuk mengambil alih perusahaan keluarga. Rahmad Mahardika, papa Erlan, memilih untuk pensiun dini dan menikmati masa tua setelah dari usia muda terlibat dalam membangun bisnis keluarga. 

Erlan mempunyai dua adik perempuan tetapi keduanya lebih memilih berkarir di dunia hiburan. Meira, adalah salah satu penyanyi top tanah air. Sedangkan Lilian yang paling kecil, adalah artis film remaja yang karirnya sedang melejit. Sosok keduanya yang cantik plus berpendidikan tinggi dan sangat sopan, begitu dipuja.

Mama Erlan, Shopia, adalah sosialita yang terkenal dengan yayasan kankernya yang sudah lama membantu pasien yang kurang mampu, terutama anak-anak. Keluarga Erlan memberikan dukungan khusus kepada rumah sakit pemerintah, selain mempunyai rumah sakit pribadi.

“Terimakasih, good job.” 

Para direktur tersenyum bahagia mendengar pujian Erlan. Tentu saja si bos yang baik hati akan memberikan bonus yang besar di akhir bulan ini. Erlan terkenal akan sifatnya yang sangat mengapresiasi hasil kerja karyawan. Sejak Erlan mengambil alih perusaaan, semua yang terlibat di dalamnya merasakan bonus yang lebih banyak karena perkembangan perusahaan yang lebih cepat dengan keuntungan yang sangat besar.

***

Begitu Erlan kembali ke ruang kerja, ada telepon masuk.

Yes.”

Sudah dikirim, sir. Semua rekaman sudah dihapus, mission completed. Enjoy the show.” Suara di seberang sedikit menggoda. 

Erlan langsung memutuskan sambungan ponsel dan mengecek email. Benar, ada kiriman email dari Bima, IT specialist. Erlan mengeklik berkas dan mulai melihat rekaman video.

Dia dan Hanni yang berjalan di belakangnya, memasuki bar. Hanni segera menuju ke pojok ruangan, sementara dia menuju ke bagian tengah, bergabung dengan teman-temannya. Tidak beberapa lama, seorang pelayan datang membawakan minuman dengan senyum agak mencurigakan. Dia mengambil dan meminumnya. Sosoknya tampak terdiam sesaat dengan terfokus menatap ke dalam gelas sebelum merogoh kantong celana untuk mengambil ponsel. Dia menelepon Hanni. 

Bima menyaring suara percakapan ponsel dengan resolusi tinggi, sehingga Erlan dapat dengan jelas mendengar suara saat dia menelepon Hanni.

“Iya, Pak Erlan.”

“Ada yang tidak beres dengan minumannya. Bawa aku keluar dari sini!”

“Siap, pak.” Sosok Hanni muncul.

Sorry, aku balik duluan.” Evans temannya, ikutan bangkit dari sofa.

Lho, ada apa? Kita belum mengobrol banyak.” 

Next time.”

Oke.”

Sosoknya dan Hanni berjalan keluar dari pintu bar.

“Pegang lenganku, aku pusing sekali.” Hanni melangkah ke samping dan menggandeng lengannya.

“Kita istirahat di kamar sebentar, saya akan menghubungi dokter Ricky.”

Hanni lalu menelepon seseorang untuk membuka kamar 2001, menelepon Imam dan terakhir menelepon Ricky.

Erlan tersenyum puas, tindakan Hanni yang sigap selalu membuatnya tenang dalam keadaan apa pun. Hanni sudah mendapat pelatihan dalam urusan emergency bahkan mendapat latihan private bela diri saat terpilih menjadi sekretaris utamanya.

Mereka memasuki lift. Dia tampak sempoyongan dan Hanni menyenderkannya ke dinding. Dia tiba-tiba memeluk Hanni dari belakang. Hanni mencoba melawan tetapi dia malah memeluk lebih erat lagi. Bahkan dia mencium leher Hanni. Wajah Hanni tampak sangat kaget tetapi dalam sekejap dia berangsur tenang.

Erlan menyeka keringat dingin yang mulai muncul di dahi. Sungguh, apa yang dilihatnya sangat di luar dugaan. Hanni juga telah berbohong, dia tidak melihat ada kejadian dahi Hanni yang kejedot pintu lift. Jelas sekali kalau itu bukan efek dari obat tidur. Seseorang telah memasukkan obat perangsang ke dalam minumannya. Menyadari hal itu, Erlan menjadi geram sendiri. Dia akan menyelidiki masalah ini sampai tuntas.

Hanni menelepon Imam dan memberitahukan kalau dia sudah mulai bereaksi dan meminta Imam untuk tidak mematikan ponsel.

Kita sudah sampai, pak.” 

Dia melepaskan pelukan dan dengan cepat menarik tangan Hanni keluar dari lift. Hanni memberi laporan kepada Imam dan Imam menyuruh Hanni untuk membawanya masuk ke kamar dan menguncinya.

Sosoknya tiba-tiba mendorong Hanni ke dinding koridor kamar.

Akh….!

Hanni berteriak menahan sakit. Dia mencium bibir Hanni. Hanni melawan dengan memukul-mukul lengannya tetapi dia yang jauh lebih tinggi dan besar, membuat perlawanan Hanni sia-sia saja. Aksinya semakin brutal, dia melumat bibir Hanni dengan penuh hasrat. Dia memeluk erat tubuh langsing Hanni tanpa menghentikan ciuman. Ciuman baru terhenti saat Hanni terbatuk-batuk karena kesulitan bernapas. 

Seingatnya, belum pernah dia mencium seorang wanita sedahsyat itu. Tatapan Hanni begitu tenang, seolah apa yang telah dia lakukan tidak berarti apa-apa.

Hanni menarik tangannya memasuki President Suite Room, kamar yang biasa dia gunakan bila ingin beristirahat tanpa pulang ke rumah. Tetapi dia malah memegang kendali dengan menarik tangan Hanni untuk masuk ke dalam. 

Dia sangat nervous tentang apa yang telah terjadi di dalam. Rekaman video terhenti karena tidak ada kamera di bagian dalam kamar. Percakapan di ponsel Hanni menjadi panduan apa yang terjadi selanjutnya.

Sorry, pak.” Napas Hanni terengah-engah.

Pak Erlan.

"Akh...!"

Suara itu seperti... Erlan sampai harus menutup mulut. Dia tidak sanggup berkompromi dengan bayangan yang muncul di pikirannya sendiri.

Cepat Mas Imam, kemejaku sudah koyak!” 

Erlan sedikit lega, ternyata tidak seperti yang ada dalam bayangannya.

Sosok Imam dan kedua bodyguard muncul di layar. Mereka berlari kencang begitu keluar dari lift dan langsung masuk ke kamar. 

Gambar di kamera, hilang kembali.

“Kamu tidak apa-apa?”

"Tidak apa-apa, mas.”

Erlan menarik napas panjang penuh kelegaan. Kemunculan Imam membuat dia mengetahui kalau dia belum sempat melakukan hal-hal yang terlarang kepada Hanni. Tetapi suara tadi masih membuat dia penasaran dan mengapa dahi Hanni bisa terluka.

Sosok Ricky muncul di kamera. Setelah itu tidak terdengar apa-apa lagi. Mungkin karena Hanni sudah merasa aman, dia mematikan sambungan ponsel. 

Entah apa yang terjadi di dalam kamar. Erlan hanya bisa melihat sosoknya yang kemudian diangkat keluar menuju lift. Dahi Hanni tampak sangat merah dan Hanni memegang erat bagian depan blazer. Hanni menatap sosoknya yang tertidur pulas, tatapan yang begitu lembut. Tatapan yang biasanya diberikan seseorang kepada orang yang dicintai.

Erlan mengambil rokok dari laci dan menuju ruangan khusus untuk merokok. Pikirannya menerawang jauh. Suara jeritan Hanni masih membuatnya penasaran. Dan juga tadi pagi saat terbangun, selain pusing, dia juga merasa sangat puas seperti puasnya seorang pria yang telah melampiaskan hasrat.

***

“Pak Erlan, mau saya order apa untuk lunch?” 

Tiba-tiba suara Hanni terdengar. Erlan melihat ke pintu, dia telah mencium bibir itu dengan kasar dan memeluknya dengan erat tetapi mengapa sikap Hanni sangat biasa?

“Apa pun yang kamu order, it’s okay.”

“Oke, Pak Erlan.”

Dua puluh menit kemudian, Hanni kembali masuk dan langsung menuju ke ruang makan yang dilengkapi dengan peralatan masak sederhana. Hanni menuang soto daging ke dalam mangkok, memindahkan nasi ke piring, menuang segelas air hangat dan terakhir menuju ke kulkas. Dia mengeluarkan sebutir apel, mengupas kulitnya lalu memotong dalam ukuran kecil dan menatanya di atas meja.

“Pak Erlan, lunch sudah ready.”

“Oke, kamu tidak makan di sini?” 

Hanni terdiam sesaat, lalu tersenyum. Bagaimana mungkin setelah kejadian semalam, dia sanggup makan hanya berdua dengan Erlan? Kejadian semalam masih sangat menganggu konsentrasinya sepanjang hari ini dan jantungnya masih berdebar kencang setiap berdekatan dengan Erlan. Efek pelukan dan ciuman, sungguh luar biasa.

“Saya sudah janji makan di cafe depan. Yang lain sudah menunggu.”

“Oke.” 

Hanni langsung keluar. Erlan menatap sosoknya yang menghilang, sebelum masuk ke ruang makan.

 

Bab 5

“Lu kenapa? Dari pagi tadi diam terus. Kena semprot si bos lagi?” selidik Rekha begitu mereka menunggu orderan makanan datang.

“Nggak sih, semalam aku susah tidur.”

“Lu menginap di rumah si bos lagi?" 

Hanni mengangguk.

“Terus si bos kalau sudah sampai di rumah, dia ngapain aja?” 

Hanni mendelik. Wenny yang penasaran, tertawa.

“Mana aku tahu! Aku juga sudah terlalu teler."

Rekha, Wenny, Sally dan Liana tertawa sambil menggeleng-geleng kepala. Itulah Hanni, hanya terfokus di urusan pekerjaan. Urusan lain sepanjang Erlan tidak menyuruhnya, dia tidak akan mau tahu. Karena sikap itulah yang membuat Hanni bisa bertahan dua tahun menjadi sekretaris utama Erlan.

Hubungan antar sekretaris bisa dibilang lumayan harmonis, walaupun terkadang ada terselip kecemburuan terutama terhadap Hanni. Sebelumnya di tahun pertama Erlan mengambil alih manajemen Mars, dia sempat bergonta-ganti sekretaris beberapa kali. Yang pasti, semua sekretaris yang diganti, dipecat! 

Hanni sudah hampir empat tahun bekerja di sekretariat Mars, saat Rahmad Mahardika masih memimpin perusahaan. Dia memulai karirnya sebagai karyawan bagian administrasi sebelum dipindah ke sekretariat.

***

“Pak Erlan, lima belas menit lagi ada meeting dengan Mbak Starla dari Auto.” Hanni mengingatkan Erlan melalui telepon.

Oke. Tolong info ke Starla, waktunya dipersingkat tiga puluh menit saja, jadi harus to the point. Setelah itu, bawa kemari semua dokumen yang perlu ditandatangani.”

“Baik, pak.”

Tidak beberapa lama, Starla, direktur Mars Auto yang khusus menangani impor mobil mewah, muncul di sekretariat. Sosok cantiknya dengan postur tinggi, mengundang perhatian Hanni dan sekretaris lainnya. Starla hari ini memang tampil cantik sekali. 

Rambut panjangnya yang asli berwarna hitam pekat sudah dicat cokelat. Kemeja putih membalut tubuhnya dengan ketat, terlihat seksi apalagi dengan rok mini di atas lutut. Kaki jenjangnya yang tanpa stoking, bisa membuat pria tidak berkedip.

“Halo, Mbak Starla,” sapa Hanni ramah. 

Starla tersenyum sambil merapikan rambut indahnya.

“Bos bilang, waktu meeting dipersingkat menjadi tiga puluh menit saja. Bos sibuk banget, besok pagi harus ke Singapura.” 

Senyum di wajah Starla langsung berubah. “Apa yang bisa gue jelasin dalam waktu tiga puluh menit?” tanyanya pasrah.

Starla melirik jam, masih ada waktu lima menit lagi. Dia harus menunggu lima menit lagi untuk bisa masuk ke ruangan Erlan. Erlan sangat tepat waktu. Pernah sebelumnya dia masuk ke ruangan Erlan sepuluh menit lebih awal dari jadwal meeting dan Erlan menyuruhnya keluar kembali.

Padahal untuk meeting kali ini, dia sudah mempersiapkan diri dengan sangat baik, termasuk melakukan full body spa untuk bisa tampil sesempurna mungkin di hadapan Erlan. Dia berharap bisa sedikit saja mencuri perhatiannya. 

“Pak Erlan, Mbak Starla sudah ada di sini.”

“Oke, suruh masuk.” 

Starla mendengar suara Erlan yang selalu bisa membuat jantungnya berdebar kencang. Dia mengenal Erlan semasa kuliah di Amerika. Hubungan mereka sama sekali tidak dekat, hanya pernah satu dua kali bertemu, itu pun tidak saling menyapa. Saat Erlan kembali ke Jakarta, Starla yang masih memendam rasa suka, mengajukan lamaran kerja ke Mars Auto.

“Halo, selamat sore.”

“Sore,” balas Erlan sambil melirik sekilas, sebelum kembali terfokus ke dokumen di tangannya. 

Kekecewaan Starla semakin bertambah. Selalu begini di setiap meeting, tidak pernah Erlan terfokus menatapnya.

“Apa kabar, Pak Erlan?” Starla mencoba mencairkan suasana kaku.

To the point, please! Waktuku hanya tiga puluh menit.” 

Bukankah itu sadis sekali? Bahkan Erlan berbicara tanpa melihat ke arahnya.

“Mars Auto sudah memenangkan kontrak dengan Ferrari untuk sepuluh unit Ferrari LaFerrari. Awal bulan depan, proses pengiriman dimulai. Kontrak dengan McLaren untuk sepuluh unit McLaren 570S masih menunggu jadwal pengiriman. Sementara...” 

Erlan mendengarkan tanpa menyela, dengan pandangan tetap ke dokumen di tangan. Dia mengetahui Starla tidak pernah lepas menatapnya. Starla berhenti berbicara.

“Sudah selesai?” Erlan kembali meliriknya sesaat.

“Sudah, pak. Awal bulan depan akan ada launching kedatangan Ferrari, kami berharap Pak Erlan bisa hadir.”

“Randy yang akan hadir. Oke, terima kasih laporannya. Sampai jumpa.” 

Erlan menyuruhnya keluar dengan cara halus. See! Sia-sia saja full body spa dengan berpenampilan all out. Erlan hanya meliriknya dua kali, saat masuk dan saat selesai melapor. Starla pun keluar dengan wajah sangat kecewa dan tidak bersemangat.                   

“Mbak Starla, mau minum teh dulu, sebelum balik?” tawar Hanni begitu melihat ekspresi Starla yang muram.

“Tidak usah, gue buru-buru. Thank you.” 

Starla melangkah cepat keluar ruangan. Hanni dan yang lain saling melirik, lalu tersenyum penuh arti. Mereka bisa menebak apa yang telah terjadi. Banyak sekali direktur bahkan rekan bisnis wanita yang berekspresi sama setiap keluar dari ruangan Erlan. Ekspresi kecewa saat harapan begitu besar dari kenyataan. Si bos memang terlalu!

***

“Hanni, siapkan mobil.” 

Sosok Erlan muncul di ruang sekretariat. Hanni yang masih menatap layar laptop, melirik sekilas.

“Siap, pak.” 

Hanni membereskan beberapa dokumen, mematikan layar laptop, lalu menyusul Erlan yang sudah duluan keluar.

Erlan sudah menunggu di depan kantor, tidak beberapa lama Range Rover yang dikendarai Hanni menghampirinya. Erlan langsung membuka pintu depan dan duduk di kursi samping. Di belakang mereka, Range Rover lainnya mengikuti.

“Langsung pulang ke rumah?” 

Erlan mengangguk. “Nanti packing pakaianku. Setelah itu, kamu bisa istirahat. Besok pagi antar aku ke bandara.”

"Baik, pak."

Erlan memejamkan mata. Hari ini pikirannya capek sekali. Selain syok dengan rekaman yang dikirim Bima, banyak sekali dokumen yang harus ditandatangani. 

Sore tadi si biang kerok yang memasukkan pil perangsang ke dalam minumannya sudah ditangkap dan dalam proses interogasi oleh pihak kepolisian. Pelayan bar yang membawakannya minuman! Seharusnya dia sudah curiga dengan senyum sang pelayan.

***

Setelah mandi, Hanni naik ke lantai dua, ke kamar tidur Erlan. Dia mengetuk pintu beberapa kali, sebelum terdengar suara dari dalam.

Come in.” 

Hanni membuka pintu, ada Erlan yang sedang mengeringkan rambut ikalnya dengan handuk. Aroma lemon memenuhi ruangan, wangi dari shower gel favorit Erlan.  Sosoknya tampak santai dengan hanya memakai kaos putih dan celana pendek. Hanni berdiri mematung setelah membuka pintu.

“Mau packing pakaian, pak.”

“Oke.” 

Erlan langsung melangkah keluar menuju balkon. Seperti biasa saat Hanni berada di dalam kamar tidurnya, dia pasti akan keluar ke ruangan lain. Walaupun sudah dua tahun Hanni bersamanya tetapi sering sekali Hanni terlihat sangat segan. Apalagi dengan adanya kejadian kemarin, rasa segannya pasti semakin menjadi-jadi.

Setelah Erlan berada di balkon, baru Hanni melangkah masuk dan menuju ke ruang ganti. Erlan itu tipe bos yang suka terima beres. Sepanjang dia bisa memberdayakan Hanni, dia akan menyuruh Hanni melakukan apa saja, bahkan di luar pekerjaan kantor. 

Di awal menjadi sekretaris utama, Hanni suka memprotes tetapi Erlan membayarnya dengan sangat mahal. Gajinya setara dengan gaji level manajer di Mars, belum lagi banyak bonus yang diberikan.

Hanni melipat dua setelan jas lengkap dengan dasi, satu kemeja cadangan, tiga baju kaus, satu celana santai, dua pasang kaus kaki, satu celana pendek dan enam bokser. Yang terakhir, selalu bisa membuat wajahnya memerah. Tetapi ya sudahlah, toh ini bukan kali pertama dia mengemas pakaian dalam si bos. 

Dulu sekali, saat Erlan pertama kali menyuruh packing, dia tidak berani menyentuh bokser. Dia berpikir itu adalah perlengkapan yang sangat pribadi, jadi Erlan pasti mengetahui kalau dia tidak akan mungkin memasukkan bokser ke koper. Apa yang terjadi kemudian? 

Pukul tiga pagi Erlan meneleponnya dengan marah-marah setelah membuka koper dan tidak menemukan satu pun bokser. Itu kali pertama dia mendapat complaint panjang. Bahkan sampai Erlan kembali dari Amerika, dia masih harus mendengar ceramah yang tidak berujung.

 

Bab 6

Suasana di meja makan, hening. Erlan menyantap sarapan pagi sendirian.

“Selamat pagi,” sapa Hanni begitu masuk ke ruang makan. 

Erlan melirik sekilas. Miss Secretary, penampilannya hari ini tampak sangat santai, mentang-mentang akan ditinggal. Rambut sebahu yang biasa dikonde dengan poni menutupi dahi, hari ini dibiarkan lepas dengan poni ke samping dan ujung rambut yang ditata bergelombang. Pakaiannya juga sangat sederhana, hanya memakai kemeja putih lengan panjang yang ujungnya dilipat dan rok kembang selutut berwarna mocca.

“Pagi, Non Hanni.” 

Bik Inah menuangkan segelas teh hangat untuknya. Karena Erlan hanya diam, Hanni juga diam. Erlan memang jarang berbicara, kalau berbicara pun, selalu yang perlu-perlu saja.

Sesampainya di bandara, Randy, Deputy CEO, sudah menunggu mereka di pintu masuk terminal keberangkatan internasional.

Honey bunny, apa kabar?”

“Baik, Mas Randy,” jawab Hanni yang berjalan di depan Erlan. 

Hanni melirik ke jam tangannya. “Pak Erlan sudah waktunya untuk masuk, saya kembali ke kantor.” 

Hanni menyerahkan paspor dan tiket. Erlan tampak berpikir sambil menatap paspor di tangannya.

“Kamu bawa paspor?” 

Hanni mendelik. Randy tertawa melihat reaksinya.

“Paspor saya, untuk apa?”

“Paspor kamu ada di mobil?” tanya Erlan lagi. 

Hanni mengangguk, dia memang terbiasa membawa dokumen penting di dalam tas kerja. Erlan melambaikan tangan ke arah Imam cs yang berada beberapa meter dari posisi mereka. 

Imam segera menghampiri. “Iya, bos.”

“Ke mobil, ambil tas kerja Hanni.” 

Erlan mengambil kunci mobil dari tangan Hanni dan menyerahkan ke Imam. Imam segera berlalu ke tempat parkir.

“Pak Erlan.”

“Kamu ikut ke Singapura!”

“Asyik! Gue jadi nggak boring.” 

Randy tertawa senang. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana bosannya harus terus bersama Erlan selama tiga hari. Erlan jarang sekali berbicara, sementara dia adalah tipe yang suka mengobrol dan bercanda.

“Tapi saya tidak bawa pakaian. Tas pakaian di mobil sudah saya keluarkan,” protes Hanni agak sedikit tidak senang.

Please, dia sudah merencanakan banyak hal untuk tiga hari ke depan. Tanpa Erlan, hidupnya akan jauh lebih santai dan berwarna.

Miss Secretary, di Singapura juga banyak yang menjual pakaian. Nanti tinggal potong gaji.” 

Randy tertawa, Hanni merengut sementara wajah Erlan datar tanpa ekspresi.

“Bapak yang mengajak saya ke Singapura tanpa pemberitahuan, masa gaji saya yang dipotong?" 

Erlan melirik Randy yang masih tertawa. “Randy yang akan membayar!”

“Loh, kok jadi gue?”

“Karena kamu berisik.” 

Randy tertawa lagi. Imam muncul dengan membawa tas kerja Hanni, lalu mereka masuk ke dalam.

***

Pukul sembilan pagi waktu Singapura saat mereka mendarat. Cuaca sangat cerah. Setelah Hanni selesai mengurus bagasi Erlan dan Randy, mereka keluar dari terminal kedatangan. Mobil jemputan yang dipesan dari hotel, sudah menunggu.

Marina Bay Sands tempat mereka menginap berjarak sekitar dua puluh menit dari Changi Airport. Semua meeting dengan perusahaan partner Mars Group akan dilangsungkan di sini. Jadwal sangat padat, meeting pertama bahkan akan dimulai pukul sebelas, tidak ada banyak waktu untuk beristirahat. 

Mereka menginap di Straits Suite lantai lima puluh yang mempunyai dua kamar tidur dengan fasilitas lengkap. Satu kamar dengan king size bed dan satu kamar dengan dua queen beds.

“Gue rebahan sebentar, masih ada waktu setengah jam lagi.” 

Begitu pintu suite terbuka, Randy langsung menuju ke kamar.

“Dalam setengah jam harus sudah ada di ruang kerja, tidak pakai acara siram-siraman.”

Randy tertawa sambil mengedipkan sebelah mata, sebelum menutup pintu. Erlan sangat mengenal Randy. Sepupunya itu kalau sudah tertidur, acara membangunkannya bisa penuh dengan drama.

Pernah beberapa kali Randy ketiduran di kantor, sekretarisnya tidak berani membangunkan. Erlan yang sudah tidak sabar menunggu, terpaksa turun tangan. Saat itu Erlan menyuruh Hanni mengambil segelas air dingin dan tanpa basa-basi menyiramkannya ke wajah Randy. Randy yang kaget, terbangun dan langsung melompat dari sofa. Kejadian itu sempat menjadi trending topic hampir semingguan di kantor.

Erlan menuju ke ruang kerja dan mulai menyalakan notebook. Hanni menuangkan segelas air hangat dan menyodorkan kepadanya.

“Kamu bisa istirahat sebentar. Kamar yang di sebelah Randy.”

“Terima kasih, pak.” 

Hanni menuju kamar king size bed. Tubuhnya terasa agak letih tetapi begitu sampai di kamar, pemandangan kota Singapura dari ketinggian lantai lima puluh membuat rasa letihnya hilang seketika, indah sekali.

Ponsel Hanni bergetar. Ada pesan masuk.

Busyeeeet! Lu udah ke Singapura aja. 

Pesan dari Rekha. Hanni tertawa, dia bisa membayangkan bagaimana sebalnya Rekha, Wenny, Sally dan Liana. Mereka sudah berencana untuk hang out bareng sepulang kerja hari ini.

'Maafkan aku. Aku ini hanya bawahan, tidak kuasa menolak perintah putra mahkota.'

'Kampreeet!'

Hanni terkekeh.

***

Meeting hari pertama dimulai pukul sebelas siang dan berakhir pukul sembilan malam, berjalan sukses. Mereka hanya sempat beristirahat setengah jam untuk makan siang. Saat meeting selesai, Hanni dan Randy tampak agak teler, namun Erlan masih tetap fit. 

Setelah makan malam, Hanni bermaksud segera melarikan diri ke kamar tetapi saat dia mengingat sesuatu, seketika dia menjadi panik. Ini sudah pukul sepuluh malam!

“Pak Erlan, baju! Saya belum membeli baju untuk besok.” 

Erlan melirik jam tangan. “Mall tutup pukul sebelas. Ayo!” 

Hanni diam mematung melihat Erlan yang bangkit dan berjalan ke pintu.

“Tapi yang ada di sini semuanya branded store, harganya mahal sekali. Saya ke mall lain saja.” 

Hanni pernah menemani Erlan ke Chanel di Jakarta saat Erlan mencari kado ultah untuk Ibu Sofia. Untuk sebuah gaun saja, harganya bisa beberapa kali gaji bulanannya.

“Ayo, cepat! Kamu mau pakai baju yang sama besok pagi?” 

Erlan langsung membuka pintu suite dan keluar tanpa menunggu Hanni yang masih mematung.

“Udah gih, pergi sana, cepat! Bentar lagi tutup. Ingat, pilih yang paling mahal. Tidak akan mungkin Erlan memotong gaji lu." 

Randy mengerdipkan mata, lalu mendorong Hanni keluar. Erlan yang sudah di depan lift, tampak sudah tidak sabar menunggu.

 

Bab 7

Mereka menuju ke lantai bawah. Begitu pintu lift terbuka, sepanjang mata memandang, ruangan penuh dengan branded store yang bila Hanni sendirian, dia tidak akan percaya diri untuk masuk. Hanni menarik napas panjang, Erlan terus berjalan lalu berbelok ke kiri dan berhenti di Chanel.

“Di sini harus selesai dalam lima belas menit karena kamu harus membeli perlengkapan lain.” 

Erlan masuk dan langsung menuju ke sofa tunggu. Hanni merasa sangat kikuk.

“Pak Erlan, harganya...”

Hurry up!”

“Tidak ada potongan gaji?” 

Hanni harus memperjelas karena saat ini dia sangat membutuhkan gaji penuh dan tidak bisa berkompromi terhadap pengeluaran yang tidak perlu.

Yup.”

Hanni tersenyum lega dan langsung menuju ke bagian kemeja. Erlan memperhatikan Hanni yang bukannya langsung memilih kemeja yang dia suka tetapi malah sibuk melihat-lihat price tag yang membuat ekspresinya berubah-ubah. Begitu terus dan itu membuat Erlan geram, sementara waktu terus berjalan.

Miss Secretary memang sangat perhitungan dengan uang. Itu yang Erlan sadari setelah Hanni beberapa bulan menjadi sekretarisnya. Tanpa sungkan, Hanni bertanya langsung tentang benefits yang akan dia dapatkan untuk setiap pekerjaan di luar job description. Termasuk bekerja ekstra sebagai supir dan harus menginap di rumahnya. Bayangkan! Bahkan untuk membuat Hanni menginap di rumahnya saja, dia harus membayar. 

Hanni juga tidak pernah mengambil jatah liburan bersama yang setahun sekali Mars adakan dengan membiayai karyawan berlibur bersama di tempat yang telah ditentukan. Begitu spesialnya Hanni karena dia memang sangat bergantung kepadanya, dia memberikan Hanni izin khusus untuk menguangkan biaya liburan tersebut.

Erlan membawa Hanni ke Chanel, juga bukan tanpa alasan. Dia ingin memberikan sesuatu kepada Hanni sebagai bentuk permintaan maaf karena kejadian malam itu. Sebenarnya langkah yang paling tepat adalah dengan meminta maaf secara langsung tetapi dia belum siap. 

Bukan belum siap secara mental, dia hanya khawatir bila dia meminta maaf, hubungan mereka yang sudah terjalin sangat harmonis, akan berubah drastis. Dan pasti akan seperti itu, Hanni sosok yang sangat sungkan.

Hanni melirik Erlan yang dari tadi tidak lepas memperhatikannya. Dia yang penuh keraguan, semakin merasa tidak nyaman. Si bos pasti mulai sebal karena dia menghabiskan sekian menit hanya untuk melihat-lihat price tag. Akhirnya Hanni nekat mengambil sebuah kemeja berwarna krem tanpa melihat harga, lalu mengambil sebuah rok coklat tua selutut dan membawanya ke kamar ganti. Setelah itu, dia langsung menuju ke kasir.

Erlan bangkit dari sofa, mengikuti Hanni ke kasir.

“Hanya ini?” 

Hanni mengangguk. “Cukup ini saja. Besok saya bisa mencuci pakaian hari ini untuk dipakai lusa.”

“Hm, wait please,” ucap Erlan kepada kasir. Dia berbalik dan menuju ke bagian kemeja.

Semua orang memperhatikan Erlan. Sosoknya yang sempurna membuat para karyawan dan pengunjung di Chanel, tidak bisa berkedip. Romantis sekali saat seorang pria ganteng berekspresi sangat serius, memilih pakaian untuk gadis yang dicintainya. Setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran mereka. Sesekali mereka melihat ke arah Hanni, lalu melihat lagi ke arah Erlan.

Erlan mengambil selembar kemeja putih bergaris hitam, lalu berjalan menuju bagian celana panjang dan mengambil selembar celana panjang berwarna hitam polos. Tidak hanya itu, Erlan menuju ke bagian dress dan mengambil selembar dress selutut berwarna broken white bertekstur embossed bunga dengan hiasan pita yang ujungnya menjuntai ke bagian dada. 

Erlan tahu betul ukuran yang dipakai Hanni karena Meira adiknya, sering menghadiahkan pakaian untuk Hanni. Keduanya memakai ukuran pakaian yang hampir sama.

"Pak Erlan, ini terlalu banyak. Saya..." 

Erlan mendelik yang membuat Hanni tidak melanjutkan ucapannya. Dia hanya bisa pasrah saat Erlan mengeluarkan kartu mini berwarna hitam dari dompet dan menyerahkan ke kasir. Kasir memproses pembayaran tanpa menyebutkan jumlah. Hanni juga sungkan sekali untuk melirik ke lembaran pembayaran yang ditandatangani Erlan. Lebih baik dia memang tidak perlu tahu.

Mereka keluar menyusuri beberapa toko sampai akhirnya Erlan berhenti di Victoria’s Secret. Hanni yang segera sadar apa yang harus segera dia beli, tidak bisa menyembunyikan rasa malu. No! Bagaimana mungkin si bos mengantarnya membeli pakaian dalam?

“Pastikan membeli cukup, jangan sampai aku yang harus masuk ke dalam lagi,” ucap Erlan dengan senyum tertahan. 

Hanni bengong, si bos manis sekali dengan ekspresi seperti itu. Dalam dua tahun menjadi sekretarisnya, baru kali ini dia mendapat hadiah sebuah senyuman walaupun disembunyikan dengan sangat rapi. 

Erlan menarik telapak tangan Hanni dan meletakkan black card di atasnya. "Gerak cepat, tokonya sudah mau tutup." 

Erlan menunjuk ke beberapa pelayan yang sepertinya sudah bersiap-siap untuk tutup. Tanpa berkata apa-apa, Hanni langsung terburu-buru masuk ke dalam. Tindakan Erlan yang memegang tangannya membuat dia deg-degan. Kontak fisik kedua setelah kejadian malam itu. Untung saja dia berkulit kecokelatan, kalau tidak, pasti wajahnya sudah terlihat sangat merah saking malunya.

Erlan tidak bisa menahan tawa, dia berpaling ke arah lain. Dia tidak mau Hanni melihatnya tertawa. Sungguh tidak pernah terlintas di benaknya bahwa suatu hari, dia akan menemani sekretarisnya berbelanja pakaian dalam. Bahkan, dia juga belum pernah melakukan ini untuk seseorang yang pernah sangat dia cintai dan inginkan.

Sepanjang perjalanan kembali ke kamar, Hanni menundukkan wajah. Erlan juga tidak berbicara. Mereka memasuki lift, kali ini keduanya merasakan kekikukan yang sama. Padahal itu tidak terjadi saat pergi tadi, mungkin karena terburu-buru, bayangan kejadian di lift malam itu tidak sempat terlintas.

Posisi berdiri Hanni yang tepat di depan Erlan, membuat Hanni merasa tidak nyaman. Dia mundur perlahan ke samping yang membuat posisi mereka sejajar. Erlan melihat pantulan kekikukan Hanni yang menyenderkan tubuh ke dinding. Lift berhenti sebentar, beberapa pria masuk yang membuat lift cukup sesak.

Erlan yang mencium bau minuman dari pria-pria tersebut, segera mengambil posisi yang sangat dekat dengan Hanni yang membuat dada Hanni berdebar semakin kencang. Bahkan saking dekatnya, dia bisa merasakan hembusan napas Erlan. 

Erlan memang sengaja berdiri di dekat Hanni, bila tidak, maka salah satu dari pria-pria itu pasti akan berdiri di posisinya sekarang ini. Dan itu pasti akan membuat Hanni lebih merasa tidak nyaman lagi.

"Pak Erlan, terima kasih banyak," ucap Hanni begitu mereka memasuki suite room

Erlan mengangguk. "Kamu bisa langsung istirahat."

"Baik, pak. Selamat malam." 

Hanni melewati Randy yang berwajah jutek tetapi langsung berusaha tersenyum begitu menyadari kehadirannya.

"Cie yang barusan shopping…" goda Randy yang melirik brand dari paper bag yang dijinjing Hanni, lalu melihat ke Erlan yang melangkah di belakangnya.

"Mas Randy, good night."

"Good night, honey bunny. Sleep well, mimpikan gue ya?" 

Hanni tertawa lebar. Erlan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah keduanya. Hanni tampak sangat menikmati momen bercanda bersama Randy.

 

Bab 8

Begitu sosok Hanni menghilang di sebalik pintu kamar, Randy kembali ke ekspresi awalnya yang muram dan banyak pikiran.

“Kamu kenapa?” 

Randy menarik napas panjang dengan mata menatap ke jendela kaca yang tidak jauh dari sofa.

“Laras minta dilamar dalam bulan ini.” 

Erlan tertawa kecil. “Ya, sudah. Lamar!”

“Gue belum siap.”

“Pacaran siap, giliran diajak menikah, tidak siap."

“Bukannya lu duluan yang harus menikah? Lu cucu tertua, gue gak mau melangkahi lu.”

"Banyak alasan! Telepon Laras sekarang, bilang dalam minggu depan keluarga kita akan ke rumahnya.”

“Gue belum siap!”

“Nanti juga siap sendiri. Kamu dan Laras sudah lama pacaran dan keluarga juga sudah lama saling mengenal. Jangan sampai dia menyerah sama kamu.” 

Ada emosi tersembunyi dalam suara Erlan dan Randy mengetahui betul mengapa Erlan mengatakan itu. Erlan mengambil ponsel, mencari sebuah nama di daftar kontak dan mengaktifkan tombol speaker.

“Om Han, belum tidur?” 

Randy yang mendengar nama yang disebut Erlan, langsung bangkit dan bermaksud memutuskan sambungan telepon tetapi Erlan sudah duluan menghindar.

Belum, ada apa?” 

Erlan tersenyum lebar. “Dalam minggu depan, kita ke rumah Pak Sudirman. Randy mau melamar Laras.”

Oh ya? Wah, berita gembira ini. Akhirnya!

Terdengar suara tawa bahagia di seberang. Randy pasrah mendengar suara tawa orang tuanya.

“Erlan, di mana Randy?” tanya Lin, mamanya Randy. 

“Ada di sampingku, tante. Lagi galau,” jawab Erlan sambil tertawa. Lin tertawa lagi.

Tante Lin adalah adik perempuan papanya dan Randy adalah anak pertama mereka. Hubungan Randy dan Laras sudah berjalan lima tahun lebih. Randy yang sebelumnya suka bergonta-ganti pacar, menjadi pria yang lumayan lurus setelah bertemu Laras. Walaupun masih suka juga menebar pesona tetapi Laras bisa mengendalikannya. 

Sementara Laras, tipe gadis sederhana tetapi sangat tegas. Saat pertama Randy memperkenalkan Laras kepada keluarga besar, Erlan langsung menyukainya. Laras sangat sopan dan rasanya kepada Randy terlihat tulus, bukan seperti gadis-gadis lain yang lebih tertarik kepada materi.

***

Hanni belum bisa tertidur. Dia masih mengingat terus total harga pakaian baru yang didapatkannya malam ini. Seharusnya tadi dia tidak perlu menghitung harga di price tag. Jumlah yang fantastis hampir mencapai dua bulan gajinya. Seandainya saja bisa diuangkan, dia pasti akan sangat terbantu.

Sejak menjadi sekretaris Erlan, Hanni tidak pernah membeli pakaian baru. Setiap tiga bulan sekali, dia akan mendapat dua setelan pakaian kerja baru yang biasanya dipilih oleh Ibu Sofia. Selain itu, dia juga mendapat beberapa dress tergantung keperluan. Aktivitas yang setiap hari mendampingi Erlan, mengharuskan dia berpenampilan setidaknya setara dengan sang bos.

Menjadi sekretaris utama Erlan, memang sangat menguntungkan. Selain mendapat gaji setara level manajer, liburan dan cuti yang boleh diuangkan, mendapat subsidi pakaian, makan gratis, fasilitas mobil Range Rover yang bisa dipakainya bahkan untuk urusan pribadi dan banyak bonus lainnya.

Tetapi menjadi sekretaris Erlan, tidak mudah. Banyak urusan pribadi yang terlantarkan, bahkan terlupakan karena dia selalu memilih untuk bersikap profesional. Saat ini pekerjaan adalah segala-galanya karena dia sangat membutuhkan uang. Dia harus siap bekerja dua puluh empat jam bila Erlan memerlukannya. 

Erlan tipe bos yang tidak mau tahu, dia tidak bisa berkompromi dengan pekerjaan yang tertunda karena urusan pribadi. Jadi Hanni menjaga diri dengan sangat baik, termasuk kesehatannya. Dia tidak boleh membiarkan dirinya sakit. Dia ingat tidak sehari pun dia pernah meminta izin sakit. Dia hanya akan beristirahat saat Erlan tidak memerlukannya.

Hanni menarik selimut, mematikan lampu kamar dan segera bersiap untuk bisa tertidur. Semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai yang dia mau selama dia tidak melewati batas yang selalu menjadi alasan utama Erlan memecat sekretaris sebelumnya. 

‘Don’t Cross The Line’ menjadi kalimat mujarab yang selalu menjadi pedoman. Hanni tersenyum menatap langit-langit kamar, dia pasti akan bisa mengendalikan perasaannya.

***

Rapat hari kedua dan ketiga berjalan seperti kemarin. Saat rapat selesai di pukul sembilan malam, ketiganya masih harus melakukan review untuk memutuskan langkah-langkah yang harus diambil untuk rapat keesokan hari, sebelum kembali ke Jakarta dengan penerbangan paling terakhir.

Hanni merasakan tubuhnya sangat letih. Begitu masuk ke dalam pesawat dan duduk di samping Randy, dia langsung menyetel kursi ke posisi lebih rendah dan tertidur. Randy mengambil selimut dan menyelimutinya. Erlan yang duduk di deretan satu kursi di sebelah Randy, melirik sekilas sebelum kembali berfokus ke iPad.

Pukul dua belas malam saat Hanni dan Erlan sampai di kediaman Erlan. Hanni yang tertidur di pesawat dan berlanjut di mobil, merasakan staminanya lumayan segar kembali.

“Pak Erlan, masih perlu sesuatu?”

“Tidak. Kamu bisa istirahat,” jawab Erlan sambil menaiki tangga menuju  kamar.

“Pak Erlan...” 

Erlan berhenti lalu melihat ke bawah.

Hanni tersenyum. “Besok pagi kalau tidak ada pekerjaan, saya ingin pulang sebentar. Sore saya sudah ada di sini lagi.”

“Kamu free besok, aku akan menelepon bila perlu.”

“Terima kasih Pak Erlan, Selamat malam.” 

Hanni melangkah menuju kamarnya, Erlan menatapnya sebentar sebelum kembali menaiki tangga. Erlan tidak pasti tetapi sepertinya sudah lama sekali Hanni tidak libur. Pekerjaan kantor yang selalu selesai mendekati pukul sepuluh malam, membuat Hanni tidak bisa pulang ke rumahnya di Bogor.

***

Pagi-pagi sekali Hanni keluar dari kediaman Erlan, mengendarai Range Rover dan menuju ke Mars Hospital. Sudah sebulan lebih dia tidak berkunjung, menemui bunda. Hanni membeli dua porsi bubur di kedai kecil di depan rumah sakit. Suasana masih sepi sekali, Hanni langsung menuju ke lantai lima, ke ruangan tempat bunda dirawat selama hampir dua tahun.

Hanni berhenti sejenak di depan pintu, mengatur ekspresi wajah menjadi seceria mungkin sebelum membuka pintu. Di depannya ada Widya yang sedang mengelap badan bunda dengan handuk basah.

“Mbak Hanni,” sapa Widya bahagia, begitu melihat siapa yang datang.

Keduanya berpelukan. Hanni tersenyum dan mendekati ranjang bunda. Seperti sebelumnya, bunda masih terbaring dengan mata tertutup, sementara banyak peralatan medis yang tertempel di tubuhnya.

 

Bab 9

Bunda terjatuh di kamar mandi saat dia baru tiga bulan menjadi sekretaris Erlan. Sejak saat itu bunda koma dan tidak sadarkan diri. Tidak ada pendarahan di kepala bunda, bunda hanya tidak sadar saja. Karena itulah, operasi tidak bisa dilakukan. Mereka hanya bisa pasrah, menunggu sampai bunda sadar dengan sendirinya yang entah kapan akan terjadi. 

Selama ini seluruh gaji dihabiskan untuk perawatan bunda dan biaya kuliah Widya, adiknya. Makanya dia sangat tegas mengatur keuangan. Mereka sudah membagi tugas, dia yang mencari uang untuk perawatan bunda dan Widya yang bertugas merawat bunda termasuk mengurusi segala tetek-bengek urusan administrasi rumah sakit.

Widya adalah mahasiswi kedokteran semester enam dan tentu saja juga memerlukan biaya yang lumayan banyak. Selama bunda dirawat, Widya ikut tinggal di rumah sakit, kamar bunda mempunyai dua tempat tidur. Kamar di sudut paling ujung lantai lima ini sudah seperti rumah utama untuk mereka. Bila Hanni tidak lembur bekerja, dia juga akan menginap di sini.

“Biar aku saja, kamu sarapan gih. Aku bawa bubur.” Hanni mengambil handuk basah dari tangan Widya dan mulai mengelap wajah bunda.

Widya berdiri di samping Hanni, memperhatikan sosok Hanni yang sekilas tampak ceria tetapi dia tahu Hanni menyembunyikan kesedihan. Tubuh Hanni lebih ramping dari saat terakhir mereka bertemu, pasti Hanni sangat capek karena harus bekerja lembur terus.

Rombongan dokter datang untuk melakukan pemeriksaan rutin. Pagi sampai sore selalu ada suster yang siaga menjaga, makanya Widya bisa pergi ke kuliah. Keduanya keluar ke balkon dan mulai sarapan.

“Doktor Khairul ada bilang apa?” 

Widya menatap Hanni dengan mata berkaca-kaca. 

"Kondisi bunda dalam dua minggu ini naik turun, tidak pernah sebelumnya seperti ini. Doktor bilang, itu bisa menjadi indikasi baik atau buruk. Kita diminta bersiap-siap, bisa saja  sewaktu-waktu bunda mungkin harus menjalani operasi. Kita memerlukan banyak biaya, mbak." 

Dari dua minggu yang lalu sebenarnya Widya ingin mengabari Hanni tetapi kondisi bunda yang membaik kembali membuatnya mengurungkan niat. Dia sangat mengetahui kalau mbaknya ini sudah sangat lelah dengan pekerjaan yang bisa dibilang tidak mengenal waktu, demi mencukupi kebutuhan mereka.

“Kamu tidak usah khawatir. Aku akan segera menghubungi Paman Wardi untuk mulai menjual rumah di Bogor dan tanah bunda di Malang. Kita perlu sekitar berapa?"

"Doktor Khairul bilang, mungkin sekitar dua ratus juta."

Widya sebenarnya sangat sungkan menyebut jumlah tersebut. Hanni tersenyum, dia tidak boleh menampakkan kekalutannya, dia tidak mau Widya khawatir.

"Oke, aku akan usahakan segera. Kalau rumah dan tanah kita bisa cepat terjual, kita bahkan bisa mendapat lebih dari itu. Kamu tidak perlu khawatir. Aku pasti akan mencari segala cara untuk mendapatkan duit segitu. Ingat, kita sudah melangkah sejauh ini. Kita tidak pernah menyerah."

“Mbak Hanni pasti capek banget.”

“Kita sama-sama capek. Bunda pasti akan sangat bangga dengan dua putri hebatnya saat bunda terbangun nanti.” 

Keduanya tersenyum. Tidak bertemu sebulan lebih, membuat mereka bercerita banyak tentang apa yang sudah mereka lalui. Hanni mendengarkan dengan seksama sambil sesekali menggoda adiknya. 

Widya itu sebenarnya tipe yang manja sekali. Karena bunda sakit dan dia harus berbagi tanggung jawab dengannya, Widya menjadi pribadi yang sangat tangguh. Obrolan mereka terhenti begitu terdengar ketukan di pintu.

“Iya, masuk!” 

Pintu terbuka dan seorang dokter masuk ke dalam dengan menenteng dua kotak makanan. Di jasnya tertulis nama ‘dr. Henry’. Hanni melirik Widya yang langsung melihatnya dengan tersipu malu.

“Halo.” 

Henry menghentikan langkah begitu menyadari ada sosok lain di sebelah Widya. Wajah keduanya hampir mirip tetapi sosok yang baru dilihatnya hari ini, lebih dewasa, sangat percaya diri dengan tatapan penuh selidik.

“Mbak Hanni, ini kenalkan dokter Henry. Seniorku dan bekerja di sini.”

“Hai,” sapa Hanni ramah, keduanya berjabatan tangan.

“Gue bawain makan siang.” 

Widya mengambil tentengan dari tangan Henry. “Terima kasih. Mau makan di sini?” 

Henry sudah beberapa kali menemani Widya makan siang bahkan makan malam bersama, bila dia bertugas malam.

“Nggak, gue sudah makan. Gue balik dulu, sampai jumpa Hanni.”

“Sampai jumpa. Thanks makan siangnya.” 

Henry mengangguk sebelum keluar. Hanni melirik Widya yang juga menatapnya.

“Kakak kelas?” 

Widya tertawa kecil, wajahnya sangat bahagia. “Kakak kelas.” 

Hanni ikut tertawa. “Aku tidak keberatan, selama kuliah kamu tidak terganggu, go ahead.”

Hanni bahagia melihat kebahagiaan di wajah Widya. Widya harus bisa menikmati masa mudanya, ceria seperti gadis lainnya. Hanni tidak ingin Widya menjadi seperti dirinya yang membuat sangat banyak batasan terutama dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Dari remaja, dia tidak mempunyai waktu untuk memikirkan itu. 

Bapak yang meninggal saat dia berusia sepuluh tahun, membuatnya harus bekerja keras membantu bunda untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka bertiga. Dia menghabiskan masa remaja dengan bekerja setelah pulang sekolah dan membantu bunda menyiapkan bahan berjualan sarapan pagi. Bunda masih terus berjualan sampai dia mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai karyawan bagian administrasi di Mars Group.

***

Terdengar suara ponsel. Hanni melirik jam, sudah pukul empat sore.

“Iya, Pak Erlan.”

“Kamu di mana?”

“Di sekitar Menteng.”

“Pukul tujuh ada family dinner, opa sudah kembali.”

“Baik, Pak Erlan. Bagaimana kalau Restoran Padang Saiyo saja? Pak Brata pasti sangat kangen masakan Padang selama di Jepang.” 

Brata, opa Erlan, sudah beberapa bulan tinggal di Jepang. Mengunjungi adik perempuannya yang menikah dengan orang Jepang dan tinggal di sana.

“Good idea. Sebelum pukul enam sudah sampai di sini ya?” 

Hanni tersenyum, tentu saja dia harus segera kembali menjemput Erlan.

“Baik, pak.”

***

Erlan keluar dari kamar kerja, menuju balkon yang berhadapan langsung dengan pintu gerbang. Dia mengeluarkan rokok dan mulai menyalakannya. Tadi pagi dia sudah bertemu opa yang sampai di Jakarta kemarin malam. Opa kembali ke Jakarta karena Randy akan melakukan lamaran ke keluarga Laras. 

Erlan menangkap ekspresi lain dari opa, dia menebak pasti ada masalah penting tentang dirinya yang ingin opa diskusikan. Kalau tidak, opa pasti tidak akan mewajibkan semua anggota keluarga untuk berkumpul.

Pintu pagar terbuka. Erlan yang sebelumnya duduk santai menyender ke sofa, bangkit dan melihat ke pintu gerbang. Ada Hanni yang baru kembali. Dari dalam mobil, Hanni juga melihat Erlan yang berdiri di balkon dengan rokok di bibirnya. Si bos pasti lagi bad mood atau lagi banyak pikiran.

 

Bab 10

Hanni masuk ke dalam dan langsung menuju ke ruang kerja di lantai atas. Pintu ruangan terbuka tetapi Hanni tetap mengetuk. Erlan yang berada di balkon, masuk ke dalam. 

Ponsel Hanni berdering, begitu dia melihat nama yang muncul di layar monitor, dia memberi kode kepada Erlan untuk menjawab telepon dengan menghidupkan speaker.

“Selamat sore, bu,” sapa Hanni.

Sore, Hanni. Erlan ada suruh pesan tempat untuk dinner malam ini?” 

Erlan tersenyum sekilas setelah menyadari siapa yang menelepon.

“Sudah, bu. Restoran Padang Saiyo, Ruang Bukittinggi.”

Perfect! Erlan ada di rumah? Ibu sudah menelepon berkali-kali, tidak diangkat-angkat.

Hanni melirik Erlan yang mengecek ponselnya. Benar, ada lima panggilan tidak terjawab.

“Pak Erlan tadi lagi di luar, ponselnya tertinggal di ruang kerja.”

Oh, Ibu pikir dia sengaja tidak mau menjawab telepon.” 

Erlan mendelik, mengapa mamanya sampai mempunyai pikiran seperti itu? 

Hanni tersenyum. “Tidak, bu. Ini Pak Erlan sudah kembali ke ruang kerja, ibu mau bicara?”

Boleh.

“Sebentar...” 

Hanni menyerahkan ponselnya ke Erlan, lalu dia segera keluar. Erlan mematikan speaker.

“Iya, ma.”

Nanti apa pun yang diminta opa, kamu iyakan saja ya? Papa bilang, opa agak kurang senang karena Randy yang akan menikah duluan.” 

Sofia mengerti betul saat bapak mertuanya itu mempunyai keinginan. Sepanjang siang tadi, dia tidak berhenti bertanya tentang kehidupan pribadi Erlan, yang memang sangat tertutup.

“Mama tidak usah khawatir.”

Oke, see you ya.” Sambungan telepon terputus.

Erlan melihat ke layar ponsel Hanni yang berganti ke foto wallpaper. Dia tertegun, menatap dengan seksama seolah tidak percaya dan akhirnya tersenyum sendiri. 

Miss Secretary dengan rambut terurai, memakai lipstik merah menyala dengan bibir yang sedikit terbuka, sorot matanya penuh godaan. Gaun Chanel yang dipakainya melekat sempurna di tubuh yang proporsional. Kaki jenjang Hanni yang memakai high heels semakin mempertegas keindahannya.

Hanni yang tersadar apa yang mungkin telah dilihat Erlan di layar ponselnya, dengan setengah berlari naik kembali ke lantai atas. Saat dia sampai di sana, Erlan sudah tidak ada di dalam dan ponselnya terletak di atas meja kerja. Semoga saja Erlan tidak sempat melihat foto isengnya.

***

Restoran Padang Saiyo lumayan ramai saat mereka tiba, maklum akhir pekan. Erlan yang memakai kemeja abu muda berlapis blazer dengan jeans hitam, sangat menarik perhatian. Wajahnya yang jarang tersenyum, tidak terpengaruh dengan pandangan kagum di sekitarnya. Hanni yang memakai gaun midi lengan panjang model klasik berwarna krem, berjalan di belakangnya. 

Hanni tersenyum, mengimbangi wajah Erlan yang tanpa ekspresi. Di kantor pun seperti itu, wajah dingin Erlan selalu bisa diimbangi dengan pancaran keramahan nan tulus dari wajah Hanni.

Belum ada yang datang, Erlan melirik ke jam tangan. Masih ada lima belas menit lagi dari waktu yang ditentukan. Hanni menuang jus jeruk dan menyerahkan ke Erlan. 

Terdengar suara riuh di luar, keduanya melihat ke pintu. Tidak beberapa lama, sosok cantik Lilian muncul.

“Mbak Hanni sayang, apa kabar?” 

Lilian langsung memeluk Hanni. Sudah lama mereka tidak bertemu. Dua bulan terakhir dia berada di Brisbane untuk shooting film terbarunya.

“Baik. Kamu gimana? Udah lama balik?”

“Gue masih lelah banget, baru dua hari sampai. Eh iya, gue punya sesuatu untuk Mbak Hanni. Nanti gue minta Pak Tejo antar ke kantor deh.” 

Lilian terdiam sesaat, dia sepertinya melupakan sesuatu. Dia menatap ke seseorang yang duduk di sofa yang juga sedang menatapnya dengan pandangan protes.

“Mas Erlaaaaaan, hahaha. I’m so sorry…” 

Lilian melangkah cepat ke sofa dan memeluk Erlan.

“Hm,” gumam Erlan dengan tangan mengacak-acak rambut sebahu Lilian yang dicat agak keunguan untuk kepentingan shooting.

Terdengar suara riuh lagi dari luar. Kali ini rombongan lengkap, tiba. Erlan dan Lilian langsung menuju ke pintu. Hanni tersenyum melihat mereka saling berpelukan, keluarga yang sangat harmonis. 

Hanni menyapa satu per satu, sebelum menuju pintu.

“Hanni, mau ke mana?” tanya Meira, menahan langkah Hanni. 

Hanni menatap ke Erlan tetapi Erlan yang sedang berbicara dengan Pak Brata, tidak melihatnya.

“Aku tunggu di luar saja.”

“Kamu ikut dinner di sini. Ayo, sini duduk.” 

Sofia menunjuk kursi di sebelah Lilian, Hanni merasa segan sekali. Dia merasa tidak pantas ikut mendengarkan masalah keluarga mereka. Dia bisa menebak, dinner ini pasti akan membahas hal yang serius. 

“Saya…sa..” Dia berharap Erlan akan menyuruhnya menunggu di luar.

“Hanni Elvira Syarief, sit down please.” 

Semua serentak tertawa mendengar Brata menyebut nama Hanni dengan lengkap. Hanni tersipu malu dan langsung duduk di sebelah Lilian. Sofia yang duduk di kursi depan Hanni, menuang jus jeruk dan menyodorkan kepadanya sambil mengedipkan mata.

“Terima kasih, bu,” ucap Hanni pelan sambil meminum jus jeruk untuk sedikit menghilangkan rasa kikuk.

Pelayan mulai menghidangkan makanan. Seperti biasa bila makan di rumah makan Padang, semua menu makanan dihidangkan di atas meja. Wajah Brata tampak semringah melihat banyak makanan yang sudah lama tidak dinikmatinya.

“Siapa yang memilih makan di sini?” tanya Brata dengan mata berbinar-binar. Yang memilih pasti sangat mengerti akan rasa kangennya kepada masakan Padang.

“Erlan,” jawab Sofia karena dia yang meminta Erlan untuk memesan tempat. 

Erlan tersenyum. “Bukan, ma. Ini pekerjaan Miss Secretary.” 

Serentak semua melihat ke Hanni.

“Saya ingat waktu bapak dulu masih sering berkunjung ke kantor, saat makan siang pasti bapak mintanya nasi Padang.” 

Brata tersenyum lebar. “Kamu masih ingat saya paling suka menu apa?” 

Hanni mengangguk, lalu melihat ke piring-piring berisi makanan di depannya, mencari sesuatu. Saat dia menemukan apa yang dicari, dia mengambil piring hidangan dan menampakkan ke Brata.

“Gulai tunjang.” 

Brata terbelalak, seolah tidak percaya. Kunjungan terakhirnya ke Mars, sudah lama sekali. Dia tidak mengetahui persis, Hanni yang membuatnya terkesima saat ini, berada di mana. Bahkan dia juga tidak bisa mengingat, apa dia pernah berjumpa dengannya saat itu. Dia merasa baru mengenal Hanni setelah menjadi sekretaris Erlan.

Excellent! Terima kasih. Mulai sekarang panggil saya, opa.”

“Baik, opa,” ucap Hanni dengan suara pelan. Sebuah kehormatan untuknya.

Good. Ayo kita makan.”    

Semua makan dengan lahap, beberapa menu favorit bahkan harus ditambah. Brata menikmati porsi ketiga gulai tunjang dan tidak peduli saat Erlan mengingatkan akan kolesterol dan asam urat yang mungkin kumat. 

Rahmad sebentar-bentar mengelap keringat di kening, sepertinya balado dendeng lumayan pedas. Sofia tergila-gila dengan daun singkong rebus beserta sambal cabai hijau. Lilian menikmati daging rendang dengan nasi porsi sedikit. 

Sementara Meira yang biasanya selalu menghindar dari makanan berminyak, kali ini tidak peduli. Sepiring penuh ayam pop, hampir habis dia nikmati sendiri. Dalam satu minggu ke depan, jadwal manggungnya sengaja dikosongkan untuk beristirahat. Jadi dia tidak perlu mengkhawatirkan kualitas suaranya.

Yang makan dengan masih terkontrol, hanya Erlan dan Hanni. Erlan yang sejak tamat SD sudah tinggal di Amerika dan baru kembali menetap di Jakarta saat berumur dua puluh tujuh tahun, kurang familiar dengan masakan Indonesia. Sementara Hanni, walaupun juga sangat menyukai masakan Padang tetapi dia terlalu segan dan malu untuk makan banyak.

Hampir semua menu yang terhidang bersih total. Semua tertawa begitu melihat penampakan piring-piring di atas meja yang isinya nyaris tidak bersisa.

“Luar biasa!” Rahmad mengelus-elus perutnya, kekenyangan. 

Semua tertawa lagi.

“Kalau nanti timbangan mama naik, Miss Secretary nih yang harus disalahin.” 

Hanni tersenyum menampakkan lesung pipi.

“Kalau suara gue menjadi jelek, Miss Secretary juga dong…” Meira ikutan menggoda.

“Meira…” 

Meira tertawa mendengar suara protes Hanni. Keduanya sebaya, jadi seperti teman.

“Jadi ini yang bayarin, Miss Secretary juga?” Rahmad tidak mau kalah menggoda. 

Erlan yang serius mengobrol dengan opa, melirik Hanni yang tersenyum lebar.

Miss Secretary mempunyai satu kartu debit plus satu black card dengan saldo unlimited, sangat kaya raya,” jawab Hanni bijak yang membuat semua tertawa.

Brata melirik Erlan yang tersenyum mendengar jawaban Hanni. Black card ada di tangan sekretaris, apalagi kalau bukan karena merasa nyaman.

 

Bab 11

Brata mengajak pindah duduk ke sofa di ujung ruangan dengan pemandangan ke taman kecil yang dihiasi lampu warna warni. Pembicaraan serius akan segera dimulai.

"Diskusi malam ini tentang mencari istri untuk cucu pertama opa." 

Semua melihat ke Erlan yang membalas tatapan dengan tersenyum. Tentu saja, dia sudah menebak.

"Opa, cucu pertamakan tidak harus menikah duluan."

"Tidak harus, iya. Tapi opa mau kamu mulai serius mencari calon istri dan segera menyusul Randy. Tiga puluh tahun sudah cukup menjadi pria lajang," tegas opa dengan wajah serius.

"Kamu tinggal bilang, sukanya gadis seperti apa. Nanti mama akan bantu carikan. Mama, Meira dan Lilian punya banyak kenalan yang mungkin ada seperti yang kamu suka." 

Erlan mendelik, Sofia tersenyum.

"Baiklah." Erlan menarik napas panjang.

"Satu bulan untuk mencari, cukup?"

"Mama atur saja," jawab Erlan pasrah. 

Semua tertawa kecuali Hanni yang berusaha banget untuk menahan tawa. Baru kali ini dia melihat ekspresi pasrah Erlan yang biasanya sangat dominan mengendalikan suasana.

***

Perjalanan pulang ke rumah, hening. Erlan sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara Hanni yang menyetir, sengaja tidak memulai pembicaraan.

"Mencari itu, artinya harus blind dates?" tanya Erlan yang seperti tersadar dengan pikirannya sendiri. 

Hanni mengangguk.

"Jadi aku harus bertemu dengan wanita yang tidak aku kenal?"

"Ya. Ketemuan, mengobrol, siapa tahu ada kecocokan."

"So complicated!" Erlan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Complicated, iya, tapi sebenarnya tidak juga. Blind dates banyak sisi positifnya dan banyak yang berhasil. Lagian nanti yang ditemui juga wanita-wanita yang sudah dikenal oleh keluarga. Jadi sebenarnya tidak seram-seram banget." 

Erlan menatap Hanni yang fokus menyetir, dia berbicara begitu santainya.

"Tahu apa kamu tentang blind dates?” 

Kali ini Hanni tidak sanggup lagi untuk menahan tawa dan Erlan cukup surprised mendengar suara tawa lepasnya yang merdu. Bahkan kedua sudut matanya sampai mengeluarkan air mata. Dan saat mulut Hanni terbuka lebar, Erlan baru menyadari, ada yang istimewa yang selama ini tidak terlihat. 

Sejak Hanni menjadi sekretaris utama, baru kali ini Erlan mendengar suara tawa lepasnya. Sebenarnya dari sejak di resto tadi, wajah Hanni sudah tampak terpaksa banget menahan diri untuk tidak ikut tertawa bersama keluarganya.

"Sorry, Pak Erlan," ucap Hanni setelah bisa mengontrol diri. Dia melirik Erlan sekilas yang memandang ke jendela.

"Singgah, ngopi sebentar."

"Baik, pak." 

Hanni menghidupkan lampu sign kiri dan tidak lama berbelok. Mereka singgah di Latino Coffee House. Hanni mengikuti Erlan yang menuju ke pojokan ruangan, ke meja tempat biasa Erlan nongkrong bersama teman-temannya. 

Erlan langsung duduk, mengeluarkan rokok dan bermaksud menyulutnya, sebelum dia tersadar kalau Hanni masih berdiri bengong.

"Kamu kenapa tidak duduk?" 

Hanni tersenyum, masa sih dia harus duduk semeja dengan Erlan saat santai begini? Biasanya Erlan duduk bersama teman-temannya, dia dengan senang hati memilih meja lain supaya bisa rileks.

"Saya duduk di meja sebelah saja," jawabnya dengan sungkan.

"Kita akan membahas pekerjaan," ucap Erlan tegas.

"Oh, siap pak." 

Hanni langsung duduk di kursi depan Erlan dengan pikiran berputar-putar. Membahas pekerjaan apalagi? Sudah jam sebelas malam. Otaknya sudah sangat overloaded hari ini. 

Berada lama di rumah sakit, melihat kondisi bunda yang membuat emosi bercampur aduk, sudah cukup membuatnya letih. Belum lagi harus memutar otak mencari jalan untuk mendapatkan biaya persiapan operasi bunda.

Pelayan datang membawa black coffee, chamomile tea dan dua porsi roti bakar. 

"Saya masih lapar, tadi agak sungkan untuk makan banyak," terang Hanni tanpa melihat senyum tersembunyi di wajah Erlan. 

Entahlah, Erlan merasa setelah makan malam tadi, Hanni menjadi lebih rileks bersamanya. Hanni menjadi suka berbicara banyak.

"You eat first, then let's discuss."

"Terima kasih." 

Hanni pun menikmati roti bakar dengan lahap. Erlan yang sibuk mengecek pasar bursa, sesekali menatap Hanni yang sudah berpindah ke piring kedua. Hanni benaran lapar berat, mana bibirnya berlepotan selai cokelat. Rasanya ingin saja dia melemparkan tisu ke wajahnya tetapi bibir yang berlepotan itu menarik juga, menjadi hiburan tersendiri.

Erlan tersenyum sendiri. Sudah dua tahun Hanni menjadi sekretarisnya, menghabiskan waktu hampir dua puluh empat jam bersama.  Berpisah bisa dibilang hanya saat tidur saja tetapi dia tidak pernah memperhatikan Hanni secara pribadi. Mungkin kejadian malam itu telah membuat dia lebih peka terhadap Hanni.

"Pak Erlan, sudah siap. Let's discuss," ucap Hanni yang masih tidak sadar bibirnya berlepotan selai. 

Erlan mengangguk. "Kita sibuk besok?"

"Ya, full sampai pukul sepuluh malam." 

Besok Erlan harus menghadiri beberapa meeting di empat tempat berbeda, belum lagi video call.

"Oke. Kita bereskan soal opa dulu. Untuk blind dates, apa yang diperlukan?"

"Oh..." Rupanya ini pekerjaan yang harus diselesaikan jelang dini hari.

"First step, tentu saja kita harus mempunyai calon untuk blind dates. Kita harus menentukan wanita seperti apa yang Pak Erlan suka." 

Erlan menggaruk-garuk kepala sambil menatap Hanni yang sepertinya menikmati betul topik diskusi kali ini. Karena Erlan tidak merespon, Hanni berbicara lagi.

"Spesifikasi atau kriteria. Sama seperti saat Pak Erlan memilih partner untuk bekerja sama dalam sebuah proyek. Pak Erlan mempunyai spesifikasi khusus sehingga memilih partner tertentu. Kalau spesifikasi untuk seorang wanita, kita bisa mulai membuat list dari penampakan luarnya. Pak Erlan suka wanita seperti apa. Misal, kulitnya harus putihkah? kuning langsat dan lain-lain. Terus rambutnya suka yang seperti apa. Panjang, keriting? Hidungnya harus seperti apa?"

"Go home!" perintah Erlan sambil bangkit. 

Hanni yang sudah sangat serius, bengong. "Loh, Pak Erlan..." Hanni bangkit dan cepat-cepat menuju ke kasir.

Tidak ada percakapan sepanjang perjalanan pulang. Erlan diam, Hanni juga memilih untuk tidak memulai pembicaraan.

"First meeting jam berapa besok?" tanya Erlan begitu turun dari mobil.

"Sembilan tepat."

"Besok sebelum meeting aku kasih tahu kamu."

"Baik, pak." 

Erlan menutup pintu mobil dan berlalu. Hanni segera memasukkan mobil ke garasi, pekerjaan hari ini sudah beres. Saatnya untuk beristirahat sambil memutar otak memikirkan biaya pengobatan bunda.

***

Sudah pukul dua dini hari tetapi Erlan masih belum bisa terlelap. Pertanyaan Hanni tentang spesifikasi wanita yang dia sukai, cukup mengganggu pikiran. Sudah lebih dari tiga tahun dia tidak dekat dengan wanita mana pun. Tepatnya setelah tiga kali lamarannya ditolak. 

Sejak saat itu, dia bahkan tidak mempunyai niat lagi untuk menikah. Lantas seperti apa wanita yang dia sukai sekarang ini? Dia tidak pernah memikirkan itu sebelumnya.

Sementara Hanni juga belum bisa terlelap, pikirannya sibuk dengan rencana yang akan dilakukan untuk mendapatkan biaya persiapan operasi bunda. Kali ini dia harus bergerak cepat. 

Dia sudah berencana besok di sela-sela kepadatan kerja, dia harus bisa menghubungi Paman Wardi. Meminta tolong untuk segera mencari orang-orang yang berminat membeli rumah peninggalan almarhum bapak di Bogor dan tanah warisan bunda di Malang. 

Dia juga harus sempat menghubungi Firman, pialang saham yang temannya Erlan. Hanni mempunyai sepuluh lot saham yang dia beli dari gaji dua bulan pertamanya setelah menjadi sekretaris utama, sebelum bunda sakit.

Saat itu Erlan membeli banyak saham setelah menjual perusahaan pribadi yang bergerak di bidang properti di Amerika. Hanni yang masih terkaget-kaget mendapat gaji banyak dan tidak tahu mau diapakan, akhirnya ikut membeli walaupun dalam jumlah yang sangat kecil.

***

Pukul delapan pagi Hanni sudah selesai sarapan tetapi Erlan belum muncul juga di ruang makan. Biasanya jam segini mereka sudah meninggalkan rumah. 

Hanni memutuskan untuk naik ke lantai atas. Ruang kerja Erlan kosong, berarti Erlan masih di kamar. Hanni mendekatkan kupingnya ke pintu, tidak terdengar suara apa pun. Dia mengintip dari lubang kunci, lampu di kamar masih padam.

Apa Erlan masih tertidur? Hanni mengetuk pelan, tidak ada suara yang merespon ketukannya. Mengetuk lagi dengan agak lebih keras, tetap tidak ada respon. Hanni melihat jam di pergelangan tangan, sudah pukul delapan lewat sepuluh, dia harus segera berangkat. Dia menelepon Imam untuk stand by menunggu Erlan terbangun.

Erlan yang terbangun pukul setengah sembilan, bergegas mandi dan begitu selesai, tanpa sarapan langsung berangkat ke kantor. Tiba di ruangan, sudah ada sandwich beserta segelas susu di atas meja.

"Hanni, come in."

"Baik, Pak Erlan." Jadwal meeting sudah dia tunda setengah jam.

Hanni yang hari ini memakai kemeja bunga-bunga hitam dan rok hitam selutut dengan rambut depan dikepang ke samping lalu diikat rapi ke belakang, muncul di ruangan.

"Pagi, Pak Erlan," sapanya pada Erlan yang sedang melahap sandwich

Erlan hanya mengangguk. "Specification..." Erlan diam sesaat. 

Hanni langsung bersiap mencatat tanpa melihat ke arahnya.

"Tinggi setidaknya seratus enam puluh lima sentimeter up, kulit kecokelatan, alis original..." 

Hanni menahan senyum.

"Rambut ikal, bola mata cokelat, hidung standar Indonesia, tidak mancung sekali juga tidak pesek. Bibir original, ada gigi gingsul dan ada lesung pipi, body proporsional. Mandiri, teman mengobrol yang asyik dan smart."

Karena Erlan sudah berhenti berbicara, Hanni melihat ke arahnya yang ternyata juga sedang menatapnya.

"Sudah semua, pak?" tanya Hanni yang membuat Erlan tampak berpikir.

"Kamu mau menambahkan?" 

Hanni langsung menggeleng. Pertanyaan seperti apa itu? Yang mau blind dates juga siapa.

"Saya rasa sudah cukup, sudah sangat spesifik. Nanti kalau terlalu banyak, susah mencarinya." 

Hanni tersenyum menampakkan lesung pipi. Rasanya dia ingin tertawa saja tetapi wajah si bos sangat serius.

"Oke," respon Erlan singkat.

"Kalau tidak ada lagi, saya tunggu di luar. Sepuluh menit lagi, meeting pertama."

"Oke." 

Hanni langsung berbalik dan menghilang di sebalik pintu. Erlan yang menatap kepergiannya, menarik napas panjang sebelum akhirnya tertawa keras. Dia penasaran apa keluarganya bisa menemukan wanita dengan ciri-ciri seperti yang dia sebutkan tadi? 

 

Bab 12

Sofia, Meira dan Lilian membaca pesan WA dari Hanni. Mereka penasaran sekali tentang kriteria wanita yang disukai Erlan setelah sekian lama tidak memiliki kekasih.

“Hai, ada apa dengan gigi gingsul?” respon Lilian yang membuat Sofia dan Meira tertawa geli.

“Gigi gingsul lagi ngetren tahu…?”

“Iya, gue tahu! Tapi itu selera ABG dan cowok-cowok yang masih labil, tidak cocok untuk pria semapan Mas Erlan,” protes Lilian sebal tetapi akhirnya ikut tertawa.

“Tenang, Erlan pasti ngerjain kita. Dia tidak akan menyerah begitu saja mengikuti kemauan opa. Ya ini, gigi gingsul plus lesung pipi. Jadi spesifik sekalikan? Sementara kriteria yang lain, lumayan gampang dicari.”

You’re right, mom.

“Oke, kita mulai mencari. Ingat, misi ini harus sukses! Jangan sampai Erlan menjadi bujangan tua hanya karena lamarannya ditolak tiga kali oleh gadis yang sama.”

“Siap, mom!” jawab Lilian dan Meira serentak dengan penuh semangat.

***

Meeting sesi kedua melalui video call sedang berlangsung dengan kantor cabang Mars di Singapura. Di ruangan meeting hanya ada Erlan, Randy  dan Hanni. Seperti biasa, Hanni hanya menyimak. Sesekali jemarinya menari-nari cepat di atas keyboard mencari data yang diperlukan Erlan.

Saat diskusi mulai agak santai, Hanni keluar dan muncul kembali beberapa saat kemudian dengan membawa dua cangkir black coffee untuk Erlan dan Randy dan segelas lemon tea untuk dirinya.

“Hai, lu apa kabar?” Randy menggoda Hanni, setelah meeting selesai.

“Baik, Mas Randy. Perasaan tadi pagi saat kita jumpa di depan,  Mas Randy juga sudah menanyakan kabar saya.” Hanni gantian menggoda. 

Randy mengangguk-angguk kepala. Ingatannya memang sedang berada di titik nol sekarang ini. Dia terlalu nervous memikirkan bahwa sebentar lagi dia akan melepas masa lajang.

“Kawin cepat, biar tidak linglung,” goda Erlan yang membuat Randy mendelik sebal.

“Cepatan blind dates, biar lu yang kawin duluan,” balas Randy dengan kocak. 

Erlan tersenyum lebar. Mendengar keduanya yang saling menyindir dengan kocak, membuat Hanni menahan diri untuk tidak tertawa. 

“Gara-gara kamu, aku dipaksa kawin juga.”

“Ya, iya! Masa gue melangkahi orang yang lebih tua.” 

Hanni berpaling ke arah lain, khawatir tawanya akan meledak. Randy yang melihat, menertawakannya.

“Hanni, lu kalau mau tertawa, ya tertawa aja. Lupakan sejenak rasa segan pada bos lu.” 

Erlan melirik Hanni yang kembali berbalik menghadap mereka.

“Nggak!” respon Hanni cepat. “Oh ya, Mas Randy mau ikut lunch di sini? Saya sudah order steak.”

Thanks. Gue sudah janji dengan Laras. Bro, good luck!” Randy menepuk-nepuk bahu Erlan sebelum beranjak keluar.

***

Ponsel Hanni berdering. Hanni yang sedang makan, melihat nama yang muncul di layar.

“Iya, bu.” 

Hanni memberi kode ke Erlan kalau yang menelepon adalah Ibu Sofia. Dia menghidupkan speaker agar Erlan bisa mendengar.

Sudah makan siang?

“Ini sedang makan siang. Ibu mau berbicara dengan Pak Erlan?”

Tidak usah! Dengan kamu saja, is it okay? Atau Ibu menelepon lagi nanti?

“Tidak apa, bu. Sekarang saja.” 

Erlan memperhatikan Hanni yang meletakkan kembali sendok ke piring.

Dulu waktu bapak di situ, pernah dibuat data karyawan yang sangat lengkap untuk asuransi termasuk data ciri fisik. Kamu masih ingat, tidak?

Erlan menyembunyikan senyum, mamanya benar-benar gigih. Memanfaatkan semua kemungkinan untuk mensukseskan blind dates.

“Saya masih ingat, bu. “

Datanya masih ada?

“Seharusnya masih ada di database. Ibu mau saya mengecek dan kirim ke email ibu?”

Tidak, tidak usah Hanni sayang. Tadi kami sudah mulai mencari gadis dengan kriteria yang diberikan Erlan dan ternyata sangat susah. Tidak ada satu pun yang memenuhi kriteria lengkap, tetapi setidaknya ada sepuluh yang hampir-hampir mendekati.” 

Elan tersenyum lebar, sesuai dengan yang dia perkirakan.

Maksud ibu, siapa tahu, mungkin kita bisa menemukan beberapa yang mendekati juga di Mars. Karena kita mempunyai banyak karyawan wanita yang singlekan?” 

Hanni tersenyum sambil melirik sekilas ke Erlan yang ikut mendengarkan dengan serius.

“Bisa, bu. Saya akan meminta bagian IT untuk menyamakan data, mudah-mudahan kita mendapat banyak.” 

Erlan mendelik.

Excellent! Oke, ibu tunggu kabar dari Hanni segera ya.

“Baik, Bu. Sampai jumpa.” 

Hanni mematikan sambungan telepon, lalu meneruskan makan.

“Apa kamu bisa membuat ini agak rumit sedikit?” 

Hanni berhenti mengunyah, pertanyaan seperti apa itu? Melihat ekspresi Hanni, Erlan menarik napas panjang.

“Maaf, Pak Erlan. Saya mendapat perintah langsung dari Pak Brata untuk membantu menyukseskan blind dates ini. Kalau blind dates ini sukses, itu juga akan menjadi kesuksesan saya sebagai sekretaris."

Okay, you will be fired soon! Bos kamu, aku atau Pak Brata?” 

Wajah sadis Erlan membuat Hanni berhenti mengunyah. Gawat! Kata ‘fire’ adalah kata yang sangat sensitif baginya saat ini. Hanni tersadar dia sudah salah berbicara. Erlan paling membenci bila ada karyawan yang mulai berani membangkang. Erlan menyadari perubahan ekspresi Hanni.

“Maaf, Pak Erlan,” ucap Hanni pelan sambil bangkit dan membereskan piring makan.

Setelah beres-beres, Hanni kembali ke meja Erlan. Erlan sedang memeriksa beberapa dokumen tanpa terpengaruh dengan kehadirannya.

“Lima belas menit lagi kita ke Auto. Saya tunggu di luar.”

“Aku bisa pergi sendiri! Siapa yang menyusun dokumen ini? Untuk apa Mars membayar banyak sekretaris kalau untuk menyusun dokumen begini saja, tidak becus?” 

Erlan melempar dokumen ke ujung meja, tempat Hanni berdiri. Erlan memang akan sangat merepotkan bila sedang bad mood, semua yang benar bisa menjadi salah. Hanni mengambil dokumen itu dan melihat sekilas. Dia mengetahui siapa pembuat dokumen ini tetapi dia tidak mau membahasnya lebih lanjut.

“Maaf, Pak Erlan. Akan saya koreksi segera dan cetak yang baru. Permisi.”

Erlan tidak menjawab, bahkan dari tadi tidak sekali pun dia melihat ke arah Hanni. Lima belas menit kemudian Erlan keluar dari ruangan dan berlalu begitu saja tanpa berkata apa-apa. Hanni yang sengaja berhenti mengetik, kembali melanjutkan kerja dengan pikiran menerawang. Sudah lama sekali Erlan tidak sesadis itu, dia sangat menyesal telah salah berbicara. 

Hanni sudah sering makan malam bersama keluarga Erlan tetapi makan malam kemarin, benar-benar dalam suasana berbeda dan penuh keakraban. Itu membuat dia merasa lebih nyaman berada di dekat Erlan, tidak sekaku biasanya. Erlan juga setelah itu lebih banyak mengajaknya berdiskusi di luar urusan pekerjaan. 

Kenyamanan membuat Hanni mulai menampakkan banyak sifat aslinya, terutama gaya bicara ceplas-ceplos. Hanni menyadari kesalahannya, dia mungkin terlalu banyak berbicara, melewati batas yang bisa Erlan tolerir.

Sampai dengan pukul enam sore, Erlan tidak kembali ke kantor padahal meeting sudah selesai satu jam yang lalu. Dari Imam, Hanni mengetahui setelah meeting tadi, Erlan menyetir mobil sendiri. Hanni tidak berani menelepon, dia khawatir Erlan akan semakin marah. Hanni menunggu sampai pukul delapan malam, kemudian dia memutuskan untuk pulang ke kamar bunda.

***

Widya menyambutnya dengan gembira. Sudah lama sekali mereka tidak tidur bersama. Hanni duduk di samping tempat tidur bunda sambil mengelus-elus lengannya.

“Apa kabar bunda hari ini? Maafkan Hanni yang tidak bisa selalu bersama bunda. Hanni sudah meminta tolong Paman Wardi untuk menjual rumah dan tanah kita. Maafkan Hanni, sampai dengan saat ini, Hanni belum punya duit sendiri untuk persiapan operasi bunda. Jadi Hanni terpaksa menjual rumah peninggalan bapak dan tanah warisan dari eyang.” 

Widya menangis pilu mendengar ucapan Hanni yang sama sekali tidak menitikkan air mata. Dia malah tersenyum sambil memeluknya. 

“Hanni janji, nanti kalau bunda sudah sembuh, Hanni akan membeli tanah yang luas supaya bunda bisa kembali berkebun. Kita akan membangun rumah di dalam kebun. Tapi bunda juga harus janji, bahwa bunda akan bangun dan kita bertiga akan hidup damai seperti dulu.”

Malam itu ada banyak cerita yang mereka bagi, Hanni bercerita tentang pekerjaannya. Tapi tentu saja tidak ada cerita tentang kehidupan pribadinya sebagai wanita dewasa berusia hampir dua puluh tujuh tahun. Widya menatap Hanni yang terlelap di sebelahnya. Dia mengelus rambut dan pipinya yang begitu lembut.

Mbaknya berkorban terlalu banyak untuk keluarga bahkan sejak dia berusia anak-anak. Di umurnya sekarang, seharusnya Hanni memikirkan masa depannya, bukan terus-terusan memikirkan dia dan bunda.

 

Bab 13

“Selamat pagi, den,” sapa Inah begitu Erlan muncul di ruang makan.

“Pagi, bik,” balas Erlan dengan mata melihat ke sekeliling.

“Hanni sudah sarapan?” tanyanya begitu tidak melihat sosok Hanni yang biasanya jam segini pasti sedang sarapan. 

Inah tersenyum. “Non Hanni tidak pulang kemari. Bibik pikir den sudah tahu.”

“Oh,” respon Erlan singkat.

Dia memang pulang larut semalam. Firman salah satu teman dekatnya akan segera menikah, jadi dia diundang ke pesta lajang. Dia pikir Hanni akan seperti biasa menginap di sini.

***

Saat Erlan tiba di kantor, dia juga tidak melihat Hanni ada di ruang sekretariat. Tapi bunga di vas atas meja Hanni, tampak baru diganti. Dan ada selembar jadwal kerja hari ini di atas meja kerjanya beserta setumpuk dokumen baru yang kemarin dia meminta Hanni untuk mencetak ulang.

Ponsel Hanni berdering. Hanni memberi kode kepada teman-temannya untuk diam sebentar.

“Selamat pagi, bu.”

Pagi, apa kabar Hanni?” tanya Sofia penuh semangat.

“Baik, bu.”

Bagaimana pekerjaan kemarin? Sudah bisa kirim hasilnya ke ibu?” 

Hanni diam sesaat, memutar otak. Dia belum menyuruh Bima untuk mengerjakan apa yang Ibu Sofia mau karena insiden kemarin.

“Sebentar, bu.” 

Hanni berjalan cepat, meninggalkan ruangan Sales & Marketing dan menuju ke ruangan Erlan. Dia langsung memutar hendel pintu tanpa mengetuk seperti seharusnya. Erlan yang serius mengetik di laptop bahkan tidak menyadari kehadirannya. 

Hanni mengetuk pelan meja kerja Erlan sekedar memberi kode kalau dia ada di sini. Erlan menatapnya dengan pandangan menyelidik.

“Ibu Sofia." 

Hanni menyerahkan ponsel ke Erlan dan segera keluar, meninggalkan Erlan yang bengong.

“Iya, ma.”

Lho, kok kamu yang jawab? Hanni mana?” protes Sofia agak-agak sebal. 

Erlan tertawa. “Hanni harus segera ke lantai bawah, ada tamu penting datang. Ada apa, ma?” Dia berbohong. 

Sofia memang sengaja tidak mau melibatkan Erlan dalam hal ini. Dia khawatir Erlan akan mempersulit, dia mengenal betul watak Erlan.

Kemarin mama minta tolong Hanni untuk mengecek database karyawan, apa sudah selesai? Kita harus bergerak cepat, opa sudah sibuk bertanya terus.

“Oh, itu. Nanti setelah lunch, Hanni akan mengirim email ke mama ya. Mama tidak usah khawatir. I am ready for blind dates, okay?

Thank you, darling. Kamu tahu opa kamu, ribet banget kalau ada maunya.

“Iya, ma. Sorry aku merepotkan mama. Malam ini aku pulang ke rumah.” 

Sofia tersenyum bahagia. “Oke, mama tunggu ya. Ajak Hanni juga.

“Oke, ma,” jawab Erlan dengan wajah pasrah.

Pada akhirnya dia memang harus berdamai dengan keinginan keluarga tercinta. Nothing bad sebenarnya, dia hanya harus menahan egonya sedikit. 

Erlan menatap wallpaper di ponsel Hanni. Ada foto Hanni yang memakai baju kerja yang hari ini dipakainya, bersama seorang gadis yang memakai jas putih seperti jas dokter. Wajah keduanya lumayan mirip, yang berbeda hanya kulit Hanni yang agak kecokelatan.

***

“Hanni, come in.” 

Hanni segera muncul. Erlan menyerahkan ponselnya.

“Kamu sudah menghubungi Bima?” Hanni menggeleng. “Why?” tanya Erlan lagi.

“Kemarin saya pikir, Pak Erlan tidak mau saya melanjutkan apa yang diminta ibu. Jadi saya belum menghubungi Bima,” jawab Hanni sambil menatap Erlan sesaat, lalu menunduk.

“Oke, kamu hubungi Bima sekarang juga. Data harus siap sebelum lunch. Mulai dari sekarang, kamu kerjakan apa pun yang diminta Ibu Sofia. Jangan terpengaruh dengan reaksiku, kamu mengerti?” tanya Erlan dengan suara tegas. 

Hanni tertegun, ada apa lagi ini?

“Baik, Pak Erlan,” jawabnya sebelum berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan. 

Hanni tidak mengetahui situasi semakin membaik atau malah memburuk. Dia tidak bisa menebak maksud ucapan Erlan tadi. Apa Erlan masih marah kepadanya?

***

Bima sangat surprised melihat kehadiran Hanni di ruang kerjanya. Miss Secretary yang satu ini memang jarang sekali beredar, pekerjaannya mengekori big boss terus. 

Honey bunny,” sapanya sambil mengedipkan mata dengan senyum menggoda. 

Hanni merobek lembaran di buku catatan dan menempelkan dengan sukses ke jidat Bima yang tampak berkilap.

“Wow, apa-apaan ini?”

Bima menarik lembaran di jidatnya dengan wajah sebal, Hanni tertawa. Dulu sekali sebelum menjadi sekretaris Erlan, dia dan Bima lumayan sering hang out bersama.

“Pak Erlan menyuruh kamu untuk mencocokkan data ini dengan database fisik karyawan. Hasilnya harus sudah ada di atas mejaku sebelum lunch.”

“Untuk apa?”

Top secret!” 

Gantian Hanni yang mengedipkan sebelah mata. Bima tertawa, dia mengingat kisah yang lain. Tetapi tentu saja dia tidak bisa menceritakan kepada Hanni karena dia juga mempunyai sesuatu yang top secret tentang Hanni dan si bos. Dia akan menjaga rahasia itu dengan sangat baik karena Hanni gadis yang baik dan tulus.

“Oke, bos kecil,” ucapnya pasrah.

Thank you, Bima.” 

Tidak beberapa lama setelah itu, Bima menerima kiriman teh tarik dingin kesukaannya, tentu saja dari Hanni. Miss Secretary yang selalu bisa membuat orang tersanjung. Hanni memang berbeda dari sekretaris lain, makanya banyak karyawan Mars yang menyukainya. Posisi Hanni yang sangat dekat dengan bos besar, tidak lantas membuatnya sombong.

Lamunan Bima tentang Hanni, tiba-tiba terhenti. Data kecocokan fisik karyawan dengan poin-poin yang ada di lembaran yang pasti dari bos, hasilnya muncul di layar komputer. Bima yang kaget sesaat, akhirnya tertawa geli. Miss Secretary is really something.

Bima segera mencetak dua rangkap, satu untuk bos dan satunya lagi untuk Hanni. Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang saat dia mengantar dokumen itu ke ruangan sekretariat. Hanni yang sedang menelepon,  berhenti berbicara.

“Sudah selesai?” Bima mengangguk.

“Dua rangkap, satu untuk lu, satu untuk Pak Erlan.”

I don’t need it. Kamu kasih langsung ke Pak Erlan saja.”

Bima berbalik, menuju ke ruangan Erlan. Hanni mengingat sesuatu, dia harus memindai hasilnya dan mengirimkan ke Ibu Sofia.

“Bima, wait! Satu tinggalin di mejaku.” 

Bima tersenyum penuh arti. “Baiklah, see you. I love you.” Hanni tertawa.

***

“Selamat siang, bos.” 

Erlan melihat ke pintu, ada Bima yang cengar-cengir.

Come in. Sudah selesai?” 

Bima mengangkat dokumen yang dipegangnya dan menyerahkan ke Erlan. Erlan tidak langsung membuka, dia meletakkan dokumen itu di atas tumpukan dokumen yang akan dia tandatangani.

“Ada yang seratus persen cocok?” tanyanya penasaran. 

Bima langsung mengangguk dengan senyum tertahan.

You’ll be suprised!” 

Bima dan Erlan sudah lama saling mengenal, makanya Bima sangat santai saat berbicara dengan Erlan.

“Apa pun hasilnya, top secret okay?” 

Bima mengangguk sambil mengangkat tangan kanan menyentuh dahi, memberi hormat. Erlan tersenyum melihat tingkah konyolnya. Begitu Bima menghilang dari pandangan, dia segera membuka dokumen dan mulai membalikkan setiap lembaran.

Lembaran paling atas adalah peringkat kecocokan nomor sepuluh, Erlan tidak mengenal siapa karyawan yang ada di foto bahkan dia ragu apa pernah melihatnya. Lembaran kedua adalah peringkat nomor sembilan, delapan, tujuh, enam. Erlan tidak lagi melihat foto, tangannya terus sibuk membalikkan lembaran nomor lima, empat, tiga dan dua. 

Sebelum membalik lembaran nomor dua yang minus spesifikasi gigi gingsul dan lesung pipi, Erlan berhenti sesaat. Dia menarik napas panjang dengan dada sedikit berdebar. Dan, ada foto Hanni di lembaran terakhir dengan kecocokan seratus persen. 

Ya, tentu saja! Hanni berdiri di depannya pagi itu. Dia tidak bisa membayangkan sosok lain, selain Hanni yang hampir dua puluh empat jam bersamanya. Erlan mengambil lembaran itu dan memindahkan ke laci paling bawah.

Di saat yang sama, Hanni sangat kaget melihat lembaran terakhir dari dokumen yang diberikan oleh Bima. Dia langsung berlari menuju ruangan Erlan. 

Erlan mendengar suara riuh high heels yang menuju ke ruangannya. Dan dalam sekejap Hanni muncul dengan wajah pucat, berkeringat dan napas ngos-ngosan. Erlan tidak menyangka efeknya bisa separah itu.

“Pak Erlan, ada yang salah dengan isi dokumen itu.” ucap Hanni yang langsung mengambil dokumen di atas meja.

“Oh ya? Aku belum sempat membaca.” Erlan berbohong.

“Oh, thank god!” ucapnya dengan sangat lega.

Hanni langsung membuka lembaran terakhir, matanya terbelalak. Lembaran yang dia cari tidak ada, lembaran terakhir adalah lembaran kecocokan nomor dua, bukan nomor satu seperti di dokumen yang dia punya.

Hanni sangat bingung, dia membalik lagi dari awal dan membaca dengan teliti lembar demi lembar. Memang hanya ada sembilan lembar, bukan sepuluh. Setelah berpikir semua kemungkinan, akhirnya Hanni tertawa sendiri. Pasti Bima sengaja mengerjainya.

“Apanya yang salah?” selidik Erlan. 

Hanni menggeleng dengan masih tertawa. “Tidak, Pak Erlan. Tidak ada yang salah.” 

Hanni sadar wajahnya sukar untuk berbohong tetapi dia harus berbohong.

“Apanya yang salah?” Erlan mengulang pertanyaan. 

Hanni menatap Erlan sesaat, kemudian menunduk.

“Di dokumen yang diberikan ke saya, ada sepuluh lembar. Lembaran terakhir datanya error,” jawab Hanni dengan sangat yakin. Dia geli sendiri mengingat kepanikannya tadi.

“Apa isinya sampai bisa membuat kamu panik?” 

Wajah lega Hanni berubah dalam sekejap. Erlan bertanya sangat detail. Hanni terdiam sesaat, mencari jawaban yang tepat. Erlan menatap Hanni yang salah tingkah dengan pandangan tajam. Dia penasaran sejauh mana Miss Secretary bisa berbohong.

“Isinya kecocokan seratus persen tapi itu gambar hasil desain Bima. Saya sangat khawatir Pak Erlan akan tersinggung karena gambar itu, makanya saya panik. Bima pasti mau mengisengi saya." 

Kebohongan Hanni membuat Erlan speechless. Hanni akhirnya bisa tersenyum lega kembali melihat wajah Erlan yang bengong.

“Benar begitu?” Hanni mengangguk dengan wajah super yakin.

“Saya sebenarnya mau menunjukkan ke Pak Erlan. Tapi maaf, saking paniknya, sudah keburu saya masukkan ke paper shredder.” 

Raut wajah Hanni yang sangat menyesal, lagi-lagi membuat Erlan  menyerah. Ternyata Miss Secretary lihai juga.

“Malam ini kita dinner di rumah Ibu Sofia.”

“Baik, Pak Erlan.” 

Hanni cepat-cepat keluar. Dia tidak mau Erlan berubah pikiran dan bertanya macam-macam lagi. Secepatnya menghilang dari ruangan ini, akan menyelamatkan kebohongannya.


Bab 14

Sofia memeriksa satu demi satu lampiran yang dikirimkan Hanni ke email. Sama juga, hasilnya tidak ada yang seratus persen seperti yang Erlan mau. Hambatannya selalu di gigi gingsul plus lesung pipi. Akhirnya dia memutuskan untuk mencoret kriteria itu. 

Semua foto disusunnya satu demi satu, lengkap dengan biodata singkat tentang umur, pekerjaan, hobi dan lain-lain. Berkas ini nanti malam akan dia serahkan kepada Erlan. Erlan harus memilih setidaknya sepuluh orang untuk dilanjutkan ke blind dates.

***

Saat makan siang, Hanni membawa dua kotak nasi ayam bakar ke ruangan Bima. Seperti biasa, Bima selalu telat makan siang.

“Alhamdulillah, gue mendapat sedekah,” ucap Bima dengan wajah senang. 

Bima menebak, ini pasti karena lembaran ke sepuluh itu. Hanni diam saja, dia duduk di hadapan Bima dan membuka kotak nasi.

“Lu kagak temani bos?” 

Hanni menggeleng. “Kamu menjebak aku!” 

Bima mendelik. Loh, ada apa ini?

“Kenapa di dokumen yang kamu kasih ke aku ada lembaran kesepuluh, sedangkan dokumen yang kamu kasih ke Pak Erlan hanya ada sembilan lembar?” 

Bima benar-benar tidak mengerti.

“Kamu tahu bagaimana paniknya aku membaca lembaran kesepuluh? Bagaimana aku berlari kencang ke kamar Pak Erlan agar Pak Erlan tidak membacanya? Bima, why? What’s wrong with you? Kalau kamu mau mengisengi aku, tolong lakukan dengan cara lain. Jangan ada hubungannya dengan Pak Erlan.”

Wajah Hanni tampak sangat susah. Bima yang bengong, tidak langsung merespon. Dia hanya diam, mencoba mencerna perkataan Hanni. Akhirnya dia mengerti apa yang terjadi. 

Erlan pasti sudah memindahkan lembaran kesepuluh ke tempat lain setelah membacanya. Dia sangat yakin kedua dokumen itu berisi masing-masing sepuluh lembar dan dia tidak mungkin salah.

“Hanni, maafin gue ya. Gue berjanji tidak akan mengisengi lu lagi.” 

Itu akhirnya yang bisa dia ucapkan karena tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Selalu ada top secret kalau berhubungan dengan Erlan. Hanni memonyongkan bibir, rasanya mau saja dia menjitak-jitak kepala Bima. Tapi ya sudahlah, Bima sudah meminta maaf.

“Janji?”

Bima mengangguk, Hanni tersenyum senang. Sebenarnya saling mengisengi, itu hal yang biasa mengingat sudah lama mereka berteman. Masalahnya adalah hubungannya dengan Erlan yang sedang tidak baik-baik saja. Hanni khawatir itu bisa merembes kemana-mana. 

***

Pukul enam sore saat mereka keluar dari Mars. Jam macet seperti ini, perjalanan ke rumah keluarga Erlan bisa menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih. Hanni melirik Erlan yang merebahkan tubuh dan menutup mata, bersiap untuk tidur. Hanni tersenyum kecil sambil mengatur suhu AC supaya Erlan lebih nyaman.

Ponsel Erlan berbunyi. Sofia menelepon, Hanni segera menjawab.

“Halo, bu. Ini Hanni, Pak Erlan sedang tertidur. Kami sudah on the way.” Suara Hanni terdengar sangat pelan.

Oh, oke. Terima kasih kiriman pudingnya. Hampir habis dimakan opa.” 

Hanni tertawa. “Tinggal telepon, bu. Kalau mau lagi, biar saya kirim lagi.”

Ah, it’s okay. Besok kayaknya si opa pasti minta dikirimi lagi. Safe drive ya, jangan mengebut.” 

Hanni memang sering mengebut. Erlan sering menyuruhnya untuk mengebut bila sudah kepepet waktu dan karena itulah sekarang dia sangat mahir menyetir.

Akhirnya mereka tiba. Pak satpam langsung membuka pintu gerbang tinggi dan kokoh, begitu melihat mobil Erlan. Hanni segera masuk ke halaman luas dan memarkirkan mobil, sementara Erlan masih tertidur pulas.

“Pak Erlan,” panggil Hanni pelan. Tidak terbangun. 

“Pak Erlan.” 

Hanni memanggil lebih keras, sama juga, tidak ada respon. Hanni bebas menatap wajah ganteng Erlan.

“Pak Erlan.” 

Hanni menepuk pelan bahu Erlan dan berhasil. Erlan membuka mata dan menatap wajah Hanni yang tersenyum. Dia diam sesaat, antara sadar dan tidak.

“Sudah sampai.”

“Oh,” Erlan menguap. 

Hanni segera mengikuti langkah Erlan masuk ke dalam. Dulunya saat Erlan masih tinggal di sini, dia lumayan sering kemari bahkan menginap bila mereka lembur. Makanya hubungan dengan Meira dan Lilian sangat akrab karena mereka sering tidur bersama. 

Erlan kemudian memutuskan untuk membeli rumah sendiri yang lokasinya lebih dekat ke kantor. Dia tidak sanggup setiap hari harus menghabiskan dua, tiga jam untuk perjalanan ke kantor dan kembali ke rumah.

“Mbak Hanni…” 

Terdengar suara manja Lilian dari tangga. Hanni tersenyum sementara Erlan melotot sebagai tanda protes. Lilian yang sadar kalau dia seharusnya menyapa Erlan terlebih dahulu, langsung berlari dan memeluk abang tersayang.

“Mas Erlan, I miss you,” ucapnya menutupi rasa bersalah.

“Hm.” Erlan membalas pelukan.

“Mama sudah menunggu di taman belakang. Mbak Hanni, ayo!” 

Lilian melepaskan pelukan dan langsung menggandeng tangan Hanni. Erlan mengikuti keduanya dari belakang. Di taman sudah ada Sofia, Rahmad dan Brata. Hanni menyalami ketiganya.

Miss Secretary, pudingnya sangat lezat. Besok kirim lagi ya?” 

Brata lebih memilih menghabiskan puding kiriman Erlan dibanding menyantap menu barbeku yang disiapkan Sofia. Hanni tersenyum sambil melirik Erlan yang juga sedang menatapnya. Erlan memang tidak menyuruhnya untuk itu. Ini murni inisiatif Hanni yang selalu mengirimkan makanan setiap mereka akan berkunjung ke sini.

“Iya, opa. Besok saya kirim lagi.” 

Hanni tahu kalau permintaan Pak Brata telah membuat Erlan stres walaupun tidak mengungkapkannya. Karena itu Erlan harus membuat Pak Brata senang agar bisa sedikit berdamai dengan keinginannya. Mengirim makanan enak yang disukai Pak Brata adalah salah satu cara untuk membuat beliau tersanjung.

“Opa, apa kabar?” sapa Erlan sambil memeluk Brata yang tampak sedang good mood

Brata membalas pelukan, lalu memberi kode untuk duduk di sebelahnya. Sofia dan  Rahmad tersenyum lega. Karena kiriman puding dari Erlan yang membuat opa senang, setidaknya beliau tidak terus merecoki mereka dengan urusan blind dates yang sampai dengan pagi tadi masih terus ditanya berulang-ulang.

Hanni duduk bersama Lilian, agak jauh dari mereka. Hanni sangat menikmati makan, bersama Lilian, dia tidak malu untuk menambah makanan berulang kali. Lilian juga makan banyak, tidak peduli dengan berat badannya yang mungkin bertambah.

“Menurut Mbak Hanni, blind dates ini akan berhasil?” tanya Lilian dengan polosnya. 

Hanni tertawa lebar menampakkan gigi indah yang kemudian membuat Lilian terpana. Dua spesifikasi yang menjadi konsen semua orang, ada di sana. Semua tahu kalau Hanni mempunyai lesung pipi tetapi tidak dengan gigi gingsul, yang tidak tampak kalau tidak diperhatikan dengan teliti.

Lilian baru menyadari kalau selama ini dia tidak menaruh perhatian pada bagian itu karena Hanni juga jarang tertawa lebar. Mungkin masalah blind dates ini juga membuat Hanni merasa geli, seperti yang mereka rasakan. Masalah blind dates selalu bisa membuat mereka tertawa di tengah-tengah rasa stres mendapat pertanyaan berulang-ulang dari opa.

"Aku rasa, akan berhasil dan memang harus berhasil! Walaupun mungkin Pak Erlan tidak ikhlas-ikhlas banget menjalaninya. Tapi rasa hormat kepada opa, bisa membuat itu berhasil.”

“Semoga Mas Erlan bisa tertarik dengan salah satu dari mereka. Kalau tidak, opa pasti akan memaksa dan memilih seseorang untuk Mas Erlan.” 

Hanni melongo. “Really?” tanyanya tidak percaya. 

Lilian mengangguk dengan mimik wajah lucu. “Makanya kami sangat serius dalam memilihBiar Mas Erlan punya kesempatan lebih besar untuk memilih calon istri, daripada dipilihkan sama opa. Iyakan?” 

Keduanya tertawa.

“Apa selama ini Mas Erlan memang benaran tidak punya pacar? Atau tidak dekat dengan siapa pun?” selidik Lilian. 

Sukar sekali untuk percaya kalau abang gantengnya itu tidak dekat dengan wanita mana pun.

“Aku tidak tahu pasti, sepertinya memang tidak ada karena dari pagi sampai malam, aku bersama Pak Erlan terus. Pak Erlan itu jarang sekali pergi sendirian. Pernah beberapa kali dia hang out bersama teman-temannya dan ada teman wanita juga tapi aku rasa dia selalu menjaga jarak,” terang Hanni yang membuat Lilian pasrah.

“Ampun dah, abang gue! Kurang apa, coba?”

Hanni tersenyum lebar. Iya, apa yang kurang dari Erlan? Tidak ada! Everything about him is perfect! Ada banyak wanita yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan dan berusaha mendekat tetapi Erlan sengaja menjaga jarak dan memberi batasan yang jelas. Akhirnya banyak yang menyerah kalah termasuk dirinya tetapi dengan alasan berbeda.

Dia menutup rapat bahkan nyaris memusnahkan perasaan yang sebenarnya terhadap sang bos karena dia masih membutuhkan pekerjaan untuk mendukung pengobatan bunda. Saat ini, bisa terus menjadi sekretaris Erlan adalah segala-galanya. Dia tidak peduli dengan apa pun selain itu. Apalagi memedulikan perasaan suka yang berujung pada rasa cinta. 

Sedari kecil karena keadaan keluarga yang pas-pasan, dia sudah terlatih dengan baik dalam menyembunyikan perasaan dan keinginan. Hanni menatap bintang-bintang di langit dengan senyum optimis, dia pasti akan bisa melewati semua ujian ini. Sampai suatu hari nanti, dia mempunyai kemampuan untuk menunjukkan apa yang dia rasa dan apa yang dia mau.

Menjelang pukul sepuluh malam, Meira mucul bersama Ricky, dokter pribadi Erlan. Yang membuat Hanni surprised adalah ternyata keduanya sudah resmi berpacaran. Ini kali pertama Hanni berjumpa lagi dengan Ricky setelah kejadian malam itu di hotel. 

Sorry semua, gue telat,” ucap Meira, masih dengan kostum menyanyi live di tv swasta.

“Ricky, ayo makan. Meira, ganti baju dulu sana.” 

Meira mengangguk sambil melambaikan tangan ke arah Hanni dan Lilian. Dia kembali ke dalam, makan malam santai bersama keluarga memang bakalan ribet banget kalau dia masih memakai gaun ini.

Ricky yang sudah mengambil makanan, memilih bergabung dengan Hanni dan Lilian. Dia ogah duduk semeja dengan Erlan yang tampak sangat serius berdiskusi tentang perusahaan yang tidak ada habis-habisnya.

“Hanni, apa kabar?” 

Hanni tersipu malu, dia menjadi ingat kejadian malam itu. Lilian menangkap sesuatu dalam tingkah keduanya, yang tidak biasa.

All goes well, thank you.” 

Ricky terkekeh, Hanni tersenyum penuh arti. Lilian semakin penasaran.

“Kalian kenapa sih? Yang satu tersipu-sipu malu, yang satu lagi, cengar-cengir tidak jelas.” 

Hanni dan Ricky terbahak yang mengundang perhatian dari meja sebelah. Erlan melihat Hanni yang masih saja makan. Perasaan dari mereka tiba tadi, Hanni tidak berhenti makan. Meira datang dan keempatnya mengambil semua makanan sisa di pemanggang dan membawa ke meja mereka. 

“Ma, aku balik duluan. Sudah terlalu larut,” ucap Erlan sambil bangkit. 

Rahmad melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Menginap di sini saja malam ini.”

“Ya, kamu sudah lama tidak menginap di rumah.” 

Kalau opa sudah berkata, Erlan tidak bisa menolak. Erlan mengangguk dengan setengah terpaksa.

“Hanni, we stay here tonight,” info Erlan.

Meira dan Lilian bersorak senang. Hanni mengangguk dengan senyum manisnya.

“Asyik! Ayo kita lanjutkan ke dalam. Sudah kedinginan gue,” ajak Meira. 

Meraka mengangkut piring-piring berisi makanan ke dalam rumah. Akhirnya semua ikut masuk juga.

***

Ricky yang besok dinas pagi, mengundurkan diri dari ajang merumpi bersama tiga dara yang tidak berujung. Dia sudah tidak sanggup menahan kantuk. Ricky menuju kamar Erlan, hubungan keluarga mereka memang sangat akrab. Papanya adalah dokter keluarga Mahardika, bahkan memimpin Mars Hospital. 

Kamar tidak terkunci dan tidak tampak ada orang tetapi sliding door ke balkon dalam keadaan terbuka. Erlan sedang merokok dengan tatapan kosong ke kolam renang.

“Hai, jam segini tuh, itu paru-paru sudah harus diistirahatkan dari nikotin.” 

Erlan tertawa kecil. Ricky duduk di sampingnya.

“Kamu dan Meira resmi pacaran?” 

Ricky mengangguk dengan wajah bahagia. “Ya, pada akhirnya! Sudah terlalu lelah gue menunggu adik lu. Jadi gue ancam saja dia, now or never.” 

Keduanya tertawa. Bukan rahasia lagi kalau dari usia belia, Ricky sudah terang-terangan menyatakan rasa suka kepada Meira. Meira juga menyukai Ricky tetapi lebih memilih menjadikannya sebagai sahabat. Bisa dibilang, Ricky membersamai karir Meira yang terus menanjak. Waktu luangnya sebagai dokter, selalu ada untuk menemani Meira.

Congratulation, bro! Kamu lamar dan ajak nikah terus, biar aku tidak lagi dikejar-kejar opa.”

Ricky tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Erlan. “Maunya gue sih begitu, tapi opa belum kasih restu. Katanya, Meira baru boleh menikah kalau lu sudah menikah. Jadi lu cepatan dong nikahnya! Eh, sudah dapat calon?” Ricky pura-pura tidak tahu.

“Calon apaan?” Erlan tertawa sendiri.

“Bro, gue rasa lu hanya perlu melihat ke orang-orang di sekeliling lu. Kagak perlu mencari jauh-jauh, pakai acara blind dates segala. Norak, tahu! Lu cuma perlu menutup mata, nanti muncul tuh siapa orangnya. So simplekan? Udah ah, gue tidur dulu.” 

Erlan menatap Ricky yang kembali masuk ke kamar.   

***

Sampai dengan pukul tiga pagi, Erlan masih belum bisa tertidur. Dia baru bangkit setelah menghabiskan sebungkus rokok. Kerongkongannya terasa seret, Erlan keluar menuju dapur. Saat melewati ruang keluarga, dia melihat adik-adiknya dan Hanni sudah tertidur pulas di atas sofa.

Meira tertidur di kaki Lilian, Lilian tertidur dengan kepala di atas pangkuan Hanni yang tertidur sambil duduk. Erlan berpikir sejenak akan apa yang harus dilakukannya. Apakah dia harus mengangkat mereka pindah ke kamar atau membiarkan saja mereka tertidur dalam posisi seperti itu sampai pagi? 

Erlan meninggalkan ruang keluarga dan menuju dapur. Setelah minum segelas air, dia kembali lagi melewati ruang keluarga tetapi dia benar-benar tidak tega membiarkan mereka tertidur dalam posisi seperti itu sampai pagi.

Yang pertama digendongnya adalah Meira, lumayan berat juga. Tubuh Meira tinggi dan cukup berisi. Erlan menggendong Meira menuju ke kamar Meira yang letaknya di lantai satu. Setelah membaringkan Meira di atas tempat tidur, dia kembali lagi. Kali ini dia menggendong Lilian yang lebih ringan dan membawanya juga ke kamar Meira. Tempat tidur Meira sangat besar, cukup untuk mereka bertiga.

Erlan kembali lagi, kali ini dia berpikir lumayan lama sambil menatap Hanni yang sangat pulas. Haruskah dia membangunkan Hanni dan menyuruhnya tidur ke kamar Meira? Seorang bos menggendong sekretarisnya, dia rasa sangat tidak pantas walaupun dia sebenarnya sudah melakukan lebih dari itu dalam ketidaksadaran.

“Hanni,” panggilnya pelan. Hanni tidak merespon.

“Hanni, wake up!” Tetap saja tidak merespon.

“Hanni!” Erlan menepuk bahu Hanni. 

Hanni sedikit tersadar dan menggeser posisi duduk yang membuat tubuhnya hampir terjatuh. Untung saja Erlan segera menahan. Akhirnya dia memutuskan untuk menggendong Hanni juga yang beratnya dia rasa sangat pas dengan kekuatan lengannya. Tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan juga.

Perjalanan menuju ke kamar menjadi terasa sangat jauh, tidak secepat saat dia menggendong Meira dan Lilian. Hanni yang merasakan kehangatan, tanpa sadar membalikkan tubuh menghadap ke dada bidang Erlan. Itu langsung memberi efek yang di luar bayangan Erlan, dadanya berdebar kencang seketika. Miss Secretary bahkan bisa menggoda di saat tidak sadar.

Erlan membaringkan Hanni di posisi paling ujung dan melepaskan karet yang mengikat rambutnya. Hanni masih memakai pakaian kerja dengan rok yang tampak sangat ketat di bagian perut karena tadi dia makan banyak. Erlan memiringkan sedikit tubuhnya, membuka kancing rok dan menurunkan resleting beberapa centi, agar Hanni bisa tertidur dengan nyaman. Setelah itu dia menyelimuti Hanni dan keluar.

 

Bab 15

Hanni masih tertidur pulas. Meira dan Lilian yang sudah terbangun, menatap Hanni yang sama sekali tidak bergerak. Tadi Erlan sudah ke kamar untuk mengecek apa Hanni sudah bangun karena dia ingin segera berangkat ke kantor. Tetapi begitu melihat Hanni masih sangat pulas, Erlan mengurungkan niat untuk membangunkannya.

“Gue curiga nih sama Mas Erlan,” ungkap Lilian.

“Kenapa?” tanya Meira sambil memeriksa kuku Hanni yang terawat rapi. Dia sudah memegang cat kuku dan bermaksud ingin mengecat kuku Hanni.

“Lu perhatikan Mbak Hanni deh. Tinggi seratus enam puluh lima sentimeter up, Mbak Hanni tingginya sekitar seratus tujuh puluh senti, lebih tinggi sedikit dari gue. Kulit kecokelatan, see, kulitnya memang kecokelatan. Alis alami, bibir alami, bola matanya berwarna cokelat jugakan? Lihat hidungnya, tidak mancung, tidak pesek. Dia punya lesung pipi dan lu tahu apa yang membuat gue surprised semalam?” 

Meira mulai tertarik dengan fakta-fakta yang diungkapkan Lilian.

“Dia punya gigi gingsul!”

Really?” Lilian mengangguk.

“Mbak Hanni kan jarang banget tertawa lebar, nah semalam dia tertawa lebar dan tampaklah gigi gingsulnya. Tidak bakalan nampak kalau tidak benar-benar diperhatikan.”

“Jadi maksud lu, Mas Erlan suka sama Hanni?” 

Lilian mengangkat bahunya. “Bisa jadi, atau bisa jadi hanya kebetulan saja. Atau bisa jadi, Mas Erlan sengaja menyebutkan ciri-ciri yang dipunyai Mbak Hanni supaya kita tidak gampang mencari.”

“Tapi mengapa di data karyawan Mars, tidak ada Hanni?”

“Oh iya, seharusnya adakan? Buntu dah!” Lilian kecewa.

“Lagian, kalau Mas Erlan memang suka Hanni, dia tinggal bilang ke mama, papa dan opa sajakan? Pasti semuanya akan sangat senang dan langsung melamar. Urusan selesai.” 

Meira mulai mengecat kuku tangan Hanni dengan cat warna toska. Lilian yang semula sangat bersemangat karena berpikir apa yang dipikirkannya adalah benar, menjadi manyun sendiri. Dia memainkan rambut ikal Hanni yang terurai indah.     

Hanni yang tertidur, merasakan ada yang menarik-narik rambutnya, dia pun terbangun. Meira dan Lilian tersenyum. Hanni menutup mulut dan menguap lebar. Tidak sengaja matanya melihat ke jam dinding dan dia langsung terduduk kaget.

“Oh my god, pukul sepuluh. I’m dead! Pak Erlan di mana?” 

Hanni panik dan bermaksud hendak beranjak dari tempat tidur. Lilian segera memegang lengannya.

“Santai, it’s okay. Mas Erlan masih ada di sini.”

“Oh ya? Tapi pukul sembilan tadi seharusnya ada meeting. Aku keluar dulu, ambil baju.” 

Hanni yang masih panik langsung bangkit dan saat itulah dia menyadari kalau kancing roknya terbuka dengan resleting yang agak turun ke bawah. Hanni tidak sempat berpikir panjang, dia segera berlari keluar menuju garasi, tempat mobil terparkir.

Sudah menjadi kebiasaannya dan Erlan, menyimpan pakaian cadangan di dalam mobil. Saat kembali ke dalam, Hanni berpapasan dengan Erlan yang menatapnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Miss Secretary sepertinya baru bangun dan wajahnya masih tampak kaget.

“Pak Erlan, sorry saya telat bangun.”

Hurry up!” ucap Erlan dengan wajah datar. 

Hanni langsung berlari kembali ke kamar. Hubungannya dengan Erlan yang agak renggang, semakin renggang. Apakah ini sudah mendekati saat-saat dia akan dipecat?

Hanya dalam lima belas menit kemudian, Hanni sudah muncul di ruang keluarga dengan pakaian rapi. Wajah panik sudah menghilang tergantikan dengan sikap profesional seorang sekretaris.

“Pak Erlan, kita berangkat sekarang?” tanyanya.

Erlan bangkit.

“Tunggu dulu, kenapa? Mbak Hanni belum sarapan,” protes Lilian dengan mata menatap sebal.

“Tidak masalah, nanti bisa sarapan di kantor.” Hanni merasa tidak enak.

“Ayo, kita sarapan dulu.” 

Meira bangkit dan langsung menggandeng tangan Hanni yang diikuti Lilian. Erlan akhirnya duduk kembali, sepertinya dia harus menunggu satu jam lagi baru bisa pergi. Para dara kalau sudah makan bareng, acara merumpinya bisa panjang.

Dan saat sarapanlah, Hanni baru menyadari kalau kukunya sudah berwarna toska. Sepanjang hidupnya, belum pernah dia mewarnai kuku. Cantik sih tetapi dia jadi merasa aneh. Meira dan Lilian tertawa. Wajah Hanni yang panik melihat kukunya yang sudah berwarna, sangat menggemaskan.

“Sebentar, aku kok sepertinya amnesia. Bukannya kita semalam tertidur di ruang keluarga?” 

Meira dan Lilian tertawa lagi.

“Ya, iya. Ada yang berbaik hati menggendong kita ke kamar.”

What! Siapa?” 

“Menurut Mbak Hanni, siapa? Opa? Tidak mungkinkan? Tidak akan kuat! Papa? Ah, papa juga tidak kuat. Gendong mama yang beratnya tidak seberapa aja, sudah ngos-ngosan. Mas Ricky? Impossible! Walaupun fisiknya kuat, tapi Mas Ricky kalau sudah tertidur, tidak akan mungkin bisa terbangun kalau tidak dibangunkan. Hanya ada satu orang yang sangat mungkin melakukannya...” 

Wajah Hanni langsung berubah pucat. Hanni tidak perlu menjawab karena sudah pasti Erlan. Tidak ada pria lain di rumah ini kecuali pak satpam dan itu tidak mungkin bangetkan? Apa Erlan juga yang melepaskan kancing dan menarik resleting roknya agak ke bawah, agar dia bisa tertidur dengan nyenyak? Membayangkannya saja, dia  tidak berani.

***

Erlan sudah menunggu di luar, Hanni bersama kedua adiknya muncul dari dalam.

Safe drive, Hanni. Jangan ngebut ya.” Meira memeluk Hanni.

“Ini untuk Mbak Hanni. Tester parfum gue, bulan depan mau launching.”

“Wah, terima kasih.” Hanni mengambil botol parfum mini dari tangan Lilian, keduanya berpelukan. 

Erlan yang melihat,  langsung masuk ke mobil. Hanni membuka pintu dan memasang seat belt, lalu dia menurunkan kaca mobil karena Meira dan Lilian mendekat ke posisinya.

“Mbak Hanni, nanti aku telepon ya. Let’s hang out, cutiku masih panjang,” ajak Lilian dengan gembira. 

Erlan yang dari tadi diam, mengirimkan lirikan maut yang membuat Lilian dan Meira tertawa.

“Oke, sampai jumpa.” 

Hanni menghidupkan mobil dan melambaikan tangan sebelum beranjak. Seperti biasa sunyi senyap, Erlan memang tipe yang tidak suka banyak bebicara apalagi dalam perjalanan. Biasanya dia lebih suka menghabiskan waktu dengan iPad atau tidur. 

Tiba-tiba ponsel Hanni berdering. Hanni melirik nama 'Widya' yang muncul di layar tetapi dia tidak kuasa untuk menerima panggilan. Erlan tidak memperbolehkannya menerima telepon saat sedang menyetir. Dering berhenti sesaat sebelum kembali berbunyi lagi yang menarik perhatian Erlan.

Who is Widya?”

My sister.” 

Hanni mulai tidak fokus. Kalau Widya sudah menelepon bukan di waktu yang dia sarankan untuk menelepon dan kembali mengulang panggilan  untuk kedua kali, itu artinya ada yang urgent

Erlan mengambil ponsel dan menekan tombol untuk menerima panggilan.

Mbak Hanni,” Suara manja dari seberang.

“Hanni sedang menyetir,” jawab Erlan yang membuat Widya kaget.

“Oh…maaf, maaf banget. Nanti saya menelepon kembali.” 

Widya langsung memutuskan sambungan. Hanni melirik Erlan yang meletakkan ponsel kembali ke dasbor.

“Pak Erlan, di lampu merah sana, apa boleh saya menelepon adik saya sebentar? Dia jarang menelepon kecuali ada yang urgent,” tanya Hanni tanpa berani melihat Erlan.

Wajah Hanni yang tampak khawatir, membuat Erlan mengangguk. Hanni jarang sekali bisa pulang dan berkumpul dengan keluarga karena dia selalu membuatnya harus lembur.

“Boleh, kamu pakai handsfree.”

“Terima kasih banyak, pak.” 

Hanni segera memasang handsfree begitu mobil masuk antrian lampu merah.

“Ada apa, Wid?” tanyanya begitu tersambung.

Doktor Khairul tadi kemari, dia mau bertemu mbak.” 

Sepanjang bunda dirawat, baru kali ini Doktor Khairul meminta untuk bertemu dengannya.

Urgent?

“Kalau Mbak bisa, lebih cepat bertemu akan lebih baik.” 

Hanni menarik napas panjang yang membuat Erlan memperhatikannya.

“Oke, Wid. Nanti aku call kembali. Take care ya.” 

Hanni melepaskan handsfree dengan pikiran bercabang. Tiba-tiba terdengar suara klakson panjang yang membuatnya sangat kaget. Tentu saja dia tidak menyadari kalau lampu merah sesaat lalu sudah berganti hijau. Erlan melihat ke samping, wajah Hanni tampak pucat.

No personal matters during working hours!” 

Hanni tidak menjawab, dia menginjak gas dengan segera dan mulai agak mengebut. Rasanya ingin saja dia berteriak protes terhadap kata-kata yang sungguh terlalu itu di saat pikirannya bercabang. Benar-benar tidak berempati!

"Kamu mau ikut Formula 1?"

Erlan mulai merasa tidak nyaman dengan cara Hanni menyetir yang sangat tergesa-gesa dan tanpa fokus. Itu membuatnya was-was. 

Hanni tidak menjawab. Dia khawatir bila dia menjawab, nada suaranya akan terdengar sangat ketus. Sebagai respon atas teguran Erlan, dia menaikkan sedikit pijakan gas, mobil kembali ke kecepatan standar.

"Kamu sangat tidak profesional hari ini! Bangun telat yang membuat semua meeting harus dijadwal ulang. Menyetir dengan kecepatan tinggi dan tidak fokus. Kamu mau aku..."

"Maaf, Pak Erlan." 

Hanni langsung memotong ucapan Erlan. Dia tidak mau mendengar kata 'dipecat' keluar lagi dari mulut Erlan. Kata-kata adalah doa, dia tidak mau itu terjadi. 

Erlan semakin kesal, dia tidak suka bicaranya dipotong. Hanni benar-benar menyebalkan hari ini.

"Kalau kamu bersungguh-sungguh meminta maaf dan menyesal, tatap wajahku!" perintahnya dengan ketus. 

Dia melihat Hanni menarik napas berat, sebelum berpaling ke arahnya dengan pandangan sendu. Mereka saling menatap sesaat. Ini kali pertama dia memarahinya dengan keras.

"Maaf, Pak Erlan," ucap Hanni pelan, lebih terdengar seperti bisikan. 

Erlan langsung memalingkan wajah, dia benci melihat ekspresi seperti itu. Hanni semakin sedih, Erlan bahkan langsung berpaling setelah dia meminta maaf ulang. Dia telah membuat kesalahan lagi. Apa yang harus dia lakukan untuk menebus semua kesalahannya? Dia ingin mereka kembali ke keadaan seperti dulu.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Aku Di Sini Menunggumu - Bab 25,26,27
6
0
“Menikah itu tidak harus dimulai dari yang pas sempurna karena menikah itu adalah proses mengepaskan dua jiwa untuk bisa saling menghargai perbedaan. Kalau syaratnya harus mendapat yang pas dulu baru menikah, aku pikir pernikahan akan sangat membosankan.” Aerin diam sesaat. “Jadi, pada akhirnya aku berpikir bahwa perjodohan itu sebenarnya tidak jelek-jelek banget karena pastilah setiap orang tua akan berpikir panjang sebelum mengambil keputusan kepada siapa mereka memberikan kehormatan untuk menjaga anak gadisnya.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan