
Assalamualaikum,
Novel ini terbit pertama sekali di Wattpad (akun: InfiZakaria)
Sudah terbit ebook di Mei 2020, link https://play.google.com/store/books/details?id=4LnkDwAAQBAJ
Novel juga sudah terbit di September 2021.
SINOPSIS
Aku Di Sini Menunggumu
"Mas Arya, jangan sedih! Saat aku besar nanti, aku pasti akan lebih cantik dari Mbak Indah. Dan aku akan mencintai Mas Arya sampai aku setua Oma."
Sembilan belas tahun terpisah, Aerin Alessandra masih setia dengan cinta masa kecilnya kepada Arya Ferdinand....
BAB 1
Dear Mas Arya,
Happy birthday, semua yang terbaik aku doakan menyertai Mas Arya. I love u.
Ini adalah kartu ucapan yang ke-19 yang aku kirimkan ke Mas Arya dan akan menjadi kartu ucapan ulang tahun terakhir. Bulan depan aku akan berusia 29 tahun. Sudah saatnya aku melepaskan impian indah masa kecilku.
Good bye, My dream.
~Irin
Aerin menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Ada rasa sesak, sedih, dan harapan terindah yang secara terpaksa harus dia lepaskan. Akhirnya dia harus menyerah kalah, menepati janjinya. Kartu berwarna biru dengan corak abstrak dimasukkannya ke dalam amplop berwarna senada. Aerin bangkit dari kursi kerjanya, mengambil kunci mobil, dan keluar dari ruang kerjanya.
“Aku keluar sekitar dua jam. Kalau ada yang penting banget, telepon saja.”
“Siap, Mbak.”
***
Perjalanan menuju rumah Arya yang biasanya sekitar 30 menit, hari ini terasa jauh sekali. Jauh ... seperti impiannya yang pelan-pelan menjauh. Setiap tahun sejak dia berumur 10 tahun, dia selalu mengirimkan kartu ucapan ulang tahun dengan harapan suatu saat nanti dia akan mendapat sebuah kabar. Hari ini tepat 19 tahun kemudian, dia tidak mendapat kabar apa pun. Harapan optimisnya benar-benar berada di titik nol. Banyak sekali yang terjadi dalam 19 tahun menunggu, tapi dia tetap bertahan akan impian masa kecilnya, akan cinta pertamanya.
Aerin memarkirkan mobilnya di depan gerbang rumah mewah yang saat kecil dia bebas masuk sesuka hatinya di kediaman keluarga Arya. Tahun-tahun yang lalu, dia selalu menggunakan kurir untuk mengantarkan kartu, tapi karena ini adalah kartu terakhir yang dia kirimkan kepada Arya, dia ingin mengantarnya sendiri.
Tidak ada Pak Satpam yang seharusnya berjaga di pos dekat pintu gerbang, tapi ada beberapa orang yang terlihat sibuk di halaman depan sedang bersih-bersih dan menata taman yang tampak sudah terbengkalai lama. Ah, sudah lama sekali dia tidak kemari. Sejak dia kembali ke Jakarta, dia hanya pernah sekali kemari sekadar untuk mengobati rindunya.
Aerin turun dari Range Rover-nya dan berdiri mematung di depan pintu pagar. Salah seorang dari mereka melihat kehadirannya dan berjalan menuju ke arahnya.
“Maaf, cari siapa, Non?” tanya pria baya itu, sambil menyeka keringat di keningnya. Aerin tersenyum.
“Aku mau menitip ini buat Pak Satpam.” Aerin mengulurkan amplop biru. Pria itu mengambilnya sambil membaca sekilas, ada nama Arya di sana.
“Oh iya, nanti saya sampaikan. Pak Satpam lagi makan siang.”
“Terima kasih.” Aerin bermaksud hendak berlalu, tapi sebuah pertanyaan muncul di benaknya.
“Apa keluarga Pak Ferdinand akan kembali?” tanyanya dengan ragu.
Pria itu mengangguk. “Keluarga Bapak akan kembali, makanya kami mulai bersih-bersih. Saya dengar ini, Bapak dan keluarganya balik ke sini karena putra mereka akan menikah. Maaf, Non siapa, ya?”
Wajah di depannya tiba-tiba berubah pucat. Aerin terdiam sambil mencerna pelan apa yang baru saja diucapkan pria itu. Keluarga Om Ferdinand akan kembali ke sini karena putra mereka akan menikah. Putra mereka? Apa Om Ferdinand punya putra lain selain Arya? Keringat dingin membasahi telapak tangannya begitu menyadari kemungkinan bahwa putra yang dimaksud adalah Arya.
“Aku tetangga lama. Terima kasih, Pak.” Aerin melangkah cepat menuju mobilnya. Dia tidak bisa membendung air matanya saat dia masuk ke mobil. Dia menangis tersedu-sedu, melepaskan semua rasa kecewanya. Di ujung penantian, akhirnya dia mendapat sepenggal kabar dari Arya.
Dalam 19 tahun penantian, sudah terlalu banyak air mata karena Arya. Dia mencintai Arya sejak dia mengenal arti suka seorang perempuan kepada seorang laki-laki. Dan itu terjadi saat dia berumur 10 tahun. Rasa suka pada seorang anak laki-laki gendut, tetangga sebelah rumah yang selalu sebal dan marah-marah saat tahu dia membuntutinya.
“Mas Arya, jangan sedih! Saat aku besar nanti, aku pasti akan lebih cantik dari Mbak Indah. Dan aku akan mencintai Mas Arya sampai aku setua Oma.”
Itu yang Aerin ucapkan pada seorang anak laki-laki gendut yang saat itu tengah sangat bersedih karena cinta pertamanya ditolak. Pernyataan yang membuat orang-orang dewasa di sekeliling mereka terkaget-kaget. Pernyataan yang di kemudian hari setelah Arya pergi, membuatnya banyak mendapat ledekan dari anak-anak tetangga.
Sejak saat itu, Arya selalu menghindar bila mereka bertemu. Bahkan, Arya melarang dia datang ke rumahnya. Aerin sangat ingat saat-saat dia berdiri mematung di balkon kamar tidurnya hanya untuk sekadar bisa melihat sosok Arya yang di sore hari suka membaca di balkon kamar yang berhadapan dengan balkon kamar Aerin. Namun, begitu Arya tahu Aerin sengaja di sana untuk melihatnya, Arya segera masuk dan tak pernah lagi duduk di balkon kamarnya. Hubungan pertemanan berhenti di situ. Bahkan, saat orang tua Arya membawa Arya ke Amerika, Aerin sama sekali tidak tahu. Aerin kecil yang saat itu berusia 10 tahun, menderita patah hati.
Suara dering ponsel Aerin membuatnya kembali ke masa sekarang.
“Iya, Mas Andy.”
“Kamu di mana?”
“Aku lagi di luar. Ada urusan pribadi sebentar, aku balik dalam satu jam.”
“Ada rapat dadakan dengan pihak manajemen 30 menit lagi.”
“Maaf, Mas, aku tidak akan sampai di kantor dalam 30 menit, macet parah nih. Mas ajak Bagas saja.”
“Suara kamu serak, kamu baik-baik saja?”
Aerin tersenyum. “Yah, aku baik-baik saja sekarang.”
“Hati-hati di jalan, ya. Temui aku begitu sudah di kantor.”
“Terima kasih, Mas.” Dengan mata sangat sembap dan suara serak, tak mungkin dia bisa beramah-tamah di rapat manajemen.
***
Rapat dadakan, semua petinggi FF Global Cell sudah hadir. Global Cell adalah perusahaan seluler nasional yang berkembang sangat pesat di bawah payung FF Group. Pak Rasyid melihat ke sekeliling, mencari seseorang. Andy yang melihat wajah sang CEO, tersenyum geli.
“Ada yang belum muncul?”
Semua yang hadir tahu siapa yang dimaksud. Ruangan rapat hari ini memang kurang bersinar tanpa ada sosok itu.
“Ririn lagi di luar, Pak. Tadi minta permisi dua jam sebelum ada info rapat dadakan,” jawab Andy tanpa nada segan.
Semua staf tahu bagaimana jadwal kerja Aerin dan anak-anak IT lainnya yang sering lembur. Jadi, tidak ada yang berani protes saat anak-anak IT masuk telat, bahkan izin tak masuk dadakan.
“Baik, ayo kita mulai!” Pak Rasyid, sosok kebapakan yang sangat dihormati oleh semua staf, berdiri sambil memegang pengeras suara.
“Asalamualaikum, selamat siang. Maaf mengganggu jadwal kerja kalian karena rapat dadakan ini. Terima kasih sudah hadir. Seperti yang semuanya tahu, saya akan segera mengundurkan diri karena harus banyak istirahat demi percepatan kesembuhan penyakit saya. Dalam dua minggu ke depan, CEO baru akan datang. Saya ingin kalian semua dapat bekerja sama dengan sangat baik, lebih baik dari saat saya ada di sini.”
Terdengar suara gumaman peserta rapat. Semua tahu Pak Rasyid memang akan mengundurkan diri, tapi tidak ada yang menyangka secepat ini.
“CEO baru, Arya Ferdinand ... pasti semuanya sudah pernah mendengar nama ini, kan? Dan tentunya sudah tahu siapa dia?” Pak Rasyid tersenyum. “Pak Arya, pewaris tunggal FF Group. Kita semua harus bahagia dan lebih bersemangat lagi karena akhirnya Pak Arya setuju untuk memimpin perusahaan. Pak Arya ini punya banyak prestasi dalam hal manajemen, selain itu beliau juga punya perusahaan sendiri yang sukses di Amerika. Jadi, ini kesempatan buat kalian semua untuk lebih bersinar lagi. Rebut hati owner dengan prestasi. Saya sangat yakin owner akan memberi yang terbaik buat kalian.”
Semua tampak diam, ada kesedihan di raut wajah para staf.
“Saya mengucapkan terima kasih atas segalanya. Tanpa kalian semua, FF Global Cell tidak akan melangkah secepat ini. Saya masih akan ada di sini sampai Pak Arya datang, jadi ayo kita manfaatkan waktu yang ada dengan pencapaian terbaik kita menyambut kedatangan CEO baru. Rapat selesai. No question, please. Seperti biasa, pintu ruangan saya selalu terbuka untuk curhat.”
Semua tertawa, memecah keheningan ruangan. Begitulah Pak Rasyid, semua menyukai sosok tegas dan humorisnya.
***
Aerin mendengar rekaman rapat tadi siang dari recorder yang direkam oleh Bagas, asistennya. Arya Ferdinand, benar akan kembali. Ini adalah saat-saat yang selalu dia impikan. Bertemu kembali dengan mimpi masa kecilnya. Namun, mengapa saat mimpi itu akan menjadi kenyataan, dia malah ragu dan ingin berlari sejauh mungkin?
Sebagai seorang hacker, sudah lama Aerin mencoba melacak Arya dan keluarganya, tapi tak pernah berhasil. Mereka seolah sengaja menyembunyikan identitas diri. Kepergian Arya dan keluarganya ke Amerika juga sangat mendadak, bahkan saat itu orang tua Aerin juga tahu setelah mereka meninggalkan Jakarta. Ada rumor yang mengatakan mereka melarikan diri ke Amerika karena bangkrut. Rumor tak sedap itu segera lenyap karena tak ada kabar apa pun tentang kebangkrutan FF Group.
“Kenapa cewek tidak suka cowok gendut? Memangnya apa yang salah dengan tubuh gendut?”
“Aku suka cowok gendut. Aku suka Mas Arya!” Aerin kecil berkata dengan sangat yakin.
“Ah, kamu! Aku rasa ada yang salah dengan isi kepala kamu.” Walaupun Arya suka sekali bicara apa adanya dan sering membuat Aerin bersedih, tapi Aerin tetap setia mendengar curhatan Arya.
“Suatu saat nanti, aku akan menjadi pria dewasa dengan tubuh yang sangat atletis. Aku akan menghajar semua cewek-cewek itu!” Aerin hanya mengangguk dengan senyum bahagia karena melihat Arya kembali tersenyum, walaupun dia tidak mengerti betul apa yang diucapkan Arya. Usia mereka selisih lima tahun, Arya sudah menginjak remaja saat itu.
Secarik foto di tangan Aerin, mengulang kembali cerita manis masa kecil. Sosok remaja cowok berkaus putih dengan celana panjang cokelat, sedang menatap sebal ke kamera. Wajahnya ganteng walaupun melebar karena tubuhnya sangat berisi.
BAB 2
Aerin melihat ke layar ponselnya yang berdering. Mama. Sudah lama sekali Mama tidak meneleponnya. Terakhir saat Papa harus diopname di rumah sakit, Mama menelepon menyuruhnya pulang. Itu ... sembilan tahun yang lalu.
“Mama, apa kabar?” sapa Aerin dengan nada suara bergetar.
“Minggu depan, kamu pulang!” Nada tegas tanpa basa-basi. Bahkan saat dia pulang ke rumah, Mama hanya menjawab sesingkat mungkin bila dia menyapa.
“Hm ... ada apa, Ma?”
“Apa perlu alasan untuk pulang ke rumah?”
Sekian lama dia menghabiskan masa kecilnya bersama mereka, tapi hubungan antara dia dan Mama masih sedingin saat dia pertama kali dibawa dengan paksa untuk tinggal bersama mereka. Salah satu alasan mengapa saat dia kembali, dia memilih bekerja di Jakarta daripada bekerja di perusahaan orang tuanya.
“Minggu depan ulang tahun kamu. Papa ingin ada makan malam keluarga. Minggu sore kamu sudah harus sampai di rumah.”
Sesuatu yang tak pernah dia bayangan akan terjadi.
“Baik, Ma. Aku akan pulang.”
Hubungan terputus. Hampir lima tahun sejak dia kembali, tidak pernah ada makan malam khusus di hari ulang tahunnya. Juga dia tidak pernah mendapat undangan untuk pulang saat Papa, Mama, dan saudara-saudaranya berulang tahun. Padahal dia tahu pasti, selalu ada acara makan malam keluarga.
***
Andy membaca surat pengajuan cuti yang disodorkan Aerin untuk dia tanda tangani. Dia mengernyitkan keningnya sambil mengeleng-gelengkan kepala.
“No way! Tidak ada yang boleh cuti dalam minggu depan. Kamu tidak baca email dari HR?”
“Memangnya kenapa?”
“CEO baru datang minggu depan.”
“Jadi masalahnya apa? Kalau dia mau datang, ya ... datang saja. Kenapa tidak boleh cuti?”
Andy mendelik. Dia tahu bagaimana keras kepalanya Aerin. Sosok cantik itu tampak sangat sebal. Wajah putih nan mulusnya sampai memerah, menahan amarah.
“Ganti tanggal cuti!”
“No!” Aerin mengambil kembali surat pengajuan cuti dari tangan Andy dan keluar.
“Ririn!”
Aerin berbalik, tersenyum sambil mengedipkan mata kirinya. Andy menarik napas panjang, menatap sosok Aerin yang melangkah keluar.
***
“Hai, Mbak Vita. Apa kabar?”
Vita yang sedang membereskan dokumen, melirik siapa yang datang. Si cantik Aerin yang memakai kemeja abu muda dengan celana hitam dan sepatu jenis balet berwarna abu tua. Sosok tingginya tentu saja tidak perlu memakai high heels. Wajah putihnya selalu terlihat segar dengan riasan simpel. Rambut ikal sebahu yang dicat warna mahogany, alis berbentuk melengkung setengah lingkaran, warna bola mata hitam pekat, hidung mancung dan bibir penuh membuat sosoknya sangat menarik dan seksi.
“Kabar baik. Mau bertemu Pak Bos?”
Aerin mengangguk. “Bisa?”
Vita menekan tombol PABX. “Bos, ada Ririn nih.”
“Come in.” Terdengar suara Pak Rasyid.
Aerin tersenyum.
“Terima kasih, Mbak Vita. Tunggu aku buat makan siang, ya.”
“Oke,” sambut Vita dengan semangat. Sudah lama mereka tidak makan siang bareng. Dari awal bulan lalu, jadwal Aerin berkunjung ke daerah begitu padat.
Pak Rasyid yang sudah mendapat info dari Andy tentang rencana cuti Aerin, menatap sosok yang baru masuk ke ruangannya. Dari cara Pak Rasyid menatapnya, Aerin sudah tahu kalau Andy pasti sudah memberikan bocoran tentang tujuannya datang kemari.
“Ririn, please.” Pak Rasyid langsung ke pokok permasalahan.
“Aku benar-benar harus balik ke Surabaya minggu pagi, Bos. Bos tahu kan bagaimana jeleknya hubunganku dengan mamaku? Hampir sembilan tahun ... baru kali ini Mama meneleponku untuk pulang. Jadi, ini sesuatu yang tidak bisa aku lewatkan. I'm sorry.”
“Tapi, kamu salah satu staf yang akan memberikan briefing kepada Pak Arya.”
“Bagas bisa melakukannya! Aku mendidik Bagas untuk selalu siap bila suatu hari aku harus pergi.”
Rasyid yang sudah mengenal Aerin dari kecil, akhirnya mengambil pena dan menandatangani surat pengajuan cuti. Bila itu sudah menyangkut urusan Aerin dan orang tuanya, dia akan angkat tangan.
Aerin tersenyum penuh kemenangan. “You're the best. I will miss you, Pak.”
“Kamu juga tidak bisa hadir di farewell party saya?”
“Pak Bos, I'm sorry. Bagaimana kalau suatu saat aku mengunjungi Pak Bos di Bandung? Atau, kalau Pak Bos ada di Jakarta, just call me, aku akan datang membawa cokelat terenak.”
“Benar?”
Aerin mengangguk. Hubungannya dengan Pak Rasyid sudah seperti hubungan keluarga. Dia mengenal istri dan anak-anak Pak Rasyid dengan sangat baik. Bahkan, di suatu waktu dulu Pak Rasyid pernah bermaksud menjadikannya istri untuk anaknya bungsu.
***
Begitu Aerin keluar dari ruangan Pak Rasyid, Vita sudah siap sedia buat makan siang.
“Kita ke mana?”
“Gusto Resto saja bagaimana, Mbak? Aku lagi malas keluar, macet banget.” Gusto Resto berjarak hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari kantor Global.
“Oke, let's go! Aku sudah lapar banget.” Aerin menggandeng tangan Vita dan menuju lift. Ruangan Pak Rasyid berada di lantai 15, lantai tertinggi gedung Global.
Sinar matahari siang itu tidak terlalu terik, angin juga sepoi-sepoi, saat yang pas untuk berjalan kaki.
”Sudah lama aku nggak jalan kaki buat makan siang.” Aerin tertawa kecil.
Vita yang lebih tua darinya enam tahun tampak santai. High heels yang biasa dikenakannya, diganti dengan sandal jepit.
“Mbak Vita sih GoFood terus!”
“Ya bagaimana lagi. Pak Bos tuh paling tidak bisa jauh dari aku.” Keduanya tertawa. “Kamu yang jam kerjanya fleksibel banget, bisa break sesuka hati dan tidak akan ada yang berani protes. Memang anak-anak IT ini ya, bikin sebal.”
Aerin tertawa.
Gusto Resto tidak terlalu ramai siang itu. Aerin suka nongkrong di sini, selain makanannya otentik Italia, interior ruangan resto yang simpel tapi indah, bikin betah. Kokinya juga asli orang Italia.
“Ayam Parmigiana dan orange juice. Kamu mau ayam juga?”
Aerin menggeleng. “Linguine Alle Vongole, porsi kecil aja dan iced lemon tea.”
”Baik, Mbak. Ditunggu sebentar.” Sang pelayan berlalu, terdengar suara merdu Carla Bruni menyanyikan Tu es ma came.
”Mantap,” ucap Vita sambil tertawa.
Aerin tersenyum melihat ekspresi Vita yang sangat menikmati suasana. Bisa keluar untuk makan siang dan menikmati suasana santai seperti ini, sesuatu yang istimewa sekali.
Pintu resto terbuka disusul dua sosok yang masuk, sangat mereka kenal.
“Rena dan Bima resmi jadian?”
Vita mengangguk.
“Wow, akhirnya, kejadian juga.” Aerin tidak bisa menahan tawa bahagianya.
“Si Rena itu, ya, memang luar biasa, sabar banget. Kamu harus belajar banyak dari dia.”
Semua tahu Bima sang playboy semula tak menganggap Rena ada. Namun, Rena yang berwajah standar saja, tak peduli. Walaupun Bima selalu sebal melihatnya, dia tetap gigih mengejar cinta Bima.
“Iya, Mbak. Hidup ini sangat adil, ya. Lihat Rena, secara fisik biasa banget, tapi dia bisa mendapat pria impiannya. Terus, lihat aku, antrean panjang pria menanti. Kalau aku mau, tinggal tunjuk saja. Tapi, hatiku malah tertancap pada pria yang aku tidak yakin apa dia mengingatku.” Aerin menarik napas panjang. Dari sudut ujung ruangan, tampak Rena dan Bima yang saling menatap mesra. “Mikirin ini bikin aku sesak napas dan pengin makan banyak.”
Vita tertawa geli. “Ulang tahunnya kemarin, kamu kirim kartu ucapan juga?”
Vita tahu sekilas kisah cinta masa kecil Aerin, tapi Aerin merahasiakan siapa sosok yang ditunggunya.
“Iya, dan itu kartu ucapan terakhir.” Ekspresi Aerin tampak sedih.
“Kenapa?”
“Dia akan menikah.”
“What?”
Aerin mengangguk.
“Hei, selama cincin kawin belum tersemat, kamu masih punya kesempatan.”
“No! Aku tidak akan mendekati pria yang sudah punya pacar, apalagi menggoda pria yang akan menikah. Aku takut banget sama karma.”
“Kamu menyerah begitu saja?”
”Ya mungkin dia memang bukan untukku! Mungkin ada Mr. Right lain yang sedang menungguku. Mungkin aku hanya perlu melepaskan yang ini dengan ikhlas, biar Mr. Right yang lain bisa masuk tanpa hambatan cinta di masa lalu.”
Vita memegang erat tangan Aerin.
“Aku percaya kamu akan mendapat yang terbaik karena kamu orang baik.” Mata Aerin berkaca-kaca.
“Amin. Terima kasih, Mbak.”
Pelayan datang membawa orderan mereka.
“Terima kasih.”
“Ini tiramisu cake, kiriman Mas yang di sana buat Mbak Aerin,” info pelayan sambil menunjuk ke pojokan ruangan sebelah kiri.
Aerin dan Vita serentak melihat ke pojokan kiri. Ada seorang pria memakai jas hitam yang duduk sendirian di sana yang juga sedang melihat ke arah mereka. Pria itu tersenyum, Aerin membalas senyumnya sambil mengucapkan ‘terima kasih’ dari jauh.
“Siapa?” Selidik Vita.
“Aku juga tidak ingat.” Vita tertawa. Itu salah satu kelemahan Aerin dan ada banyak cerita lucu karena itu.
BAB 3
Ruangan IT ramai sore itu, Aerin berdiri di depan staf yang semuanya cowok.
“Ingat! Selama aku cuti, tidak ada yang boleh menyenggol kita. Kalau ada sedikit saja yang aneh, pantau terus. Oke?”
“Siap, Bos!” jawab Bagas dan yang lainnya penuh semangat.
Belakangan ini memang banyak black hacker yang mencoba mengganggu sistem software Global, makanya Aerin giat meningkatkan kapasitas anggotanya.
“Aku belum tahu akan berada di mana selama satu minggu cuti. Jadi, kalau ada emergency, kalian boleh hubungi aku. Ingat, hanya kalau sudah di level 5! Itu pun aku sangat berharap tidak ada yang akan menghubungi aku. Oke?”
“Siap, Bos!”
Aerin tersenyum puas.
“Malam ini kita lembur. Kalian mau makan malam apa?” Wajah-wajah di hadapannya tersenyum girang. “Mario, order makanan. Order apa aja yang kalian suka.”
Aerin mengeluarkan kartu debit dari dompetnya.
“Asyik!” Mario langsung mengambil kartu debit dari tangan Aerin.
Aerin memang terkenal sangat pemurah. Duitnya seperti tidak pernah ada habisnya. Sampai sekarang, sumber duit yang dimiliki Aerin sebenarnya sering jadi bahasan umum staf Global, selain tentu saja tentang keindahan sosoknya.
Aerin mengendarai Range Rover Sport yang harganya miliaran, sementara Pak Rasyid sang CEO hanya mengendarai Toyota New Camry. Aerin juga tinggal di perumahan mewah yang harga tanah per meternya sangat tinggi. Pakaian yang dikenakannya pun mereknya bikin mata mendelik. Ada yang bilang, Aerin bekerja sampingan sebagai hacker internasional yang dibayar mahal untuk setiap serangan software yang diselamatkannya. Banyak gosip tentang itu, tapi tidak ada yang berani bertanya langsung.
***
Dering ponsel membangunkan Aerin dari tidurnya. Masih jam enam pagi, siapa gerangan yang menelepon? Begitu melihat nama yang muncul di ponselnya, dia mengernyitkan dahi.
“Tante, ini masih terlalu pagi.”
“Irin Sayang ....”
“Aku baru tidur tiga jam, nanti telepon lagi, oke?”
“Sorry, Sayang, dengerin Tante sebentar saja. Sahabat almarhumah mami kamu, Tante Rossa, hari ini ulang tahun dan dia mengundang kamu datang. Kamu masih ingat rumahnya, kan? Jumpa di sana pukul tujuh malam, ya?”
Kalau Tante Mirna, adik almarhumah Mami sudah memberi perintah, Aerin segan untuk menolak.
“Baiklah, sampai jumpa di sana.”
“Jangan lupa kado dan buket. Tante Rossa suka lili, kamu masih ingat?”
“Iya, Tante. Aku tidur lagi ya, bye.”
Mirna menarik napas panjang. Dia masih sangat mengkhawatirkan Aerin walaupun ia sudah dewasa dan sangat mandiri dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Hubungan Aerin dengan keluarga besar papanya masih jauh dari kata harmonis. Saudara sedarahnya belum menerima keberadaan Aerin, apalagi sang mama tiri. Mirna tahu betul, sosok Aerin yang terlihat begitu sempurna di mata orang lain, sebenarnya adalah sosok yang sangat kesepian, sosok yang banyak memendam kesedihan.
***
Andy masuk ke ruangan IT sambil menenteng paper bag bertuliskan Chanel di tangan kirinya, sementara di tangan kanan menenteng buket lili kuning yang cantik banget.
“Ririn mana?”
“Lagi sarapan, Mas. Di balkon.”
Andy melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sebelas siang. “Kalian lembur?”
“Iya,” jawab Bagas sambil menguap.
“Good job.” Andy menepuk bahu Bagas sebelum menuju ke balkon.
Sosok yang dicarinya tampak sangat lahap menyantap lontong pecal dengan segelas teh manis. Aerin melihat siapa yang datang.
“Siang, Mas. Wah, ada kiriman buat akukah?”
Andy tersenyum.
Di Global, memang Aerin yang paling sering mendapat kiriman hadiah entah dari siapa saja. Paling sering buket mawar. Saking seringnya, kalau ada buket yang datang, resepsionis bisa langsung mengambil untuk hiasan di vas tanpa perlu lagi memberitahukan kepada Aerin nama pengirim buket karena sia-sia saja, Aerin tidak akan ingat.
“Dari Tante Mirna.”
“Oh, itu buat acara nanti malam. Sahabat almarhumah mamiku ulang tahun. Tante Mirna pasti khawatir aku ogah datang, makanya dia kirim buket dan gaun buat ke pesta.”
Andy tertawa. “Kamu memang spesial banget, ya.”
Aerin ikutan tertawa. Andy mengenal Tante Mirna. Saat awal Aerin berkerja di Global, Tante Mirna sering singgah.
“Oh ya, kamu sudah hand over kerjaan kamu selama cuti, kan?”
“Sudah, Mas. Jangan khawatir! Bagas itu calon the next IT Expert. Dia hanya perlu sedikit lagi lebih familier dengan yang biasa aku kerjakan. Oh ya, aku mau mendiskusikan sesuatu. Are you free?”
Andy mengangguk.
“Kita ke ruangan Mas Andy saja, sebentar aku ambil dokumennya.”
Bagas melihat keduanya yang melangkah ke pintu. Dia mendengar dengan jelas saat Aerin membanggakannya. Dia memang mendapat banyak sekali dukungan dari Aerin.
Aerin tipe bos yang sangat percaya dengan kemampuan bawahannya. Kapasitas staf IT melesat jauh sejak Aerin bergabung di Global. Dan Aerin juga berhasil mengubah anak-anak IT yang dulunya terkenal jutek dan kuper, menjadi staf yang sangat dominan di Global.
***
“Ada apa?” Andy menatap wajah cantik di depannya.
“Aku hanya ingin Mas Andy untuk aware saja. Ada kemungkinan besar saat aku balik dari cuti nanti aku akan mengajukan surat pengunduran diri sesuai dengan pembicaraan awal kita dulu.”
Andy yang kaget tanpa sadar membuka mulutnya, tapi wajah Aerin tampak serius.
“No, no, no way! Tidak mungkin! Kamu tidak mungkin mengundurkan diri! Kamu sudah sangat betah bekerja di sini.”
“Ya, tapi kita sudah membicarakan kondisi ini di awal aku bekerja, kan? Aku punya jangka waktu bisa bekerja di sini karena aku punya janji lain yang harus aku penuhi.”
Andy menatap Aerin dengan pandangan yang masih tak percaya. Memang mereka sudah menyetujui syarat yang diajukan Aerin sebelum bergabung di Global.
“Ririn ....”
“I'm sorry. I have to,” ucap Aerin sangat serius.
“Global tidak perlu mencari penggantiku. Dengan kekuatan sistem software yang aku buat, sudah cukup Bagas memimpin tim IT. Bagas hanya perlu mendapat beberapa pelatihan yang lebih spesifik dan waktu berlatih yang lebih banyak. Jadi ...” Aerin menyodorkan sebuah dokumen ke hadapan Andy. “salah satunya ini, kursus singkat selama tiga bulan di NUS Singapura. Trainer-nya salah satu profesorku di MIT dan aku pernah jadi asisten trainer sebelum bergabung dengan Global.”
Andy membaca dokumen yang disodorkan Aerin.
“Aku ingin Mas Andy menyetujui ini sebelum CEO baru bekerja karena kita tidak tahu peraturan baru apa lagi yang nantinya berlaku. Can you help me?”
“Akan aku pikirkan.”
“Saat aku balik dari cuti, dokumen ini sudah Mas Andy tanda tangani dan sudah ada di HR, oke?” Aerin mengedipkan sebelah matanya dengan senyum menggoda yang membuat pria meleleh.
Andy menarik napas panjang. “You are the real devil!”
Aerin tertawa geli. “You are the best, brother.” Ia bangkit dan tanpa diduga memeluk Andy. “Terima kasih, Mas Andy.” Aerin melepaskan pelukannya.
Andy hanya bisa menatapnya dengan pandangan pura-pura sebal. “Seandainya ada cara untuk bisa kuat menolak permintaan kamu.”
Aerin tertawa. Hubungannya dengan Andy sudah seperti saudara walaupun Aerin tidak pernah berbagi cerita tentang keluarganya. Andy bisa membuatnya merasa mempunyai kakak laki-laki. Sebenarnya, dia punya dua kakak laki-laki, tapi hubungan mereka dipisahkan dengan kisah masa lalu yang cukup rumit.
***
Siulan menggoda terdengar riuh saat Aerin keluar dari kamar istirahatnya di ruangan IT. Sosok Aerin yang bergaun hitam di atas lutut, sungguh sangat menggoda. Gaun hitam transparan di bagian dada atas ke lengan atas dan sedikit di bagian paha membuat mata tak bisa berpaling. Rambut ikalnya diikat rapi. Anting berbandul blue diamond yang dikenakannya membuat wajah Aerin yang hanya menggunakan riasan tipis tampak sangat berkilau. Tak ketinggalan, kalung emas putih berbandul berlian warna senada yang tak pernah lepas dari lehernya. Aksesoris lain hanya dompet mungil berwarna perak dan high heels hitam kombinasi perak. Gaun yang dikenakannya berpotongan sangat sederhana, tapi semua tahu itu gaun mahal.
“Aku tidak balik lagi ke kantor, sampai jumpa setelah cuti, ya. Work hard and smart, okay?”
“Siap, Mbak!”
“Love you all, bye bye!” Aerin keluar.
“Ah, aku tidak kuat menahan godaan,” protes Mario yang membuat semuanya tertawa.
Aerin seperti mood booster. Saat pikiran sudah buntu, anak-anak IT cukup melirik sang goddess. Kerja jadi otomatis semangat lagi.
BAB 4
Kediaman Tante Rossa sudah mulai ramai saat Aerin tiba. Setiap tahun setelah dia bekerja di Jakarta, menghadiri pesta ulang tahun Tante Rossa adalah agenda wajib. Tante Rossa sangat populer di kalangan sosialita karena sosoknya yang dermawan dan juga sangat baik. Dia punya banyak yayasan sosial dan aktif mendukung anak-anak kurang mampu untuk mendapat pendidikan terbaik.
Begitu sosok Aerin masuk ke ruang utama, semua mata otomatis mengamatinya. Aerin tersenyum ramah sambil menyapa beberapa sosok yang dikenalnya. Dia memang jarang sekali hadir di acara seperti ini. Dulu, Tante Mirna suka sekali memaksanya untuk hadir di acara-acara seperti ini, tapi dia selalu menolak. Tante Mirna ingin dia mengenal banyak orang penting dan tentu saja menemukan jodohnya di kesempatan seperti ini.
“Hai, kamu datang juga.” Seorang pria ganteng berjas abu muda rapi dengan dasi warna marun menghampirinya.
Aerin tersenyum dengan pikiran jungkir balik, mencoba mengingat siapakah pria ini?
“Hai, apa kabar?” sapanya, menyembunyikan kekikukannya karena tak bisa mengingat siapa pria ini.
Pria itu tertawa kecil melihat ekspresi Aerin yang sangat menggemaskan. “Kamu pasti tidak ingat aku.”
Aerin mendelik, lalu tertawa.
“I'm sorry. Aku memang lemah banget mengingat wajah pria.”
“Renno, anaknya Tante Rossa.”
“Ah, sekarang aku ingat! Kita pernah jumpa tahun lalu di sini juga, kan?”
Renno menggeleng. “Kita pernah jumpa tahun lalu di sini, iya. Tapi satu minggu yang lalu, kita juga jumpa di Gusto Resto dan aku kirimin kamu tiramisu cake.”
Aerin merasa bersalah.
“You are really something. Bagaimana kamu bisa lupa wajah seganteng aku?” protes Renno agak-agak sebal.
“Sorry. Next time ketemuan, pasti aku yang akan menyapa duluan.” Aerin tersenyum semanis mungkin.
Renno menatapnya tanpa berkedip. Tahun lalu, saat mamanya mengenalkan Aerin, dia tahu kalau dia jatuh hati pada pandangan pertama. Namun, reaksi Aerin sangat biasa, tidak menampakkan ketertarikan sedikit pun dan itu membuatnya patah hati. Dia berpikir, pasti Aerin sudah mempunyai pria yang dicintainya. Tidak mungkin wanita secantik dan semenarik Aerin belum punya pasangan.
“Ayo, aku antar ke Mama.” Tanpa basa-basi Renno menarik lembut tangan Aerin dan menuntunnya ke ruangan lain.
Aerin tidak protes, mengikuti Renno di tengah hunjaman pandangan cemburu dari gadis-gadis yang mereka lewati.
***
Tante Rossa dan beberapa tante lain yang dikenalnya sedang bernostalgia di ruangan kecil. Begitu melihat sosok yang baru masuk, mereka saling memandang.
“Oh My God! Kamu ... oh, give me a big hug.”
Aerin memeluk Tante Rossa dengan erat.
“Happy birthday, Tante. Semoga Tante selalu sehat, bahagia, dan semua yang terbaik buat Tante dan keluarga Tante,” ucap Aerin tulus sambil mengecup lembut pipi wanita sahabat almarhumah maminya.
“Wah, acara reuni nih. Aku cabut dulu, see you, Aerin.”
Aerin membalas lambaian Renno yang melangkah keluar.
“Tante mau dipeluk juga,” protes Tante Anke, sahabat maminya yang lain.
Aerin tersenyum dan memeluk Tante Anke yang tampak semakin tua karena pengobatan kanker payudara yang sedang dijalaninya. Pelukan berlanjut ke Tante Mariska yang awet muda di usianya yang hampir 58 tahun.
“Oh, Sayang, sudah punya calon suami?” goda Tante Mariska dengan senyum menggoda.
Aerin tertawa. Tante Mariska selalu akan bertanya itu. Saat dia masih remaja dulu, pertanyaannya adalah “sudah punya pacar?”, saat dia menjadi gadis dewasa, pertanyaannya berganti menjadi “sudah punya calon suami?”.
“Aerin, kamu sudah menjadi wanita dewasa sekarang. Sudah cukup umur untuk memikirkan pernikahan.” Tante Anke menatap Aerin dengan serius.
“Kami semakin menua, kami ingin melihat kamu menemukan pria yang kamu cintai dan melihat kamu menikah,” sambung Tante Rossa sambil melingkarkan tangannya memeluk bahu Aerin.
“Sebagai seorang wanita dewasa, kamu sangat cantik dan menarik. Kamu harus sangat bijaksana karena memiliki kelebihan itu. Kamu tahu maksud Tante, kan?” tanya Tante Anke sambil menggenggam tangan Aerin.
“Kami tidak mau kamu berakhir seperti mami kamu. Cukup mami kamu saja!”
Mata Aerin berkaca-kaca mengingat cerita sedih tentang almarhumah maminya. Aerin mengangguk.
“Jangan khawatir, Tante. Aku pastikan dan berjanji kepada Tante semua, aku tidak akan seperti Mami. Bagiku juga, cukup Mami saja yang punya garis nasib seperti itu. Aku hanya akan menikah dengan pria yang benar-benar aku cintai. Aku tidak tertarik dengan gemerlapnya harta,” janji Aerin dengan sangat yakin.
“Kamu tahu, Sayang, kami selalu ada buat kamu. Kamu punya banyak mami yang siap mendukung kamu. Jangan merasa sendirian dan jangan menjauh dari kami.”
Aerin mengerti banget maksud nasihat Tante Rossa. Selama ini, dia memang tampak ogah-ogahan untuk bertemu sahabat almarhumah maminya. Hubungan mereka sering kali satu arah dan dia menjadi pihak yang pasif dalam menjalin hubungan dengan mereka. Bukan karena dia tidak menyukai mereka. Sering bertemu dengan mereka hanya akan membuatnya mengingat kisah tragis maminya dan itu membuatnya sedih.
***
Pesta masih berlangsung, yang hadir semakin ramai. Tadi Aerin sempat bertemu Tante Mirna, bertegur sapa sebentar sebelum sang Tante harus mendampingi Om Nando, suaminya, untuk menyapa undangan. Aerin mengambil segelas koktail dan melangkah ke balkon di bagian belakang ruangan utama. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak akan ada tamu yang akan melangkah ke sana. Aerin suka pemandangan malam dari balkon belakang.
Dari kejauhan, tampak cahaya lampu dari hutan buahnya Tante Rossa yang rimbun. Kediaman Tante Rossa memang sangat asri. Rumah mewah dengan halaman belakang sangat luas yang ditanami pohon buah-buahan yang sudah besar. Itu seperti hutan buatan. Bahkan, Tante Rossa punya pondok berkonstruksi kayu di tengah hutan buah-buahannya itu.
Pembicaraan bersama ketiga tante tadi masih terngiang-ngiang di telinga Aerin. Kalau dia mengikuti jejak almarhumah maminya, dia tidak akan melajang sampai umur segini. Kisah cinta Mami dan Papa bisa dibilang penuh intrik. Maminya jatuh cinta pada pria kaya yang sudah beristri dan mempunyai anak. Dari cerita Tante Mirna, Aerin tahu sebenarnya Mami tidak mencintai Papa. Mami hanya tertarik dengan kekayaan Papa tanpa berpikir panjang tentang orang-orang yang tersakiti akibat pernikahan mereka. Tentu saja Mami tidak sepenuhnya salah. Pernikahan antara pria dewasa dan wanita dewasa hanya akan terjadi jika kedua belah pihak memang setuju untuk menikah.
Pernikahan yang didasari cinta sebelah pihak itu hanya bertahan sampai dia berumur 1 tahun. Papa menceraikan Mami saat sadar bahwa Mami menikahinya hanya karena harta. Mami kemudian menikah kembali dengan pria yang benar-benar dicintainya, tapi kebahagiaan Mami tidak lama. Tiga tahun setelah menikah, tepatnya saat Aerin berumur lima tahun, Mami meninggal karena asam lambung akut yang dideritanya sejak lama.
Keluarga Papa membawa Aerin secara paksa dari keluarga Mami. Sejak saat itu, dia tinggal bersama Papa, Mama Diana—istri Papa, dan dua orang anak laki-laki Papa—Mas Chandra dan Mas Ricky. Namun, hanya sedikit orang-orang di sekitar keluarga Papa yang tahu tentang keberadaannya. Mama Diana masih belum menerimanya secara ikhlas. Makanya, dia seperti anak yang disembunyikan keberadaannya.
Hubungan Aerin dengan papa kandungnya juga tidak dekat. Mereka hanya berbicara seperlunya. Hanya Oma Nana, almarhumah ibunya Papa, yang sempat sangat dekat dengan dirinya. Oma pernah bilang, Papa masih merasa sangat marah dengan perlakuan Mami kepadanya. Jadi, saat Papa melihat Aerin, itu akan selalu mengingatkannya akan Mami. Begitu juga Mama Diana, saat Mama melihat Aerin, itu akan selalu mengingatkannya kepada wanita yang telah merebut suaminya dan hampir membuat keluarganya berantakan.
Aerin menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
“Are you okay?”
Suara bas pria terdengar dari belakangnya. Aerin sontak berbalik. Ada seorang pria yang tentu saja ganteng, memakai kemeja berwarna biru muda. Ekspresi pria itu tampak kaget saat menatapnya.
“I'm okay, thanks,” jawab Aerin sambil tersenyum lebar menampakkan gigi indahnya yang tersusun rapi. Pria itu bengong dengan tatapan masih tak berkedip. “Aku ke dalam dulu, bye,” sambung Aerin sambil melangkah melewati pria itu.
“Hai, nama kamu siapa?”
Aerin berhenti, berbalik lagi sambil melambaikan tangan dengan senyum terindahnya, lalu melangkah keluar.
Pria itu masih terus menatap sosoknya sampai menghilang dari pandangan.
BAB 5
Tak kan pernah berhenti untuk selalu percaya, walau harus menunggu seribu tahun lamanya.
Aerin yang sedang menyusun pakaian, melihat ke ponselnya. Ada wajah Bagas di sana. Aerin menekan sejumlah angka, terdengar bunyi klik dari pintu pagar dan pintu masuk rumahnya. Bagas datang untuk mengantarnya ke bandara.
“Ada sarapan lebih, Mbak?” Pertanyaan pertama dari Bagas dengan wajah yang masih mengantuk berat. Pukul lima pagi, dalam satu jam ke depan Aerin sudah harus berada di bandara untuk terbang dengan pesawat paling pagi ke Surabaya.
“Ada dong. Sudah aku siapin.”
Bagas langsung menuju ke meja makan mungil di dekat dapur. Ada sandwich berlapis keju dan smoked beef di sana.
***
“Mbak Ririn, terima kasih untuk kesempatan ikut pelatihan di NUS Singapura,” ucap Bagas sambil mendorong koper Aerin.
“Wow! Sudah disetujui?” Aerin senang. Baru kemarin siang dia meminta persetujuan Mas Andy.
Bagas mengangguk.
“Tadi malam Mas Andy tanya ke aku, apa aku bisa ke Singapura selama tiga bulan.” Bagas tidak bisa menyembunyikan wajah antusiasnya.
“Perfect! Kamu harus siap, ya. Nanti waktu aku balik, kita punya waktu seminggu untuk briefing kamu tentang pelatihan itu. Aku pernah jadi salah satu asisten mentor sebelum bergabung di Global.”
Bagas terbelalak. “You are my hero, Mbak. Aku akan belajar sungguh-sungguh.”
“Sip, aku percaya.” Aerin bahagia melihat Bagas yang bersemangat. Bagas pantas mendapatkan yang terbaik. Bagas sering mengingatkan Aerin pada dirinya. Seandainya Papa tidak mengambil dia dengan paksa, mungkin dia akan seperti Bagas. Punya IQ tinggi, tapi hanya mampu mendapatkan pendidikan di sekolah atau universitas standar sehingga sedikit banyak menghambat langkahnya dalam karier. Dia mendapati Bagas seperti itu. Bagas pintar, tapi orang-orang selalu menganggap dia sangat biasa karena bukan lulusan universitas top.
Aerin merasa dirinya sangat beruntung. Papa, walaupun hubungan mereka sangat jauh dari hubungan orang tua dan anak yang seharusnya, tapi Papa tetap memberikannya pendidikan pendidikan di tempat terbaik.
***
Pukul tujuh pagi saat Aerin mendarat di Surabaya, Pak Sholeh—salah satu sopir keluarga—sudah menunggunya di deretan penjemput.
“Apa kabar, Non Irin?”
“Baik, Pak. Bapak sehat?”
“Sehat, Non. Kita langsung ke rumah?
“Aku mau singgah di toko bunga dan makam Mami. Kalau Bapak ada kerjaan lain, antar aku ke toko bunga saja, nanti aku naik taksi.” Aerin segan mengganggu jadwal kerja Pak Sholeh.
“Saya antar Non ke mana pun Non mau pergi. Tadi Nyonya sudah kosongkan jadwal saya sampai makan siang nanti.”
Aerin merasa terkejut. Bahkan, lebaran tahun lalu saat dia mudik, tidak ada yang menjemputnya padahal Papa punya beberapa sopir yang stand by di rumah.
“Terima kasih, Pak.”
Mereka singgah di toko bunga. Aerin membeli buket anggrek bulan berwarna putih. Almarhumah Mami adalah penggemar anggrek bulan. Jarak ke makam Mami berkisar 30 menit dari jalan menuju ke rumah. Keluarga Mami memang berasal dari Surabaya. Setelah bercerai dengan Papa, Mami memilih kembali ke kampung halaman dan meninggal di desa masa kecilnya.
Aerin meletakkan buket di atas makam Mami. Makam Mami sangat bersih. Mami punya beberapa adik yang memang rajin mengunjungi makamnya. Walaupun kisah hidupnya bisa dibilang menyedihkan, tetapi di mata adik-adiknya, Mami adalah sang savior keluarga. Saat menikah dengan Papa, Mami mempunyai banyak simpanan yang dipakai untuk menolong adik-adiknya. Bukan itu saja, masuk ke kalangan elite juga membuat Mami tak melupakan adik-adiknya. Tante Mirna salah satu yang berhasil mendapatkan suami kaya. Perkawinannya dengan Om Nando langgeng sampai sekarang, bahkan mereka sudah punya dua orang cucu.
“Mi, sekarang aku sudah berusia 29 tahun. Wish me luck for the next step of my life. Bantu aku bertemu dengan pria baik dan menyayangiku,” ucap Aerin di dalam hati sambil mengusap pusara bertuliskan nama maminya. Aerin bangkit dan melangkah keluar dari pemakaman.
***
Tiba di rumah, Aerin melihat kesibukan para pekerja rumah. Mbak Vera, asisten Mama, menyambut kedatangannya.
“Apa kabar?”
“Baik, Mbak. Wah, ada acara di rumah?”
Vera tersenyum.
“Acara ulang tahun kamu, besok.”
Aerin mendelik. “Ulang tahunku? Mama bilang hanya makan malam keluarga.”
Aerin susah sekali untuk percaya. Setelah sekian lama ini mungkin saat yang ditunggu-tunggunya, menjadi anggota keluarga seutuhnya.
“Kamu sudah sampai?” Suara Mama masih setegas sebelumnya.
Aerin menoleh, tersenyum, lalu melangkah ke sosok cantik nan bersahaja itu. Wajahnya tetap cantik di usianya yang sudah 65 tahun, hanya saja wajah itu tampak sedikit letih.
“Mama,” ucapnya sambil memeluk tubuh langsing itu. Biasanya, Mama langsung memberinya isyarat untuk melepaskan pelukan setelah dia memeluk, tapi kali ini tidak.
“Wajah Mama tampak agak pucat. Mama baik-baik saja?” Keduanya saling menatap, Aerin tahu ekspresi Mama sedikit melembut.
“I am not okay. Senin Mama harus ke Singapura buat check up.”
“Mama sakit apa? Kenapa aku bisa tidak tahu?”
Diana menatap mata Aerin yang berkaca-kaca. “Karena Mama tidak memberi kesempatan kamu untuk tahu.”
Air mata Aerin menetes. Iya, Mama memang tidak membiarkan dia tahu urusannya.
“Mama sakit apa?” Nada suara Aerin terdengar panik.
Melihat kepanikan itu, Diana tahu dia sudah banyak menyia-nyiakan waktu berharga untuk menikmati hari-hari bahagia bersama gadis cantik putri suaminya itu.
“Kanker usus. Sekarang dalam proses penyembuhan.”
“Aku ikut Mama ke Singapura. Aku akan merawat Mama. Could you please let me to take care of you?” Aerin melihat air mata mengalir di pipi Mama dan langsung memeluknya.
“Of course, Darling. I want you to take care of me.”
Gunung es telah mencair, Aerin merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Dia yakin hari-hari yang akan datang, tidak akan ada lagi sosok Aerin yang selalu tampak ceria secara fisik, tapi batinnya kesepian dan penuh kesedihan.
BAB 6
Sepulang kerja, Bramantio menemui Aerin yang sedang fitting gaun untuk pesta besok. Akan ada sesi foto keluarga besok pagi sebagai simbol penerimaan Aerin secara resmi dalam keluarga Bramantio. Sebelumnya, di foto keluarga yang terpajang dalam figura besar di ruang tamu rumah dan di ruang kerjanya, hanya ada dia, istrinya, Chandra dan Ricky—kedua putranya.
“Kamu sudah selesai?”
Aerin mengangguk. Tidak perlu ada yang diperbaiki, gaun pesta warna silver off shoulder yang sudah Mama pesan, sangat pas dengan tubuhnya.
“Bisa kita bicara?”
“Tentu, Pa.” Aerin mengikuti Papa yang menuju ke ruang keluarga. Seperti ekspresi wajah Mama, Papa juga sedikit melembut.
“Kamu sehat?” Pertanyaan pertama, tak pernah sebelumnya Papa bertanya keadaannya.
“Aku baik-baik saja, sangat sehat,” jawab Aerin sambil tersenyum dan tentu saja dengan mata berkaca-kaca.
“Hm, kamu hidup dengan sangat baik tanpa perlu dukungan Papa. Papa dengar, kamu beli Range Rover dan beli rumah mungil di kawasan elite tanpa kredit. Tentu saja, hidup kamu sangat baik.”
Ada nada bangga dalam ucapan itu. Aerin menatap dengan penuh selidik.
“Papa kok bisa tahu aku punya Range Rover dan tinggal di rumah sendiri?”
Bramantio tertawa kecil. “Walaupun hubungan kita sebelumnya sangat tidak harmonis, kamu pikir Papa akan membiarkan kamu tinggal sendirian di Jakarta tanpa penjagaan?”
“Maksud Papa?”
“Ada dua bodyguard yang menjaga kamu.”
Aerin mendelik tak percaya.
“Irin, kamu itu adalah PR besar buat Papa dan Mama. Pekerjaan rumah yang harus kami selesaikan sebelum ajal menjemput. Kamu tahu, sangat berat bagi Papa sebagai seorang suami untuk memaafkan mami kamu. Nanti kalau kamu sudah menikah, kamu akan mengerti betapa pentingnya harga diri bagi seorang suami. Maafkan Papa dan Mama, baru sekarang kami bisa berdamai dengan diri kami sendiri untuk menerima kamu. Kamu pasti sangat menderita.”
Aerin tak kuasa menahan tangisnya.
Bramantion langsung memeluknya dengan erat. “It's over. Kita buka lembaran baru mulai sekarang. Kamu anak Papa, seperti Chandra dan Ricky, tidak berbeda. Maafkan Papa dan Mama.”
“Aku tidak pernah marah kepada Papa dan Mama. Aku yakin suatu hari nanti, Papa dan Mama pasti akan bersikap seperti layaknya orang tua yang seharusnya. Aku hanya kesepian, aku sendirian. Aku pengin punya keluarga yang saling menyayangi. Aku pengin punya Papa yang bisa menjadi my hero. Papa yang berdiri tegak di belakangku, memberi dukungan agar aku siap menghadapi segala tantangan kehidupan. Aku pengin punya Mama yang bisa jadi tempat curhat, terutama curhat tentang kisah asmaraku yang tak seindah cerita novel.”
Aerin kembali menangis. Beban berat yang menyesakkan dada, secara perlahan mulai mengikis. Dia tahu, selama ini dia sangat tertutup. Dia tidak punya keluarga dan sahabat dekat untuk berbagi cerita. Dia memendam lukanya sendiri.
***
Sesi foto berjalan lancar dan penuh keakraban, terutama dengan Chandra dan Ricky yang jarang dijumpainya. Saat Aerin dibawa untuk tinggal di rumah Papa, Chandra sudah SMA dan Ricky sudah SMP. Mereka tinggal dan bersekolah di Brisbane. Mereka jarang pulang ke Jakarta. Selama Aerin SMP, dia hanya bertemu sekali dengan kedua saudaranya itu. Saat SMA, jarak mereka semakin jauh karena satu peristiwa tragis yang melibatkannya, membuat Papa mengirimnya ke London untuk melanjutkan SMA. Begitulah, selama kurun waktu 5 tahun usianya hingga 29 tahun, bisa dihitung berapa kali saja dia berjumpa dengan kedua saudara laki-lakinya itu.
Chandra sudah menikah dan mempunyai dua putra dan satu putri yang beranjak remaja. Sementara Ricky, mempunyai dua putra. Keduanya adalah pilar perusahaan konstruksi Papa dan Mama. Papa dan Mama membangun PT. BraDia di saat mereka baru menamatkan kuliah teknik sipil. Perusahaan kecil itu berkembang sangat pesat menjadi salah satu perusahaan kontraktor berskala nasional yang sangat diperhitungkan keberadaannya. Di tangan Chandra dan Ricky, BraDia bahkan sudah melebarkan sayapnya dalam proyek konstruksi di beberapa negara Asia.
Sebenarnya, Papa menentang keras saat Aerin memilih computer science sebagai jurusan kuliahnya. Papa ingin dia nantinya ikut terlibat di perusahaan keluarga. Namun, Aerin menentang keras keinginan Papa saat itu yang semakin memperjauh hubungan mereka.
***
“Cantik banget!”
Chandra melirik dua jagoannya yang saling berbisik pelan, tapi kedengaran. Mata keduanya tak lepas dari memandang sosok Aerin yang sedang ada sesi foto.
“Hus, tante itu. Jaga mata!”
Keduanya tertawa agak malu-malu.
“Papa,” protes Dion sebal.
“Kenapa?” Ricky datang menghampiri. Chandra dan kedua putranya tertawa.
“Mereka lagi menikmati cantiknya Tante Aerin.”
Ricky ikutan tertawa.
“Iya, Tante Aerin memang cantik banget, kan? Udah cantik, baik hati plus genius. Tipe wanita impian, bukan begitu?” goda Ricky sambil tersenyum jahil.
“Ah, Om Ricky tahu aja,” protes Raffa, adiknya Dion. Mereka tertawa lagi.
Papa datang mendekat melihat kebahagiaan di wajah mereka.
“Ada apa?”
“Tante Aerin sangat cantik, Pa. Bikin keponakan pada meleleh,” info Ricky yang membuat Dion dan Raffa agak salah tingkah. Mereka tertawa.
Bramantio menatap Aerin yang sekarang sedang difoto bersama Clara, putri Chandra yang duduk di bangku SMP.
“Iya, tante kalian memang luar biasa.”
Aerin jauh lebih cantik dari almarhumah Saras, maminya. Waktu kecil, sosoknya biasa saja. Ia tidak ingat kapan anak gadisnya mulai berubah secantik itu. Banyak sekali waktu yang berlalu tanpa dia sadari dan banyak sekali momen penting dalam kehidupan Aerin yang dia lewati.
Chandra memeluk erat bahu Papa. Mata Papa tampak berkaca-kaca menatap Aerin yang sangat bahagia. Pancaran kebahagiaan di wajahnya semakin membuatnya sangat menarik. Sebenarnya, Chandra dan Ricky pernah berdiskusi panjang tentang Aerin yang jarang sekali bersama mereka. Ada keinginan mereka untuk menjalin hubungan yang telah lama terputus, tapi lagi-lagi mereka harus menjaga perasaan Mama yang saat itu memberi respons begitu dingin saat mereka menyinggung tentang Aerin. Keduanya tahu dengan baik keadaan Aerin yang sangat berkecukupan di Jakarta, karena itu mereka merasa tenang. Mereka memantau keadaan Aerin tanpa Aerin tahu. Sekarang, semuanya sudah membaik. Keduanya sudah bisa menunjukkan rasa sayang mereka secara terang-terangan.
BAB 7
Dan malam pun tiba. Aerin menunggu di kamar dekat ruang pesta, menunggu Ricky memanggil namanya. Hm, seperti di drama-drama saja. Dari dalam Aerin mendengar banyak sekali suara orang-orang yang saling menyapa.
“Asalamualaikum, selamat malam semuanya. Terima kasih sudah berkenan hadir di acara khusus keluarga kami malam ini.” Terdengar suara Ricky membuka acara.
“Malam ini, kami mengundang saudara dan rekan-rekan sekalian untuk memperkenalkan adik perempuan kami. Adik kandung saya dan Chandra, yang berbeda ibu,” terang Ricky tanpa ada rasa kikuk.
“Mama kedua kami sudah meninggal saat adik perempuan kami berumur lima tahun dan itu sudah 24 tahun yang lalu.” Ricky sengaja berhenti bicara sebentar, dia menatap Mama yang berdiri di samping Papa dengan tangan saling menggenggam. Wajah Mama tersenyum, tak ada lagi luka yang sangat lama dipendamnya bila ada yang menyinggung almarhumah Saras, mami Aerin.
Aerin tak kuasa menahan tangisnya saat Ricky menyebut “mama kedua kami”. Tak ada rasa sungkan apalagi marah. Pada akhirnya, almarhumah maminya juga ikut diterima di dalam keluarga ini.
“Adik kami banyak menghabiskan masanya di Jakarta, SMA di London, kuliah di Massachusetts USA, dan sekarang bekerja di Jakarta. Makanya, tidak beredar di Surabaya,” canda Ricky yang membuat para undangan ikutan tertawa.
“So, please welcome adik kami, Aerin Alessandra Bramantio!”
Sorot lampu beralih ke kamar tempat Aerin menunggu. Aerin menyeka air mata di pipinya dan beranjak keluar. Dia tersenyum menampakkan gigi putihnya yang tersusun rapi. Aerin sedikit membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada para undangan.
Ruangan terasa sunyi senyap, semua mata terkesima melihat sosok cantiknya. Ricky, Chandra, Papa, dan Mama saling menatap, lalu tertawa kecil. Sudah bisa ditebak akan seperti apa reaksi para undangan. Sosok Aerin yang memakai gaun malam silver off shoulder bak putri raja. Sikapnya terlihat sangat santun dengan body language sewajarnya bikin para undangan terpesona.
“Asalamualaikum, selamat malam,” sapa Aerin yang berdiri di samping Ricky. Nada suaranya agak bergetar, ada rasa gugup melihat banyak sekali mata yang terpana menatapnya.
“Aerin besok berulang tahun. Jadi, acara ini sekalian untuk merayakan ulang tahun Aerin yang ke-29 tahun. Masih lajang, yang masih lajang juga boleh mendekat,” canda Ricky yang membuat banyak lajang tersenyum bahagia. Itu info yang ditunggu-tunggu dari tadi.
Aerin menutup mata dengan sebelah tangannya. Ampun dah Mas Ricky, kenapa bisa seterus terang itu? Wajah Aerin sedikit merona malu. Mengumumkan status lajang di usia yang ke-29 tahun di depan banyak orang, sungguh terlalu. Ricky mengedipkan sebelah matanya menatap Aerin. Aerin membalas dengan tatapan protes.
“Oke, silakan menikmati hidangan. Sekali lagi, terima kasih banyak sudah berkenan hadir di kediaman kami.”
Ada banyak menu makanan yang dihidangkan, suasana hening berubah menjadi penuh tawa dan candaan sana-sini. Acaranya persis seperti acara kawinan dan Aerin adalah pengantinnya. Tak terhitung berapa banyak undangan yang harus dia sapa dan membalas sapaan, belum lagi melayani pembicaraan yang bisa berujung ke mana-mana. Menjadi anggota resmi dari Keluarga Bramantio membuat Aerin mengemban tanggung jawab besar. Seperti halnya Chandra, Ricky, beserta istri dan anak-anak mereka yang sangat menjaga perilaku di depan publik. Aerin juga harus lebih siap untuk mulai terekspos ke publik tentang dirinya. Akan banyak acara-acara penting yang mengharuskan dia untuk hadir, yang selama ini sangat dia hindari untuk menghindari gosip tentang Mami.
Aerin menarik napas lega. Sekarang, bila ada yang bertanya namanya, dia akan sangat bangga untuk menyebut Aerin Alessandra Bramantio, bukan Aerin Alessandra saja seperti yang selalu dia sebutkan. Sedapat mungkin dia menyembunyikan nama Bramantio. Bahkan, di data staf Global, dia hanya menulis nama akhir Papa dari Subroto menjadi Broto saja.
Chandra menghampiri Aeirin. “Irin, ini kenalin Direktur Perencanaan di BraDia. Aku ke sana dulu ya.”
Aerin menatap pria yang berdiri di samping Chandra yang tersenyum kepadanya.
“Aerin.”
“Bian.” Keduanya saling berjabatan tangan.
“Mas Bian sudah lama di BraDia?” tanya Aerin berbasa-basi supaya terlihat sopan. Entah sudah berapa pria yang dikenalkan kepadanya malam ini, dia hampir kehabisan topik pertanyaan.
“Hampir 10 tahun,” jawab Bian sambil mengambil segelas koktail dari tangan pelayan dan menyodorkan ke Aerin.
“Terima kasih. Wow, sudah lama sekali.”
“Kamu tidak berencana bergabung di BraDia?” Bian yang berkacamata minus menatapnya dengan agak malu-malu.
“Mungkin suatu hari nanti. Sekarang, aku masih ingin berpetualang.”
“Berpetualang dan ingin menancapkan sayapnya sendiri?” tanya Bian yang membuat Aerin tertawa.
“Ya kurang lebih seperti itu. Mas Bian sudah menancapkan sayap?” Bian tertawa kecil mendengar serangan balik. Dia tahu gadis itu sangat pintar.
“Aku rasa, sudah. Aku bergabung dengan BraDia saat aku selesai kuliah dan aku tidak berencana untuk menancapkan sayap di tempat lain.”
Aerin menatap wajah serius itu. Tampak sangat serius bagi yang pertama melihat, tapi sangat asyik untuk teman mengobrol setelah beberapa lama kenal. Di antara semua pria yang mengenalkan diri dan diperkenalkan kepadanya, Bian adalah salah satu dari kelompok kecil yang menatapnya sewajarnya. Salah satu hal yang membuat Aerin sangat nyaman di perkenalan pertama dengan seorang pria.
Chandra dan Ricky mengawasi keduanya yang menuju ke meja panjang tempat makanan terhidang.
“Wah, mantap. Si Bian bisa lanjut ke makan bersama.” Chandra tertawa. Dari tadi mereka berdua tak pernah lepas memperhatikan Aerin dan pria-pria di sekelilingnya. “Calon brother in law yang perfect, kan?”
Ricky mengangguk.
“Tapi aku yakin Irin sudah punya seseorang di hatinya. Cara dia memandang Bian dan pria lainnya, itu bukan sorot pandang tertarik. Hanya memandang untuk terkesan sopan saja.”
“Ah, kamu sok tahu!” ledek Chandra sambil melingkarkan tangannya ke bahu Ricky. Keduanya memang sangat dekat karena sejak remaja mereka selalu berdua, hidup di Brisbane tanpa orang tua.
***
Hampir jam 12 malam saat tamu pulang, semuanya berkumpul di ruang keluarga. Mbak Wati, salah satu ART yang tinggal di rumah, masuk ke ruang keluarga sambil membawa kue ulang tahun berbentuk hati berwarna putih yang di atasnya dihias bunga mawar berwarna ungu.
“Wah, cantik banget!” seru Clara yang langsung mengambil kesempatan buat berfoto dengan kue ulang tahun.
“Ma, aku sudah bilang, tidak mau pakai kue. Aku sudah 29 tahun, malu,” protes Aerin yang membuat semua tertawa.
“Mbak Alissa dan Mbak Vania nih yang maksa harus ada kue ulang tahun. Eh, ini buatan mereka, lho.”
Alissa dan Vania tersenyum bangga.
“Terima kasih, Mbak, aku sudah merepotkan.” Aerin jadi tidak enak hati sudah protes.
“Ini welcome gift dari kami, kakak perempuan kamu.”
Mata Aerin berkaca-kaca dan air mata sukses mengalir di pipinya. “Terima kasih, Mbak. I love you both.”
Ketiganya saling memeluk.
“Happy birthday, Tante Aerin!” ucap para keponakan serentak.
Aerin pun menerima pelukan dan ciuman dari semua anggota keluarga. Aerin sangat bersyukur di usianya yang ke-29 tahun, akhirnya dia memiliki keluarga yang utuh. Keluarga yang sebenarnya.
BAB 8
Senin siang Aerin dan Mama terbang ke Singapura untuk menemani Mama melakukan check up kanker ususnya. Tiga bulan yang lalu, Mama sudah menjalani kemoterapi. Hasil pemeriksaan sampai dengan check up terakhir bulan lalu, kanker Mama sudah sembuh tapi Mama tetap harus melakukan check up ulang setiap bulannya. Biasanya, Mama ditemani Mbak Alissa atau Mbak Vania. Kali ini, Aerin mendapat kehormatan untuk menemani Mama.
Sementara itu di FF Global Cell, suasana tegang dimulai sejak pagi hari. Sang CEO baru dikabarkan akan datang hari ini. Pagi-pagi kantor sudah ramai. Para direktur dan manajer harap-harap cemas dengan perubahan yang akan terjadi. Tidak ada yang pernah bertemu dengan Arya Ferdinand, apalagi mengenal wajahnya. Mereka hanya tahu wajah Pak Ferdinand dan Ibu Farah dari foto yang tergantung di bekas ruang kerja Pak Rasyid. Itu pun foto yang diambil sekitar 22 tahun yang lalu, saat Global Cell didirikan.
Ponsel Vita berdering. Vita melihat ke ponselnya. Suara merdu Aska, putra kecilnya, memecah ketegangan di lobi. Telepon masuk dari nomor tak dikenal.
“Selamat pagi. Vita, Global Cell,” sapa Vita dengan mata menatap beberapa kurir yang masuk ke lobi sambil membawa buket dan kado.
Vita mencoba mengingat sesuatu. Tanggal berapa ini? Kenapa ada banyak buket dan kado yang datang? Apakah untuk menyambut CEO baru? Tapi, sepertinya tidak mungkin, dari jauh terlihat buket yang kebanyakan mawar merah muda.
“Hai, aku Arya Ferdinand. Aku dalam perjalanan menuju Global. Are you there?” Suara bas dari seberang, terdengar seksi dan membuat dada berdebar-debar.
Vita melongo, sambil memberi kode kepada direktur dan manajer yang juga semuanya sedang berada di lobi untuk bersiap-siap.
“Hai, Pak Arya. Kami semua sudah ada di Global. Kami tunggu di lobi, Pak.”
“Alright, see you there.” Hubungan terputus. Semua menarik napas panjang.
Ada keramaian di meja resepsionis. Kurir yang datang semakin bertambah. Vita menuju ke sana, mengecek apa yang terjadi.
“Banyak banget ini sudah, Mbak. Aku bagikan ke semua ruangan saja?” tanya Wiwid sambil menandatangani resi barang.
Vita melihat ke nama di buket, lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala.
“Iya, atur saja deh. Aku mau buket yang tercantik buat dibawa pulang dan jangan lupa, cokelat termahal buat Aska. Oke?”
Wiwid tertawa. Ah, Mbak Vita selalu begitu.
“Rebes, Mbak. Makanan yang lain aku bagi-bagikan juga?”
“Yup, pesta besar kita hari ini?” goda Vita sambil melangkah kembali ke deretan petinggi Global yang duduk menunggu di sofa tunggu.
Tak beberapa lama, sebuah mobil Hammer putih memasuki halaman depan Global. Mereka saling menatap.
“Sepertinya ini ....” Semua melihat ke Pak Sandy, Direktur Keuangan.
Mobil Hammer berhenti tak jauh dari pintu masuk lobi. Dan keluarlah sesosok cowok berbadan atletis berkulit cokelat dengan rambut agak gondrong yang dibiarkan tergerai bebas tapi rapi. Memakai kemeja berwarna biru tua dengan lengan digulung, dipadu celana jins biru dan sepatu kulit hitam. Wajahnya yang sempurna dengan tatapan tajam, menatap sebentar ke gedung Global sebelum menuju pintu lobi.
Semua menahan napas, menanti pintu didorong dari luar. Suasana hening begitu sosok itu masuk ke lobi dengan sorot mata tajam melihat ke sekeliling. Ada rombongan staf berpakaian jas lengkap yang sedang menatap ke arahnya dengan ekspresi penuh selidik. Sementara di meja resepsionis, ada kesibukan yang lain. Banyak buket mawar yang ditumpuk dan kotak-kotak berbungkus kertas warna-warni seperti kado.
Vita menuju ke sosok pria muda berumur sekitar 30-an itu, yang masih asyik memperhatikan sekeliling terutama ke kesibukan di meja resepsionis.
“Maaf, Pak Arya, ya?” tanyanya.
Arya tersenyum sambil mengangguk. Ekspresinya melembut, membuat Vita merasa nyaman.
“Vita?” Suaranya benar-benar rendah seperti suara bas saat didengar langsung. “How do you do?” Arya mengulurkan tangannya, menjabat tangan wanita yang sepertinya lebih tua darinya.
“Pleased to meet you, Pak Arya. Welcome,” ucap Vita sambil menjabat tangan Arya. “Mari saya kenalkan dengan direktur dan manajer di sini.”
Keduanya menuju ke tempat yang lain menunggu. Arya menjabat tangan satu per satu para petinggi Global Cell sambil mendengarkan nama dan jabatan yang disebutkan Vita.
“Aku butuh sekitar satu jam untuk briefing dengan Vita dan Pak Zulfan. Kita bertemu lagi di ruang rapat pukul 9.30. Is it okay?” Semuanya mengangguk.
“Oke, terima kasih,” ucap Arya tulus yang memberikan kesan mendalam di pertemuan pertama.
***
Vita, Pak Zulfan—wakil CEO, dan Arya menuju ke lift khusus lantai 15, tempat kantor CEO dan bagian sekretariat berada.
“Ada acara apa? Kenapa banyak yang mengirim hadiah?” tanya Arya yang penasaran. Bahkan, saat mereka masuk ke lift, kurir masih terus berdatangan.
Vita dan Pak Zulfan saling tersenyum.
“Hari ini, hari ulang tahun IT Expert. Tiap tahunnya selalu begini, ramai banget yang mengirimi buket dan hadiah,” info Pak Zulfan.
“Female?” tanya Arya ingin tahu. Rombongan yang menunggunya hanya Vita seorang yang wanita. Kalau IT Expert adalah wanita juga, dia seharusnya ada di dalam rombongan tadi.
“Iya. Sorry, Bos. IT Expert lagi cuti karena mendadak ada urusan keluarga. Senin depan sudah masuk, nanti di briefing ada asistennya yang mewakili.”
“Hm, oke.” Arya mengikuti Vita masuk ke ruang kerja CEO. Ruangan luas dengan dekorasi minimalis.
“Semoga Pak Bos suka. Kami melakukan sedikit perombakan karena Pak Rasyid bilang Pak Bos masih sangat muda, jadi tidak cocok dengan dekor ruangan lama yang taste orang tua,” terang Vita yang membuat ketiganya tertawa.
“Well, I like it. Thanks.”
Ada kamar untuk istirahat, ruang dapur lengkap, dan meja makan mini. Ruangan rapat kecil untuk dua hingga empat orang, satu set sofa putih buat menerima tamu, dan yang paling Arya suka ruangan balkon yang dipenuhi tanaman hijau dengan pemandangan Jakarta dari lantai 15. A perfect place untuk istirahat dari segala kepenatan.
“Pak Zulfan sudah lama bekerja di Global?”
Pak Zulfan yang berumur 50-an mengangguk. “Sudah hampir tujuh tahun, saya ikut bersama Pak Rasyid.”
“Vita?”
“Hampir 10 tahun.”
“Wow!”
Vita tertawa. “Aku bergabung di sini begitu tamat kuliah, menikah, dan punya anak.”
Ketiganya tertawa.
“Kebanyakan staf di sini sudah bekerja lima tahun lebih. Jarang sekali ada yang mengajukan pengunduran diri. Penambahan staf baru biasanya karena memang butuh tambahan, bukan menggantikan yang mengundurkan diri,” info Pak Zulfan dengan nada bangga.
“Bagian IT, Teknik, Operator, Resepsionis, Customer Service itu bagian yang paling banyak fresh graduate.”
“Good. Jadi, tingkat loyalitas sangat tinggi. Maaf, baru sekarang aku bisa kembali ke Global. Staf di sini sangat luar biasa. Thank you for your hard work.” Vita dan Pak Zulfan semakin bahagia.
BAB 9
Pukul 9.30, semua petinggi Global sudah berkumpul di ruang rapat. Ada seperti rasa tak sabar untuk lebih mengenal sang CEO baru yang keramahannya sudah menyebar ke seluruh penjuru kantor. Belum lagi sosoknya yang sangat menarik perhatian. Sayang sekali, staf dengan posisi di bawah manajer tidak diundang dalam rapat. Jika tidak, bisa dibayangkan bagaimana riuhnya.
“Asalamualaikum, selamat pagi Mas-Mas, Bapak-Bapak dan Mbak ...,” ucap Arya sambil melihat ke arah Vita, wanita satu-satunya di dalam ruangan. Semua tertawa kecil melihat ekspresi Arya.
“Rileks saja ya ini hanya briefing singkat karena aku tahu semuanya pasti punya banyak tugas yang harus diselesaikan di ruangan masing-masing. Aku hanya ingin tahu sekilas tentang keadaan Global sekarang ini dari setiap divisi. Nanti laporan lengkapnya bisa aku baca secara tertulis.” Arya berhenti sebentar menatap wajah-wajah serius yang sedikit mencair.
“Well, seperti yang kita tahu semua, FF Group mempunyai beberapa perusahaan lain. Jadi, aku di sini bukan hanya untuk Global Cell. Aku juga mengurusi beberapa perusahaan lain, tetapi aku berkantor tetap di Global Cell. Jadi, nanti Vita tugasnya akan bertambah karena harus mengatur jadwal rapat dengan urusan perusahaan lain. Aku harap tidak merepotkan, ya. Kita punya berapa sekretaris?”
“Lima,” jawab Vita.
“Perfect! Sangat cukup. Oke, mari kita mulai.”
Briefing dimulai oleh Direktur Keuangan. Semua serius menatap layar proyektor. Bagian Pemasaran dan beberapa bagian lain menyusul. Andy sebagai Direktur Bagian Teknik dan IT memberikan briefing khusus bagian teknik saja, sementara bagian IT disampaikan oleh Bagas.
Tiba giliran Bagas yang tampak grogi, Bagas menekan tombol enter dari laptopnya dan muncullah foto Aerin dengan kacamata bergagang ungu dan senyum menggoda. Semua tertawa.
Arya bengong menatap gambar gadis di layar proyektor. Dia seperti mengenal wajah itu dan ada sesuatu yang dipakai gadis itu yang membuat dia merasa sangat familier.
“Maaf, Pak Arya. Seharusnya Mbak Ririn yang kasih briefing, tapi karena sedang cuti, saya yang menggantikan.” Semua bersorak kegirangan.
“Ah, kamu tahu aja cara menggoda orang.” Mas Andy menyikut perut Bagas. Memang anak buah Aerin kocak-kocak saat memang ingin bercanda, tapi saat bekerja di depan komputer, jangan harap bisa mengajak mereka bercanda.
“Good idea, jadi pada semangat, ya,” ucap Arya yang membuat semua tertawa lagi.
Ternyata CEO baru juga suka bercanda seperti Pak Rasyid. Briefing yang diberikan Bagas berjalan sukses. Sebenarnya, Bagas menampilkan foto Aerin untuk menyemangati dirinya saja. Dia sering grogi saat harus bicara di depan banyak orang.
***
Hari pertama berada di Global Cell membuat Arya cukup tahu gambaran jelas perkembangan Global Cell. Sebelum ini, dia hanya mendengar sekilas laporan dari Papa, karena di Amerika dia sibuk mengurusi perusahaannya sendiri yang bergerak di bidang arsitektur. FF Group otomatis dipegang penuh oleh Papa dan Mama dengan menempatkan CEO terbaik sehingga Papa dan Mama hanya perlu menyupervisi saja.
“Bos, mau makan siang apa?” Suara Vita terdengar dari PABX.
“Tidak usah. Temanku sebentar lagi ke sini, namanya Indah.”
“Oke.”
Hm, hari pertama langsung menampakkan kepemilikan. Vita tersenyum sendiri dan benar saja, tak beberapa lama terdengar suara Wiwid dari meja resepsionis.
“Mbak Vita, ada Miss Indah yang mau bertemu dengan Pak Arya.”
“Oke, Wid. Silakan kirim ke atas.”
Wiwid tersenyum, lalu mengantar sang tamu ke lift VIP.
Tak beberapa lama sosok perempuan langsing cantik berambut lurus sebahu, keluar dari lift. Wajahnya sangat familier. Vita mencoba mengingat di mana dia pernah melihat wajah ayu yang memakai soft lens berwarna cokelat itu.
“Halo, aku Vita, sekretaris Pak Arya. Mari aku antar ke ruangan Pak Arya,” tawar Vita beramah tamah.
Sosok yang menenteng paper bag itu, diam sesaat. “Tidak usah, tunjukkin saja yang mana ruangannya.”
“Oh, oke. Ruang yang paling ujung,” tunjuk Vita ke arah sebelah kiri.
“Thanks.”
Vita menatap sampai sosok yang berjalan bak di atas catwalk itu memasuki ruangan Arya. Ah, catwalk! Ia ingat sekarang. Itu adalah Indah Clarissa, salah satu model terkenal. Oh my God, Pak Arya!
***
“Mbak Vita, pick up please.”
Suara si Wiwid lagi. Pasti mau cek dan ricek. Vita mengangkat telepon. “Apaan?”
“Yang tadi itu Indah Clarissa, Mbak.”
“Iya, aku tahu. So, what?” tanya Vita yang tahu banget pembicaraan akan mengarah ke mana.
“Masalahnya, baru aja semua terpesona sama Pak Bos, eh ... pemiliknya langsung datang. Di group chat pada heboh.” Wiwid tertawa keras yang membuat Vita ikutan tertawa.
“Makan siang di kafetaria, yuk!”
“Sip, aku tunggu ya.”
Vita meletakkan telepon, lalu mengecek group chat di ponselnya. Benar saja, heboh! Dengan iseng, dia mulai mengetik untuk meramaikan suasana.
Belum tentu juga, itu ... itunya. Fighting, girls!
Sontak chat dari Vita membuat yang membaca terbahak. “Itu ... itunya” yang entah apa maksudnya. Wiwid sampai terpingkal-pingkal. Chat jadi beralih topik membahas maksud “itu ... itunya” ala Vita. Begitulah keseharian di Global. Keakraban yang seperti keluarga sendiri. Makanya, susah untuk berpindah ke lain hati. Bekerja di sini seperti berada di rumah sendiri.
***
Indah menatap Arya yang lahap menghabiskan nasi pecel yang dibawanya. Menu yang sangat sederhana sebenarnya, tapi bagi Arya yang sudah sangat lama bermukim di Amerika, itu adalah menu istimewa yang sangat dirindukannya. Arya sudah satu minggu kembali ke Jakarta, tapi belum sempat ke mana-mana. Padahal dia ingin sekali berkeliling, bernostalgia mencoba semua makanan yang pernah menjadi kesukaannya. Pecal ini salah satunya, makanan favoritnya saat dia SMP dari kedai kecil di belakang sekolah.
“Terima kasih,” ucap Arya setelah menghabiskan dua bungkus pecal. Indah tersenyum penuh arti. “Sorry, merepotkan kamu.”
“Nggak kok. Cara kamu makan, bikin aku senang.”
Arya tertawa.
“Kamu berubah banyak.” Indah tak kuasa menyembunyikan kekagumannya. Pria ini dulunya pernah menyatakan cinta kepadanya saat mereka duduk di SMP, tapi dia menolaknya. Mereka saling mengenal sejak kecil karena tinggal dalam kompleks perumahan dan bersekolah di tempat yang sama.
“Aku masih Arya yang sama.”
“Jadi, kamu memang akan menetap di sini? Tidak ada rencana balik ke Amerika?”
“Ada urusan pribadi yang harus aku urus. Setelah itu selesai, we will see. Tapi aku lebih suka tinggal di sini.”
“Urusan pribadi?” tanya Indah dengan wajah penasaran.
Arya mengangguk dengan mata menatap jauh ke balkon.
Indah memperhatikan setiap detailnya. Dia bukan Arya yang dulu. Arya yang selalu menatapnya dengan penuh cinta. Arya yang sekarang dengan fisik berbeda, menatapnya dengan ekspresi biasa saja. Seperti menatap seorang teman lama. Keadaan menjadi terbalik, Indah yang dulu sangat terganggu dengan sosok Arya yang selalu mencoba mencari perhatiannya, sekarang ini tak kuasa menolak pesona Arya.
BAB 10
Menjelang satu jam sebelum jam resmi bubaran kantor, Vita mengajak Arya berkeliling. Mereka mulai dari pos satpam dan ruangan sopir. Setelah itu menuju ke lobi, bertemu dengan para resepsionis dan staf customer service. Semua senang banget bisa melihat dan bersalaman langsung dengan CEO baru yang sangat nyaman buat dipandang.
Naik ke lantai dua, singgah di ruangan operator yang semua stafnya tampak sangat sibuk. Arya hanya melambaikan tangan saja. Selanjutnya kunjungan ke bagian penjualan dan pemasaran yang dipenuhi oleh staf-staf muda penuh energi. Ruangan Public Relation sedang ada diskusi serius dalam beberapa grup. Mereka sedang merencanakan sebuah acara yang diberi judul A Beautiful Night with Global dalam rangka peluncuran paket telepon baru. Setelah menjelajah, sampailah di lantai 14, tempat staf teknik dan IT bermarkas. Andy menyambut kedatangan mereka.
“Ini ruangan teknisi.”
“Hello. Nice to meet you all,” sapa Arya sambil berjalan dan menyalami staf. Arya memperhatikan sekeliling, ruangan teknik sangat luas dan lengkap dibanding ruangan-ruangan yang telah dikunjunginya.
“Teknik dan IT, dua bagian yang paling sering menginap di kantor. Jadi, fasilitas sangat lengkap,” terang Vita yang menangkap kepuasan di ekspresi Arya.
Lantai 14 ini mempunyai fasilitas lengkap saat Pak Rasyid memimpin. Pak Rasyid sangat terganggu melihat staf teknik dan IT yang ketiduran di atas meja kantor atau bahkan di lantai saat harus bergadang. Sejak saat itu, Pak Rasyid mendekorasi ulang lantai 14 menjadi ruang kerja yang sangat nyaman untuk bekerja dan beristirahat.
“Thank you, Mas Andy. Kami ke IT, ya. Bye semua.”
“Bye, Mbak itu ... itunya.” Ada yang menyeletuk.
Vita terbahak yang diikuti oleh yang lain. Arya yang tak mengerti, hanya tersenyum melihat wajah geli Vita.
Mereka menuju ke ruangan bagian kanan lantai 14. Pintu masuk memakai kunci pintu digital menggunakan password. Arya melihat Vita yang menekan beberapa nomor.
“Dulu ada yang mencoba masuk, makanya dipakaiin password dengan sensor bola mata yang diciptakan spesial oleh IT Expert kita. I am registered, Pak Arya belum,” info Vita. “Nanti nunggu Ririn balik, Pak Arya bisa akses ke ruangan ini.
“Oke.”
Begitu pintu terbuka, mata Arya terbelalak melihat ruangan dalam. Cantik. Desain interior maskulin yang dipadu sempurna dengan sentuhan girly. Melihat isi dalam ruangan, seperti kita berada di showroom perabotan mewah. Ada sofa warna-warni yang dari tampaknya saja pasti berharga mahal, meja kerja stylist berdesain minimalis. Cat dinding berwarna stone white membuat ruangan lebih hidup dan cocok dengan warna-warni perabotan. Ada layar komputer berukuran besar yang tertata rapi di beberapa bagian ruangan. Pekerjaan serius IT jadi bisa diimbangi dengan interior ruangan yang bikin betah dan rileks.
Di sudut lain, ada meja makan panjang yang sepertinya sengaja didesain supaya semua penghuni ruangan bisa menikmati makan bareng. Set dapur lengkap dengan kulkas side by side. Di ujung ruangan ada dua kamar tidur. Seperti di ruangannya, balkon di sini juga ditata dengan banyak tanaman lengkap dengan kursi duduk ala taman. Perfect! Bahkan, isi dari ruangan ini lebih mewah dari ruangan CEO.
“Ruangan ini sangat berbeda dengan ruangan lain karena Ririn IT Expert, mendekor dan membeli sendiri perabotannya dengan uang pribadi.”
“Oh ya?”
Vita mengangguk.
“Dia menghabiskan hampir 24 jam di sini, pulang ke rumah cuma buat tidur saja. Bahkan, dia sering menginap di sini.”
Arya tersenyum. Sebegitu loyalkah para staf Global? Namun, melihat staf-staf di ruangan ini, itu terlihat jelas. Kehadirannya sebagai CEO, tak sedikit pun membuat semuanya kehilangan fokus dengan apa yang sedang mereka kerjakan.
***
Hari kedua Arya berkantor, pagi-pagi Vita sudah mendapat info akan ada teman wanitanya yang datang. Namanya Nadine. Seperti siang kemarin, yang ini juga datang membawa paper bag. Nadine juga secantik Indah, tinggi langsing bak supermodel. Wajahnya juga sangat familier, tapi Vita tidak ingat pernah melihatnya di mana.
“Aku senang banget kamu kembali.” Mata Nadine berbinar-binar sambil memeluk Arya.
“My best friend.” Arya membalas pelukan Nadine.
“Lihat kamu sekarang, aku hampir tidak bisa mengenali kamu.”
Arya tertawa. Nadine masih seperti Nadine yang dulu. Nadine yang heboh, tapi baik hati. Salah satu teman wanita sekelas yang bisa menerima fisiknya yang gendut.
“Dan lihat kamu sekarang, sudah jadi perancang busana top,” puji Arya.
Walaupun tak pernah menghubungi teman-temannya selama dia tinggal di Amerika, tapi dia mengikuti perkembangan mereka. Hal pertama yang dia lakukan setelah kembali ke Jakarta adalah menghubungi mereka. Arya mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.
“Apaan?” tanya Nadine dengan mimik wajah lucu.
“Hadiah buat yang baru bertunangan.”
“Oh ... terima kasih.” Nadine membuka kotak mungil itu. Ada bros bergambar bintang yang dihiasi berlian-belian kecil di semua ujung sisinya. Nadine terkejut karena sahabatnya masih mengingat hobinya yang suka menghabiskan waktu di malam hari, mencoba menghitung bintang. Mereka hanya bertemu sekitar 30 menit karena jadwal Arya sangat padat.
BAB 11
Aerin menikmati quality time bersama Mama. Setelah dua hari menjalani banyak pemeriksaan ketat dengan hasil yang memuaskan, hari ketiga di Singapura bisa mereka nikmati buat belanja dan jalan-jalan. Diana sangat menikmati ditemani Aerin yang sangat peduli kepadanya.
“Kamu masih ingat janji sama Papa?” tanya Diana saat mereka menikmati brunch di The Halia Restaurant yang berada di Ginger Garden, bagian dari Singapore Botanic Garden.
Aerin yang sedang menikmati baked milk rolls dengan sebotol yogurt, berhenti mengunyah.
“Masih dong, Ma. Aku harus sudah menikah saat usiaku 30 tahun kan? Which is next year.”
“Syukur kamu masih ingat.”
“Kalau aku belum menikah juga, aku harus bersedia menerima calon suami pilihan Papa dan Mama,” sambung Aerin sambil mengingat kembali momen saat dia berjanji akan memenuhi permintaan Papa. Janji lima tahun yang lalu saat dia menolak kembali ke Surabaya dan bekerja di BraDia.
“Bye the way, apa Mama dan Papa sudah punya calon untukku?”
Diana mendelik.
“Memangnya kamu belum punya pacar?” Selidiknya dengan ekspresi tak percaya. Aerin menggeleng dengan mimik lucu. “Jadi, kamu selama ini ngapain saja?” tanya Diana yang membuat Aerin terbahak.
“Ma, aku belum pernah pacaran. Aku ini masih perawan tulen, murni!”
“Tidak mungkin! Kamu cantik dan sangat menarik. Apa susahnya memikat seorang pria?”
“Nggak susah sih, Ma, masalahnya di sini.” Aerin menunjuk ke dadanya. “Aku masih kejebak pada cinta masa kecilku,” ucap Aerin dengan serius yang membuat Diana terdiam.
“Arya? Kamu masih suka Arya? Come on, itu cinta anak ingusan. Kamu masih kecil banget saat kamu mengumumkan ke semua orang kalau kamu akan mencintai Arya sampai tua. Oh, tunggu dulu ... apa karena itu kamu bekerja di FF Group?”
Aerin mengangguk.
“Silly girl.” Diana tak tahu harus bilang apa lagi. Dia bangkit dan memeluk Aerin.
“Mas Arya dan keluarganya sudah kembali ke Jakarta, Ma. Aku dengar Mas Arya kembali karena akan menikah di sini.”
Diana semakin mempererat pelukannya. “Kamu pasti akan mendapat suami yang terbaik, Sayang. Kamu perlu bantuan Mama?”
Aerin mengangguk.
“Aku bersedia Mama kenalin dengan siapa saja yang Mama pikir baik. Biar aku punya kesempatan untuk merasakan tertarik dan jatuh cinta pada pria lain sebelum menyerah kalah dan menerima pilihan Mama dan Papa.”
“Are you okay with blind dates?”
“Why not?”
“Alright, let's do it!”
Aerin tersenyum melihat Mama yang tampak bahagia dan sangat energik.
“Kamu suka pria yang seperti apa?”
Aerin tertawa. Dia berpikir sebentar.
“Standar aja sih, Ma. Penyayang, baik hati, sabar, dan bisa masuk ke keluarga kita. Soal materi, aku bisa menghasilkan banyak. Jadi, tidak perlu anak orang kaya atau pengusaha sukses. Dan yang paling penting, aku tidak mau blind dates dengan pria yang sudah punya pacar, apalagi yang akan menikah.”
Kedua kakaknya juga menikah dengan gadis pilihan Papa dan Mama, hasilnya mereka bahagia. Aerin tersenyum sendiri. Kalaupun pada akhirnya dia belum jatuh cinta juga kepada pria lain, perjodohan adalah jalan terbaik. Papa dan Mama pasti juga ingin yang terbaik untuk dirinya. Pelan-pelan bisa menerima kenyataan membuat Aerin merasa lebih nyaman.
Tiba-tiba Aerin ingat sesuatu. Sebuah kata yang sudah lama ingin dia ucapkan kepada Mama. Saat usianya cukup matang untuk mengerti arti perkawinan dan komitmen yang harus dijaga dalam ikatan itu, dia ingin sekali berbicara dari hati ke hati dengan Mama dan memperbaiki hubungan mereka.
“Ma, aku minta maaf atas apa yang telah dilakukan mamiku kepada Mama. Aku tahu sampai meninggal, Mami belum sempat minta maaf kepada Mama. Hari ini aku meminta maaf atas nama Mami.”
Diana memeluk Aerin dengan erat, kepiluan di wajah Aerin membuat dia juga ikut menangis.
“Iya, Sayang. Mama sudah memaafkan mami kamu.”
Aerin tersenyum bahagia.
BAB 12
Farah yang sedang membereskan meja makan, melihat siapa yang datang.
“Tumben pulang cepat?”
Arya tersenyum sambil menarik kursi makan dan duduk. Farah menuangkan segelas air putih hangat. Arya langsung menghabiskannya. “Capek, Ma. Aku juga sudah bosan makan malam di kantor.”
Farah tertawa. “Ada kendala?”
Arya menggeleng.
“Sepertinya aku terlalu bersemangat. Seharusnya lebih santai sedikit, tidak buru-buru pengin tahu semua hal. Oh ya, Ma, ada yang mau aku tanya.”
Arya mengeluarkan secarik kertas dari saku kemejanya. Farah melihat sketsa gambar kalung dengan liontin berbentuk oval. Di bagian liontin itu Arya menulis keterangan blue diamond.
“Di pesta mamanya teman SMA-ku minggu lalu, aku bertemu seorang gadis yang memakai kalung ini. Sepertinya dulu sekali, aku sering melihat seseorang memakai kalung yang sama. Terus, di Global Cell ada IT Expert yang sedang cuti, fotonya mirip dengan gadis yang aku temui di pesta itu. Di fotonya, gadis itu juga memakai kalung berbandul blue diamond yang hampir sama,” terang Arya.
Farah tampak berpikir keras. “Seperti apa kejernihan berliannya?”
“Sangat jernih, aku rasa itu salah satu kualitas terbaik. Blue diamond dengan kombinasi warna biru muda, biru tua, dan hitam.”
Farah terdiam sesaat. Ingatannya kembali ke masa lalu pada seorang gadis kecil yang selalu memakai kalung dengan bentuk liontin dan warna berlian yang sama seperti yang digambarkan Arya.
“Irin.”
“Irin?” tanya Arya dengan suara bergetar dan terdiam sesaat.
“Tapi dia sama sekali tidak mirip Irin. Aku tidak bisa membayangkan Irin dewasa akan seperti sosok itu.”
“Pak Bram memberikan satu set perhiasan blue diamond kepada Saras, mami Irin, saat mereka menikah. Saat Saras meninggal dan Irin dibawa kemari, Irin membawa serta perhiasan itu dan selalu memakai kalung berliontin blue diamond dengan bentuk seperti di gambar ini. Di balik bingkai liontin, ada ukiran bertuliskan my lovely Saraswati. Itu salah satu blue diamond kualitas terbaik, Pak Bram memesannya secara khusus. Banyak gosip yang bilang, Pak Bram itu jatuh cinta yang sebenar-benarnya jatuh cinta kepada mami Irin. Makanya, dia memberikan yang terbaik dan termahal.”
“Karena itu Tante Diana tidak menyukai Irin?”
Farah mengangguk.
Arya baru sadar, sedikit sekali yang dia tahu tentang Irin. Dia hanya ingat anak kecil bawel yang suka sekali mengikuti ke mana pun dia pergi. Anak kecil yang dengan lantang mengumumkan kepada semua orang di sekitar mereka bahwa dia mencintainya. Anak kecil yang kemudian mengiriminya kartu ucapan ulang tahun selama 19 tahun berturut-turut tanpa pernah dia balas.
“Bukan hanya Diana, Pak Bram juga tidak memedulikan Irin.”
Arya terbelalak. “Kenapa? Irin anak kandungnya, kan?”
“Pernikahan mereka hanya bertahan sampai Irin berumur 1 tahun. Entah bagaimana ceritanya, Pak Bram akhirnya tahu Saras tidak mencintainya. Saras hanya tertarik dengan kekayaannya.”
“Wow.”
“Saras cantik sekali. Jadi, ada kemungkinan Irin juga akan sangat cantik. Usianya baru 10 tahun saat kita pergi ke Amerika. Fisik seorang perempuan itu akan banyak berubah saat mulai menginjak usia remaja. Seperti kamu, lupa?” goda Farah sambil tertawa.
Arya tersenyum dengan pikiran melayang jauh.
***
Vita menatap Arya yang sedang sibuk menandatangani beberapa dokumen.
“IT expert itu namanya siapa?”
“Ririn. Aerin Alessandra nama sebenarnya.”
“Kapan dia masuk kerja? I have something to discuss,” tanya Arya tanpa melihat ke Vita. Pandangannya hanya tertuju ke isi dokumen yang harus ditandatanganinya.
“Senin, Bos.”
“Aku ingin jumpa dia pukul sembilan pagi.”
“Baik, Bos.” Vita mengambil dokumen yang sudah ditandatangani Arya dan keluar.
Tak beberapa lama, terdengar suara Arya. Begitu sosok Vita hampir hilang di balik pintu, terdengar kembali suara Arya memanggilnya.
“Iya, Bos.”
“Password untuk akses database HRD.”
“Globalforever. G huruf kapital.”
“Terima kasih,” ucap Arya sambil tersenyum. Masuk ke database HRD, Arya mengetik Aerin dan dalam sekejap foto Aerin yang juga memakai kalung blue diamond, muncul. Kali ini dia bisa melihat wajah Aerin dengan lebih jelas. Ya, sepertinya gadis yang sama dengan yang ditemuinya di pesta itu.
Nama | : Aerin Alessandra |
Tempat, Tanggal Lahir | : Surabaya, 17-09-1990 |
Nama Ayah | : Broto |
Nama Ibu | : Purnama Sari |
Pendidikan | : - SD Al Azhar Jakarta - SMP Al Hikmah Surabaya - The Royal College of St. Peter Westminster, London. - Massachusetts Institute of Technology (MIT) Cambridge, Bonton USA. |
Arya sangat terkejut. Tak pernah dia bayangkan bahwa dia akan mempunyai seorang IT Expert lulusan MIT. Global Cell sangat beruntung. Lulusan MIT banyak bekerja di perusahaan raksasa teknologi seperti Google, Microsoft, Apple, dan Oracle. Kenapa dia bisa ada di sini? Selain itu, sebelum bekerja di Global, Aerin juga sangat aktif mengikuti pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan hacker dan game designer di berbagai negara. Dari pelatihan yang diikutinya, bisa disimpulkan dia bukan IT Expert dengan kualitas biasa.
***
Di belahan bumi yang lain, Aerin yang sedang belanja dengan mamanya, berhenti sebentar dari memilih-milih sepatu. Dari sepuluh menit yang lalu, ada suara notifikasi di ponselnya. Aerin menuju ke sofa yang disediakan khusus buat istirahat saat berbelanja. Setelah memeriksa ponselnya, Aerin tersenyum. Seseorang dari ruangan CEO sedang mengakses datanya dari database HRD. Aerin mengecek IP-nya dan dia tahu itu Arya.
Ada kejadian apa di Global, kenapa Arya sampai mengecek datanya?
Lima hari cuti, hubungannya dengan kantor memang sengaja diputus total. Seperti pesannya kepada Bagas, tidak boleh menghubungi kalau tidak ada yang darurat. Dan Aerin juga mematikan semua chat yang berhubungan dengan Global. Bahkan, Mbak Vita yang sangat akrab dengannya pun tidak berani menghubungi karena tidak ada yang sangat penting.
***
Arya memperhatikan foto Aerin dengan detail, sepertinya kalung berliontin blue diamond itu memang selalu dipakainya. Tidak peduli warna bajunya cocok atau tidak, kalung itu selalu menghiasi lehernya. Sama sekali tidak ada yang mirip dengan Irin kecil. Nama orang tuanya juga berbeda. Dan Arya juga tidak tahu apa Irin sebenarnya bernama Aerin? Yang dia tahu tentang Irin memang minim sekali.
Arya hanya tahu tiba-tiba ada anak kecil cewek yang tinggal di rumah sebelah saat dia berumur 10 tahun dan anak kecil itu bersekolah di TK. Semua orang memanggilnya Irin. Dia sering menangis, memanggil-manggil “mami”. Suara tangisnya kencang sampai terdengar ke rumahnya, padahal rumah mereka dipisahkan oleh taman samping yang lumayan luas.
Mbak Sri, Pengasuh Irin, sering membawa Irin saat berkunjung ke rumahnya karena Bik Sakinah, Ibu Mbak Sri, bekerja sebagai tukang masak di rumahnya. Sejak saat itu, dia dan Irin menjadi akrab. Bahkan, setelah pulang sekolah Irin pasti akan datang ke rumahnya. Irin selalu mengekor ke mana pun dia pergi di sekitar kompleks. Oleh karena itu, semua temannya di kompleks mengenal Irin. Dia tahu, Irin tidak suka berada di rumahnya karena katanya Tante Diana yang dipanggil mama oleh Irin, tidak menyukainya.
Cerita lengkap bisa diakses di:
https://karyakarsa.com/InfiZakaria/aku-di-sini-menunggumu-paket-lengkap
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
