Pembalasan Menantu Terkutuk (BAB 7)

3
1
Deskripsi

MENAGIH JANJI

Pagi ini aku sedikit merasa lebih tenang karena Mas Yanto berada di rumah dan bisa aku mintai tolong untuk menjaga Ranzel. 

Mas Yanto masih belum bisa bergerak leluasa pasca kecelakaan semalam. Sejujurnya bagiku luka itu tak seberapa. Toh hanya lecet-lecet sedikit saja di beberapa bagian dan menurutku tidak begitu menghambat pergerakannya. Tapi, daripada aku dituduh tidak memiliki empati, kubiarkan saja ia berada di rumah hari ini.


"Aku titip Ranzel ya, Mas. Nanti aku bilang sama tukang urutnya untuk ke rumah."


"Sekalian dibayar!" Was-was sepertinya dia. Takut aku tidak ada pengertiannya. 


"Iya, Mas. Pasti aku bayar." Kubuat hatinya menjadi tenang. Aku ingin Mas Yanto menjaga Ranzel dengan baik. Jika aku tidak menyenangkan hatinya, mungkin saja dia akan menyepelekan bayiku. Seperti ibu yang kemarin menelantarkan Ranzel hingga setengah hari berkubang dengan ompol.


Dia memang ayahnya. Tapi sedikitpun tidak terpancar darinya kasih sayang seorang ayah kepada Ranzel.


Mas Yanto cenderung cuek dan seolah tidak menyambut kelahiran Ranzel dengan bahagia. Padahal Ranzel putri pertama kami. Seharusnya gadis kecilku mendapatkan kasih sayang yang berlimpah. Bukan seperti ini, disia-siakan.


"Ya sudah sana pergi." Mas Yanto mengibaskan tangannya, mengusirku. Mungkin sepet matanya harus melihatku lama-lama di hadapannya.


"Aku berangkat dagang ya, Mas. Assalamu'alaikum."


Dua tanganku menjinjing tas anyam yang sudah penuh dengan dagangan. Sementara punggungku menggendong bakul yang juga berisi dagangan.


Tas selempang kecil untuk menampung pundi-pundi recehan sudah menggantung di depan perut. Kuucap basmallah sebelum suara melengking ini memanggil langgananku.


Kaki mulai melangkah meninggalkan halaman rumah, bersiap suara ini memanggil pelanggan, tapi tertahan sebab ....


"Ni! Mana jatah ibu?!"


Ibu mertua berdiri di ambang pintu. Hendak menyusulku, tapi aku gegas melempar janji padanya tanpa menoleh. Bukan sebab aku membencinya. Hanya saja tubuh ini sedang menahan beban berat di punggung. Sayang jika kubuang tenaga hanya untuk melihat ibu mertua yang menagih janji kemarin sore.


"Nanti, Bu! Murni dagang dulu!"


Kemudian aku cepat-cepat meninggalkannya. Masih terdengar long-longan suara ibu memanggilku sebelum aku melesak masuk ke dalam gang sempit untuk menghindarinya.

“Kurang ajar kamu, Ni! Jangan coba-coba bohongi ibu! Awas kamu nanti!”


Aku mulai menghempas jengah dengan terus mengayun kaki dan menawarkan daganganku.


Lengkingan suaraku sudah dihafal dan selalu ditunggu-tunggu kedatangannya oleh pelanggan. Bahkan tak jarang dari mereka sampai hafal jadwal kedatanganku dan sengaja mereka tunggu di depan rumah mereka.


Yu Ngatinah hari ini menitipkan beberapa jenis lauk. Menambah keragaman daganganku.


Yu Ngadinem juga menambahkan kue-kue tradisional buatannya yang lain. Semakin banyaklah keuntungan yang akan aku kantongi jika semua dagangan ini terjual habis.


Belum tetanggaku yang lain, yang memang sudah lebih dulu mempercayakan dagangannya untuk dijajakan olehku.


Aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang-orang pabrik. Merekalah yang selalu memborong habis daganganku. Apalagi sekarang ditambah dengan adanya lauk pauk. Pasti mereka akan tambah senang menunggu kedatanganku.


Biasanya orang pabrik hanya membawa nasi saja untuk bekal. Terbatasnya waktu membuat mereka tidak sempat memasak lauk di rumah.


Kumanfaatkan keadaan itu untuk menjadi ladang rezeki. Biasanya lauk akan mereka beli di warung-warung. Tapi tak jarang juga mereka mengeluh cita rasa dari warung penjual lauk yang tidak sesuai selera.


Berhubung hari ini aku membawa lauk, akan aku tawarkan pada meeting. Aku percaya, masakan Yu Ngatinah pasti tidak akan mengecewakan lidah mereka.


Pukul 11 lewat tiga puluh menit aku sudah berdiri merapat di tembok yang paling dekat dengan pintu gerbang pabrik. 
Berlindung di bawah bayangan kokohnya tembok yang menjulang tinggi dari sengatan sinar matahari. Aku sabar menunggu hingga pintu gerbang terbuka dan orang-orang pabrik berebut daganganku.


"Sayur asemnya berapaan, Ni?" tanya seorang langgananku yang bekerja sebagai buruh pabrik.


"Tiga ribu saja untuk sayur mayurnya, Mbak. Kalau yang enak-enak lima ribuan."


"Murah banget, Ni? Enak nggak? Apa pake sayur yang udah nggak bagus jangan-jangan, ya?" 


Aku tahu, langgananku itu memang tidak berniat menjatuhkanku. Dia hanya berbasa-basi khas pembeli yang ingin memastikan kualitas produk.


Aku pun tidak tersinggung sama sekali. Sebagai pedagang aku siap menampung dan menanggung segala konsekuensi. 


Yang namanya pembeli di mana-mana pasti akan menanyakan kualitas dan kuantitas. Tak jarang mereka juga menawar harga. 


Sebagai penjual tentu aku dilarang baper. Sudah menjadi ciri khas kegiatan jual beli, pasti akan ada penawaran dan sebagainya.


"InsyaAllah yang dimasak sayuran segar, ikan dan ayamnya juga masih segar, Mbak." Aku berani jamin sebab aku mengenal Yu Ngatinah.


"Bercanda, Ni! Aku sudah hafal kamu," ucapnya kemudian setelah menjawil lenganku tanda keakraban di antara kami.


"Temennya pada ke mana, Mbak? Kok yang keluar cuma Mbak Cantika."


Aku sengaja memanggilnya 'Cantika' Sebab dia memang telah berusaha merias wajahnya secantik mungkin dengan make up medok. Aku hanya mengapresiasi usahanya. Dan itu membuatnya senang yang berbuntut menjadi langgananku dan ladang rezeki bagiku.


"Lagi pada sholat. Ini malah pada nitip sama aku."


"Pantesan nggak banyak yang keluar. Aku kira lagi pada libur," balasku.


"Ni, bungkus tiga sayur asem, dua ikan bumbu rujak, ini ayam kampung apa ayam tiren, Ni?"


"Yang pasti bukan ayam-ayaman, Mbak."


"Bisa aja kamu, Ni!" Lagi, Mbak Cantika menjawil lenganku. Senang dia jika aku main plesetan seperti itu. 


"Jadi lima puluh, pas!" ucapku setelah menghitung total belanjaan yang dibeli Mbak Cantika.


"Yang lima ribu buat beli es. Biar ubun-ubunmu adem," katanya dengan menyodorkan uang kertas kebiruan dan uang lima ribuan yang ditumpuk menjadi satu.


Pernah sekali aku menolak kebaikannya, tapi dia terus memaksa. Memang tidak jarang yang tidak mau kuberi kembalian jika hanya seribu atau dua ribu.


Mungkin bagi mereka uang segitu tidaklah ada artinya. Atau mungkin hanya akan mengacaukan pemandangan dompet mereka yang biasa dijejali uang-uang kelas kakap.
Tapi bagiku, uang barang se-sen pun sangat berarti.


"Terimakasih, Mbak. Semoga Allah mencatat kebaikan ini sebagai amal baik yang akan memberatkan timbangan amalmu di akhirat nanti."


Hanya doa yang bisa aku beri sebagai balasan atas kebaikan mereka semua. Dan aku harap mereka ikhlas dengan apa yang telah mereka relakan menjadi milikku ini.


Daganganku selalu habis jika aku sabar nongkrong di balik tembok tinggi pabrik garmen itu. Tambahan lima kue yang diberikan Yu Ngadinem secara cuma-cuma juga terjual. 


"Yang lima ini bonus buat kamu. Terserah mau dibawa pulang apa mau dijual. Pokoknya yang lima ini hak kamu, jangan dihitung daganganku, ya?" begitu katanya tadi pagi saat aku datang ke rumahnya untuk mengambil dagangan.


Alhamdulillah, Alhamdulillah wasyukurilah. Masih ada orang-orang baik di sekitarku. Allah Maha Adil, jika di rumah aku selalu dihakimi. Di luar rumah aku dipertemukan dengan orang-orang yang bersedia menguatkanku.


Gegas aku melangkah menuju rumah dengan membawa laba 60 ribu rupiah. Senang hati menerima rezeki yang tak seberapa ini. Sebab biasanya aku hanya akan mengantongi 40 ribu rupiah.


Alhamdulillah uang 20 ribu yang aku berikan ke tukang urut tadi pagi langsung diganti oleh Allah lewat daganganku yang bertambah jumlahnya. 


Saat aku sampai di teras rumah, terlihat tukang urut yang tadi pagi aku mintai tolong untuk memijat Mas Yanto baru saja keluar dari dalam rumahku.


"Bagaimana, Mbok Min? Ada yang perlu dilanjut dengan perawatan medis?" Aku mencegat langkahnya dan mengajaknya duduk sebentar di bilik bambu.


"Tidak ada yang perlu dilanjut dengan perawatan medis, Ni. Orang urat-uratnya nggak ada yang geser. Cuma luka lebam sama baret-baretnya yang perlu dirawat pake obat-obatan. Beli di apotek juga banyak," ucap Mbok Min pasti.


Hatiku merasa lega, seperti ada desir angin yang mengipasi di dalam sana. Sejujurnya aku sedikit khawatir saat orang yang mengantar Mas Yanto mengatakan bahwa tubuh suamiku sempat terpelanting jauh saat kejadian.


Tapi sepertinya tubuh Mas Yanto memiliki ketahanan yang cukup baik. Dia pernah mengikuti pelatihan satpam. Mungkin hal itu yang membuatnya sedikit kebal dari benturan aspal.


Mbok Min hanya mengobrol sebentar denganku. Tadi katanya sempat menggendong Ranzel juga. Memelasnya terluap begitu saja padaku. Melihat kondisiku yang diketahuinya baru beberapa hari melahirkan tapi sudah meninggalkan rumah untuk banting tulang.


"Sudah jadi jalannya seperti ini, Mbok. InsyaAllah aku ikhlas."


Hanya kalimat itu yang bisa kuucap sebagai balasan dari rentetan memelasnya yang terluap. Mbok Min juga menawariku pijat. Tapi aku sungkan menerima tawarannya.
Jika aku mempunyai uang lebih, aku akan datang sendiri padanya. Bukan aku bermaksud sombong menolak kebaikannya.


Aku lebih tidak tega melihatnya yang sudah begitu tua masih harus mengasihani aku yang belum menemui keriput sepertinya. Aku masih merasa mampu dan bisa mendapatkan hal-hal yang aku butuhkan dengan cara membeli, bukan diberikan secara gratis sebab menjual belas kasihan.

Tap ♥️ dan tinggalkan komentar sebagai dukungan semangat untuk penulis melanjutkan cerita ini.. Terimakasih🤗

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pembalasan Menantu Terkutuk (BAB 8)
4
4
TUKANG PALAK
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan