
Awalnya, kehidupan Raja sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta berjalan biasa, bahkan terkesan datar-datar saja. Sampai saat ia di pindahkan di SMA ternama, semua juga berjalan baik pada awalnya, sampai saat ia dipertemukan dengan seorang murid cantik bernama Tiara.
Tiara sendiri seorang artis berbakat, Raja tidak pernah memandangnya berbeda, bahkan saat gadis itu tidak melakukan tugas-tugasnya, ia akan tetap menghukumnya tanpa memandang statusnya. Lalu apa jadinya bila ternyata ia dan muridnya...
Part 16
Raja menyunggingkan senyum sinisnya, merasa tak percaya saja dengan kelakuan adiknya yang menurutnya sudah melampaui batasannya. Daffa itu hanya seorang ipar untuk Tiara, namun sikapnya seolah dia lah yang suaminya.
"Bukannya arah kantor Papa itu beda yang dengan sekolah? Kenapa harus repot-repot mengantarkan Tiara, kalau arah Kakak dan Tiara saja satu tujuan." Raja berujar tak habis pikir, namun Daffa justru menggeleng pelan seolah tak setuju dengan argument kakaknya.
"Kak Raja dan Tiara memang satu tujuan, tapi Kak Raja enggak pernah bersikap seolah kalian memiliki tujuan yang sama. Jadi apa salahnya kalau aku yang mengantarkan dia? Toh, arah kantor dan sekolah bedanya enggak jauh kok, paling cuma beberapa ratus meter, apa susahnya belok lagi?" Daffa menjawab santai sembari memakan sarapannya, tanpa mau peduli bagaimana kakaknya geram melihat sikapnya.
"Kamu itu hanya akan membuang-buang waktu, Tiara akan tetap berangkat dengan Kakak."
"Enggak kok, demi Tiara, enggak apa-apa waktuku terbuang. Ya enggak, Ra?" Daffa menaikturunkan alisnya ke arah Tiara yang tersenyum dan mengangguk.
"Iya, Kak."
"Tapi, Tiara. Kamu dan saya itu tujuannya sama, tapi kenapa kamu malah mau diantar Daffa?" Raja bertanya tak terima, namun kali ini Tiara tidak bisa menurut lagi, jujur saja ia sudah tidak sanggup lagi diperhatikan banyak orang karena turun dari mobil orang dan berjalan sampai sekolah. Andai Tiara bukan artis, mungkin ia akan baik-baik saja meskipun ada yang mengucilnya, namun posisinya berbeda, ia seorang artis yang juga membawa nama agensinya. Bila perusahaan tempatnya bekerja tahu, Tiara bisa saja dipecat dan kehilangan pekerjaannya.
"Maaf, Pak. Sebenarnya saya juga kurang nyaman diturunkan di jalan, banyak orang yang memerhatikan saya. Apalagi kalau sampai ada yang tahu siapa saya, kedepannya saya bisa mendapatkan masalah." Tiara menjawab penuh bersalah yang tidak bisa Raja bantah, karena sikapnya juga cukup keterlaluan.
"Nanti pulangnya kamu juga akan aku jemput dan aku antarkan sampai rumah, aku enggak tahu kamu semenderita ini, Ra. Maafkan aku ya, karena baru tahu hal ini. Kalau aku tahu sejak awal, aku pasti enggak akan membiarkan Kak Raja berangkat sama kamu ke sekolah." Daffa menatap tak suka ke arah Raja seolah ingin memberinya penekanan, bila apa yang dilakukannya memang keterlaluan.
"Terima kasih, Kak." Tiara tersenyum tulus, meski ada rasa tidak enak hati pada Raja yang terus saja memerhatikannya dengan mata dinginnya.
***
Tiara tersenyum sembari melambaikan tangan saat mobil yang Daffa tumpangi akan melaju pergi. Saat mobilnya sudah menjauh, di saat itu lah Tiara menurunkan tangannya lalu masuk ke dalam sekolah. Sedangkan di belakangnya, ada mobil Raja yang baru datang, empunya itu juga melihat bagaimana Tiara tersenyum ke arah mobil Daffa, dan yang dilakukannya hanya melengos malas bahkan saat mobilnya mendahului Tiara seolah tidak mengenalnya.
Raja benar-benar dibuat kesal dengan kelakukan adiknya itu, sikapnya terlalu perhatian pada Tiara, padahal status mereka adalah ipar, status yang tidak seharusnya diumbar seolah mereka memiliki hubungan spesial.
Tidak ingin terus-terusan memikirkan kelakuan adiknya, Raja berusaha mengalihkan pikirannya pada materi yang harus ia ajarkan ke seluruh muridnya. Ya, seperti itu lah Raja, selalu berusaha bersikap profesional dengan pekerjaannya, meski terkadang ada kalanya hatinya dibuat kesal oleh beberapa orang.
Setelah turun dari mobil, Raja mengedarkan pandangannya dan mendapati Tiara yang sedang berjalan sembari tersenyum hangat ke arahnya. Namun Raja berusaha tidak memedulikannya, tatapannya bahkan teralih ke arah lain dengan sangat mudah, yang tentu saja membuat Tiara merasa bersalah.
Tiara sendiri merasa yakin, bila Raja masih kesal dengannya karena sudah menentangnya untuk berangkat bersama. Tiara sendiri juga tidak bisa bila terus-terusan di posisi di mana ia harus turun bahkan jauh sebelum sampai sekolah, rasanya aneh untuk dirinya yang mudah sekali dikenali banyak orang. Tatapan keraguan dari mata semua orang yang melihatnya berjalan, seolah mereka ingin mengatakan bila Tiara mirip seorang bintang, namun terdengar mustahil karena penampilan dan kehidupannya yang tidak meyakinkan.
Jujur, Tiara mulai muak ditatap seperti itu, hatinya risih seolah diusik kembali oleh rumor buruk yang selalu menggangu telinganya. Itu lah kenapa Tiara memilih untuk menerima tawaran Daffa untuk mengantarkannya, meskipun lelaki itu adalah saudara iparnya, namun dia adalah orang baik, sikapnya ramah dan supel, Tiara merasa nyaman berada di dekatnya.
Sebenernya saat Tiara menginap di rumahnya, ia sudah membicarakan hal ini pada tantenya, bila ia ingin sopirnya menjemputnya saat akan berangkat dan pulang sekolah seperti saat ia masih belum menikah dengan Raja. Hal itu disikapi baik oleh tantenya, wanita yang sudah mengurusnya itu bahkan sangat setuju, namun keesokan paginya, Tiara harus menggagalkan niatnya karena tawaran Daffa yang tidak mungkin ditolaknya.
Saat Tiara tidak mendapatkan respons baik dari Raja yang disapanya melalui senyumnya, yang Tiara lakukan hanya merapatkan bibirnya dengan sesekali menghembuskan nafas panjangnya. Menghadapi Raja memang lah tidak mudah, lelaki itu bak es yang sulit mencair sehangat apapun Tiara berusaha melelehkannya.
"Tiara," panggil Nathasa yang berlari di belakangnya, sedangkan Tiara yang melihatnya hanya tersenyum sembari melambaikan tangannya, sahabatnya itu ternyata sudah datang dengan jarak waktu yang tidak terlalu lama.
"Pagi, Sha. Baru sampai ya?" tanya Tiara setelah Nathasa berada di depannya.
"Iya. Tapi, kok tumben sih kamu berangkatnya lebih awal dari aku? Biasanya kan kamu paling akhir, di detik-detik bel masuk sekolah malah." Nathasa berujar heran, namun Tiara justru tersenyum, seburuk itu kah catatan berangkat sekolahnya selama ini, padahal Tiara merasa sudah berusaha mengerjakan semuanya lebih awal. Namun sepertinya apa yang Nathasa katakan memang benar, ia sering kali hampir terlambat masuk kelas.
"Iya-iya. Tapi, enggak sering kan?" tanya Tiara meyakinkan yang diangguki setuju oleh Nathasa.
"Iya sih," jawab Nathasa.
"Sudah yuk masuk kelas! Kemarin enggak ada PR ya?" ujar Tiara sembari berjalan beriringan dengan Nathasa ke arah kelas.
"Kok kamu tau?" tanya Nathasa keheranan, yang seketika didiami oleh Tiara, karena tidak mungkin mengatakan bila ia tahu dari Raja tadi malam.
"Cuma nebak aja kok ...." Tiara menggaruk lehernya yang tidak gatal, berusaha bersikap senatural biasanya.
"Oh ...." Nathasa mengangguk paham yang ditanggapi Tiara dengan hembusan nafas lega.
"Oh ya, Ra. Tadi aku lihat kamu diantar mobil, tapi bukan mobil milik kamu sih. Kamu diantar siapa tadi? Cowok yang kemarin ya?" tanya Nathasa tiba-tiba setelah mereka berada di depan kelas.
"Cowok yang kemarin? Maksud kamu siapa?" tanya Tiara tak mengerti, tanpa menyadari Raja yang sedang berjalan menuju ke kelasnya.
"Itu loh yang kemarin, yang menemui kamu di sana," tunjuk Nathasa ke arah tempat di mana Tiara bertemu dengan Daffa.
"Oh itu ...." Tiara mengangguk paham.
"Iya-iya, dia siapa? Pacar kamu ya?" tanya Nathasa antusias, sedangkan Raja yang mendengarnya mulai melirihkan langkahnya berusaha menguping pembicaraan mereka. Raja hanya merasa penasaran saja dengan siapa lelaki yang muridnya itu maksud, terlebih lagi semua itu berhubungan dengan Tiara yang mau bagaimana pun dia tetap lah istrinya.
"Dia Kak Daffa." Tiara menyunggingkan senyumnya yang ditatap dengan mata menggoda oleh Nathasa.
"Ciyeee, dia pasti cowok yang lagi dekatin kamu ya? Atau jangan-jangan kalian sudah pacaran ya?" tuduh Nathasa dengan sesekali menoel pipi Tiara yang kian tersenyum malu.
"Enggak kok dan enggak mungkin juga."
"Memangnya kenapa? Kamu cantik, dia ganteng. Apanya yang enggak mungkin?"
"Ya karena enggak bisa aja."
"Kenapa sih? Kalian saudara jauh ya?" tanya Nathasa terdengar kecewa, namun Tiara justru menggeleng, membuat Raja geram dengan jawaban Tiara, merasa gemas saja dengan kalimat yang dipakainya.
"Bukan kok. Kak Daffa itu ...."
"Tiara, Nathasa. Kenapa masih ada di luar kelas? Cepat masuk!" sentak Raja tiba-tiba, membuat kedua muridnya itu terkejut takut dan menoleh ke arahnya.
"Tapi ini kan belum bel masuk kelas, Pak." Nathasa menjawab heran, matanya bahkan masih bisa melihat bagaimana teman-temannya yang lain berlalu lalang dengan santainya.
"Terus kenapa kalau belum bel masuk kelas?"
"Ya ... kan ...."
"Iya, Pak. Maaf, kita akan masuk kelas sekarang. Permisi, Pak." Tiba-tiba Tiara menyahut sopan yang menarik lengan Nathasa dan mengajaknya ke kelas, meninggalkan Raja yang tampak kesal.
Tiara yakin, dibalik sikap Raja yang tampak kesal dengan Nathasa, sebenarnya lelaki itu masih marah dengannya, itu lah kenapa Tiara memutuskan untuk mereka mengalah dan segera pergi dari sana.
"Kenapa jalannya harus cepat-cepat sih, Ra? Bel masuk memang belum bunyi kok, Pak Rajanya aja yang keterlaluan, padahal yang lain masih jalan-jalan." Nathasa menggerutu kesal, merasa lelah saja dengan sikap gurunya yang selalu saja seenaknya, bahkan sebelum kelasnya dimulai.
"Sudah lah, cepat atau lambat, tujuan kita tetap kelas kan? Apa salahnya dipercepat?" jawab Tiara yang dihelai nafas oleh sahabatnya.
"Iya sih." Nathasa menjawab pasrah lalu mengikuti langkah Tiara untuk masuk ke kelasnya.
***
Saat mengajar di jam akhir sekolah, Raja justru terdiam memikirkan apa jawaban Tiara saat temannya itu bertanya mengenai hubungannya dengan Daffa. Terlebih lagi Raja juga sempat mendengar bila teman Tiara itu curiga bila mereka pacaran, sedangkan Tiara justru bersikap malu-malu seolah hal itu adalah nyata dan benar terjadi, meski ucapannya terdengar ingin mengelak dari tuduhan yang disematkan untuknya. Namun tetap saja, semua itu tak membuat Raja percaya begitu saja dengan kepolosan istrinya.
Sekarang Raja yakin, bila sebenarnya Tiara diam-diam menyukai Daffa, itu lah kenapa dia terlihat lebih nyaman saat dekat dengan adiknya. Kedekatan mereka bahkan terlihat di luar rumah, seolah ingin mengumbar kemesraan di depan semua orang.
Memikirkan semua itu benar-benar membuat Raja merasa tak nyaman, hatinya serasa dikhianati, padahal Tiara bukanlah istri yang diharapkannya menjadi teman hidupnya, namun tetap saja Raja merasa gadis itu sudah merendahkan harga dirinya.
Tidak ingin tinggal diam, Raja berpikir untuk menanyakan langsung pada Tiara, tentunya saat ia dan gadis itu berdua tanpa ada orang lain berada di sekitar mereka.
Tak lama, bel jam akhir berbunyi, menandakan waktu pelajaran sudah seharusnya selesai. Mendengar itu, Raja mendirikan tubuhnya dan menatap seluruh muridnya yang sedang mengemasi barang-barangnya, tak terkecuali Tiara.
"Pelajaran sudah selesai, kalian bisa pulang sekarang dan tetap hati-hati di jalan. Untuk Tiara, tolong tetap duduk, karena ada yang harus saya tanyakan mengenai kedisplinan kamu yang sering sekali bolos sekolah." Raja menatap tegas ke arah Tiara yang terdiam dengan ekspresi wajah pasrah, tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali mengangguk untuk mengiyakannya.
"Iya, Pak." Tiara menjawab lesu, tatapan matanya tampak kecewa, padahal Daffa sudah menunggunya di depan sekolah.
"Mau aku temani enggak, Ra?" tanya Nathasa memastikan, bila melihat dari ekspresi wajah temannya, rasanya Nathasa tidak mungkin pulang dan meninggalkannya begitu saja.
"Enggak usah, kamu pulang saja dulu." Tiara menyunggingkan senyumnya, ia tahu Nathasa sedang kasihan dengannya, namun Tiara lebih kasihan bila temannya itu tidak segera pulang.
"Oke, maaf ya?"
"Enggak apa-apa." Tiara menggeleng yakin yang disenyumi oleh Nathasa lalu melambaikan tangan dan pergi dari sana.
"Ada apa, Pak?" tanya Tiara setelah semua temannya pergi dari sana, sedangkan Raja yang masih berdiri di depan kelas mulai melangkahkan kakinya ke arah Tiara dan duduk di kursi yang berada tepat di depannya.
"Tadi saya mendengar teman kamu bertanya tentang Daffa itu siapanya kamu, dia bahkan menuduh kalian berpacaran kan?" tanya Raja serius yang diangguki setuju oleh Tiara.
"Iya, Pak. Kenapa ya? Tapi tadi bukannya Bapak mau membahas tentang saya yang sering tidak masuk sekolah kan, lalu apa hubungannya dengan Kak Daffa?" tanya Tiara tidak yakin.
"Saya cuma mengarangnya, saya juga tidak mau ada yang curiga dengan hubungan kita."
"Oh begitu ...." Tiara mengangguk paham.
"Tadi saya sempat mendengar teman kamu bertanya apa kamu dan Daffa itu saudara jauh? Tapi kamu malah menjawab bukan. Lalu apa yang kamu katakan ke temanmu itu? Apa kamu menjawab, bila kamu dan Daffa memang sedang dekat seperti orang pacaran, begitu?" tanya Raja serius, karena ia sempat melihat Tiara dan temannya itu membicarakan hal yang sama setelah masuk ke kelas.
"Tidak kok, Pak. Saya tidak pernah mengatakan bila saya dan Kak Daffa itu dekat seperti orang pacaran."
"Lalu kamu mengatakan apa ke temanmu itu?"
"Saya mengatakan bila Kak Daffa itu saudara terdekat saya, jadi mana mungkin saya dan dia pacaran. Begitu, Pak." Tiara menjawab jujur yang diangguki mengerti oleh Raja.
"Oh ...."
"Memangnya kenapa ya, Pak? Apa itu penting?"
"Tentu saja tidak. Saya ... saya cuma khawatir kamu mengatakan ke temanmu itu tentang hubungan kita yang sebenarnya. Saya tidak mau ada yang tahu bila kita ini suami istri, bisa-bisa saya dikeluarkan dari sekolah karena sudah menikahi murid sendiri." Raja menjawab tegas meski terdengar ragu di awal kalimatnya.
"Iya, Pak. Saya paham itu kok, saya belum pernah mengatakannya ke siapapun bahkan ke Fani sekalipun."
"Fani? Fani siapa?"
"Itu laki-laki setengah perempuan yang mendandani saya kemarin," jawab Tiara yang diangguki paham oleh Raja.
"Oh dia ...."
"Iya, Pak. Fani tahunya saya tinggal di tempat saudara saya karena saya harus fokus ujian."
"Baguslah." Raja menjawab tenang, diam-diam bibirnya tersenyum mengetahui Daffa tidak diakui sebagai lelaki yang dekat dengan Tiara.
"Iya, Pak. Apa cuma itu saja, atau masih ada yang harus kita bicarakan?" tanya Tiara yang digelengi kepala oleh Raja.
"Iya, cuma itu saja. Oh ya, kamu mau pulang kan? Kamu ikut mobil saya pulang, kamu tunggu saja di tempat biasa."
"Maaf, Pak. Tapi Kak Daffa sudah menunggu saya di depan sekolah, saya harus cepat-cepat ke sana, karena Kak Daffa harus balik lagi ke kantornya. Saya pergi dulu, Pak. Permisi," pamit Tiara buru-buru tanpa mau menunggu jawaban Raja terlebih dahulu.
"Daffa lagi," gumam Raja kesal, dengan bibir tersenyum sinis, merasa muak saja dengan adiknya yang satu itu.
Part 17
Raja melirik tak suka saat Daffa dan Tiara tengah bercanda tawa di ruang keluarga, mereka tampak asyik membicarakan film yang mereka tonton sekarang. Tak jarang keduanya meragakan kelucuan si pemeran utama, lalu keduanya sama-sama tertawa bahagia.
Raja yang baru datang dan disuguhkan pemandangan seperti itu, tentu saja ia tidak suka, belum lagi otak dan tubuhnya yang sudah lelah, menambah beban yang sudah cukup berat dipikul hidupnya.
Tidak ingin membiarkan mereka bahagia begitu saja, Raja memutuskan untuk duduk dan bergabung di sana. Tentu saja, kelakuannya itu ditatap aneh oleh Daffa, berbeda dengan Tiara yang justru tersenyum hangat untuk menyapanya.
"Pak Raja kok baru pulang?" tanya Tiara heran, karena tidak biasanya suaminya itu pulang hampir malam.
"Ada hal penting yang harus saya urus. Bawakan ini ke kamar, terus buatkan saya minuman dingin, cepat!" Raja memberikan tas kerjanya ke arah Tiara yang langsung diangguki olehnya dan melaksanakan apapun yang diperintahkan suaminya.
"Iya, Pak. Sebentar." Tiara berjalan ke arah kamar, tanpa menyadari bagaimana Daffa menatap tak suka ke arah Raja.
"Kak Raja sengaja ya?" tanya Daffa dengan tatapan tajam dan terkesan kesal.
"Sengaja apa?" tanya Raja kali ini, nada suaranya bahkan terdengar menjengkelkan di telinga adiknya.
"Ya, Kak Raja sengaja buat Tiara semakin sengsara di rumah ini. Iya kan?"
"Apa sih? Kakak cuma minta bantuan Tiara aja kok."
"Minta bantuan tapi enggak bilang tolong. Jelas banget kalau Kak Raja itu sengaja buat Tiara enggak betah jadi istri Kakak, supaya Tiara juga segera pergi dari rumah ini kan?" tuduh Daffa yang ditatap datar oleh kakaknya, karena memang bukan seperti itu tujuan Raja yang sebenarnya, ia hanya tidak suka melihat Tiara dan Daffa tertawa bahagia bersama.
"Kakak enggak pernah berniat seperti itu ya, dijaga ucapanmu."
"Kalau Kak Raja enggak berniat seperti itu, tapi kenapa Tiara terus Kak Raja siksa, dia kan masih SMA, dia juga butuh bahagia, Kak."
"Kakak itu cuma minta tolong, kamu malah bilang kalau Kakak ini nyiksa Tiara. Apa menurut kamu seorang suami itu enggak boleh minta bantuan ke istrinya?" Raja menjawab serius ke arah Daffa, namun adiknya itu justru tersenyum sinis.
"Istri? Sejak kapan Kak Raja mengakui Tiara sebagai istri? Antar dia ke sekolah aja, Kak Raja suruh turun di jalan." Ekspresi Daffa tampak serius sekarang, seolah sikap kakaknya pada Tiara selama ini benar-benar mengganggunya.
"Daff, apa kamu enggak sadar, kalau kamu itu terlalu membela Tiara? Dia itu Kakak ipar kamu, bukan pacar apalagi istri kamu. Jadi stop bersikap berlebihan, lama-lama Kakak juga muak melihatnya."
"Terserah aku lah, aku kan cuma enggak mau lihat Tiara diperlakukan buruk di rumah ini, dia juga berhak bahagia dan mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Kak Raja."
"Tunggu. Apa kamu menyukai Tiara?" tanya Raja tak yakin, karena jarang sekali adiknya itu bersikap serius seperti saat ini kalau bukan karena orang-orang yang sangat disayanginya.
"Aku bahkan mencintainya. Kenapa? Apa aku salah?" tanya Daffa serius yang tentu saja membuat Raja terkejut.
"Kamu mencintai Tiara, tapi dia kan istri Kakak," jawab Raja sembari menepuk dadanya, merasa tak habis pikir saja dengan pemikiran adiknya.
"Istri yang enggak pernah Kak Raja anggap kan? Sejak awal, Kak Raja maupun Tiara juga enggak pernah setuju dengan pernikahan ini, lalu untuk apa dipertahankan? Lebih baik Kak Raja segera menceraikan Tiara, supaya aku bisa mendekati Tiara sebagai pria." Daffa menjawab serius, ekspresi wajahnya tampak tak ingin main-main dengan kalimatnya.
"Kamu serius?" Raja menatap tak percaya ke arah adiknya, dan entah bagaimana hatinya merasa sakit mendengar ucapan adiknya.
"Sangat serius." Daffa menatap yakin ke arah kakaknya, keduanya bahkan saling menatap satu sama lain, tanpa menyadari Tiara sedang berjalan sembari membawa nampan ke arah mereka.
"Pak Raja, Kak Daffa. Ada apa?" tanya Tiara keheranan terlebih lagi saat melihat kedua saudara itu tengah menatap satu sama lain, seolah ada yang sedang mereka perebutkan.
"Tiara, kamu sudah di sini." Daffa tersenyum hangat bahkan ekspresi wajah seriusnya yang sempat mengintimidasi kakaknya sudah berubah menjadi wajah ramah seperti biasanya.
"Iya, Kak. Aku bawa minuman buat Pak Raja dan juga Kak Daffa." Tiara memberikan gelas berisikan minuman untuk Daffa, yang diterima baik oleh lelaki itu.
"Terima kasih."
"Iya, Kak. Dan ini untuk Pak Raja." Tiara memberikan gelas satunya untuk suaminya tersebut, namun lelaki itu justru terdiam lalu mendirikan tubuhnya dan pergi dari saya.
"Untuk kamu saja, saya sudah tidak haus," jawabnya tanpa mau menatap ke arah Tiara yang terlihat bingung dengan sikapnya.
"Pak Raja kenapa, Kak?" tanya Tiara setelah Raja pergi dari sana.
"Enggak tahu, mungkin cuma mau istirahat."
"Iya, mungkin." Tiara menjawab tak yakin, karena sepertinya Raja tampak sedang marah sekarang dan Tiara tidak tahu karena apa, suaminya itu terkadang memiliki emosi naik turun yang tidak bisa ditebak ataupun dikendalikan.
***
Hari demi hari, Daffa semakin menunjukkan perasaannya pada Tiara, tak jarang ia sengaja memperlihatkannya pada Raja, berharap kakaknya itu paham bila ucapannya bukanlah sebuah bualan. Daffa benar-benar mencintai Tiara, ia juga tak segan untuk merebutnya, agar hatinya tak semakin terluka.
Setiap pagi, Daffa rela bangun lebih awal untuk membantu Tiara memasak dan menyiapkan bekal makan siang, setelah itu Daffa juga harus sarapan dengan cepat, agar bisa mengantarkan Tiara ke sekolah.
Perhatian-perhatian kecil yang Daffa tunjukkan pada Tiara, begitu mengganggu perasaan Raja yang hampir setiap hari melihatnya. Adiknya itu seolah ingin mengajaknya perang, di kondisi Raja yang tidak mungkin berjuang.
Ya, sebagai lelaki yang sejak awal menolak pernikahannya dengan Tiara, tentu saja akan terasa aneh bila Raja tiba-tiba perhatian dengan Tiara. Dan lagi, Raja juga belum yakin dengan hatinya, kenapa merasa marah hanya karena melihat Tiara didekati adiknya.
Raja sempat berpikir bila perasaan semua itu karena ia suaminya Tiara, meskipun ia tidak mengharapkannya, namun tetap saja harga dirinya akan terasa diinjak-injak bila istrinya didekati lelaki yang tak lain adalah adiknya sendiri.
"Tiara," panggil Raja yang saat ini sedang berada di atas ranjang, sedangkan Tiara sedang mengerjakan PR miliknya di meja belajar.
"Iya, Pak. Ada apa?"
"Sepertinya semakin hari, kamu semakin dekat dengan Daffa, apa kamu menyukainya?" tanya Raja berusaha terlihat biasa saja, berbeda dengan Tiara yang justru dibuat bingung dengan pertanyaan suaminya tersebut.
"Kak Daffa kan adik Pak Raja, memangnya saya tidak boleh ya dekat dengan Kak Daffa?" tanya Tiara tak yakin, yang sempat Raja diami sebentar.
"Boleh saja sih, tapi saya cuma penasaran bagaimana perasaan kamu ke Daffa? Apa diam-diam kamu menyukainya?" tanya Raja berusaha bersikap tenang.
"Tidak kok, Pak. Saya dekat dengan Kak Daffa, karena dia saudara Pak Raja, itu berarti saudara saya juga kan? Apa saya salah sudah menganggapnya saudara?" Tiara bertanya hati-hati, ia hanya tidak mau membuat suaminya itu marah lagi dengannya, apapun masalahnya Tiara akan berusaha memperbaikinya.
"Tidak salah kok, tapi akan lebih baik bila kalian tidak terlalu dekat, orang lain bisa salah paham dengan kedekatan kalian, contohnya teman kamu di kelas itu."
"Saya minta maaf, Pak. Saya janji, kedepannya saya akan berusaha menjaga sikap saya menjadi lebih baik lagi." Tiara menjawab serius, yang diam-diam Raja tatap dengan mata kekaguman, itu karena istrinya itu selalu saja bersikap dewasa, padahal apa yang dilakukannya belum tentu tidak menyakiti hatinya.
"Baguslah." Raja mengalihkan tatapan matanya ke arah buku yang berada di pangkuannya, entah kenapa hatinya merasa aneh melihat sikap dewasa yang dimiliki Tiara. Sebenernya Raja merasa sangat yakin, bila perasaan itu hanya sebatas rasa kekaguman, namun hatinya justru merasa takut terjatuh ke dalam lingkaran percintaan.
"Oh ya, Pak. Besok kan hari Minggu, saya ada acara syuting video klip lagu milik Nando, teman saya. Apa saya boleh pergi?" tanya Tiara penuh harap, namun Raja dengan mudahnya mengangguk dan menyetujuinya.
"Terserah kamu lah, asal jangan pas sekolah terus kamu syuting, padahal pendidikan itu yang paling penting."
"Iya, Pak. Terima kasih." Tiara menyunggingkan senyumnya, merasa lega akhirnya suaminya itu mau mengizinkannya.
***
Keesokan paginya, Daffa turun ke lantai bawah, namun tak mendapati siapapun di sana kecuali kakaknya yang tengah sarapan di meja makan. Bahkan saat Daffa melirik ke arah dapur, tidak ada seorang pun di sana termasuk Tiara yang biasanya sibuk masak.
"Tiara belum bangun, Kak?" tanya Daffa sembari duduk di kursinya, Daffa pikir Tiara mungkin malas bangun karena hari ini adalah hari libur. Meskipun tidak seperti biasanya, namun Daffa merasa perlu menanyakan keadaannya.
"Sudah kok."
"Terus di mana dia sekarang? Tumben enggak masak."
"Tadi pagi dia dijemput tantenya, katanya sih dia ada syuting. Makanya sekarang Kakak bangun, karena harus buka gerbang rumah, padahal ini kan hari libur, harusnya Kakak masih tidur." Raja menggerutu kesal sembari mengunyah roti miliknya.
"Ya tinggal tidur lagi aja, Kak. Enggak usah ribet!" Daffa menjawab malas, terlebih lagi mengetahui Tiara pergi padahal ia berencana untuk mengajaknya bermain.
"Siapa juga yang ribet? Enggak usah kamu suruh, setelah sarapan ini juga Kakak tidur lagi." Raja menekankan jawabannya, yang ditatap malas oleh adiknya.
"Oh ya, Tiara syuting di mana, Kak?"
"Mana Kakak tau? Enggak penting juga." Raja menjawab tanpa minat.
"Kali aja Tiara bilang kan, makanya aku tanya. Rencananya aku itu mau ajak dia ke mall, aku mau beli sesuatu buat dia." Mendengar jawaban Daffa, Raja memicingkan matanya ke arah adiknya tersebut.
"Kamu masih berusaha mendekati Tiara?"
"Kalau iya, kenapa?"
"Tiara enggak suka sama kamu, dia menganggap kamu itu cuma sebagai saudara, enggak lebih." Raja menjawab serius, namun Daffa tampak tenang mendengar jawabannya.
"Enggak apa-apa, yang penting Tiara enggak sama Kak Raja, karena dia berhak mendapatkan yang lebih baik dari kita." Daffa menjawab serius, yang tentu saja membuat Raja geram.
"Berarti kamu rela kalau Tiara dapat laki-laki lain?"
"Iya, asal dia lelaki baik." Daffa menjawab mantap sembari mengambil roti dan mengolesinya dengan selai.
"Cih, sok bijak." Raja menjawab sinis, namun Daffa sudah tak peduli lagi, kakaknya itu memang seperti itu, menyebalkan.
"Oh ya, tadi kamu tanya kan Tiara syuting di mana? Katanya sih dia mau syuting video klip dengan lelaki yang bernama Nando. Dia siapa sih? Artis juga ya?" Raja bertanya penasaran, namun Daffa justru terdiam.
"Nando anak band?"
"Mungkin."
"Nando itu yang ada di TV sama Tiara kemarin. Kalau enggak salah, mereka dulu pernah pacaran, tapi putus karena Nando sudah sukses."
"Serius? Berarti Tiara cuma dimainin sama anak itu?" Raja bertanya tak percaya, yang diangguki setuju oleh Daffa.
"Ah ya, aku baru paham sekarang. Dulu, gara-gara Tiara, band Nando kan melejit di pasaran, tapi pas band dia sudah sukses, mereka malah putus. Sekarang, Tiara bakal jadi bintang video klip Nando, itu berarti Tiara bakal dimanfaatkan lagi enggak sih?" Daffa menatap tak yakin ke arah Raja yang tampak tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Sebagai seorang suami, tentu saja ia merasa tidak terima bila Tiara dimanfaatkan, meski Raja menikahinya karena rasa terpaksa, namun tetap saja ia berpikir tidak seharusnya Tiara menderita hanya karena seorang lelaki.
"Serius itu cerita yang sebenarnya? Tapi, kok kamu tahu cerita percintaan Tiara? Kamu enggak ngarang kan?"
"Ngarang gimana? Tiara itu artis, apalagi aku juga salah satu penggemar dia, berita kaya gitu sudah hampir memenuhi sosmed ku dulu." Daffa menjawab yakin.
"Memangnya cerita apa aja yang sempat menerpa Tiara?" tanya Raja penasaran.
"Tiara itu artis muda berbakat, banyak yang mengidolakan dia. Tapi dibalik semua ketenaran itu, banyak orang yang juga enggak suka sama dia. Puncaknya pas kecelakaan orang tua Tiara dulu, waktu itu dia baru lulus SMP, tapi harus menghadapi banyak hujatan banyak orang." Daffa menghela nafas panjangnya, sebagai penggemar, Daffa sempat mengikuti berita tentang Tiara termasuk tentang hate komen yang terus menyerang sosoknya.
"Kenapa Tiara dihujat? Kan orang tuanya meninggal pas kecelakaan, seharusnya mereka bersimpati kan?" tanya Raja tak habis pikir.
"Sebenarnya banyak kok yang bersimpati saat itu, tapi pembencinya aja yang berspekulasi seolah Tiara lah penyebab dari orang tuanya meninggal. Sebelum kecelakaan itu terjadi, orang tua Tiara menjemput dia di bandara, tapi saat mereka akan pulang, mobil yang mereka kendarai tiba-tiba mengalami rem blong di jalan tol. Kecelakaan mobil mereka sangat parah, untungnya Tiara sempat didorong mamanya keluar dan pada akhirnya dia selamat, padahal banyak yang berpikir kecelakaan sebesar itu enggak mungkin ada yang selamat karena mobilnya sempat meledak beberapa kali."
Daffa mengembuskan nafas panjangnya, hatinya sempat merasa sakit saat mengetahui kabar itu, dan yang lebih menyakitkannya lagi banyak komen buruk yang terus menyalahkan Tiara hanya karena orang tuanya datang untuk menjemputnya lalu kecelakaan dan hanya Tiara yang selamat.
Sedangkan Raja yang mendengarnya hanya bisa terdiam, ia benar-benar tidak menyangka bila Tiara, gadis muda yang selalu dipikirnya anak kecil itu ternyata sering mengalami banyak tekanan. Gadis itu begitu tangguh, hingga lukanya begitu transparan untuk dilihat semua orang, saking hebatnya gadis itu menyembunyikannya.
"Kakak enggak nyangka kalau Tiara pernah mengalami hal seburuk itu," ujar Raja terdengar merasa bersalah, terlebih lagi sikapnya juga kurang baik pada gadis itu.
"Tiara bahkan sempat depresi karena dia melihat sendiri bagaimana orang tuanya terbakar di dalam mobil. Untungnya, paman dan tantenya selalu menyemangatinya hingga Tiara bisa kembali ke dunianya. Tapi saat melihat dia yang sebenarnya, sepertinya Tiara memang cuma berpura-pura ceria di depan kamera." Daffa menjawab iba, hatinya benar-benar berusaha mengerti dengan apa yang Tiara rasakan.
"Jadi, Kak, tolong sedikit bersikap baik lah ke Tiara. Meskipun Kak Raja melakukannya dengan terpaksa, setidaknya Kak Raja enggak akan menambah luka di hati dia." Daffa menatap serius ke arah Raja yang terdiam dan mengangguk.
"Kakak mengerti. Bagaimana kalau sekarang kita ke tempat syuting dia? Kita jaga Tiara dari lelaki seperti Nando?" ujar Raja serius, ia tahu bila dirinya bukanlah lelaki dan suami yang baik untuk Tiara, namun ia yakin akan berusaha menjaganya.
"Kak Raja serius?"
"Serius. Memangnya kamu mau Tiara disakiti lelaki itu lagi? Katanya kamu mau lihat Tiara bahagia bersama dengan orang baik, ya meskipun bukan Kakak, setidaknya lelaki yang kurang bisa menghargai Tiara juga enggak bisa bersama dia."
"Oke, kita ke tempat syuting Tiara untuk jaga dia, sekalian kita liburan mumpung hari Minggu. Kerja di kantor Papa itu buat setres, kepala serasa mau meledak, rasanya aku mau pindah lagi ke tempatku dulu dan jauh-jauh dari Kak Raja."
"Ide bagus, kenapa enggak balik besok aja?"
"Soalnya Mama dan Papa belum pulang, aku juga masih mau berusaha dekat dengan Tiara, kali aja dia berubah pikiran." Daffa menyengir bahagia, yang tentu saja mendapatkan tatapan geram dari mata kakaknya.
"Enggak akan mungkin, Tiara bakal tetap anggap kamu sebagai saudara. Kita jadi ke tempat Tiara enggak?" tanya Raja yang sempat dicemberuti oleh Daffa.
"Jadi."
"Siap-siap sana!"
"Iya-iya."
Part 18
Setelah mengetahui lokasi syuting mereka, Raja dan Daffa langsung menuju ke sana, di sebuah gedung tua yang tempatnya tidak jauh dari rumah mereka. Dan di sini lah mereka, di dalam mobil milik Daffa dengan Raja yang menyetirnya, sedangkan Daffa sedang fokus pada ponselnya.
"Bisa-bisanya Kak Raja enggak punya nomornya Tiara, padahal istrinya sendiri. Enggak suka sih enggak suka, tapi jangan berlebihan juga sampai enggak tahu nomor ponselnya." Daffa menyindir kakaknya yang menolak untuk menanyakan lokasi Tiara karena tidak memiliki nomornya, sedangkan Daffa yang notabenenya saudara ipar Tiara justru memilikinya.
"Kakak bukan enggak suka dengan Tiara, Kakak cuma mau Tiara menyerah dengan pernikahan ini, makanya Kakak sering bersikap enggak peduli ke dia, bahkan hanya untuk memiliki nomor ponselnya."
"Kenapa? Apa kerena Kak Sonya? Sudahlah, Kak. Stop menunggu wanita itu, dia enggak akan mungkin kembali. Meskipun kembali, dia pasti sudah memiliki lelaki lain." Daffa menjawab santai, meski sebenarnya ia muak menduganya, namun sepertinya itu lah alasan kenapa kakaknya ingin merusak pernikahannya dengan Tiara.
"Tapi, Kakak masih mengharapkannya, Daff. Kakak juga sangat yakin, dia akan datang suatu saat nanti, menerima lamaran Kakak, lalu kita akan menikah dan hidup bahagia." Raja tersenyum tipis, sudah lama ia mengharapkan hal itu, namun sepertinya itu masih lama, karena Sonya sendiri sudah lama tidak ada kabar.
Daffa yang mendengar ucapan kakaknya yang terdengar lelah, diam-diam ia juga merasa iba, namun tetap saja ia tidak akan pernah suka bila kakaknya itu menikah dengan Sonya. Seorang model biasa yang melakukan banyak cara termasuk meninggalkan kakaknya demi bisa menjadi model terkenal.
Sikap wanita itu terlalu buruk, hingga Daffa merasa muak hanya dengan mengingat wajahnya. Bukan tanpa alasan Daffa membencinya, karena wanita itu lah, sikap kakaknya yang dulu sangat penyayang kian berubah semenjak sepeninggalannya.
Setahu Daffa, dulu, Raja berpacaran dengan Sonya, si wanita ambisius. Kakaknya itu begitu mencintainya dengan tulus, ya karena memang seperti itu lah sikap kakaknya sejak dulu, sosok lelaki penyayang. namun perubahan sikap kakaknya itu mulai terlihat saat Sonya mengatakan bila dia akan pergi ke luar negeri untuk menggapai cita-citanya.
Mau tak mau, Raja harus mau menuruti permintaannya, namun di hari terakhir mereka, Raja mengatakan bila ia akan menunggu Sonya pulang. Saat itu Raja juga melamar wanita itu, dan ia meminta jawabannya saat wanita itu pulang ke Indonesia, wanita itu setuju lalu pergi tanpa kabar lagi.
Cerita memuakkan untuk Daffa ingat, namun karena cerita itu lah, kakaknya mulai berubah, sikapnya mudah marah dan bahkan sering menyendiri di kamarnya. Namun lambat laun, Raja mulai terbiasa hidup tanpa Sonya, bisa dilihat dari caranya yang begitu antusias dengan pekerjaannya sampai lupa bila umurnya sudah tua dan pada akhirnya harus menikah dengan Tiara.
Sekarang, kakaknya itu justru ingin mengakhiri pernikahan itu demi janjinya pada wanita yang tidak tahu bagaimana kabarnya. Tentu saja, Daffa semakin muak melihat jalan ceritanya. Andai Tiara menyukainya dan tidak menganggapnya sebagai saudara, Daffa pasti akan sangat senang hati menggantikan posisi kakaknya menjadi suaminya, namun sepertinya itu mustahil, karena pada kenyataannya Tiara tak menganggapnya tak lebih dari saudara.
"Semua itu terserah Kak Raja, tapi please jangan bawa Tiara ke dalam masalah kalian, dia juga butuh bahagia. Kalau pernikahan kalian memang enggak bisa dilanjutkan, setidaknya jangan menambah luka pada hati Tiara."
"Kakak mengerti. Sepertinya kita sudah sampai, bagaimana? Kamu masih mau menemui Tiara?"
"Kenapa enggak? Kita kan juga sudah ada di sini, aku juga enggak mau nanti Tiara di sana digodain Nando, terus mereka malah balikan lagi." Daffa menjawab serius sembari membuka pintu mobilnya, tanpa menyadari bagaimana Raja termenung memikirkan ucapannya. Entah kenapa, semakin hari, Raja merasa semakin peduli dengan Tiara, terlebih lagi setelah mendengar kisahnya, hati Raja bagai pisau tumpul yang memiliki pilihan antara mencintai atau menyakiti, antara pergi atau menemani, dan semua itu semakin membuat Raja tidak mengerti.
"Kak, ayo cepat keluar! Tiara sudah menunggu kita di dalam," teriak Daffa sembari menggedor-gedor pintu mobilnya, yang diangguki mengerti oleh Raja lalu keluar dari sana.
***
Di dalam ruangan, Tiara sedang bersiap-siap setelah selesai di make up. Gadis itu begitu cantik dengan balutan gaun warna hitam, dengan tema dark yang kian membuatnya menawan. Saat sedang menunggu gilirannya syuting, seorang kru mendatanginya dan mengatakan bila ada dua lelaki yang ingin bertemu, tentu saja hal itu membuat Tiara heran, karena setahunya hanya Daffa yang ingin datang.
"Dua orang, Pak?"
"Iya, Mbak. Apa saya harus mengizinkan mereka masuk?"
"Iya, Pak. Tolong, suruh mereka masuk!" Tiara menyunggingkan senyumnya, ia merasa penasaran dengan siapa Daffa datang. Namun saat Tiara keluar ruangan, ia justru melihat suaminya berada di lokasi syuting yang sama, lelaki itu berjalan bersama dengan Daffa.
"Wah, Ra. Kamu cantik banget." Daffa menatap kagum ke arah Tiara yang berusaha tersenyum, namun sangat sulit saat menatap ke arah Raja yang terdiam menatapnya.
"Terima kasih, Kak." Tiara menjawab seadanya, lalu matanya beralih ke arah Raja yang kian mendekat ke arahnya.
"Pak Raja," gumamTiara setelah suaminya itu berada tepat di depannya.
"Iya, kenapa? Kok kamu seperti kaget melihat saya?" Raja bertanya tak habis pikir, ekspresi wajahnya bahkan seolah tak memiliki dosa, santai dan tenang seperti biasa.
"Iya, tapi kenapa Bapak ke sini?" tanya Tiara berhati-hati.
"Saya mau tahu suasana syuting itu seperti apa, memangnya salah?" elak Raja yang ditatap tak percaya oleh Daffa, berbeda dengan Tiara yang langsung menggeleng bersalah.
"Tentu saja boleh, Pak. Tapi tolong jangan keceplosan tentang hubungan kita ya?" ujar Tiara lirih, berharap suaminya itu mau mengerti maksudnya.
"Kenapa? Kamu takut Nando tahu hubungan kita?"
"Apa? Nando? Kenapa jadi Nando, Pak?" tanya Tiara kebingungan, kenapa terhubung dengan Nando, padahal maksudnya Tiara ia hanya tidak mau ada rumor tentangnya dan hal itu pasti akan berdampak pada pekerjaan Raja sebagai guru.
"Saya tahu semuanya kok." Raja menjawab malas, yang kian membuat Tiara tak mengerti.
"Maksudnya Pak Raja apa sih, Kak?" tanya Tiara ke arah Daffa, jujur saja ia belum bisa berbicara banyak ataupun meminta penjelasan yang detail mengingat tempat mereka adalah tempat umum.
"Nanti kita bicarakan di rumah." Daffa mengerlingkan matanya sembari tersenyum ke arah Tiara, yang diam-diam Raja tatap dengan mata malas, merasa tak suka saja dengan sikap adiknya yang selalu memperlakukan Tiara dengan mesra.
"Ara, sekarang giliran kamu syuting." Seorang kru datang menghampiri Tiara yang langsung diangguki olehnya.
"Iya, Kak. Pak Raja sama Kak Daffa mau lihat proses syutingnya enggak? Kalau mau lihat, ikut aku ke sana," tunjuk Tiara ke arah banyak orang yang sudah siap di tempatnya masing-masing.
"Iya, kita mau lihat. Ya kan, Kak?" ujar Daffa ke arah Raja yang tampak acuh tak acuh dengan sekitarnya.
"Terserah." Raja menjawab seadanya lalu berjalan mengikuti Tiara dan Daffa, namun di sana mereka justru bertemu dengan Nando, lelaki yang akan menjadi lawan main Tiara di video klip tersebut.
"Ara," panggil lelaki itu terdengar antusias, ekspresi wajahnya bahkan sangat jelas menggambarkan bagaimana bahagianya dia melihat Tiara.
"Hai, Nan. Syutingnya mau dimulai kan?"
"Iya, sebentar lagi. Wah, kamu selalu cantik ya? Enggak pernah berubah." Nando menatap kagum ke arah Tiara, membuat Raja dan Daffa muak mendengarnya.
"Alah najis," sindir Daffa malas, yang tentu saja mendapatkan perhatian dari Tiara dan Nando yang mendengar gerutuannya.
"Maksudnya apa ya?" tanya Nando tak mengerti, ia merasa bila ucapan Daffa tertuju ke arahnya.
"Bukan apa-apa kok, Nan. Oh ya, kenalkan mereka ini saudaraku. Itu Pak Raja, dan yang itu Kak Daffa." Tiara memperkenalkan mereka, berusaha memperbaiki masalah yang Daffa timbulkan, meskipun Tiara sendiri tidak mengerti kenapa Daffa berkata seperti tadi.
"Iya, salam kenal, saya Nando." Nando berusaha menyapa dengan baik, namun tanggapan mereka justru terkesan tidak peduli.
"Ara, Nando. Sekarang giliran kalian," ujar seorang kru yang diangguki oleh Tiara maupun Nando. Sedangkan Raja dan Daffa hanya bisa melihat mereka memulai aktingnya, semua itu diawali dengan Tiara yang pura-pura sendiri seolah sedang menunggu, ekspresi wajahnya tampak benar-benar menghayati kesendiriannya, yang sempat membuat Raja kagum, sampai saat Daffa menghancurkan lamunannya.
"Gila, Ara keren ya, Kak? Baru pertama kali ini aku lihat dia syuting secara langsung." Daffa berbisik ke arah Raja yang tampak memutar bola matanya secara malas.
"Dia Tiara, bukan Ara." Raja menjawab kian malas.
"Lah sama aja, Tiara ya Ara. Kalau di rumah dia Tiara, kalau di sini ya Ara."
"Terserah." Raja terus memerhatikan Tiara, bahkan saat Nando mulai datang dan memeluk tubuhnya, di saat itu lah Raja mendelikkan matanya.
"Apa-apaan itu? Mau-maunya dipeluk?" gerutu Raja tak habis pikir, yang diam-diam Daffa dengar.
"Kan cuma akting, Kak." Daffa menjawabnya, yang justru mendapatkan tatapan tajam dari mata kakaknya.
"Akting? Cuma akting kamu bilang? Kamu sendiri bagaimana, kamu bilang kamu menyukai Tiara, tapi apa kamu enggak cemburu melihat dia dipeluk lelaki seperti Nando itu?"
"Ya, cemburu. Tapi karena aku tahu itu cuma akting, jadi aku berusaha mengerti kalau Tiara cuma mau bersikap profesional dengan pekerjaannya."
"Kakak pikir, kamu cuma mengagumi Tiara, bukan menyukainya."
"Karena aku menyukainya, makanya aku enggak mau ngelarang dia melakukan apapun yang buat dia bahagia," jawab Daffa santai.
"Kamu juga enggak berhak ngelarang Tiara apapun." Raja menjawab sinis.
"Iya sih ...." Daffa tampak kecewa dengan dirinya sendiri, karena Tiara hanya menganggapnya sebagai saudara, padahal hatinya mudah sekali mencintai gadis itu dan bahkan mau melakukan apapun demi membahagiakannya. Namun sepertinya semua itu hanya akan menjadi khayalan, meski begitu Daffa tidak akan pernah rela bila kakaknya menyakiti Tiara sekecil apapun melukainya.
Daffa maupun Raja sama-sama terdiam menatap ke arah Tiara dengan sorot mata berbeda, di mana Daffa begitu bangga sekaligus kagum melihat akting Tiara yang luar biasa. Sedangkan Raja justru tampak tak suka melihat mereka bersama seolah benar-benar sedang bahagia.
***
Setelah acara syuting selesai, akhirnya Tiara bisa pulang bersama dengan Raja dan Daffa. Kini ketiganya sudah sampai di rumah, mereka juga tampak kelelahan terutama Tiara yang cukup banyak menyita tenaga karena pekerjaannya.
Meski terlihat kelelahan, tak membuat Tiara mengurungkan niatnya untuk bertanya kepada Raja dan Daffa akan sikap mereka yang begitu tak acuh saat Nando memperkenalkan dirinya. Tidak itu saja, setelah selesai syuting di lokasi pertama, Raja dan Daffa juga bersikap ketus pada Nando, padahal lelaki itu hanya ingin mengajak mereka mengobrol, karena setahu Nando, Daffa dan Raja adalah saudara Tiara.
Ya, Tiara sempat bercerita ke Nando bila ia sudah pindah ke rumah saudaranya. Tiara juga berkata bila ia ingin lebih fokus pada sekolahnya, dan Nando sangat mendukung hal itu.
Karena perbincangan itu lah, Daffa dan Raja menatap Nando seolah lelaki itu adalah mangsa yang harus mereka terkam, tentu saja hal itu membuat Nando tak nyaman. Saat Tiara bertanya apa Raja dan Daffa ada masalah, mereka justru berkata bila ia harus berhati-hati dengan Nando. Perbincangan itu sempat membuat Nando keheranan, untungnya Tiara berusaha mengalihkannya dengan berkata bila kedua saudara itu memang suka bercanda. Andai tidak ada jadwal syuting lagi, mungkin Nando akan bertanya lebih jauh lagi dengan maksud ucapan nyeleneh Daffa dan Raja.
"Kak Daffa, Pak Raja. Aku mau tanya sesuatu ke kalian, boleh?" tanya Tiara serius, setelah mereka sudah sama-sama duduk di kursi ruang tamu.
"Ada apa, Ra?" tanya Daffa penasaran, berbeda dengan Raja yang hanya terdiam memerhatikan.
"Maksud Kak Daffa dan Pak Raja apa bersikap seperti tadi ke Nando? Dia sepertinya tersinggung dengan sikap kalian." Tiara bertanya hati-hati, ia juga tidak mungkin langsung marah sebelum benar-benar mendengar penjelasan mereka.
"Bukannya sudah jelas ya, kita cuma mau menjaga kamu, Ra."
"Menjagaku dari apa?"
"Nando itu mantan kamu kan? Dia mutusin kamu di saat dia sudah sukses dengan band-nya, sekarang dia malah menunjuk kamu sebagai model video klip dia, bocah itu pasti mau manfaatin kamu lagi." Daffa menjawab serius, namun Tiara justru menghela nafas panjangnya.
"Nando itu bukan mantanku, Kak. Kita itu berteman sejak kecil, kebetulan kita menggeluti pekerjaan yang sama yaitu entertainment."
"Terus kenapa banyak berita yang mengatakan kalau kamu dan Nando pacaran pas dia buat band, terus kalian putus pas dia sudah sukses?"
"Semua itu cuma settingan kok, Kak. Dan lagi kayanya mustahil kalau aku dan Nando pacaran waktu itu, karena kita masih sama-sama SMP." Tiara tersenyum maklum, ia lupa bila ada berita semacam itu dulu demi bisa meningkatkan kepopuleran band Nando.
"Jadi, semua berita itu bohong? Serius? Aku pikir beneran?" ujar Daffa tak percaya, yang lagi-lagi disenyumi oleh Tiara.
"Di dunia entertainment itu enggak semuanya benar kok, Kak. Jadi jangan dibuat serius!"
"Tapi kenapa kamu mau bekerja sama lagi dengan bocah itu? Apa kalian akan settingan lagi?"
"Enggak kok, Kak. Aku ditawari menjadi model di video klip Nando, supaya image Nando yang sudah menyakiti aku setelah sukses itu akan menghilang. Selama ini hubungan kita baik-baik aja, kita enggak pernah bertemu lagi itu karena kesibukan kita masing-masing, jadi akan lebih baik lagi kalau semua orang tahu itu terutama seluruh penggemarku." Tiara menjawab jujur yang tentu saja membuat Raja dan Daffa kagum.
"Wah, kamu benar-benar baik." Daffa berdecap kagum, merasa tidak menyangka saja dengan cerita yang sebenarnya, karena selama ini Daffa hanya mendengar berita Tiara dari sosmed dan televisi. Sedangkan Tiara hanya tersenyum, tanpa menyadari bagaimana Raja juga tersenyum melihat ketulusan hatinya.
Part 19
Keesokan paginya, seperti biasa Tiara diantar oleh Daffa, sedangkan Raja menyetir mobilnya sendiri tepat di belakang mobil adiknya. Dan pemandangan di mana Tiara melambaikan tangan ke arah mobil setelah dia turun, selalu saja berhasil membuat Raja jengah melihatnya.
Tiara itu istrinya, namun gadis itu justru lebih dekat dengan adiknya. Sebenarnya cemburu juga bukan kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perasaan Raja sekarang, karena ia sangat yakin hatinya hanya tidak suka bila harga dirinya sebagai suami seolah diinjak karena istrinya lebih dekat dengan orang lain yang tak lain adalah adiknya sendiri.
Setelah menghentikan mobilnya, Raja keluar dan mendapati para muridnya banyak yang berteriak histeris ke arah satu tempat. Entah ada apa di sana, Raja merasa penasaran dan harus segera memeriksanya.
Sedangkan di sisi lainnya, Tiara dibuat terkejut saat melihat seorang lelaki yang sangat dikenalnya, dia tersenyum dan bahkan melambaikan tangan ke arahnya. Membuat semua siswa menjerit melihat tingkah lakunya, namun lelaki itu justru terus tersenyum dan fokus berjalan ke arahnya.
"Nando ...." Tiara bergumam tak percaya, merasa mustahil saja lelaki itu berada di sekolahnya dan bahkan mengenakan seragam yang sama dengannya.
"Hai, Ra." Nando menyapa sembari tersenyum hangat yang kian memberinya banyak teriakan dari para murid lainnya.
"Kamu kenapa bisa ada di sini? Maksudku di sekolah ini dengan seragam yang sama?" tanya Tiara tak yakin, namun Nando justru semakin tersenyum.
"Aku pindah sekolah ke sini," jawabnya terdengar santai, tanpa mau memedulikan teriakan para murid yang terpesona melihatnya.
"Tapi kan kamu sudah kelas tiga, bukannya nanggung ya kalau pindah sekarang?"
"Enggak kok, kan ada kamu."
"Apa hubungannya sama aku?"
"Ya enggak apa-apa. Kita kan bisa belajar sama-sama lagi kaya dulu, memangnya ada yang salah ya?" Nando menatap tanya ke arah Tiara yang menggeleng pelan.
"Enggak sih. Tapi kenapa kamu enggak kemarin kalau kamu mau pindah ke sekolahku?"
"Sengaja, buat kejutan untuk kamu. Kaget enggak?"
"Banget," jawab Tiara yang ditertawai lirih oleh Nando.
"Ya sudah sekarang antar aku ke kelas, aku enggak tahu tempatnya di mana?" Nando merangkul pundak Tiara, yang kian mendapatkan tatapan tak percaya dari para murid lainnya.
"Memangnya kamu masuk kelas mana?"
"Di kelas yang sama dengan kamu."
"Serius?" Tiara menghentikan langkahnya sembari melepas rengkuhan tangan Nando.
"Serius lah, ayo ke kelas. Di sini berisik." Nando tersenyum ke arah Tiara sembari kembali merangkul pundaknya lagi.
"Memangnya karena siapa di sini berisik? Ya karena kamu." Tiara menjawab tak habis pikir, namun bibirnya tersenyum ke arah Nando, masih belum menyangka saja bila lelaki itu akan sekolah di tempat yang sama dengannya.
"Makanya cepetan ke kelas," jawab Nando sembari menarik Tiara untuk berjalan menunju kelas barunya. Mereka sendiri tidak akan menyadari bagaimana Raja terdiam melihat kedekatan keduanya, tangannya bahkan mengepal penuh amarah, menurutnya Tiara sudah sangat keterlaluan.
"Bisa-bisanya bocah itu sekolah di tempat ini," gerutu Raja kesal lalu berjalan ke arah ruangannya untuk meletakkan barang-barangnya.
***
Saat masuk ke kelas, Tiara dan Nando disambut sorakan dari semua teman sekelas mereka, tak terkecuali Nathasa yang memang paham bila mereka memang cukup dekat. Sedangkan Nando yang disambut baik itu hanya tersenyum sembari merangkul pundak Tiara dengan santainya, berbeda dengan Tiara yang tampak tak nyaman, mengingat statusnya sudah menjadi istri orang sekarang.
Terlebih lagi suaminya adalah guru di kelasnya, rasanya sangat aneh bila ia terlalu dekat dengan Nando meskipun suaminya itu tidak akan peduli ia dekat dengan siapapun, namun tetap saja Tiara merasa kedekatan ini tidak seharusnya ada.
"Nan, tolong jangan kaya gini, nanti banyak yang salah paham dengan hubungan kita." Tiara berbisik ke arah Nando sembari menatap lengan yang berada di pundaknya.
"Maaf, Ra. Aku pikir enggak apa-apa," jawab Nando sembari menurunkan lengannya, bibirnya tersenyum canggung, merasa bersalah saja dengan Tiara.
"Kamu mau duduk di mana? Di sini bangku kosongnya cuma di sana," tunjuk Tiara ke arah meja kosong yang jaraknya jauh dari mejanya.
"Kalau meja kamu di mana?"
"Di sana."
"Berarti aku harus duduk sama kamu."
"Ya enggak boleh. Kamu enggak lihat di sana ada Nathasa, temanku."
"Oh kalau begitu aku duduk di sana aja." Nando berjalan ke arah para murid, meninggalkan Tiara yang tampak bingung dengan apa yang akan dilakukannya.
"Nan, kamu mau apa?" tanya Tiara namun tidak digubris oleh temannya itu.
"Hai," sapa Nando ke arah gadis yang duduk di dekat meja Tiara yang hanya dibatasi ruang untuk jalan.
"Ah ya, hai. Ada apa ya?" tanya gadis itu terdengar gugup, bahkan matanya hampir tak berkedip mengetahui Nando menghampirinya.
"Aku boleh duduk di sini enggak?"
"Tapi ini kan ...."
"Aku kasih kamu MP3 berisikan semua lagu F4 band plus tanda tangan semua member, bagaimana? Ini barangnya." Nando memberikan sebuah MP3 berukuran ponsel ke arah gadis itu, yang tentu saja membuat semua murid yang berada di sana menjerit, bahkan yang laki-laki pun ikut kesal sangking irinya.
"Serius ini buat aku?"
"Serius. Mau enggak?"
"Mau." Gadis itu berniat mengambil hadiah itu, namun Nando menariknya kembali.
"Tapi harus pindah dulu."
"Oke. Aku pindah sekarang, boleh minta barangnya kan?" tanya gadis itu setelah membawa tasnya dan mengarahkan tangannya di depan Nando.
"Ini ambil."
"Terima kasih."
"Sama-sama." Nando tersenyum senang lalu duduk di bangku yang dekat dengan Tiara, namun sepertinya Tiara justru terlihat tak percaya dengan cara yang Nando lakukan untuk mendapatkan bangku tersebut.
"Sepertinya kamu sudah merencanakannya dari awal." Tiara memicingkan matanya, namun Nando justru tersenyum sembari mengerlingkan matanya. Sedangkan Tiara hanya mengangguk, seolah sudah sangat paham dengan tingkah laku temannya itu.
"Ra, ternyata Nando itu aslinya ganteng ya?" bisik Nathasa yang sedari tadi hanya bisa menatap Nando dengan mata kekaguman.
"Kamu mau kenalan sama dia?" tawar Tiara yang langsung digelengi kepala oleh Nathasa.
"Enggak kok," jawabnya kaku, namun Tiara sudah sangat paham dengan sahabat baiknya itu.
"Nan, kenalin ini namanya Nathasa, dia satu-satunya sahabatku di sekolah ini." Tiara menunjuk ke arah Nathasa yang tampak terkejut saat Tiara menunjuk ke arahnya.
"Hai, Nathasa. Aku Nando." Nando menyalami tangan Nathasa yang tampak gemetaran.
"I-iya. Aku Nathasa." Gadis itu menjawab canggung yang hanya Tiara senyumi melihat responsnya yang lucu.
"Iiiiiih terima kasih ya, Ra?" bisik Nathasa histeris dengan sangat lirih, yang hanya Tiara angguki dan senyumi.
"Selamat pagi semuanya." Raja menyapa seluruh muridnya dengan nada tenang seperti biasanya, sampai saat matanya tertuju ke arah Nando dan Raja baru tahu bila bocah itu ternyata menjadi murid baru di kelasnya.
"Pagi, Pak."
"Sepertinya ada murid baru di kelas ini. Silahkan ke sini dan berdiri untuk memperkenalkan diri di depan teman-teman baru kamu." Raja menatap ke arah Nando yang tersenyum hangat lalu mengangguk dan berjalan ke depan kelas.
"Halo semuanya, salam kenal ya, aku Nando, murid pindahan dari sekolah SMA 03 Jakarta. Mohon bantuannya," ujar Nando terdengar santai seolah sudah biasa memperkenalkan dirinya di depan khalayak umum.
"Hai, Nando." Semua murid menjawab serentak, banyak dari para siswi yang kagum saat melihatnya.
"Silahkan kembali duduk dan kita akan mulai pelajarannya." Raja mempersilahkan Nando untuk kembali dan memulai aktivitas mengajarnya.
***
Raja menjatuhkan tubuhnya di ranjang kamarnya, sedangkan Tiara yang juga berada di sana hanya bisa terdiam tanpa mau memulai pembicaraan, karena ia sangat yakin bila suaminya itu sedang tidak ingin diganggu. Itulah kenapa, Tiara memutuskan untuk mengambil baju dan membersihkan diri di kamar mandi, setelah itu Tiara baru akan masak untuk makan malam.
Sedangkan Raja yang terlihat kelelahan itu mulai membalikkan tubuhnya, nafasnya menghela panjang beberapa kali, seolah banyak hal yang sedang ia pikirkan sekarang. Terutama tentang Tiara, karena semenjak Nando pindah di sekolah mereka, istrinya itu semakin dekat dengannya.
Tak jarang, Raja melihat Tiara makan siang di kantin bersama dengan Nando dan bercanda tawa seolah mereka adalah anak muda yang sedang kasmaran. Meskipun mereka bertiga bersama dengan Nathasa, namun tetap saja rasanya sangat sulit untuk Raja terima terlebih lagi berpikir baik tentang hubungan mereka.
Dari cara Nando memperlakukan Tiara saja, Raja bisa melihat bila lelaki itu menyukai Tiara, meskipun Tiara selalu berkata bila ia dan Nando hanya berteman, namun siapa yang tahu perasaan seseorang kan? Raja berpikir, pertemanan mereka hanya omong kosong, ada rahasia yang sedang mereka sembunyikan.
Cukup lama terdiam, akhirnya Raja membangunkan tubuhnya saat Tiara keluar dari kamar mandinya. Sorot matanya terus tertuju ke arah istrinya, seolah ingin mengintrogasinya untuk mengungkit lebih dalam tentang kecurigaannya.
"Tiara." Raja menatap serius ke arah Tiara yang menoleh dan menatap tanya ke arahnya.
"Iya, Pak. Ada apa?"
"Duduk sini kamu!" pinta Raja sembari menatap tepi ranjang untuk Tiara duduk di sana, yang langsung dituruti oleh istrinya itu.
"Saya mau tanya sama kamu."
"Silahkan, Pak. Mau tanya apa?"
"Kamu dan Nando pacaran?" tanya Raja to the point, yang tentu saja ditatap tak mengerti oleh Tiara, yang merasa heran kenapa Raja bisa menanyakan hal aneh itu.
"Tidak kok, Pak. Kenapa Bapak bisa berpikir seperti itu?"
"Semua orang juga bisa melihatnya, kedekatan kamu dan Nando itu sudah melampaui hal wajar. Selain saya, pasti banyak yang mengira kalau kamu dan Nando itu memiliki hubungan spesial."
"Bukannya itu bagus ya, Pak?" tanya Tiara tenang sembari menatap ke arah Raja yang terlihat keheranan.
"Bagus bagaimana maksud kamu?"
"Ya, bagus kalau banyak yang berpikir saya berpacaran dengan Nando. Itu berarti tidak akan ada yang curiga dengan hubungan kita sebagai suami dan istri, rahasia kita tetap akan tertutup rapat kan, Pak?" ujar Tiara yang kurang disetujui oleh Raja.
"Ya tetap saja kurang etis kalau kamu terlalu dekat dengan Nando, apalagi tadi kamu bilang kalau kalian tidak pacaran."
"Tapi bukannya Bapak pernah bilang kalau saya harus bisa menutupi hubungan kita, bahkan Bapak menyuruh saya berpacaran dengan orang lain. Tapi kenapa sekarang Bapak bilang semua itu kurang etis? Saya kan sudah menjalankan permintaan Bapak dengan baik?" tanya Tiara tak mengerti, meski di dalam hati ia merasa bahagia mendengar Raja mengkhawatirkan kedekatannya dengan Nando, temannya.
"Iya, tapi tolong jangan berlebihan! Kamu itu perempuan, bagaimana penilaian orang lain bila melihat kamu dengan Nando terlalu dekat, kamu bisa saja dicap buruk." Raja menjawab kaku, ucapannya ngelantur tak sesuai topik, padahal dia yang paling tidak peduli dengan apa saja yang akan Tiara lakukan.
"Iya, Pak. Saya mengerti. Saya minta maaf, saya juga berjanji untuk tidak terlalu dekat dengan Nando." Tiara menjawab tulus, namun Raja berusaha terlihat tidak memedulikannya.
"Itu sih terserah kamu, saya cuma mau mengingatkan." Raja mendirikan tubuhnya lalu berjalan ke arah lemari untuk mencari bajunya di sana.
"Apa ada lagi yang harus saya lakukan, Pak?" tanya Tiara namun Raja menggeleng tanpa mau menatap ke arahnya.
"Tidak ada." Mendengar itu, Tiara hanya mengangguk lalu mendirikan tubuhnya berniat keluar dari kamar.
"Tiara," panggil Daffa dari luar, membuat Raja penasaran kenapa adiknya itu memanggil Tiara.
"Iya, Kak. Ada apa?"
"Mau keluar enggak?"
"Ke mana?"
"Ke tempat makanan baru, katanya sih di sana enak. Kita cobain yuk?" tawar Daffa yang ditatap tak yakin oleh Tiara, terlebih lagi saat menatap ke arah Raja yang terdiam memerhatikannya.
"Bagaimana ya, kak. Kalau kita keluar, Pak Raja bagaimana? Aku belum masak makan malam buat Pak Raja."
"Ya nanti kita bawa makanan pulang lah. Bagaimana, mau ya?" ujar Daffa terdengar memohon yang ditatap tak enak hati oleh Tiara.
"Aku harus izin Pak Raja dulu." Tiara menjawab tak enak hati, namun Daffa justru tersenyum lalu masuk ke kamar untuk menemui kakaknya.
"Kak Raja, aku ajak Tiara keluar ya?" teriak Daffa setelah masuk ke dalam kamar dan mendapati kakaknya tengah berdiri di depan lemarinya.
"Terserah," jawab Raja malas lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk menyegarkan diri.
"Itu kata Kak Raja terserah, berarti boleh. Kamu mau kan, Ra?" mohon Daffa lagi yang mau tak mau Tiara angguki.
"Iya deh, Kak. Tapi aku ganti baju dulu ya, aku enggak mau ada yang ngenali aku."
"Oke, aku tunggu di luar ya?"
"Iya." Tiara menjawab singkat lalu bersiap-siap untuk keluar dengan Daffa, tanpa menyadari bagaimana Raja di dalam kamar mandi. Suaminya itu tampak tak mengerti dengan perasaannya sendiri, merasa aneh saja dengan hatinya yang kecewa melihat Tiara begitu dekat dengan lelaki lain. Sedangkan saat dengannya, mereka bagai air dan minyak yang saling menjauh satu sama lain.
Part 20
Semakin hari, semakin sulit untuk Raja bisa mengerti hatinya sendiri. Sejak bertemu dengan Tiara, Raja merasa tidak memiliki perasaan apapun kecuali perasaan antara guru dan muridnya, seorang guru yang harus mengajari muridnya dengan baik. Bahkan saat Raja dipertemukan dengan Tiara sebagai calon suaminya, Raja juga merasa tidak ada perasaan apapun kecuali rasa benci, karena Tiara mau menerima perjodohan itu dengan suka rela.
Setelah pernikahan mereka dilangsungkan, Raja juga lah yang paling berniat untuk menghancurkan ikatan itu meskipun mereka baru dipersatukan. Raja bahkan mengajukan perjanjian pada Tiara untuk setuju bercerai setelah gadis itu lulus sekolah, karena saat itu Raja berpikir bila hatinya masih dimiliki wanita lain yang sudah lama ditunggunya selama ini.
Lalu kenapa, saat Daffa mulai mendekati Tiara dan bahkan mengakui perasaannya, Raja masih bersikap sama, Raja merasa tidak ada yang perlu ditakutkan. Namun saat Tiara dekat dengan Nando dan juga dekat dengan Daffa di waktu yang sama, Raja merasa bila hatinya ada yang salah, dadanya terasa sesak setiap kali melihat kebersamaan mereka.
Terlebih lagi saat Raja harus melihat Tiara dekat dengan Nando di sekolah, lalu saat di rumah, Raja juga harus melihat Tiara dekat dengan adiknya. Dua waktu dan tempat itu seolah tidak ingin memberinya istirahat, agar hatinya tenang tanpa harus merasa terancam.
Sekarang, Raja seolah ingin mengakui bila hatinya telah kalah oleh keangkuhannya. Karena pada akhirnya, hatinya justru jatuh pada sosok Tiara, seorang aktris berbakat yang usianya masih muda, sangat jauh bila dibandingkan dengannya.
Raja berpikir, apa bisa ia membuat Tiara merasakan perasaan yang sama dengannya, sedangkan sikapnya selama ini begitu keterlaluan pada gadis itu. Raja sering bersikap acuh tak acuh pada Tiara, sering memarahinya hanya karena masalah biasa, sering menegur padahal bukan hal serius.
Jujur, Raja merasa menyesal sekarang, andai bisa ke masa lalu, ia berharap bisa berusaha mencintai gadis itu dari pada harus memojokkannya setiap waktu. Raja juga sadar, sikapnya cukup keterlaluan pada Tiara, ia bahkan tidak pernah berpikir bila posisi gadis itu juga serba salah.
Saat ini, Raja sedang berada di kamarnya, menikmati kesendiriannya setelah menyelesaikan makan malamnya. Sedangkan di bawah sana, Tiara sedang asyik menonton film bersama dengan Daffa.
Sebenarnya Raja ingin mengatakan iya, saat Tiara menawarinya untuk menonton film di ruang keluarga, namun anehnya hati dan bibirnya terlalu keluh untuk menyetujuinya. Keegoisan dan keangkuhan masih tetap Raja sanggah di atas kepala, padahal hati dan perasaannya sudah sangat terluka membayangkan Tiara dan Daffa akan tertawa bersama.
Saat ini juga sudah malam, waktu sudah menunjukkan jam sembilan, namun Tiara tidak kunjung datang. Diam-diam, Raja sedikit mengkhawatirkannya, Raja takut Tiara justru akan mencintai adiknya. Karena pada kenyataannya, hatinya tidak sanggup untuk membayangkannya, karena semakin Raja melihat Tiara bersama dengan lelaki lain, semakin Raja merasa kehilangan hatinya sendiri.
"Bapak belum tidur?" Suara Tiara kini terdengar, menyadarkan Raja dalam lamunan kelam yang kian menggerogoti keangkuhannya.
"Kamu sendiri baru selesai menonton film?" tanya Raja berbasa-basi, sesuatu yang tidak pernah Raja lakukan, menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya.
"Iya, Pak. Bapak sendiri kenapa belum tidur?"
"Tidak apa-apa," jawab Raja lirih, bahkan tanpa mau menatap ke arah Tiara yang berjalan ke arahnya lalu duduk di ranjang yang sama dengannya.
"Ada yang sedang Bapak pikirkan ya? Atau Bapak mau sesuatu, biar saya buatkan." Tiara menatap ke arah Raja yang terdiam dengan rasa bersalah yang kian dalam.
Sejak pertama mereka menikah, Tiara memang seperti itu, menawarkan sesuatu yang mungkin Raja butuhkan. Namun dari semua tawarannya, tidak ada satupun yang Raja iyakan, Raja selalu menolak dan bahkan bersikap tak acuh pada gadis itu. Meskipun begitu, Tiara tetap bersikap sama, sopan dan perhatian, tidak ada yang berubah dari sikapnya, mungkin karena itu lah yang membuat Raja mulai menyukainya.
"Tidak ada. Tidurlah, besok kamu masih harus sekolah." Raja menjawab serius, hatinya masih ragu untuk bersikap lembut pada Tiara.
"Iya, Pak. Bapak juga harus istirahat ya?" ujar Tiara sembari membaringkan tubuhnya, sedangkan Raja hanya mengangguk untuk mengiyakannya. Namun diam-diam, bibirnya tersenyum melihat ke arah Tiara yang mulai memejamkan matanya.
***
Keesokan paginya, suasana sekolah begitu tenang, tidak ada murid yang berlarian ataupun tertawa kencang. Hal itu disadari oleh Tiara yang merasa aneh saat banyak para murid yang memerhatikannya, sesekali mereka berbisik membicarakannya. Sedangkan Raja yang berada di belakangnya juga dibuat keheranan, karena tidak biasanya para muridnya itu sunyi sepi sebelum jam sekolah dimulai.
Saat Tiara berjalan ke arah kelas, anehnya para siswa ataupun siswi itu membelah jalan, seolah ingin mempersilahkan Tiara berjalan. Sampai saat suara seseorang bernyanyi mulai terdengar, membuat Tiara kian kebingungan dan bertanya-tanya ada apa gerangan.
"Nando," gumam Tiara saat mendapati temannya itu tengah memegang gitar dan berdiri tak jauh dari tempatnya.
Saat kutenggelam dalam sendu
Waktu pun enggan untuk berlalu
Kuberjanji 'tuk menutup pintu hatiku
Entah untuk siapa pun itu
Nando mendekat ke arah Tiara, bibirnya tersenyum sembari terus fokus bernyanyi dan memetik gitarnya. Sedangkan Tiara kian dibuat keheranan, terlebih lagi saat melihat banyak murid lainnya yang ikut bertepuk tangan seolah ingin mengiringi musik Nando.
Semakin kulihat masa lalu
Semakin hatiku tak menentu
Tetapi satu sinar terangi jiwaku
Saat 'ku melihat senyummu
Dan kau hadir
Merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku
Setinggi angkasa
Membuatku merasa sempurna
Dan membuatku utuh
'Tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Kaulah yang terbaik untukku
Hu-u-u-u-u ...
Kini kuingin hentikan waktu
Bila kau berada di dekatku
Bunga cinta bermekaran dalam jiwaku
'Kan kupetik satu untukmu
Nando mengambil bunga yang diselipkan di tasnya, lalu memberikannya pada Tiara, yang diterima baik oleh gadis itu, meskipun ia masih belum mengerti kenapa Nando melakukan hal itu.
Dan kau hadir
Merubah segalanya (segalanya)
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku
Setinggi angkasa
Membuatku merasa sempurna
Dan membuatku utuh (membuatku utuh)
'Tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Kaulah yang terbaik untukku
Kupercayakan
Seluruh hatiku padamu (padamu)
Kasihku, satu janjiku
Kaulah yang terakhir bagiku.
Nando menyelesaikan nyanyiannya, bibirnya tak henti-hentinya tersenyum ke arah Tiara yang berusaha tanya ada apa melalui tatapannya, namun sepertinya hal itu tak membuat Nando buru-buru menjelaskan semuanya.
"Tiara, mungkin kamu bingung dengan apa yang terjadi hari ini. Tapi, di sini aku mau mengatakan sesuatu ke kamu, yang mungkin semua orang belum tau bahkan kamu sekalipun."
"Sebenarnya aku sudah lama suka sama kamu, bahkan jauh sebelum aku sukses seperti sekarang. Tapi saat itu aku belum berani menyatakan perasaanku ke kamu. Karena aku sadar, siapa aku saat itu. Aku hanya anak SMP yang ingin bernyanyi di panggung yang sama dengan kamu, aku bukan siapa-siapa, sampai saat aku ditawari rekaman dan kamu membantuku untuk mewujudkan impianku."
"Aku sangat berterima kasih sama kamu, aku juga ingin membahagiakan kamu, melindungi kamu, dan menemani kamu di keadaan apapun itu. Kamu mau kan jadi pacarku?" tanya Nando di akhir kalimatnya, membuat semua murid menjerit mendengar pengakuannya, berbeda dengan Tiara yang tampak terkejut mendengar pengakuan Nando, karena sebelum ini Tiara tidak pernah menyangkan bila temannya itu memiliki perasaan dengannya bahkan jauh sebelum dia sukses seperti sekarang.
"Terima, terima, terima, terima," teriak semua murid sembari bertepuk tangan senada dengan pengucapan mereka.
Jujur, Tiara bingung harus menjawab apa, terlebih lagi saat menatap mata Nando yang penuh ketulusan itu rasanya hampir mustahil bila Tiara menyakiti hatinya. Di ambang kebimbangannya itu, Tiara tidak akan menyadari bagaimana Raja berharap ia menolak pernyataan cinta Nando. Raja sangat ingin memperbaiki hubungannya dengan Tiara, lalu apa jadinya bila Tiara justru menerima cinta temannya, tentu saja rencana Raja pasti akan gagal.
"Iya, aku mau." Tiara menjawab mantap, membuat semua murid yang berada di sana menjerit, merasa bahagia melihat dua selebritis itu bersama dalam ikatan pacaran.
"Kamu serius, Ra?" tanya Nando penuh harap yang diangguki yakin oleh Tiara.
"Terima kasih." Nando memeluk tubuh Tiara, begitupun sebaliknya. Sedangkan Raja hanya bisa menghela nafasnya, berusaha menenangkan perasaannya meski yang terjadi air matanya justru tumpah di pipinya.
Raja menangis meski dengan cepat ia menyekanya, namun tetap saja hal itu tak akan membuat hatinya bisa baik-baik saja, untuk sekarang Raja hanya sedang merasa kehilangan.
***
Saat di kelas, Tiara dan Nando terus disoraki dan digodai termasuk Nathasa yang juga bahagia melihat temannya bahagia. Sedangkan mereka hanya bisa tersenyum saat banyak yang memberi mereka ucapan selamat, sampai saat semua murid berlarian ke tempat masing-masing saat Raja datang untuk mengajar.
Menyadari Raja datang, Tiara langsung memasukkan bunga yang diberikan Nando ke bawah laci mejanya, ia merasa tidak mungkin memperlihatkannya pada Raja yang masih sah menjadi suaminya.
Diam-diam Tiara mengambil ponsel yang berada di dalam tasnya, di sana ia mengetikkan pesan untuk Nando agar mereka bisa bertemu setelah jam pelajaran selesai. Tiara ingin berbicara serius dengan lelaki itu, mengenai hubungan yang tidak seharusnya mereka lakukan.
[Di jam istirahat, kita bisa bertemu di perpustakaan sekolah?]
Setelah mengirim pesan, Tiara menatap ke arah Nando yang sudah menerima pesannya, Tiara juga melihat ekspresi Nando yang tampak berpikir lalu menatap ke arahnya.
[Bisa. Tapi, ada apa? Apa ada hal penting?]
Tiara membuka ponselnya dan mendapati Nando sudah membalas pesannya, di sana ia ingin mengatakan yang sebenarnya, namun sepertinya akan lebih baik bila ia mengatakannya langsung.
[Nanti kamu akan tahu.]
Setelah mengetik pesan, Tiara mengembalikan lagi ponselnya ke tempat asalnya, matanya tertuju ke arah Raja yang sudah memulai pelajarannya. Sedangkan Nando hanya bisa terdiam, memikirkan apa yang akan Tiara katakan.
***
"Apa maksud kamu, Ra? Kita enggak bisa bersama, tapi kenapa? Bukannya kamu sudah menerimaku tadi pagi?" tanya Nando setelah bertemu dengan Tiara. Jujur saja, ia terkejut saat Tiara mengatakan bila dia tidak bisa memiliki hubungan dengannya.
"Aku menerima kamu, karena aku enggak mau kamu merasa dipermalukan di depan banyak orang. Andai kamu mengatakannya secara diam-diam, mungkin aku bisa menjelaskannya sejak awal." Tiara menjawab bersalah, yang tentu saja membuat Nando kecewa.
"Aku pikir kamu juga menyukaiku, Ra. Kamu selalu membantuku, kamu juga enggak pernah keberatan dengan rumor tentang kita, bahkan saat banyak orang yang menghujat kamu, kamu tetap mau berteman baik denganku."
"Aku menyukai kamu, Nan. Tapi hanya sebatas perasaan seorang teman, enggak lebih." Tiara menggeleng pelan, berharap Nando bisa mengerti.
"Apa ada lelaki yang kamu cintai selama ini? Apa aku mengenalnya?" tanya Nando sembari menundukkan wajahnya, ia benar-benar takut mendengar kenyataan yang sebenarnya bila ternyata Tiara menyukai seseorang yang mungkin dikenalnya.
"Aku enggak tahu, Nan. Tapi yang pasti, aku enggak bisa menerima lelaki lain, sedangkan aku sendiri sudah dijodohkan."
"Kamu dijodohkan? Dengan siapa?" Nando merengkuh kedua pundak Tiara, hatinya lebih kecewa dari sebelumnya.
"Kamu enggak harus tahu, karena aku sendiri enggak yakin bisa bertahan dengan perjodohan itu." Tiara menundukkan wajahnya, ia benar-benar tidak ingin mengecewakan orang tuanya di atas sana, namun semakin hari ia semakin tak sanggup menghadapi sikap tak acuh suaminya.
"Kamu enggak setuju kan dengan perjodohan itu, berarti aku masih punya kesempatan, jadi biarkan aku menunggu kamu, Ra."
"Tolong jangan menungguku, Nan. Tanpa perjodohan ini pun, aku juga akan sulit menerima seseorang. Kamu berhak bahagia, jadi jalani saja apa yang menurut kamu benar."
"Tapi, Ra. Yang menurutku benar, ya menunggu kamu."
"Aku minta maaf, Nan, kalau harus mengatakan ini. Tapi tolong, jangan menungguku. Kamu adalah teman baikku, aku enggak mau menyakiti kamu." Tiara melangkah pergi, meninggalkan Nando yang terdiam sendiri.
Part 21
Di dalam kamarnya, Raja terdiam di atas ranjang dengan sesekali menghela nafas panjang. Malam ini, untuk kedua kalinya ia merasa hatinya sedang patah, setelah Sonya yang sudah pergi meninggalkannya demi mengejar ambisinya. Dan sekarang, Raja harus mengaku dan berkata jujur, bila hatinya sedang hancur setelah Tiara menerima pernyataan cinta dari teman baiknya itu.
Raja juga merasa sangat menyesal, karena baru menyadari bila perasaannya mulai diisi oleh cinta istrinya sendiri. Raja sampai bertanya-tanya, kenapa ia begitu keterlaluan pada Tiara, padahal posisi gadis itu juga serba salah.
Andai, Raja bisa memutar waktu kembali, ia ingin berusaha mencintai gadis itu dan merebut cintanya. Dari pada menyiksanya dengan sikap angkuhnya, namun harus menerima karma saat dia sudah dipelukan lelaki lain.
Raja sangat menyesal, kenapa ia baru menyadari perasaannya sendiri di saat Tiara sudah memiliki lelaki lain. Dan kenapa cintanya harus tumbuh terlambat, yang kian membuat hati Tiara sulit didapat.
Raja tidak tahu lagi haru bagaimana sekarang, jujur saja, mencintai Tiara yang notabenenya seorang gadis muda bukanlah salah satu rencana di dalam hidupnya. Bahkan beberapa waktu lalu, Raja masih berpikir untuk menunggu cintanya dari masa lalu, ia bahkan berharap bisa mendapatkan akhir yang bahagia dengan wanita itu, namun sepertinya semua itu akan hangus bersama dengan cintanya yang mulai menghilang tersapu cinta baru.
"Pak Raja," panggil Tiara sembari tersenyum ke arahnya, sedangkan Raja hanya terdiam menatapnya.
"Apa?"
"Mau makan malam bersama dengan saya? Saya sudah masak dan kebetulan Kak Daffa juga belum pulang." Tiara berujar sopan, namun Raja hanya terdiam dengan banyak pemikiran.
"Pak Raja?" panggil Tiara lagi, ia tak yakin guru sekaligus suaminya itu mendengar kalimatnya bila melihat ekspresi wajahnya yang tampak sedang melamun.
"Saya mau bertanya sesuatu ke kamu, duduk lah di sini." Raja menepuk ranjang yang berada di depannya, meski Tiara bingung dengan sikap suaminya itu, ia hanya bisa mengiyakannya dan duduk tepat di depannya.
"Ada apa, Pak?"
"Tadi pagi saya melihat Nando menyatakan cintanya ke kamu."
"Lalu kenapa, Pak?"
"Kamu menerimanya kan?" tanya Raja memastikan, ya meskipun semua itu sudah sangat jelas jawabannya, namun entah kenapa Raja tidak ingin memercayainya.
"Tidak kok, Pak." Tiara menggeleng pelan, yang tentu saja mendapatkan tatapan tak percaya dari mata Raja.
"Apa maksud kamu? Jelas-jelas kamu menerima pernyataan cintanya."
"Iya, saya memang menerimanya, tapi cuma di depan semua orang."
"Maksud kamu, kamu menolak Nando secara diam-diam?" tanya Raja tak yakin, yang diangguki oleh Tiara.
"Tapi kenapa? Bukannya kamu sendiri yang setuju dengan ucapan saya, bila kamu harus memiliki pacar di sekolah? Kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Raja penasaran.
"Saya tidak pernah berubah pikiran kok, Pak. Sejak awal saya tahu dijodohkan dengan Bapak, saya sudah berjanji tidak akan membiarkan siapapun masuk ke dalam kehidupan saya lebih jauh lagi." Tiara menjawab mantap yang membuat Raja terdiam menatap tak percaya ke arah wajahnya.
"Lalu bagaimana dengan Daffa? Sepertinya kamu lebih nyaman bersama dia." Raja kembali bertanya, namun Tiara justru terdiam beberapa saat.
"Bukannya saya sudah mengatakannya ya, Pak, kalau saya menganggap Kak Daffa itu cuma sebatas saudara."
"Mungkin kamu tidak tahu, tapi Daffa menyukai kamu. Apa kamu tidak berpikir untuk bersama dia? Maksud saya, kamu dan Daffa bisa saja ditakdirkan bersama."
"Saya tahu kalau Kak Daffa menyukai saya, tapi jawaban saya masih sama, saya hanya akan menganggap dia saudara. Dan saya juga sudah menjelaskan semuanya, bila saya tidak akan menerimanya meskipun nanti saya bercerai dengan Pak Raja." Tiara menjawab mantap, namun Raja justru dibuat gagap, setelah mendengar ucapan Tiara yang mengejutkan.
"Apa? Kamu sudah tahu kalau Daffa menyukai kamu? Kamu bahkan sudah menolaknya, maksud kamu bagaimana? Apa Daffa sudah menyatakan cintanya ke kamu?" tanya Raja mulai waswas, sepertinya adiknya itu benar-benar mengharapkan Tiara, bahkan dia sudah menyatakan cintanya meskinya dia tahu bila gadis itu masih sah menjadi istri kakaknya.
"Iya. Tepatnya kemarin malam. Saat itu, saya dan Kak Daffa menonton film ...."
Flashback on.
Malam itu, Tiara dan Daffa memutuskan untuk menonton film setelah makan malam, keduanya juga menawari Raja untuk bergabung dengan mereka, namun Raja menolak dengan alasan tubuhnya sedang lelah. Saat itu, Tiara dan Daffa mengiyakannya, mereka juga berusaha mengerti mengingat pekerjaan Raja yang memang cukup banyak.
Awalnya semua berjalan dengan baik, bahkan di pertengahan film, Tiara dan Daffa masih asyik tertawa saat ada adegan film yang cukup lucu dari para pemainnya. Sampai saat tiba-tiba Daffa terdiam dan mematikan filmnya begitu saja, membuat Tiara yang berada di sampingnya merasa bingung dan menatap tanya ke arahnya.
"Ada apa, Kak? Kenapa filmnya dimatikan? Kurang seru ya alurnya?" tanya Tiara, namun Daffa menggelengkan kepalanya.
"Tiara," panggil Daffa penuh ketulusan sembari merengkuh tangan Tiara dengan kehangatan.
"Aku mau tanya sesuatu sama kamu. Apa boleh?" tanya Daffa serius yang tentu saja hal itu membuat Tiara takut, ia cuma tidak mau bila Daffa memiliki perasaan lebih dari saudara, karena Tiara tidak akan bisa menerimanya. Namun bila dilihat dari sorot matanya, Tiara yakin Daffa akan mengungkapkan perasaannya dan Tiara tidak menginginkannya ataupun mengharapkannya.
"Tentang apa, Kak?" Tiara mulai merasa tak nyaman sekarang, meski tidak ada yang bisa ia lakukan selain terdiam mendengarkan.
"Tentang perasaan kamu. Aku cuma penasaran, apa kamu bahagia menikah dengan Kak Raja?"
"Bahagia kok, Kak. Memangnya kenapa?"
"Tolong jangan berbohong, Ra. Aku tahu, sikap Kak Raja kurang baik sama kamu, jadi mana mungkin kamu bisa bahagia menikah dengan dia? Itu sesuatu hal yang mustahil."
"Mungkin aku kurang bahagia menikah dengan Pak Raja, tapi kenapa Kak Daffa membahas hal ini? Aku pikir, ini bukan batasan Kak Daffa untuk ikut campur ke dalam rumah tangga aku dengan Pak Raja." Tiara berusaha menjawab dengan tenang, meski ia sendiri kurang nyaman saat harus menceritakan perasaannya terlalu dalam.
"Maafkan aku, Ra. Tapi aku cuma mau tahu perasaan kamu, karena aku mengkhawatirkan kamu, aku juga enggak mau kamu terluka karena Kakakku sendiri."
"Terima kasih untuk perhatiannya, Kak. Tapi aku baik-baik saja, jadi Kak Daffa enggak perlu khawatir." Tiara tersenyum hangat ke arah Daffa, namun lelaki itu justru terdiam dan menunduk lesu.
"Sebenarnya ... aku menyukaimu, Ra. Atau mungkin lebih dari itu ...." Daffa berujar tulus tanpa mau menatap ke arah Tiara yang terdiam bimbang.
"Tapi kita kan saudara, Kak." Tiara menjawab lirih, ia tidak ingin menyakiti hati lelaki itu, namun ia juga tidak mungkin memberi ruang lebih di hatinya sendiri.
"Aku tahu. Sejak awal, aku juga menyadari hal itu. Tapi saat aku melihat Kak Raja memperlakukanmu dengan acuh tak acuh, rasa ingin memilikimu semakin besar di hatiku. Aku ingin membahagiakanmu, Ra. Aku enggak mau ada yang menyakitimu, bahkan meskipun itu kakakku." Daffa menghentikan ucapannya, berusaha mengungkapkan isi hatinya selama ini, bahkan saat ingin menahannya, rasanya ia sudah tidak bisa.
"Jangan pernah berpikir kalau aku menyukaimu karena kamu seorang aktris atau salah satu idolaku. Aku menyukaimu karena kamu gadis baik, mungkin kamu masih muda, tapi kamu selalu bersikap dewasa, bahkan saat menghadapi sifat kekanak-kanakan Kak Raja. Semakin lama, aku semakin mengagumimu, aku juga berusaha mengelak rasa itu tapi aku enggak mampu, Ra." Daffa menggeleng pelan, nada suaranya juga terdengar putus asa.
"Maafkan aku harus mengungkapkan perasaanku, tapi aku cuma ingin kamu tahu. Andai nanti kamu bahagia dengan lelaki yang kamu cintai, aku akan berusaha pergi." Daffa menatap tulus ke arah Tiara yang terdiam.
"Aku enggak yakin akan bahagia dengan lelaki lain, tapi satu hal yang pasti, aku akan berusaha bertahan dengan pernikahanku saat ini, Kak. Terima kasih sudah mencintaiku, tapi maaf aku enggak mungkin menerima Kak Daffa." Tiara menjawab bersalah tanpa berani menatap ke arah Daffa.
"Aku tahu, kamu enggak mungkin menerimaku. Tapi tolong jangan menyiksa diri kamu dengan bertahan bersama Kak Raja, dia sudah mencintai wanita lain, akan sangat sulit untuk kamu mempertahankan pernikahan kalian."
"Aku tahu bila Pak Raja mencintai wanita lain, tapi aku bertahan bukan karena Pak Raja, aku berusaha mempertahankan pernikahan ini karena orang tuaku, Kak. Mereka yang sudah memberiku wasiat ini, aku hanya ingin menjalankannya sebaik mungkin."
"Apa? Kamu tahu Kak Raja mencintai wanita lain, tapi kamu masih mau bertahan dengan pernikahan kalian?" tanya Daffa tak percaya, namun Tiara mengangguk untuk mengiyakannya.
"Aku tahu sebelum pernikahan kami digelar, bahkan Pak Raja sendiri yang mengatakannya." Tiara menyunggingkan senyumnya, berusaha terlihat baik-baik saja di depan Daffa.
"Apa kamu yakin, kamu sedang baik-baik saja, Ra? Aku pikir, semua itu pasti sulit untuk kamu." Daffa berujar lirih, tatapan matanya terlihat iba terlebih lagi saat melihat senyum palsu di bibir Tiara.
"Kak Daffa tahu kan aku ini Ara, pernikahan ini tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan hujatan haters yang terus datang bahkan di saat aku butuh dukungan." Tiara menitikkan air matanya, padahal ia sudah berusaha untuk terlihat baik-baik saja, namun sepertinya Tiara salah, hatinya goyah dan pada akhirnya terluka mengingat kenangan terburuknya.
"Aku tahu. Dan sekarang aku yakin, seberapa kamu ingin mempertahankan semua itu. Tolong, jangan menangis! Aku akan mundur, tapi aku akan selalu ada untuk kamu kapanpun kamu membutuhkanku." Daffa mengusap air mata Tiara, hatinya benar-benar merasa bersalah sudah membuat gadis itu mengenang luka hatinya.
"Aku enggak apa-apa kok, Kak. Terima kasih sudah mengerti perasaanku."
"Tolong jangan berusaha terlihat kuat, karena ada kalanya kamu juga butuh istirahat. Kalau nanti kamu merasa putus asa, kamu boleh menyerah, Ra. Dan pada saat itu tiba, aku janji akan menjadi orang pertama yang memelukmu dan mengatakan bila semua akan baik-baik saja." Daffa berujar tulus yang diangguki oleh Tiara yang berusaha tersenyum ke arahnya.
"Terima kasih."
Flashback off.
Raja terdiam mendengar cerita Tiara dan sekarang ia tahu kapan kejadian itu terjadi, tepatnya saat kemarin malam Tiara dan Daffa mengajaknya menonton film. Andai Raja tahu, bila saat itu adiknya akan menyatakan cinta, mungkin ia akan menerima tawaran mereka. Namun untungnya, Tiara tetap teguh pada pendiriannya, padahal Daffa sudah mengatakan bila Raja bukanlah lelaki yang pantas untuknya.
Sebagai seorang lelaki, tentu saja Raja ingin marah dengan adiknya. Namun sebagai seorang kakak, Raja mengerti kenapa Daffa melakukannya. Sejak dulu, Daffa yang paling tahu bagaimana Raja mencintai wanita lain yang bernama Sonya. Meskipun apa yang Daffa katakan seratus persen adalah kebenaran, anehnya rasa itu seolah sudah menghilang, Raja merasa dirinya yang dulu sudah tidak lagi ada.
Dulu, Raja adalah lelaki yang akan sekuat tenaga mempertahankan hatinya untuk Sonya, wanita yang sudah lama meninggalnya. Dulu, Raja juga sudah berjanji hanya akan menikah dengan wanita itu, karena hal itu lah Raja sempat meminta Tiara untuk mau diceraikan olehnya setelah dia lulus sekolah atau saat Sonya kembali. Namun sepertinya, semenjak ada Tiara di hidupnya, Raja merasa penantiannya adalah hal sia-sia, karena hatinya sudah berbeda.
"Pak Raja, saya tahu bila pernikahan ini mungkin tidak akan bertahan lama, tapi saya akan berusaha bertahan sekuat saya demi orang tua saya. Jadi, saya minta maaf, bila saya egois, keras kepala, dan bersikap seolah saya tidak memikirkan perasaan Anda. Sebenarnya, semua ini juga sulit untuk saya, tapi apa salahnya bila saya mencoba? Meskipun saya sendiri tidak yakin, saya bisa apa tidak melakukannya." Tiara menyunggingkan senyumnya, namun anehnya matanya berair sekarang, membuat Raja semakin merasa bersalah.
"Maafkan saya," ujar Raja sembari menghapus air mata Tiara, namun langsung dihapus sendiri oleh empunya.
"Tidak apa-apa kok, Pak." Tiara menghapus air matanya sendiri, berusaha tersenyum kembali.
"Seandainya saya mulai menyukai kamu, apa kamu akan menerima saya?" tanya Raja ragu-ragu.
"Maksud Bapak apa?"
"Maksud saya, apa kamu bisa membuka hati untuk saya? Karena saya pikir, saya mulai mencintai kamu. Mungkin awalnya saya selalu bersikap buruk ke kamu, karena saya berusaha menjaga hati saya untuk wanita yang selama ini saya cintai. Tapi semakin lama, perasaan saya semakin goyah setiap melihat kesabaran kamu menghadapi saya." Raja tertunduk malu, jujur saja Raja juga merasa malu, karena menurutnya Tiara lebih bisa bersikap dewasa ketimbang dirinya.
"Kamu tidak pernah marah, kamu selalu bersikap sama pada saya, meski terkadang kamu membantah ucapan saya, itupun bila menurut kamu itu salah. Dulu, saya berpikir, perasaan itu tidak akan hadir, karena saya yakin saya masih mencintai wanita yang sama, tapi saat saya melihat kamu dekat dengan Daffa, dekat dengan Nando, dan bahkan saat kamu didekati murid lelaki lainnya, saya merasa ada yang berbeda. Saya merasa tidak suka, perasaan yang sama saat saya melihat wanita yang saya cintai dekat dengan lelaki lain." Raja menatap tulus ke arah Tiara yang terdiam, menatap bimbang pada sorot mata Raja yang menawan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
