
Menjadi yatim piatu di umurnya yang baru dua tahun, mengharuskan Aisyah tinggal di sebuah panti asuhan. Sampai pada akhirnya di usianya yang menginjak tujuh belas tahun, ia diberitahu semua kebenarannya tentang orang tuanya. Aisyah tentu terkejut mendengarnya, namun yang lebih mengejutkannya lagi adalah alasan kenapa selama ini ia tidak boleh diadopsi seperti teman-temannya yang lain.
Aiman adalah laki-laki soleh yang jatuh cinta dengan wanita bercadar, namun sayangnya perasaannya harus kandas bahkan...
Part 01
Di sebuah panti asuhan, seorang wanita cantik tengah membantu adik-adiknya menyiapkan sarapan mereka. Ia begitu lihai menata piring, gelas, sendok, beserta nasi, dan lauk-pauknya di atas meja yang jumlahnya cukup banyak. Mungkin ada sekitar sepuluh bangku panjang dan dua puluh kursi yang berukuran sama, yang membuat tempatnya bak kantin sekolah.
Setelah semua sudah selesai disiapkan, wanita berhijab itu membunyikan lonceng beberapa kali, menandakan semua anak harus datang untuk sarapan, karena sebagian besar dari mereka masih harus berangkat ke sekolah. Wanita itu tentu dengan sabar membantu mereka, ia bahkan tersenyum saat beberapa anak berceloteh menceritakan kisahnya.
"Pelan-pelan ya makannya! Jangan lupa baca doa dulu, supaya setannya enggak ikut makan," ujar wanita itu ke semua anak-anak, yang sebagian dari mereka justru tertawa mendengarnya.
"Kak Icha, Dani tadi belum baca doa tapi langsung makan, berarti di samping dia ada setannya ya, Kak?" ujar salah satu dari mereka, yang membuat bocah bernama Dani itu meringsut ketakutan.
"Iya, makanya kita harus cepat-cepat doa kalau sudah ingat, supaya makanan yang kita makan itu juga berkah ya anak-anak." Wanita itu menjawab dengan sabar lalu menoleh ke arah Dani, yang masih terdiam tidak berani makan lagi.
"Dani, ayo baca doa dulu terus lanjut makan ya!" Wanita itu mengelus punggungnya, yang diangguki mengerti olehnya.
"Iya, Kak Icha."
"Kok Kakak diam aja sih namanya dipanggil dengan sebutan Kak Icha? Padahal kan nama asli Kakak itu Aisyah?" tanya salah satu anak yang umurnya cukup dewasa dari pada yang lainnya.
"Nama Aisyah itu sedikit susah untuk mereka eja, apalagi untuk anak-anak yang baru masuk dan yang masih kecil-kecil umurnya, jadi enggak apa-apa kalau mereka mau memanggil Kakak dengan nama Icha, buat Kakak itu sama aja kok."
"Oh gitu? Oke deh, Kak." Anak itu tersenyum yang ditanggapi sama oleh wanita tersebut.
"Setelah makan, kalian langsung ke sekolah ya, nanti setelah pulang, kita semua akan datang ke kantor AAMIIN Group. Di sana sedang diadakan syukuran dan juga santunan anak yatim, ini kedua kalinya kita diundang, jadi tolong bersikap baik ya semuanya."
"Iya, Kak." Mereka menjawab serempak yang disenyumi oleh wanita yang bernama Aisyah tersebut, sesekali matanya menatap ke beberapa anak yang mungkin masih kesulitan untuk makan sendiri, di saat itu lah ia akan datang untuk membantunya.
Nama wanita berhijab itu sendiri memang Aisyah, tepatnya Aisyah Putri Pratama. Umurnya baru dua puluh lima tahun, umur yang masih dikategorikan muda, namun kehidupannya mengharuskan ia menjadi orang tua untuk adik-adiknya di panti asuhan.
Awalnya, Aisyah juga salah satu dari mereka, menjadi anak panti asuhan di umurnya yang baru dua tahun. Alasannya cukup menyedihkan, karena orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat saat mereka baru pulang dari luar kota untuk urusan perusahaan.
Cukup membutuhkan waktu lama untuk Aisyah mengetahui kebenarannya, karena ibu pantinya tidak tega untuk menceritakan kisahnya. Dan saat Aisyah sudah menginjak umur tujuh belas tahun, di saat itu lah ia diberitahu semuanya, alasan kenapa ia di sana dan kenapa ia tidak seperti teman-temannya yang berada di sekolahnya.
Dulu, saat Aisyah masih kecil ia sering menanyakan alasannya, kenapa ia tak memiliki orang tua kandung, sedangkan ia sendiri tak dibolehkan diangkat oleh keluarga lain. Namun ibu panti selalu tersenyum, dan mengatakan kalimat-kalimat yang memuakkan untuk Aisyah dengar saat itu.
"Nanti kalau kamu sudah besar, Ibu akan kasih tahu semuanya, jadi kamu yang sabar ya, Ibu yakin kamu pasti bisa menunggu kan?"
Meskipun Aisyah menganggukkan kepala, namun tetap saja ia masih merasa penasaran dengan keberadaan orang tua kandungnya yang begitu tega meninggalkannya. Saat itu ia masih berpikir egois, mungkin karena usianya baru sepuluh tahun. Namun seiring berjalannya waktu, ia baru menyadari sesuatu hal. Anak-anak yang berada di panti asuhan itu sama dengannya, tak memiliki orang tua kandung tidak seperti teman-teman sekolahnya.
Keberadaan mereka di sana memiliki alasan yang sama yaitu sama-sama tidak memiliki orang tua, yang mana banyak dari mereka kedua orang tuanya sudah meninggal dan juga ada yang dititipkan oleh ibunya karena ayahnya sudah meninggal, dan ada juga yang sengaja dibuang dengan alasan tak masuk akal seperti hamil di luar pernikahan.
Seiring berjalannya waktu, Aisyah sudah tak merasa penasaran lagi dengan alasannya berada di sana, di mana orang tuanya, dan kenapa ia tidak bisa diadopsi seperti teman-temannya yang lainnya. Karena perasaan itu lah, Aisyah tumbuh menjadi gadis mandiri yang mampu melakukan semuanya sendiri, terbiasa hidup di panti, dan juga menerima segala sesuatunya dengan penuh rasa syukur tentunya.
Bahkan saat umurnya menginjak usia tujuh belas tahun, Aisyah sudah enggan menanyakannya terlebih lagi merasa penasaran dengan asal-usulnya. Sampai pada akhirnya ibu panti mengajaknya pergi ke kamarnya, di sana ia memberikan kotak yang berisikan barang-barang milik orang tuanya dan juga identitasnya.
"Apa ini, Bu?"
"Sekarang kan kamu sudah umur tujuh belas tahun, jadi kamu berhak mengetahui asal-usul kamu dan kenapa kamu bisa ada di sini." Mendengar jawaban ibu pantinya, hati Aisyah serasa terenyuh seolah ada benda keras yang menghantam dadanya, rasanya sesak karena ia akan mengetahui alasan dari rasa penasarannya yang sudah ia pendam sejak lama.
"Kamu boleh membukanya, Aisyah! Ini kan yang selalu kamu tanyakan dan sekarang kamu bisa mengetahui semuanya, Ibu harap kamu enggak merasa menyesal berada di panti asuhan ini."
"Kenapa aku harus menyesal, Bu? Aku bahagia bisa tinggal di sini dan menjadi bagian dari panti asuhan ini." Aisyah menjawab jujur, namun wanita itu justru tersenyum lembut.
"Karena enggak seharusnya kamu seperti ini, Aisyah." Mata wanita itu mulai berkaca-kaca, tentu saja ia merasa kasihan dengan Aisyah. Perlahan tangan keriput itu terulur mengusap kepala anak angkatnya tersebut, membuatnya terdiam kebingungan, namun tidak ada yang ia lakukan selain menerimanya.
"Bukalah! Kamu pasti juga merasa enggak sabar kan?" Wanita itu kembali tersenyum setelah menghapus air matanya, sedangkan yang Aisyah lakukan hanya mengangguk lalu perlahan membuka kotak tersebut. Di sana terdapat banyak foto, yang kebanyakan foto anak kecil bersama dengan kedua orang tuanya.
"Ini foto kamu masih bayi." Ibu panti itu menunjuk foto bayi tersebut, lalu menunjuk foto sepasang suami istri yang terlihat bahagia menggendong bayinya.
"Dan yang ini foto orang tua kamu." Ibu panti itu berujar dengan nada lirih, ia yakin Aisyah pasti merasa kecewa karena baru diberitahu hal itu, namun ia juga tidak bisa berbuat banyak karena itu lah yang harus ia lakukan.
"Ibu minta maaf baru memberitahu kamu foto-foto ini sekarang, karena ini permintaan Pak Herlambang."
"Pak Herlambang, Bu? Bukannya dia donatur terbesar di panti asuhan ini?"
"Iya, kamu benar."
"Tapi apa hubungannya sama aku, Bu? Kenapa beliau enggak mau Ibu kasih tahu aku semua ini?"
"Sebenarnya Pak Herlambang itu sahabat dari orang tua kamu, beliau juga yang menitipkan kamu ke sini."
"Lalu apa yang sudah terjadi dengan orang tuaku, Bu? Apa mereka meninggal saat aku masih kecil?"
"Iya, mereka mengalami kecelakaan pesawat saat akan pulang ke rumah." Mendengar jawaban ibu pantinya, Aisyah membekap mulutnya dengan air mata yang sudah mengalir di wajahnya, ia tentu tak menyangka dengan nasib naas yang menimpa orang tuanya.
"Saat itu mereka sedang ada urusan bisnis, jadi enggak bisa membawa kamu dan cuma bisa menitipkan kamu ke baby sitter. Mendengar kabar kematian orang tua kamu, Pak Herlambang langsung mengurus semuanya dan membawa kamu pulang ke rumahnya, tapi sayangnya istrinya enggak setuju kamu tinggal di sana. Jadi mau enggak mau, kamu dititipkan di panti asuhan ini."
"Mulai dari hari itu, Pak Herlambang menjadi donatur terbesar di sini. Tak tanggung-tanggung, beliau juga membeli tanah dan merenovasi panti ini menjadi sebesar sekarang. Dengan semua yang sudah beliau lakukan, beliau hanya meminta pada Ibu untuk menjaga kamu dengan baik dan menyembunyikan asal-usul kamu untuk sementara waktu sampai kamu berumur tujuh belas tahun."
Aisyah hanya terdiam mendengarkan, ia tentu tak menyangka hal itu. Terlebih lagi saat ia melihat foto kedua orang tuanya untuk pertama kalinya, rasanya banyak hal yang ia sesali karena tak bisa mengingat moment saat bersama mereka karena pada saat itu usianya baru dua tahun.
"Sekarang kamu sudah berumur tujuh belas tahun, siap enggak siap, kamu harus tahu semuanya, termasuk permintaan Pak Herlambang ke kamu ...." Ibu panti itu tertunduk saat mengatakan hal itu, yang kali ini ditatap tanya oleh Aisyah.
"Permintaan apa itu, Bu? Apa yang Pak Herlambang minta dari aku?" tanya Aisyah tak mengerti.
"Kesetiaan kamu."
"Maksudnya?"
"Pak Herlambang berniat menjodohkan kamu dengan putra pertamanya, beliau sangat berharap kamu bisa setia untuk sendiri dan berjanji enggak menjalin hubungan dengan laki-laki manapun."
"Ta-tapi kenapa harus aku, Bu?"
"Sebenarnya Pak Herlambang ingin menjadikan kamu anak angkatnya, tapi istrinya enggak setuju, itu lah kenapa dia berniat menjadikan kamu menantunya." Wanita itu berujar serius, membuat Aisyah terdiam bingung, sampai pada akhirnya tangan ibu pantinya merengkuh tangannya.
"Kenapa? Apa kamu enggak suka dijodohkan?"
"Bukan begitu, Bu. Aku saja enggak tahu dia laki-laki seperti apa, bahkan untuk melihat fotonya saja enggak pernah." Aisyah menjawab ragu, yang kali ini disenyumi oleh ibu pantinya tersebut.
"Dia laki-laki yang sangat baik dan penurut, kalau untuk wajahnya, kamu bisa bayangkan wajah Pak Herlambang! Bukankah beliau orang yang tampan, mungkin saja wajah putranya enggak jauh berbeda."
"Kalau dia laki-laki baik, harusnya Pak Herlambang sering membawanya ke sini, bukankah ini panti asuhan, di mana kita bisa membuat kebaikan ke anak yatim piatu?" jawab Aisyah yang tentu kurang bisa menerima hal itu, namun sebisanya ia tak melawan meskipun rasanya ia ingin melakukannya.
"Sayangnya putra Pak Herlambang sedang mengenyam pendidikannya di Arab, dia mendapatkan beasiswa kuliah di sana."
"Arab?"
"Iya. Selain baik, putranya Pak Herlambang itu juga berprestasi, dan yang paling penting dia laki-laki yang soleh." Mendengar ucapannya ibu pantinya, bibir Aisyah melengkung tipis, entah kenapa hatinya menghangat mengetahui hal itu.
"Bagaimana? Kamu setuju kan dijodohkan dengan putranya Pak Herlambang?"
"Memangnya kapan pernikahan itu akan dilangsungkan, Bu?"
"Masih nanti, mungkin saat usia kamu sudah dua puluh lima tahun. Karena kan putranya Pak Herlambang masih harus fokus dengan pendidikannya, setelah itu dia juga harus belajar bekerja di perusahaan keluarganya."
"Begitu ya? Baiklah." Aisyah mengangguk malu yang tentu saja membuat ibu pantinya tersenyum bahagia.
"Jadi kamu setuju kan?" tanyanya memastikan.
"Iya, Bu."
"Kalau begitu, Ibu boleh berpesan ke kamu?"
"Tentu saja boleh, Bu."
"Tolong jaga hati dan perasaan kamu untuk putranya Pak Herlambang ya, sebanyak apapun laki-laki yang menginginkan kamu nanti, Ibu harap kamu bisa setia dengan dia." Mendengar pesan ibu pantinya, Aisyah sempat terdiam lama, tentu saja ia sedang memikirkan caranya, mengingat banyak laki-laki yang menyukainya karena paras kecantikannya.
"Kalau begitu, apa aku boleh bercadar, Bu?" tanya Aisyah yang tentu saja mengejutkan ibu pantinya, karena cadar bukanlah sesuatu yang lumrah untuk tinggal di Indonesia.
"Cadar?"
"Iya, Bu?"
"Tapi kenapa kamu ingin pakai cadar, Aisyah?"
"Aku ingin menjaga kecantikanku untuk calon suamiku, Bu. Aku bukannya percaya diri, tapi untuk saat ini banyak laki-laki yang mengejar ku dan berniat menjalin hubungan dengan ku, padahal aku masih SMA. Aku cuma takut hatiku goyah, Bu ...." Aisyah menundukkan kepalanya, yang tentu saja bisa ibu pantinya terima alasannya, karena wajah Aisyah memang sangatlah indah, banyak yang menyukainya dan bahkan banyak juga para ibu-ibu yang terang-terangan memintanya untuk menjadi menantunya.
"Ibu bisa mengerti. Baiklah, Ibu izinkan kamu memakai cadar." Mendengar hal itu, Aisyah seketika tersenyum semringah.
"Aku akan membukanya saat aku bertemu dengan calon suamiku, Bu. Aku yakin pada saat itu aku akan jatuh cinta dengannya, dan setia bersamanya." Aisyah merengkuh tangan ibu pantinya, ia sudah bertekad sekarang.
"Iya, Ibu akan selalu mendukung kamu."
"Terima kasih, Bu."
"Iya." Keduanya tersenyum hangat lalu berpelukan, menyalurkan kebahagiaan satu sama lain bak ibu dengan putrinya.
Aisyah tersenyum mengingat kenangan itu, kenangan saat pertama kalinya ia mengetahui foto kedua orang tuanya dan juga kabar perjodohannya dengan putra Pak Herlambang. Setelah hari itu, ia mulai membeli cadar dan memakainya saat keluar dari panti asuhan saja, hal itu ia lakukan sampai sekarang.
Kini usianya sudah dua puluh lima tahun, itu berarti hampir delapan tahun ia memakai cadar, dan sebentar lagi ia akan membukanya saat akan bertemu dengan calon suaminya. Aisyah tentu merasa tak sabar, karena sampai saat ini pun ia belum bertemu dengan laki-laki itu bahkan untuk melihat fotonya saja tidak pernah.
Sebagai wanita bercadar di lingkungan sekitar terutama di dalam masyarakat Indonesia, tentu saja Aisyah mendapatkan pro dan kontra. Banyak yang mendukungnya, namun juga banyak yang menatapnya seolah bukan hal lumrah, tak jarang ia juga mendapatkan perundungan dari teman-teman sekolahnya karena keputusannya, bahkan hal itu terjadi sampai masa kuliahnya.
Aisyah sendiri tak keberatan dengan itu semua, karena hal-hal itu lah, banyak laki-laki yang menjauhinya karena ia sering mendapatkan masalah. Meskipun begitu ada juga yang berpikir bila keislaman mereka kurang tinggi untuk disandingkan dengannya terlebih lagi berani mendekatinya.
Dari pada mengeluh, Aisyah justru lebih banyak bersyukur, karena sampai sekarang ia bisa menjaga hati dan kesetiaannya untuk calon suaminya tersebut. Dan setelah kuliah, ia fokus berjualan online di panti asuhan sembari membantu Ibu panti menjaga adik-adiknya yang setiap bulannya bertambah dan kadang juga berkurang karena diadopsi.
Part 02
Sore harinya, Aisyah bersama dengan ibu pantinya dan juga anak-anak lainnya dijemput bus pariwisata untuk pergi ke sebuah perusahaan, yang saat ini tengah mengadakan acara atas keberhasilan mereka menguasai pasar penjualan dalam bulan ini. Di sana juga akan diadakan santunan anak yatim, itu lah kenapa mereka diminta untuk datang.
Sebagai anak yang tinggal di panti asuhan, tentu saja Aisyah sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Terlebih lagi saat ada acara-acara ramadhan menjelang lebaran, pasti akan banyak yang mengundang anak panti asuhan untuk disantuni.
Dulu, Aisyah menjadi salah satu anak yang berada di barisan untuk mendapatkan santunan. Namun sekarang tentu saja tidak karena usianya sudah tak kecil lagi, kini ia yang justru menjadi pembimbing sekaligus penanggung jawab anak-anak yang lain.
"Ini dari panti asuhan Kasih Ibu ya?" tanya salah satu pegawai yang bertugas untuk menyambut, saat Aisyah bersama dengan anak-anak panti lainnya turun dari bus yang menjemput mereka.
"Iya, Pak." Aisyah mengangguk dan tersenyum meskipun tak akan bisa dilihat oleh siapapun karena wajah cantiknya tertutup cadar.
"Baiklah kalau begitu, mari saya antarkan ke aula terlebih dahulu. Kebetulan untuk acara hari ini, kami mengundang anak-anak yatim piatu dari dua panti asuhan."
"Oh begitu?" Aisyah mengangguk paham lalu berjalan ke arah pegawai itu tuju sembari mengarahkan adik-adiknya untuk ikut bersamanya, sedangkan ibu pantinya yang berada di belakang rombongan untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
"Silahkan duduk di tempat yang sudah tersediakan! Saya pamit ke depan lagi," ujar pegawai tersebut yang diangguki mengerti oleh Aisyah.
"Iya, terima kasih." Aisyah menunduk sopan lalu mengarahkan anak-anak panti untuk duduk di tempatnya, karena jumlahnya cukup banyak tentu saja Aisyah sempat kewalahan meskipun begitu ia dengan penuh sabar membantu mereka. Aisyah sendiri tidak akan menyadari bagaimana seseorang memperhatikannya dari kejauhan, yang saat ini tengah berdiri di samping sahabatnya.
"Kamu lihat apa, Man?" Laki-laki bertubuh jangkung itu menoleh ke arah yang sedang sahabatnya tatap, karena sepertinya sahabatnya itu begitu serius memperhatikannya.
"Wanita bercadar itu," jawabnya sembari tersenyum malu, yang tentu saja membuat sahabatnya itu terkejut.
"Kamu suka perempuan, Man?" tanyanya tak percaya, namun justru mendapatkan tatapan tajam oleh laki-laki yang bernama Aiman tersebut.
"Menurut kamu, aku menyukai laki-laki selama ini?" tanyanya tak menyangka, namun sahabatnya itu justru menyengir kuda bak tak memiliki dosa.
"Iya," jawabnya tanpa perasaan bersalah.
"Kamu mau mengundurkan diri atau langsung aku pecat hari ini juga?" tanya Aiman yang kian membuat sahabatnya itu tertawa.
"Aku cuma bercanda. Kalau kamu memecat ku, dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk melamar adikmu?"
"Kamu lamar saja sapi tetanggamu!" Aiman tampak kesal bisa dilihat dari caranya menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Sapi tetanggaku mana bisa aku nikahi?" Laki-laki yang bernama Bima itu mengelak dengan nada bercanda, namun tak membuat Aiman luluh dengan mudah.
"Ya kamu cari lah sapi-sapi lainnya!" jawaban tak terduga dari bibir Aiman membuat Bima kian tertawa, temannya itu memang sekali mencetus hal aneh yang justru terdengar lucu di telinganya.
"Oh ayolah, Man! Kamu lihat wajahku yang tampan ini? Apa menurutmu aku cocok menikahi sapi?"
"Enggak, harusnya babi." Aiman menjawab singkat lalu melenggang pergi, yang kian membuat Bima merasa tak percaya dengan jawabannya.
"Sudahlah, jangan marah-marah! Aku minta maaf, aku tadi cuma bercanda. Ya meskipun aku sempat berpikir kalau kamu menyukai laki-laki, tapi pemikiran itu cuma kecil dan itupun posisinya menyelinap di sela-sela otakku." Bima mengikuti langkah Aiman, yang kali ini berhenti dengan ekspresi wajah tak mengenakkan.
"Kenapa kamu bisa berpikir sedangkal itu? Aku tahu, kamu memang enggak pintar, tapi pemikiran tentang aku menyukai laki-laki? Apa menurut kamu itu masuk akal?"
"Kenapa enggak? Selama ini kamu enggak pernah terlihat dekat dengan perempuan kan? Jangankan menjalin hubungan, kamu bilang menyukai perempuan tertentu saja enggak pernah."
"Bagaimana aku mau memberitahu mu? Sedangkan memang enggak ada perempuan yang aku sukai selama ini?" tanya Aiman tak habis pikir.
"Oh really? Di usia kamu yang hampir menginjak dua puluh tujuh tahun ini?" Bima tentu tidak percaya, bisa dilihat dari ekspresinya yang tampak memuakkan untuk Aiman lihat.
"Iya, memang itu kenyataannya." Aiman menjawab yakin, yang berhasil menjatuhkan rahang sahabatnya saking tidak percayanya.
"What? Terus apa yang kamu lakukan selama ini? Hidup tanpa perasaan cinta? Pasti membosankan." Bima menggeleng prihatin, namun Aiman merasa tak seperti itu, karena perjalanan hidupnya cukup menarik terutama saat ia mengenyam pendidikannya di Arab.
"Tentu saja belajar dan bekerja."
"Ah iya, aku lupa kamu kan manusia yang hidupnya harus tertata sempurna." Bima tampak muak, terlebih lagi saat mengingat bagaimana tingkah sahabatnya itu selama masih bersekolah dengannya, yang dia lakukan hanya belajar dan menghafal pelajaran ataupun Al-Qur'an.
"Aku hanya menjalani hidupku dengan alur yang lurus, memangnya salah?"
"Enggak. Aku yang salah berteman dengan sungai yang tenang kaya kamu, sedangkan aku sendiri sungai arus jeram yang penuh dengan tantangan. Cih, mana bisa aku hidup seperti kamu?" Bima menjawab dengan angkuhnya, yang berhasil membuat Aiman tersenyum mendengar celotehnya.
"Terserahlah kamu mau bilang apa?" Aiman hanya menghela nafasnya, lalu kembali menatap ke arah wanita bercadar yang tengah mengurus anak-anak panti asuhannya.
"Apa kamu menyukai wanita itu, Man?" tanya Bima penasaran yang kali ini ditatap tanya oleh sahabatnya tersebut.
"Kenapa? Kamu enggak percaya?"
"Bukan begitu, kalau kamu menyukai wanita itu sedangkan kamu enggak pernah menyukai siapapun selama ini, apa itu artinya dia cinta pertama kamu?"
"Emmm bisa dibilang seperti itu. Kenapa?"
"Enggak apa-apa. Tapi kan dia wanita bercadar? Enggak kelihatan wajahnya, lalu kenapa kamu bisa menyukainya?"
"Memangnya kenapa kalau dia bercadar yang enggak kelihatan wajahnya? Apa itu sesuatu yang penting?"
"Ya aneh aja."
"Aneh bagaimana?"
"Di kota ini aja ada jutaan wanita yang kelihatan wajahnya, dan semua enggak bisa membuat kamu suka sama mereka. Tapi saat kamu mulai menyukai wanita, kenapa kamu malah menyukai perempuan bercadar? Yang wajahnya aja enggak kelihatan? Bukannya itu aneh?" tanya Bima serius, yang justru membuat Aiman tersenyum.
"Ya karena aku suka aja, memangnya apa yang aneh? Bercadar kan sesuatu yang bagus, apa salah kalau aku menyukai sesuatu hal yang bagus?" Aiman menjawab dengan entengnya, yang tentu saja tak membuat sahabatnya itu merasa tenang.
"Ya enggak sih, tapi kamu di Arab aja sudah lima tahun, Man."
"Apa hubungannya?" tanya Aiman tak mengerti.
"Ya ada lah, kan di Arab banyak wanita bercadar, tapi apa kamu menyukai salah satu dari mereka?"
"Enggak," jawab Aiman dengan menggeleng pelan.
"Ya terus kenapa kamu menyukai wanita bercadar sekarang? Yang bahkan jadi cinta pertama kamu di usia kamu yang sudah dua puluh tujuh tahun?"
"Aku juga enggak tau."
"Mungkin ada sesuatu yang menarik dari perempuan itu?" tanya Bima penasaran.
"Sepertinya dia perempuan yang baik."
"Apa menurut kamu perempuan di Arab sana enggak ada yang baik? Apa menurut kamu wanita bercadar di sini juga enggak ada yang baik? Emosi aku lama-lama dengar alasan kamu." Bima mulai jengah dengan sikap sahabatnya, bisa-bisanya dia memberi alasan sesederhana itu, pikir Bima kesal.
"Aku mengerti maksud kamu, tapi percayalah aku sendiri juga bingung dengan perasaanku. Aku menyukai perempuan itu begitu saja, jantungku serasa berdebar hanya dengan melihatnya, aku merasa bahagia tanpa bisa aku mengontrolnya." Aiman menjawab dengan serius, ia sendiri juga bingung dengan hatinya sendiri, yang hanya Bima diami, mencoba untuk mengerti sahabatnya kali ini.
"Apa kamu mulai menyukainya hari ini?" tanya Bima setelah mulai merasa tenang dan menanyai sahabatnya dengan pelan-pelan.
"Enggak. Aku sudah menyukainya sejak pertama kali perusahaan ini mengundang anak-anak yatim piatu dari panti asuhannya."
"Bukannya itu sudah satu bulan yang lalu ya?"
"Iya, memang. Kamu masih ingat kan, saat itu aku ingin berbincang-bincang dengan anak-anak dari panti asuhan itu, sedangkan kamu akan berbincang-bincang dengan anak-anak dari panti asuhan lain."
"Iya, aku ingat. Terus apa yang terjadi?"
"Saat itu ...."
Flashback on.
"Assalamualaikum, anak-anak." Aiman menyapa seluruh anak yatim yang sudah diberi santunan dari perusahaannya, ia tersenyum hangat ke semua anak-anak yang tampak bahagia berada di sana.
"Waalaikum salam, Kak." Mereka menjawab serentak, yang disenyumi oleh wanita bercadar yang berdiri di sampingnya. Aiman memang tidak bisa melihat wajahnya, namun saat melihat matanya yang mungil bulat itu melengkung, di saat itu lah ia paham bila wanita itu tengah tersenyum.
"Perkenalkan nama Kakak itu Aiman, kalian bisa panggil Kak Aiman ya!"
"Iya, Kak."
"Bagaimana acara hari ini? Buat kalian senang enggak?"
"Senang dong, Kak." Mereka menjawab bersamaan, yang kian membuat Aiman merasa bersemangat.
"Kalau makanannya, enak enggak?" tanya Aiman lagi dengan penuh sabar, sedangkan matanya diam-diam memerhatikan wanita yang berdiri di sampingnya, yang begitu telaten mengajari mereka menjawab dengan baik dan sopan.
"Enak, Kak." Saat itu mereka juga menjawab bersamaan, yang justru ditepuk tangani oleh perempuan bercadar yang berada di sampingnya, meskipun tepukan tangannya sangat pelan namun ia tampak sangat bangga dengan jawaban mereka.
"Tapi lebih enak masakannya Kak Icha, Kak." Salah satu anak berceletuk dengan mengacungkan jari telunjuknya, yang tentu saja membuat Aiman merasa bingung dan tanpa sadar menoleh ke arah perempuan bercadar tersebut, yang tampak panik dengan jawaban dari salah satu adiknya itu.
"Betul." Bukannya diam, anak-anak yang lain justru setuju dan menyampaikan hal itu.
"Rina, enggak boleh gitu ya, Sayang! Yang lainnya juga jangan kaya gitu, enggak boleh." Wanita itu menegur anak yang bernama Rina tersebut dan juga anak yang lainnya, yang justru terlihat lucu untuk Aiman yang memperhatikannya.
"Oh ya? Memangnya Kak Icha itu siapa?" tanya Aiman kali ini, bibirnya bahkan tersenyum tanpa ada mimik marah atau semacamnya.
"Itu Kak Icha," jawab semua anak sembari menunjuk ke arah perempuan tersebut, yang tampak kian panik dan langsung menoleh ke arahnya.
"Saya minta maaf, Pak. Saya akan menegur mereka di rumah nanti, tolong jangan tersinggung ya!" Perempuan itu menyatukan telapak tangannya tanda permintaan maafnya, padahal Aiman tidak marah dan justru merasa bahagia.
"Anak-anak, apapun yang diberikan ke kita dan apa yang sudah kita dapatkan selama ini, itu semua rezeki dari Allah ya. Kita enggak boleh mencelanya, terlebih lagi membandingkannya dengan rezeki yang lain." Perempuan itu berujar ke arah mereka dengan nada yang lembut, yang kian membuat Aiman merasa kagum.
"Iya, Kak."
"Sekarang semuanya harus bilang apa?"
"MAAF YA, KAK." Semua anak kompak meminta maaf yang disenyumi oleh Aiman, ia benar-benar tak marah, namun sepertinya perempuan bercadar itu merasa bersalah dengan sikap mereka.
"Iya, enggak apa-apa. Nah, karena acaranya sudah selesai, sebentar lagi kalian pulang ya terus istirahat. Nanti kalau Kakak mendapatkan rezeki lebih, Kakak akan undang kalian lagi ya?" ujar Aiman bersemangat.
"Iya, Kak. Terima kasih."
Flashback off.
Part 03
Bima menghela nafas panjangnya setelah mendengar cerita Aiman, dan bila dilihat dari sisi laki-laki, sepertinya sahabatnya itu mengaguminya karena sikap keibuannya, yang mungkin begitu sabar menghadapi anak-anak panti asuhan.
"Apa karena perempuan itu kamu mengundang lagi panti asuhannya? Karena seharusnya kita mengundang panti asuhan lain kan? Supaya merata santunannya."
"Iya, aku memang sengaja mengundang mereka lagi karena aku ingin melihat wanita itu, karena cuma dengan cara ini kami bisa berada di tempat yang sama kan?"
"Astaga, kenapa enggak kamu bilang aja kalau kamu juga yang nge-push perusahaan supaya mendapatkan predikat penjualan terbanyak lagi bulan ini?" Bima tentu tidak serius saat mengatakannya, ia hanya bercanda dan berniat menggoda sahabatnya karena tindakan konyolnya.
"Dari mana kamu tau?"
"APA?!" teriak Bima yang berhasil menjadikan dia pusat perhatian semua orang meskipun cuma sebentar.
"Apa tadi kamu bilang? Kamu sengaja melakukan itu? Pantas aja kamu menyuruh semua karyawan lembur dalam seminggu termasuk aku." Bima menunjuk wajahnya sembari menatap tajam ke arah Aiman yang justru tersenyum kaku.
"Maaf."
"Sudahlah." Bima berusaha untuk tenang, karena bukan saatnya ia marah-marah sekarang meskipun sebenarnya tingkah sahabatnya itu cukup keterlaluan.
"Aku bisa mengerti sekarang, kamu menyukainya karena sikap keibuannya kan? Dia sabar menghadapi anak-anak? Enggak mudah marah? Dan kamu suka perempuan yang terkesan sabar. Iya kan?" tanya Bima terdengar mulai serius.
"Enggak juga, karena masih banyak perempuan yang memiliki sikap keibuan dan bahkan jauh lebih sabar dari dia."
"Benar juga. Jadi kenapa kamu bisa menyukainya? Mustahil jika kamu memandang dia dari segi wajahnya, karena kamu saja belum melihatnya."
"Mungkin karena matanya cantik?" jawab Aiman dengan nada bertanya yang tentu saja disenyumi sinis oleh Bima, alasan temannya itu memang sering berbelit-belit dan bahkan terkesan tidak masuk akal.
"Mata orang itu kaya apa sih? Bulat kan? Ada hitamnya dan juga ada putihnya, terus apa yang jadi pembeda? Mata kamu sama mataku kan juga sama. Kecuali punya dia bulu matanya ratusan lapis, itu baru beda."
"Iya sih, tapi entah kenapa aku suka melihat bentuk matanya, apalagi saat dia mengedipkannya karena panik, matanya jadi bulat dan bersinar." Aiman tersenyum saat menjabarkan perasaannya pada saat itu, terutama saat menatap perempuan bercadar tersebut.
"Menurutku dia lucu." Aiman melanjutkan ucapannya, yang kali ini diangguki mengerti oleh Bima, mulai bisa terima saja dengan alasan sahabatnya.
"Jadi apa yang ingin kamu lakukan sekarang? Berdiam diri di sini? Dia enggak akan menjadi milikmu, kalau kamu cuma bisa menatap matanya."
"Aku enggak tau harus melakukan apa, aku saja enggak pernah dekat dengan perempuan manapun kecuali Bunda dan adikku, Ana." Aiman menjawab jujur, yang lagi-lagi mendapatkan tatapan jengah dari mata Bima.
"Itu lah kenapa Tuhan mentakdirkan kita berteman, meskipun kamu seperti sungai yang tenang dan aku sungai arus jeram, tapi kita masih bisa bermanfaat untuk satu sama lain. Karena ada masanya, sungai yang tenang itu harus menghadapi kerasnya bebatuan seperti sungai arus jeram." Bima begitu menggebu-gebu menjabarkan persahabatan mereka, bisa dilihat dari tangannya yang mengepal kuat seolah penuh dengan perjuangan.
"Jadi intinya apa?"
"Intinya kamu perlu belajar dari aku."
"Oke, jadi apa ide kamu?"
"Datangi perempuan itu dengan alasan ingin menyapa anak-anak, sama seperti yang kamu lakukan dulu, sesekali kamu ajak dia mengobrol dan menanyakan namanya siapa."
"Aku sudah tau namanya, nama dia Icha."
"Berarti kamu tinggal memastikannya aja, kaya gini, nama kamu Icha kan? Kuliah di mana? Oh di sana, dulu aku sempat mau ke sana juga, tapi ternyata aku dapat beasiswa di Arab."
"Kenapa harus bawa-bawa pendidikanku di Arab?"
"Ya itu akan jadi nilai plus kamu lah."
"Kok bisa?"
"Perempuan bercadar kaya dia pasti suka laki-laki yang baik, pintar, berpendidikan tinggi, dan yang pasti soleh. Kalau dia tau kamu kuliah di Arab, otomatis dia akan berpikir kalau kamu itu pintar dalam hal agama."
"Begitu ya? Tapi apa harus aku berbohong tentang kampusnya? Aku bisa aja enggak tau tempatnya."
"Iya juga sih, tapi enggak apa-apa lah, nanti aku bantu saat di sana. Bagaimana kalau kita hampiri mereka sekarang aja, mumpung acaranya belum dimulai."
"Oh iya, kenapa acaranya belum dimulai juga ya?" ujar Aiman yang baru mengingat hal itu, karena seharusnya acaranya sudah akan dimulai sekarang.
"Panti asuhan yang lain belum datang, kan kita mengundang dua panti asuhan untuk bulan ini."
"Oh iya," jawab Aiman mengiyakan saat mendapati bangku khusus anak yatim itu kosong sebagian.
"Tunggu apa lagi? Cepat temui perempuan itu? Siapa tadi namanya? Acha?" Bima menarik tangan Aiman yang mau tidak mau ikut dengannya.
"Icha," ralatnya sembari berjalan di samping Bima, sedangkan laki-laki itu seketika mengangguk mengiyakan.
"Oh iya, Icha."
Di sisi lainnya, Aisyah duduk bersama dengan anak-anak panti asuhan lainnya, menunggu pembukaan acara yang seharusnya sudah dibuka, namun sepertinya sedikit terlambat. Di tengah kediamannya, mata Aisyah sesekali memerhatikan anak-anak dan menghitung jumlahnya, tentu saja ia takut ada yang kabur dari tempat duduknya.
"Assalamualaikum, anak-anak." Bima menyapa mereka dengan ramah, sedangkan Aiman masih setia di sampingnya.
"Waalaikum salam." Mereka menjawab bersamaan termasuk Aisyah yang sempat tak menyadari kedatangan dua laki-laki tersebut dan langsung menoleh ke depan.
"Masih semangat enggak menunggu acaranya?" tanya Bima lagi, tentu saja ia ingin berbasa-basi sebelum beraksi.
"Semangat," jawab mereka bersamaan.
"Sebentar ya. Anda ini siapanya mereka? Pemilik atau pengurus panti asuhan?" Bima bertanya ke arah Aisyah yang langsung mendirikan tubuhnya dan berjalan ke arah mereka berdua.
"Iya, saya salah satu pengurus panti. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Saya cuma ingin memastikan keadaan anak-anak, karena sepertinya acaranya masih harus ditunda," jawab Bima yang langsung diangguki sopan oleh Aisyah.
"Tidak apa-apa kok, Pak. Kami semuanya bisa sabar menunggu," jawab Aisyah dengan tersenyum bisa dilihat dari bentuk matanya yang melengkung, yang diam-diam Aiman perhatikan dan tanpa sadar tersenyum tipis bibirnya.
"Kami benar-benar minta maaf atas keterlambatan ini."
"Kami tidak mempermasalahkannya kok, Pak. Kami sudah terbiasa seperti ini, Anda tidak perlu minta maaf."
"Oh ya, nama Anda Icha kan?"
"Eh i-iya, Pak. Nama saya Icha." Aisyah menjawab terpaksa, karena sepertinya dua laki-laki di depannya itu tidak tahu namanya yang sebenarnya, namun sudahlah, Aisyah mencoba untuk menerimanya karena anak-anak panti asuhannya juga sudah terbiasa dengan nama Icha.
"Kalau begitu, perkenalkan nama saya Bima, kalau yang ini namanya Aiman. Anda pasti sudah mengenalnya kan? Dia direktur utama di perusahaan ini." Bima merengkuh pundak Aiman yang tampak kaku, entah bagaimana kemampuan berbicaranya sedikit terganggu.
"Tentu saja saya mengenalnya, satu bulan yang lalu kami kan diundang ke sini." Aisyah menjawab ramah, yang disenyumi oleh Bima, namun tidak dengan Aiman yang merasa jantungnya berdebar tak karuan.
"Emh ... mungkin Pak Aiman mau tanya sesuatu hal?" tanya Bima ke arah Aiman dengan mata menyiratkan kode tersembunyi, namun sahabatnya itu justru tampak bingung kali ini.
"Anda mungkin ingin tanya sesuatu, Pak Aiman?" tanya Bima lagi dengan menepuk tangan laki-laki itu seolah ingin memberinya isyarat.
"Tidak ada kok, Pak. Silakan lanjutkan saja obrolannya, saya ... saya akan menyapa anak-anak." Aiman berjalan ke arah anak-anak panti asuhan dengan senyum semringah, meskipun sebenarnya jantungnya sudah tak karuan berlama-lama di sana terlebih lagi terus-terusan diperhatikan oleh perempuan yang ia tahu bernama Icha.
"What? Kok jadi mau nyapa anak-anak sih?" gerutu Bima lirih, merasa tak mengerti saja dengan tingkah sahabatnya yang satu itu. Padahal ia sudah mengajarinya, namun laki-laki itu justru mengacaukannya.
"Halo, anak-anak. Bagaimana kabarnya hari ini?" Aiman menatap mereka semua dengan tersenyum ramah, yang langsung dijawab serentak oleh mereka.
"Baik, Kak."
"Sebelum acaranya dimulai, ada yang mau ditanyain enggak? Kalau ada, kalian angkat tangan ya!"
"Aku, Kak." Salah satu anak mengacungkan tangannya, ia tampak polos dengan ekspresi penasaran.
"Iya, mau tanya apa?"
"Makanannya basi lagi enggak, Kak?" tanyanya yang berhasil mengejutkan semua orang, terutama Aiman dan Bima, namun ekspresi lain justru Aisyah tunjukkan, ia justru terlihat takut kali ini.
"Dani, kamu ngomong apa sih?" tegurnya dengan mengacungkan telunjuk di depan bibirnya.
"Maaf, Kak. Aku kan cuma penasaran."
"Tunggu! Maksudnya bagaimana?" tanya Aiman pada Aisyah yang langsung menggeleng kuat, sedangkan Bima turut merasa penasaran bisa dilihat dari caranya mendekat ke arah mereka.
"Iya, maksudnya apa? Memangnya sebelum ini, makanan yang dikasih itu basi?" tanya Bima kali ini, yang membuat Aisyah merasa bingung harus menjawab apa.
"Ada apa ini?" tanya ibu panti yang langsung datang setelah memerhatikan Aisyah yang tampak kebingungan.
"Bu, ini cuma masalah makanan bulan lalu, Dani enggak sengaja bilang, padahal aku sudah kasih tau semua anak untuk tetap diam meskipun mereka kecewa dengan makanannya ...." Aisyah menjawab sopan, yang bisa wanita itu pahami maksudnya.
"Pak Aiman, kami minta maaf ya? Kami tidak berniat komplain atau semacamnya, jadi tolong jangan tersinggung ya? Dani masih anak-anak, terkadang ucapannya kurang bisa dijaga. Tapi saya berjanji, saya akan menegurnya dan mengajarinya nanti." Wanita itu berujar penuh penyesalan, namun bukan itu yang Aiman ingin dengar penjelasannya.
"Saya tidak mempermasalahkan sikap anak-anak, Bu. Mereka memang masih kecil, jadi wajar kalau membicarakan sesuatu yang sedang mereka rasakan. Tapi yang saya bingungkan, makanan yang diberi bulan lalu itu apa benar basi?" tanya Aiman serius, yang digelengi oleh wanita tersebut.
"Tidak semuanya, Pak."
"Itu artinya memang ada yang basi?"
"Cuma satu lauk aja, Pak. Untungnya anak-anak menyisihkannya, jadi tidak ada yang sakit, kami semua baik-baik saja, tidak ada yang perlu dipermasalahkan kan, Pak?"
"Tentu saja ada, Bu. Permasalahannya ada pada staf kami yang tidak becus mengurus kateringnya, padahal saya sudah memberikan uang lebih untuk dibelikan makanan kotak yang paling enak. Pantas saja, ada yang mengatakan kalau makanannya lebih enak masakan Anda, karena sepertinya dia kecewa dengan rasanya." Aiman tentu tidak bisa menahan amarahnya, namun ia berusaha untuk menutupinya di depan semua orang terutama gadis bercadar yang berada di depannya.
"Kami benar-benar tidak apa-apa, Pak. Sebagai keluarga dari panti asuhan, kami sudah terbiasa diperlakukan seperti ini, kami tidak marah. Kami justru takut kalau Anda tersinggung, dan mempermasalahkan kami ke publik, itu akan membuat buruk citra kami."
"Saya tidak akan melakukan itu, jadi Anda tenang saja! Sekarang Anda dan yang lainnya bisa duduk, akan saya pastikan makanan kalian tidak basi lagi. Kami permisi dulu," pamit Aiman sembari menarik tangan Bima tanpa seizinnya, namun bila dilihat dari ekspresi wajah sahabatnya, tentu saja Bima tidak berani mengeluh ataupun semacamnya.
Part 04
Aiman berjalan cepat ke arah tempat makanan diletakkan, sedangkan di belakangnya ada Bima yang mengikutinya tanpa mau berbicara. Sebagai sahabatnya, ia tentu sudah sangat paham bagaimana sikap Aiman saat marah, laki-laki itu tidak akan bisa ditenangkan cuma dengan kata-kata. Itu lah kenapa Bima memilih untuk diam, ia akan berbicara saat dibutuhkan saja.
"Yang mana untuk anak-anak panti asuhan?" tanya Aiman pada salah satu staf yang menjaga bagian makanan.
"Apanya ya, Pak?"
"Makanan untuk anak-anak panti asuhan yang mana?" tanya Aiman masih berusaha untuk sabar.
"Yang ini, Pak." Staf tersebut menunjuk ke arah susunan kotak yang berada di sampingnya, yang langsung Aiman hampiri dan memeriksa isinya.
"Kamu periksa semua isinya, Bim! Apa ada yang basi atau semacamnya, aku juga akan melakukan hal yang sama." Aiman berujar ke arah Bima yang mengangguk paham lalu membuka isi kotak makanannya yang ternyata isinya tak terlalu wah.
"Makanan apa ini?" gumam Aiman sembari menghela nafas, melihat penampilannya saja ia sudah merasa tak berselera. Hanya ada ayam berukuran kecil, sayur capcai, dan juga mie instan yang dimasak biasa, sedangkan buahnya hanya pisang.
"Makanan ini enggak ada yang basi sih, tapi ini makanan murah, Man. Lihat aja bentukannya, enggak ada yang kelihatan enak." Bima berkomentar miris yang disetujui oleh Aiman.
"Kamu benar, aku harus tau siapa yang bertanggung jawab untuk makanan-makanan ini." Aiman menatap stafnya yang menjaga, mereka tampak takut melihat amarah Aiman yang tak biasanya.
"Siapa yang sudah membeli semua makanan ini?"
"Pak Hendra, Pak."
"Cepat panggil dia kemari!"
"I-iya, Pak." Mereka menjawab takut lalu pergi dari sana, meninggalkan Aiman yang berusaha keras menahan amarahnya.
"Kamu lihat isi makanan untuk para pegawai, isinya semua kelihatan menarik, rasanya enak, lauk-pauknya lengkap, dan ada buah apel dan anggurnya juga. Harusnya ini yang diberikan ke anak-anak, bukan cuma untuk para pegawai aja. Dan kayanya yang bertanggung jawab atas makanan ini sengaja," ujar Bima serius sembari memperlihatkan isi kotak makanan yang disiapkan untuk para pegawai di sana.
"Maksud kamu dia ambil keuntungan dari uang makanan?"
"Iya, apalagi? Dan dia sengaja membeli makanan yang murah untuk anak-anak panti asuhan, karena dia tau mereka enggak akan berani komplain apapun, tapi sayangnya dia salah."
"Aku benar-benar enggak nyangka semua jadi kaya gini, aku pikir makanan yang disediakan dulu itu sudah memenuhi standar, aku juga enggak curiga apa-apa." Aiman tampak frustasi, namun ia masih berusaha untuk tetap tenang meskipun tangannya sudah mengepal kuat sejak tadi.
"Terus apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
"Apalagi? Aku harus meminta maaf ke mereka semua, terutama ke anak-anak yang kecewa dengan makanannya."
"Iya, aku mengerti. Tapi kalau dipikir lagi, kayanya masalah ini bisa kita manfaatkan, Man."
"Maksud kamu apa?"
"Ya kamu bisa datang ke panti asuhan mereka kapan aja, kamu ke sana membawa mainan atau makanan. Nanti kalau kamu ditanya alasan kenapa datang, kamu jawab aja karena kamu masih merasa bersalah dan perlu membalas semuanya, dengan begitu kamu jadi lebih sering bertemu dengan perempuan itu kan?" Bima tersenyum penuh arti yang justru bisa Aiman mengerti kali ini, namun ia tampak tak ingin menanggapinya.
"Kita pikirkan saja nanti, karena yang penting sekarang aku harus membereskan masalah ini. Ke mana dia? Kenapa belum datang-datang juga?" keluh Aiman kesal yang diangguki setuju oleh Bima.
"Iya, di mana orang kurang ajar itu? Bisa-bisanya dia korupsi makanan anak yatim." Bima menggerutu tak kalah kesalnya sembari menatap sekelilingnya, sampai pada akhirnya ia melihat staf yang menjaga makanan tadi itu kembali datang, namun tidak ada ada siapapun yang mereka bawa.
"Di mana orang yang harus bertanggung jawab untuk mengurus masalah ini? Kenapa kalian belum membawanya?" tanya Aiman serius, membuat para staffnya merasa takut.
"Kami minta maaf, Pak. Kami sudah mencari keberadaannya dan berkeliling di seluruh kantor ini, namun hasilnya nihil. Sampai pada akhirnya kami tanya satpam, beliau mengatakan bila laki-laki itu sudah pergi dari kantor. Sepertinya dia sudah mendengar masalah ini dari orang lain, Pak."
"Intinya dia sudah kabur?"
"Iya, Pak."
"Berikan data diri dia di meja kerja saya besok, saya akan memecat dia secepatnya. Kalian paham kan?"
"Iya, Pak. Kami paham."
"Bagaimana ini? Acaranya hampir dimulai, tapi kita enggak mungkin kan kasih makanan ini ke anak-anak yatim? Kasihan mereka." Bima berujar serius, sedangkan Aiman tampak frustasi bisa dilihat dari caranya menghembuskan nafas dengan kasar. Sebagai direktur utama di perusahaan ini, tentu saja ia malu pada anak-anak yang sudah ia kecewakan, terutama pada perempuan bercadar itu.
"Mau bagaimana lagi? Enggak ada yang bisa kita lakukan untuk bagian makanan, karena mau pesan sekarang pun juga mustahil waktunya. Tapi akan aku pastikan, kejadian seperti ini enggak akan terulang lagi kedepannya." Mendengar ucapan Aiman, Bima hanya mengangguk setuju, ia sendiri pun pasti akan bingung di posisi sahabatnya, tidak ada yang bisa dilakukan untuk bagian makanan yang sudah terlanjur kacau tak karuan.
"Apa kita mulai aja acaranya? Kasihan anak-anak yang sudah menunggu lama."
"Iya, ayo!" Kini Aiman dan Bima berjalan ke atas panggung, membuat suasana yang tadinya ramai menjadi sunyi, terutama saat kedua laki-laki itu menyapa semua orang dengan salam.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakkatu."
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakkatu."
"Untuk acara hari ini, kami tidak akan berlama-lama, kami hanya akan melantunkan doa yang akan dipimpin Ustad Muafa yang kebetulan bisa datang ke perusahaan kami."
"Sebelum acaranya dimulai, kami juga ingin menyampaikan permintaan maaf kami pada pihak panti asuhan Kasih Ibu. Kami benar-benar menyesali kejadian yang terjadi bulan lalu, di mana makanan yang disediakan untuk anak-anak ternyata kurang layak untuk dikonsumsi. Hal itu bisa terjadi karena ada staf perusahaan yang tidak bertanggung jawab, membeli dan memberikan makanan murah yang kurang layak." Aiman menatap ke arah rombongan panti asuhan kasih ibu, lalu menunduk sopan ke arah mereka.
"Kami minta maaf sebesar-besarnya, saya berjanji kejadian ini tidak akan terjadi lagi kedepannya," ujarnya penuh ketulusan begitupun dengan Bima yang turut melakukan hal yang sama. Sedangkan para anak-anak dan pengurusnya hanya mengangguk-angguk, mengisyaratkan tanda persetujuan.
"Kedepannya kami semua akan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi, yang lebih teliti, amanah, dan juga jujur tentunya." Aiman menyampaikan pidatonya dengan tegas dan berwibawa, ia juga tampak serius seolah kejadian hari ini benar-benar membuatnya menyesal. Namun sebagai pemimpin, ia juga harus berani meminta maaf dan mengakui kesalahannya di depan semua orang, sikap seperti itu yang selalu ayahnya ajarkan sebelum mengizinkannya memimpin perusahaan.
***
Di kamarnya, Aisyah tengah menatap ke arah ponselnya, di mana ia harus memastikan pesanan yang diminta customernya. Sedangkan di sampingnya terdapat banyak barang-barang yang akan ia packing, yang kebanyakan di antaranya adalah alat make up dan juga skincare.
Ya, Aisyah sendiri memang penjual beberapa brand kecantikan, yang sudah ditekuni sejak ia masih duduk di bangku SMA. Pelanggannya sendiri cukup banyak, terutama yang berada di toko onlinenya. Meskipun begitu, ia tak bisa setiap saat melakoninya, karena ia juga masih harus membantu adik-adiknya. Mungkin sore dan malam hari, waktu yang bisa Aisyah gunakan untuk packing dan membalas chat.
Di tengah kesibukannya itu, suara pintu kamarnya terdengar diketuk, menandakan seseorang sedang berada di luar ruangan tersebut. Mendengar hal itu, Aisyah mendirikan tubuhnya lalu berjalan ke arah sana dan membuka pintunya.
"Ada apa, Bu?"
"Kamu lagi sibuk ya?"
"Iya, Bu. Ada apa?"
"Ada Pak Herlambang di ruang tamu, apa kamu bisa menemuinya? Sepertinya dia ingin berbicara serius dengan kamu."
"Begitu ya? Ya sudah aku pakai cadar dulu ya, Bu, nanti aku langsung ke sana."
"Iya, Ibu ke dapur sebentar ya untuk membuatkan Pak Herlambang minuman, kamu cepat ke sana ya! Jangan buat beliau menunggu terlalu lama."
"Iya, Bu." Aisyah mengangguk mengerti lalu menutup pintu kamarnya kembali, di sana ia mengambil cadarnya lalu memakaikannya. Tak membutuhkan waktu lama, Aisyah keluar kamar dan berjalan ke arah ruang tamu, di sana sudah ada laki-laki berumur lima puluh tahunan tengah duduk di sofa dengan wajah tenang.
"Assalamualaikum, Om." Aisyah memberi salam pada laki-laki itu, yang langsung disenyumi olehnya.
"Waalaikum salam. Kamu apa kabar, Aisyah?"
"Baik, Om. Om sendiri bagaimana kabarnya?"
"Kabar Om juga baik. Sudah lama ya Om enggak pernah ke sini, terakhir kali mungkin satu tahun yang lalu, akhir-akhir ini Om lagi sibuk jadi jarang datang."
"Enggak apa-apa, Om. Kami bisa mengerti, tapi meskipun Om selalu sibuk, Om selalu ingat dengan kami, memberi kami uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Terima kasih ya, Om."
"Iya, itu kan juga sudah kewajiban Om. Kamu sendiri masih memakai cadar ya?"
"Iya, Om." Mendengar jawaban Aisyah, laki-laki itu tersenyum hangat, sampai pada akhirnya ia menghela nafas panjangnya.
"Om sendiri sudah tau alasan kenapa kamu bercadar, dan kedatangan Om sekarang ini karena Om ingin memastikan sesuatu yang berhubungan dengan hal itu."
"Memastikan apa, Om?"
"Apa kamu masih menjaga hati dan kesetiaan kamu, Aisyah? Maksudnya Om, apa kamu masih sendiri sampai sekarang ini?"
"Iya, Om. Alhamdulillah, saya masih bisa menepati janji saya sendiri."
"Syukurlah kalau begitu."
"Memangnya kenapa ya, Om?"
"Kamu sendiri pasti sudah mengerti kenapa dulu Om meminta hal itu kan? Karena Om ingin menjodohkan kamu dengan putra pertama Om, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk kalian bertemu lalu menikah." Laki-laki itu berujar serius, yang kian membuat jantung Aisyah berdebar tak karuan, karena waktu yang ditunggunya sejak lama akan tiba.
"Bagaimana, Aisyah? Apa kamu mau bertemu dengan anaknya Om? Dia sudah lulus kuliah dan juga sudah bekerja, kebetulan dia cepat sekali belajar tentang perusahaan, jadi tak perlu membutuhkan waktu lama untuk memberinya kepercayaan memimpin perusahaan." Mendengar hal itu, tentu saja Aisyah setuju untuk bertemu, bisa dilihat dari bibirnya yang tersenyum dibalik cadar hitamnya.
"Iya, Om. Saya mau."
"Baguslah kalau begitu, tapi apa setelah ini kamu akan membuka cadar kamu?"
"Iya, Om. Saya akan membukanya saat saya akan bertemu dengan calon suami saya dan menikah dengannya. Karena sejak awal, saya memakai cadar untuk menjaga pandangan laki-laki lain agar tak tertarik dengan saya, dengan begitu saya bisa menjaga hati saya." Aisyah tertunduk sopan, yang disenyumi tulus oleh laki-laki tersebut.
"Om memang enggak salah pilih menunjuk kamu menjadi calon menantu Om, kamu wanita yang sangat baik. Om juga berdoa semoga kalian bisa saling menyukai satu sama lain dan hidup bahagia bersama."
"Iya, Om. Terima kasih."
"Jadi kapan kalian bisa bertemu? Lebih cepat, lebih baik kan?"
"Terserah Om saja."
"Bagaimana kalau besok malam? Om akan menyuruh sopir untuk menjemput kamu di jam tujuh tepat, kita akan bertemu di restoran keluarga. Bagaimana? Kamu setuju kan?"
"Iya, Om. Saya setuju." Aisyah mengangguk sopan, meskipun tampak tenang namun sebenarnya jantungnya berdebar tak karuan.
"Bagus."
Setelah mengobrol cukup lama, Herlambang memutuskan untuk berpamitan pada Aisyah dan juga ibu pantinya, laki-laki itu berniat pulang ke rumah untuk memberitahu keluarganya tentang rencananya.
Setelah mengantarkannya sampai di depan rumah, Aisyah berjalan ke ruang keluarga di mana ibu pantinya tengah membereskan gelas dan juga cemilan. Namun sebelum itu, Aisyah menghentikannya dan mengarahkannya untuk duduk kembali di sofa.
"Ada apa, Aisyah?"
"Ibu tau, aku dan calon suamiku akan bertemu." Aisyah berujar penuh semangat, yang disenyumi tulus oleh wanita tersebut.
"Tentu saja Ibu tau."
"Nanti Ibu ikut aku ke sana ya, Ibu juga harus tau seperti apa wajah calon suamiku, Bu." Mendengar hal itu, bukannya senang wanita itu justru tampak bingung.
"Kalau Ibu ikut, siapa yang akan menjaga anak-anak, Syah? Sudahlah, kamu aja yang ke sana ya?"
"Tapi kan anak-anak juga banyak yang sudah besar, Bu, masa mereka enggak bisa jaga diri? Apalagi kan kita ke sana cuma sebentar, mungkin cuma dua jam paling lama."
"Ibu tau, tapi akan lebih baik kalau kamu sendirian aja, enggak usah bawa-bawa nama Ibu apalagi panti asuhan kita!"
"Loh memangnya kenapa, Bu?" tanya Aisyah tak mengerti.
"Sejak kecil kamu sering dikucilkan di sekolah karena berasal dari panti asuhan, kamu juga enggak boleh diadopsi, jadi kamu enggak bisa punya keluarga lengkap. Bahkan di usia kamu yang sudah sedewasa ini kamu masih harus membantu Ibu menjaga anak-anak. Sekarang kamu akan bertemu dengan calon suami kamu lalu kalian menikah, akan lebih baik kalau kamu menutupi asal-usul kamu, Aisyah." Wanita itu menitikkan air matanya, menatap sendu pada anak angkatnya yang sudah melalui banyak ujian dan cobaan, ia berharap setelah ini hidupnya akan bahagia bersama dengan suaminya.
Part 05
Aisyah menitikkan air matanya, setelah mendengar ucapan ibu pantinya, keduanya bahkan menangis bersama, meratapi nasib mereka yang mungkin kurang beruntung dalam hal dunia. Itu lah kenapa wanita paruh baya itu tidak ingin semakin membebani Aisyah, karena anak angkatnya itu juga berhak bahagia.
"Kenapa harus disembunyikan, Bu? Aku enggak pernah mempermasalahkan asal-usulku, kan kenyataannya memang seperti itu." Aisyah bertanya dengan sesenggukan, ia benar-benar tidak apa-apa, namun sepertinya ibu pantinya memikirkan hal yang berbeda.
"Tapi karena itu juga kamu jadi banyak masalah, jadi akan lebih baik kalau kamu menyembunyikannya. Dengan begitu, kamu bisa memulai lembaran baru bersama dengan keluarga kecil kamu." Ibu panti itu menghapus air mata Aisyah, tentu ia ingin memberi gadis itu pengertian, bila semua masih bisa diusahakan asal ada yang harus dikorbankan.
"Ibu sudah memberitahu Pak Herlambang supaya beliau mau menutupi asal-usul kamu, Ibu ingin kamu hidup dengan tenang tanpa bayang-bayang panti asuhan." Wanita itu tersenyum hangat, namun masih tak bisa Aisyah terima pemikirannya.
"Apa Ibu takut kalau calon suamiku mengetahui asal-usulku dari panti asuhan? Kalau dia enggak mempermasalahkannya bagaimana? Kata Ibu, dia laki-laki yang baik kan, itu artinya dia juga pasti bisa menerima asal-usulku kan?"
"Memang iya, dia laki-laki yang sangat baik, dia mungkin saja bisa menerima kamu apa adanya, tapi bagaimana dengan lingkungannya? Keluarganya? Saudara-saudaranya? Teman-temannya? Apa kamu bisa menghentikan ucapan-ucapan mereka? Enggak kan? Jadi, akan lebih baik bila kamu bisa menyembunyikannya, ini juga kan demi kebaikan kalian."
Aisyah hanya bisa menangis mendengar ucapan ibu pantinya, air matanya merembes membasahi kain cadarnya. Sampai saat tangan ibu pantinya melepaskannya, bibirnya tersenyum saat melakukannya, membuat Aisyah bingung dengan maksudnya.
"Mulai hari ini, kamu enggak perlu memakai cadar lagi di depan semua orang terutama calon suami kamu, biarkan mereka mengenali kamu tanpa harus mengetahui asal-usul kamu."
"Tapi, Bu ...." Aisyah berusaha menahan tangan ibu pantinya, namun wanita itu mengangguk dan sembari tersenyum hangat.
"Enggak apa-apa, sudah saatnya kan kamu melepas ini, karena sebentar lagi kamu akan bertemu dengan calon suami kamu. Kamu masih ingat kan dengan ucapan kamu sendiri delapan tahun yang lalu?" tanyanya yang hanya bisa Aisyah angguki, entah kenapa ia menyesalinya kini.
"Apa ... saat aku menikah Ibu akan datang untuk menemaniku? Terus anak-anak juga ikut kan, Bu? Mereka semua pasti bahagia di sana karena akan banyak makanan. Aku enggak mungkin sendirian kan?" tanya Aisyah memastikan namun air matanya terus mengalir di wajahnya, ia ingin ibu pantinya menjawab iya, namun wanita itu justru memalingkan wajahnya.
"Ibu usahakan ya. Oh ya, Ibu mau ke kamar dulu, Ibu mau istirahat sebentar aja. Ya?" pamitnya sembari mendirikan tubuhnya, lalu pergi meninggalkan Aisyah yang menangis di sofa. Begitupun dengan ibu pantinya, wanita itu menangis sejadi-jadinya di dalam kamarnya setelah mengunci rapat pintunya. Keduanya menangis di tempat yang berbeda, namun menyesali takdir yang sama.
"Maafkan Ibu, Aisyah. Ibu cuma mau kamu bahagia, karena sejak kecil hidup kamu sudah menderita. Ibu enggak mau semakin membebani kamu, dan terus-terusan menjadi alasan kamu dihina orang-orang." Wanita itu menangkup wajahnya, ia benar-benar ingin yang terbaik untuk Aisyah.
***
Aiman turun dari mobilnya lalu berjalan ke arah rumahnya, sedangkan waktu sudah menunjukkan jam setengah delapan malam. Seperti biasa, wajahnya terlihat lelah dengan jas dan tas yang berada di tangan kirinya. Sebenarnya ia terlalu malam untuk pulang ke rumah, namun pekerjaannya mengharuskan ia untuk tetap berada di sana.
Aiman menghela nafas panjangnya setelah membuka pintu rumahnya, namun ia justru melihat ayahnya tengah duduk di sofa dan menatapnya lamat-lamat. Aiman tentu merasa bingung, itu lah kenapa ia berjalan mendekat untuk menanyakannya langsung.
"Ayah kenapa? Kok tumben ada di ruang tamu?"
"Ayah lagi menunggu kamu."
"Menungguku? Memangnya ada apa, Yah?"
"Kamu sudah shalat isya?"
"Sudah, tadi di kantor sebelum pulang." Aiman duduk di depan ayahnya sembari menatap serius ke arahnya.
"Ayah menunggu kamu karena ada sesuatu yang ingin Ayah sampaikan."
"Apa, Yah? Kok kayanya serius?"
"Memang, karena Ayah ingin membicarakan masalah pernikahan kamu dengan Aisyah."
"Aisyah? Dia siapa, Yah? Aku belum pernah mendengar namanya, Ayah juga enggak pernah cerita apa-apa selama ini, tapi kenapa tiba-tiba Ayah ingin membicarakan pernikahanku dengan dia?"
"Ayah minta maaf karena enggak pernah cerita apapun tentang Aisyah, karena Ayah pikir kamu masih harus fokus dengan pendidikan pada saat itu. Sekarang kan kamu sudah lulus, kamu juga sudah bekerja, kamu punya mobil, kamu juga akan membeli rumah baru."
"Maksudnya Ayah apa? Tolong langsung ke intinya aja, aku enggak mau berbelit-belit."
"Ayah berniat menjodohkan kamu dengan Aisyah, Ayah harap kamu mau menerimanya."
"Aisyah siapa aja aku enggak tau, Yah. Tapi kenapa tiba-tiba ada pembicaraan seperti ini?" tanya Aiman tak mengerti, ia terlihat bingung meminta penjelasannya.
"Aisyah itu anak dari teman Papa, kasihan dia, orang tuanya sudah meninggal sejak dia masih umur dua tahun, selama ini dia dirawat orang lain."
"Lalu apa hubungannya sama aku, Yah? Kenapa harus aku yang menikahinya? Semenyedihkan apapun kisah wanita itu, aku enggak harus menjadi suaminya kan?"
"Aiman, kenapa kamu tega berbicara seperti itu? Apa kamu enggak punya rasa empati sedikit pun? Ayah enggak nyangka kamu bisa bicara kaya gini," ujar pria itu terdengar kecewa, yang tentu saja membuat putranya itu merasa bersalah.
"Bukan begitu maksudku, Yah. Aku cuma enggak mau dijodohkan, apalagi dengan wanita yang enggak aku kenal."
"Besok kalian akan bertemu, jadi pergunakan waktu itu untuk mengenalnya."
"Tapi, Yah. Aku enggak bisa menikahi dia, meskipun aku sudah mengenalnya sejak kecil sekalipun."
"Tapi kenapa? Aisyah itu gadis yang cantik dan solehah. Ayah yakin, dia pasti bisa menjadi istri kamu dengan baik."
"Bukan itu masalahnya, Yah. Aku enggak mau menikahinya, karena aku sudah menyukai wanita lain."
"Siapa wanita itu?"
"Nama dia Icha, dia juga wanita yang solehah, Yah. Kepribadian baik dan sikapnya juga lembut, aku menyukainya dan menginginkan dia yang menjadi istriku bukan Aisyah." Aiman menjawab tegas yang berhasil mendiamkan ayahnya, yang tampak berpikir keras kali ini.
"Apa kamu yakin dia juga ingin menikah dengan kamu?" tanya sang ayah serius, namun Aiman justru terdiam.
"Aku enggak tau, Yah. Aku saja belum mendekatinya."
"Itu artinya kamu belum terlalu mengenalnya, tapi baiklah, Ayah akan beri kamu satu kesempatan." Pria itu menunjukkan jari telunjuknya, yang tentu saja membuat putranya merasa bingung.
"Maksud Ayah apa?"
"Ayah akan mengurungkan perjodohan kamu dengan Aisyah dan membiarkan kamu menikahi wanita yang kamu cintai, asalkan kamu bisa membawa wanita itu kemari."
"Kapan, Yah?"
"Besok sebelum jam tujuh malam."
"Apa? Ayah bercanda ya? Besok itu terlalu singkat waktunya, bagaimana caranya aku bisa mengajaknya ke sini?"
"Ayah enggak mau tau, kamu membawanya ke sini atau kamu harus menikahi Aisyah." Pria paru baya itu menjawab dengan tegas, yang tentu saja tak bisa Aiman bantah permintaannya.
"Iya, baiklah. Aku akan membawa wanita itu ke rumah ini, kalau begitu aku ke kamar dulu, aku mau istirahat," pamitnya sembari mendirikan tubuhnya sedangkan ayahnya hanya menganggukinya.
"Semoga saja Aiman enggak berhasil membawa wanita itu ke rumah ini," gumamnya lirih sembari menghembuskan nafas panjangnya.
Di sisi lainnya, Aiman berjalan ke arah kamarnya lalu menghubungi Bima, sahabat sekaligus rekan kerjanya. Tas dan jas yang berada di tangannya langsung ia lempar di atas ranjang, seolah tak lagi membutuhkannya karena yang terpenting saat ini ia harus meminta bantuan pada sahabatnya tersebut.
"Halo, Man. Kenapa? Tumben malam-malam telepon?" jawabnya dari seberang sana.
"Aku mau meminta bantuan kamu," jawab Aiman serius, namun sebenarnya perasaannya tengah gelisah sekarang.
"Bantuan apa?"
"Aku akan dijodohkan."
"WHAT? DIJODOHKAN?" tanya Bima dengan suara lantang, yang tentu saja langsung Aiman jauhkan ponselnya dari telinganya.
"Kita ini hidup di jaman kapan? Kenapa masih ada kata perjodohan? Aku pikir sudah terhapus setelah jaman Siti Nurbaya," gerutunya tak habis pikir, di saat seperti ini Aiman seolah bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah sahabatnya.
"Aku serius, aku benar-benar akan dijodohkan dengan wanita yang bernama Aisyah."
"Siapa dia?"
"Anak dari teman ayahku."
"Jadi yang ingin menjodohkan kamu itu ayahmu?"
"Iya."
"Aku pikir Bundamu, biasanya kan emak-emak yang paling santer menjodohkan anak-anaknya."
"Aku enggak peduli itu, tapi yang aku pedulikan bagaimana cara menggagalkan perjodohan ku dengan wanita itu?" Aiman duduk di tepi ranjangnya, ia berusaha untuk tenang namun rasanya sulit untuk dilakukan.
"Kamu bilang saja ke Ayahmu kalau kamu sedang menyukai wanita lain, dia pasti enggak akan tega menghancurkan kebahagiaan kamu, Man."
"Aku sudah mengatakannya."
"Lalu apa jawaban ayahmu?"
"Aku disuruh membawanya ke rumah besok sebelum jam tujuh malam, kalau aku enggak berhasil, mau enggak mau aku harus terima perjodohan itu."
"Itu konyol namanya, bagaimana mungkin kamu bisa membawa Icha ke rumahmu? Sedangkan kalian saja baru kenal dan bahkan enggak pernah dekat."
"Itu yang ingin aku minta bantuan dari kamu, tolong pikirkan bagaimana caranya supaya Icha mau aku ajak ke rumahku?"
"Kita langsung ke panti asuhannya aja besok, terus ajak dia mengobrol dengan baik-baik, kali saja dia mau mengerti dan mau kamu ajak ke rumahmu. Mungkin dengan cara itu juga, kalian bisa dekat. Bagaimana?"
"Apa kamu yakin dengan cara itu?"
"Terus kita harus pakai cara apalagi? Kamu mau kita menculiknya dan membawanya ke rumahmu? Yang benar aja, aku enggak mau ditangkap polisi apalagi masuk penjara." Mendengar jawaban Bima, Aiman pikir laki-laki itu ada benarnya karena sepertinya cara pertama adalah jalan satu-satunya untuk menggagalkan perjodohannya.
"Iya, baiklah. Kita akan ke panti asuhan Icha, tapi kita enggak mungkin hanya membawa tangan kosong kan?" jawab Aiman penuh keraguan.
"Ya iyalah, setidaknya kita bawakan mereka makanan atau kalau enggak, kita bawakan mereka mainan."
"Oke, aku ke rumah kamu sekarang?" Aiman mendirikan tubuhnya lalu berjalan ke arah lemarinya, ia berniat mengganti pakaiannya dengan yang lebih bersih.
"Lah ngapain?"
"Ke toko mainan."
"Malam ini juga?"
"Iya, memangnya kapan lagi? Kita sudah enggak punya banyak waktu lagi, pagi-pagi kita harus ke sana karena perjalanannya kan cukup jauh, belum lagi kita juga harus ke rumahku lagi, terus antar dia pulang lagi? Semua itu pasti membutuhkan banyak waktu kan, jadi akan lebih baik kalau kita beli mainannya sekarang."
"Iya sih, tapi ini kan sudah hampir jam delapan malam, Man. Apa enggak sebaiknya ...."
"Aku akan ke rumah kamu sebentar lagi, awas aja kalau kamu sampai enggak ada di sana."
"GILA, ENGGAK WARAS! AKU KAN JUGA MAU ISTIRAHAT. WOI, MAN," teriak Bima sebelum pada akhirnya Aiman mematikan sambungan teleponnya.
Part 06
Herlambang berjalan ke arah kamarnya lalu masuk ke dalamnya, ia berniat menemui istrinya untuk membicarakan pernikahan putra mereka dengan Aisyah. Namun wajahnya justru terlihat tidak senang, itu karena saat ini putranya sedang menyukai wanita lain, andai saja dia berhasil membawa wanita itu ke rumah ini besok, berarti perjodohannya dengan wanita pilihannya akan dinyatakan gagal.
Sebagai orang tua yang sudah menyiapkan semua ini sejak lama, tentu saja pria itu merasa khawatir, karena ia sudah berjanji akan menjaga Aisyah apapun yang terjadi. Kalau bukan menjadi menantunya, bagaimana caranya ia bisa melindunginya, sedangkan menjadikannya putrinya saja ia sudah tidak bisa melakukannya.
Perjodohan Aiman dan Aisyah adalah jalan satu-satunya, yang akan mempersatukan mereka menjadi keluarga. Lalu bagaimana kalau hal itu sampai gagal? Tentu saja pria itu tidak bisa membayangkannya, karena pada akhirnya usahanya selama ini akan berakhir sia-sia. Ia juga merasa kasihan pada Aisyah, gadis itu sudah banyak berkorban dan menderita selama ini, pasti akan sangat mengecewakan andai kesetiannya dihancurkan.
"Bagaimana ini?" gumamnya dalam hati.
"Ayah kenapa? Kok ngelamun?" tanya istrinya terdengar bingung melihat suaminya berjalan sembari termenung.
"Ayah mau berbicara serius dengan Bunda," jawabnya tenang sembari duduk di tepi ranjang, yang tentu saja membuat istrinya merasa kebingungan.
"Ada apa sih, Yah? Jangan buat Bunda khawatir!" Wanita itu duduk di sampingnya dengan ekspresi curiga.
"Besok malam Ayah akan mempertemukan Aiman dengan Aisyah, sebagai orang tua, Bunda juga harus ikut ke sana."
"Apa, Yah? Aisyah? Jadi selama ini kamu masih berhubungan dengan gadis itu? Bukannya Bunda sudah bilang ya untuk memberikan dia ke orang lain saja? Tapi kenapa kamu masih bisa menemuinya?"
"Bunda pikir, Ayah akan memberikan Aisyah ke orang lain lalu menyuruh orang itu pergi dari kota ini? Itu mustahil, karena Ayah enggak akan melakukan hal gila itu apalagi pada putri dari sahabatnya Ayah sendiri." Herlambang menunjuk dirinya sendiri dengan perasaan emosi.
"Oke, Bunda berusaha untuk terima itu, tapi apa harus Ayah menjodohkan dia dengan putra kita sendiri?"
"Memangnya kenapa? Kamu enggak setuju?"
"Ya iya lah, Yah. Aisyah itu sudah enggak punya orang tua, enggak punya keluarga, enggak punya saudara, dan mungkin hidupnya luntang-lantung selama ini, jadi untuk apa memungutnya untuk putra berharga kita?" Wanita itu menjawab dengan menggebu-gebu, yang tentu saja membuat suaminya marah, bisa dilihat dari tatapan tajamnya.
"Apa tadi kamu bilang? Berani ya kamu bilang Aisyah seperti itu? Dia itu anak dari sahabatku, enggak seharusnya kamu merendahkannya!"
"Tapi itu memang kenyataannya kan, Yah? Dulu mungkin dia anak orang kaya, tapi sekarang lihat statusnya? Derajat dia pasti jauh lebih rendah dari kita."
"BERANINYA KAMU," sentak laki-laki itu sembari menampar pipi istrinya, membuat wanita itu terlempar di ranjangnya.
"KAMU PIKIR SIAPA KAMU DULU? KAMU ITU CUMA WANITA KAMPUNG YANG BEGITU BERUNTUNG AKU NIKAHI, JADI JANGAN BERLAGAK KAMU! AISYAH JIKA DIBANDINGKAN KAMU YANG DULU, DERAJAT KAMU JAUH LEBIH RENDAH DARI DIA." Pria itu berteriak marah sembari menunjuk ke arah istrinya, yang tengah menyentuh pipinya yang terasa panas.
"Aku minta maaf, Yah. Aku enggak bermaksud seperti itu ...." Wanita itu tentu merasa ketakutan, terlebih lagi saat melihat tatapan tajamnya yang begitu kuat seolah mampu menusuknya.
"Awas aja kalau kamu sampai berani menentang pernikahan mereka, akan aku buat kamu kembali ke kampung halaman kamu," ancamnya yang langsung diangguki oleh istrinya tersebut.
"Iya, Yah. Bunda janji, Bunda enggak akan menentang apapun keputusan Ayah, Bunda minta maaf ya?" Wanita itu bangun dan menyentuh tangan suaminya, tentu saja ia berharap bisa dimaafkan, atau kalau tidak, kehidupannya yang sempurna selama ini akan hancur begitu saja.
"Hem," jawab Herlambang dengan gumaman lalu menarik lengannya dari genggaman istrinya, lalu pergi begitu saja dari kamarnya, meninggalkan istrinya yang terlihat kesal dengan sikapnya.
"Kalau bukan karena kamu kaya, aku juga enggak mau sama kamu." Wanita itu menggerutu kesal, sampai pada akhirnya ia mengingat nama wanita itu.
"Aisyah? Jangan harap kamu bisa hidup tenang setelah menikah dengan putraku, akan aku buat kamu menderita tinggal di rumah ini." Wanita itu tersenyum sinis, hatinya memanas seolah terbakar oleh sesuatu yang tak kasat mata saking bencinya ia dengan gadis yang bernama Aisyah.
***
Pagi-pagi sekali, seperti biasa anak-anak panti asuhan langsung mendatangi meja makan setelah mendengar lonceng berbunyi, mereka semua tampak sangat antusias saat bersiap untuk sarapan. Namun salah satu dari mereka menyadari sesuatu hal, seperti ada yang kurang entah apa, sampai pada akhirnya ia mengingatnya.
"Loh kok yang menyiapkan sarapan kita, Ibu? Memangnya Kak Icha ke mana, Bu?" tanyanya yang berhasil menciptakan keheningan teman-temannya begitupun dengan ibu pantinya, yang seketika menghentikan aktivitasnya menata minuman mereka.
"Kak Icha lagi di kamar." Wanita itu tersenyum ke arah mereka semua, sebenarnya ia tak ingin memberitahu anak-anak tentang kabar pernikahan Aisyah. Namun sepertinya ia salah, karena cepat ataupun lambat, Aisyah akan pergi dari sana dan mau tidak mau ia juga harus memberi pengertian pada mereka.
"Kak Icha lagi sakit ya, Bu? Biasanya kan Kak Icha yang menyiapkan sarapan kita." Salah satu dari mereka kembali bertanya.
"Enggak kok, Kak Icha enggak lagi sakit."
"Terus kenapa Kak Icha enggak ke sini, Bu?"
"Sebenarnya Kak Icha lagi sedih di kamarnya." Wanita itu memberitahu kebenarannya, karena mau bagaimana pun anak-anaknya juga harus mengetahuinya.
"Sedih kenapa, Bu?"
"Iya, Bu. Kak Icha sedih kenapa?"
Mereka serempak bertanya dengan kalimat yang hampir sama, mereka juga terlihat sedih mengetahui Aisyah sedang tidak baik-baik saja di kamarnya. Melihat pemandangan itu tentu saja membuat ibu panti merasa terharu, melihat anak-anak angkatnya begitu menyayangi Aisyah, ia tak tahu bagaimana nanti andai gadis itu sudah menikah dan harus pergi meninggalkan mereka.
"Kak Icha lagi sedih karena sebentar lagi dia harus pergi dari panti asuhan ini." Pada akhirnya wanita itu mengatakan yang sebenarnya pada mereka, karena cepat ataupun lambat semua itu memang akan terjadi nantinya.
"Loh kenapa Kak Icha mau pergi, Bu?"
"Kak Icha enggak betah di sini?"
"Apa karena kita nakal ya, Bu? Makanya Kak Icha enggak mau tinggal di sini terus pergi." Mereka bertanya dengan wajah polosnya, membuat wanita itu tersenyum mendengarnya, namun di detik berikutnya ia menghela nafas panjangnya lalu menggeleng pelan.
"Kak Icha itu akan menikah, dia akan ikut suaminya tinggal di rumahnya, jadi Kak Icha enggak bisa tinggal di sini lagi bersama kita semua."
"Yaaaah." Banyak dari mereka yang sangat menyayangkan hal itu, tidak sedikit juga yang merasa sedih mendengar kabar itu.
"Kalian boleh bersedih, tapi jangan terlalu lama ya? Kasihan nanti Kak Icha jadi kepikiran. Kak Icha kan juga harus menikah dan memiliki keluarga, kalian pasti mau kan lihat Kak Icha bahagia?" tanya wanita itu yang diangguki oleh mereka.
"Nah, makanya kita semua harus bisa ikhlas dan merelakan Kak Icha hidup dan tinggal bersama dengan suaminya ya?"
"Iya, Bu."
"Bagus, sekarang kalian sarapan ya! Karena ini hari Minggu, kalian bisa bermain setelah makan, tapi tolong jangan ganggu Kak Icha dulu ya? Biarkan Kak Icha sendiri! Bisa?"
"Bisa, Bu." Mereka menjawab bersamaan yang disenyumi oleh ibu panti tersebut, meskipun di dalam hati ia tentu merasa khawatir dengan Aisyah di kamarnya, itu lah kenapa ia pergi ke dapur untuk mengambil makanan dan juga minuman, ia berniat mengantarkannya pada Aisyah karena gadis itu belum sarapan.
"Aisyah," panggil ibu panti sembari mengetuk pintu kamarnya, sedangkan di tangannya sudah ada nampan berisikan makanan.
"Iya, Bu. Kenapa?"
"Ibu boleh masuk?"
"Masuk aja, Bu. Pintunya enggak dikunci."
"Kamu masih sedih, Aisyah?" tanya wanita itu sembari berjalan ke arah ranjang, di mana Aisyah tengah berbaring di sana.
"Enggak kok, Bu. Aku cuma mau sendiri aja, maaf ya enggak bisa bantu-bantu dulu, kepalaku sedikit pusing karena aku nangis semalaman." Aisyah tertunduk penuh bersalah yang lagi-lagi disenyumi oleh ibu pantinya.
"Enggak apa-apa, Ibu bisa mengerti kok. Lebih baik sekarang kamu sarapan dulu ya, Ibu sudah bawakan kamu makanan."
"Terima kasih, Bu."
"Iya. Kalau begitu Ibu pergi dulu ya, Ibu masih ada urusan di dapur, kamu habiskan ya sarapannya." Wanita itu mendirikan tubuhnya lalu berjalan ke arah pintu kamar.
"Iya, Bu." Aisyah menjawab seadanya sembari menatap ke arah pintu yang mulai tertutup oleh ibu pantinya.
***
Di dalam mobilnya, Aiman tengah menyetir kendaraan pribadinya dengan tatapan fokus, berbeda dengan Bima yang berada di sampingnya, laki-laki itu justru sedang tertidur sekarang saking mengantuknya ia karena Aiman sempat mengajaknya membeli banyak mainan tadi malam.
Ya, mereka memang akan melaksanakan rencana Bima untuk menemui perempuan yang mereka tahu bernama Icha itu di tempat tinggalnya. Dan pagi-pagi sekali, mereka sudah pergi ke panti asuhannya dengan membawa banyak mainan yang sudah mereka letakkan di kursi bagian belakang.
"Kayanya sebentar lagi sampai," gumam Aiman yakin setelah menatap layar ponselnya di mana ada panduan jalan atau GPS di sana.
"Bim, Bima. Bangun! Kita sudah mau sampai." Aiman menepuk keras paha temannya dengan tangan kirinya, sedangkan matanya masih fokus pada ponselnya dan juga jalannya.
"Ha? Apa? Sudah mau sampai?" Bima membuka matanya dengan sesekali mengerjapkannya, ia berusaha untuk sadar dari alam sadarnya.
"Iya, tinggal satu belokan lagi."
"Oh baguslah." Hanya itu yang bisa Bima katakan, karena sepertinya nyawanya belum terkumpul semua. Sedangkan Aiman hanya menggeleng pelan, sembari masih fokus dengan aktivitas menyetirnya.
"Itu kan panti asuhannya? Panti asuhan Kasih Ibu." Aiman menghentikan laju mobilnya dan menunjuk ke arah gedung yang cukup luas di halamannya.
"Iya, bener. Bagaimana? Kita langsung ke sana aja atau apa?" tanya Bima serius.
"Iya lah, menurutmu kita harus tetap di sini?" jawab Aiman tak habis pikir sembari kembali melajukan mobilnya dan memarkirkannya di halaman dari gedung tersebut.
"Wah siapa itu? Kok parkir di sini?"
"Jangan-jangan orang tua baru yang mau ngadopsi salah satu dari kita."
"Iya kayanya. Kita ke sana yuk!"
"Ayo-ayo!" Para gerombolan anak-anak datang menghampiri mobil Aiman, di mana empunya baru saja keluar dari dalam bersama dengan Bima yang tampak masih mengantuk matanya.
"Loh itu kan Kakak yang baik hati itu?"
"Iya, itu kan Kakak yang punya kantor besar itu?"
"Aduh siapa ya namanya? Aku lupa?"
"Kak Iman bukan?"
"Masa sih Iman? Bukan deh kayanya."
"Bagaimana kalau kita tanya langsung aja ke orangnya?"
"Ide bagus."
Aiman dan Bima seketika tersenyum saat melihat anak-anak panti asuhan itu berlarian ke arah mereka, keduanya bahkan langsung melambaikan tangan untuk menyapa. Semua anak tentu saja merasa senang dan bersemangat untuk mendatanginya, sampai pada akhirnya mereka semua berada di sana.
"Assalamualaikum, anak-anak." Aiman menyapa dengan hangat.
"Waalaikum salam, Kak."
"Kalian masih ingat sama Kakak enggak?"
"Ingat dong."
"Coba jawab siapa nama Kakak?"
"IMAAAAN." Mereka menjawab dengan serempak, yang tentu saja membuat Bima tertawa mendengarnya, berbeda dengan Aiman yang hanya tersenyum hambar.
"Bukan Iman, Anak-anak. Tapi Aiman." Laki-laki itu meralatnya dengan penuh sabar yang diangguki mengerti oleh mereka.
"Nama Kakak susah sih kaya namanya Kak Icha." Salah satu dari mereka berceletuk, yang justru membuat Aiman tersenyum hanya dengan mendengar namanya.
"Kalau Kakak siapa namanya? Kalian ada yang tau enggak?" tanya Bima kali ini yang langsung digelengi oleh mereka.
"Nama Kakak itu BI-MA. Coba ulangi, nama Kakak siapa coba?"
"BIMAAAA."
"Bagus. Oh ya kalian pada tau enggak Kak Aiman bawa apa buat kalian?"
"Enggak, Kak."
"Kak Aiman ke sini bawa banyak mainan loh buat kalian," jawab Bima bersemangat yang langsung diteriaki bahagia oleh mereka semua.
"Yaeei mainan. Asyik." Banyak sorakan bahagia yang keluar dari mulut mereka, yang turut membuat Aiman dan Bima juga merasa bahagia.
"Tapi sebelum itu kalian harus menyuruh Kak Icha datang ke sini dulu, baru nanti mainannya kita bagikan ke kalian semua. Bagaimana?" ujar Bima yang disenyumi oleh Aiman, namun tidak dengan anak-anak yang tampak terdiam.
"Kenapa kalian cuma diam? Kalian enggak mau mainan?"
"Mau sih, Kak. Tapi kalau menyuruh Kak Icha ke sini, kita yang enggak mau," jawab salah satu dari mereka yang diangguki semuanya.
"Loh kenapa?"
"Kak Icha enggak bisa diganggu dulu, soalnya Kak Icha lagi sedih di kamarnya."
"Sedih kenapa?" tanya Aiman terdengar khawatir, ia menatap gedung itu seolah takut terjadi sesuatu dengan perempuan bercadar itu.
"Kak Icha sedih karena sebentar lagi harus pergi dari panti asuhan ini, karena Kak Icha akan menikah terus tinggal sama suaminya." Mendengar itu, Aiman dan Bima seketika terdiam tak percaya, seolah ragu dengan kabar yang baru mereka dengar dari anak-anak panti asuhan.
Part 07
Bima membekap mulutnya sendiri saking lebarnya ia menganga, tentu saja karena ia merasa terkejut mendengar kabar yang baru ia dengar. Sedangkan di sampingnya ekspresi sama juga Aiman tunjukkan, namun yang membedakannya mulutnya sedikit tertutup dan tubuhnya seolah membeku.
"Kak Icha akan menikah?" tanya Bima memastikan karena ia yakin Aiman tak akan sanggup untuk menanyakannya lagi.
"Iya, Kak."
"Kalian yakin? Kalian enggak bohong kan?"
"Enggak kok, kalau enggak percaya tanya aja sama Ibu panti, kan Ibu Panti yang kasih tau ke kita kalau Kak Icha mau menikah."
"Menikah sama siapa?" tanya Bima penasaran, namun mereka justru menggeleng pelan.
"Enggak tau."
"Kok enggak tau? Memangnya calon suami Kak Icha enggak pernah datang ke sini apa?"
"Enggak." Mereka menjawab dengan polosnya, yang tentu saja membuat Bima merasa pusing harus apa, terlebih lagi saat melihat Aiman yang masih syok dengan kabar yang baru mereka dengar.
"Man, kamu enggak apa-apa kan?" tanya Bima terdengar khawatir sembari menepuk pundaknya, yang kali ini ditanggapi laki-laki itu dengan mengedipkan mata beberapa kali, sepertinya dia baru saja tersadar dari lamunannya.
"Aku enggak apa-apa kok," jawabnya terdengar lemah.
"Jadi ini bagaimana? Kayanya si Icha-Icha itu enggak bisa kamu bawa ke rumah apalagi diperkenalkan sebagai calon istri kamu."
"Aku tau."
"Terus apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Bagikan aja mainannya setelah itu kita langsung pulang." Aiman tampak tak bersemangat saat mengatakannya terutama saat membuka pintu mobilnya yang bagian belakang, namun dengan tenang ia mengambil mainan-mainan yang dibelinya lalu membagikannya ke semua anak-anak.
"Yaeei, dapat mainan." Mereka merasa sangat bahagia lalu dengan kompak mengucapkan rasa terima kasihnya pada Aiman dan juga Bima.
"Terima kasih ya, Kak."
"Iya. Sudah ya, kalian masuk lagi sana! Kak Aiman sama Kak Bima mau langsung pulang sekarang." Aiman tersenyum hambar, ia berusaha terlihat baik-baik saja di depan mereka, meskipun sebenarnya hati dan perasaannya sedang hancur sekarang.
"Kok langsung pulang, Kak? Enggak masuk dulu? Katanya mau ketemu sama Kak Icha?"
"Enggak usah, Kakak masih banyak urusan."
"Sekali lagi terima kasih ya, Kak." Mereka kembali mengucapkan terima kasih sembari tersenyum hangat, sedangkan Aiman hanya mengangguk kali ini lalu menyerahkan kunci mobilnya pada Bima.
"Kamu yang menyetir mobilnya ya," pintanya yang langsung diangguki oleh sahabatnya.
"Siap."
***
Sepulangnya dari panti asuhan, Bima diminta Aiman untuk langsung menuju ke rumahnya saja, dengan alasan ia ingin menenangkan pikirannya di kamarnya. Aiman sendiri masih tampak kecewa, pikirannya juga sedikit kacau, ia bahkan hampir tidak berbicara selama di perjalanan saking berdampaknya kabar yang diterimanya.
Icha, wanita bercadar yang disukainya itu ternyata akan menikah, padahal Aiman sendiri tidak berpikir bila wanita itu akan mudah didekati, namun sepertinya pemikirannya itu salah atau mungkin ia saja yang terlambat mengenalnya. Entahlah, namun yang pasti Aiman masih merasa kecewa dan bingung harus melakukan apa.
"Kita sudah sampai? Kamu mau keluar sekarang?" tanya Bima setelah memarkirkan mobil sahabatnya itu di halaman rumahnya.
"Enggak, aku masih butuh waktu untuk berpikir," jawabnya sembari memijat keningnya.
"Memangnya apa yang sedang kamu pikirkan? Si Icha itu? Sudahlah, kamu harus bisa menerima kenyataannya, dia akan menjadi istri orang lain, kamu lupakan saja dia! Toh, kamu juga baru mengenalnya kan?"
"Enggak segampang itu, selama ini aku enggak pernah menyukai wanita lain seperti ini, jadi saat aku mengetahui dia akan menjadi milik orang lain, rasanya sulit untuk digambarkan."
"Itu hal wajar namanya juga sakit hati, kalau kamu sudah mengenal banyak cinta, kamu pasti akan melewati fase itu, apalagi cinta pertama."
"Memangnya kenapa kalau cinta pertama?"
"Iya kebanyakan enggak akan berhasil."
"Kenapa begitu?"
"Enggak tau, mungkin itu cuma mitos. Tapi kebanyakan sih seperti itu, karena kan orang pada umumnya jatuh cinta di usia remaja, masa-masa paling labil."
"Tapi kan aku bukan remaja dan aku juga enggak labil, tapi kenapa tetap gagal ya?"
"Bukan gagal, kamu cuma kurang cepat aja. Enggak apa-apa, aku yakin kamu pasti bisa mencintai wanita lain, contohnya calon istri kamu mungkin?"
"Mustahil."
"Kenapa?"
"Aku bahkan ingin membencinya?"
"Kenapa begitu?"
"Entahlah, dia seperti pengganggu di hidupku, karena dia ayahku jadi ingin aku menikahinya. Memangnya apa yang ayahku lihat dari wanita itu?"
"Wait-wait! Kamu enggak lagi melampiaskan kekecewaan kamu ke wanita itu kan? Karena mau bagaimana pun dia enggak salah apa-apa, bahkan sekalipun dia yang sudah buat ayah kamu ingin menjodohkan kalian, kamu enggak berhak menyalahkan dia, Man!" Bima memperingati sahabatnya tersebut, namun laki-laki itu justru terdiam dan menghela nafas panjang.
"Sudahlah, kita turun sekarang. Aku mau istirahat di kamar, nanti saja kamu pulangnya aku antar." Aiman keluar dari mobilnya, sedangkan Bima hanya bisa pasrah dan mengikutinya di belakang.
Di dalam rumah, ternyata Aiman sudah ditunggu oleh ayahnya, yang saat ini tengah menyilangkan tangan di dada dengan tatapan menantang. Aiman yang melihat itu sempat menghela nafas dan memalingkan wajah, tentu saja ia merasa malas menghadapi ayahnya namun mau tidak mau ia harus mengakui kekalahannya.
"Assalamualaikum, Yah." Aiman memberi salam pada ayahnya, yang saat ini masih mempertahankan tatapannya.
"Waalaikum salam. Dari mana kamu? Apa dari rumah wanita itu?" tanyanya to the point, yang Aiman angguki penuh keraguan, ia bingung menjawabnya, dalam hati tentu saja ia ingin bilang tidak, namun ia bukan laki-laki yang mudah berbohong terlebih lagi mengenai hal-hal kecil.
"Assalamualaikum, Om." Bima yang baru datang turut memberi salam, laki-laki itu bahkan tersenyum ramah tanpa menyadari bagaimana ayah dan putranya itu tengah berperang dalam pikiran mereka.
"Waalaikum salam." Pria paru baya itu menatap ke arah Bima lalu menoleh ke arah putranya.
"Dimana wanita yang ingin kamu nikahi? Kamu bilang akan membawanya ke sini, yang kamu maksud bukan Bima kan? Dia kan bukan perempuan?" Mendengar ucapan ayahnya Aiman, Bima seketika membulatkan matanya, merasa tak menyangka saja namanya jadi dibawa-bawa padahal ia sendiri tidak tahu apa-apa.
"Kok jadi aku, Om? Aku kan cuma membantu mengantarkan Aiman," elak Bima tak terima.
"Lalu apa hasilnya? Apa Aiman berhasil membawa wanita itu?"
"Enggak sih, Om." Bima menjawab jujur yang kali ini disenyumi sinis oleh ayahnya Aiman.
"Intinya kamu gagal membawa wanita itu ke rumah ini? Kenapa? Dia enggak menyukaimu?" tanya ayahnya yang kian membuat Aiman kesal namun tak bisa berbuat apa-apa.
"Iya," jawabnya jujur sembari menggaruk lehernya yang tak gatal, tentu saja ia merasa malu pada ayahnya tersebut.
"Jadi kamu tau kan artinya itu apa?" Saat ditanyai hal itu, Aiman justru terdiam karena ia sendiri enggan menerima perjodohannya, rasanya sulit untuk mengucapkan kalimatnya.
"Memangnya apa artinya, Om?" tanya Bima terdengar penasaran, laki-laki itu terlihat ingin tahu, membuat ayah dan putranya itu merasa jengah dengan tingkahnya itu.
"Karena Aiman enggak berhasil membawa wanita itu, artinya Aiman harus menerima perjodohannya dengan Aisyah." Laki-laki itu menjawab tegas, yang diangguki mengerti oleh Bima, namun tidak dengan Aiman yang terlihat kecewa dengan keputusan ayahnya.
"Terserah Ayah aja, aku dan Bima ke kamar dulu ya? Kami ingin beristirahat," pamit Aiman sopan, meskipun kesal ia tak bisa bersikap lancang pada ayahnya, ia sudah terbiasa menerima meskipun terkadang ayahnya memberinya kesempatan untuk meraih keinginannya.
Sama seperti saat Aiman dengan tegas menolak perjodohannya, ayahnya masih memberinya kesempatan untuk memilih keinginannya, namun sayangnya ia gagal bahkan sebelum berjuang.
"Baiklah, tapi ingat ya! Jam tujuh malam kamu harus sudah siap bertemu dengan calon istri kamu, Ayah enggak mau mendengar alasan apapun untuk membatalkan acaranya."
"Iya, Yah." Aiman menjawab pasrah lalu melangkah pergi ke arah kamarnya bersama dengan Bima yang berjalan di belakangnya.
***
Di panti asuhan, ibu pengurus panti tengah menghubungi Aiman untuk menanyakan mainan yang ia beri untuk anak-anak. Wanita itu tentu sempat terkejut mendengar kedatangannya, terlebih lagi membawa banyak hadiah tanpa sepengetahuannya.
Awalnya ia juga tidak mengerti siapa yang sudah mengirimkan semua itu, namun saat anak-anak menjelaskan laki-laki pemilik kantor besar yang mereka datangi kemarin, di saat itu lah wanita itu paham dengan siapa yang mereka maksud. Itu lah kenapa ia langsung mencari kontak nomornya, dengan cara menanyakan langsung ke promotor yang mengundang panti asuhannya.
"Assalamualaikum," salamnya sopan.
"Waalaikum salam."
"Apa benar ini dengan Pak Aiman?"
"Iya. Ini siapa ya?"
"Ini saya Ibu panti asuhan Kasih Ibu."
"Oh Anda, ada apa ya, Bu?"
"Enggak ada apa-apa, saya cuma memastikan sesuatu hal."
"Iya, apa ada sesuatu yang bisa saya bantu, Bu?"
"Begini, apa benar Pak Aiman yang mengirim banyak mainan ke anak-anak?"
"Benar, Bu. Kenapa? Tidak apa-apa kan jika saya berbagi rezeki dengan mereka?"
"Iya, tapi kenapa tiba-tiba sekali tanpa menghubungi kami lebih dulu?"
"Iya, Bu. Saya minta maaf. Saya cuma ingin mengganti rasa kekecewaan mereka karena masalah makanan di perusahaan kemarin, karena mau bagaimana pun saya juga salah dalam hal ini, terlalu percaya dengan para karyawan saya."
"Sebenarnya kami ini tidak apa-apa kok, Pak. Kenapa harus repot-repot sampai seperti ini, beli banyak mainan dan datang langsung ke panti asuhan kami."
"Saya tidak apa-apa, Bu. Saya ikhlas kok."
"Terus Pak Aiman juga tidak mampir dan menemui saya, malah langsung pulang? Kenapa?"
"Sebenarnya saya juga ingin mampir, tapi setelah sampai di sana, saya justru dihubungi klien untuk segera datang, jadi mau tidak mau saya harus pergi dari panti asuhan Ibu."
"Oh begitu? Padahal ini hari Minggu tapi Pak Aiman ini masih saja sibuk. Ya sudah kalau begitu Ibu tidak mau mengganggu, Pak Aiman pasti lagi sibuk sekarang, Ibu tutup dulu ya teleponnya. Sebelumnya terima kasih ya untuk mainannya, Pak."
"Iya, Bu."
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Itu lah percakapan mereka berdua sampai di detik terakhir, Aiman yang sedang berada di kamarnya bersama Bima sempat terkejut mengetahui ibu panti yang meneleponnya, namun untungnya ia bisa berbicara dengan tenang dan lancar, padahal hatinya sedang tak karuan sekarang.
"Kok langsung dimatikan sih? Kamu enggak tanya tentang kabar itu?"
"Kabar apa maksud kamu?"
"Pura-pura bodoh lagi, ya kabar tentang Icha. Apa benar dia akan menikah dan pergi dari panti asuhan itu?"
"Untuk apa aku menanyakannya? Itu juga bukan urusanku lagi kan sekarang?" Aiman menundukkan kepalanya, ekspresi masih tampak sama, lesu dan kecewa.
"Ya seharusnya kamu memastikan kebenarannya lah," ujar Bima menggebu-gebu, padahal ia tengah bermain PS namun langsung ia hentikan setelah mengetahui Aiman tengah mengobrol dengan ibu pemilik panti asuhan tempat Icha tinggal.
"Apa yang harus dipastikan? Anak-anak panti asuhan itu juga enggak mungkin berbohong kan? Mereka aja berani membuktikannya secara langsung." Aiman membaringkan tubuhnya dengan ekspresi kecewa.
"Benar juga sih. Dan kayanya kamu memang enggak berjodoh dengan cinta pertamamu itu, yang sabar ya." Bima terkekeh pelan lalu melanjutkan game di tangannya, sedangkan Aiman hanya meliriknya dengan perasaan kesal.
Part 08
Malam ini adalah malam di mana Aiman akan dipertemukan dengan Aisyah, meskipun begitu tak membuat laki-laki itu merasa bahagia, bisa dilihat dari ekspresi wajahnya yang dingin dan tenang. Bahkan saat orang tuanya mengajaknya untuk pergi sekarang, yang ia lakukan hanya mengangguk dan berjalan mengikuti mereka di belakang.
"Kita harus cepat ke restoran, enggak boleh datang telat apalagi Aisyah sudah dijemput sopir sejak tadi, dia pasti sedang ada di perjalanan sekarang," ujar Herlambang sembari menyetir mobilnya yang diangguki mengerti oleh istrinya, namun justru didiami oleh Aiman yang tampak tak berminat apa-apa.
"Iya, Yah." Sang istri menjawab sembari tersenyum hangat, namun tidak dengan hatinya yang sebenarnya merasa malas harus berdandan cantik hanya untuk bertemu dengan calon menantunya itu. Sedangkan penampilannya kini cukup dikategorikan mewah, dengan hijab branded yang menutupi kepalanya, tas mahal yang berada di tangannya, dan juga baju muslimah yang tentunya tidak lah murah.
Di sisi lainnya, Aisyah sudah didandani oleh ibu pantinya dengan begitu cantik, dan karena keseringan pakai cadar, wanita itu tampak tak percaya diri melihat wajahnya dirias dengan kosmetik. Tak jarang ia menutupi wajahnya dengan tangannya, merasa malu saja saat polesan-polesan itu menghiasi bibir, pipi, dan juga matanya.
"Ada apa? Kamu enggak suka dengan dandanan Ibu? Padahal Ibu cuma sedikit loh memoles wajah kamu, karena kulit kamu itu sehat dan kamu juga sudah sangat cantik sejak kecil." Wanita itu bertanya dengan lembut saat menyadari Aisyah kurang nyaman didandani.
"Aku suka kok, Bu. Aku cuma kurang nyaman dengan ini, mungkin karena aku terbiasa bercadar selama ini. Apa sebaiknya aku menggunakannya lagi ya, Bu?" tanyanya yang langsung digelengi oleh ibu pantinya.
"Enggak usah, kamu kan akan bertemu dengan calon suami kamu, masa harus pakai cadar? Kamu juga sudah berjanji akan membukanya dan enggak memakainya lagi kan?"
"Iya sih, Bu. Tapi aku enggak percaya diri."
"Kenapa enggak percaya diri? Kamu kan cantik."
"Bagaimana kalau calon suamiku enggak menyukaiku, Bu?"
"Mustahil, saat kamu masih SMA saja banyak kan yang menyukai kamu, padahal kalau dibandingkan dengan yang dulu, kamu lebih cantik sekarang." Wanita itu tersenyum sembari mengusap puncak kepala Aisyah yang tertunduk dengan perasaan keraguan.
"Kamu masih ragu ya? Enggak apa-apa, Aisyah. Nanti lama-lama juga kamu akan terbiasa, jadi biarkan saja seperti ini. Ingat ya, jangan tutupi wajah kamu lagi karena sekarang kamu akan menjadi bagian dari keluarga orang lain, orang-orang akan mengenali kamu sebagai Aisyah yang baru."
"Iya, Bu." Aisyah mengangguk patuh, yang tentu saja membuat ibu pantinya tersenyum, karena ia yang paling tulus meminta kebahagiaan untuknya pada Tuhan dan inilah awal mulanya.
"Kamu bisa pergi sekarang! Sopir dari keluarga Pak Herlambang sudah datang menjemput kamu," ujar wanita itu sembari menarik pelan tangan Aisyah untuk menyuruhnya berdiri lalu menggandengnya dan berjalan pergi ke arah halaman panti asuhan.
"Ibu benar-benar enggak ikut?" tanya Aisyah memastikannya lagi dan lagi, padahal ia sudah menanyakannya beberapa kali.
"Enggak, Aisyah. Akan lebih baik bila Ibu enggak ikut, apalagi anak-anak juga enggak ada yang jaga di sini."
"Ya sudah, aku pergi dulu ya, Bu." Aisyah menatap ke arah ibu pantinya dengan tatapan sendu, namun wanita itu justru mengangguk dan tersenyum saat Aisyah akan masuk ke dalam mobil tersebut.
"Iya, hati-hati ya."
"Iya, Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Setelah saling memberi salam, Aisyah masuk ke dalam mobil lalu membuka kacanya dan melambaikan tangannya pada ibu pantinya. Ekspresinya masih sama seolah belum siap dengan ini semua, terlebih lagi untuk pertama kalinya ia harus membuka cadarnya di luar panti asuhan, rasanya tentu aneh dan kurang nyaman.
***
Di dalam restoran, Aiman dan keluarganya memesan satu ruangan tertutup, di mana hanya ada mereka saja dan juga waiters yang melayani bagian makanan. Untuk saat ini mereka baru saja sampai dan langsung memesan makanan, sedangkan Aiman hanya diam tak bersuara sembari sesekali memainkan game di ponselnya untuk membunuh rasa kebosanannya.
"Assalamualaikum," salam seseorang terdengar penuh keraguan, yang berhasil menjadikannya pusat perhatian Aiman dan juga orang tuanya.
"Waalaikum salam." Mereka menjawab serempak namun tidak dengan Aiman yang tampak dingin dan tenang, laki-laki itu tak menunjukkan ekspresi apa-apa saat calon istrinya itu tiba.
"Aisyah, ayo duduk di sebelah sini." Herlambang atau ayahnya Aiman itu langsung berdiri dan mengarahkan Aisyah untuk duduk di samping seorang laki-laki, yang justru mengejutkan Aisyah yang baru saja melihat wajahnya.
"Dia kan ... Pak Aiman ...." Aisyah bergumam dalam hati, ekspresi wajahnya tak bisa ia tutupi saking terkejutnya ia saat ini.
"Kenapa kamu cuma diam saja, Aisyah? Ayo cepat duduk! Kamu pasti lelah kan di perjalanan ke sini?"
"Eh i-iya, Om." Aisyah mengangguk sopan lalu duduk di kursi di mana Aiman berada di sampingnya.
"Nah, sekarang kamu sudah ada di sini, jadi Om bisa memperkenalkan kamu dengan calon suami kamu yaitu Aiman." Pria paru baya itu tampak sangat bersemangat, berbeda dengan putranya yang berusaha tersenyum namun justru terlihat hambar. Sedangkan Aisyah seketika termenung karena ternyata ia tak salah mengenali seseorang, calon suaminya itu memang laki-laki yang ia kenal.
"Aiman, ini yang namanya Aisyah, dia itu putri dari sahabatnya Ayah."
"Iya, Yah." Aiman menjawab seadanya dan bahkan dengan menundukkan kepalanya, ia tak terlihat senang dan nyaman berada di sana.
"Nah, kalau yang ini istrinya Om, Aisyah, calon mertua kamu. Ayo salaman dulu, kamu belum salaman kan?"
"Iya, Om." Aisyah kembali mendirikan tubuhnya lalu menyalami tangan wanita paruh baya tersebut, yang saat ini pura-pura tersenyum di depannya terutama di depan suaminya.
"Ternyata kamu ini sangat cantik ya?" ujarnya yang disenyumi malu oleh Aisyah, padahal selama di perjalan ke sini ia selalu menutupi wajahnya dengan tangan dan juga hijabnya yang bagian paling bawah, tentu saja karena ia belum terbiasa.
"Aisyah memang sudah cantik dari kecil, pantas kan kalau dinikahkan dengan Aiman?"
"Iya, tentu saja, Yah." Wanita itu menjawab kaku, namun di dalam hati ia tak ingin menyetujuinya karena menurutnya Aisyah bukanlah wanita yang cocok untuk putranya.
"Permisi," sapa pelayan restoran sembari meletakkan banyak makanan di atas meja mereka, semua menu-menu itu tentu terasa enak, membuat siapa saja akan terasa lapar hanya dengan membayangkan rasanya. Namun sayangnya mereka tak terlalu fokus dengan hal itu, terutama Aisyah yang masih berusaha menenangkan hatinya yang berdebar tak karuan.
Bagaimana tidak? Jika ia saja baru tahu calon suaminya ternyata Aiman, laki-laki dermawan yang sudah dua kali mengundang panti asuhannya untuk acara santunan. Sebagai calon istrinya, Aisyah tentu saja merasa bahagia, selain karena laki-laki itu juga baik, wajahnya juga dikategorikan tampan dengan tubuh tinggi dan gagah.
"Ayo, Aisyah. Silakan dimakan makanannya, jangan sungkan-sungkan ya." Herlambang tersenyum ke arah Aisyah dan menyodorkan piring untuknya yang sudah berisikan nasi.
"Iya, Om. Terima kasih."
"Aiman, kenapa sejak tadi kamu cuma diam? Ayo, kamu juga harus makan!" ujar ayahnya yang hanya diangguki olehnya sembari mengambil piring berisikan nasi yang disodorkan padanya.
"Iya, Yah." Aiman menjawab seadanya lalu meletakkan ponselnya di dalam sakunya, sejak tadi yang laki-laki itu lakukan memang cuma diam sembari menatap ke layar ponselnya, entah kenapa hatinya seolah tak ingin memperbolehkannya menatap ke arah Aisyah, padahal wanita itu adalah calon istrinya. Entahlah, namun yang pasti Aiman terus berusaha menghindarinya dan mengabaikannya, ia tak akan membiarkan matanya bertemu dengan mata Aisyah.
"Aisyah," panggil Herlambang yang langsung ditatap tanya oleh si pemilik nama dan menghentikan aktivitas makannya.
"Iya, Om."
"Bagaimana kalau kamu tinggal di rumahnya Om saja? Di sana masih ada kamar yang bisa kamu pakai."
"Maksud Ayah apa sih? Kan mereka belum menikah, Yah. Bunda enggak mau loh kalau ada yang salah paham dengan hubungan mereka." Istrinya menyahut lembut sebelum Aisyah menjawab pertanyaan tersebut, padahal kalau diberi pertanyaan seperti itu, ia juga pasti akan menolak dengan cepat.
"Iya, Yah. Kenapa dia harus tinggal di rumah kita? Dia juga kan masih punya keluarga." Kini Aiman yang menyahut, bila didengar dari nada suaranya, laki-laki itu tampak tak suka yang bisa disadari oleh Aisyah.
"Bukan sekarang yang Ayah maksud, tapi nanti seminggu sebelum kalian menikah."
"Tapi kenapa, Yah? Meskipun dia yatim piatu, tapi dia kan masih punya keluarga kan? Masih ada rumah untuk tempat dia tinggal kan?" Aiman menatap dingin ke arah Aisyah yang tertunduk dengan meremas tangannya, jujur saja ia kurang nyaman berada di antara mereka.
"Ayah tau itu, tapi Aisyah ini kan rumahnya jauh, keluarganya juga enggak akan bisa datang di hari pernikahannya."
"Kok bisa? Kenapa? Apa selain dia yatim piatu, keluarganya juga enggak ada yang mau terima dia?" tanya Aiman terdengar kasar untuk Aisyah dengar, membuat bundanya tersenyum mendengar responnya, namun tidak dengan ayahnya yang tampak geram.
"Aiman, jaga ucapan kamu!" tegurnya tegas.
"Aisyah memang yatim piatu, dia enggak punya keluarga lengkap seperti kamu, tapi setelah kalian menikah, keluarga dia ya kita semua." Pria itu berusaha memberi putranya itu pengertian, namun tak membuatnya merasa paham.
"Aku enggak peduli dia punya orang tua atau enggak, punya saudara ataupun enggak, tapi yang pasti aku enggak setuju dia tinggal di rumah kita sebelum hari pernikahan itu tiba, Yah."
"Kenapa? Kasih tau Ayah alasannya? Kalau bisa Ayah terima, Ayah akan pikirkan lagi kedepannya."
"Apalagi? Karena dia orang asing, jadi dia enggak berhak ada di rumah kita." Aiman menunjuk ke arah Aisyah yang tertunduk, di sana ia hampir menumpahkan air matanya namun masih berusaha ia tahan di pelupuknya.
"Iya, Om. Untuk apa aku tinggal di sana? Apalagi kami juga belum menikah?" sahut Aisyah lembut sembari berusaha untuk tersenyum.
"Tapi Aisyah, Om sudah membicarakan ini dengan Ibu kamu dan dia bilang setuju, karena beliau enggak akan bisa datang di acara pernikahan kamu. Apa kamu belum diberitahu itu?"
"Sudah kok, Om. Tapi apa harus aku menginap dulu di rumahnya Om? Kan enggak harus, Om. Aku masih bisa datang di acara pernikahan meskipun sendirian ...." Aisyah menjawab lirih di akhir kalimatnya, karena ia sudah tahu ia tidak akan didampingi siapapun.
"Jangan, Aisyah! Om menyuruh kamu tinggal lebih dulu di rumah kami, itu supaya kamu bisa langsung dipersiapkan dari sana dan juga didampingi dengan saudara-saudara Om lainnya." Pria itu menjawab serius dan tentu saja masuk akal untuk posisi Aisyah yang cuma sebatang kara.
"Memangnya kapan hari pernikahannya, Om? Saya bisa kok datang satu hari sebelum acara itu digelar." Aisyah berusaha bernegosiasi, ia juga tak mau tinggal di rumah mereka terlebih lagi sebelum menikah.
"Dua Minggu lagi," jawabnya yang berhasil mengejutkan semua orang tak terkecuali Aiman dan juga bundanya.
"Dua Minggu lagi, Yah?" tanya Aiman sembari menunjukkan dua jarinya, ekspresi sama juga bundanya tunjukkan.
"Iya, memangnya kenapa? Lebih cepat, lebih baik kan?"
"Tapi, Yah. Dua Minggu itu waktu yang terlalu cepat untuk kami menikah, aku bahkan baru mengenalnya malam ini, lalu bagaimana caranya untuk kami bisa dekat atau semacamnya?" tanya Aiman tak terima dengan jarak pernikahan mereka yang terlalu singkat begitupun dengan sesi perkenalannya, padahal menurut Aisyah mereka sudah saling mengenal sejak satu bulan yang lalu, namun pada saat itu ia masih memakai cadarnya, mungkin karena itu Aiman tak mengenalinya.
"Itu lah kenapa Ayah ingin Aisyah tinggal di rumah kita sebelum kalian menikah, dengan begitu kalian bisa lebih saling mengenal kan?"
"Ya tapi ...."
"Enggak ada tapi-tapian, Ayah sudah menyiapkan semuanya termasuk tanggal pernikahan kalian, jadi jangan banyak alasan, kamu dan Aisyah akan menikah di hari yang sudah Ayah tetapkan!" Pria itu menjawab tegas, yang kian membuat Aiman kecewa dan marah.
"INI SEMUA GARA-GARA KAMU, HIDUPKU YANG TENANG SEKARANG JADI HANCUR. AKU BENAR-BENAR MEMBENCI MU." Aiman menatap marah dengan jari telunjuk ke arah Aisyah, membuat wanita itu ketakutan dan merasa bersalah.
"Aiman, mau ke mana kamu?" tanya sang ayah saat Aiman melangkah keluar dari ruangan, namun putranya itu hanya diam dan mengabaikannya.
"Biar Bunda saja yang menyusulnya, Yah," sahut istrinya sembari menyentuh pundaknya.
"Iya, bujuk dan nasehati dia!" jawabnya yang diangguki mengerti oleh istrinya.
Part 09
Di balik meja yang berada di depannya, Aisyah mengepalkan tangannya menahan rasa sesak di dadanya, air mata yang sudah terkumpul di pelupuknya akhirnya tumpah juga, Aisyah menangis di kursinya setelah calon suami dan calon ibu mertuanya pergi dari sana.
"Aisyah, tolong maafkan Aiman ya? Dia itu enggak berniat membentak kamu." Herlambang duduk dan menenangkan gadis itu, namun sepertinya masalahnya tak semudah itu.
"Bagaimana kalau dibatalkan saja rencana pernikahan ini, Om? Karena sepertinya Pak Aiman terpaksa menerimanya." Aisyah menjawab sopan setelah menghapus air mata dari wajahnya.
"Kenapa kamu memanggilnya dengan sebutan Pak? Panggil saja dengan sebutan Mas Aiman, dia kan calon suami kamu."
"Tapi, Om. Pak, eh maksud saya Mas Aiman kan tidak menyukai saya, apa bisa pernikahan ini dilanjutkan? Karena sepertinya ini akan sulit dilakukan."
"Kamu tenang saja, apapun yang terjadi kalian pasti akan menikah, Aisyah." Pria itu berusaha meyakinkannya, namun Aisyah tentu merasa tak enak hati dengan calon suaminya.
"Jangan terlalu dipaksakan Om, saya benar-benar tidak apa-apa andai saja pernikahan ini dibatalkan."
"Enggak akan, Om bisa pastikan itu. Lebih baik kita tunggu saja Aiman kembali, Om yakin bundanya bisa membujuknya."
"Iya, Om." Aisyah hanya mengangguk patuh, tanpa bisa berbuat apapun.
Di sisi lainnya, bundanya Aiman berlari mengikuti langkah putranya yang begitu cepat keluar dari restoran, namun untungnya ia bisa menarik tangannya dan menghentikan langkahnya.
"Aiman," panggilnya.
"Ada apalagi, Bunda? Kalau Bunda ke sini cuma untuk membujukku, lebih baik Bunda pergi aja, karena aku enggak mau kembali lagi ke sana." Aiman berujar serius sembari menunjuk ruangan tersebut.
"Kita jangan membahasnya di sini, sekarang kamu ikut Bunda keluar!" ujarnya sembari menarik lengan putranya ke arah luar restoran.
"Aiman," panggil wanita itu dengan penuh kelembutan, setelah menghentikan langkahnya di tempat parkiran.
"Bunda enggak akan membujuk kamu untuk kembali ke sana, jadi kamu tenang saja ya."
"Lalu untuk apa Bunda mengikutiku kalau bukan karena ingin membujukku? Sudahlah, Bunda. Aku ini sudah dewasa, aku bisa menentukan sendiri mana wanita yang pantas aku nikahi, jadi aku enggak perlu dijodohkan apalagi dengan wanita yang belum terlalu aku kenal."
"Iya, Bunda mengerti kok maksud kamu. Bunda juga enggak setuju dengan perjodohan kalian, malahan Bunda ke sini karena Bunda mau bantu kamu."
"Bantu bagaimana, Bunda?" tanya Aiman tak mengerti, yang kali ini bundanya senyumi.
"Lebih baik sekarang kamu pergi aja dari sini, enggak usah pulang dulu ke rumah, kamu bisa menginap di rumah Bima atau hotel sekalian, yang pentingkan jangan pulang." Wanita itu menjawab serius.
"Memangnya kenapa aku enggak boleh pulang, Bunda?"
"Karena kalau kamu pergi dari sini dan enggak pulang ke rumah, otomatis Ayah kamu akan bertanya kamu di mana kan? Nah, di saat itu lah Bunda akan bilang kalau kamu enggak akan pulang sebelum pernikahan kalian dibatalkan, bagaimana?" ujar wanita itu sembari tersenyum sinis, namun justru ditatap ragu oleh putranya tersebut.
"Apa Bunda yakin cara itu akan berhasil? Bunda tau kan Ayah seperti apa, dia enggak akan mudah goyah hanya dengan ancaman seperti ini."
"Kenapa enggak? Meskipun Ayah kamu itu pendiriannya kuat, tapi dia selalu berusaha menempatkan diri seolah ada di posisi kamu kan? Itu lah kenapa Ayah kamu sering memberi kamu kesempatan untuk mencapai keinginan kamu sendiri, termasuk perjodohan ini. Kamu enggak mau menikahi wanita itu, Ayah kamu pasti juga akan mengerti kalau sampai kamu berani melakukan ini." Sebenarnya Aiman tak yakin dengan kata-kata bundanya, namun sepertinya ia harus mencobanya.
"Aku mengerti, Bunda. Sekarang apa yang harus aku lakukan?"
"Kamu pergi saja dari sini dan menginap di rumah Bima dulu ya? Masalah Ayah, Bunda yang akan membereskannya."
"Iya, Bunda. Terima kasih, kalau begitu aku pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Wanita itu tersenyum puas melihat putranya pergi dari sana, karena sepertinya ia akan dengan mudah menggagalkan perjodohannya. Dengan begitu putra kesayangannya itu tidak perlu menikah dengan wanita yang tidak jelas asal-usulnya, menurutnya anak-anaknya pantas mendapatkan pasangan sederajat, yang berpendidikan tinggi dan juga kaya.
"Di mana Aiman? Apa dia masih di luar?" tanya suaminya saat wanita itu masuk kembali ke ruangannya.
"Enggak, Yah. Bunda sudah berusaha membujuknya, tapi Aiman masih bersikeras untuk pergi dari sini."
"Pergi ke mana dia?"
"Bunda juga kurang tau, Yah. Mungkin dia sudah pulang ke rumah, bagaimana kalau kita pulang saja sekarang?"
"Baiklah, kita akan pulang sekarang. Anak itu harus aku kasih pelajaran, awas saja saat aku sudah sampai rumah." Herlambang menggeram marah yang tentu saja membuat istrinya panik dengan responnya.
"Tolong jangan terlalu kasar ke Aiman, Yah. Dia seperti ini kan karena dia enggak mau dijodohkan, sebagai orang tua kita seharusnya mengerti dan menghargai keputusannya." Wanita itu buru-buru menenangkan suaminya, ia tidak mau putranya terkena imbasnya.
"Mengerti kamu bilang? Dia itu enggak tau apa-apa, yang dia pikirkan itu cuma perasaannya sendiri. Tapi sudahlah, kita akan pulang sekarang," jawabnya dengan berusaha untuk tetap tenang, meskipun sebenarnya hatinya tengah memanas sekarang.
"Aisyah, Om minta maaf ya atas kejadian malam ini, Om enggak menyangka semua jadi seperti ini." Herlambang berujar ke arah Aisyah yang sedari tadi diam, mimik wajahnya tampak merasa bersalah, namun perasaan yang sama juga Aisyah rasakan.
"Om enggak perlu minta maaf, saya benar-benar enggak apa-apa. Andai nanti perjodohan ini dibatalkan, saya tidak masalah. Jadi saya mohon jangan bertengkar dengan putra Om, dia juga berhak memilih jalan hidupnya sendiri." Aisyah mendirikan tubuhnya dan menjawab dengan sopan yang kian membuat pria itu merasa bersalah.
"Kita bahas lagi masalah ini lain kali ya? Sekarang kamu kembali ke mobil tadi, sopir akan mengantarkan kamu lagi."
"Iya, Om. Saya permisi dulu, assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Herlambang menghembuskan nafas panjangnya, menatap iba pada Aisyah yang begitu sabar menghadapi masalah, padahal hidupnya selama ini sudah banyak menderita, namun tak membuatnya menjadi pribadi yang buruk atau semacamnya.
"Kita juga harus pergi sekarang," ujarnya pada istrinya setelah meletakan uang lima ratus ribu di atas meja.
"Iya, Yah."
***
Di sisi lainnya, Aiman melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi lalu memarkirkannya di depan rumah Bima. Laki-laki itu memang sengaja datang ke rumah sahabatnya, selain karena ia tak memiliki tujuan lainnya, ia tentu ingin menceritakan keluh kesahnya pada sahabatnya.
"Tumben malam-malam kamu datang ke sini, Man? Ada apa?" tanya Bima saat membuka pintu kamarnya dan mendapati Aiman berada di depannya.
"Enggak ada apa-apa, malam ini aku menginap di sini ya?" jawab Aiman sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
"Lah tumben? Kenapa? Kamu lagi ada masalah?"
"Iya."
"Masalah apa?"
"Aku bertengkar dengan ayahku." Aiman membaringkan tubuhnya di atas ranjang, sedangkan Bima tampak penasaran di tempatnya berdiri sekarang.
"Bertengkar kenapa?"
"Ini semua gara-gara Aisyah, gara-gara dia hubunganku dengan Ayahku jadi runyam."
"Aisyah? Wanita yang dijodohkan dengan kamu? Kok bisa gara-gara dia?" Bima mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang dengan pandangan yang tak terlepas dari wajah Aiman.
"Kamu tau, sebenarnya malam ini aku dipertemukan dengan wanita itu, tapi aku pergi dari sana karena aku enggak mau menuruti keinginan ayahku, yang ingin aku menikahinya dua Minggu lagi." Aiman menunjukkan dua jarinya, yang berhasil mengejutkan sahabatnya, Bima.
"Apa? Dua Minggu lagi? Yang benar aja, kalian kan baru kenal. Tapi tunggu, tadi kamu bilang kamu dipertemukan dengan wanita itu? Itu artinya kamu sudah tau wajahnya seperti apa?"
"Tentu saja, aku enggak akan pernah bisa melupakan wajahnya, karena dia hidupku jadi seperti ini."
"Ini yang aku takutkan, kamu jadi melampiaskannya ke wanita itu, padahal yang merencanakan perjodohan kalian itu ayah kamu sendiri."
"Apa menurut kamu, dia enggak punya salah dalam masalah ini? Padahal kalau dia enggak ada ...."
"Apa? Kalaupun wanita itu enggak ada, kamu tetap enggak bisa memiliki Icha kan? Sudahlah, terima aja perjodohan kalian, kali saja ini cara Allah untuk menyembuhkan patah hatimu," potong Bima cepat.
"Kok kamu jadi bawa-bawa Icha sih? Dia enggak salah apa-apa, jangan sangkut-pautkan dia ke dalam masalahku!" Aiman tampak tak terima, yang tentu saja membuat Bima menatapnya tak percaya.
"Sudahlah, kamu memang sulit dinasehati kalau sedang kalut seperti ini, semua ucapanku enggak akan bisa buat kamu mengerti. Lebih baik sekarang kamu istirahat, aku juga akan tidur." Bima menaiki ranjangnya, ia berniat membaringkan tubuhnya di sana, sedangkan Aiman turut melakukan hal yang sama, namun dering telepon mengganggu aktivitasnya.
"Siapa yang telepon?" tanya Bima penasaran.
"Ayahku." Aiman menatap layar ponselnya, ia tampak ragu untuk menerima teleponnya.
"Apa kamu akan mengangkatnya?"
"Aku enggak tau."
"Angkat aja, kali aja ayah kamu sudah berubah pikiran."
"Enggak akan semudah itu dan juga sepertinya ayahku sudah tau kalau aku enggak pulang ke rumah, makanya dia menelepon."
"Nah kan, angkat aja! Dari pada nanti masalahnya tambah besar," bujuk Bima yang Aiman pikir ada benar juga.
"Iya, aku akan mengangkatnya." Aiman menekan tombol hijau di layar ponselnya lalu meletakkan benda pipih itu di dekat telinganya.
"Halo, Yah."
"DI MANA KAMU SEKARANG?" tanya ayahnya dari seberang sana, bila didengar dari nada suaranya sepertinya pria itu sedang marah besar sekarang.
"Di rumah Bima."
"PULANG SEKARANG ATAU AYAH TALAK BUNDA KAMU MALAM INI JUGA," ancamnya yang berhasil mengejutkan Aiman begitupun dengan Bima yang masih bisa mendengar suaranya.
"Iya, Yah. Aku akan pulang sekarang." Aiman tentu saja merasa takut dan langsung buru-buru turun dari ranjangnya, sedangkan Bima masih syok di tempatnya dengan membekap mulutnya yang menganga.
"Aku pulang dulu ya, assalamualaikum."
"Wa-walaikum salam." Bima menjawab kaku, ia masih belum percaya dengan kejadian yang baru dilihatnya tersebut.
***
Herlambang dan juga istrinya langsung pulang ke rumah setelah dari restoran, namun sesampainya ia di halaman rumahnya, ia tak mendapati mobil putranya ada di sana. Pria itu tentu merasa geram, ia langsung keluar dari mobilnya untuk memastikannya lalu pergi ke kamar putranya, sedangkan istrinya mengikutinya di belakang.
"Aiman, dia benar-benar enggak pulang. Berani sekali dia menantang ku?" ujarnya penuh amarah yang ditatap gelisah oleh istrinya.
"Yah, Aiman seperti kan juga karena dia punya jalan hidupnya sendiri, kita sebagai orang tua janganlah terlalu memaksanya." Wanita itu berusaha menenangkannya, ia ingin mempengaruhi suaminya agar tidak jadi menjodohkan putranya.
"Bagaimana kalau kita batalkan saja perjodohan mereka, toh enggak ada yang dirugikan kan dalam masalah ini? Aisyah juga terlihat enggak mempermasalahkannya, begitupun dengan Aiman, Yah."
"Apa kamu bilang? Dibatalkan? APA KAMU TAHU, AKU MENUNGGU WAKTU INI SUDAH PULUHAN TAHUN? DAN DENGAN MUDAHNYA KAMU BILANG SEPERTI INI?" teriaknya marah yang kian membuat istrinya takut untuk menjawabnya.
"KAMU ITU ENGGAK TAU APA-APA SAMA SEPERTI AIMAN, KALIAN SEMUA ENGGAK TAU APA-APA," geramnya dengan menunjuk wajah istrinya lalu mengambil ponsel yang berada di sakunya, ia akan menghubungi putranya itu supaya pulang ke rumah dengan segera.
"Halo, Yah."
"DI MANA KAMU SEKARANG?" sentaknya marah dengan nafas naik turun di dalam dadanya.
"Di rumah Bima."
"PULANG SEKARANG ATAU AYAH TALAK BUNDA KAMU MALAM INI JUGA," teriaknya lagi lalu mematikan sambungan teleponnya, yang kali ini berhasil mengejutkan istrinya yang berada di sampingnya.
"Yah, kamu enggak serius kan mengatakan itu? Ayah cuma menggertak Aiman aja kan supaya dia mau pulang?"
"Apa menurut kamu, aku terlihat seperti ingin menggertak? Aku bahkan enggak pernah seserius ini saat kita ada masalah kan?" tanyanya dengan tatapan tajam yang begitu mengintimidasi.
"Jadi jangan pernah coba-coba mempengaruhiku untuk menggagalkan perjodohan Aiman dengan Aisyah!" Pria itu terlihat sangat serius dan geram, seumur-umur istrinya bersamanya, ia tak pernah merasa di posisi sekarang karena hampir tidak pernah mereka bertengkar seperti sekarang.
Part 10
Setibanya Aiman di rumah, ia turun dari mobilnya lalu berjalan cepat ke arah rumahnya dan masuk ke dalamnya. Sesampainya ia di sana, ayah dan bundanya sudah menunggunya di ruang tamu tepatnya di sofa. Melihat tatapan mereka terutama ayahnya, Aiman merasa tak tenang, jantungnya berdebar tak karuan.
"Assalamualaikum," salamnya sopan lalu duduk di sofa yang berhadapan dengan orang tuanya.
"Waalaikum salam." Hanya bundanya yang menjawabnya, sedangkan ayahnya tampak tak bergeming di tempatnya dengan mempertahankan tatapan yang sama.
"Ayah enggak mau berbelit-belit lagi, karena Ayah pikir kamu sudah enggak bisa diarahkan secara baik-baik." Pria paru baya itu berujar dengan tenang, namun justru terdengar menakutkan untuk Aiman dan juga bundanya.
"Ayah akan memberi kamu dua pilihan, dan kamu harus memilih salah satunya!" ujarnya lagi sembari menunjukkan dua jarinya, yang ditatap bingung oleh Aiman sedangkan yang bundanya lakukan hanya diam tanpa berani menjawab.
"Kamu pilih mana, kamu menikahi Aisyah atau Ayah menceraikan Bunda?" lanjutnya yang kali ini berhasil mengejutkan mereka, ibu dan anak itu sama-sama membulatkan matanya setelah mendengar pilihan yang ayahnya tawarkan.
"Apa Ayah yakin memberiku dua pilihan itu? Andai aku enggak mau menikahi wanita itu, apa Ayah tega menceraikan Bunda?" tanya Aiman yang justru ditatap tenang oleh ayahnya.
"Kenapa harus enggak tega? Bunda bisa ikut dengan kamu kan kalau kami bercerai? Sekarang kamu juga sudah bekerja, begitupun dengan Ahsan, dia juga sudah mulai mandiri dan bahkan sedang menjalani magangnya di luar kota." Herlambang menuturkan rencananya andai memang harus terjadi perceraian dengan istrinya.
"Kalian juga bisa tetap tinggal di sini, sedangkan Ayah akan pergi membawa Ana. Karena dia masih kuliah, dia masih butuh biaya dari Ayah." Herlambang kembali melanjutkan ucapannya, yang kian membuat Aiman tak percaya ayahnya bisa memutar keadaan, bahkan hanya untuk memikirkan keinginannya saja sepertinya tidak ayahnya lakukan.
"Lalu apa yang akan Ayah lakukan dengan Aisyah? Kenapa Ayah begitu membelanya sampai rela berpisah dengan Bunda?"
"Ayah akan mengangkat Aisyah menjadi putri Ayah sendiri."
"Ayah rela mengorbankan Bunda, aku, dan Ahsan hanya untuk dia? Wanita yang bahkan enggak punya hubungan darah apapun dengan Ayah?" tanya Aiman tak percaya.
"Saat Aisyah masih kecil, Ayah sudah meminta ke bunda kamu untuk mengadopsi Aisyah, tapi bunda kamu menolak dengan banyak alasan. Ayah menurutinya, karena Ayah berpikir kamu dan Ahsan masih sangat kecil saat itu, Ayah bertanggung jawab untuk membesarkan kalian dan memberi kalian yang terbaik. Tapi sekarang kalian sudah besar, sudah mandiri, bisa menjaga bunda kalian dengan baik, sekarang giliran Ayah yang melindungi Aisyah karena kamu enggak akan bisa melakukannya."
"Wanita itu hanya putri dari sahabat kamu, Yah. Apa harus kamu melangkah sejauh ini hanya untuk dia? Kamu bahkan dengan tegas akan menceraikan aku andai Aiman enggak mau menikahinya." Istrinya bertanya dengan nada lemah, matanya bahkan sudah berkaca-kaca mendengar penuturan suaminya.
"Aku sudah pernah bilang kan, aku memiliki alasan yang kuat, kenapa aku harus menjaga dan melindungi Aisyah. Sekarang tinggal kamu saja yang pilih, Aiman yang menjaganya atau aku yang melakukannya? Saat aku ingin mengadopsinya dan melindunginya, kamu yang menentangnya, sekarang aku beri tanggung jawab itu pada Aiman, kamu juga enggak menyetujuinya. Jadi akan lebih baik kan kalau kita bercerai, dengan begitu aku bisa menjaga Aisyah dan Aiman yang menjaga kamu." Herlambang menatap serius pada istrinya yang terdiam, seolah bimbang dengan pilihan yang suaminya berikan.
"Apa kalau aku menikahi Aisyah, Ayah akan tetap bersama Bunda?" tanya Aiman kali ini.
"Tentu saja, karena tugas Ayah memastikan Aisyah baik-baik saja dan hidup bahagia. Kenapa Ayah menjodohkannya dengan kamu, karena Ayah yakin cuma kamu yang bisa menjaganya."
"Iya, aku akan menikahi dia, Ayah atur saja semuanya. Tapi tolong, jangan ceraikan Bunda apalagi meninggalkan kami." Aiman menjawab terpaksa, tentu saja ia tidak mau keluarganya hancur hanya karena masalah seperti ini.
"Bagus." Herlambang menjawab singkat lalu pergi dari sana, meninggalkan istri dan putranya yang terdiam di tempatnya, keduanya tentu tidak menyangka ia bisa membalikkan posisinya.
"Maafkan Bunda, Man. Karena Bunda, kamu jadi harus menikahi wanita itu, Bunda enggak bisa berbuat apa-apa untuk membela kamu." Wanita itu menjawab menyesal yang langsung digelengi oleh putranya, dengan merengkuh pundaknya, Aiman berusaha terlihat baik-baik saja.
"Aku enggak apa-apa bila harus menikahinya, Bunda, asalkan rumah tangga Bunda dan Ayah baik-baik saja." Aiman memeluk bundanya yang justru menangis mendengar ucapannya, keduanya berpelukan menyalurkan rasa kesedihan yang menyelimuti keduanya.
***
Setelah turun dari mobil yang mengantarkannya, Aisyah berjalan menuju kamarnya, di mana suasananya sudah sangat sepi, sepertinya anak-anak panti asuhan sudah tertidur pulang sekarang. Namun ada satu wanita yang masih terjaga di depan televisinya, yang seketika Aisyah senyumi setelah melihatnya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
"Kamu sudah pulang, Aisyah?" tanyanya sembari membangunkan tubuhnya.
"Sudah, Bu. Ibu sendiri kenapa belum tidur, ini kan sudah malam, waktunya istirahat." Aisyah menghampirinya dan merengkuh tangannya lalu mengajaknya untuk kembali duduk di sofa.
"Ibu kepikiran kamu, jadi Ibu susah tidur. Bagaimana acaranya? Apa semuanya berjalan lancar?" tanyanya terdengar khawatir yang disenyumi oleh Aisyah.
"Kurang lancar sih, Bu. Tapi aku enggak apa-apa kok, dan mungkin laki-laki yang menjadi calon suamiku itu yang kenapa-kenapa."
"Maksudnya bagaimana? Memangnya apa yang sudah terjadi?"
"Apa Ibu tau siapa calon suamiku?" tanya Aisyah serius, yang digelengi oleh ibu pantinya.
"Ibu enggak tau, Pak Herlambang enggak pernah memberitahu Ibu tentang ciri-ciri wajahnya."
"Ternyata calon suamiku itu Pak Aiman, Bu. Direktur utama di perusahaan yang kita datangi kemarin, dia lah putra pertama Pak Herlambang yang kita kenal."
"Apa? Kok bisa?"
"Aku juga enggak tau, Bu."
"Pak Aiman itu laki-laki yang sangat baik, wajahnya juga ganteng kan? Kamu beruntung bisa mendapatkan suami seperti dia," ujar wanita itu terdengar antusias, berbeda dengan Aisyah yang justru terlihat sebaliknya.
"Kenapa kamu cuma diam aja? Apa yang Ibu katakan benar kan? Lihat aja cara dia memperlakukan kita, memperlakukan adik-adik kamu juga, dia begitu baik kan?" lanjutnya yang kian membuat Aisyah tak nyaman terlebih lagi mengiyakan.
"Iya sih kayanya, Bu."
"Kok kayanya? Pak Aiman kan memang laki-laki yang baik, jarang ada kan perusahaan yang mau memberi santunan pada anak yatim piatu? Pasti yang dilakukan perusahaan itu juga atas permintaan Pak Aiman, itu artinya dia enggak pernah lupa bersedekah."
"Oh ya apa kamu tau, tadi pagi Pak Aiman sempat datang ke sini loh. Dia membelikan anak-anak banyak mainan, sebagai tanda permintaan maafnya atas kejadian kemarin. Dia laki-laki yang baik kan? Kamu sangat beruntung bisa menjadi istrinya, Ibu akan bahagia kalau kamu bersama Pak Aiman." Wanita itu terus memuji Aiman, yang menurutnya akan pantas untuk Aisyah karena keduanya adalah anak-anak yang baik.
"Begitu ya, Bu? Tapi sayangnya dia enggak menyukaiku, atau mungkin sekarang dia sedang membenciku." Aisyah menjawab ragu-ragu, yang tentu saja membuat ibu pantinya merasa bingung.
"Kenapa bisa begitu? Apa kamu sudah menyinggung perasaan Pak Aiman?"
"Enggak kok, Bu. Aku aja enggak tau salahku apa, tapi sikap Pak Aiman seperti membenciku."
"Memangnya apa yang sudah dia katakan ke kamu sampai kamu berpikir Pak Aiman membenci kamu? Apa itu cuma pemikiran kamu sendiri?"
"Sebenarnya Pak Aiman itu enggak setuju dijodohkan, Bu. Dia terlihat enggak nyaman selama di sana, sampai pada akhirnya dia sedikit memberontak lalu bertengkar dengan Pak Herlambang. Lalu dia berteriak ke arahku dan mengatakan seperti ini, INI SEMUA GARA-GARA KAMU, HIDUPKU YANG TENANG SEKARANG JADI HANCUR. AKU BENAR-BENAR MEMBENCI MU." Aisyah meragakan apa yang Aiman katakan pada saat itu, membuat ibu pantinya terkejut dan membekap mulutnya.
"Apa kamu yakin Pak Aiman seperti itu, Aisyah? Ibu sampai enggak bisa membayangkannya, karena setahu Ibu, Pak Aiman itu laki-laki yang sangat baik loh."
"Aku juga enggak mau mempercayainya, Bu. Tapi mata dan telingaku ini masih sangat normal, aku bisa melihat dan mendengar dengan jelas kata-katanya yang kasar."
"Apa Pak Aiman tau kalau kamu itu pengurus dari panti asuhan ini? Maksud Ibu, apa kamu enggak memberitahunya kalau kamu wanita bercadar yang dia kenal?"
"Untuk apa, Bu? Itu semua enggak akan mengubah sikapnya kan? Aku malah bersyukur dia enggak tau kalau aku wanita bercadar itu, karena aku jadi bisa tau kepribadiannya yang buruk." Aisyah menjawab dengan tegas yang tentu saja membuat ibu pantinya merasa kecewa, namun juga bingung harus berbuat apa.
"Aisyah, sebaiknya kamu jangan terlalu terburu-buru menilai Pak Aiman laki-laki yang buruk! Kali saja tadi dia sedang ada masalah besar, makanya dia enggak sengaja bersikap kasar."
"Sebesar apapun masalahnya, bukan berarti dia bisa melampiaskannya ke orang lain kan, Bu? Apalagi dengan orang yang baru dia kenal? Ibu sendiri yang selalu mengajarkan aku untuk selalu menjaga sikapku ke semua orang, bahkan di saat aku merasa terpuruk sekalipun." Aisyah terlihat tidak setuju dengan perkataan ibu pantinya, sepertinya ia memang sedang kecewa sekarang.
"Apa Ibu juga tau, setelah Pak Aiman mengatakan itu dia langsung pergi dari sana dan enggak kembali lagi apalagi minta maaf sama aku. Ibu bisa menanyakannya langsung ke Pak Herlambang, kalau Ibu enggak percaya dengan apa yang aku katakan. Sekarang aku mau tanya ke Ibu, apa seperti itu laki-laki yang baik? Yang dengan seenaknya membentak perempuan tanpa tau kesalahannya apa? Aku sendiri sampai enggak bisa membayangkan bagaimana hidupku setelah menikah dengannya? Pasti akan lebih menderita." Mendengar penuturan Aisyah, Ibu pantinya seketika terdiam sembari menghela nafas panjang.
"Jadi apa yang ingin kamu lakukan sekarang?"
"Aku ingin membatalkan perjodohan itu, Bu. Aku enggak mau menikah dengan Pak Aiman, dia laki-laki jahat."
"Lalu bagaimana dengan Pak Herlambang? Beliau pasti kecewa dengan keinginan kamu ini."
"Ibu bisa mengatakannya secara baik-baik, kalau aku enggak bisa menikah dengan Pak Aiman."
"Aisyah. Sejak kamu tinggal di panti asuhan ini, Pak Herlambang lah yang memenuhi semua kebutuhan kamu termasuk biaya sekolah dan kuliah kamu. Enggak cuma kamu aja, beliau juga membantu adik-adik kamu yang lain supaya juga bisa merasakan bangku sekolah meskipun cuma sampai di SMA. Tapi untuk kamu, Pak Herlambang berpesan kalau kamu harus dikuliahkan dan mendapatkan pendidikan yang terbaik." Wanita itu sempat terdiam, lalu kembali berbicara dengan penuh kehati-hatian.
"Setelah semua yang beliau lakukan, apa kamu yakin ingin mengecewakannya, Aisyah?" lanjutnya yang berhasil mendiamkan Aisyah di saat itu juga, perasaannya mulai dilema antara hatinya atau rasa balas budinya.
"Ibu tau Pak Aiman sudah sangat mengecewakan kamu, tapi apa kamu juga harus mengecewakan Pak Herlambang? Dia sudah banyak berkorban untuk kamu, apa kamu enggak berniat membalas sedikit saja pengorbanannya?" tanyanya kali ini yang berhasil membuat hati Aisyah luluh.
"Tapi bagaimana kalau Pak Aiman masih bersikeras ingin membatalkan perjodohan kami, Bu? Apa aku masih harus di sana dan menikah dengannya? Aku kan juga wanita, Bu. Aku juga memiliki harga diri yang selama ini aku jaga, apa membalas kebaikan Pak Herlambang harus merendahkan martabatku juga?"
"Bagaimana kalau kita tunggu saja kabar selanjutnya? Andai perjodohan kalian memang dibatalkan, kamu enggak perlu menikah dengan Pak Aiman. Tapi jika yang terjadi sebaliknya, apa kamu bisa membalas kebaikan Pak Herlambang dan menikah dengan putranya?" tanya wanita itu memastikan yang mau tidak mau Aisyah angguki, meskipun sebenarnya hatinya sulit untuk menerimanya lagi.
"Iya, Bu. Insyaallah." Aisyah menjawab dengan rasa terpaksa, yang berhasil mengukir senyum di bibir ibu pantinya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
