
"Om, nikah yuk!"
"Anak kecil kaya kamu itu seharusnya kuliah, supaya masa depanmu cerah. Ini malah mau mengajak menikah."
"Buat apa kuliah, Om? Kalau cita-cita Naya enggak harus pakai gelar sarjana?"
"Memangnya cita-cita kamu apa?"
"Menikah sama Om Steven dan menjadi Ibu dari anak-anaknya Om Steven."
Selama tiga puluh tiga tahun Steven hidup di muka bumi ini, selama itu pula Steven berpikir bila hidupnya itu serasa damai dan tenang. Namun semua itu berubah, setelah dirinya bertemu dengan gadis belia...
Part 06
Seperti siang-siang sebelumnya, yang Steven lakukan saat ini hanya menunggu, setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat-cepat hanya karena ingin menikmati makanan yang akan Kanaya kirimi nanti. Sudah beberapa hari ini, Kanaya masih terus saja mengirimi Steven makanan, meskipun tak pernah mendapatkan respon dari lelaki itu, tapi nyatanya Kanaya tak pernah lelah berusaha.
Sekarang, Steven yang justru dibuat kecanduan dengan penantian kiriman makanan itu. Rasanya, hari-harinya tak akan lengkap bila tidak memakan masakan Kanaya yang datang setiap jam makan siang menjelang.
Aneh, entah kenapa kebiasaan Kanaya yang suka mengirim makanan itu justru turut menjadi kebiasaan Steven untuk selalu menunggunya. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya? Steven merasa aneh. Mungkin rindu, tapi bagi Steven itu terlalu konyol meskipun ia ingin mengakui hal itu.
"Kanaya," gumamnya sembari menyenderkan punggungnya di kursinya lalu menatap langit-langit ruangannya, ingatannya menjelajah saat Kanaya datang ke ruangannya untuk menyapanya. Senyum tulus gadis itu seolah mampu membuat Steven turut tersenyum kala membayangkannya.
Cukup lama Steven beristirahat sembari membayangkan segala tingkah laku Kanaya, suara ketukan pintu ruangannya itu kini terdengar, membuat Steven tersenyum mendengarnya. Karena lelaki itu sangat yakin, bila satpam kantornya itu yang datang untuk memberikan rantang makanan milik Kanaya.
"Masuk," jawab Steven terdengar datar sembari berusaha terlihat sedang sibuk merapikan beberapa berkas miliknya yang bertebaran di atas mejanya.
"Ini Pak, seperti biasa dari Nona Kanaya." Suara satpam kantornya terdengar, tanpa mau Steven tatap empunya.
"Iya, taro saja di situ!" pintanya sembari menunjuk ke arah meja bagian depannya, yang lagi-lagi tanpa mau menatap si satpam.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak." Steven hanya mengangguk saat satpam kantornya berpamitan. Tak lama, terdengar pintu ruangannya tertutup membuat Steven yakin bila satpam tersebut sudah pergi dari ruangannya sekarang.
Dengan perasaan lega, Steven melirik ke seluruh ruangannya yang sudah tidak ada orang lagi selain dirinya. Dengan cepat, Steven mengambil rantang Kanaya untuk mengambil kertas surat yang selalu Kanaya selipkan di bagian ganggang rantang.
Om, Kanaya capek nulis surat buat Om. Soalnya eggak pernah Om balas juga.
Tapi tenang, Om. Kanaya enggak pernah capek kalau cuma masak buat Om. Soalnya kan nanti Kanaya bakal masak setiap pagi, siang, dan malam buat keluarga kita kan, Om. Ciye-ciyeeeeee.
Oh iya, Om.
Kapan nih kira-kira Naya bisa ketemu lagi sama Om Steve? Masa Om enggak kangen sih sama Naya? Enggak enak tahu LDR-an kaya begini, Om. Naya capek nahan kangen sama Om. Naya kan juga mau ketemu.
Sampai Naya itu iri loh Om sama rantangnya Naya sendiri. Masa dia setiap hari ketemu sama Om, dibelai-belai sama Om, diangkat-angkat sama Om. Naya juga kan mau, Om.
Om, kapan Naya boleh ke ruangannya Om Steven? Meskipun kita bakal nikah, Naya enggak kuat kalau dipingitnya lama kaya begini.
Itu saja ya Om yang ingin Naya tulis, Naya masih capek. I Miss you, Om Steven.
Membaca surat itu, lagi-lagi Steven dibuat tersenyum setiap menerimanya. Celotehan Kanaya yang tertoreh di kertas, seolah mampu membuat Steven merasakan kehadiran gadis itu.
Setelah puas membaca, Steven meletakan surat Kanaya di sebuah kotak seperti biasanya, yang memang sengaja Steven kumpulkan di sana, meski ia sendiri tidak tahu kenapa dia melakukannya. Lalu tatapan lelaki itu jatuh pada rantang Kanaya, tanpa mau menunggu lagi, Steven membukanya untuk melihat isinya.
Sayuran dan daging. Selalu saja itu inti dari masakan yang yang selalu Kanaya kirimi untuknya. Membuat Steven berpikir bila Kanaya juga memikirkan makanan yang seimbang untuk ia makan. Seperti saat ini, di mana di rantang tersebut sudah ada tumisan sayur dan ayam goreng yang ditepung lengkap dengan saosnya.
Di saat seperti ini entah kenapa Steven justru memikirkan surat yang baru ia baca tadi, tentang Kanaya yang juga ingin bertemu dengannya. Membuat Steven berpikir keras untuk bisa menemui gadis itu, tanpa harus ia yang repot-repot meminta Kanaya agar mau ke ruangannya.
Cukup lama berpikir, akhirnya Steven mendapatkan ide bagus, terlihat dari bibirnya yang tersenyum mengembang, merasa bangga dengan pemikiran otaknya sendiri. Dengan cepat, Steven mengambil ganggang teleponnya untuk menghubungi salah satu karyawannya.
***
Keesokannya, Kanaya datang kembali ke kantornya Steven seperti biasanya. Dengan ekspresi cemberut, Kanaya berjalan ke arah Pak Satpam yang selalu disapanya untuk meminta tolong agar mau memberikan makanan hasil masakannya ke Steven di ruangannya.
"Hallo, Pak Satpam yang bersahaja." Kanaya menyapa hangat seperti biasanya.
"Hm," sahut sang satpam terdengar acuh, sedangkan saat ini lelaki berkulit hitam itu tengah memasang sebuah kursi rakit untuk dijadikan tempat tunggu di lobi.
"Pak, Kanaya mau titip makanan lagi ya buat Pak Steven yang ganteng," ujar gadis itu sembari memberikan rantang makanannya ke arah satpam tersebut.
"Dan oh iya, Pak. Mana rantang yang kemarin?" tanyanya kali ini dengan masih menggunakan nada ceria seperti biasanya.
"Kamu enggak lihat ya? Saya ini masih kerja loh. Jangan ganggu saya dulu!" ujar sang satpam terdengar tak suka, membuat bibir Kanaya cemberut mendengarnya.
"Tapi kan, Pak. Saya mau titip makanan buat Pak Steven makan siang." Kanaya menjawab lirih.
"Tapi kan saya masih sibuk," jawab sang satpam masih fokus dengan aktivitas merakitnya.
"Ini sudah siang loh, Pak. Nanti kalau Pak Steven enggak makan bagaimana?" cicit Kanaya lirih, mencoba untuk merayu sang satpam untuk mau membantunya kembali kali ini.
"Aduh, bagaimana ya? Kamu minta tolong sama yang lain saja sana! Saya masih sibuk, kursi ini harus cepat-cepat selesai dirakit." Satpam itu mendirikan tubuhnya ke arah Kanaya yang justru terdiam, bingung harus meminta tolong ke siapa lagi kalau bukan ke satpam tersebut.
"Naya harus minta tolong ke siapa, Pak?" tanyanya ragu.
"Karyawan yang ada di dalam saja sana ya? Saya enggak bisa bantu dulu," jawabnya dengan kembali merakit kursinya. Sedangkan Kanaya hanya bisa mengangguk lesu, lalu berjalan masuk ke arah dalam kantor dengan ragu-ragu.
Di tempatnya Kanaya berdiri saat ini, yang gadis itu lakukan hanya terdiam sembari menatap ke arah para karyawan yang berlalu lalang di sekitarnya. Yang banyak di antaranya masih fokus dengan pekerjaannya sendiri-sendiri dan yang lainnya lagi berjalan begitu cepat seolah tengah diburu waktu, membuat Kanaya ragu untuk meminta tolong ke salah satu di antara mereka. Namun ada satu karyawan wanita yang tengah bersantai ria, terlihat dari caranya yang begitu asyik bermain ponsel, membuat Kanaya tersenyum melihatnya lalu berjalan ke arahnya berniat meminta tolong.
"Kak," panggil Kanaya sembari tersenyum hangat, setelah tubuhnya sampai di depan wanita tersebut.
"Iya, ada apa ya?"
"Begini, Kak. Biasanya saya minta tolong ke Pak Satpam, tapi sekarang beliau lagi sibuk. Boleh enggak saya minta tolongnya ke Kakak?" ujar Kanaya ragu, membuat wanita itu terdiam seperti tak enak hati.
"Aduh bagaimana ya, Dek. Saya mau makan siang nih, memangnya mau minta tolong apa?" tanya wanita itu.
"Mau minta tolong untuk antarkan ini ke Pak Steven," cicit Kanaya sembari memberikan rantang makanannya ke arah wanita tersebut.
"Berarti saya harus naik lagi dong, Dek ke lantai atas? Aduh, kalau itu saya enggak bisa, Dek. Saya minta maaf ya, soalnya jam makan siang kan enggak lama, kalau dibuat mengantarkan makanan ke Pak Steven nanti saya yang enggak bisa makan siang," jawabnya dengan nada bersalah.
"Begitu ya, Kak. Ya sudah, terima kasih ya Kak." Kanaya menjawab sopan sembari berusaha tersenyum, sedangkan wanita itu hanya mengangguk lalu berjalan pergi.
"Aduh, mau minta tolong ke siapa lagi?" gumam Kanaya bingung, sembari menatap orang-orang disekitarnya penuh sorot kecewa. Sampai saat matanya kembali menemukan Karyawan lelaki yang sepertinya bisa dimintai pertolongan.
"Mas," panggil Kanaya sembari sedikit berlari ke arah lelaki tersebut.
"Iya, ada apa ya?"
"Bisa minta tolong?"
"Boleh. Minta tolong apa?"
"Tolong kasihkan ini ke Pak Steven ya? Ini makan siang buat beliau, biasanya Pak Satpam yang saya mintai tolong, tapi sekarang Pak satpamnya belum bisa, lagi sibuk."
Jauh di belakang lelaki itu, seorang karyawan wanita lain melihat mereka tengah bercengkrama. Namun matanya seketika dibuat membulat, kala menyadari ada Kanaya yang tengah memberikan rantang makanan pada salah satu teman seprofesinya itu. Dengan cepat, wanita itu menghampiri mereka berniat ingin menggagalkan keinginan Kanaya untuk menitipkan makanan untuk bosnya.
"Redy." Wanita itu memanggil cepat sembari melambaikan tangan lalu berlari ke arah mereka.
"Iya, Al. Ada apa?" tanya lelaki itu sedangkan di tangannya sudah ada rantang milik Kanaya.
"Kamu ikut aku yuk!"
"Loh ke mana? Aku mau ke ruangannya Pak Steven dulu ya? Baru aku ikut kamu," jawab lelaki itu.
"Enggak usah, lebih baik kamu cepat-cepat ikut aku aja ya." Wanita itu menggaet tangan temannya itu penuh paksa.
"Tapi aku mau kasih ini ke Pak Steven dulu." Lelaki itu menjawab ragu sembari menunjukan rantang milik Kanaya ke arah temannya tersebut.
"Enggak usah," jawab wanita itu sembari mengerjapkan matanya beberapa kali, membuat temannya dibuat bingung karena ulahnya.
"Terus ini bagaimana?"
"Lebih baik, kamu kasih ke dia lagi." Wanita itu mengambil rantang Kanaya dari temannya itu, membuat empunya kebingungan saat wanita itu memberikan kembali rantangnya padanya.
"Kok dikembalikan, Kak?" tanya Kanaya bingung.
"Maaf, Ya? Saya sama teman saya lagi sibuk banget, lebih baik kamu kasih saja sendiri ke Pak Stevennya langsung ya?" ujar wanita itu dengan nada bersalah.
"Aku enggak bisa, Kak?" jawab Kanaya dengan nada yang sama.
"Kenapa? Enggak akan kenapa-kenapa kok." Wanita itu menjawab cepat dengan sesekali menatap penuh arti ke arah temannya yang masih bingung dengan tingkah lakunya.
"Takut diusir, Kak." Kanaya menjawab lemah sembari merengkuh rantang yang sudah berada di tangannya.
"Enggak. Kamu enggak akan diusir kok, meskipun kamu kasih sendiri ke Pak Stevennya langsung. Itupun kalau kamu mau Pak Steven makan siang, kalau enggak ya kamu biarkan saja Pak Steven kelaparan. Sudah ya, kami mau pergi dulu, bye." Wanita itu menjawab cepat lalu pergi begitu saja sembari menarik tangan temannya yang masih belum mendapatkan penjelasannya. Meninggalkan Kanaya dalam kembimbangan, tentang apa yang harus ia lakukan sekarang.
"Ke ruangannya Om Steve enggak ya?" gumamnya bingung atau lebih tepatnya ragu untuk pergi ke tempat yang Steven sendiri tidak menginginkan kehadirannya.
***
Di ruangannya, Steven justru mondar-mandir gelisah, merasa gugup entah karena kenapa. Mungkin karena memikirkan rencananya yang entah akan berhasil atau tidak, tapi yang pasti hal itu mampu memberinya efek yang aneh, gelisah, dan tak tenang sekarang.
"Kanaya datang enggak ya?" gumamnya gelisah, sembari menatap pintu ruangannya yang tak kunjung terketuk oleh seseorang yang dinantikannya.
"Awas saja kalau sampai Kanaya membiarkan aku kelaparan, enggak akan pernah aku mau makan masakan dia lagi," gerutu Steven yakin, sembari mengangguk mantap. Sampai saat pintunya terketuk oleh seseorang, membuat Steven buru-buru duduk di kursinya dengan berusaha memperlihatkan kesibukannya.
"Ekhem, masuk!" jawabnya dengan nada biasa, tanpa mau menatap ke arah pintu yang sangat Steven yakini bila seseorang itu adalah Kanaya. Meskipun berusaha bersikap sewajarnya, namun Steven justru merasa tidak sabar untuk tidak melirik kedatangan Kanaya. Dan nyatanya itu benar, bila dugaan Steven akan Kanaya yang datang itu memang benar-benar terjadi, gadis itu mau ke ruangannya, meskipun sorot matanya memperlihatkan keraguan.
"Om," panggilnya di celah-celah pintu, membuat Steven menatap ke arahnya dengan sorot mata tak percaya. Bukannya Steven heran dengan kedatangan gadis itu, namun tingkah lakunya saat ini yang begitu konyolnya berhenti di ambang pintu, membuat Steven merasa jengkel karena ulahnya.
"Apa?" jawab Steven yang seharusnya berpura-pura kesal, kini justru benar-benar merasa kesal dengan tingkah laku Kanaya.
"Naya boleh masuk enggak?" tanyanya polos, yang semakin menambah daftar rasa jengkel Steven.
"Enggak boleh," jawab Steven acuh, membuat Kanaya cemberut mendengar jawabannya.
"Ya sudah, kalau begitu Om Steven ke sini ya!" pintanya memohon.
"Ngapain?" tanya Steven terdengar tak habis pikir, rasa kesalnya masih bersemayam di hatinya.
"Ambil rantang makanan ini, Om. Terus Om makan siang ya! Jangan sampai telat makan," ujar Kanaya yang masih berada di ambang pintu dan benar-benar tidak melewati batas tersebut.
"Menyusahkan," gerutu Steven sembari mendirikan tubuhnya lalu berjalan ke arah Kanaya yang tersenyum penuh arti ke arahnya.
"Mana rantangnya? Awas ya kalau masak pare lagi, saya buang langsung sama rantang-rantangnya." Steven menjulurkan tangannya ke arah Kanaya yang justru langsung menarik lengan Steven hingga empunya tertarik keluar dari ambang pintu. Tanpa diduga, Kanaya langsung memeluk tubuh Steven begitu erat, membuat empunya menegang tak percaya dengan kondisinya.
"Naya kangen sama Om Steven." Kanaya berujar lirih di dada Steven yang empunya masih belum mempercayai dengan apa yang Kanaya lakukan sekarang.
Part 07
Terdiam kaku, setidaknya hanya itu yang mungkin bisa Steven lakukan kala tubuhnya dipeluk erat oleh gadis yang sering bersikap konyol bernama Kanaya. Sedangkan detak jantungnya tak seirama dengan pembawaannya yang tenang, jantungnya justru berdetak hebat entah karena apa. Membuat Steven buru-buru tersadar lalu menarik tubuhnya sembari mendorong kepala Kanaya, hingga gadis itu menjauh dari tubuhnya.
"Kenapa peluk-peluk?" tanya Steven berusaha bersikap tak suka, meski rasanya hatinya justru menyukainya cara Kanaya merengkuhnya.
"Kangen," cicit Kanaya lirih, membuat Steven menatap angkuh ke arahnya, berusaha bersikap tak suka dengan jawaban yang baru saja Kanaya berikan.
"Tapi saya enggak kangen sama kamu tuh," jawab Steven acuh lalu berjalan ke arah ruangannya, meninggalkan Kanaya sendiri di lorong kantor.
"Om," panggil Kanaya sembari memasang wajah memelas.
"Apalagi?" tanya Steven frustrasi sembari membalikan tubuhnya ke arah Kanaya yang justru masih berada di luar ruangannya.
"Naya boleh masuk? Di luar banyak hantunya." Kanaya berujar dengan nada sama sembari menunjuk ke arah belakangnya, membuat Steven menggeram lelah, merasa tak percaya dengan alasan yang baru saja Kanaya ucapkan.
"Enggak ada alasan yang lebih manusiawi lagi apa? Banyak hantunya? Kamu itu yang banyak setannya, minta dirukiah. Main peluk-peluk orang tanpa permisi," gerutu Steven kesal, membuat Kanaya menyengir mendengarnya.
"Maaf, Om. Kan Naya cuma kangen sama Om, kalau permisi dulu nanti Om enggak mau Naya peluk." Kanaya mencebikkan bibirnya, sembari merengkuh rantang makanan miliknya.
"Terserah kamu lah," jawab Steven lelah lalu berjalan kembali ke arah sofa panjang di ruangannya, berniat menyenderkan tubuhnya di atas sana.
"Jadi bagaimana, Om. Naya boleh masuk enggak?" Gadis itu kembali bertanya, yang diam-diam ditanggapi senyuman oleh Steven yang sudah berada di sofa.
"Hm," jawabnya acuh, meski sebenarnya Steven juga sangat mengharapkan Kanaya mau menemani acara makan siangnya kali ini.
"Yeei," sorak Kanaya bahagia lalu berjalan cepat ke arah Steven dan duduk di sampingnya.
"Om Steven makan ya, Naya hari ini masak udang ditepung loh. Naya paling suka makanan ini, tadi pas ke pasar banyak udang, jadi Naya beli deh buat makan siang Om Steven." Kanaya membuka rantangnya, yang hanya ditatap lelah oleh Steven yang terus mendengar ocehan gadis itu.
"Terus kalau yang ini tumis kangkung, Om." Kanaya kembali berceloteh sembari menghidangkan masakan keduanya di hadapan Steven.
"Om suka enggak sama kangkung? Kangkung ini enak loh, Om. Naya juga suka sama sayuran ini," ujarnya lagi yang hanya ditatap datar oleh Steven yang sedari tadi melihat apa yang Kanaya lakukan.
"Biasa saja." Steven menjawab singkat dengan tatapannya ke arah makanan yang sudah Kanaya sajikan di hadapannya.
"Oh berarti Om kurang suka sama kangkung nih. Tapi sama udang suka enggak, Om?" tanya Kanaya penasaran.
"Suka." Steven menjawab singkat.
"Sama pare?" tanyanya lagi.
"Enggak."
"Sama ayam goreng?"
"Suka."
"Sama Kanaya?"
"Suka." Steven kembali menjawab cepat yang kali ini tanpa ia sadari, bila dirinya sudah masuk diperangkapnya Kanaya. Membuat gadis itu justru terkekeh geli, mendengar jawaban Steven yang sangat diharapkannya itu.
"Tunggu!" ujarnya keheranan, setelah menyadari kebodohannya.
"Tadi kamu tanya apa?" tanya Steven ragu, yang justru ditatap penuh arti oleh Kanaya yang tersenyum mengembang sekarang.
"Om suka sama Kanaya, hm?" jawab gadis itu terdengar menggoda, seolah ingin menyoraki jawaban Steven yang mengatakan bila dirinya menyukai gadis tersebut.
"Enggak," rapat Steven cepat.
"Tadi Om bilang suka sama Naya," ujar Kanaya tak terima, sedangkan ekspresinya terlihat kesal sekarang.
"Saya salah dengar waktu itu, saya pikir kamu bertanya saya suka kentucky? Jadi saya jawab suka, bukan suka sama kamu." Steven mengelak kaku, merasa ambigu sendiri dengan jawaban konyolnya.
"Jauh banget, Om? Dari Kanaya ke Kentucky?" jawab gadis itu terdengar tak percaya, membuat Steven merasa bingung harus menjawab apa.
"Memang itu kok kenyataannya," elaknya lagi tanpa mau menatap ke arah Kanaya yang cemberut melihatnya.
"Ya sudah, sekarang Om makan ya." Dengan perasaan tanpa minat, Kanaya menggeser masakannya itu di hadapan Steven tepat, berharap lelaki itu mau memakannya dengan sangat lahap, meskipun hatinya dibuat kecewa olehnya.
"Kamu enggak makan?" tanya Steven setelah menatap makanan yang Kanaya sajikan.
"Memangnya Om Steven mau nyuapi Naya?" tanya gadis itu dengan nada tanpa semangat, membuat Steven terdiam melihat wajah lesunya, yang mungkin Kanaya kecewa dengan tingkah laku acuhnya.
"Eh, kalau kamu mau, saya akan suapi kamu." Steven berujar tak yakin sembari menatap ragu ke arah Kanaya yang terdiam, lalu menatap ke arah Steven dengan sorot mata tak percaya.
"Om serius?" tanyanya memastikan, yang hanya diangguki kaku oleh Steven yang tidak biasa berhadapan dengan seorang perempuan, terlebih lagi sampai menyuapinya.
"Iya. Itu pun kalau kamu mau," jawabnya terpaksa, merasa ada penyesalan di hatinya karena sudah menawari Kanaya.
"Mau, Om. Naya mau banget, akh." Kanaya membuka lebar-lebar mulutnya, membuat Steven tersenyum melihat kepolosannya, lalu memberikan satu sendok nasi beserta lauknya ke mulut Kanaya. Membuat empunya tersenyum bahagia sembari mengunyah makanannya, begitupun dengan Steven yang turut tersenyum di balik tundukan wajahnya.
"Sekarang gantian Om yang makan!" Kanaya kembali berujar, yang hanya diangguki oleh Steven yang berusaha memperlihatkan ekspresi sewajarnya.
"Bagaimana Om, enak enggak makanannya?" tanya Kanaya ragu setelah melihat Steven menyuapkan satu sendok makanan ke dalam mulutnya, membuat Steven berpikir kali ini sembari mengunyah makanannya penuh ketelitian.
"Eh, bagaimana ya?" gumamnya ragu, membuat Kanaya terdiam kaku seolah apa yang akan diucapkan Steven itu benar-benar mampu membuatnya tak bisa bergerak sesenti pun, sangking ingin tahunya ia dengan jawaban Steven kali ini.
"Enggak enak ya, Om? Padahal menurut Naya sudah enak kok, Om. Ibu panti sama anak-anak yang lain selalu suka masakan Naya." Gadis itu berujar putus asa, padahal Steven belum mengatakan pendapatnya. Namun Kanaya justru berujar seolah Steven tidak akan menyukai masakannya, membuat Steven terhibur dengan tingkah lakunya.
"Masakan kamu enak kok. Sudah, enggak usah cemberut begitu!" Dengan gemas, Steven menjewer pipi Kanaya, membuat empunya meringis kesakitan karena ulahnya. Walau pada akhirnya bibirnya justru tersenyum, merasa tak percaya dengan apa yang baru saja Steven lakukan padanya. Sedangkan Steven justru terdiam, merasa bingung dengan Kanaya yang justru tersenyum setelah ia baru saja menjewer pipinya.
"Kenapa kamu malah senyam-senyum sendiri? Sudah mulai gila ya?" Mendengar ucapan Steven itu, bibir Kanaya kembali cemberut karena ucapan pedasnya.
"Ya enggak lah, Om. Kanaya senyum itu karena Om bilang masakan Naya enak, itu yang pertama." Gadis itu menunjukan satu jarinya.
"Terus yang keduanya karena apa?" tanya Steven tak habis pikir, yang justru ditanggapi senyuman penuh arti oleh Kanaya.
"Yang keduanya karena Om Steven sudah menjewer pipinya Naya. Kan Naya jadi mau dijewer terus," jawabnya genit, membuat kerutan kebingungan di kening Steven seketika menghilang, terganti dengan ekspresi sebalnya kali ini.
"Enggak lucu," jawab Steven singkat sembari menyuapkan makanan kembali ke dalam mulutnya.
"Lah, siapa juga yang lagi ngelawak?" tanya Kanaya tak habis pikir, yang ditanggapi acuh oleh Steven yang fokus pada makanannya tanpa mau memperdulikan Kanaya yang terus saja menatapnya penuh kekaguman.
"Om," panggil Kanaya tanpa mau mengalihkan tatapan kekagumannya ke arah Steven.
"Hm, apa? Jangan minta suapi lagi! Karena saya enggak sudih," jawab lelaki itu acuh, merasa sudah kapok dengan tingkat kepercayaan diri milik Kanaya yang berlebihan. Sedangkan Kanaya justru cemberut, merasa apa yang diucapkan lelaki itu begitu menyebalkan baginya.
"Enggak kok, Om. Naya kan sudah makan siang tadi sama anak-anak. Bukan anak-anak kita ya, Om. Tapi anak-anak panti." Kanaya menjawab kian konyol, yang sebenarnya membuat Steven lelah mendengarnya, karena Kanaya terlalu menggodanya dengan kata-kata ajaibnya. Namun anehnya, Steven justru merasa tak risih, seperti saat dirinya digoda wanita lain.
"Kalau begitu, jangan ganggu saya makan!" Steven menjawab kesal dengan masih fokus pada makanannya, yang begitu lahap lelaki itu santap. Membuat Kanaya tersenyum melihatnya, acap kali lelaki itu makan dengan cara seperti itu seolah begitu menyukai masakannya.
"Iya-iya." Kanaya menjawab sok kesal, walau sebenarnya ia sangat bahagia bisa melihat Steven menghargai usahanya.
"Om," panggil Kanaya lagi, yang entah kenapa sepertinya memang tidak suka diam, membuat Steven menggeram lelah lalu menghentikan aktivitas makannya dan menoleh ke arah Kanaya dengan sorot mata bertanya.
"Apalagi?" tanyanya terdengar lelah.
"Om, nikah yuk!" ujar Kanaya dengan ekspresi polosnya diiringi senyum manis dari bibirnya, sedangkan Steven justru tersenyum kecut mendengar ajakan Kanaya yang tak pantas di usianya yang bahkan masih belia.
"Anak kecil kaya kamu itu seharusnya kuliah, supaya masa depanmu cerah. Ini malah mau mengajak menikah." Steven menjawab kesal, lalu kembali pada aktifitas makannya.
"Buat apa kuliah, Om? Kalau cita-cita Naya enggak harus pakai gelar sarjana?" Gadis itu menjawab antusias, yang kali ini ditanggapi Steven dengan menaikan salah satu alisnya, merasa tak percaya dengan pemikiran gadis itu. Bagaimana mungkin sebuah cita-cita tidak memerlukan gelar sarjana? Padahal banyak pekerjaan yang memerlukan ijazah kuliah untuk bisa diterima di bidangnya. Rasanya Steven sendiri ingin menertawai Kanaya, meski yang terjadi justru Steven merasa penasaran dengan cita-cita gadis itu.
"Memangnya cita-cita kamu apa?" tanya Steven terdengar malas, sembari menatap ke arah Kanaya dengan sorot mata bertanya.
"Menikah sama Om Steven dan menjadi Ibu dari anak-anaknya Om Steven." Kanaya menjawab enteng, membuat Steven melongo mendengarnya, sangking tak percayanya Steven dengan segala jawaban yang Kanaya lontarkan itu pasti tidak akan jauh-jauh dengan kata keinginan gadis itu untuk bersamanya.
"Kok saya menyesal ya tanya cita-cita kamu apa?" ujar Steven datar yang justru ditanggapi tawa oleh Kanaya, membuat Steven terdiam menatap gadis itu dengan sorot mata kekaguman. Karena bagi Steven, tawa Kanaya cukup manis, alami tidak dibuat-buat seperti wanita-wanita lainnya. Mungkin Steven bukanlah lelaki yang berpengalaman dalam hal wanita, hanya saja Steven sering menangkap tawa kebohongan dari wanita-wanita yang mendekatinya. Membuat Steven sempat berpikir bila wanita-wanita itu tidak tulus menginginkannya, jadi cukup tak mengherankan bila Steven sering menolak mereka, karena alasannya Steven sudah bisa membaca niat tidak tulus itu.
Tapi Kanaya? Entah kenapa, Steven merasa gadis itu berbeda. Dia tidak genit dalam artian tak sopan, karena bagi Steven Kanaya masih bertingkah laku sopan, meskipun terkadang ucapannya banyak yang ngawur atau ngelantur. Itu bisa dilihat dari pembicaraannya Kanaya yang sering sekali menyatakan perasaannya, atau tentang masa depan mereka yang bakal menikah. Bukannya Steven membenci hal itu, ia hanya merasa kaku saja bila diperlakukan semacam itu dengan seorang gadis, terlebih lagi baru saja mengenal. Ya walaupun Steven sendiri tidak paham, akan ketulusan Kanaya yang begitu gencar mendekatinya sampai membawakannya makan siang setiap hari.
"Om," panggil Kanaya setelah tawanya itu meredup, yang merasa aneh dengan tatapan Steven yang terus terarah ke arahnya. Bukan tatapan geram seperti biasanya, tapi tatapan yang sulit Kanaya artikan. Itu lah kenapa Kanaya menghentikan tawanya, lalu memanggil Steven berniat untuk menanyakan maksud dari tatapannya yang membuat Kanaya sempat salah tingkah.
"Hm," jawab Steven sembari berusaha terlihat biasa saja, sedangkan tatapannya masih lelaki itu pertahankan meskipun rasanya cukup menyiksa jantungnya yang berdetak kian tak karuan.
"Om marah ya sama Naya?" tanya gadis itu ragu, yang langsung digelengi kepala oleh Steven.
"Enggak, kenapa?"
"Kok Om lihat Naya sudah kaya mau makan Naya sih? Kan Naya jadi takut?" cicitnya lirih tanpa mau menatap ke arah Steven yang tersenyum penuh arti ke arahnya.
"Mau makan yang bagaimana maksud kamu?" Steven memajukan wajahnya ke arah Kanaya yang terus mundur menghindarinya.
"Eh ... mana Naya tahu? Sudah Om, jangan dekat-dekat sama Naya!" Tanpa mau berpirkir panjang lagi, Kanaya mendorong tubuh Steven agar tidak terlalu dekat dengannya, membuat lelaki itu berdecap tak percaya melihat tingkah lakunya. Tanpa menyadari bagaimana Kanaya memejamkan matanya begitu kuat, merasa berdebar-debar tak karuan di dadanya.
"Kamu bilang saya jangan dekat-dekat sama kamu. Tapi kamu tadi peluk-peluk saya, dasar gadis plin-plan." Steven menggerutu kesal, merasa habis pikir dengan tingkah laku Kanaya yang berubah-ubah.
"Bukan begitu, Om. Kan tadi suasananya enggak sesepi ini, jadi Naya berani peluk Om." Kanaya beralasan kaku, yang lagi-lagi tanpa mau menatap ke arah Steven.
"Memangnya kalau sekarang kenapa?" bisik Steven dengan kembali memajukan wajahnya ke arah Kanaya, membuat gadis itu panas dingin karena ulahnya, bingung harus bersikap bagaimana. Jujur saja, Kanaya bukanlah gadis yang sering berhadapan dengan lelaki meskipun sering berinteraksi dengan teman-temannya yang berjenis sama. Tapi sekarang keadaannya berbeda, Kanaya merasa tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi bersikap konyol seperti biasanya.
"Naya enggak mau aja," ujarnya cepat sembari mendirikan tubuhnya dari sofa untuk menghindari Steven yang terus saja menggodanya. Sedangkan Steven yang melihat tingkah laku gadis itu justru berdecap tak percaya, diiringi senyum kecut dari bibirnya.
"Coba deh kamu bilang lagi ke saya, apa cita-cita kamu tadi?" ujar Steven sembari tersenyum licik, yang membuat Kanaya bungkam tidak mau menjawab.
"Kamu mau jadi istri saya dan menjadi ibu dari anak-anak saya? Tapi kamu saya dekati saja menjauh? Bagaimana mungkin kamu bisa punya anak dari saya?" lanjut Steven terdengar tak habis pikir, membuat pipi Kanaya memanas karena ucapannya.
"Eh, Kanaya mau pergi dulu ya, Om. Kanaya masih banyak pekerjaan di panti. Om lanjut makan siang aja ya, terus kerja deh. Kanaya mau pulang. Bye, Om," ujarnya kaku lalu berlari menjauh, meninggalkan Steven yang tersenyum puas melihat Kanaya yang begitu gugup karena ulahnya.
"Ternyata gadis itu masih polos, sok-sokan mendekatiku." Steven bergumam tak habis pikir, meski bibirnya tak henti-hentinya tersenyum melihat tingkah laku Kanaya yang lucu, yang saat ini sudah pergi menjauh dari ruangannya.
Part 08
Setelah menutup pintu ruangan Steven, Kanaya akhirnya bisa bernafas lega, setelah jantungnya dibuat tak karuan oleh lelaki itu. Dengan kuat, Kanaya memejamkan matanya sembari memberikan pikirannya sugesti agar bisa tetap tenang. Karena perlakuan Steven tadi, nyatanya mampu membuat Kanaya melemah, merasa gugup dan gelisah entah karena apa.
Dengan perlahan, Kanaya berjalan ke arah luar. Sedangkan bibirnya tak henti-hentinya ia gigiti, merasa belum tenang kala otaknya mengingat perlakuan Steven yang memabukkan. Padahal menurut Kanaya apa yang Steven lakukan tidak istimewa, malah dikategorikan biasa. Namun kenapa, hati dan jantungnya seolah bisa berdebar hebat saat Steven melakukannya.
Tatapan lelaki itu, rasanya Kanaya tidak bisa melupakannya hingga mampu membuat tubuhnya melemah. Padahal yang Kanaya lihat, Steven tak benar-benar tulus, lelaki itu hanya menggodanya, Kanaya tahu hal itu. Tapi kenapa, Kanaya justru dibuat kaku oleh segala tingkah lakunya.
"Enggak, aku enggak boleh kaya begini. Yang ada, nanti Om Steven akan menertawakan aku, karena aku terlihat seperti anak kecil." Kanaya menyentuh kedua pipinya, bertekad untuk bersikap sewajarnya demi bisa menaklukan Steven kali ini.
"Seharusnya, aku yang kaya begitu ke Om Steven. Aku enggak boleh lemah, karena aku harus bisa membuat Om Steven suka sama aku. Kalau cuma kaya tadi, terus aku malah pergi, nanti kapan Om Steven suka sama aku?" Kanaya mengembungkan pipinya, merasa bodoh karena telah pergi di saat Steven justru ingin memancingnya.
"Pokoknya, kalau Om Steven menggodaku lagi, aku harus bisa bertahan. Kalau perlu, aku yang akan membuat Om Steven gugup dan salah tingkah. Pokonya aku enggak mau, kalau Om Steven menertawakan aku," ujar Kanaya yakin sembari berusaha memantapkan hatinya untuk selalu kuat menghadapi Steven nanti.
"Semangat Kanaya!" ujarnya sembari tersenyum semangat dengan tangannya menggenggam udara hampa di sampingnya.
***
Seperti kemarin, hari ini Steven ingin fokus menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, supaya dirinya bisa memiliki waktu luang yang cukup untuk makan siang bersama Kanaya.
Aneh memang, bila hidup seorang Steven yang tadinya monoton kini justru lebih berwarna karena kehadiran Kanaya. Gadis konyol, yang selalu mengganggunya dengan segala celotehan ngawurnya. Mungkin untuk kata risi, Steven tak pernah merasa seperti itu, karena ia pikir bila dirinya memang membutuhkan hidup yang tidak harus itu-itu saja. Mungkin ada kalanya, Steven memang membutuhkan sosok Kanaya yang selalu mengganggunya, agar hidupnya sedikit memiliki warna.
Tepat pukul dua belas siang, setidaknya waktu itu yang tengah ditunjukan oleh jam dinding di ruangannya. Membuat Steven menghembuskan nafasnya, merasa lelah juga setelah setengah harian berpikir panjang untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Namun setelah ini sepertinya Steven bisa beristirahat panjang, karena pekerjaan yang seharusnya selesai seharian kini Steven selesaikan dalam setengah hari.
Menakjubkan. Bagaimana mungkin seorang Kanaya mampu membuat Steven melakukan hal ini, meskipun Steven sendiri merasa bila memang dirinya cukup rajin sebelum ini, namun tak pernah sekalipun ia merasa bila dirinya bisa melakukan pekerjaannya dengan penuh semangat sampai seperti saat ini.
Aneh, entah kenapa perasaan itu bisa timbul padahal Steven yakin bila hatinya sedang tidak kenapa-kenapa. Ia pikir begitu, karena Steven yakin bila hatinya belum mencintai Kanaya, namun tingkah lakunya justru menggebu-gebu seolah ia sedang jatuh cinta saja dengan gadis itu.
Memikirkan hal rumit itu, nyatanya mampu membuat Steven tersenyum tipis, merasa konyol pada dirinya sendiri, padahal umurnya sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, tapi kelakuannya justru seperti anak remaja baru jatuh cinta. Dengan perlahan, Steven menggelengkan kepalanya, merasa tak habis pikir dengan otaknya yang mungkin saja mulai eror sekarang, tapi kenapa rasanya Steven justru menyukainya.
Tak lama melamun, Steven kembali melirik jam dinding di ruangannya. Padahal belum ada lima menit Steven melakukannya, namun entah kenapa Steven merasa tak sabar waktu berlalu cepat supaya Kanaya juga turut datang lebih awal.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya pintu ruangannya terketuk oleh seseorang. Membuat Steven tersenyum, merasa sangat yakin bila seseorang itu adalah Kanaya yang datang untuk mengantarkan makan siang untuknya seperti biasanya.
Berbeda dengan sebelumnya yang selalu menyahut untuk memberitahukan seseorang itu untuk segera masuk, kali ini Steven yang justru berniat ingin menyambut Kanaya dengan membukakan langsung pintunya. Konyol, tapi Steven benar-benar menyukai caranya, apalagi saat Kanaya akan tersenyum sembari menatap tak percaya ke arahnya setelah melihat apa yang Steven lakukan untuk menyambut kedatangannya.
Tanpa mau berpikir panjang lagi, Steven segera mendirikan tubuhnya dari kursi kerjanya lalu berjalan ke arah pintu ruangannya. Dengar perasaan was-was tak karuan, Steven berusaha bersikap sewajarnya lalu membuka pintu tersebut secara perlahan.
"Hai, Steve." Suara wanita terdengar menyapa sembari tersenyum manis lalu melambaikan tangannya ke arahnya. Membuat Steven terdiam, menatap ragu ke arah wanita tersebut.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Steven malas, merasa kecewa karena yang diharapkannya datang ternyata malah orang lain yang menurutnya tak terlalu penting.
"Kok kamu begitu sih, Steve? Aku kan kangen sama kamu," jawabnya terdengar merajuk membuat Steven menatap lelah ke arahnya.
"Tapi aku tidak begitu denganmu. Jadi lebih baik kamu pergi saja dari sini," jawab Steven datar sembari menyilangkan kedua lengannya di dadanya. Steven melakukan itu karena ia hanya tidak ingin bila Kanaya bertemu dengan Aulia terlebih lagi sampai salah paham dengan kehadirannya.
"Aku baru saja pulang dari London, Steve. Apa kamu tidak merindukan aku, setelah cukup lama aku bekerja di sana?" tanyanya santai sembari tersenyum manis ke arah Steven.
"Sudahlah, Aulia! Sejak awal hingga sekarang, aku tidak pernah menganggapmu spesial, jadi stop bersikap seolah aku begitu menginginkanmu. Karena itu hanya ada dalam mimpimu," ujar Steven sinis lalu berjalan menjauh dari wanita yang bernama Aulia itu.
"Tapi aku sudah lama mencintaimu, tidak bisa kah kamu memberikan hatimu untuk bisa mencintaiku, Steve? Aku sudah lama menunggunya, tapi kamu tidak pernah berusaha membalasnya." Aulia berjalan ke arah Steven berniat ingin menyusul langkah lelaki itu.
"Aku tidak membalasnya karena memang aku tidak bisa melakukannya. Bagiku, kamu hanya teman lama dan teman karir, itu saja. Tidak lebih, Auliah." Steven kembali menegaskan ucapannya, membuat mata wanita itu berkaca-kaca karena ucapannya, lalu kembali melangkahkan kakinya ke arah tubuh Steven dan merengkuhnya dari arah belakang.
"Tapi aku sudah menunggumu sejak lama, aku tidak menikah sampai sekarang, karena aku selalu percaya bila kamu akan membalas perasaanku," ujar wanita itu sembari terisak di balik punggung Steven yang terdiam, yang merasa bingung harus bersikap bagaimana lagi sekarang untuk menghadapi wanita itu.
Di sisi lain, Kanaya berjalan ke arah satpam kantor milik Steven. Seperti biasanya, gadis itu ingin menyapa sang satpam untuk dimintai bantuannya. Dengan tersenyum hangat, Kanaya melambaikan tangannya ke arah satpam tersebut, membuat lelaki berseragam putih itu menyerngit keningnya, merasa bingung dengan sapaan Kanaya.
"Siang, Pak Satpam yang tampan." Sang satpam hanya menggelengkan kepalanya, acap kali Kanaya memanggilnya dengan segala kata-kata manisnya, seolah menggambarkan bagaimana gadis itu ingin meminta tolong padanya.
"Siang, Non. Mau minta antarkan rantang makan siang lagi ya?" tebak sang satpam yang langsung diangguki semangat oleh Kanaya.
"Iya, Pak. Ini rantangnya," jawab Kanaya sembari memberikan rantang tersebut ke arah si satpam.
"Kata Pak Steven, mulai hari ini Non Kanaya boleh memberikan makan siangnya langsung ke Pak Steven di ruangannya."
"Tapi ...." Kanaya menjawab ragu, karena ia sendiri merasa takut bila Steven akan bersikap seperti kemarin lagi, namun semua pemikiran itu langsung ditepis oleh Kanaya sendiri, bila dirinya ingin mendapatkan hati seorang Steven, setidaknya ia harus berani bertemu dengan lelaki itu.
"Oke deh, Pak. Terima kasih ya," lanjutnya sembari tersenyum hangat, yang diangguki oleh satpam tersebut.
"Kalau begitu, Naya ke ruangan Om Steven ya, Pak. Sampai jumpa, Pak Satpam," pamit Kanaya sembari mulai berjalan pergi.
"Iya. Hati-hati ya, jangan lupa lewat pinggir." Sang satpam menjawab jenaka, yang justru ditatap kesal oleh Kanaya yang menoleh.
"Memangnya ini jalan raya apa?" gerutunya sebal, lalu kembali berjalan ke arah ruangan Steven. Di dalam hati, Kanaya berusaha menguatkan jantungnya yang mungkin akan berdebar-debar kembali bila nanti bertemu dengan Steven lagi. Meskipun Kanaya selalu berusaha yakin bila dirinya akan bertahan bila Steven menggodanya lagi, tapi tetap saja hal itu tak membuat Kanaya bisa bersikap tenang dan konyol seperti biasa.
"Ayo Kanaya, kamu pasti bisa. Semangat," gumamnya pelan sembari melirik ke kanan dan kirinya, berharap tidak ada orang yang melihat kelakuannya yang tengah menyemangati dirinya sendiri.
Setelah sampai di lantai sepuluh, tepatnya di lorong kantor yang menuju ke ruangannya Steven. Kanaya dibuat terdiam, melihat ruangan itu terbuka pintunya, tidak seperti biasanya yang selalu tertutup. Tanpa curiga apapun, Kanaya kembali melanjutkan langkahnya ditemani senyum manis yang mengembang di bibirnya, bersiap untuk menyapa lelaki yang dicintainya nanti.
"Selamat siang, Om ... Steven ...." Senyum manis yang Kanaya tunjukan nyatanya mampu dibuat luntur dalam sekejap detik, kala matanya melihat seorang wanita begitu hangat merengkuh tubuh Steven dari belakang, tubuh lelaki yang Kanaya cintai.
Bingung dan gelisah, rasanya Kanaya dibuat kaku di tempatnya tanpa bisa berbuat apa-apa selain hanya dengan meneteskan air matanya. Sedangkan tubuhnya meringkuk tak percaya, tangannya bergetar dengan tatapan yang terus tertuju ke arah dua sejoli yang entah sedang melakukan apa.
Tak jauh dari tempatnya, Steven menoleh ke asal suara di mana tadi telinganya sempat mendengar seseorang tengah menyapanya. Namun tatapannya itu dibuat tak percaya, kala pandangannya jatuh pada sosok Kanaya yang tengah menatapnya penuh terluka. Gadis itu menangis, memandangnya penuh kekecewaan akan apa yang sedang ia lakukan sekarang.
"Kanaya," panggil Steven ragu sembari melepaskan rengkuhan tangan Aulia di tubuhnya, membuat wanita itu menatapnya penuh kecewa lalu menoleh ke arah objek yang Steven tatap.
Seorang gadis, usianya mungkin jauh lebih muda darinya. Setidaknya hanya itu yang bisa Aulia tangkap dari penampilan gadis itu, namun anehnya tingkah laku gadis yang tidak dikenalnya itu seolah menggambarkan kekecewaan. Membuat Aulia bingung dengan hubungan macam apa yang sedang Steven jalin dengan gadis itu.
"Ma-maaf, Om. Kalau Naya ganggu, Naya enggak tahu." Kanaya berujar kaku sembari menundukan pandangannya dari sosok mereka. Dadanya hanya terlalu sesak untuk terus bisa melihat semua itu, rasanya Kanaya hanya tidak bisa melakukannya dan cepat-cepat ingin pergi dari sana.
"Naya cuma mau kasih makan siang buat Om Steven kok." Dengan cepat, Kanaya meletakan rantang makanannya di atas lantai, tepat di depan lantai yang Kanaya tapaki saat ini.
"Kalau begitu, Naya pergi dulu ya," ujarnya lagi sembari menghapus air matanya dengan berusaha untuk tetap tersenyum walau serasa sakit untuk terus Kanaya lakukan. Tanpa mau menunggu lama lagi, Kanaya berjalan menjauh, pergi meninggalkan tempat yang baginya terkutuk karena sudah membuat hatinya terluka.
"Dia siapa, Steve?" Setidaknya hanya kalimat wanita itu yang perlahan bisa Kanaya dengar, sampai saat jarak benar-benar membuatnya tidak bisa mendengar apapun. Hatinya remuk, merasa tidak sanggup untuk terus melihat mereka bertengkar, yang semua terjadi karena kehadirannya dan Kanaya sekarang sangat merasa bodoh, bila dirinya justru merasa kecewa hanya karena Steven sudah memiliki wanita lain.
"Kenapa rasanya sangat sakit, Tuhan? Lalu bagaimana dengan janjiku untuk bisa memenuhi balas budiku, kalau aku justru pergi dan menangis setelah tahu bila Om Steven ternyata sudah memiliki wanita idaman lain." Kanaya berujar dalam hati, tanpa mau menghentikan langkahnya terlebih lagi air matanya yang terus membanjiri pipinya.
Part 09
Steven memejamkan matanya kuat-kuat, lalu membukanya kembali untuk menatap ke arah Aulia yang tengah menuntut jawabannya. Dengan perasaan geram, Steven menarik paksa tangannya begitu saja dari rengkuhan wanita itu. Membuat Aulia tersentak kaget, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja Steven lakukan padanya.
"Steve," tegurnya seolah ingin menuntut jawaban tentang kenapa lelaki itu begitu kasar dengannya, padahal sebelum ini hubungan mereka baik-baik saja, meskipun Steven tidak pernah membalas perasaannya.
"Sudahlah, Aulia. Lebih baik kamu pergi saja dari sini! Aku muak melihat tingkah lakumu yang selalu saja mempersulitku," ujar Steven terdengar lelah lalu berjalan ke arah luar ruangannya, berniat ingin menyusul Kanaya yang mungkin sudah salah paham dengannya.
"Tunggu, Steve! Aku ingin bertanya denganmu." Aulia menarik lengan Steven, membuat empunya menghentikan langkahnya tanpa mau menatap ke arahnya.
"Tingkah lakuku yang mana, yang selalu mempersulitmu, Steve?" tanyanya terdengar serak, yang bisa sangat Steven yakini bila Aulia tengah menangis kembali kali ini.
"Semuanya, Aulia." Steven membalikan tubuhnya, menatap nyalang ke arah wajah Aulia yang memerah oleh air mata.
"Kamu wanita baik, Aulia. Itu lah yang menjadi alasanku, kenapa aku tidak bisa menyakitimu. Tapi sayangnya, kamu tidak pernah mau mengerti bahasaku, kamu selalu berharap dan menungguku. Padahal, tidak sedikitpun di benakku terlintas tentang kamu yang menarik di mataku. Tidak pernah sekalipun," ujar Steven yakin sembari menggelengkan kepalanya begitu lemah, mencoba meyakinkan Aulia dengan kata-katanya.
"Jadi, berhentilah untuk menungguku! Carilah lelaki yang benar-benar mencintai kamu dengan tulus, dan itu tidak mungkin aku." Steven membalikan tubuhnya kembali lalu berjalan menjauh, meninggalkan Aulia dengan air mata yang kian tumpah di pipinya.
"Aku tahu, Steve. Kamu tidak pernah mencintaiku, aku saja yang bodoh karena selalu menunggumu. Sejak kecil, kamu tidak pernah bisa mau merasakannya, kamu pura-pura buta dan tuli akan cinta ini. Tapi apa aku salah, bila aku berusaha untuk setia?" Aulia berujar lelah, yang mungkin tidak akan bisa Steven dengar, karena lelaki itu sudah pergi dengan membawa rantang makanan milik gadis yang tidak diketahui namanya itu.
Di sisi lain, Steven berjalan dengan sesekali berlari untuk menyusul langkah Kanaya. Sedangkan di tangannya, ada rantang gadis itu yang sengaja Steve bawa agar Kanaya percaya, bila dirinya selalu menghargai usahanya.
Di lobi kantornya, mata tajamnya menjelajah ke segala arah, mencari sosok Kanaya di antara para pegawainya yang tengah beristirahat atau baru mau makan siang. Membuat Steven menggeram marah, sangking banyaknya orang-orang berlalu lalang menghalangi penglihatannya.
"Kanaya, di mana sih anak itu?" gumamnya sembari kembali berlari, mencoba untuk mencari Kanaya di antara puluhan pegawainya. Sampai saat tatapannya jatuh pada sosok gadis, memakai celana dan kaos t-shirt panjang itu tengah berjalan ke arah luar pintu, membuat Steven buru-buru menghampirinya, meskipun bibirnya justru dibuat bungkam hanya untuk memanggilnya.
Tanpa disadari Kanaya, Steven tersenyum tipis dan berjalan pelan tepat di belakangnya. Steven juga bisa mendengar isakan tangis gadis itu, membuat hatinya turut merasa sesak entah karena apa. Rasanya Steven juga tidak ingin kehilangan tawa Kanaya yang selalu gadis itu tunjukan padanya, dan sekarang untuk pertama kalinya Steven membuat gadis baik itu menangis, membuatnya sangat menyesal walau ada sedikit rasa bahagia karena Kanaya menangisinya, membuat Steven merasa spesial di mata gadis itu.
"Om Steven jahat," gerutunya sebal sembari berjalan di sisi jalan, yang kebetulan sejuk dan mendung tidak terik oleh cahaya matahari. Membuatnya tak akan menyadari kehadiran Steven di belakangnya, melalui bayangan lelaki itu. Sedangkan Steven justru menyerngit heran di belakangnya, merasa tak habis pikir dengan gadis itu yang justru mengatakan bila dirinya jahat. Padahal Kanaya belum mengetahui kejadian yang sebenarnya, tapi justru menggerutu seolah paling disakiti.
"Om Steven ternyata sudah punya pacar," gerutunya lagi sembari menatap ke arah jalanan yang banyak dipadati kendaraan bermobil, membuat hatinya semakin resah dan ingin menenangkan diri di sebuah taman yang tempatnya tidak jauh dari keberadaannya sekarang.
"Mana pacarnya cantik lagi, enggak sebanding sama aku yang cuma menang imut." Di balik itu, Steven memejamkan matanya, merasa sedikit tak percaya dengan tingkat kepercayaan diri milik Kanaya yang masih bisa-bisanya merasa imut padahal dirinya sedang kecewa.
"Andai saja, pacarnya Om Steven itu jelek. Pasti aku ketawain terus aku hina. Tapi sayangnya, pacarnya Om Steven terlalu cantik." Kanaya menundukan kepalanya, merasa lelah dengan kenyataan yang baru diterimanya. Steven, lelaki yang dicintainya itu ternyata sudah memiliki kekasih, dan yang lebih buruknya lagi, kekasih dari lelaki yang dicintainya itu lebih baik dari segala hal darinya.
"Terus kamu cemburu, hm?" sahut Steven sembari berjalan menyamakan langkah Kanaya yang justru terhenti, merasa kaku dan syok saat mengetahui Steven sudah berada di sampingnya.
"Kenapa berhenti?" tanyanya, membuat Kanaya tak percaya bila lelaki itu benar-benar ada di hadapannya sekarang. Dengan cepat, Kanaya memejamkan matanya, berharap bisa menghilangkan halusinasinya saat ini, membuat Steven yang melihatnya hanya menggeleng pelan, merasa tak percaya dengan kelakuan gadis itu.
"Kok masih ada Om Steven?" Kanaya berujar pelan setelah membuka matanya kembali, yang justru tatapannya masih bisa melihat sosok Steven. Dengan kesal, Kanaya mengucek-kucek matanya berharap bisa memperjelas pandangannya.
"He, saya ini memang ada di depanmu," sungut Steven kesal, membuat Kanaya menghentikan aktivitas mengucek matanya lalu mendongak untuk menatap kembali sosok Steven di depannya.
"Ini Om Steven asli?" tanya Kanaya tak percaya sembari menunjuk lelaki tersebut.
"Iya lah. Kamu pikir, saya ada yang palsu apa?" jawab Steven kesal yang justru membuat Kanaya tersenyum melihatnya.
"Om kenapa ada di sini? Om mau menyusul Naya ya?" tanyanya antusias, yang diangguki oleh Steven.
"Iya. Karena saya cuma takut saja, kalau kamu sakit hati terus bunuh diri. Nanti malah saya yang harus bertanggung jawab karena kematian kamu," jawab Steven dengan nada yang sama. Yang anehnya malah membuat Kanaya tersenyum semakin lebar, merasa malu sendiri karena Steven mau menyusulnya.
"Kalau Om mau berniat tanggung jawab, Om tanggung jawab sama hati Naya aja. Kasihan, sudah cinta banget sama Om Steven, tapi harus bertepuk sebelah tangan karena Om Steven sudah punya pacar." Kanaya menjawab lugas, ada kekecewaan dari nada suaranya.
"Siapa yang punya pacar?" tanya Steven tak habis pikir, membuat Kanaya berpikir ulang kali ini.
"Om Steven lah. Tadi kan Om dipeluk sama wanita cantik, tapi Om diam aja. Beda kalau dipeluk Naya, langsung dilepas begitu aja sudah kaya upil sama hidungnya." Kanaya menjawab kesal, terlebih lagi saat mengingat kenangan mereka yang kemarin. Tanpa menyadari, bagaimana Steven tersenyum sangat tipis karena ucapannya, hingga Kanaya mungkin tak akan bisa melihatnya.
"Maksud kamu Aulia?" tanya Steven yang langsung membuat Kanaya tertunduk lesu lalu mengangguk pelan.
"Bahkan namanya aja cantik," gumam Kanaya pelan, merasa sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk bisa mendapatkan Steven sekarang. Sedangkan Steven sudah tidak bisa lagi menahan senyumnya, bibirnya terbentuk tawa melihat Kanaya begitu putus asa, hingga Steven sendiri merasa tak percaya bila gadis itu bisa berpikir bila Aulia adalah kekasihnya.
"Dia bukan pacar saya," jawab Steven mantap namun bibirnya justru tersenyum, seolah ingin mengejek Kanaya yang menatap kesal ke arahnya.
"Iya, bukan pacar. Tapi calon istrinya Om Steven?" sahut Kanaya serasa ingin kembali menangis, terlihat dari matanya yang mulai berkaca-kaca. Sedangkan Steven justru terdiam, setelah menghentikan senyum nakalnya lalu menjewer pipi Kanaya hingga empunya merasa kesakitan karena ulahnya.
"Aduh, sakit Om." Kanaya mengelus pipinya, setelah aksi menyebalkan Steven yang begitu tega menjewer pipinya.
"Sudah, enggak usah nangis!"
"Siapa juga yang nangis?" elak Kanaya dengan nada serak sembari menatap kesal ke arah Steven.
"Itu mata kamu mau nangis lagi?" tuduh Steven sembari menunjuk mata Kanaya yang berair.
"Enggak tuh, Om Steven jangan fitnah ya." Kanaya membalikan tubuhnya untuk membelakangi Steven lalu mengusap air di matanya, sembari berusaha untuk terlihat sedang baik-baik saja.
"Ayo ikut saya ke taman sana!" Dengan cepat, Steven menarik lengan Kanaya membuat empunya kembali menarik lengannya sendiri.
"Ngapain, Om?"
"Temani saya makan siang," jawab Steven sembari menunjukan rantang makanan milik Kanaya. Membuat Kanaya tersipu malu, lalu mengangguk setuju, karena Steven masih mau menghargai usahanya, walau lelaki itu sudah memiliki kekasih, pikir Kanaya malas.
Keduanya kembali berjalan, sedang tangan Steven masih saja merengkuh lengan Kanaya. Membuat empunya merasa tak percaya sekaligus berdebar-debar tak karuan di dadanya, karena untuk yang pertama kalinya, Kanaya benar-benar bisa merasakan sentuhan lelaki yang dicintainya begitu lama seperti saat sekarang.
Sampai saat di taman, Steven masih berjalan, mencari tempat yang pas untuk dirinya dan Kanaya singgah. Hingga tatapannya jatuh pada kursi besi bercat putih, yang tempatnya tidak terlalu jauh dari keberadaan mereka sekarang, membuat Steven yakin untuk melangkah ke arah sana lalu duduk di kursi tersebut. Begitupun dengan Kanaya, gadis itu turut duduk di samping Steven sembari menatap lengannya yang tak kunjung dilepas oleh lelaki itu.
Aneh, rasanya Kanaya justru mulai berharap lagi sekarang, saat dirinya justru dibuat terbuai kembali dengan segala tingkah laku Steven yang terkadang manis, meskipun banyak di antaranya lelaki itu sering bersikap menyebalkan. Namun tak pernah Kanaya itu pikir serius, karena bagi gadis itu adalah Steven mau menerima kehadirannya, itu sudah cukup untuknya.
"Kamu masak apa hari ini?" tanya Steven sembari membuka rantang makanan milik Kanaya, setelah melepas rengkuhan tangannya dari lengan empunya. Membuat Kanaya merasa kehilangan, walau dirinya juga tidak mungkin terus meminta Steven untuk selalu merengkuh lengannya.
"Aku masak udang, Om. Sama capcay lagi." Kanaya menjawab seadanya, tak seceria seperti biasanya. Itu karena hatinya masih terluka, belum bisa percaya bila Steven, lelaki yang ia cintai sudah memiliki calon istri.
"Saya makan ya?" pamit Steven yang hanya diangguki lemah oleh Kanaya yang berusaha untuk tersenyum walau terlihat terpaksa.
"Hm, masakan kamu selalu enak," nilai Steven setelah melahap beberapa sendok makanannya. Membuat Kanaya tersenyum tipis, yang anehnya tak membuatnya menjawab konyol seperti biasanya yang selalu mengagung-agungkan dirinya sendiri.
"Terima kasih, Om." Setidaknya hanya itu yang mungkin bisa Kanaya jawab, karena hatinya masih sangat merasakan kecewa yang teramat dalam.
"Kamu mau saya suapi enggak?" tawar Steven sembari memajukan sendok yang sudah berisikan nasi dan lauk ke arah bibir Kanaya, membuat gadis itu terdiam kaku, menatap haru ke arah Steven yang justru bersikap manis saat diri Kanaya tengah dilanda dilema.
"Enggak usah, Om." Kanaya menjawab seadanya sembari menggelengkan kepalanya begitu pelan.
"Kenapa?"
"Nanti calon istrinya Om marah," jawab Kanaya sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencoba untuk menutupi air matanya yang kembali datang menetes.
"Kamu masih berpikir kalau Aulia itu calon istri saya?" tanya Steven keheranan sembari meletakan wadah makanannya di sampingnya.
"Kan memang itu faktanya," jawab Kanaya lemah, membuat Steven tersenyum tipis mendengarnya.
"Aulia itu bukan calon istri saya," tegas Steven yang didengar ragu oleh Kanaya yang masih belum mempercayai ucapan lelaki itu.
"Kalau bukan calon istrinya Om Steven, terus kenapa Kak Aulia itu peluk Om Steven? Dan kayanya, Om Steven juga menikmati pelukannya." Kanaya menjawab ragu sembari tertunduk lesu, meski tubuh dan wajahnya menghadap ke arah Steven.
"Aulia itu teman saya sejak lama. Bahkan, kita tumbuh bersama sejak kecil, karena orang tua kami cukup bersahabat baik. Jadi bila Aulia memeluk saya, dan saya diam saja, itu karena saya hanya tidak ingin membuatnya kecewa, saya hanya berusaha menghargainya." Steven berujar tulus, meski di dalam hatinya, Steven dibuat bingung dengan sikapnya sendiri yang begitu pedulinya dengan Kanaya sampai harus menjelaskan status hubungannya dengan Aulia.
Part 10
Setelah mendengar penjelasan Steven yang terdengar serius itu, Kanaya langsung tersenyum merekah, merasa memiliki semangat juang kembali untuk mendapatkan hati Steven yang ia cintai. Matanya berbinar, menatap kagum ke arah Steven yang turut menatapnya. Membuat lelaki itu keheranan dengan tingkah laku Kanaya, yang tiba-tiba tersenyum setelah mendengar penjelasannya.
"Kenapa lagi?" tanya Steven terdengar lelah, membuat Kanaya mengembalikan ekspresinya lalu menatap ke arah Steven dengan sorot mata bertanya.
"Apanya, Om?"
"Kenapa senyam-senyum kaya begitu? Sudah mau gila?" tanya Steven terdengar mengejek, membuat Kanaya cemberut mendengarnya.
"Jahat banget sih, Om, bilang Naya mau gila. Nanti kalau Naya benaran gila, siapa yang akan jadi jodohnya Om Steven nanti? Yang ada, Om Steven enggak nikah-nikah sampai jadi kakek-kakek." Mendengar nada konyol dari bibir Kanaya yang seolah sudah kembali ke asli tabiatnya, rasanya Steven cukup dibuat menyesal karena Kanaya kembali berbicara ngawur, walau di hati Steven merasa sangat bersyukur karena dirinya bisa melihat keceriaan Kanaya seperti kemarin-kemarin.
"Ngelantur lagi ngomongnya, saya cubit pipi kamu nih," ancam Steven yang justru ditanggapi senyuman oleh Kanaya.
"Cubit aja, Om! Kali aja, Om Steven bisa suka sama Naya." Bukannya menghindar, Kanaya justru memajukan wajahnya ke arah Steven, membuat lelaki itu sempat terkejut dengan jarak wajah di antara mereka. Meskipun itu tak lama, karena Steven segera mendorong kening Kanaya hingga tubuh gadis itu menjauh darinya.
"Jauh-jauh sana," jawabnya acuh sembari kembali mengambil wadah makanannya. Tanpa mau memperdulikan bagaimana Kanaya mencebikkan bibirnya, merasa kesal dengan sikap Steven yang selalu sama.
"Kenapa sih, Om?"
"Saya mau makan lagi," jawab Steven sembari menunjukan wadah makanannya, lalu kembali melahap isinya. Membuat Kanaya tersenyum, merasa sangat dihargai usahanya.
"Ya sudah, Om makan yang banyak ya. Sebentar lagi, Naya juga mau pulang ke panti, banyak pekerjaan di sana."
"Iya," jawab Steven acuh, meski di dalam hati ia tidak ingin kehilangan masa ini begitu cepat. Dan entah kenapa sekarang, Steven yang justru dibuat kehilangan akan sosok Kanaya yang akan pergi lagi di sisinya, padahal Steven sudah berusaha bekerja keras untuk menyelesaikan semua pekerjaannya demi bisa bertemu dengan Kanaya dan menghabiskan waktunya bersama gadis itu, tapi waktu untuk bersama sepertinya tak bisa seperti yang Steven inginkan karena kesibukan gadis itu, terlebih lagi karena dirinya yang terlalu pengecut untuk meminta Kanaya agar mau bertahan lebih lama lagi di sisinya sekarang.
"Kanaya," panggil Steven setelah menghentikan aktivitas makannya.
"Iya, Om. Kenapa?" jawab Kanaya sembari menatap ke arah Steven yang tertunduk.
"Kapan kamu enggak sibuk?" Pertanyaan Steven yang sebenarnya membuat empunya jijik untuk menanyakan hal itu, tapi Steven juga tidak bisa memungkiri hatinya yang juga ingin bersama Kanaya sedikit lebih lama.
"Wah, kapan ya, Om? Soalnya Naya setiap hari memang sibuk, karena Naya harus mengurusi adik-adik Naya di panti, yang jumlahnya aja ada ratusan loh, Om. Ke sini aja, Naya enggak bisa lama-lama karena Ibu panti pasti kerepotan mengurusi mereka. Terus jam lima sore sampai jam sebelas malam, Naya juga harus kerja di pusat pembelanjaan, jadi Naya enggak ada waktu untuk enggak sibuk," jawab Kanaya diiringi tawa kecilnya, yang diam-diam ditatap kagum oleh Steven, karena gadis itu bukan gadis manja seperti pada penampilannya. Di mata Steven, Kanaya adalah sosok gadis yang kuat, mandiri, dan bersemangat seperti tipe perempuan yang Steven sukai, tapi sayangnya Kanaya sangat muda bila disandingkan dengannya.
"Ya sudah, kamu pulang saja sekarang! Nanti Ibu kamu kerepotan di panti, kalau saya akan kembali bekerja setelah menghabiskan ini." Steven berujar seadanya sembari menunjukan wadah makanannya, meski rasanya Steven sangat tidak menginginkan Kanaya pergi meninggalkannya.
"Iya, Om. Naya juga sudah telat banget ini, harusnya enggak boleh lama-lama kaya begini. Kalau begitu, Naya pamit pulang dulu ya, Om." Kanaya mendirikan tubuhnya lalu menoleh ke arah Steven yang hanya mengangguk mengerti.
"Bye, Om. I love you." Kanaya berujar dengan nada konyol seperti biasanya, membuat Steven tersenyum kecut melihatnya.
"Sudah, pergi sana." Steven menjawab malas, yang sebenarnya ia tidak ingin perpisahan itu terjadi, terlebih lagi saat dirinya melihat tawa Kanaya yang hilang oleh jarak, yang nyatanya mampu membuat hatinya serasa sesak.
"Aku kenapa sih?" gumamnya gelisah. Merasa bingung dengan perasaannya yang mulai aneh, yang justru ingin berlama-lama bersama dengan Kanaya. Di saat seperti ini, yang Steven lakukan hanya terdiam, menatap awan seolah wajah Kanaya yang mulai memudar.
Rasa apa yang sebenarnya sedang ia rasakan? Mungkin hanya itu yang ingin Steven tanyakan pada hatinya. Sebuah ketakutan akan kehilangan, namun di sisi lainnya merasa tak pantas bila diteruskan. Karena Steven sadar, umurnya dan Kanaya terlalu jauh untuk bersama.
Steven hanya takut, bila hubungannya dengan Kanaya tidak akan berhasil karena gadis itu masih belum dewasa. Tapi bila melihat kehidupan Kanaya yang tidak mudah dan melihat bagaimana gadis itu menyikapinya dengan dewasa, rasanya Steven ingin meyakinkan dirinya untuk berani mencintainya.
***
Malamnya, Steven pulang ke rumah orangtuanya dan seperti biasanya ia duduk di sofa keluarga untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak di sana. Tak lama, mamanya datang menghampirinya lalu duduk di sampingnya dan membelai puncak kepalanya penuh kasih sayang, meski rona wajahnya tak seceria seperti biasanya.
"Capek ya, Steve?" tanyanya pelan, sembari menatap putranya itu penuh kasih sayang.
"Iya, Ma." Steven hanya bisa menjawab seadanya sembari memejamkan matanya, menikmati setiap belaian yang mamanya berikan.
"Papa mana, Ma?" tanya Steven keheranan setelah menyadari tidak ada papanya, yang biasanya berada di ruangan keluarga bersama mamanya.
"Papa lagi bertemu dengan orang tuanya Aulia." Wanita itu menjawab lemah, sembari menurunkan tangannya dari puncak kepala putranya.
"Kok Mama enggak ikut? Tumben," jawab Steven dengan masih mempertahankan posisinya.
"Enggak lah, itu kan masalah bisnis. Tapi tadi Papa telepon ke Mama, kalau keluarganya Aulia sempat menyinggung hubungan kamu sama Aulia." Wanita itu menjawab jujur, membuat Steven membangunkan tubuhnya lalu menatap ke arah mamanya dengan sorot mata keheranan.
"Menyinggung bagaimana?"
"Ya mereka ingin kepastian dari kamu, tentang hubungan kalian. Maksud Mama, hubungan kamu sama Aulia itu akan bagaimana?" Mendengar itu, Steven berdecap malas merasa muak dengan orang tua Aulia yang seolah ingin menyatukannya dengan putri mereka.
"Harus berapa kali Steve bilang sih, Ma? Kalau Steve itu enggak pernah menganggap Aulia lebih dari seorang teman, Steve tidak pernah menyukainya sebagai wanita. Bagi Steve, Aulia teman yang baik, tapi bukan berarti Steve bisa mencintainya." Putranya itu menjawab tegas, membuat mamanya terdiam dan mengangguk lemah.
"Mama tahu itu, tapi kami hanya berharap kalau kalian bisa bersatu sebagai suami dan istri. Memangnya kamu benar-benar tidak bisa mencintai Aulia sedikitpun, Steve?" tanya wanita itu terdengar ragu, yang lagi-lagi ditanggapi decapan malas oleh putranya.
"Steve bukannya tidak mau, tapi perasaan Steve yang memang tidak bisa melakukannya, Ma. Karena sejak awal, Steve dan Aulia itu teman baik, mana mungkin Steve bisa menganggapnya lebih dari itu. Hubungan kami merenggang pun itu semua gara-gara Aulia yang mencintai Steve, karena hal itu lah Steve tidak mau berteman dekat dengan Aulia lagi. Steve hanya tidak ingin, kalau Aulia akan merasa semakin sakit bila Steve terus bersikap baik dengan dia, sedangkan Steve tidak pernah menganggapnya spesial."
Mamanya hanya bisa mengangguk lemah, saat putranya itu mengungkapkan segala keluh kesahnya. Membuat wanita itu serasa bisa merasakan bagaimana perasaan putranya itu, yang mungkin tidak akan suka bila dipaksa terlebih lagi harus mencintai teman baiknya sendiri.
"Lalu, apa kamu akan terus seperti ini, Steve? Maksud Mama, apa kamu akan terus membujang? Kalaupun kamu tidak bisa bersama dengan Aulia, setidaknya kamu bisa mencintai wanita lain yang bisa kamu nikahi, bisa kamu ajak serius untuk selalu bersama di saat suka maupun duka. Mama cuma ingin, bila kamu bisa menikah dan memiliki keluarga yang bahagia. Itu saja," ujar wanita itu terdengar serak di balik tundukan wajahnya, membuat Steven terdiam seolah sudah sangat paham dengan apa yang mamanya lakukan sekarang. Wanita yang disayanginya itu pasti ingin menangis, merasa tertekan karena kelakuan Steven sendiri.
"Ma," panggil Steven lirih sembari merengkuh tangan mamanya itu dengan penuh kasih sayang.
"Maafkan Steve, kalau Steve selalu membuat Mama kecewa. Steve janji, akan belajar mencintai wanita lain dan Steve akan menikahi dia, tapi kalau untuk mencintai Aulia, Steve memang tidak bisa melakukannya." Dalam ucapannya itu, Steve benar-benar mengatakan keinginan hatinya, yang entah bagaimana bisa membuat pikirannya tertuju dengan sosok Kanaya. Di saat seperti ini, Steven justru dibuat bingung dengan perasaannya sendiri, yang seolah meyakini bila dirinya akan bisa mencintai Kanaya.
"Siapa wanita itu? Apa dia Kanaya?" tebak mamanya dengan sorot mata penuh harap, membuat Steven terdiam, merasa malu bila harus mengakuinya.
"Ehm," gumamnya ragu.
"Pasti Kanaya kan yang kamu maksud, Steve?" ujar mamanya terdengar yakin, seolah bisa merasakan apa yang sedang putranya rasakan.
"Enggak tahu, Ma." Steven menjawab pasrah, bingung harus menjawab apa, membuat kening mamanya mengerut, merasa heran dengan jawaban putranya.
"Kenapa begitu?"
"Steve cuma bingung, Ma. Kanaya itu gadis tegar, dia mandiri, dia penyayang, selalu tersenyum hangat, pokonya dia memiliki sifat-sifat seperti wanita yang Steve inginkan. Tapi yang membuat Steve bimbang itu karena umur Kanaya terlalu jauh dari umur Steve, Steve merasa kalau Kanaya itu pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Steve, yang seumuran, yang cocok bersanding sama dia, bukan kaya Steve yang jauh lebih tua dari dia." Mendengar ucapan putranya itu, wanita cantik itu tersenyum bangga, ternyata firasatnya tidak salah, bila putranya itu diam-diam menyukai gadis yang bernama Kanaya.
"Tapi kemarin kamu bilang, kalau sikap Kanaya itu menyebalkan kaya Stevan." Wanita itu mencoba memancing putranya agar mau mengatakan semuanya, sedangkan Steven justru terdiam lalu menghembuskan nafas gusarnya.
"Iya sih, Ma. Ada kalanya Steve merasa kesal dengan tingkah laku Kanaya yang menyebalkan, tapi kalau Steve dengar kisah hidup dia sekarang, yang siangnya jaga adik-adiknya di panti, terus malamnya kerja, Steve merasa Kanaya itu sosok yang tegar, yang tidak banyak mengeluh, itu bisa dilihat dari cara Kanaya tersenyum hangat ke Steve walau dia lelah. Berbeda dengan Aulia, meskipun dia sering bersikap tenang, tapi Aulia juga lebih sering mengeluhkan beberapa hal, padahal Aulia juga tidak harus merepotkan diri bekerja karena orang tuanya sudah kaya. Itu yang tidak Steve sukai."
"Jadi menurut kamu, Kanaya lebih baik dari Aulia, begitu?" tanya mamanya.
"Iya, Ma. Apalagi Kanaya itu terlalu pintar membuat hati Steve tertarik dengan segala apa yang ada pada dirinya, kesederhanaannya, ketegarannya, senyum hangatnya, kepolosannya, semua itu adalah hal-hal yang Steve sukai dari wanita. Itu juga yang membuat Steve belum bisa menikah sampai sekarang, karena Steven ingin wanita seperti itu dan semua itu ada apa diri Kanaya. Tapi sayangnya, umur Kanaya terlalu jauh dari Steve, itu bukan tipe Steve banget." Steven menjawab lesu di akhir kalimatnya, membuat mamanya tak henti-hentinya tersenyum mendengar ceritanya. Karena untuk yang pertama kalinya, putra pertamanya itu begitu mendambakan wanita tapi justru takut untuk memilikinya.
"Kalau masalah umur, kenapa harus dipermasalahkan, Steve? Mama yakin kok, kamu pasti bisa membimbing Kanaya menjadi istri kamu. Tapi Kanayanya suka enggak sama kamu?" ujar mamanya ragu, yang kali ini justru ditanggapi senyuman oleh Steven.
"Kanaya sering mengutarakan perasaannya ke Steve, bila dia mencintai Steve, Ma. Kanaya juga sering masak buat makan siang Steve, dan masakan dia selalu Steve sukai. Menurut Mama, Kanaya itu tulus enggak sama Steve?" tanyanya lesu di akhir kalimatnya, merasa tak yakin dengan ketulusan Kanaya padanya selama ini.
"Kalau dia melakukan semua itu sih seharusnya dia tulus sama kamu." Steven hanya bisa terdiam, mendengar ucapan mamanya yang entah kenapa ingin ia amini.
"Mungkin," jawab Steven tak yakin.
"Kamu jalani aja dulu, Steve. Tapi kamunya juga jangan takut jatuh hati sama dia, apalagi cuma karena masalah umur yang membuat kamu ragu. Akan lebih menyesal, bila kamu tertarik dengan Kanaya, tapi kamu malah mengacuhkannya, dan berakhir dengan Kanaya yang menyerah dan pergi mencari lelaki lain. Setelah semua itu, apa kamu bisa menerima semuanya? Apa kamu bisa melihat Kanaya bersama dengan lelaki lain? Dan kamu akan mencari wanita seperti Kanaya lagi, begitu? Hanya yang membedakannya, kamu cari wanita yang umurnya lebih pantas buat kamu, begitu?" tanya mamanya terdengar tak yakin.
"Pertanyaannya, mau sampai kapan? Sedangkan usia kamu sudah tua, sudah sepantasnya kamu menikah." Wanita itu melanjutkan kalimatnya yang nyatanya mampu membuat putranya bungkam, seolah sepaham dengan wanita yang disayanginya itu.
"Mama benar sih, tapi bagi Steve untuk menerima sosok Kanaya di hati Steve itu sulit, karena jarak umur di antara kita terlalu jauh. Butuh mental yang kuat saat melakukannya, karena akan banyak temannya Steve yang sangat senang hati menghina Steve ini pedofil, yang tipe istrinya anak kecil." Steven menjawab yakin, membuat mamanya menatap datar ke arahnya, merasa tak percaya dengan pemikiran putranya yang terlalu dangkal menurutnya.
"Dari pada dihina enggak laku-laku," sahutnya sinis.
"Jahat banget sih, Ma, sama anak sendiri dibilang enggak laku-laku." Steven menjawab tak percaya.
"Memang itu faktanya kok," bela wanita itu seenaknya, yang hanya ditanggapi kediaman oleh Steven yang menatap kesal ke arah mamanya tersebut.
"Steve, bagaimana kalau besok kamu ajak Kanaya ke rumah?" ujar wanita itu tiba-tiba dengan nada antusias, membuat mata Steven membulat seketika kala mendengarnya.
"Ngapain? Buat apa, Ma?" tanyanya tak terima.
"Mama kan juga mau kenal sama Kanaya, terus bisa akrab sama dia."
"Enggak usah, ngapain juga akrab sama dia." Steven menjawab cepat, merasa tidak setuju dengan keinginan mamanya itu.
"Memangnya kenapa sih, Steve? Mama kan cuma mau kenal doang, apa salahnya coba?" sungut wanita itu tak habis pikir.
"Enggak salah sih, Ma. Tapi buat apa Kanaya sampai diajak ke sini? Yang ada nanti dia GR lagi," gerutu Steven tak yakin, meski di dalam hati ia juga ingin mengenalkan Kanaya dengan wanita yang disayanginya yaitu mamanya itu.
"Ya sudah kalau kamu enggak mau mengajak Kanaya ke mari, berarti besok Mama dan Papa akan ke kantor buat menemui Kanaya ya. Kan kamu bilang, kalau setiap hari Kanaya mengirimi kamu makan siang, pasti Mama bisa ketemu sama dia besok." Mendengar ide mamanya itu, lagi-lagi Steven dibuat tak percaya dengan ucapan mamanya, terlihat dari matanya yang membulat sempurna.
"Jangan lah, Ma. Apa kata pegawai di sana, kalau Mama ke kantor cuma mau menemui Kanaya." Steven menjawab tak terima, merasa tak setuju dengan ide gila mamanya itu.
"Ya sudah, berarti besok kamu harus mengajak Kanaya ke rumah, karena Mama juga mau kenal sama dia." Wanita itu menjawab tegas, membuat putranya bungkam tidak bisa menolak.
"Iya-iya." Steven menjawab terpaksa, walau di dalam hati Steven justru merasa tak sabar memperkenalkan mamanya dengan sosok Kanaya, gadis konyol yang berhasil mengesankannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
