
"A-apa kamu bilang? Kamu hamil? Tapi Rio bilang, kamu mandul kan? Itu lah kenapa kalian belum punya anak sampai sekarang, bahkan hal itu juga yang membuat Rio berpikir untuk menyelingkuhi kamu." Adnan.
"Itu berarti ... ini anak kamu ...." Andini.
Part 09
Andini mengepalkan kedua tangannya, saat matanya melihat ke arah lelaki dan perempuan yang sangat dikenalnya. Mereka tampak sangat mesrah dengan tangan saling bertautan satu sama lain, mereka adalah Rio dan Sinta, suami dan juga sahabat baiknya.
Hampir semalaman Andini tidak bisa tidur memikirkan hubungan antara suami dan sahabatnya itu, ia sangat berusaha keras untuk tidak percaya, hingga pada akhirnya tubuhnya melemah. Andini tidak masak, dan bahkan tidak membersihkan rumah, yang ia lakukan hanya merenung dan bertanya-tanya kenapa sahabatnya itu tega melakukan semua itu padanya.
Sampai pada akhirnya Andini berpikir untuk membuktikannya sendiri, Andini pergi ke kantor suaminya di jam pulang, dan apa yang ia lihat sekarang benar-benar membuatnya terkejut sekaligus syok berat.
Air matanya bahkan tidak berhenti mengalir, padahal Andini sudah berusaha menghapusnya agar tidak terlalu kentara, namun rasa sesak di dadanya begitu menyiksanya, hingga ia tidak tahan untuk tidak menangisinya.
"Sinta. Kenapa? Kenapa harus sampai seperti ini? Aku pikir, aku sahabat baikmu, tapi kamu malah mengkhianatiku?" Andini tersenyum miris, karena pada kenyataanya ia tak pernah berharga di mata Sinta, padahal Andini selalu menganggap Sinta adalah saudara dan bahkan keluarganya. Namun sepertinya tidak untuk wanita itu, kalau memang iya, perselingkuhan itu pasti tidak akan pernah ada.
Andini menghapus air matanya, berusaha berpaling agar tidak dikenali, saat mobil yang membawa Rio dan Sinta itu melaju pergi. Andini menunduk wajahnya, air matanya kembali tumpah, tubuhnya juga terasa lemah hingga Andini serasa tidak sanggup untuk menopangnya.
Tak lama, Andini pergi dari sana, ia berniat pulang ke rumah. Bertepatan dengan Adnan yang baru saja keluar, sayangnya lelaki itu tidak menyadari kehadiran Andini di sana.
"Andini pasti tidak akan ke sini, tadi pagi saja tubuhnya terlihat sangat lemah. Aku harap, dia beristirahat dengan baik hari ini." Adnan bergumam penuh harap lalu menatap ke arah ponsel yang berada di tangannya, ia berniat memberitahukan foto Rio dan Sinta ke Andini nantinya.
***
Adnan berjalan masuk ke dalam rumah sahabatnya, setelah pulang dari kantor tempatnya bekerja. Sedangkan di sofa, Andini tengah menyenderkan tubuh dan kepalanya, ekspresinya juga tampak putus asa.
Adnan yang menyadarinya itu sempat terdiam, sampai pada akhirnya ia melangkah untuk menghampiri Andini dan bahkan duduk di sampingnya. Sedangkan Andini sendiri hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap langit-langit rumah.
"Kamu masih memikirkan apa yang aku katakan tadi malam kan? Kamu pasti ragu harus percaya atau tidak, tapi sekarang aku sudah punya buktinya, kamu bisa melihatnya," ujar Adnan sembari mengambil ponselnya yang berada di dalam tasnya, lalu mencari foto yang tadi sempat ia ambil secara diam-diam.
"Tidak perlu." Andini menjawab lelah, membuat Adnan terdiam dengan menatap tanya ke arahnya.
"Kenapa?"
"Karena aku sudah melihatnya sendiri dan aku sekarang percaya dengan apa yang kamu katakan tadi malam." Andini menjawab dengan nada yang sama, ia bahkan tampak tak bersemangat sekarang.
"Kamu pergi ke kantornya Rio?" tanya Adnan tak yakin, sedangkan Andini hanya mengangguk pelan.
"Aku melihatnya sendiri bagaimana Sinta merangkul lengan Rio, dia bersandar seolah Rio itu kekasihnya." Andini berujar lirih, nada suaranya terdengar serak dari sebelumnya, matanya kembali menangis kali ini.
"Kenapa? Dari ribuan wanita yang bisa Rio jadikan selingkuhan, kenapa harus Sinta, kenapa harus sahabatku?" Andini bertanya ke arah Adnan yang hanya bisa terdiam, ia tidak bisa menjawab, karena ia sendiri juga tidak tahu jawabannya.
"Sinta? Dia sahabatku, dia memang cantik dan belum menikah. Tapi ... kenapa dia tega memacari suamiku? Suami dari teman baiknya sendiri? Kenapa?" Andini kembali bertanya, ia bahkan masih belum mengerti meski sekeras apapun ia berusaha memahami situasinya.
"Aku mengerti perasaanmu, kamu bisa menangis semuanya, tapi jangan pernah putus asa." Adnan memeluk tubuh Andini, berusaha menenangkan wanita itu ke dalam pelukannya. Mungkin yang disakiti memang Andini, namun hatinya juga merasa sakit melihat wanita itu bersedih terlebih lagi menangis.
"Aku tidak tahu lagi aku harus bagaimana sekarang? Aku benar-benar sudah lelah dengan pernikahan ini, tapi aku juga tidak bisa pergi begitu saja. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Andini setelah perasaannya sedikit lebih baik dan melepas diri dari pelukan Adnan, sedangkan matanya masih menangis saking bingungnya ia dengan apa yang akan dilakukannya.
"Bersamaku." Adnan menjawab mantap, yang ditatap tanya oleh Andini yang tidak mengerti dengan maksud dari ucapannya.
"Maksud kamu apa?" Andini sedikit menjauh dari Adnan, tatapan matanya tampak waspada sekarang.
"Aku sudah lama mencintaimu, tapi aku tidak bisa mengatakannya sejak kapan aku memiliki rasa itu. Tapi yang pasti, aku tulus ingin bersamamu, aku juga ingin melindungimu. Itulah kenapa aku mengatakan yang sebenarnya tentang perselingkuhan mereka, meskipun Rio meminta tolong padaku untuk menyembunyikan ini darimu." Adnan berujar serius, sorot tatapannya benar-benar tulus, seolah tidak ada kebohongan dari matanya.
"Mungkin kamu sempat bingung dengan sikapku yang mudah dekat saat bersamamu, padahal aku bukan lelaki yang seperti itu. Aku menghampirimu, mengajakmu berbicara, mengajakmu menonton film, aku bahkan juga menemani kamu pergi. Semua itu tidak pernah aku lakukan sebelumnya, bahkan dengan adik perempuanku sekalipun. Itu semua karena aku sudah lama menyukaimu, tapi aku belum bisa menceritakannya ke kamu, kapan dan di mana rasa itu tumbuh." Adnan menatap serius ke arah Andini yang tampak terdiam dengan bibir bungkam.
"Tolong, jangan pernah berpikir kalau aku mengatakan ini karena aku sedang memanfaatkan kondisimu. Tidak, sama sekali tidak. Aku bahkan tidak pernah berpikir, aku akan merebut kamu dari sahabatku. Tapi, setelah beberapa hari tinggal di sini, aku mengetahui semuanya terutama saat Rio memperlakukanmu, kamu sangat tersiksa dan aku tidak bisa membiarkannya."
"Mungkin kamu tidak bisa menceraikan Rio karena alasan yang tidak bisa kamu katakan, setidaknya biarkan aku menjadi teman dan obat untuk lukamu, aku hanya ingin melindungimu dan memastikan kamu baik-baik saja." Adnan berujar serius, membuat Andini kian menangis kali ini.
"Kenapa ... kenapa kamu malah tambah menangis? Apa ... kata-kataku melukai perasaanmu?" tanya Adnan terdengar khawatir, namun Andini justru menggeleng pelan.
"Aku hanya tidak menyangka masih ada orang yang mau melindungiku, padahal hidupku sudah sangat menyedihkan." Andini terisak oleh tangis, ia benar-benar tidak bisa berhenti menangis saat ini.
"Kamu tidak menyedihkan, kamu bahkan berharga untukku. Maafkan aku, karena sudah membiarkan kamu hidup dengan sahabatku. Andai aku tahu hal ini akan terjadi, mungkin aku tidak akan mau mengalah, aku pasti akan memperjuangkan kamu dulu." Adnan kembali memeluk Andini, menenangkan wanita itu ke dalam dekapannya.
"Maksudnya ... kamu sudah mengenal ku lebih dulu?" tanya Andini sembari menatap ke arah Adnan justru tertunduk malu.
"Bisa dikatakan seperti itu," jawab Adnan jujur.
"Ceritakan semuanya, aku ingin mengetahuinya, kapan dan di mana kamu bertemu denganku? Karena pertama kali aku melihatmu itu di acara resepsi pernikahanku dengan Rio dulu. Bagaimana mungkin kamu mengenalku lebih dulu?" tanya Andini serius, air matanya bahkan mengering dan berganti oleh tatapan tanya ke arah Adnan.
"Kamu sendiri, bagaiamana? Alasan apa yang membuat kamu terus bertahan dengan Rio, padahal dia sudah terlalu banyak melukai perasaanmu. Kamu sendiri yang mengatakannya, kalau kamu sudah tidak mencintainya, bahkan kamu hampir membencinya." Adnan kembali melempar pertanyaan, karena hanya itu tujuannya, dengan begitu ia bisa melakukan langkah selanjutnya.
"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya." Andini menjawab menyesal, yang bisa Adnan mengerti keinginan nya.
"Kalau begitu aku juga tidak bisa mengatakannya, sebelum kamu memberitahuku alasan kenapa kamu memilih bertahan dengan Rio." Adnan menjawab serius, sedangkan Andini hanya mengangguk, berusaha mengerti sikap Adnan kali ini. Karena ia sendiri juga memiliki alasan kuat untuk tidak menceritakan kisahnya, begitupun dengan Adnan, Andini hanya ingin menghargainya.
"Baiklah, aku mengerti. Mungkin nanti aku akan menceritakan semuanya, tapi untuk sekarang, aku masih belum bisa." Andini berujar menyesal tanpa mau menatap ke arah Adnan.
"Lalu bagaimana dengan perasaanku? Apa kamu mau menerimanya? Kamu bilang, kamu tidak bisa bercerai dengan Rio kan? Itu berarti aku belum bisa memilikimu, tapi aku ingin bersamamu, Andini." Adnan berujar serius, sedangkan Andini justru terdiam, membuat Adnan ragu untuk diterima, karena ia sadar dirinya terlalu cepat menyatakan cinta, padahal mereka baru beberapa hari dekat.
"Kalau aku menerimamu, itu hanya akan menjadikan kamu seorang selingkuhan, apa kamu yakin dengan hal itu?" tanya Andini terdengar tak yakin, ia hanya tidak ingin menyakiti Adnan lebih jauh lagi.
"Tidak apa-apa. Bukankah itu lebih baik? Kamu bisa membalas rasa sakit hatimu dengan cara berselingkuh denganku?" Adnan menatap tulus ke arah Andini yang tampak terharu mendengar kalimatnya.
"Aku tidak mau menerimamu hanya karena aku ingin membalas rasa sakit hatiku." Andini menggeleng pelan, ia bukan seseorang yang bisa melakukan hal sejahat itu.
"Kalau begitu, belajarlah mencintaiku!" Adnan menatap tulus ke arah Andini dan merengkuh kedua pipinya untuk dihadapkan ke arahnya. Sedangkan Andini justru menangis, namun di detik berikutnya ia mengangguk setuju dengan permintaan Adnan, membuat lelaki itu tersenyum mendengar jawabannya.
"Terima kasih." Adnan mencium lembut bibir Andini, membuat empunya terkejut dengan jantung berdebar tak karuan di dalam dadanya.
Sudah lama Andini tidak pernah merasakan hal itu, sebuah debaran yang sempat membuatnya menggila oleh rasanya. Dan sekarang Adnan menghidupkan kembali rasa itu, memberi Andini sensasi kebahagiaan yang sudah lama ia rindukan.
***
Keesokan paginya, Adnan tersenyum saat melihat Andini sedang memasak makanan di dapur. Bahkan tanpa permisi, Adnan langsung memeluk tubuh Andini dari arah belakang, Adnan hanya sedang merasa bahagia sekarang, karena wanita itu mau menerima perasaannya.
"Kamu ... kenapa memelukku?" tanya Andini terdengar kaku, tangannya bahkan berhenti dari aktivitas memasaknya.
"Memangnya kenapa? Kamu kan sekarang pacarku, berarti aku boleh kan memelukmu?" Adnan semakin memperat pelukannya dan bahkan menyenderkan kepalanya di leher Andini.
"Iya, aku tahu, tapi jangan sekarang ...."
"Kenapa? Karena kamu lagi masak?" Adnan menyahut dengan nada tanya, bahkan sebelum Andini melanjutkan ucapannya.
"Bukan. Nanti kalau ketahuan Rio, bagaimana?" tanya Andini dengan nada berbisik, yang langsung Adnan lepas rengkuhan tangannya yang berada di perut Andini.
"Memangnya Rio tadi malam pulang?" Adnan bertanya tak yakin, namun Andini mengangguk mengiyakannya, yang sempat membuat Adnan waswas, bisa dilihat dari caranya menatap ke arah pintu dapur.
"Iya, tapi memang cukup malam, makanya kamu tidak tahu, karena kamu sudah tidur." Andini menjawab jujur sembari tersenyum memerhatikan Adnan yang tampak waspada.
"Begitu ya? Aku pikir, Rio tidak pulang. Maafkan aku," ujar Adnan terdengar menyesal yang Andini angguki sembari kembali fokus memasak.
"Kamu lagi masak apa?"
"Aku harus memasak banyak makanan pagi ini, kemarin aku tidak masak sama sekali."
"Aku bantu ya?" tawar Adnan memberi bantuan, namun Andini justru menggeleng untuk menolak.
"Tidak usah, nanti kalau Rio tahu, dia bisa curiga."
"Kan dia belum bangun, aku bantu sebentar saja. Ini akan dipotong kan?" tanya Adnan sembari menunjuk ke arah bawang yang berada di atas telenan.
"Sudah, tidak usah ...." Andini ingin menghentikan Adnan, ia bahkan menyentuh lengan lelaki itu, sampai saat Rio datang dan masuk ke dalam dapur.
"Adnan. Kenapa kamu ada di sini?" tanya Rio sembari menyilangkan kedua tangannya, menatap tanya ke arah sahabatnya yang entah sedang melakukan apa bersama dengan istrinya.
"Oh, aku tadi ... mau cari air dingin, jadi aku tanya ke istri kamu di mana tempatnya?" Adnan menjawab kaku, ia berusaha terlihat biasa saja, namun sepertinya tidak dengan Rio yang masih menatapnya dengan mata tanya.
"Kamu cari air dingin kan? Berarti tempatnya di kulkas lah." Rio menunjuk ke arah kulkas yang tempatnya sedikit jauh dari Adnan berdiri saat ini.
"Oh ya, lupa. Kayanya aku masih mengantuk, jadi belum fokus." Adnan tersenyum lalu berjalan ke arah kulkas dan mengambil air dari sana.
"Makanya, sarapan dulu!" Rio menggeleng heran yang diangguki oleh Adnan.
"Iya kayanya ...." Adnan menjawab canggung, matanya sesekali melirik ke arah Andini yang terdiam sembari berusaha fokus dengan masakannya.
"Andini, kamu masak aja lelet banget sih? Seharusnya jam segini kamu sudah menyiapkan makanan di meja, kamu malas ya sekarang?" sentak Rio ke arah istrinya yang terdiam tanpa bisa menjawab apa-apa kecuali kata maaf, membuat Adnan iba mendengarnya.
"Iya, maaf. Sebentar lagi selesai." Andini menjawab seadanya bahkan tanpa berani menoleh ke arah suaminya.
"Awas kalau lama, aku obrak-abrik dapur ini!" ancam Rio sembari menunjuk ke arah Andini, yang hanya bisa diam membisu di tempatnya.
"Ayo, Nan! Kita ke meja makan saja, jangan sampai kita enggak nafsu makan gara-gara lihat dia." Rio melangkahkan kakinya ke arah luar, diikuti Adnan yang hanya bisa pasrah meninggalkan Andini di sana.
"Iya," jawabannya singkat sembari sesekali mencuri pandang ke arah Andini, merasa tidak bisa membiarkan wanita itu disakiti, lagi.
Part 10
Seperti sore biasa, Adnan pulang sendiri dari kantor, ia tidak ditemani Rio sama seperti saat mereka berangkat bekerja. Sahabatnya itu tidak pernah ketinggalan untung mengantarkan Sinta pulang, wanita yang menjadi selingkuhannya sekaligus sahabat dari istrinya.
Adnan yang sudah sampai rumah itu langsung mencari Andini, ia ingin menemui wanita itu untuk memberinya hadiah. Sebelum pulang, Adnan memang mampir dulu ke sebuah mini market, di sana ia membeli sebuah coklat berbentuk hati. Adnan sengaja membelinya, karena ia merasa belum pernah memberi Andini sesuatu.
"Kamu baru pulang, tapi kenapa berdiri di sini?" Andini yang baru saja mengepel lantai bagian ruang tamu itu bertanya, setelah menghampiri Adnan yang terdiam di depan pintu rumah.
"Aku ... mau minta maaf sama kamu." Adnan memberikan coklat itu ke Andini yang sempat terkejut sekaligus bingung, kenapa Adnan meminta maaf dengannya.
"Minta maaf untuk apa?" tanya Andini tanpa mau mengambil cokelat yang sengaja Adnan sodorkan ke arahnya.
"Terima dulu cokelatnya!" pinta Adnan memohon, yang diangguki mengerti oleh Andini sembari mengambil cokelat itu dengan hati-hati.
"Terima kasih untuk cokelatnya. Tapi, kenapa kamu harus minta maaf?" Andini menatap bingung ke arah Adnan yang tampak merasa bersalah.
"Aku minta maaf, karena aku tidak pernah membelamu saat Rio memperlakukanmu dengan buruk." Adnan menunduk penuh penyesalan, yang justru disenyumi oleh Andini kali ini.
"Tidak apa-apa. Aku malah bersyukur, setidaknya Rio tidak akan mencurigaimu dekat denganku kan?"
"Tapi, kamu juga butuh pembelaan kan? Aku malah diam dan membiarkanmu ...." Adnan tampak semakin menyesal. Adnan sendiri juga bingung harus berbuat apa, terlebih lagi saat ia harus melihat Andini diperlakukan buruk oleh suaminya. Rasa ingin membela tentu saja ada di dalam hatinya, bahkan rasa itu hampir menyiksanya saat dirinya tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi Andini. Namun bila Adnan melakukannya, posisinya di rumah itu juga bisa terancam, itu artinya ia tidak bisa dekat dengan Andini kedepannya.
"Aku sudah terbiasa dengan semua itu, jadi kamu tidak perlu khawatir."
"Bagaimana aku tidak khawatir? Kamu seseorang yang sangat berharga untukku, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan untuk melindungimu saat ini." Adnan merengkuh kedua tangan Andini sembari menatap matanya yang tampak sayu dan lelah.
"Tapi, aku janji. Selama aku tinggal di sini, aku akan memastikan kamu baik-baik saja dan membuat kamu bahagia." Adnan kembali melanjutkan ucapannya dengan nada keyakinan membuat Andini tersenyum mendengarnya.
"Percayalah, hidupku sebelum mengenalmu itu jauh lebih berat, tapi kehadiran kamu membuatku merasa sedikit lebih berarti. Jadi, berhentilah mengkhawatirkan aku, karena aku baik-baik saja dan bahkan lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih, sudah memberiku obat atas luka yang Rio buat. Kalau tidak ada kamu yang menguatkan aku, mungkin aku akan berpikir untuk pergi dari dunia ini." Andini berujar tulus sembari tersenyum menatap ke arah Adnan yang mengangguk dan juga tersenyum lega ke arahnya.
"Terima kasih untuk cokelatnya." Andini menunjukkan cokelat yang Adnan berikan, sudah lama ia merasa tidak spesial seperti sekarang dan Adnan yang memberinya kenyamanan itu.
"Iya, sama-sama. Aku juga mau berterima kasih karena kamu sudah memberiku kesempatan terindah ini ...."
"Kesempatan apa?" Andini memicing matanya dengan tatapan bertanya.
"Kesempatan untuk menjadi selingkuhanmu." Adnan tertawa kecil yang juga membuat ikut Andini tertawa mendengarnya.
"Oh ya, aku punya film komedi bagus. Kamu mau melihatnya bersamaku nanti malam?" tawar Adnan yang sempat diangguki ragu oleh Andini.
"Boleh, asal Rio tidak pulang malam ini." Andini mengangguk setuju.
"Ya sudah, kalau begitu aku mandi dulu, setelah itu aku akan membantu kamu masak, supaya kamu juga cepat istirahat." Adnan berpamitan ingin pergi ke kamar, ia bahkan tampak antusias dari sebelumnya.
"Tidak usah membantuku memasak, kamu kan juga lelah, seharusnya kamu istirahat di kamar."
"Tidak kok, aku tidak lelah. Sudah ya, aku mandi dulu. Tunggu aku," pamit Adnan sembari berjalan ke arah tangga, yang lagi-lagi membuat Andini tertawa kecil melihat tingkahnya.
***
Setelah memasak, Andini dan Rio makan malam, lalu mereka menonton sebuah film yang sengaja Adnan download di tempat kerjanya tadi siang. Film itu mengisahkan seseorang dengan kepribadian lucu, yang mencintai gadis incaran seluruh kampus, banyak hal konyol yang sudah dia lakukan untuk mendapatkan hatinya, bahkan bersikap seolah baik-baik saja di saat keluarganya sendiri sedang hancur-hancurnya.
Ada moment lucu yang membuat Andini tertawa begitupun dengan Rio, ada juga adegan air mata yang sempat membuat Andini menangis, sedangkan Rio hanya diam dan memeluknya dari arah samping.
Film itu sangat menarik untuk Andini yang baru menontonnya, sampai saat semua berakhir bahagia, di mana sang tokoh utama berhasil mendapatkan hati gadis incarannya. Tidak itu saja, mereka bahkan menikah dan memiliki anak, sesuatu yang sangat diidam-idamkan semua orang.
Melihat akhir bahagia itu, hati Andini serasa disentuh, ia juga ingin merasakan hal yang sama, memiliki anak dan keluarga bahagia. Namun mustahil, bila dirinya sendiri mandul. Andini merasa tidak sempurna, karena dirinya tidak seperti perempuan lainnya.
Lalu bagaimana dengan Adnan, lelaki itu mencintainya dan bahkan mau menjadi selingkuhannya. Andini merasa bersalah pada lelaki itu, seharusnya dia bisa bahagia dengan wanita lain, dan bahkan menikah dan memiliki anak, namun dia justru terjebak dengan hubungan gelap dengannya.
"Bagaimana, ceritanya bagus kan? Ratingnya cukup tinggi, jadi aku mendownloadnya." Adnan tersenyum ke arah Andini yang terdiam, bibirnya tak berbentuk apapun, seolah ada yang sedang wanita itu pikirkan sekarang.
"Kamu kenapa? Filmnya kurang bagus ya? Kamu tidak suka?" tanya Adnan sembari menatap ke arah Andini yang terdiam dan menggeleng pelan.
"Filmnya bagus kok."
"Terus kenapa kamu cuma diam? Sepertinya ada yang sedang kamu pikirkan."
"Kamu sendiri, bagaimana? Apa tidak ada yang kamu pikirkan?"
"Kok jadi aku?" tanya Adnan tak mengerti, namun Andini justru tersenyum kali ini.
"Kamu tadi lihat kan akhir dari film itu. Apa kamu tidak mau seperti mereka? Menikah, punya anak, dan hidup bahagia." Andini menatap serius ke arah Adnan, ia ingin tahu jawaban lelaki itu.
"Iya, tentu saja, aku mau." Adnan menjawab jujur dan bahkan mengangguk setuju.
"Lalu kenapa kamu malah menyukaiku? Harusnya kamu mencari wanita single lain, yang bisa kamu ajak menikah."
"Kenapa harus mencari wanita lain? Kan aku sudah punya kamu?" Adnan bertanya dengan nada tak mengerti dengan maksud dari ucapan Andini.
"Tapi aku kan istri dari sahabat kamu."
"Istri yang tidak anggap maksud kamu?" tanya Adnan yang kali ini berhasil membuat Andini terdiam, ada rasa sesak saat Adnan mengatakan fakta yang sebenarnya.
"Sekarang begini, aku kan menyukai kamu, tapi posisinya kamu istri sahabatku, dan betapa bodohnya sahabatku itu malah menyia-nyiakan kamu, istri secantik dan sebaik ini. Jadi, dari pada kamu disakiti lebih baik kamu aku ambil, lalu kenapa kamu malah menyuruhku mencari wanita single lain? Sedangkan aku sudah sangat bersyukur memilikimu." Adnan berujar serius.
"Tapi, kita hanya akan menjalani hubungan gelap. Aku cuma mau yang terbaik untuk kamu, karena akan lebih baik bila kamu mencari wanita single yang bisa kamu ajak menikah."
"Kamu juga bisa aku ajak menikah, asal kamu mau menceraikan Rio."
"Tapi, aku belum bisa menceraikan Rio."
"Kalau begitu, aku akan menunggu kamu." Adnan terus menjawab apa yang Andini katakan, membuat wanita itu berada di dalam perasaan rasa bersalah.
"Meskipun ... kamu menungguku dan pada akhirnya kita menikah, tapi kita tidak akan bisa punya anak, kamu tahu kan kalau aku ini wanita mandul? Aku bukan wanita sempurna, yang bisa memberimu keturunan." Andini tiba-tiba menangis bila mengingat kekurangannya, karena hal itu lah hidupnya sengsara di tangan suaminya, ia tidak mau Adnan juga akan bersikap sama dengannya.
"Aku tidak peduli kamu seperti apa, karena aku mencintai kamu apa adanya. Bahkan meskipun seumur hidup kita tidak diberi anak sekalipun, aku tidak akan pernah menyesal memilih kamu menjadi istriku." Adnan mengusap lembut pipi Andini, ia tidak ingin melihat wanita itu menangis.
"Tapi, aku juga ingin punya anak, memeluk tubuh mungilnya, membelai pipi kecilnya, menggenggam tangannya. Apa aku salah mengharapkannya?" Andini semakin menangis, ia juga ingin seperti wanita lain, memiliki anak dan menjadi orang tua.
"Kamu tidak salah mengharapkannya ...."
"Lalu kenapa aku mandul? Kenapa aku tidak bisa punya anak? Kenapa? Aku juga ingin seperti wanita lain," teriak Andini terdengar frustrasi, membuat Adnan merasa kasihan seolah bisa merasakan rasa sakit yang Andini rasakan.
"Tidak apa-apa, mungkin Tuhan hanya ingin kamu tahu, bila lelaki yang kamu nikahi belum bisa menerima kamu seluruhnya." Adnan memeluk tubuh Andini dengan sesekali membelai lembut punggungnya. Sedangkan Andini hanya terdiam, air matanya sedikit berkurang, dan perasaannya mulai merasa tenang.
"Andai, nanti kamu mau menceraikannya. Aku janji, kita akan menikah dan mengadopsi anak, kamu bisa pilih bayi manapun yang kamu suka. Tiga juga boleh, asal kamu bahagia." Adnan kembali melanjutkan ucapannya, yang kali ini membuat Andini sedikit kesal, bisa dilihat dari caranya mendorong tubuh Adnan hingga terlepas pelukan tubuhnya.
"Kenapa kamu malah mendorongku?" tanya Adnan tak mengerti, namun Andini masih tampak kesal, padahal ia sempat merasa terharu dengan ucapan Adnan di awal.
"Kamu mau kita mengapdosi tiga bayi sekaligus?" tanya Andini terdengar tak percaya sembari menunjukkan ketiga jarinya.
"Memangnya kenapa? Bagus kan?"
"Iya, bagus buat kamu, tapi pusing kepalaku kalau harus merawat tiga bayi sekaligus."
"Iya kan nanti aku bantu. Kamu yang mandiin mereka, aku yang masak. Kamu cuci baju, aku yang ajak mereka main. Kamu yang antar mereka ke sekolah, aku yang kerja, gampang kan?" jawab Adnan yang disenyumi oleh Andini, merasa tak percaya dengan pemikiran lelaki itu, meski begitu Andini merasa bahagia bisa dipertemukan oleh lelaki sebaik dia, yang mau menerimanya apa adanya.
***
Adnan menghentikan ketikan jarinya yang berada di atas keyboard komputer, ia baru saja mengingat sesuatu hal tentang kejadian tadi malam, di mana Andini ingin memiliki seorang anak dan hidup bahagia dengan keluarganya.
Adnan juga berharap, Andini bisa mewujudkan impian kecilnya, meskipun terasa mustahil karena wanita itu tidak bisa hamil terlebih lagi memiliki anak sendiri. Impiannya itu membuat Adnan ingin mengajak Andini menikah dan mengadopsi seorang anak, ia yakin hidup Andini bisa bahagia kedepannya.
Mungkin untuk saat ini, Adnan tidak bisa mewujudkannya, karena status Andini yang masih sah menjadi istri Rio, sahabatnya. Namun, Adnan memiliki ide lain, sebuah pemikiran yang mungkin bisa menghibur Andini untuk sementara waktu.
Tidak pikir panjang, Adnan mendirikan tubuhnya lalu berjalan ke ruang Rio, ia berniat menemui sahabatnya itu untuk meminta izin sesuatu. Setelah sampai, Adnan membuka pintunya dan disambut tatapan tanya oleh pemilik ruangan yang berada di sana.
"Ada apa, Nan?" Rio menghentikan pekerjaannya, menatap ke arah Adnan yang sudah duduk di depannya.
"Aku mau minta izin, aku tidak bisa masuk kerja besok."
"Kenapa? Kamu ada masalah?"
"Bukan masalah sih. Hanya saja, orang tuaku ingin aku pulang ke rumah sebentar, aku tidak mau membuat mereka kepikiran, jadi aku memutuskan untuk menemui mereka."
"Begitu ya? Tapi, apa kamu akan memberitahukan keadaanmu yang sekarang ke orang tuamu?"
"Aku tidak tahu, aku akan memikirkannya di jalan. Jadi, bagaimana? Apa kamu mengizinkan aku pulang?"
"Tentu saja, pulanglah!"
"Tapi, bagaimana dengan Andini? Dia sering kamu tinggal kan? Apa tidak apa-apa, membiarkannya di rumah sendirian?"
"Dia bahkan pernah aku tinggal selama seminggu, kenapa jadi kamu yang mengkhawatirkannya?" Rio tersenyum tak habis pikir, yang lagi-lagi berhasil membuat Adnan emosi, meski sangat berusaha ia sembunyikan.
"Tidak apa-apa, aku cuma bertanya." Adnan menjawab seadanya yang diangguki mengerti oleh Rio.
"Kamu mau berapa hari di sana?"
"Tidak lama kok, mungkin cuma sehari semalam."
"Semoga urusanmu di sana lancar," doa Rio tulus.
"Iya, terima kasih."
Part 11
Keesokan paginya, Andini dibuat heran dengan pakaian yang Adnan kenakan, lelaki itu memakai pakaian kasual, bukan setelan kemeja seperti pagi biasanya. Penampilannya juga tampak rapi, selayaknya orang yang akan bepergian, membuat Andini bertanya-tanya dengan apa yang akan Adnan lakukan.
"Kamu ... terlihat rapi, memangnya kamu mau ke mana?" tanya Andini penasaran, namun Adnan justru tersenyum seolah ada sesuatu yang sengaja ia sembunyikan.
"Nanti kamu juga akan tahu." Adnan mengerlingkan matanya, membuat Andini semakin bingung melihat tingkahnya.
"Maksudnya ...." Andini ingin bertanya, namun Adnan justru melangkah pergi ke arah meja makan, di mana Rio ada di sana.
"Kamu berangkat jam berapa? Mau aku antar?" tanya Rio setelah Adnan berada di depannya.
"Tidak usah, aku berangkat sebentar lagi," jawab Adnan sembari mendudukkan tubuhnya, sedangkan Rio sudah menyelesaikan makanannya.
"Ya sudah, kalau begitu aku berangkat kerja dulu ya," pamit Rio sembari mendirikan tubuhnya, yang diangguki oleh Adnan, sedangkan Andini hanya bisa memerhatikan mereka dari kejauhan, ia tidak tahu apa yang sedang Rio dan Adnan bicarakan.
"Kamu tidak kerja? Rio kan sudah berangkat?" tanya Andini ke arah Adnan, setelah memastikan Rio pergi dari ruang makan.
"Aku sudah izin untuk cuti hari ini."
"Memangnya kamu mau ke mana?"
"Maksudnya kita mau ke mana?" jawab Adnan seperti pertanyaan, yang kian membuat Andini kebingungan.
"Kita ... mau ke mana? Maksudnya kita akan pergi bersama?" tanya Andini tak yakin, namun Adnan justru tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
"Iya." Adnan menjawab mantap.
"Ke mana?"
"Nanti kamu juga akan tahu. Sekarang, kamu mandi dan bersiap-siap untuk pergi. Aku yang akan bereskan semua ini," tunjuk Adnan ke arah meja makan yang memang belum dibersihkan setelah Rio sarapan.
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi-tapian, cepat mandi ya?" ujar Adnan yang hanya bisa Andini turuti dengan pasrah, meski ia sendiri tidak tahu rencana Adnan apa.
***
Andini menatap sekitar jalan, di mana ia saat ini sedang berdiri bersama dengan Adnan di depan rumah. Sedangkan penampilannya kini sudah rapi, meskipun hanya menggunakan celana jeans dan baju lengan panjang, namun sudah cukup cantik bagi Adnan.
Andini sendiri masih belum mengerti, kenapa Adnan menyuruhnya untuk berdiri di sana, namun bila dilihat dari ekspresinya, sepertinya lelaki itu sedang menunggu seseorang.
"Sebenarnya kita sedang apa di sini?" tanya Andini dengan nada berbisik, ia sebenarnya sedikit risih dengan posisi mereka saat ini.
"Menunggu Pak Joko, Sepertinya dia sedikit telat. Tolong tunggu sebentar ya?" Adnan tersenyum ke arah Andini yang mau tak mau juga ikut tersenyum, Andini sendiri paling suka dengan cara Adnan menyunggingkan bibirnya, tampak tulus dan hangat untuk dilihat matanya.
"Pak Joko itu siapa?" Tak lama terdiam, Andini kembali bertanya, ia ingin tahu dengan lelaki yang sempat Adnan sebut itu.
"Beliau sopirku. Ah, itu orangnya datang," ujar Adnan sembari menunjuk ke arah sebuah mobil mewah berwarna hitam yang melaju dan berhenti di depannya. Sedangkan yang Andini lakukan, lagi-lagi hanya terdiam, memerhatikan apa yang akan Adnan lakukan.
"Maafkan saya karena telat, Pak. Tadi ada kecelakaan di jalan sana, jadi macet." Seorang pria paru baya keluar dari mobil dan menyapa Adnan dengan sangat sopan.
"Tidak apa-apa kok, Pak. Yang penting Bapak baik-baik saja."
"Iya, Pak. Oh ya, ini kuncinya." Pria itu memberikan kunci mobil ke arah Adnan yang diterima baik oleh lelaki itu.
"Terima kasih ya, Pak. Nanti malam Bapak tidak perlu ke sini lagi untuk jemput saya, karena saya akan pulang sendiri." Adnan menunjuk ke arah dadanya, yang diangguki mengerti oleh sopirnya tersebut.
"Iya, Pak. Saya mengerti."
"Saya pergi dulu ya?" pamit Adnan.
"Iya, Pak. Hati-hati."
Adnan hanya tersenyum lalu menggandeng lengan Andini dan menuntunnya untuk masuk ke dalam mobil, yang sebelumnya pintunya sudah ia bukakan. Andini yang tidak tahu apa-apa, hanya menuruti Adnan, bibirnya juga sesekali tersenyum ramah ke arah pria paru baya yang bermana Pak Joko tersebut.
"Aku butuh penjelasan ...." Tiba-tiba Andini berujar serius ke arah Adnan, yang tengah fokus melajukan mobilnya.
"Penjelasan apa?"
"Penjelasan semuanya. Pertama, ini mobil siapa?" tanya Andini serius ke arah Adnan yang bahkan tampak tenang sekarang.
"Mobilku."
"Tapi, bukannya kamu minta tolong ke Rio untuk memberi kamu pekerjaan dan tempat tinggal, karena kamu sedang kesusahan ya?" tanya Andini terdengar tak yakin, yang diangguki oleh Adnan, meski ekspresi wajahnya tampak tidak setuju dengan ucapan Andini.
"Aku belum bisa menjelaskannya, tapi yang pasti aku sedang tidak kesusahan, ini memang mobilku, dan tadi itu Pak Joko, dia sopir pribadiku."
"Apa itu berarti kamu membohongi Rio." Andini menuduh Adnan, namun lelaki itu justru mengangguk mengiyakan.
"Iya, memangnya kenapa?"
"Apa? Tapi, untuk apa?" tanya Andini terdengar terkejut, namun Adnan justru terdiam, seolah ragu untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Maaf, aku belum bisa menjelaskannya. Tapi, apa aku boleh minta tolong ke kamu?" tanya Adnan terdengar memohon ke arah Andini.
"Minta tolong apa?"
"Tolong rahasiakan ini dari Rio!" pinta Adnan yang sebenarnya membuat Andini penasaran, namun ia akan berusaha membantu lelaki itu.
"Sebenarnya aku merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang kamu rencanakan, tapi aku janji akan menyembunyikan ini dari Rio, asalkan nanti kamu mau menceritakan semuanya kepadaku." Andini berujar serius, yang diangguki oleh Adnan.
"Iya, aku janji. Terima kasih." Adnan tersenyum ke arah Andini sembari merengkuh tangannya dengan lembut, yang ditanggapi sama oleh empunya.
***
Andini menatap takjub ke arah bangunan sederhana namun luas halamannya, sedangkan di pertengahan gapuranya ada beberapa huruf besar bertuliskan panti asuhan. Andini sempat bingung kenapa Adnan mengajaknya ke sana, ia bahkan masih mengekpresikan wajah yang sama saat keluar dari mobilnya.
"Untuk apa kita ke mari?" tanya Andini tak mengerti, setelah Adnan tersenyum dan berjalan menghampirinya.
"Ini panti asuhan yang dikelola keluargaku, aku akan menunjukkannya ke kamu."
"Kamu mau menunjukkannya padaku?"
"Iya, kita masuk sekarang ya?" Adnan menggandeng tangan Andini, yang hanya diangguki pasrah oleh wanita itu.
"I-iya."
"Pak Adnan, kapan Anda datang?" Seorang wanita datang untuk menyapa setelah berjalan cepat entah dari mana, nafasnya juga terdengar ngos-ngosan.
"Baru saja, Bu."
"Kenapa tidak menghubungi saya dulu, Pak? Anak-anak pasti akan senang menyambut Anda di depan gerbang." Wanita itu berujar dengan nada bersalah, namun Adnan justru menyunggingkan senyumnya.
"Anda tahu, saya tidak butuh penyambutan seperti itu, Bu. Saya ke sini hanya ingin mampir, saya juga mau menunjukkan ke calon istri saya tentang anak-anak dan kehidupan di panti ini." Adnan menyunggingkan senyumnya, tanpa menyadari bagaimana ekspresi Andini saat ini, setelah diperkenalkan Adnan sebagai calon istrinya.
"A-apa? Calon istri?"
"Oh jadi ini calon istri Anda, Pak?" tanya wanita itu terdengar antusias, yang diangguki oleh Adnan, berbeda dengan Andini yang terlihat kebingungan harus bersikap bagaimana.
"Iya, perkenalkan namanya Andini, dia cantik kan?" ujar Adnan yang kian membuat Andini salah tingkah, meski pada akhirnya yang ia lakukan hanya tersenyum kaku, bahkan saat wanita itu memeluk erat tubuhnya.
"Akhirnya Pak Adnan mau menikah juga," ujar wanita itu di pelukan Andini lalu melepasnya dan merengkuh tangan Andini dengan hangat.
"Perkenalkan, nama saya Rossa. Panggil saya Bu Rossa ya?" Wanita itu tersenyum ke arah Andini yang mengangguk mengerti.
"Iya, saya Andini."
"Saya belum percaya, akhirnya Pak Adnan mau menikah, padahal dulu dia pernah bilang ingin membujang saja." Rossa berujar ke arah Andini yang tampak penasaran dengan kisah itu.
"Kenapa Adnan ingin membujang?" tanya Andini dengan sesekali melirik ke arah Adnan yang tampak malu sekarang.
"Saya kurang tahu, tapi katanya Pak Adnan ditinggal menikah dengan wanita yang dia cintai." Rossa berbisik ke arah Andini yang tampak terkejut mendengar fakta baru itu.
"Bu Rossa, tolong jangan menggibahi saya!" Adnan berujar tak percaya, bisa-bisanya wanita yang sudah dianggapnya sebagai ibu itu justru menjelekkannya tepat di depan matanya.
"Maafkan saya, Pak Adnan. Saya cuma bahagia mendengar kabar baik ini, saya harap Pak Adnan dan Bu Andini segera menikah secepatnya."
"Iya, terima kasih." Adnan menjawab lelah.
"Apa Bu Andini tahu, dulu Pak Adnan ingin membujang kan? Lalu mamanya Pak Adnan bertanya, kalau kamu membujang, bagaimana dia bisa punya anak dan membangun keluarga? Saat itu, Pak Adnan berkata kalau dia akan mengadopsi anak dari panti asuhan ini, jadi tidak perlu repot-repot menikah." Rossa kembali berujar ke arah Andini yang tersenyum mendengarnya, berbeda dengan Adnan yang tampak tak percaya dirinya dibicarakan lagi.
"Bu Rossa," tegur Adnan yang ditertawai kecil oleh wanita itu.
"Maafkan saya, Pak. Ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu, silakan Pak Adnan berkeliling untuk melihat anak-anak, mereka pasti senang melihat Anda datang."
"Iya, Bu." Adnan menjawab seadanya, sedangkan Rossa hanya tersenyum ke arah Andini dan Adnan lalu berjalan pergi, meninggalkan mereka berdua di sana.
"Sepertinya kamu dengan Bu Rossa itu sangat dekat ya?" ujar Andini yang ditoleh oleh Adnan.
"Iya, dia sudah seperti ibuku sendiri." Adnan tersenyum menatap punggung Rossa yang hampir menghilang ditelan jarak.
"Tapi, kenapa kamu dulu ingin membujang?"
"Itu karena kamu sudah menikah dengan Rio." Adnan menjawab jujur, lalu berjalan ke arah taman, di mana biasanya anak-anak berada di sana. Sedangkan Andini yang merasa bingung dengan jawaban Adnan itu, berjalan mengikuti langkah lelaki itu.
"Kamu ingin membujang hanya karena aku sudah menikah? Kamu kan bisa mencari wanita lain."
"Iya, ini aku juga sudah mencarinya."
"Siapa?" tanya Andini tak mengerti, ia sempat berpikir Adnan sudah memiliki wanita lain selain dirinya.
"Kamu." Adnan menghentikan langkah kakinya, lalu menatap ke arah Andini dengan mata bahagia.
"Aku? Tapi kan aku wanita yang sama?" Andini tersenyum seolah ingin menggoda Adnan.
"Iya, itu berarti semua salah kamu, karena aku belum bisa membuka hati untuk wanita lain selain kamu." Adnan menjawab jujur, yang kian membuat Andini tersenyum.
"Berarti aku yang salah?" tanya Andini terdengar tak percaya, bisa-bisanya Adnan menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi di hidupnya.
"Iya, jadi sebagai hukumannya, kamu harus mau menikah denganku." Adnan merengkuh kedua tangan Andini, membuat empunya terdiam dengan dada berdebar.
Part 12
Andini tersenyum sembari membalas rengkuhan tangan Adnan, ia ingin mengatakan iya, namun ia sendiri tidak yakin dengan kisah hidupnya nanti, terlebih lagi saat ia masih menjadi istri sah Rio.
"Aku tidak bisa berjanji menjadi istrimu, tapi aku ingin tetap bersamamu." Andini berujar serius ke arah Adnan, yang tampak kecewa dengan jawabannya.
"Untuk apa kita bersama? Kalau hanya untuk melihat kamu menderita di bawah tekanan sahabatku sendiri?" tanya Adnan yang membuat Andini terdiam, Andini sendiri tidak tahu harus menjawab apa, karena pada dasarnya ia juga merasa tidak bahagia menikah dengan Rio.
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Beritahu aku apa masalahmu, dengan begitu aku bisa membantumu." Adnan berujar tegas, beruaha meyakinkan Andini akan keseriusannya saat ini.
"Setelah semua selesai, apa kamu yakin tidak akan meninggalkan ku? Kamu tahu kan, aku mandul. Aku tidak bisa memberi kamu keturunan, apa kamu yakin bisa tetap bersamaku sampai kita tua nanti?" tanya Andini penuh harap, ia tidak pernah ingin mengecewakan lelaki manapun bahkan Rio sekalipun. Andai ia tahu bila tubuhnya tidak bisa hamil saat itu, ia pasti tidak akan menerima lamaran Rio dan menikah dengannya.
"Kamu ikut aku sekarang!" ajak Adnan sembari menggandeng lengan Andini ke suatu tempat.
"Kita mau ke mana?"
"Ikut saja!" Adnan terus menarik lengan Andini, sampai saat mereka tiba di sebuah ruangan, di mana banyak anak kecil berumur dua tahun ke bawah berada di sana.
"Kamu lihat mereka?" tanya Adnan ke arah Andini yang mengangguk, tatapannya juga terlihat sangat merindukan sosok anak kecil seperti mereka.
"Kalau seandainya nanti kita menikah dan kamu belum bisa punya anak, tidak apa-apa. Kita bisa mengapdosi salah satu dari mereka, kamu tinggal pilih anak mana yang kamu sayangi untuk tinggal bersama keluarga kita." Adnan berujar serius, membuat Andini terharu mendengar kalimatnya, matanya bahkan menangis saking bahagianya bisa dipertemukan oleh lelaki seperti Adnan.
"Terima kasih ...." Andini memeluk tubuh Adnan, meluapkan rasa harunya pada lelaki itu.
"Aku pikir, tidak akan ada yang bisa mengerti kekuranganku, bahkan keluargaku sekalipun. Tapi ternyata aku salah, terima kasih untuk semua ucapan baik yang kamu berikan untukku, di saat orang-orang yang aku sayangi justru berlomba-lomba untuk menyakitiku ...." Andini semakin menangis, air matanya tumpah di dada Adnan, yang saat ini tengah terdiam seolah bisa merasakan apa yang sedang Andini rasakan.
"Bagiku, kamu tidak pernah memiliki kekurangan sedikitpun. Aku saja yang belum melengkapinya dan juga menyempurnakannya." Adnan menghapus air mata Andini, ia tidak suka melihat wanita itu menangis untuk sesuatu yang tidak semestinya dia khawatirkan.
"Berhentilah menangis! Bagiku, kamu sangat sempurna dan kamu juga pantas bahagia, jadi jangan pernah menangisi sesuatu yang tidak sepantasnya kamu tangisi." Adnan kembali melanjutkan ucapannya setelah melepas rengkuhan tangan Andini yang berada di tubuhnya, matanya dengan sangat tulus menatap ke arah wanita cantik itu, begitupun dengan bibirnya yang tersenyum hangat ke arahnya.
"Iya, terima kasih. Sekarang aku merasa sedikit lebih baik." Andini menghembuskan nafas leganya, sembari tersenyum di hadapan Adnan.
"Mau melihat mereka lebih dekat?" tawar Adnan yang diangguki oleh Andini.
"Iya, tentu."
Adnan tersenyum lalu menggandeng tangan Andini untuk menemui para bayi di bawah tiga tahun yang tengah berkeliaran asyik di arena mainan. Si penjaga yang menyadari kedatangan Adnan langsung mendirikan tubuhnya, menyapa hangat dengan tersenyum ke arah mereka.
"Selamat siang, Pak Adnan." Wanita itu menyapa sopan yang disenyumi oleh Adnan.
"Siang."
"Ada yang perlu saya bantu, Pak?"
"Tidak ada, saya dan calon istri ini hanya ingin melihat mereka, dia sangat suka dengan anak-anak." Adnan melirik ke arah Andini yang tersenyum malu setelah mendengar kata calon istri keluar dari bibir Adnan lagi.
"Wah, akhirnya Bapak akan menikah? Selamat ya, Pak."
"Iya, terima kasih."
"Apa aku boleh mendekati mereka?" tanya Andini terdengar ragu-ragu, ekspresi wajahnya tampak takut tidak diperbolehkan.
"Tentu saja boleh. Mendekatlah! Anggap saja mereka anak-anak kita," bisik Adnan yang seketika ditatap tak percaya oleh Andini, meski pada akhirnya bibir wanita itu tersenyum mendengarnya.
"Kalau mereka anak-anak kita, seharusnya kamu mendekat juga!" Andini mendudukkan tubuhnya, lalu menoel pipi salah satu bayi di sana.
"Oh ya, kan aku sebagai Papa yang baik, harus sering-sering dekat sama anak-anak ya?" tanya Adnan sembari mendudukkan tubuhnya di samping Andini.
"Iya, tapi Papa seperti kamu bisa gendong tidak?" Andini menatap tanya ke arah Adnan yang terdiam lalu menggeleng pelan.
"Aku tidak berani, aku takut terjadi sesuatu dengan tubuh mereka. Jadi, kamu saja yang mengendong mereka." Adnan melebarkan kedua tangannya ke arah Andini, saat wanita itu menyodorkan bayi yang digendongnya ke arah Adnan.
"Takut terjadi sesuatu dengan tubuh mereka, seperti apa?"
"Seperti kejengklak." Adnan menjawab polos, yang sempat membuat Andini bingung meski pada akhirnya tertawa.
"Kejengklak? Bahasa apa itu?" Andini masih tertawa saat menanyakan arti kata itu, yang sempat membuat Adnan berpikir untuk mengartikannya.
"Kejengklak itu seperti kepalanya jatuh ke belakang gitu." Adnan menurunkan kepalanya ke belakang, meragakan maksud dari ucapannya.
"Oh gitu?" tanya Andini mengerti yang langsung Adnan angguki.
"Iya, itu namanya kejengklak. Kamu harus paham! Kan serem kalau aku gendong terus kepala bayinya ke belakang." Adnan berusaha meyakinkan Andini, namun wanita itu hanya tersenyum mendengar alasannya.
"Iya-iya, aku mengerti."
Cukup lama bermain, Andini dan Adnan tampak bersenang-senang dengan para bayi yang berada di sana. Keduanya juga belajar cara menidurkan, memberi susu, dan bahkan memandikan para mereka. Setelah semua bayi tidur, Adnan mengajak Andini untuk keluar ruangan, ia berniat pergi ke sebuah taman.
"Kamu mau ke taman sana?" tunjuk Adnan ke arah taman yang cukup luas, di mana banyak bunga bermekaran di sana.
"Boleh. Memangnya taman di sana bagus ya?"
"Di sana itu ada taman anak-anak, isinya itu permainan mereka, seperti perosotan, jungkat-jungkit, terus apalagi ya? Sama bandulan juga ada."
"Wah, pasti seru. Aku mau lihat-lihat ke sana." Andini menjawab antusias yang diangguki oleh Adnan, lalu keduanya pergi ke sana dengan bergandengan tangan. Taman itu cukup sejuk, membuat Andini sempat dibuat takjub dengan suasana di sana, sesekali ia menghembuskan nafas panjangnya, menikmati angin yang berembus menerpa wajahnya.
"Wah, ini tamannya? Tapi, kok sepi?" Andini menatap sekitarnya, padahal kata Adnan, taman itu tempat bermain anak-anak, namun tidak ada satupun anak di sana.
"Biasanya kalau sekarang mereka lagi makan siang. Oh ya, kita belum makan siang kan? Bagaimana kalau kita ke tempat mereka?" tawar Adnan, ia lupa kalau Andini belum makan.
"Untuk apa? Minta makan siang?" Andini bertanya tak habis pikir, namun Adnan justru mengangguk mengiyakan.
"Iya, memangnya kenapa?"
"Ya malu lah." Andini melangkahkan kakinya ke arah bandulan lalu duduk di sana.
"Kenapa malu? Mereka malah senang kalau ada kita, apalagi aku juga sudah lama tidak ke sini."
"Kalau begitu, tunggu mereka makan siang saja." Andini memaju mundurkan tubuhnya, berniat memainkan bandulannya.
"Tapi, kan kamu belum makan."
"Aku tidak lapar kok, aku hanya ingin menikmati suasana di sini." Andini menyunggingkan senyumnya sembari menghirup udara segar di sana, membuat Adnan tersenyum melihat wajah cantiknya.
"Aku bantu dorong ya?" Adnan mendorong perlahan tali bandulan tersebut, yang cukup dinikmati oleh Andini yang sudah lama tidak pernah melakukan hal ini.
***
Setelah sempat bermain dengan anak-anak panti asuhan, Adnan mengajak Andini pulang dan makan di restoran. Tak terasa hari mulai sore saat mereka akan sampi di rumah, keduanya juga sama-sama tampak bahagia.
"Terim kasih sudah menemaniku ke panti asuhan hari ini." Adnan tersenyum ke arah Andini sembari tetap fokus dengan aktivitas menyetirnya.
"Aku yang seharusnya berterima kasih, karena kamu, aku merasa hidupku sedikit lebih berarti." Andini turut tersenyum ke arah Adnan, ia memang benar-benar bahagia sekarang, itu semua berkat lelak itu.
"Aku harap kita bisa terus seperti ini tanpa harus sembunyi-sembunyi lagi," ujar Adnan tulus sembari merengkuh tangan Andini, di mana empunya tampak terdiam dengan mata kurang tenang.
"Iya, aku harap juga begitu." Andini menjawab tak yakin, namun ia berusaha untuk tidak memperlihatkannya pada Adnan.
"Sekarang kita sudah sampai, tapi maaf, aku tidak bisa ikut turun, aku akan pulang ke rumah orang tuaku malam ini," ujar Adnan setelah menghentikan laju mobilnya.
"Tapi, kenapa? Apa ada masalah?"
"Tidak ada, hanya saja aku sudah izin sehari ke Rio untuk aku pulang ke rumah orang tuaku, sebenarnya aku hanya ingin mengajak kamu ke panti asuhan. Tapi, karena aku tidak mau membuat Rio curiga, jadi aku harus pulang malam ini."
"Begitu ya? Ya sudah, kalau begitu aku turun dulu. Kamu hati-hati di jalan ya," ujar Andini sembari tersenyum sebelum kakinya turun dari mobil Adnan.
"Iya, terima kasih. Aku akan ke sini lagi besok, kamu juga hati-hati di rumah sendiri."
"Aku sudah biasa," jawab Andini sembari melambaikan tangan ke arah Adnan.
"Bye," pamit Adnan sampai pada akhirnya mobilnya melaju menjauh, membiarkan Andini sendiri di sana. Sebenarnya Adnan juga tidak tega meninggalkannya, namun ia harus tetap melakukannya. Rio bisa saja curiga, bila ia tidak benar-benar pulang ke rumah orang tuanya, meski itu artinya ia harus meninggalkan Andini sendiri di rumah.
***
Cukup lama tak pulang, akhirnya Adnan kembali ke rumah orang tuanya, meskipun sebenarnya ia masih memiliki rumahnya. Adnan sendiri bukan gelandangan seperti apa yang sudah ia katakan pada sahabatnya, karena pada kenyataannya semua itu hanyalah sunsunan rencananya.
Awalnya Adnan tampak biasa-biasa saja, ia bahkan berjalan tenang saat masuk ke dalam rumah orang tuanya, sampai saat seorang gadis berdiri sembari melebarkan tangan ke arahnya. Gadis itu memicingkan matanya, seolah Adnan adalah penjahat yang harus diinterogasi keberadaannya.
"Adinda, kamu apa-apaan sih menghalangi jalannya Kakak? Minggir!" pinta Adnan pada adiknya yang bernama Adinida, si gadis ceria yang masih duduk di bangku kuliah.
"MA, PA. LIHAT DEH PLAYBOY DI RUMAH INI SUDAH PULANG." Bukannya menjawab, Adinda justru berteriak, membuat Adnan risih sekaligus terganggu dengan suaranya.
"Jangan teriak-teriak di rumah! Dan apa maksud kamu bilang kalau Kakak ini playboy?" tanya Adnan tak habis pikir, bisa-bisanya adiknya itu mengatakan kalau dirinya playboy, padahal dia yang paling tahu bagaimana kepribadian kakaknya selama ini, yang hampir tidak pernah dekat dengan wanita manapun.
"Kan memang Kak Adnan playboy," jawab sang adik terdengar tak berdosa, membuat Adnan tak habis pikir dengan pemikiran konyolnya.
"Playboy dari mana? Kakak aja enggak pernah dekat dengan wanita manapun." Adnan berjalan melewati adiknya, yang langsung diikuti olehnya.
"Oh ya? Masa?"
"Apa sih maksud kamu?" Adnan terus berjalan, ia berniat menemui orang tuanya yang kemungkinan berada di ruang keluarga.
"Dasar Playboy, enggak mau ngaku lagi." Adinda menjawab sinis yang kian membuat Adnan tidak mengerti.
"Adnan, sini, Sayang!" pinta sang mama, sedangkan di sampingnya ada papa Adnan yang tampak tenang seperti biasa, meski bibirnya terlihat tersenyum tipis melihat putranya pulang.
"Ada apa, Ma?"
"Kok kamu pulang? Kenapa? Kamu ketahuan sama sahabat kamu karena sudah bawa istrinya ke panti asuhan? Kamu di usir dari rumahnya, iya?" tanya sang mama terdengar sinis, yang tentu saja membuat Adnan tak percaya kenapa keluarganya yang bisa tahu bila dirinya pergi dengan Andini ke panti asuhan hari ini.
"Kok ... Mama bisa tahu kalau aku ke panti asuhan dengan ...."
"Dengan istri sahabatmu kan?" potong sang mama terdengar tak percaya dengan kelakuan putranya.
"Itu kan, Kak Adnan itu playboy. Mana ada lelaki yang bawa istri sahabatnya pergi tanpa sepengetahuan suaminya?" sindir Adinda kali ini, yang membuat Adnan paham dengan maksud ucapan adiknya tadi.
"Mama tahu dari mana kalau hari ini aku ke panti asuhan?" Adnan bertanya penasaran sembari duduk di sofa yang sama dengan keluarganya.
"Tentu saja dari Bu Rossa," jawab sang mama yang bisa dipahami oleh Adnan kali ini, ya semua terasa masuk akal bila Bu Rossa juga ikut andil dalam masalah ini.
"Tadi Bu Rossa telepon Mama. Dan kamu tahu, dia kasih Mama selamat karena kamu sudah punya calon istri. Kamu akan menikah katanya, tapi lucunya Mama enggak pernah ketemu tuh sama calon menantu sendiri," sindirnya kian sinis.
"Maaf, Ma. Aku cuma mau menghibur Andini saja kok. Aku enggak bisa melihat dia sedih, Mama tahu kan aku belum bisa melupakan dia."
"Mama tahu itu, jadi bagaimana? Apa kamu ketahuan membawa Andini pergi?"
"Tidak kok, Ma."
"Lalu kenapa kamu pulang? Kamu bilang, kamu mau pura-pura jatuh miskin supaya Rio bisa membantu kamu, dengan begitu kamu melindungi wanita yang kamu cintai itu."
"Iya sih, Ma. Kemarin aku minta izin pulang ke Rio, makanya aku pulang setelah mengantarkan Andini."
"Sepertinya kalau mendengar dari ceritamu, kamu dan Andini sudah dekat ya? Apa kalian diam-diam menjalin hubungan?" Wanita itu bertanya serius, yang diangguki lirih oleh Adnan.
"Bisa dibilang seperti itu, Ma. Aku melihat semuanya sendiri bagaimana menderitanya Andini menjadi istri Rio. Selama di sana, aku sangat berusaha keras meyakinkan Andini, untungnya dia mau menerimaku, tapi itu semua belum cukup, aku masih harus meyakinkan Andini lagi untuk menceraikan Rio." Adnan mengangguk mantap, berusaha yakin dengan rencananya.
"Secepat itu meyakinkan dia? Mama yakin, wanita itu pasti sangat menderita menikah dengan Rio, berarti informasi yang kamu dapatkan itu benar."
"Informasi itu masih kurang tepat, karena fakta yang sebenarnya Rio berselingkuh dengan Sinta, sahabat baiknya Andini." Adnan menjawab serius, hal itu yang membuat Adnan tidak bisa tinggal diam.
"Gila, diselingkuhi aja sudah sakit, bagaimana rasanya kalau diselingkuhi sama sahabat sendiri? Pasti lebih sakit," sahut Adinda yang diam-diam disetujui semua orang, terutama Adnan yang memang tidak bisa melihat Andini terluka.
"Menurut Mama ini sudah keterlaluan, akan lebih baik kalau kamu segera meyakinkan wanita itu untuk segera menceraikan Rio, dia bisa mati di sana." Wanita itu berujar serius, namun Adnan justru menggeleng pelan.
"Itu enggak mudah, Ma. Andini sendiri punya alasan kenapa dia mau bertahan dan itu yang harus aku cari tahu, supaya aku punya cara untuk menyelamatkan dia."
"Mama pikir, dia belum sepenuhnya percaya dengan kamu, makanya dia enggak mau memberitahumu alasan dia bertahan. Saran Mama, kamu harus bisa membuat dia percaya dengan perasaan kamu."
Adnan hanya bisa terdiam, ucapan mamanya itu memang benar, Andini memang belum sepenuhnya percaya dengan perasaannya. Itu artinya, Adnan harus lebih berusaha lagi menunjukkannya. Dengan begitu, Andini bisa percaya untuk menceritakan alasannya bertahan menjadi istri Rio, setelah semua itu, Adnan jadi tahu harus berbuat apa selanjutnya.
Part 13
Rio berjalan ke arah ruangannya, namun matanya justru mendapati Adnan berada di tempat kerjanya. Menyadari sahabatnya sudah kembali itu, Rio berbalik arah dan menghampirinya.
"Adnan, kamu sudah kembali?" tanya Rio ke arah Adnan yang tengah sibuk dengan pekerjaannya.
"Iya." Adnan tersenyum setelah menghentikan aktivitasnya.
"Kapan? Aku enggak lihat kamu di rumah?" Rio bertanya penasaran, namun Adnan justru tersenyum mendengarnya.
"Aku memang belum pulang ke rumahmu, tapi aku berangkat kerja dari rumah orang tuaku."
"Oh ya? Kenapa harus buru-buru kerja? Memangnya orang tuamu tidak mengkhawatirkan kamu apa?"
"Kalau lama-lama di sana, aku bisa saja keceplosan, aku cuma memperkecil kemungkinan mereka curiga, jadi akan lebih baik kalau aku segera kembali."
"Oh begitu, baguslah. Aku ke tempat kerjaku dulu ya? Ada banyak pekerjaan yang harus aku lakukan," pamit Rio yang hanya Adnan angguki, tanpa menyadari bagaimana Adnan tersenyum hambar melihat punggung sahabatnya yang kian menghilang.
Adnan tidak mau berlama-lama di rumah orang tuanya, karena ia ingin bersama Andini, ia tidak akan membiarkan wanita itu sendiri lagi. Terlebih lagi melihatnya menangis dan menderita, setidaknya meskipun Adnan belum bisa membawanya pergi, Adnan harus bisa menemaninya dan menguatkannya.
***
Andini menghela nafas panjangnya, tadi malam ia tidak bisa tidur memikirkan Adnan. Lelaki itu begitu baik dan tulus, membuat Andini merasa nyaman dan aman berada di dekatnya. Terlebih lagi setelah mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibirnya, Andini merasa tenang seolah ia tidak perlu takut rubuh dan terjatuh sendirian.
"Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya, kenapa aku tidak mau bercerai dengan Rio?" gumam Andini lirih, hatinya seolah bimbang untuk memilih.
Jujur saja, Andini sendiri juga merasa lelah, tubuhnya serasa berat untuk tetap berjalan di dalam kehidupan yang menyesakkan. Namun Adnan datang, bagai udara segar yang memberinya nafas, yang ingin mengeluarkannya dari kehidupan itu, namun ada sesuatu yang mengharuskan Andini tetap bertahan. Kalau saja, Andini bisa mengatakan masalahnya apa, mungkin Adnan bisa membantunya dan mengeluarkannya dari belenggu yang menyiksanya.
"Memang sebaiknya aku mengatakan yang sebenarnya, Adnan mungkin mau membantuku, andai benar dia mencintaiku." Andini menghela nafas panjangnya, berusaha berpikir positif pada hidup yang kian membuatnya lelah.
"Sekarang, aku justru merindukannya ...." Andini tersenyum miris, secepat itu kah hatinya jatuh hati pada sosok lelaki yang bernama Adnan, ia bahkan memikirkannya sepanjang malam, padahal ia sadar dirinya milik orang.
"Dia pasti tidak akan pulang lagi malam ini," gumam Andini sembari sesekali menghela nafas lalu kembali fokus dengan pekerjaannya menyapu. Sampai saat ia merasa ada yang merengkuh perutnya, di saat itu lah Andini terdiam dan mematung di tempatnya.
Dipikir lagi, rasanya mustahil bila Rio yang memeluknya saat ini, namun Adnan juga tidak mungkin, karena lelaki itu tengah pulang ke rumah orang tuanya. Andini dibuat gelisah, ia takut seseorang yang berada di belakangnya adalah orang mesum yang ingin berbuat jahat padanya.
Dengan mata memejam, Andini mengeratkan tangannya pada sapu yang dipegangnya, ia berniat menjadikan sapu itu senjata untuk melukai orang tersebut.
"Dasar mesum, pergi kamu dari sini!" Andini melayangkan beberapa pukulan ke seseorang tersebut dengan mata terpejam, ia benar-benar takut bahkan hanya untuk membuka mata, namun yang pasti ia harus bertahan sebisanya.
"Akh, sakit ...." Adnan meringis kesakitan sembari melindungi kepalanya dengan kedua lengannya dan yang terjadi tangannya menjadi korban saat ini, setelah mendapatkan pukulan dari sapu milik Andini.
"Kamu ... sudah pulang?" tanya Andini terdengar tak percaya, merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukannya. Ia tak menyangka bila orang yang dipikirnya akan berbuat jahat dengannya itu ternyata Adnan, ia bahkan sudah memukulinya dengan sangat keras.
"Iya, tapi kenapa kamu malah memukuliku?" Adnan bertanya tak mengerti sembari mengelus tangannya yang terasa sakit.
"Tidak mungkin Rio memelukku dari belakang kan, sedangkan kamu juga berada di rumah orang tuamu, jadi aku pikir ada orang mesum yang mau berbuat jahat. Maafkan aku," ujar Andini terdengar menyesal, sedangkan Adnan hanya menghela nafas panjang.
"Aku merindukanmu, makanya aku pulang cepat, tapi kamu malah memukulku." Adnan menjawab dengan nada putus asa, yang kian membuat Andini merasa bersalah.
"Aku benar-benar minta maaf. Mana yang sakit? Ini ya?" Andini merengkuh tangan Adnan dan membelainya beberapa kali berharap bisa meredahkan rasa sakitnya, namun Adnan justru tersenyum melihat sikapnya.
"Sudah tidak sakit lagi kok, aku cuma ingin memelukmu, aku sangat merindukanmu." Adnan memeluk tubuh Andini sembari tersenyum hangat ke arah wanita itu.
"Aku juga merindukanmu." Andini melepas rengkuhan tangan Adnan, ia hanya tidak mau lelaki itu bisa merasakan detak jantungnya yang berdebar tak nyaman.
"Tapi, kenapa kamu pulang hari ini? Aku pikir, kamu masih lama di rumah orang tuamu." Andini menatap ke arah Adnan yang tersenyum ke arahnya, membuat jantungnya serasa tak karuan.
"Sebenarnya aku sudah pulang dari rumah orang tuaku tadi pagi, tapi aku langsung ke tempat kerja, jadi pulang kantor aku langsung ke sini. Oh ya, kamu sendiri bagaimana? Kamu baik-baik saja kan di sini? Rio tidak menyiksamu kan?" tanya Adnan sembari membelai pipi Andini, matanya tampak berharap wanita yang dicintainya itu tidak kenapa-kenapa.
"Aku tidak apa-apa, terima kasih sudah bertanya." Andini tersenyum dengan mengucapkan kalimat aneh untuk Adnan dengar.
"Kenapa kamu harus berterima kasih hanya karena aku menanyakan keadaan kamu?"
"Karena sudah lama aku tidak mendengar seseorang menanyakan keadaanku, kondisiku, dan bahkan perasaanku." Andini tersenyum tipis, berusaha terlihat baik-baik saja walau terasa sulit.
"Tolong, jangan bersedih lagi ya? Karena tanpa aku bertanya pun, sebenarnya aku bisa melihat semuanya dari matamu. Jadi, meskipun nanti aku tidak menanyakan perasaanmu, kamu jangan bersedih, karena aku orang pertama yang mengerti keadaanmu tanpa harus diberitahu." Adnan berujar penuh ketulusan, matanya seolah tidak mampu menyorotkan kebohongan.
"Terima kasih." Andini menjawab tulus, ia benar-benar bersyukur memiliki Adnan di dalam hidupnya.
***
Setiap malam, tepat setelah Adnan dan Andini makan malam, Adnan selalu mengajak Andini menonton film, tidak peduli betapa lelahnya Adnan saat itu. Bahkan saat istirahat kerja, Adnan sengaja mencari tahu film apa yang menarik, yang bisa ia tonton dengan Andini. Dengan begitu, ia akan mendownloadnya dan menyiapkannya saat pulang. Begitupun dengan malam ini, Adnan dan Andini tengah menonton sebuah film yang cukup menarik, bisa dilihat dari cara mereka tertawa dan menikmatinya.
"Filmnya sudah selesai, kamu mau istirahat sekarang?" tawar Andini yang diangguki setuju oleh Adnan. Kini keduanya sama-sama berdiri, mereka bahkan bergandengan tangan saat akan masuk ke kamar masing-masing. Namun saat mereka sudah berada di lantai atas, tiba-tiba Adnan membekap bibir Andini dan merangkul tubuhnya dari arah belakang, ia berniat mengajak wanita itu bersembunyi secara diam-diam.
"Ada apa? Kenapa kita bersembunyi?" bisik Andini setelah berada di tempat sempit dengan Adnan di sampingnya.
"Hushht ...." Adnan mengintruksi Andini untuk diam, yang langsung dituruti oleh wanita itu, terlihat dari bibirnya yang merapat tanpa mau bertanya lagi.
"Sayang, istri kamu mana? Dia sudah pergi dari kamar kita kan?"
"Sudah dong, kalau belum, aku akan usir dia buat kamu." Suara wanita dan lelaki yang tengah mabuk itu terdengar sayup-sayup di telinga Andini, begitupun di telinga Adnan yang sudah mendengar suaranya dari awal.
"Sepertinya itu Rio, dia pulang dengan keadaan mabuk dan membawa wanita lagi." Adnan berujar malas, sedangkan Andini hanya terdiam, ia sudah biasa seperti ini, ia tidak kan kaget lagi.
"Lalu kenapa kita bersembunyi?"
"Akan lebih baik Rio tidak sadar kalau kamu bersamaku, jadi kita bersembunyi dulu sampai mereka ke kamar."
"Begitu ya? Baiklah." Andini menjawab seadanya, sebenarnya Rio sendiri juga tidak akan peduli, namun sepertinya Adnan itu terlalu mengkhawatirkannya. Diam-diam Andini tersenyum dengan sikap manisnya, membuat hatinya semakin dilema oleh rasa salah.
Entah kenapa, Andini merasa semakin nyaman berada dengan Adnan, jantungnya juga berdebar saat berada di sampingnya, apa ia mulai jatuh cinta, pikirnya kian dilema.
"Mereka sudah masuk ke dalam kamar." Adnan menegakkan tubuhnya, begitupun dengan Andini di sampingnya.
"Kalau begitu, kamu istirahatlah! Aku akan ke sofa dan tidur di sana." Andini melangkahkan kakinya, ia berusaha menghindari Adnan yang membuat hatinya semakin gelisah oleh rasa cinta yang tidak seharusnya tumbuh dalam waktu dekat. Andini merasa ada yang salah dengan hatinya, ada sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan dengan cepat.
"Tunggu!" Adnan memegang tangan Andini, menahan wanita itu untuk tetap bersamanya.
"Ada apa?"
"Kenapa kamu tidak tidur di kamar itu?" tunjuk Adnan ke arah kamarnya sendiri, yang membuat Andini tak mengerti.
"Itu kan kamar tempat kamu tidur?"
"Iya, maksudku kamu tidur di sana bersamaku. Tapi, kamu tenang saja, aku akan tidur di lantai. Aku hanya ingin melindungimu dan memastikan kamu baik-baik saja." Adnan menjelaskan niatnya, yang diam-diam Andini senyumi saat melihat Adnan tampak takut dicurigai.
"Apa itu tidak merepotkanmu?"
"Tentu saja tidak, aku malah bisa tidur dengan tenang dan nyaman. Kamu mau ya tidur di sana?" ujar Adnan yang pada akhirnya Andini angguki.
"Iya." Andini mengangguk setuju lalu berjalan ke arah kamar yang Adnan tempati, begitupun dengan empunya yang juga berjalan ke arah yang sama.
"Barang-barang kamu cukup rapi." Andini menatap ke seluruh ruangan yang cukup rapi dan bersih menurutnya, padahal seorang lelaki yang menempatinya.
"Aku kan di sini cuma menumpang, masa kamarnya malah berantakan." Adnan berjalan masuk ke dalam, diikuti Andini di belakangnya.
"Tidurlah! Aku akan menyiapkan selimut untuk aku tidur di lantai." Adnan mempersilahkan Andini ke ranjangnya, namun Andini justru menggeleng menolaknya.
"Tidak usah. Ranjang ini cukup luas, kamu bisa tidur di sisi kanan dan aku di sisi kiri."
"Tapi, itu artinya kita seranjang."
"Memangnya kenapa?"
"Aku cuma tidak mau kamu kurang nyaman berada di dekatku."
"Sudahlah, aku tidak apa-apa. Tidurlah!" Andini membaringkan tubuhnya lalu menepuk sisi ranjang lainnya, yang sempat Adnan diami, bukan karena merasa tidak nyaman, ia hanya merasa sungkan saja.
"Iya ...." Adnan mengiyakan pada akhirnya, meski terasa canggung untuk ia yang tidak pernah tidur dengan wanita manapun, bahkan Mama dan adiknya sekalipun.
"Kamu benar-benar tidak apa-apa kan?" Adnan kembali bertanya sembari menghadap ke arah Andini, ia hanya ingin memastikan wanita itu nyaman berada di dekatnya.
"Aku benar-benar tidak apa-apa." Andini merengkuh kedua tangan Adnan, ia ingin meyakinkan lelaki itu bila dirinya memang baik-baik saja berada di sampingnya. Namun, sepertinya hal itu tidak berlaku pada Adnan yang tampak salah tingkah dengan jari-jari Andini yang berada di kedua tangannya. Jantungnya yang sempat berdebar tak karuan, kini semakin menyiksa tubuhnya yang terasa mulai panas.
Perlahan, Adnan mendekatkan wajahnya ke arah Andini, tubuhnya bahkan sedikit terangkat dan menghadap tepat di depan wajah wanita itu. Dengan lembut, Adnan membelai pipi wanita yang dicintainya itu, merasakan sentuhan halus di kulit wajahnya.
Sedangkan Andini hanya bisa menatap Adnan dari dekat, tanpa bisa berbuat banyak selain merasakan sentuhan jari-jari Adnan yang berada di wajahnya. Jujur saja, Andini sudah lama tidak merasakan debaran aneh di dadanya, kini Adnan justru mendekat seolah ingin menyulutkan hasratnya yang sudah lama padam.
Andini mulai memejamkan matanya, tangannya terulur ke arah leher Adnan untuk menggiringnya mendekat. Adnan yang sudah terbakar oleh nafsu dengan nafas naik turun, mulai mencium bibir Andini dengan lembut, yang dibalas sama oleh empunya. Kini keduanya berciuman, menikmati setiap sentuhan satu sama lain, hingga pada akhirnya mereka bersatu, menyatukan cinta sekaligus tubuh.
Part 14
Andini membuka matanya dengan sesekali mengerjapkannya, ia mengingat-ingat kejadian tadi malam, di mana ia dan Adnan melakukannya. Menyadari kebodohannya itu, yang Andini lakukan hanya menghela nafas panjang. Entah kenapa hatinya tidak merasa menyesal sekarang, padahal apa yang dilakukannya dengan Adnan adalah kesalahan fatal, ia sudah berselingkuh dengan sahabat dari suaminya itu dan bahkan melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan.
Sampai pada akhirnya Andini memikirkannya lagi, bila apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan, lalu bagaimana dengan yang Rio perbuat selama ini? Lelaki itu tidak hanya bercinta dengan jalang, dia juga berselingkuh dengan Sinta, sahabat baik Andini sendiri.
Mengingatnya saja membuat Andini muak, bukan karena ia masih mencintai Rio, ia hanya tidak suka dengan cara mereka mengkhianatinya. Terlebih lagi Sinta, wanita itu adalah sahabatnya, ia sudah lama berteman dengannya bahkan sejak mereka masi sama-sama sekolah di bangku SMA. Namun dengan mudahnya, sahabatnya itu menjalin kasih dengan suaminya, menghancurkan persahabatan yang sudah terbangun lama.
Merasa dibodohi, tentu saja. Andini bukanlah wanita kuat yang bisa menahan semuanya, ada kalanya ia juga menangis memikirkan sifat pengkhianat yang dimiliki orang-orang yang sangat disayanginya. Selalu saja ia berpikir, kenapa harus mereka yang mengkhianatinya? Memangnya apa kesalahannya, hingga pengkhianatan itu tercipta dan pada akhirnya ia juga yang terluka.
Andini membangunkan tubuhnya, yang sudah bertelanjang tanpa ada kain yang membalutnya. Matanya menatap ke arah Adnan dengan kondisi yang sama, lelaki itu hanya terbungkus selimut, sedangkan tubuh putihnya terekspos tepat di matanya.
Andini terus memerhatikan wajah Adnan yang tampak pulas, sampai saat mata lelaki itu mengerjap dan terbuka lebar. Di saat itu lah matanya membulat, lalu dengan cepat tubuhnya terbangun dan menatap ke arah Andini yang masih setia memerhatikannya.
"Astaga," keluh Adnan frustrasi.
"Aku pikir ... tadi malam cuma mimpi. Maafkan aku," ujar Adnan setelah sadar dengan apa yang sudah dilakukannya pada Andini, ia merasa sangat menyesal sudah kebablasan tadi malam.
"Tidak apa-apa." Andini menjawab seadanya, ekspresinya bahkan tampak biasa seolah sedang marah, membuat Adnan kian merasa bersalah.
"Aku benar-benar menyesal, tolong jangan membenciku!" Adnan merengkuh kedua tangan Andini, ia tidak mau wanita itu marah dengannya atau bahkan meragukan perasaanya.
"Satu hal yang harus kamu tahu, aku yang memulainya, bukan kamu." Andini menatap serius ke arah Adnan, membuat lelaki itu terdiam mengingatnya.
"Tapi tetap saja, aku yang mendekat lebih dulu kan?" Adnan menjawab bingung, ia sendiri tidak mengerti kenapa Andini bisa berkata seperti itu, meskipun Adnan tahu bila Andini lah yang menciumnya lebih dulu, namun tetap saja Adnan merasa dirinya seorang lelaki yang seharusnya ia bisa menjaga wanita itu sebelum sepenuhnya menjadi miliknya.
"Sudahlah, toh aku juga menikmatinya kan? Jadi tidak perlu ditanyakan siapa yang memulainya lebih dulu, kita sama-sama mau melakukannya." Andini memperjelas semuanya, membuat Adnan sedikit merasa lega.
"Kamu benar-benar tidak apa-apa? Tapi, kenapa kamu tampak ingin marah?"
"Tidak apa-apa, aku hanya ingat dengan apa yang sudah Rio dan Sinta lakukan di belakangku, hal itu sama dengan apa yang kita lakukan sekarang. Tapi, aku masih berpikir hal ini salah, lalu kenapa Rio tidak memikirkan hal yang sama? Jujur, aku kecewa, tapi bila dipikir lagi, sepertinya sekarang kami impas." Andini mengangguk mantap, yang bisa Adnan mengerti.
"Aku mengerti dengan perasaanmu, tapi yang kamu pikirkan itu memang benar. Apa yang sudah kita lakukan ini salah, jadi katakan saja apa yang membuat kamu bertahan dengan Rio? Dengan begitu, aku bisa berusaha membantumu bercerai, lalu kita akan menikah dan menjadi suami istri yang sah." Adnan berujar serius, namun tidak dengan Andini yang justru tersenyum kecut.
"Kenapa harus buru-buru? Kita nikmati saja perselingkuhan ini, aku juga ingin tahu bagaimana rasanya menjadi mereka." Andini menjawab tenang, berbeda dengan matanya yang tampak berkaca-kaca.
"Tapi, kan aku harus segera bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku lakukan ke kamu." Adnan berujar lirih, ia tahu hati Andini sedang terluka saat ini.
"Tidak perlu secepat itu, toh aku juga tidak akan hamil kan, aku mandul." Andini menatap ke arah Adnan, matanya mulai menangis saking sakitnya luka yang diterimanya, akibat kekurangannya yang tidak bisa memberi suaminya keturunan.
"Tolong jangan pernah berpikir kalau kamu itu mandul, kamu pasti akan punya anak, aku yang akan mengusahakannya." Adnan memeluk tubuh Andini, menenangkannya dalam dekapan hangat tubuhnya. Sedangkan yang Andini lakukan hanya bisa menangis dan menangis, otaknya berusaha memercayai ucapan Adnan, namun hatinya serasa menolak, seolah apa yang Adnan ucapkan adalah keajaiban yang mustahil terjadi di hidupnya.
***
Adnan tersenyum ke arah Andini, saat wanita itu memberi nasi di piringnya. Sedangkan di sampingnya ada Rio, sahabatnya itu tengah fokus sarapan dengan makanannya. Sampai saat dia menyadari tatapan Adnan yang tampak berbeda saat menatap ke arah Andini, istrinya.
"Terima kasih," ujar Adnan yang diangguki oleh Andini, yang kian membuat Rio merasa curiga.
Adnan seperti lelaki yang tengah jatuh cinta, yang sedang kasmaran oleh wania. Sebelum ini, Rio tidak pernah melihat sahabatnya itu begitu tulus memerhatikan seseorang, terlebih lagi caranya berterima kasih juga tampak berbeda.
"Sepertinya kamu dan Andini cukup dekat," ujar Rio setelah Andini pergi ke dapur, sedangkan tatapannya tampak curiga ke arah Adnan yang berusaha terlihat tenang.
"Aku hanya berterima kasih, apa itu bisa menyimpulkan sebuah kedekatan?" tanya Adnan dengan menaikkan salah satu alisnya, namun Rio justru terdiam seolah sedang memikirkannya, membuat Adnan ketakutan dalam diam.
"Iya juga sih. Toh, apa yang menarik dari Andini? Sampai kamu mau dekat dengan wanita seperti itu?" Rio tersenyum sinis sembari fokus dengan sarapannya, berbeda dengan Adnan yang tampak geram dengan jawabannya, meski tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali tertawa pelan.
"Iya kan? Jadi, mana mungkin aku dekat dengan istrimu?" Adnan berusaha menyamarkan suasana, meski sebenarnya ia sudah cukup muak dengan sikap sahabatnya.
"Iya, betul juga."
***
Andini berjalan menyusuri jalan dekat taman, menikmati angin yang cukup menyejukkan tubuh dan hatinya. Sedangkan pikirannya sedang kacau sekarang, banyak hal yang membuat otaknya serasa tertekan.
Kini, hubungannya dengan Adnan sudah terlalu dalam, ia dan lelaki itu sudah bersentuhan, sesuatu yang semestinya mereka tidak lakukan. Andini ingin menikmati perselingkuhan itu, namun sayangnya hati dan otaknya terlalu takut untuk tetap bersama dengan lelaki itu.
Andini hanya tidak mau, Rio tahu semuanya dan hubungan persahabatan mereka akan hancur. Rio, lelaki kejam itu bisa saja merendahkan Adnan hanya karena dekat dengan istrinya yang menjijikan.
Ya, Andini sangat mengakui, ia bukan wanita sempurna yang bisa menghasilkan keturunan, itu lah sebabnya suaminya itu sering merendahkannya dan bahkan menyelingkuhinya secara terang-terangan. Lalu apa jadinya, bila Rio tahu bila sahabat baiknya itu justru memiliki hubungan dengan istrinya, dia mungkin akan menertawakan Adnan atau bahkan menghinanya di depan banyak orang.
Meskipun Andini merasa takut hal itu terjadi, namun anehnya, ia justru berharap hubungannya dengan Adnan bisa bertahan lebih lama dari perkiraannya. Karena mau bagaimana pun hubungan gelap mereka terasa salah, tetap saja hatinya merasa nyaman berada di dekat lelaki itu dan bahkan ingin bersamanya lebih lama.
Mengingat Adnan, bibir Andini kini tersenyum manis, lelaki itu selalu bisa menghiburnya, dia bahkan tahu cara terbaik untuk memperlakukannya. Bila dibandingkan dengan sikap Rio, Adnan jauh lebih baik, atau mungkin tidak ada yang bisa menandinginya.
Hanya Adnan, yang masih mau menerima Andini, padahal dia tahu kondisinya yang tidak bisa menghasilkan keturunan, dia bahkan berkata hal itu seolah bukan masalah, padahal di dalam sebuah rumah tangga, bukankah semua itu adalah hal utama.
Di balik senyumnya, diam-diam Andini merasa bersyukur dipertemukan oleh lelaki itu, meskipun hubungan mereka tidak bisa dikatakan sehat, setidaknya Andini merasa hidupnya sedikit lebih berwarna dari sebelumnya.
Di tengah pemikirannya tentang Adnan, Andini melambatkan langkahnya, saat ada sebuah taksi yang berhenti tepat di depannya. Andini sendiri tidak tahu siapa seseorang itu, bisa dilihat dari ekspresinya yang seolah membentuk tanda tanya. Sampai saat pintu taksi itu terbuka, Andini dibuat tak percaya saat mengetahui siapa yang keluar dari sana.
"Andini," panggilnya seperti biasa, acap kali mereka berjumpa. Seseorang itu adalah Sinta, sahabatnya yang sudah tega berselingkuh dengan suaminya. Perlu Andini tekankan lagi, ia tidak pernah peduli Rio berselingkuh, namun saat ia tahu bila sahabat baiknya itu ternyata selingkuhan suaminya, rasanya seperti ditusuk dari belakang saat dikhianati oleh seseorang yang benar-benar ia sayangi.
"Andini, kamu dari mana? Kok jalan kaki? Aku baru pulang dari tempat meeting, tapi malah ketemu kamu di jalan." Sinta berujar antusias, ekspresi wajahnya seolah tidak memiliki dosa, membuat Andini muak melihatnya.
"Bukan urusan kamu." Andini melangkahkan kakinya kembali, ia benar-benar tidak ingin berbicara sekarang, terutama pada Sinta.
"Kok kamu ngomongnya kaya gitu? Ada apa? Kamu ada masalah ya dengan Pak Rio?" Sinta bertanya dengan nada prihatin, yang kian membuat Andini yakin untuk membencinya lebih dari sebelumnya.
"Kenapa kamu masih tanya? Bukannya kamu ya salah satu penyebab dari masalah di rumah tanggaku dengan Rio?" tanya Andini setelah menghentikan langkahnya, yang kali ini berhasil membuat Sinta terdiam dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Ma-maksud kamu a-apa, An ....?" tanyanya terdengar kaku, namun wajahnya sangat berusaha untuk terlihat biasa saja.
"Jangan pura-pura tidak tahu! Karena aku sudah tahu semuanya, kamu dan Rio berselingkuh di belakangku kan?" ujar Andini tenang, membuat Sinta terkejut mendengarnya.
"Kamu ... tahu dari mana?"
"Tidak penting aku tahu dari mana, tapi yang pasti kamu tidak perlu lagi berpura-pura baik di depanku, karena kenyataannya sekarang kamu bukan Sinta yang aku kenal dulu." Andini menjawab tenang, berbeda dengan Sinta yang tampak tak terima seolah diinjak-injak harga dirinya.
"Kalau aku bukan Sinta yang dulu, memangnya kenapa? Kamu mau marah? Iya? Baguslah, jadi aku tidak perlu lagi bersikap baik ke kamu, karena semua itu terasa memuakkan untukku." Sinta menjawab tegas, namun ekspresinya masih tampak ada ketakutan.
"Terserah, aku juga tidak peduli." Andini memalingkan wajahnya lalu berjalan meninggalkan Sinta di sana, ia benar-benar tidak peduli dengan apa yang akan wanita itu pikirkan tentang dirinya.
"Kenapa kamu malah pergi? Ha? Kamu seharusnya marah, kamu tidak terima kan, suami kamu memiliki hubungan denganku?"
"Ingat ya, Andini. Kamu dulu memang lebih menarik dariku, banyak lelaki yang menyukai kamu dari pada aku. Tapi sekarang, kamu hanya perempuan mandul yang enggak bisa punya anak."
Sinta terus melayangkan ucapan pedasnya, berbeda dengan Andini yang berusaha tidak peduli. Kakinya terus melangkah tanpa mau berhenti, begitupun dengan hatinya yang juga berusaha untuk tidak sakit hati.
Sekarang, Andini mengerti kenapa Sinta dulu sering marah tidak jelas dengannya, lalu tiba-tiba dia bisa bersikap baik seperti biasanya. Itu semua karena Sinta merasa iri dengannya, padahal Andini tidak pernah merasa lebih baik darinya. Karena niatnya hanya ingin berteman dan bersama selamanya, namun sepertinya tidak untuk wanita yang sudah dianggapnya saudara itu.
***
Andini mengambil semua pakaian kotor yang Rio lempar ke lantai, suaminya itu memang sudah biasa melakukan hal itu. Tepatnya setelah pulang bekerja, akan banyak barang-barangnya yang berceceran ke sembarang tempat. Sedangkan Rio sendiri langsung mandi lalu berganti baju, setelah itu dia keluar dengan baju kasual tanpa memedulikan bagaimana Andini merapikan semua kamarnya.
Tidak seperti biasanya, kali ini Rio memerhatikan Andini dengan mata memicing, lelaki itu tampak penasaran akan sesuatu hal. Sedangkan Andini justru terlihat tenang, ekspresi wajahnya bahkan tampak acuh tak acuh pada sekitarnya.
"Tadi kamu bertemu dengan Sinta?" tanya Rio tiba-tiba, namun Andini hanya menatapnya dengan mata bertanya.
"Jawab! Jangan cuma diam!" sentak Rio geram, ia memang paling tidak suka kalau ada orang yang lambat menjawab pertanyaannya.
"Iya." Andini menjawab singkat, setelah menghembuskan nafas panjangnya.
"Sinta bilang kamu sudah tahu perselingkuhanku dengan dia?" tanya Rio yang diangguki oleh Andini.
"Iya."
"Dari mana kamu mengetahuinya?" Rio bertanya seolah hal itu bukanlah sesuatu yang salah, ia bahkan masih bersikap angkuh bak orang tak memiliki dosa.
"Kebetulan saja aku mengetahuinya." Andini menjawab tanpa minat sembari terus merapikan barang-barang yang berada di sana, tanpa memedulikan ucapan Rio, suaminya.
"Di mana tepatnya?"
"Di depan kantor kamu."
"Kamu memata-matahiku?" tuduh Rio terdengar mulai geram, bisa dilihat dari caranya mencengkeram lengan Andini untuk tetap berada di tempatnya.
"Aku sudah bilang kan, aku kebetulan mengetahuinya." Andini terus saja menjawab dengan nada tenang, meski lengannya terasa sakit dicengkeram jari-jari suaminya.
"Baguslah, kalau kamu sudah tahu, aku juga sudah muak menyembunyikannya kalau bukan karena Sinta yang memintanya," ujar Rio angkuh seperti biasa, namun Andini hanya mengangguk lalu berjalan keluar kamar setelah meletakkan baju kotor Rio ke keranjang.
Melihat Andini baik-baik saja, seolah tak memiliki rasa cemburu di wajahnya, membuat hati Rio semakin geram. Andini sudah tidak peduli dengan apa yang dilakukannya, bahkan dia tidak menangis saat tahu ia berselingkuh dengan sahabat baiknya sendiri.
Sebenarnya apa yang salah pada diri Andini, kalau dulu dia akan menangis hanya karena melihat suaminya bersama dengan wanita lain, namun sekarang semua itu terasa menghilang, membuat Rio merasa hampa dan tak nyaman.
Part 15
Andini menutup pintu kamarnya, di saat itu lah air matanya tumpah, ia berusaha menghapusnya, namun semua terasa percuma. Andini semakin menangis, membuatnya harus mencari tempat untuk bersembunyi. Sampai saat matanya tertuju ke arah kamar Adnan, di saat itu lah Andini melangkah ke sana dan membuka pintunya begitu saja.
"Andini, ada apa?" Adnan yang tengah menyisir rambutnya setelah mandi itu dibuat terkejut, saat mendapati Andini menangis dan menutup pintu kamarnya lalu berjalan ke arahnya.
"Aku tidak apa-apa, aku hanya ingin menangis." Andini menjawab dengan suara serak sembari memeluk tubuh Adnan dengan erat.
"Kalau kamu tidak apa-apa, lalu kenapa kamu menangis? Apa Rio menyakitimu lagi?" Adnan membelai rambut Andini dengan lembut, membalas pelukannya untuk memberinya ketenangan.
"Tidak kok. Hanya saja, tadi aku bertemu dengan Sinta, aku bilang ke dia kalau aku sudah tahu semuanya. Perselingkuhan dia dengan Rio, aku tahu semua itu." Andini menjawab dengan nada yang sama, yang bisa Adnan mengerti perasaannya.
"Lalu bagaimana dengan tanggapan Sinta? Apa dia merasa menyesal?" tanya Adnan, namun Andini justru menggeleng pelan, yang tentu saja membuat Adnan tak percaya, bisa dilihat dari caranya melepas pelukannya dan menatap tanya ke arah Andini.
"Dia tidak merasa menyesal, begitu?" tanyanya memastikan yang kali ini Andini angguki.
"Apa-apaan dia? Kamu itu istri sahnya Rio, dia itu cuma selingkuhan, mustahil dia tidak menyesali perbuatannya ke kamu, apalagi kalian bersahabat baik kan?" Adnan tampak ingin marah terutama pada Sinta, wanita itu benar-benar tidak punya malu bila sampai tidak merasa bersalah dengan Andini.
"Sepertinya dulu Sinta sering merasa iri denganku, jadi diam-diam dia membenciku." Andini menghela nafas panjangnya, ia masih tidak mengerti kenapa Sinta bisa setega itu berselingkuh dengan suaminya. Meskipun ia sudah tahu alasannya, namun tetap saja terasa sulit untuk mengerti jalan pikirannya.
"Tapi tetap saja, seharusnya dia merasa bersalah karena sudah mengkhianati kamu, bukan malah bersikap sebaliknya."
"Sudahlah, mungkin aku yang belum mengenalnya, atau mungkin memang aku yang salah. Sejak bersahabat denganku, Sinta sering sekali mengeluh tentang wajahnya saat itu, aku yang berpikir bila dia cantik hanya menyamangatinya tanpa bisa memahami perasaannya. Saat dia berkata kalau aku dulu banyak yang menyukai dari pada dia, aku sempat mengabaikan ucapannya, tapi sekarang aku mulai memahaminya." Andini menundukkan wajahnya, sesekali ia menghela nafas panjangnya.
"Begitupun denganku sekarang, kemarin aku sempat bertanya-tanya kenapa Sinta tega mengkhianatiku, dia tidak bisa memahami perasaanku sampai dia berpikir bisa berselingkuh dengan suamiku. Mungkin itu juga yang Sinta rasakan dulu, saat dia diam-diam merasa iri denganku, tapi aku tidak bisa memahami keinginannya." Andini menatap ke arah Adnan yang menggeleng pelan, merasa tidak setuju dengan pemikirannya.
"Hanya karena kamu tidak bisa memahami Sinta pada saat itu, bukan berarti dia boleh membalasmu dengan bermain api di belakangmu. Ketidak pengertian dan pengkhianatan, itu sesuatu yang jauh berbeda, kamu tidak bisa menyamakan mereka hanya karena kamu merasa bersalah." Adnan menjawab tegas sembari merengkuh kedua pundak Andini, berharap wanita itu mengerti bila masalah yang dialaminya selama ini bukanlah kesalahannya.
"Aku tidak tahu kenapa aku bisa memikirkannya, mungkin karena aku terlalu banyak dikecewakan tanpa aku tahu kesalahanku apa? Jadi aku berpikir sebuah kemungkinan, yang bisa membuat diriku merasa lebih baik, setidaknya aku pantas mendapatkannya karena aku memang bersalah." Andini kembali menitikkan air matanya, hanya dengan cara seperti itu ia bisa menerima beban di hidupnya.
"Begitupun dengan Rio, dia berselingkuh dengan sahabatku, sering membawa jalang pulang ke rumah, sikapnya juga tidak bisa dikatakan baik. Hebatnya, aku bisa menerimanya, kamu tahu karena apa? Karena aku tahu kekuranganku, aku wanita mandul, artinya apa yang terjadi di hidupku sekarang itu memang murni kesalahanku, jadi aku harus menerimanya kan?" Andini bertanya ke arah Adnan yang terdiam, bibirnya tersenyum begitu menyedihkan dengan mata yang terus menangis membasahi wajah cantiknya.
"Aku tidak akan pernah setuju dengan apa yang kamu pikirkan sekarang. Hanya karena kamu memiliki kekurangan, bukan berarti orang-orang berhak merendahkan kamu. Kamu sangat berharga, tidak ada satupun orang di dunia ini yang boleh menyakiti kamu terlebih lagi dengan alasan kekurangan yang kamu miliki. kamu harus mengerti itu, Andini." Adnan berujar serius sembari menatap ke arah Andini yang kian menangis, di detik berikutnya Andini memeluk Adnan, melampiaskan rasa harunya padanya.
Jujur saja, Andini lagi-lagi dibuat bersyukur bertemu dengan lelaki seperti Adnan. Di saat orang-orang yang disayanginya justru menyakitinya, Adnan justru memberinya semangat dengan kalimat-kalimat yang dibutuhkannya.
"Iya, aku mengerti. Terima kasih." Andini menjawab dengan nada sedikit tenang, membuat Adnan tersenyum lega mendengarnya.
***
Di dalam ruang kerjanya, Rio terdiam memikirkan sikap Andini yang jauh berubah dari sebelum-sebelumnya. Padahal, apa yang dilakukannya cukup keterlaluan, ia sudah berselingkuh dengan Sinta, dengan sahabat baiknya. Namun reaksi Andini justru tidak seperti dugaanya, istrinya itu tampak tak acuh dengan pernikahan yang dijalaninya.
Kemarin, Sinta pulang dari meeting setelah mewakilinya lalu tiba-tiba dia datang ke ruangannya untuk menemuinya, dia berkata telah bertemu dengan Andini di jalan. Saat itu ekspresi Sinta tampak khawatir dan ketakutan, Rio yang melihatnya hanya berusaha menenangkannya dengan cara memeluknya.
Setelah Sinta tenang, Rio bertanya ada apa. Di saat itu lah Sinta bercerita bila ternyata Andini sudah mengetahui perselingkuhannya dengan Rio. Anehnya Andini tidak merespon berlebihan, wanita itu bahkan tidak menangis saat mengatakannya, membuat Sinta kepikiran meski dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Rio yang mendengar semua cerita Sinta hanya berpikir, dari mana Andini bisa mengetahui perselingkuhannya. Itu lah kenapa saat Rio pulang, ia bertanya, namun jawaban Andini pun terkesan sama. Istrinya itu menjawab dengan nada tenang dan bahkan tanpa reaksi berlebihan lainnya, dia benar-benar seperti seseorang yang sudah tidak peduli lagi dengan kabar semacam itu.
Meskipun Rio berusaha tidak peduli dengan respon Andini, namun anehnya hati dan otaknya terus saja memikirkannya. Ia tak henti-hentinya bertanya, kenapa Andini tampak berbeda. Padahal, sejak awal Rio tidak pernah peduli, Andini akan tahu atau tidak tentang hubungannya dengan Sinta, namun sekarang justru Rio yang berharap Andini tidak pernah mengetahuinya.
Memikirkan semua itu, nyatanya tak mampu membuat Rio bisa berpikir jernih, terlebih lagi bersikap seperti dulu lagi, saat dirinya tidak ingin memedulikan istrinya kembali. Sampai saat Rio memikirkan hal lain, tentang siapa yang sudah memberitahukan ke Andini tentang perselingkuhannya dengan Sinta, karena Rio tidak akan pernah percaya dengan jawaban Andini yang mengatakan bila dia kebetulan mengetahuinya.
"Apa Adnan yang sudah memberitahu Andini? Tapi, kenapa? Aku pikir dia akan menyembunyikannya untukku." Rio berpikir keras, Sepertinya sahabat baiknya itu bersikap melewati batasannya sekarang, membuat Rio diam-diam merasa geram, bisa dilihat dari caranya mengepalkan tangan.
"Kalau dipikir-pikir lagi, sikap Adnan ke Andini juga terlihat dekat, apa jangan-jangan mereka memang sudah akrab tapi aku saja yang tidak mengetahuinya?" Rio bergumam lirih, merasa apa yang dipikirkannya terasa cukup masuk akal. Sampai saat sebuah ketukan pintu menyadarkan pikirannya, di mana Sinta datang lalu menutup pintu ruangannya dan berjalan menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Rio setelah Sinta duduk di kursi yang berada di depannya.
"Aku cuma penasaran, apa kamu sudah menanyakan ke Andini tentang perselingkuhan kita? Apa respon dia?" Sinta bertanya serius, namun Rio tampak tidak terlalu memedulikannya.
"Dia biasa saja."
"Apa? Biasa saja, bagaimana? Aku ini sahabatnya, tapi aku justru memiliki hubungan dengan suaminya, bagaimana mungkin dia bisa bersikap biasa saja?" Sinta bertanya tak percaya, jujur saja ia merasa bersalah dengan Andini, namun ia juga tidak mungkin menunjukkan kekhawatirannya, karena gengsinya terlalu tinggi untuk melakukannya.
"Tenanglah! Andini memang tidak peduli dengan perselingkuhan kita, kamunya saja yang berlebihan sejak awal, sampai tidak mau Andini tahu hubungan kita. Padahal meskipun dia tahu pun, memangnya apa dampaknya ke kita? Kita masih tetap sama-sama kan?" Rio merengkuh kedua tangan Sinta untuk menenangkannya.
"Iya sih, tapi tetap saja aku merasa bersalah, mau bagaimana Andini, dia dulu sahabat baikku."
"Begitu ya? Lalu kenapa kamu mau mengkhianatinya?" tanya Rio kali ini, yang tentu saja tidak bisa Sinta terima pertanyaannya.
"Aku tidak ingin mengkhianatinya, kamu yang menggodaku lebih dulu. Hubungan kita itu semua berawal dari kamu, berarti kamu yang salah." Sinta melepas rengkuhannya, namun Rio justru tersenyum sembari kembali merengkuh tangan Sinta lagi.
"Iya-iya, aku yang salah. Aku minta maaf." Rio menjawab tulus, namun tak mampu membuat Sinta bisa sedikit lebih tenang.
"Tapi bagaimana dengan Andini? Dia pasti akan membenciku kan?"
"Memangnya kenapa? Toh, kamu tidak membutuhkan dia kan? Andini memang pernah menjadi sahabatmu, tapi kamu tidak tergantung pada dia, lalu kenapa kamu takut dia membencimu?" Rio bertanya tak habis pikir, yang diam-diam Sinta setujui ucapannya.
"Iya sih ...."
"Sudahlah, jangan terlalu memikirkannya. Bagaimana kalau nanti sore kita pergi ke mall? Kita makan malam, belanja, nonton? Bagaimana?" tawar Rio yang langsung disenyumi oleh Sinta, bisa dilihat dari caranya tersenyum sumringah.
"Iya, aku mau." Sinta menjawab bersemangat.
***
Rio mendirikan tubuhnya di depan pintu kamar mandi pria, ia sedang menunggu Adnan di sana. Rio berniat menanyakan kecurigaannya tentang siapa yang sudah memberitahukan ke Andini tentang perselingkuhannya dengan Sinta. Bila dipikir lagi, sahabatnya itu berpotensi besar menjadi pelaku utama atas kecurigaannya, mengingat dia cukup dekat dengan istrinya.
Sebenarnya Rio juga tidak ingin mencurigai sahabat baiknya itu, terlebih lagi setelah dia mengelak tuduhannya kemarin, tentang kedekatan antara dia dan Andini. Namun, entah bagaimana Rio merasa penasaran, ia ingin tahu rencana macam apa yang ingin sahabatnya lakukan.
"Rio," pangil Adnan setelah menyadari sahabatnya itu berdiri di dekat pintu kamar mandi.
"Kenapa kamu ada di depan pintu kamar mandi? Kalau kamu ada perlu kan tinggal masuk, ruangannya juga banyak yang kosong kok." Adnan menatap tanya ke arah Rio, yang menghela nafas panjang lalu menegakkan tubuhnya.
"Aku mau tanya sesuatu ke kamu." Rio berujar serius yang diangguki menegeti oleh Adnan.
"Okey. Kamu mau tanya apa?"
"Kamu kan yang memberitahu Andini tentang perselingkuhanku dengan Sinta?" tanya Rio serius, namun Adnan justru tampak tenang, seolah sudah mempersiapkan hal itu terjadi. Bisa dilihat dari caranya tersenyum, dengan sesekali memainkan lidah di dalam mulutnya.
"Kamu mencurigaiku? Tapi, kenapa? Kamu mulai meragukanku sekarang? Hem?" tanya Adnan terdengar ingin menggoda sahabatnya itu, namun Rio justru terlihat tak ingin digoda, ekspresi wajahnya tampak sama, tenang dan ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
"Kamu tinggal menjawabnya saja, apa susahnya? Jawab iya atau tidak, dan beri aku alasannya kenapa kamu memberitahu Andini tentang perselingkuhanku dengan Sinta?"
"Iya-iya, aku akan menjawabnya. Dan jawabanku tidak. Lalu kamu mau apa sekarang?" tanya Adnan dengan melebarkan kedua lengannya, seolah ingin tahu apa yang akan sahabatnya lakukan.
"Kamu tidak memberitahu Andini, lalu kenapa dia bisa tahu? Dia bilang, dia sengaja mengetahuinya saat aku dan Sinta ada di depan kantor. Menurutmu aku akan percaya alasan murahan seperti itu? Untuk apa Andini di sana, kalau bukan karena dia sengaja ingin memata-mataiku? Dan informasi yang dia dapatkan itu semua dari kamu kan?" tanya Rio serius, namun Adnan justru tersenyum, seolah apa yang Rio katakan adalah hal konyol yang tidak pernah terpikirkan, meskipun apa yang sahabatnya itu katakan seratus persen kebenaran.
"Asal kamu tahu, Yo, orang-orang yang bekerja di kantor ini semua sudah tahu perselingkuhan kamu dengan Sinta, apa kamu tidak berpikir mungkin saja salah satu di antara mereka pelakunya, kamu tidak akan tahu kan? Lalu kenapa kamu bisa tega mencurigaiku, aku pikir, kita teman." Adnan berujar tenang, nada suaranya bahkan terdengar kecewa, meskipun bibirnya tersenyum ke arah sahabatnya.
"Semua pekerja di sini memang tahu Andini, karena aku pernah mengajak dia dan memperkenalkannya ke mereka. Tapi, mustahil mereka berani ikut campur dengan masalah rumah tanggaku?" Rio tampak goyah dengan kecurigaannya pada Adnan, ia merasa bingung dengan apa yang dipikirkannya sekarang.
"Tidak ada yang tahu kan? Atau jangan-jangan ... Sinta yang sudah mengatakannya pada Andini?" tebak Adnan yang langsung Rio gelengi kepala, merasa mustahil bila Sinta yang melakukannya.
"Mana mungkin? Sinta sendiri yang tidak ingin Andini tahu hubunganku dengan dia."
"Mungkin saja dia hanya berpura-pura? Padahal sebenarnya dia hanya ingin memiliki kamu seutuhnya, jadi dia sengaja memberitahu Andini semuanya."
"Tidak mungkin Sinta melakukan hal itu," jawab Rio sembari menggeleng pelan.
"Iya, mungkin memang bukan dia yang melakukannya, tapi bukan berarti kamu bisa mencurigaiku ya?" jawab Adnan sembari menyenggol pundak Rio, yang hanya didiami oleh empunya.
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu jadi mempermasalahkannya sekarang? Bukannya kamu tidak peduli ya kalau Andini tahu atau tidak perselingkuhanmu dengan Sinta?" tanya Adnan penasaran, ia ingin tahu alasan apa yang mendasari Rio mencari pelakunya.
"Aku memang tidak mempedulikannya, bahkan tidak akan pernah. Aku hanya merasa penasaran akan sesuatu hal, tapi aku tidak bisa mengatakannya ke kamu." Rio tampak ragu untuk mengakuinya, bila alasannya ingin mencari pelakunya, karena ia tidak suka melihat perubahan sikap Andini yang tampak tidak peduli dengan perselingkuhannya dengan sahabatnya.
"Begitu ya? Baiklah."
"Iya. Aku minta maaf sudah menuduhmu, aku tidak bermaksud buruk, aku hanya merasa penasaran saja." Rio menepuk pundak Adnan, yang diangguki mengerti oleh empunya.
"Tidak masalah."
"Aku ke ruanganku dulu," pamit Rio lalu berlalu pergi, yang lagi-lagi hanya Adnan angguki, tanpa Rio menyadari bagaimana bibir sahabatnya itu tersenyum sinis melihat punggungnya.
Part 16
Part 16.
Semakin hari, hubungan Andini dan Adnan semakin dekat, mereka bahkan sering menghabiskan malam bersama, terutama saat tidak ada Rio di rumah. Seperti saat ini, saat Adnan tiba-tiba menggendong tubuh Andini yang baru selesai mencuci piring di dapur.
Andini yang merasa tubuhnya melayang itu sempat menjerit terkejut, namun saat tahu Adnan yang menggendongnya, bibirnya seketika tertawa meski kekesalan tampak jelas di wajah cantiknya.
"Aku kaget, kamu sengaja ya?" Andini memukul dada Adnan, yang justru tertawa melihat respons Andini yang menggemaskan menurutnya.
"Kalau iya, kenapa?" tantang Adnan dengan ekspresi wajah ingin menggoda, matanya bahkan mengerling beberapa kali ke arah Andini yang kian tidak percaya dengan kekonyolannya.
"Tidak apa-apa. Turunkan saja aku!" Andini yang sudah sangat lelah itu hanya ingin turun dari gendongan Adnan, ia tidak ingin Adnan menggendongnya terlalu lama.
"Aku tidak mau." Adnan menggeleng pelan, bibirnya tersenyum penuh percaya diri, yang tak membuat Andini mengerti.
"Kenapa?"
"Aku hanya ingin mengantarkan Tuan putriku ke tempat tidurnya, apa itu tidak boleh?" Adnan melangkahkan kakinya sembari terus menggendong Andini yang tersipu malu mendengar jawabannya.
"Sayangnya, tempat tidur Tuan putri ini berada di lantai dua," jawab Andini menimpali candaan Adnan yang terbiasa ia dapatkan.
"Lalu kenapa?"
"Tubuh Tuan putri ini terlalu berat, Anda tidak akan sanggup menggendongnya sampai ke lantai atas." Andini berbisik ke arah Adnan, bibirnya tersenyum semringah, merasa bahagia bisa berbalas peran dengan Adnan.
"Kalau saya bisa melakukannya, hadiah seperti apa yang akan Tuan putri berikan pada saya?" Adnan menaikkan salah satu alisnya, ucapannya terdengar penuh percaya diri, bahkan dengan kaki melangkah dan tangan yang masih bertahan mengendong tubuh Andini.
"Tidak usah bercanda, turunkan saja aku!" ujar Andini serius, nada suaranya terdengar meremehkan Adnan.
"Tidak mau," jawab Adnan tegas sembari terus berjalan, bahkan saat melewati tangga untuk ke lantai atas. Sedangkan yang Andini lakukan hanya terdiam, bibirnya tampak kagum melihat ke arah Adnan yang terus menggendongnya bahkan saat menaiki tangga.
"Lihat, kita sudah berada di lantai atas, aku bisa kan menggendongmu sampai ke sini?" Adnan bertanya dengan nada bangga, bahkan wajahnya mendekat ke arah Andini yang kian salah tingkah.
"Okey, kamu memang hebat. Sekarang bisa turunkan aku?" Andini memalingkan wajahnya, berusaha menghindari wajah Adnan yang menggeleng pelan.
"Aku tidak mau, sebelum kamu memberikan aku hadiah karena sudah menggendongmu dari lantai bawah."
"Hadiah apa? Aku tidak menjanjikannya kan?" Andini menatap tak terima ke arah Adnan yang justru tersenyum melihat keterkejutannya.
"Hadiahnya malam ini kamu harus bersamaku lagi." Adnan melangkah ke arah kamarnya, matanya terus tertuju ke arah Andini, bahkan saat membuka pintunya, membuat Andini kian salah tingkah dengan jantung berdebar di dadanya.
"Ta-tapi, bagaimana dengan Rio? Apa dia pulang malam ini?" Andini bertanya kaku, tatapan Adnan selalu saja berhasil membuat jantungnya tak karuan.
"Rio tidak pulang malam ini." Adnan menurunkan tubuh Andini di ranjangnya, setelah menutup dan mengunci kamarnya.
Andini hanya bisa pasrah, saat Adnan mendekatkan wajahnya ke arahnya, bahkan saat tubuh lelaki itu menindihnya dengan sesekali membelai leher dan kulitnya. Andini dibuat merinding dan berdebar, namun sangat menikmati permainan yang Adnan lakukan. Keduanya kembali menghabiskan malam lagi dan lagi, terutama saat Rio tidak ada di rumah seperti saat ini.
***
Setiap hari, Rio semakin dibuat gelisah dengan tingkah Adnan dan Andini. Mereka terlihat kian dekat dari sebelumnya, seperti pagi ini, saat ia dan Adnan akan berangkat bekerja, Andini memang menyiapkan semua keperluannya seperti baju dan sarapan, namun yang tidak bisa Rio terima, istrinya itu hampir setiap saat tersenyum ke arah Adnan.
Awalnya, Rio tidak memedulikannya, ia bahkan sempat berpikir kalau Andini mungkin sedang bahagia, lalu tanpa sengaja tersenyum ke arah Adnan. Namun semakin lama, Rio semakin menyadarinya, bila kebahagiaan Andini saat itu berasal dari sahabatnya.
Rio berpikir seperti itu, karena Adnan juga melakukan hal yang sama, sahabatnya itu tampak ingin membalas senyuman Andini. Saat Rio melihat mereka saling menatap, di saat itu lah ia berpikir ada sesuatu di antara mereka.
"Jangan-jangan ... mereka berselingkuh di belakangku?" gumam Rio dengan tangan mengepal, membayangkannya saja sudah membuatnya marah, lalu bagaimana bila hal itu benar adanya, Rio mungkin tidak akan bisa memaafkan mereka.
"Sepertinya aku harus sering-sering berada di rumah, aku ingin tahu apa Andini dan Adnan benar-benar berselingkuh seperti dugaanku?" Rio mengangguk yakin, diam-diam ia akan memata-matai mereka sekarang.
"Sayang," panggil Sinta yang baru saja datang, wanita itu berjalan ke arahnya dengan tersenyum manis seperti biasanya.
"Ada apa?"
"Nanti malam kita restauran baru yang ada di jalan Jawa ya? Kata teman-temanku, di sana makanannya enak-enak." Sinta duduk di pangkuan Rio dengan sesekali membelai wajahnya, berharap lelaki itu mau mengabulkan permintaannya.
"Aku tidak bisa, aku ada urusan keluarga."
"Ada urusan keluarga apa? Kamu mau ke rumah orang tuamu, Aku juga mau ikut ke sana ya?" mohon Sinta, namun Rio menolaknya dengan tenang, pikirannya masih kacau dengan segala dugaan yang berada di otaknya.
"Kemarin kan kita sudah menginap di sana, kalau sekarang aku tidak bisa mengajakmu dulu, keluargaku lagi ada masalah yang harus diselesaikan bersama tanpa orang luar." Rio menjawab bohong, membuat Sinta cemberut mendengarnya.
"Jadi aku orang luar buat keluargamu?"
"Bukan begitu, kamu bukan orang luar, tapi kamu belum menjadi bagian dari keluargaku." Rio tersenyum sembari menjewer pipi Sinta dengan gemas, membuat wanita itu mengeluh kesakitan.
"Sakit."
"Setelah urusan keluargaku selesai, kita akan ke tempat yang kamu mau itu, aku janji?" Rio menunjukkan jari kelingkingnya yang dipautkan oleh Sinta dengan jari yang sama.
"Deal." Sina tersenyum bersemangat, tanpa menyadari bagaimana Rio terus memikirkan hubungan Andini dan Adnan di dalam otaknya.
***
Saat ini, Adnan menyetir mobil Rio, ia dan sahabatnya itu berada di perjalanan untuk pulang. Saat berada di mobil terutama saat mereka bersama, biasanya mereka mengobrol, namun sekarang yang Rio lakukan hanya terdiam dan melamun, membuat Adnan merasa penasaran dengan apa yang sedang sahabatnya pikirkan.
"Rio," panggil Adnan setelah menghentikan mobilnya di halaman rumah sahabatnya, kini mereka sudah sampai ke tempat tujuan, namun Rio masih asyik dengan segala pemikirannya.
"Yo," panggil Adnan lagi, yang kali ini berhasil menyadarkan Rio, bisa dilihat dari caranya menoleh dengan mata bertanya.
"Ada apa?"
"Kamu kenapa? Ada masalah ya? Dari tadi kamu cuma diam, tidak seperti biasanya."
"Tidak ada, aku cuma memikirkannya pekerjaan, kita sudah sampai ya? Kita keluar sekarang." Rio membuka pintu mobilnya, lalu berjalan ke arah rumahnya, meninggalkan Adnan yang kian merasa aneh dengan sikapnya, meski pada akhirnya yang Adnan lakukan hanya menaikkan pundak lalu keluar dari mobil sahabatnya.
Di dalam rumah, Andini yang tengah menyapu lantai itu tiba-tiba merasa pusing, perutnya juga terasa mual, padahal tadi ia tidak apa-apa. Namun saat mendengar suara mobil Rio yang berada di halaman rumah, tiba-tiba tubuhnya melemah entah karena apa.
Andini masih terus menyapu, meski tubuhnya merasa kurang nyaman untuk terus melanjutkan pekerjaannya. Matanya juga memejam beberapa kali dengan tangan menahan perutnya yang terasa kian mual, sebenarnya apa yang salah pada dirinya, Andini merasa aneh, karena tidak biasanya ia seperti sekarang.
"Kenapa wajahmu pucat?" Rio yang baru datang itu bertanya ke arah Andini setelah memerhatikan wajah istrinya yang tampak memucat.
"Aku tidak apa-apa," jawab Andini dengan nada melemah, ia bahkan tampak tidak mampu menopang seluruh tubuhnya.
"Andini, kamu kenapa?" Adnan yang baru datang itu seketika terkejut melihat wajah Andini, ia bahkan langsung berlari ke arahnya setelah menyadarinya dan membantunya untuk tetap berada di tempatnya.
"Kepalaku pusing dan perutku juga kurang nyaman." Andini menjawab lemah, jawabannya juga berbeda saat Rio menanyakan keadaannya.
"Kamu pasti salah makan," ujar Adnan terdengar sangat khawatir, tanpa mau menunggu lebih lama lagi, Adnan langsung menggendong Andini dan membaringkannya ke sofa.
Rio yang melihat sikap berlebihan sahabatnya itu hanya terdiam, merasa ada yang janggal dengan cara Adnan memperlakukan Andini. Sahabatnya itu terlihat begitu perhatian, ekspresi wajahnya juga tampak sangat khawatir, seolah Andini adalah wanita yang sangat berharga untuknya.
"Aku harus melanjutkan pekerjaanku." Andini ingin bangun dari tidurnya, namun Adnan langsung menahan tubuhnya, ia tidak ingin terjadi sesuatu lebih parah lagi pada Andini.
"Aku yang akan melanjutkan pekerjaanmu, aku juga yang akan memasak untuk makan malam, kamu istirahat di sini saja ya?" Adnan berujar serius sembari meletakkan tasnya dan membuka sepatunya, lengan kemejanya ia gulung, untuk mempermudahnya melakukan pekerjaan.
"Kenapa kamu yang harus melakukan pekerjaan rumah? Ini kan tugas Andini." Rio bertanya ke arah Adnan yang baru saja mengambil sapu untuk membersihkan lantai rumah.
"Tidak apa-apa, aku juga tidak lelah."
"Bukan begitu maksudku ...."
"Aku menyapu dulu ya, sebentar lagi aku juga harus memasak makan malam. Lebih baik kamu ke kamar saja, nanti kalau aku selesai semuanya, aku akan memanggilmu." Adnan menepuk pundak Rio yang tampak ragu dengan ucapan sahabatnya.
"Kamu yang akan memasak ...?"
"Iya, tenang saja. Masakanku juga enak kok. Kamu bisa pergi ke kamar sekarang, tolong jangan menyuruh Andini untuk saat ini, kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa menyuruhku." Adnan menjawab serius yang hanya bisa Rio diami, meski pada akhirnya ia berjalan pergi ke arah kamarnya dengan banyak pertanyaan di otaknya.
Adnan yang menyapu dengan cepat, setelah selesai ia langsung menghampiri Andini, ia ingin tahu keadaan wanita itu. Adnan sendiri tidak mengerti, kenapa Andini bisa sakit sampai seperti saat ini, padahal tadi pagi wanita itu terlihat baik-baik.
"Kamu masih pusing?" tanya Adnan terdengar khawatir, yang hanya Andini angguki.
"Kamu tadi makan apa, kok bisa sakit? Wajah kamu juga sangat pucat." Adnan membelai wajah putih milik Andini, ia benar-benar sangat mengkhawatirkan wanita itu.
"Aku belum makan dari pagi, mungkin karena itu. Biasanya aku juga tidak apa-apa, tapi sekarang perutku terasa keram dan mual secara bersamaan?" Andini meringis kesakitan, yang kian membuat Adnan mengkhawatirkannya.
"Kita ke dokter sekarang ya?"
"Tidak perlu, mungkin aku hanya butuh makan."
"Apa yang ingin kamu makan? Aku akan memasaknya untukmu."
"Aku ingin ayam kecap pedas."
"Oh itu mudah, aku akan memasaknya untukmu, kamu tunggu ya? Jangan ke mana-mana, kamu harus beristirahat dengan total malam ini." Adnan menjawab serius yang diangguki oleh Andini sembari tersenyum manis.
"Iya, terima kasih." Andini menjawab tulus, yang langsung Adnan angguki lalu melangkah pergi, meninggalkan Andini yang bersyukur memilikinya sebagai lelaki.
Part 17
Part 17.
Setelah sampai di kamarnya, Rio mandi dan berganti baju lalu membaringkan tubuhnya di ranjang. Selama melakukan semua itu, otaknya tak henti-hentinya berpikir tentang kedekatan Adnan dan Andini yang dilihatnya hari ini.
Mereka seperti sepasang kekasih, seperti saat Adnan terlihat begitu mengkhawatirkan kondisi Andini, dan Andini yang tampak menerima semua perlakuan Adnan saat membantunya. Entah kenapa, Rio merasa ada sesuatu yang sedang mereka perankan di belakangnya, semacam hubungan gelap yang sengaja mereka sembunyikan.
"Mereka pasti berselingkuh di belakangku, mustahil mereka bisa sedekat itu," gumam Rio yakin, tangannya bahkan mengepal kuat, merasa tidak terima saja dikhianati oleh sabahat dan istrinya sendiri.
Bila memang benar Adnan mengkhinatinya, Rio pasti tidak akan bisa memaafkannya, terlebih lagi setelah apa yang sudah ia lakukan untuk membantu sahabatnya itu. Rio sudah membantu Adnan mendapatkan pekerjaan dan bahkan memberinya tempat tinggal, akan sangat sulit untuk Rio mengerti bila benar sahabatnya itu tega mengkhinatinya.
"Aku harus mencari tahunya." Rio mendirikan tubuhnya, lalu berjalan ke arah pintu kamarnya, namun saat dibuka, ia justru mendapati Adnan di sana.
"Adnan? Kenapa kamu berada di depan kamarku?"
"Aku baru saja ingin memanggilmu, tapi kamu sudah membuka pintu lebih dulu."
"Memang ada apa?" Rio keluar dari kamarnya, lalu menutup pintunya sembari terus menatap ke arah sahabatnya.
"Aku hanya ingin menyuruhmu makan malam, bukannya tadi aku sudah mengatakannya ya?" jawab Adnan yang kali ini Rio mengerti maksud dari ucapan sahabatnya.
"Iya, aku akan turun untuk makan malam." Rio menjawab seadanya, sedangkan Adnan hanya mengangguk lalu berjalan ke lantai bawah, meninggalkan Rio yang tampak santai dengan langkahnya.
Di tengah-tengah kakinya berjalan, Rio masih memikirkan sikap Adnan pada istrinya, sahabatnya itu begitu memedulikan Andini atau memang perasaannya. Namun satu hal yang pasti, Rio tidak akan memaafkan Adnan dan Andini bila benar mereka memiliki hubungan di belakangnya.
Saat Rio sudah turun ke lantai bawah, Rio sempat dibuat takjub dengan banyak makanan yang sudah tertata rapi di mejanya. Adnan yang tengah mengambil nasi dan lauknya, tak mampu Rio tahan bibirnya untuk tidak bertanya.
"Siapa yang sudah memasak makanan sebanyak ini? Bukannya Andini sedang sakit ya!"
"Kan aku sudah mengatakannya, aku yang akan memasak malam ini." Adnan bertanya serius ke arah Rio yang tampak bingung.
"Iya-iya, aku baru ingat. Tapi, kenapa kamu masak makanan sebanyak ini?"
"Bukannya ini kebiasaanmu ya? Makan dengan banyak lauk, awalnya aku pikir kamu sudah berubah, tapi kata Andini kamu tetap sama." Adnan tersenyum kecil sembari terus menyiapkan makanan di atas piring yang berada di tangannya.
"Andini yang mengatakannya ke kamu?" Rio memicingkan matanya, yang diangguki oleh Adnan kali ini.
"Iya. Kamu makan malam dulu ya, aku akan memberi Andini makanan, sepertinya dia sakit karena telat makan." Adnan tersenyum tipis ke arah Rio lalu pergi begitu saja tanpa mau menunggu jawaban sahabatnya itu.
Rio yang melihat Adnan pergi itu seketika berjalan mengikutinya dari belakang, diam-diam ia memerhatikan apa yang sedang Adnan lakukan. Sahabatnya itu tengah menghampiri Andini dan membantunya untuk duduk, dia juga tampak telaten menyuapi Andini yang terlihat masih lemah.
"Apa-apaan mereka? Kenapa mereka bisa bersikap sedekat itu tanpa menghargai keberadaanku di rumah ini?" Rio tampak geram, namun tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali membiarkan mereka untuk sementara.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mengusir Adnan? Ya, aku harus melakukannya. Tapi tidak sekarang, aku harus mengumpulkan banyak bukti kalau mereka memiliki hubungan, dengan begitu aku bisa memisahkan mereka." Rio mengangguk mantap lalu pergi kembali ke tempatnya.
Di sisi lainnya, Adnan tersenyum ke arah Andini yang begitu lahap memakan masakannya, sampai saat bibirnya merapat penuh keraguan. Di saat itu lah Andini menatapnya dengan mata bertanya, karena rasanya Adnan sedang ada masalah.
"Ada apa?" tanya Andini khawatir, namun Adnan justru tersenyum canggung sembari mengusap lehernya yang terasa hangat.
"Sepertinya aku terlalu mengkhawatirkanmu, sampai aku tidak sadar sikapku sudah berlebihan ke kamu."
"Maksud kamu bagaimana?"
"Ya, kamu ingat kan tadi aku langsung menghampirimu saat aku tahu kamu kesakitan, aku bahkan menuntunmu ke sofa, menggantikan pekerjaanmu, memasak makanan, dan menyuapimu makan. Padahal Rio sedang berada di rumah, bagaimana kalau dia curiga dengan hubungan kita?" ujar Adnan terdengar merasa bersalah, namun Andini justru tersenyum mendengarnya.
"Aku pikir, kamu kenapa? Kalau Rio mencurigai kita, memangnya kenapa? Aku malah penasaran, bagaimana reaksinya saat tahu kalau dia sedang diselingkuhi dengan sahabat dan istrinya sendiri? Pasti menarik." Andini tersenyum ke arah Adnan yang turut tersenyum menatapnya, lalu kembali menyuapinya dengan makanan.
"Iya, bahkan akan sangat menarik." Adnan menjawab dengan tenang tanpa meninggalkan senyumnya, namun justru Andini yang merapatkan bibirnya sembari mengunyah makanannya sekarang.
"Tapi, posisi kamu di rumah ini bisa terancam. Kamu bisa saja diusir oleh Rio." Andini berujar serius, diam-diam ia merasa takut kalau hal itu terjadi, nasibnya bisa seperti dulu lagi, kesepian tanpa ada orang yang akan melindungi dan menghiburnya setelah Rio menyakitinya.
"Aku tidak apa-apa diusir oleh Rio, aku masih punya rumah untuk aku tinggali." Adnan tersenyum ke arah Andini, namun tidak dengan wanita itu kali ini.
"Tapi, aku ingin tetap bersamamu ...." Andini menatap ke arah lain dengan mata hampa, ia takut Adnan meninggalkannya.
"Kalau begitu, kamu harus ikut denganku." Adnan merengkuh tangan Andini, namun tak mampu membuat wanita itu tersenyum kembali, seolah akan banyak hal yang harus ia terima sebagai konsekuensinya.
"Aku sudah bilang kan, aku tidak bisa menceraikan Rio, bagaimana mungkin aku ikut denganmu?" Andini menatap ke arah Adnan yang terdiam, menyaksikannya menangis oleh rasa beban.
"Kamu katakan sekarang, kenapa kamu tidak bisa menceraikan Rio? Kalau kamu mengatakannya, aku akan berusaha mencari cara untuk membantumu, Andini. Setelah apa yang sudah kita lewati, apa kamu belum bisa mencintaiku? Apa kamu masih belum bisa memercayaiku?" Adnan bertanya serius, namun Andini justru terdiam tanpa berani menatap ke arah Adnan.
"Karena aku mencintaimu, makanya aku tidak ingin kamu membantuku."
"Lalu, apa maksud kamu ingin tetap bersamaku? Tapi, kamu tidak mau menceraikan Rio? Kamu ingin memposisikan aku sebagai selingkuhanmu selamanya, padahal Rio bisa saja mencurigai hubungan ini tanpa sepengetahuan kita." Adnan berujar serius, yang bisa Andini mengerti maksud dari ucapannya.
"Maafkan aku, aku akan memikirkannya."
"Iya, kamu harus memikirkannya, karena mustahil untuk kita tetap bersama di hubungan seperti ini." Adnan berujar dengan nada yang sama, yang kian membuat Andini bimbang memikirkannya.
"Iya ...." Andini menjawab bimbang.
Jujur saja, Andini tidak ingin kehilangan Adnan, namun ia juga tidak mungkin menceraikan Rio demi lelaki itu, karena ada satu hal yang mengharuskannya bertahan dengan suaminya yang kejam itu.
"Oh ya, apa kamu bisa beristirahat di sini?" tanya Adnan kali ini, yang ditatap tanya oleh Andini.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya tidak ingin kamu istirahat di kamarmu, nanti aku jadi tidak bisa menemani dan menjaga kamu." Adnan berujar tulus, membuat Andini tersenyum lalu mengangguk setuju.
"Iya, aku akan beristirahat di sini."
"Tapi, Rio tidak apa-apa kan?"
"Dia biasa tidur tanpaku, lalu apa salahnya kalau aku tidur di sofa malam ini?" Andini tersenyum sembari membelai rambut Adnan, merasa bahagia memiliki lelaki baik dan perhatian seperti dia.
"Baguslah, jadi kalau kamu butuh sesuatu, aku bisa membantumu. Kamu makan lagi ya?" tawar Adnan yang Andini angguki.
"Oh ya, bagaimana rasanya? Enak?"
"Sangat enak. Terima kasih ya sudah memasak untuk menggantikan aku?" ujar Andini tulus.
"Iya, sama-sama."
***
Keesokan paginya, Andini terbangun dari tidurnya, kepalanya masih terasa pusing dengan tubuh yang sedikit lemah. Andini sendiri tidak mengerti, kenapa tubuhnya masih terasa sama saat terakhir kali ia makan dan beristirahat. Bila dia sakit karena telat makan, seharusnya tubuhnya sudah sedikit lebih baik sekarang.
Merasakan soal tubuhnya yang masih terasa sama, Andini sampai tidak menyadari kalau Adnan sudah pergi dari sofa, tempatnya beristirahat tadi malam. Andini bertanya-tanya, ke mana lelaki itu pergi sekarang, padahal ia membutuhkannya sekarang untuk membantunya memasak.
Meskipun sedang sakit, Andini harus tetap memasak untuk sarapan, terutama untuk Rio yang paling tidak bisa bekerja dengan perut kosong. Suaminya itu bisa saja memarahinya, atau bahkan akan merendahkannya seperti saat ia melakukan kesalahan kecil sekalipun.
Tidak ingin hal itu terjadi, Andini berusaha mendirikan tubuhnya, namun sebuah tangan seolah ingin menahannya untuk tetap di sana. Andini yang tidak tahu itu siapa, menoleh ke arahnya, dan mendapati Adnan sudah berganti baju dengan kemeja kerja, penampilannya juga sudah rapi seperti pagi biasanya.
"Kamu mau ke mana? Kenapa tidak menunguku kembali?" tanyanya terdengar khawatir.
"Kamu sendiri dari mana?"
"Aku dari kamar, aku baru saja mandi dan berganti pakaian, aku harus tetap bekerja, Rio bisa saja curiga dengan hubungan kita, kalau aku terlalu merawat dan memedulikanmu." Adnan berujar jujur, yang bisa Andini mengerti, meski sebenarnya ia ingin sekali lelaki itu tetap berada di sisinya sepanjang hari.
"Iya, aku mengerti. Tapi sekarang aku harus memasak untuk sarapan, Rio bisa saja marah kalau aku tidak menyiapkannya makanan untuknya."
"Kamu tenang saja, aku sudah memasak tadi subuh. Sekarang, kamu duduk saja dulu, aku akan menyiapkan makanan untuk kamu sarapan ya?" ujar Adnan yang langsung berdiri tanpa mau menunggu jawaban, lelaki itu bahkan langsung berlari untuk mengambil makanan untuk Andini. Sedangkan yang Andini lakukan hanya menghela nafas panjang, lagi-lagi ia dibuat tersentuh oleh perhatian yang Adnan berikan.
"Apa sebaiknya aku memberitahunya alasan apa yang membuat aku mau bertahan dengan Rio? Mungkin saja, Adnan benar-benar bisa membantuku." Andini bergumam lirih, hatinya kembali ke titik dilematis.
Di sisi lainnya, Rio lagi-lagi dibuat heran dengan kelakuan Adnan, sahabatnya itu memasak lagi untuk sarapan, hanya untuk membantu Andini yang tengah sakit sekarang. Rio semakin yakin, di antara Andini dan Adnan memang sedang ada hubungan yang sengaja mereka sembunyikan.
"Kamu masak lagi pagi ini?" tanya Rio yang sedang berada di kursi makannya, sedangkan Adnan baru saja datang entah dari mana.
"Iya. Kenapa? Masakanku kurang enak ya?" Adnan menjawab tenang, berbeda dengan Rio yang tampak sedang menahan amarah.
"Kamu melakukan semua ini cuma demi Andini? Iya, kan? Kenapa? Kamu menyukainya?" Rio bertanya serius ke arah Adnan yang terlihat biasa saja dengan pertanyaan yang Rio lontarkan.
"Aku tidak menyukainya, Andini kan istrimu?" Adnan menjawab dengan nada tak habis pikir, yang tentu saja mendapatkan senyuman sinis dari bibir Rio.
"Kalau kamu sadar Andini itu istriku, kenapa kamu membantunya? Kamu bahkan menemaninya tidur tadi malam?" Rio bertanya geram, yang kali ini sempat Adnan diami sebentar. Itu artinya, tadi malam Rio tahu ia menemani Andini tidur di sofa, ternyata sahabatnya itu diam-diam mencurigainya, pikir Adnan sekarang.
"Iya, memangnya kenapa? Toh, kamu juga tidak akan merawatnya kan? Selama aku di sini, istrimu itu sudah banyak membantuku, apa salahnya kalau aku membalas kebaikannya saat dia sedang sakit!" Adnan bertanya tak mengerti, yang tentu saja tidak bisa Rio diami begitu saja.
"Apa katamu?"
"Sepertinya kamu sudah sangat salah paham, Yo. Aku hanya ingin membalas kebaikan istrimu, bukan berarti aku harus menyukai dia kan? Kamu sendiri yang bilang, kalau Andini tidak berguna karena dia mandul, seharusnya kamu berpikir ulang untuk menuduhku, karena sangat mustahil aku menyukai istrimu itu?" Adnan menjawab mantap, meski semua itu seratus persen kebohongannya, namun nyatanya berhasil membuat Rio bimbang saking hebatnya ia bermain peran.
"Maafkan aku, aku pikir kamu ... memiliki hubungan dengan istriku."
"Cih, ada-ada saja kamu, aku baik dengan istrimu, karena dia memperlakukanku dengan baik juga. Aku akan memberinya sarapan dulu, kamu tidak mau kan dia terus-terusan sakit dan menyusahkanmu," ujar Adnan sembari menunjukkan piring berisikan nasi dan lauk, tak lupa juga satu gelas air.
"Iya ...." Rio dibuat dilema, ia benar-benar bingung dengan apa yang dipikirkannya sekarang. Entah sahabat dan istrinya itu sedang mengkhinatinya atau tidak, namun yang pasti Rio belum menemukan bukti yang nyata untuk menuduh sahabatnya, terlebih lagi memiliki alasan untuk mengusirnya dari rumahnya
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
