
Reva sangat mencintai Biyan, ia tetap menerima lamarannya, meskipun lelaki itu sudah berselingkuh dengan sahabatnya. Namun apa jadinya bila ternyata sahabatnya itu justru hamil anaknya? Hancur, hal itu sudah pasti Reva rasakan.
Sampai saat ia menemukan sebuah web di mana ia bisa menyewa gigolo untuk melampiaskan rasa sakitnya. Reva menyewa Gio, seorang gigolo sabar yang akan menuruti semua perintahnya. Namun ternyata, di balik dunianya, Gio memiliki kisah hidup yang justru menyadarkan Reva akan rasa...
Prolog
Reva, wanita cantik berumur tiga puluh tahun itu meregangkan otot-ototnya setelah hampir seharian menyelesaikan pekerjaannya. Tak terasa, waktu sudah bisa dikatakan malam, saat senja sore mulai menghilang dan berganti awan hitam.
Melihat itu, Reva hanya tersenyum lalu mendirikan tubuhnya. Ia berniat membereskan barang-barangnya lalu pergi dari tempat kerjanya.
Saat Reva akan beranjak pergi, ponselnya berbunyi, menandakan seseorang telah mengiriminya pesan singkat. Tentu saja Reva langsung mengambil ponselnya dan melihat isi pesannya, ia yakin kekasihnya sedang menanyakan keadaannya sekarang. Namun ternyata dugaannya salah, pesan itu datang dari nomor sahabatnya, Reva sempat merasa kecewa meski pada akhirnya ia membukanya juga.
Pesan itu berisikan video, di mana objek yang berada di dalamnya seorang lelaki yang sangat dikenalnya. Namanya Biyan, lelaki yang dicintainya, yang saat ini menyandang status sebagai kekasihnya. Hubungan mereka sudah terjalin sejak lama, tepatnya sejak tiga tahu yang lalu.
Di video itu, Biyan bersama dengan seorang wanita. Mereka tampak mesra di sebuah kamar, tepatnya di atas ranjang. Biyan bahkan terlihat brutal menciumi wanita itu, membuat mata Reva terbelalak melihatnya, merasa tidak percaya dengan penglihatannya.
"Apa ini?" gumamnya kebingungan, matanya hampir menangis dengan jantung berdebar tak karuan di dalam dadanya, entah kenapa Reva merasa sangat sesak sekarang.
"Biyan ... selingkuh ...?" Reva kembali melihat video itu, matanya tertuju ke arah wanita yang sangat ia kenali.
"Dengan Denada?" Reva kembali terkejut, kakinya bahkan meluruh jatuh, saat menyadari wanita itu adalah orang yang cukup dekat dengannya, seorang sahabat yang sangat dipercayainya.
"Enggak mungkin." Reva mengelak keras, ia berusaha untuk tidak percaya. Mungkin saja video itu dibuat berdasarkan candaan, mengingat begitu dekatnya mereka menjalin pertemanan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Reva menghubungi nomor sahabatnya yang bernama Felly, dia wanita yang sudah mengiriminya video konyol itu. Reva ingin menanyakan maksudnya, ia juga yakin sahabatnya itu hanya ingin menggodanya.
"Halo, Fell. Maksud kamu mengirimiku video itu apa? Kalian lagi bercanda ya? Kalian cuma mau mengerjai aku aja kan? Tapi tolong dong, jangan cara kaya gini, kalian keterlaluan tahu enggak?" Reva bertanya kesal, ia ingin marah, namun ia tahu, ia tidak pernah bisa melakukan hal berlebihan seperti itu.
"Apa kamu bilang? Bercanda?" Felly bertanya dengan nada tak percaya, membuat Reva kebingungan dengan maksud ucapannya.
"Reva, aku tahu kamu ini wanita baik. Tapi kamu bukan wanita bodoh, kamu harusnya bisa paham dengan apa yang sedang terjadi di video itu. Biyan dan Denada sudah selingkuh di belakang kamu, mereka mengkhianati kamu, Re." Felly menekankan kalimatnya, membuat Reva terdiam saat mendengarnya.
"Kamu bohong kan?" Reva bertanya lirih, ia merasa tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Sahabat baiknya memberitahunya bila kekasih dan sahabatnya yang lain sudah berselingkuh di belakangnya, apa Reva harus percaya begitu saja, mengingat mereka memang sangat dekat.
"Bohong apa sih, Re? Mereka sudah menusuk kamu dari belakang, dan bisa-bisanya kamu masih menuduhku bohongi kamu? Seharusnya sejak dulu kamu percaya ucapanku, video itu adalah bukti kalau mereka memang selingkuh." Felly kembali menekankan kalimatnya, menjatuhkan air mata Reva yang sempat tertahan di pelupuk.
"Re, kamu masih di sana kan? REVA," panggil Felly yang lagi-lagi hanya bisa Reva diami, ia hanya belum percaya semuanya sebelum melihatnya sendiri dengan mata kepalanya.
"Aku akan pulang besok, aku harus memastikannya sendiri." Reva mematikan sambungan teleponnya, ia berusaha tegar dan tetap percaya pada kekasihnya. Reva yakin, Biyan bukan lelaki bejat yang suka berselingkuh, terlebih lagi dengan Denada, sahabat baiknya.
Reva dan Biyan adalah sepasang kekasih yang sudah tiga tahu menjalin hubungan. Keduanya adalah teman dekat saat kuliah, cukup lama tidak pernah bertemu, mereka justru dipertemukan lagi di sebuah acara perusahaan milik orang tua Biyan. Di saat itu lah mereka kembali dekat, sampai saat Biyan menyatakan perasaannya, Reva sangat bahagia mendengarnya dan bahkan menerimanya. Sudah sejak lama Reva memang menyukai lelaki itu, bahkan saat pertama kali mereka berteman.
Sekarang, Reva justru mendengar kabar tak mengenakan tentang Biyan. Padahal selama ini Reva dan kekasihnya itu tidak pernah bertengkar, meskipun mereka jarang bertemu dan tinggal berjauhan. Ya, Reva dan Biyan memang menjalani hubungan jarak jauh, itu karena tempat kerja Reva yang jauh dari kota asalnya.
Meskipun orang tua Reva memiliki perusahaan sendiri, Reva tidak pernah mau bekerja di sana, ia hanya ingin hidup mandiri tanpa bantuan keluarga ataupun orang tuanya. Tapi sepertinya keinginannya itu harus Reva singkirkan, ia harus pulang dengan alasan ingin bekerja di perusahaan papanya, demi bisa membuktikan ucapan sahabatnya akan Biyan yang mengkhianatinya.
Di tengah lamunannya, Reva tersadar saat ponselnya berbunyi, menandakan seseorang sedang menghubunginya. Menyadari hal itu, Reva melihat layarnya tanpa minat, dan mendapati nama Biyan di sana.
"Halo, Bi." Reva menyapa lirih, berusaha terdengar biasa saja meski hatinya terluka.
"Halo, Sayang. Bagaimana? Kamu sudah pulang ke rumah?" Biyan bertanya bersemangat, nada suaranya terdengar seolah tidak terjadi apa-apa.
"Aku baru akan pulang."
"Oh iya? Aku pikir kamu sudah pulang. Baiklah, aku matikan dulu ya sambungan teleponnya, nanti aku telepon lagi. Kamu pulang saja dulu, hati-hati di jalan ya, Bi ...."
Reva tidak menjawab ucapan kekasihnya setelah mendengar ada seorang wanita seperti sedang memanggil nama Biyan, Reva merasa curiga, jantungnya hampir saja berhenti berdetak, seolah ada sesuatu yang mengganjalnya.
"Kamu lagi ada di mana?"
"Aku? Aku ada di apartemenku seperti biasa, kamu tahu kan aku jarang sekali keluar kalau bukan karena pekerjaan."
"Tapi tadi siapa yang memanggilmu? Kamu kan tinggal sendiri di sana." Reva menyentuh dadanya, hatinya mulai merasa tak nyaman sekarang.
"Apa? Aku sendiri di sini, tidak ada orang yang menemaniku. Kamu mungkin salah dengar, sudahlah, lebih baik kamu pulang sekarang, ini sudah malam." Ucapan Biyan terdengar gugup, Reva bisa merasakan hal itu.
"Iya, bye." Setelah mengucapkan kalimat itu, Reva langsung mematikan sambungan teleponnya, ia tidak bisa melanjutkan percakapan itu lebih lama lagi, meski otaknya ingin sekali bercerita banyak hal pada lelaki yang selalu rindukannya itu.
Sekarang Reva justru berpikir lain, mungkin karena hal ini lah yang membuat Biyan tidak pernah merasa keberatan meskipun mereka menjalani hubungan jarak jauh. Padahal kalau dulu, Biyan adalah orang yang paling menentang keinginannya untuk bekerja di luar kota, lelaki itu bahkan sempat menangisi kepergiannya. Namun karena pekerjaan ini adalah impian Reva, bahkan jauh sebelum berpacaran dengan Biyan, Reva memutuskan untuk tetap berangkat.
"Apa aku harus berhenti bekerja dari tempat ini? Supaya aku bisa memperbaiki hubunganku dengan Biyan, aku yakin dia tidak benar-benar ingin menyelingkuhiku, atau mungkin ini hanya salah paham." Reva menghembuskan nafas kasarnya, berusaha untuk tetap tenang dan berpikir positif, ia yakin Biyan hanya sedang kesepian. Itulah kenapa Reva memutuskan untuk berhenti bekerja saja dari tempatnya sekarang, selama ini ia juga sudah mendapatkan banyak pengalaman selama bekerja di sana.
Sekarang sudah saatnya ia mulai memikirkan masa depannya bersama dengan Biyan, apalagi lelaki itu juga sempat mengajaknya ke jenjang hubungan yang lebih jauh yaitu hubungan pernikahan. Ya, Reva yakin ini adalah keputusan yang tepat, ia bahkan akan berusaha memaafkan Biyan bila dia benar-benar mengkhianatinya, karena bagi Reva di umur mereka sekarang, pertengkaran bukanlah jalan untuk bahagia bersama.
Part 01
Di sebuah apartemen, tepatnya di sebuah kamar, seorang lelaki tersenyum puas saat melihat layar laptopnya menampilkan sebuah web, di mana foto dan data dirinya berada di dalamnya. Di sana juga menampilkan puluhan ribu orang yang sudah melihat videonya dan ingin memesannya, namun level platinum yang dimilikinya, memberinya akses untuk menolak ataupun menerima mereka.
Sebenarnya apa pekerjaannya?
Gio Devano, seorang gigolo terkenal yang memiliki banyak penggemar dan pengagum setia berkat ketampanannya sekaligus kemahirannya dalam bekerja. Tidak ada yang tidak pernah puas setelah menyewanya, semua ulasannya menampilkan bintang lima, yang membuatnya berada di posisinya sekarang. Posisi sebagai gigolo terkenal dengan bayaran paling mahal, karena sampai saat ini belum ada yang bisa menandinginya kecuali menyamainya.
Mungkin ada yang bingung dengan sistem kerja yang dimiliki gigolo seperti Gio. Sebenarnya tidak sulit untuk dimengerti, karena ada Gigoweb yang akan menampilkan banyak foto lelaki beserta data dirinya. Di sana juga akan ada ulasan ataupun video lelaki yang bisa disewa lengkap dengan levelnya masing-masing.
Level gigolo di web tersebut terdiri dari tiga bagian, pertama silver, kedua gold, dan ketiga platinum. Gio berada di level platinum, level paling tinggi yang hanya dimiliki segelintir gigolo. Karena memang tidak mudah bisa mencapai ke titik paling tinggi, gigolo yang mampu berada di sana, hanya beberapa orang, itu pun mereka sudah harus melewati batas ketampanan, kemahiran, kepuasan pelanggan, dan juga kesabaran saat bekerja. Karena bekerja sebagai gigolo itu tidak mudah, mereka dituntut untuk menjadi lelaki yang paling baik saat bersama dengan penyewanya.
Web tersebut juga bisa diakses siapapun, termasuk wanita-wanita kesepian yang tidak memiliki lelaki ataupun sedang ditinggal suaminya. Mereka biasanya berani membayar mahal gigolo dengan ulasan terbaik dan tentu saja Gio berada di jajaran gigolo-gigolo tersebut, karena selain tampan, predikat gigolo paling terkenal memang jatuh pada lelaki itu.
Sekarang, yang Gio lakukan tak jauh-jauh dari kata menyortir pelanggan yang ingin menyewanya. Karena setelah dirinya disewa seorang wanita selama lima hari kemarin, Gio harus menerima pelanggan lagi, demi bisa mendapatkan banyak pundi-pundi uang yang diinginkannya. Namun aktivitasnya itu terganggu saat mendapati seseorang tengah membuka pintu kamarnya. Sebenarnya Gio tidak akan berpikir orang itu siapa, karena ia yakin sahabatnya yang melakukannya. Namun yang membuatnya heran, kenapa sahabatnya itu datang di waktu malam, bahkan sebelum waktu untuk pelanggannya habis.
Sahabatnya itu bernama Leon, dia juga bekerja sebagai gigolo sama seperti Gio namun dengan level gold, level lebih rendah satu tingkat dari Gio. Bila mengenai wajah, Leon juga termasuk gigolo tampan, namun kesabarannya saat bekerja terkadang memberinya ulasan buruk dari pelanggan-pelanggannya. Itulah kenapa Leon susah sekali berada di level platinum sama seperti Gio, karena sifatnya yang mudah sekali kesal.
"Kok lo sudah pulang? Seharusnya kan besok pagi?" tanya Gio setelah memutar kursinya ke arah Gio yang terlihat lelah.
"Capek gue." Leon menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dengan posisi tengkurap, tanpa menyadari bagaimana Gio mengembuskan nafas kasarnya melihat tingkah lakunya.
"Capek kenapa lagi?"
"Pelanggan gue banyak mau."
"Wajar kan? Mereka banyak mau karena mereka sudah bayar lo." Gio mendirikan tubuhnya lalu berjalan ke arah Leon, sebagai seorang teman, ia harus memberi lelaki itu pengertian.
"Tapi gue juga manusia biasa, mana bisa gue turuti permintaan bercinta sehari semalam penuh. Lama-lama bisa impoten gue," keluh Leon sembari membalikkan tubuhnya, wajahnya tampak frustrasi sekarang.
"Gue juga pernah dapat pelanggan kaya gitu, tapi gue bisa memuaskan dia dengan cara lain, jadi gue juga enggak capek."
"Pelanggan gue yang enggak mau."
"Jadi lo tinggal dia gitu aja?"
"Ya iya lah. Enggak sanggup gue kalau sampai besok. Sudah ya, gue capek, mau tidur." Leon menutup wajahnya dengan bantal, berharap bisa segera terlelap.
"Enak aja tidur? Lo harus mandi dulu." Gio membuka bantal Leon, namun justru ditahan oleh sahabatnya itu.
"Besok aja, janji."
"Gila lo? Jijik gue, lo kan ...."
"Sudah lah, lo malah lebih menjijikkan dari gue."
"Maksud gue ...."
"Sudah ya, capek gue ...." Leon semakin terlelap, tanpa mau repot-repot mendengarkan Gio yang sebenarnya hanya ingin menyuruhnya mandi. Sedangkan Gio hanya menghela nafas panjangnya, merasa tak percaya dengan kelakuan sahabatnya. Kalau bukan karena ia dan Leon sudah berteman lama, mungkin ia akan menyeretnya keluar dari apartemennya.
***
Reva baru keluar dari mobil travel yang mengantarkannya pulang. Di sana, Felly sedang menyambutnya, ekspresinya tampak bahagia saat melihatnya. Namun tidak dengan Reva, wanita itu hanya tersenyum tipis, tidak seceria saat mereka bertemu biasanya.
Padahal mereka cukup lama tidak berjumpa, mengingat tempat pekerjaan mereka yang berbeda kota. Namun nyatanya pertemuan itu tak membuat Reva bahagia, yang tentu saja disadari Felly, sahabatnya.
"Rev, kamu kenapa?" Felly bertanya hati-hati, sebenarnya ia tahu kenapa sahabatnya bersikap seperti itu, apalagi kalau bukan karena Biyan, lelaki buaya yang sangat dibencinya.
"Kamu tahu alasannya kenapa aku seperti ini, jadi tolong jangan bertanya lagi. Sekarang, kamu buktikan saja ucapanmu." Reva menjawab dingin, yang sempat membuat Felly terdiam meski pada akhirnya mengangguk untuk menjawabnya.
"Biyan enggak tahu kan kalau kamu sudah pulang? Kalau dia tahu, mungkin kamu enggak akan mendapatkan bukti apa-apa."
"Dia enggak tahu aku sudah pulang, sekarang kamu tunjukkan saja apa yang tadi malam kamu katakan." Reva menjawab seadanya, ia berusaha terlihat tenang, meski di dalam hati ia merasa terbakar, seolah tubuh dan kepalanya hampir mendidih oleh emosi. Hanya satu keyakinannya, Biyan adalah jodohnya, ia tidak akan marah meskipun lelaki itu ketahuan selingkuh. Reva juga yakin, ia dan kekasihnya itu bisa melewati masalah sekecil ini sampai menikah dan menua nanti.
"Kita akan ke tempat Biyan sekarang, ayo!" Felly menarik tangan Reva, mengajaknya ke sebuah apartemen di mana Biyan dan Denada berada di sana. Sedangkan Reva hanya menurut dan berjalan mengikuti kaki Felly melangkah, di dalam hati Reva masih merasa takut mengetahui faktanya, padahal ia yakin bila Felly tidak mungkin membohonginya, belum lagi sikap Biyan yang mencurigakan, membuat Reva seolah enggan untuk tidak percaya.
Selama di perjalanan dan memasuki sebuah lift, tidak ada yang Reva katakan kecuali kediaman. Ia hanya sedang berusaha tenang, berusaha untuk tidak terluka, walau pada kenyataannya hatinya hampir berdarah hanya dengan melihat video kiriman sahabatnya.
"Ini apartemen Biyan kan? Kemarin sore ini enggak dikunci, jadi aku bisa tahu apa yang sedang mereka lakukan di kamar itu ...." Felly melirihkan ucapannya, ia justru merasa ragu mengatakan yang sebenarnya, ia takut menyakiti Reva nantinya. Wanita itu sangat baik, hatinya bersih, hingga membuatnya marah bila ada yang menodainya. Felly hanya tidak bisa melihat Reva dikhianati, karena mau bagaimana pun, wanita itu berhak bahagia dengan lelaki yang benar-benar mencintainya.
"Meskipun pintu ini dikunci, aku punya kunci cadangannya," jawab Reva sembari menunjukkan sebuah kunci di hadapan Felly, namun ekspresinya tampak tenang seolah tidak terpengaruh dengan kabar kekasihnya berselingkuh.
"Aku akan membukanya." Reva membuka pintu itu menggunakan kuncinya, namun anehnya pintu itu ternyata tidak dikunci, seolah dibiarkan tertutup begitu saja. Reva yang merasa tidak curiga itu langsung membukanya, ia bahkan berjalan tenang seolah tidak akan terjadi apa-apa.
"Kamu pasti tahu itu sepatu siapa?" Felly menunjuk ke arah sepatu perempuan yang berada di dekat sepatu lelaki milik Biyan.
"Iya, milik Denada kan?"
"Itu berarti Denada masih ada di sini." Felly menjawab seadanya, membuat hati Reva sesak saat mendengarnya. Tanpa pikir panjang lagi, Reva berjalan cepat ke arah kamar lalu membuka pintunya begitu saja. Sedangkan Felly yang berada di belakangnya hanya menemaninya, ia akan menjaga sahabatnya bila terjadi sesuatu dengannya.
Saat sudah berada di dalam sana, Reva justru terdiam, air matanya meluruh jatuh saat mendapati kekasihnya tengah terlelap bersama dengan seorang wanita. Padahal selama di perjalanan tadi, Reva selalu berpikir bila hatinya pasti kuat saat mengetahui faktanya, namun konyolnya itu hanya pemikirannya saja, karena sekarang hatinya benar-benar terluka.
Reva hanya tidak menyangka, dikhianati dua orang terdekatnya dengan begitu menyakitkan, terlebih lagi dua orang itu adalah kekasih yang sangat dicintainya dan sahabat yang sangat disayanginya. Sebenarnya apa yang salah? Kenapa mereka begitu tega mengkhianatinya, padahal selama ini Reva tidak pernah bersikap buruk, ia bahkan hampir seperti gadis polos yang bisa dibodohi karena tidak tahu apa-apa.
"Biyan," panggil Reva lirih, hatinya hampir remuk sekarang, namun lagi-lagi Reva harus bertahan, ia yakin bisa memperbaiki semuanya.
"Denada," panggil Reva lagi, air matanya terus saja jatuh membasahi pipinya, sedangkan Felly hanya bisa terdiam, hatinya merasa lega setelah Reva mengetahui kebenarannya, namun ada saatnya ia juga merasa bersalah telah membuat sahabatnya itu terluka. Namun mau bagaimana pun cepat atau lambat, Reva harus tahu semuanya, bila kekasih dan sahabatnya itu tidak sebaik pemikirannya.
"BANGUN KALIAN, BANGUN." Entah karena apa tiba-tiba Reva berteriak seolah emosi yang berusaha ditahannya kini keluar begitu saja, tangannya bahkan bergerak membuka selimut yang menutupi tubuh telanjang mereka.
"Reva ... kamu sudah pulang ...?" Biyan yang baru membuka mata itu seketika membangunkan tubuhnya, matanya membulat terkejut melihat kekasihnya berada di sana.
"Iya. Tapi apa yang aku lihat sekarang? Kamu dan Denada ...." Reva sampai tidak bisa berkata-kata, bibirnya seolah merapat kuat saking kecewanya.
"Aku bisa jelaskan, aku dan Denada hanya ...."
"HANYA APA?" teriak Reva marah, ucapannya itu menyadarkan Denada dari tidur lelapnya.
"Reva? Kamu ada di sini?" tanyanya seolah tidak terkejut melihat sahabatnya memergokinya tidur dengan kekasihnya.
"Denada, kamu itu sahabatku, tapi kenapa kamu dan Biyan mengkhianatiku? Kenapa?" Reva menitikkan air matanya, namun Denada justru terdiam, ekspresinya tampak tenang seolah tidak ada penyesalan.
"Kamu tanya saja ke Biyan, dia yang mulai menggodaku." Denada melirik ke arah Biyan, ekspresinya tampak tak terima dituduh, seolah dia yang paling benar di sana dan tidak patut disalahkan.
"Aku hanya kesepian, kamu tahu kan, aku tidak mungkin menyuruhmu untuk tetap berada di sekitarku supaya aku bisa menemuimu bila aku merindukanmu. Kamu ingin bekerja di kota yang kamu sukai, bagaimana mungkin aku melarangmu? Aku salah, aku minta maaf." Biyan menjawab menyesal, ekspresinya tampak sangat merasa bersalah, membuat Reva terdiam tidak bisa berkata-kata kecuali ingin memaafkannya, karena mau bagaimana pun ia juga salah. Namun entah kenapa Reva merasa tidak bisa, hatinya masih marah dengan fakta yang sebenarnya.
"Aku kecewa sama kamu, Bi." Reva menjawab lirih, membuat Biyan terdiam dalam rasa penyesalan.
"Maafkan aku, Sayang. Aku salah, aku minta maaf ...." Biyan merengkuh tangan Reva dan bahkan bersimpuh di hadapannya, tanpa mau memedulikan penampilannya yang hanya memakai celana dalam.
"Sudahlah, aku mau sendiri." Reva menjawab tanpa minat lalu berjalan menjauh, meninggalkan mereka dalam rasa bersalah, kecuali Denada yang diam-diam tersenyum melihat pertengkaran antara Biyan dan Reva.
"Kalian keterlaluan, aku harap Reva enggak pernah mau memaafkan kalian. Dia itu wanita baik, bisa-bisanya kalian mengkhianati dia di belakangnya seperti ini, menjijikkan." Felly berujar kesal, ia juga ingin marah setelah apa yang sudah terjadi dengan Reva, namun ia juga sadar, bila masalah ini bukanlah kapasitasnya untuk ikut campur, sudah cukup tugasnya memberitahukan kebusukan mereka.
Setelah mengatakan itu, Felly berlari menghampiri Reva, ia berniat menemaninya di masa-masa terburuknya. Felly juga sengaja membiarkan Biyan dan Denada di sana, karena yang paling penting sekarang adalah perasaan Reva. Felly tahu, perasaan sahabatnya itu pasti sedang tidak baik, terlebih lagi hubungan yang dijalaninya tidak bisa dikatakan sebentar, fakta perselingkuhan kekasihnya tentu saja sangat melukai hati dan jiwanya.
"SIALAN, BISA-BISANYA GUE ENGGAK TAHU REVA PULANG?" teriak Biyan marah sembari menarik rambutnya begitu frustrasi. Sedangkan Denada hanya tersenyum, merasa senang saja mengetahui Reva tahu yang sebenarnya bila kekasih yang sangat dicintainya itu ternyata tidak benar-benar bisa setia, itu artinya kesempatannya mendapatkan Biyan akan lebih besar lagi, ia yakin sebentar lagi status selingkuh tak lagi ia sandang.
"Lo, lo pasti tahu Reva mau pulang kan? Makanya tadi malam lo sengaja menginap di sini? Iya kan?" tunjuk Biyan ke arah Denada, ekspresinya tampak marah, membuat Denada kesal melihatnya.
"Kok jadi aku sih, Bi? Aku kan memang biasa menginap di sini, kamu aja yang kurang waspada." Denada mengelak malas, membuat Biyan frustrasi mendengarnya.
"AGGGHHHK ...." Biyan berteriak frustrasi, merasa kesal dengan dirinya sendiri, tanpa menyadari bagaimana Denada tersenyum puas melihatnya marah.
Part 02
Sepanjang perjalanan yang Reva lakukan hanya menangis, ia tidak menyangka bila hatinya bisa sekecewa ini padahal sebelum melihat Biyan tidur bersama dengan Denada, ia yakin bila hatinya pasti kuat, ia bahkan berpikir akan memaafkan Biyan di saat itu juga. Namun kenyataannya justru berbeda, hatinya terlalu terluka sampai tidak bisa melihat mereka lebih lama. Itulah kenapa Reva memutuskan untuk segera pergi dari sana, ia ingin sendiri di kamarnya, tepatnya di rumah orang tuanya.
"Reva," panggil Felly lirih, sahabatnya itu memang ikut dengannya, dia bahkan memaksa untuk menjaganya saking takutnya wanita itu terjadi sesuatu dengannya. Bagi Reva, Felly memang wanita dan teman yang paling baik, ia merasa menyesal tidak pernah mendengar ucapannya selama ini.
"Aku tahu kamu kecewa dengan Biyan, tapi tolong jangan berbuat hal buruk ya? Hidup kamu masih panjang, aku yakin kamu bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari Biyan." Felly merengkuh tangan Reva, berusaha untuk menghiburnya, meski ia tahu sahabatnya itu sedang berada di masa-masa terpuruknya.
"Terima kasih, Fell. Aku minta maaf karena selama ini aku enggak pernah percaya dengan ucapan kamu, aku terlalu buta sampai aku enggak sadar kalau Biyan enggak pernah setia." Reva menundukkan wajahnya, merasa malu berada di hadapan sahabatnya.
"Aku enggak apa-apa kok. Aku malah senang, akhirnya kamu bisa tahu yang sebenarnya." Felly menjawab seadanya sembari terus merengkuh tangan sahabatnya, berusaha untuk tetap menguatkannya, sedangkan Reva hanya terdiam, hatinya masih hancur untuk mengingat apa yang sudah Biyan dan Denada lakukan padanya.
"Kita sudah sampai di depan rumah kamu," ujar Felly setelah taksi yang ditumpangi mereka berhenti di depan rumah orang tua Reva, sebuah rumah yang jarang Reva tempati, saking lamanya ia tinggal di kota tempatnya bekerja.
"Iya, terima kasih sudah mengantarkan aku. Dan maaf, baru percaya kamu hari ini." Reva berujar penuh rasa bersalah, membuat Felly tersenyum tipis saat melihatnya meminta maaf. Ia tahu, Reva sedang terluka sekarang, senyum manisnya yang biasa terukir bahkan sampai menghilang, saking beratnya beban pikiran yang dialaminya.
"Iya, aku pulang ya. Kamu harus tenangkan diri kamu, Re. Aku tahu, semua ini pasti berat buat kamu." Felly menyunggingkan senyumnya yang hanya diangguki pelan oleh Reva lalu turun dari taksi dan masuk ke rumahnya, membiarkan Felly pergi dari sana.
Reva berjalan begitu saja, ia bahkan tidak mengetuk pintu rumah orang tuanya, membuat kehadirannya tak banyak diketahui orang yang berada di sana. Namun Tina, mamanya yang baru saja turun dari kamarnya seketika mendelikkan matanya, melihat putri kesayangannya pulang ke rumah.
"Reva. Kamu sudah pulang?" tanyanya tak percaya, namun putrinya itu justru mengangguk lirih, ekspresinya tampak tak bersemangat, tak seperti saat ia pulang biasanya.
"Iya, Ma."
"Kok kamu enggak kasih tahu Mama dulu sih? Seharusnya kamu bilang di telepon, supaya Mama menyiapkan masakan kesukaan kamu." Tina memanyunkan bibirnya, ekspresinya tampak kecewa dengan putrinya, meski semua itu hanya candaan, karena memang seperti itu lah sikapnya.
"Iya, Ma. Maaf. Aku ke kamar dulu ya, aku mau istirahat , aku capek." Reva menjawab seadanya lalu berjalan ke kamarnya, membiarkan mamanya yang bingung melihat perubahan sikapnya. Tidak biasanya putrinya itu terlihat murung seperti itu, karena selelah apapun tubuhnya, putrinya itu selalu bisa tersenyum saat pulang ke rumah.
"Re, kamu kenapa? Kamu enggak apa-apa kan?" Tina bertanya hati-hati, ia merasa bila putrinya itu sedang tidak baik-baik saja sekarang.
"Aku enggak apa-apa kok, Ma. Aku cuma capek di perjalanan, aku ke kamar dulu ya." Reva kembali melangkahkan kakinya, sedangkan Tina hanya menghela nafas panjangnya, berusaha untuk tidak mengganggu Reva, ia yakin putrinya itu sedang ada masalah namun tidak mau menceritakannya. Ya, seperti itu lah Reva, selalu memendam perasaannya sendiri terutama saat ia sedang patah hati.
"Itu Reva kan, Ma? Kok dia ada di rumah? Memangnya dia bilang ya kalau mau pulang?" Alfan, papa Reva bertanya heran setelah sempat melihat putrinya berjalan naik ke lantai dua.
"Iya, dia Reva, Pa. Tapi dia terlihat aneh, Pa."
"Aneh bagaimana?"
"Dia seperti sedang sedih, Mama tanya kenapa, dia bilang enggak apa-apa, terus ke kamarnya dan enggak bilang apa-apa lagi."
"Itu artinya Reva sedang kenapa-kenapa, Ma. Papa akan menemuinya, Papa khawatir dengan kondisi dia." Alfan melangkahkan kakinya, ia berniat menemui putrinya. Sebagai seorang Papa yang hanya memiliki satu putri, tentu saja Alfan sangat mengkhawatirkan kondisi putrinya itu.
"Tapi kata Reva tadi dia mau istirahat, Pa. Dia kelelahan di perjalanan, sebaiknya Papa jangan ganggu dia." Tina berhasil menghentikan langkah suaminya, ia juga tidak mau waktu istirahat putrinya itu terganggu.
"Begitu ya? Ya sudah, Papa akan menemuinya nanti." Alfan menghela nafasnya dengan pasrah, berusaha mengerti meski di hatinya ia merasa sangat mengkhawatirkan kondisi putrinya.
***
Setelah semalaman menangis dan ketiduran di kamarnya, Reva akhirnya terbangun saat mendapati teleponnya berbunyi keesokan paginya. Saat ini ada seseorang yang sedang menghubunginya, Reva tak berniat untuk menerimanya, karena ada nama Biyan di sana.
Reva bahkan sempat melemparkan ponselnya ke sembarang arah, namun suara deringnya masih terdengar di telinganya. Di saat itu lah Reva merasa terbuka hatinya, merasa tidak bisa membiarkan Biyan begitu saja. Karena mau bagaimana pun, Biyan adalah lelaki sama yang masih sangat dicintainya.
Cukup lama memantapkan hati, akhirnya Reva membangunkan tubuhnya lalu mengambil ponselnya. Ia berniat menerima telepon Biyan sekarang, meski lelaki itu sudah menyakitinya terlalu dalam.
"Halo, Sayang. Kamu masih marah ya sama aku? Aku minta maaf ya, aku benar-benar menyesal." Suara Biyan terdengar putus asa, membuat Reva iba mendengarnya.
"Sayang. Ayo dong jawab, aku enggak bisa lihat kamu terus-terusan marah sama aku, aku minta maaf." Biyan kembali berbicara, tanpa menyadari bagaimana Reva tersenyum tipis mendengarnya. Mau sekeras apapun Reva ingin membenci lelaki itu, pada akhirnya hatinya luluh juga mendengar permintaan maafnya.
"Iya, aku maafkan kamu kok." Reva menjawab lirih, bibirnya merapat, berusaha yakin dengan keputusannya.
"Kamu serius kan? Sekarang kamu ada di mana? Di rumah kan? Kamu keluar ya, aku tunggu kamu di mobil." Biyan menjawab antusias yang kali ini membuat Reva terkejut mendengarnya, karena lelaki itu sudah berada di depan rumahnya, itu artinya cepat ataupun lambat ia harus menemuinya, sedangkan matanya masih sembab akibat menangis semalaman.
"Kamu ada di luar?"
"Iya. Kamu turun ya, aku mau minta maaf langsung ke kamu."
"Ehmmm ... tunggu sebentar," jawab Reva lirih lalu mematikan sambungan teleponnya dan berlari ke arah kamar mandi untuk mencuci wajahnya yang tampak kusam oleh air mata.
Setelah mencuci wajah dan merias diri di depan cermin secepat mungkin, Reva langsung turun ke lantai bawah. Entah kenapa jantungnya berdebar saat akan bertemu dengan Biyan, padahal baru tadi malam ia menangisi lelaki itu tanpa henti, merasa sedih saat mengingat pengkhianatannya. Sekarang Reva justru berlari seperti akan bertemu dengan pangerannya, seolah lupa bila pangeran itu yang sudah menghancurkan sebagian hatinya.
"Lah itu kan Kak Reva? Kapan dia pulang?" Adik terakhir Reva yang bernama Rian bertanya heran setelah melihat kakaknya berlari ke arah luar, sedangkan kedua kakaknya yang lain turut memerhatikannya, mereka tampak sama-sama bingung sekarang.
"Iya ya? Kapan dia pulang?" Revan bertanya heran, dia adalah adik pertama Reva, bisa dibilang anak kedua dari keluarga tersebut. Sedangkan yang ketiga bernama Reyhan, adiknya yang paling tidak peduli, yang sangat menjunjung tinggi kebebasan. Dan yang terakhir bernama Rian, adiknya yang paling baik, dia juga calon dokter.
"Enggak penting dia pulang kapan, yang penting itu perut gue yang sudah keroncongan minta diisi." Reyhan menggerutu sebal, padahal ia sengaja ke rumah mamanya pagi-pagi karena ingin sarapan, sudah sejak tadi malam ia belum makan.
"Iya-iya, ayo sarapan." Revan menjawab pasrah, tidak mungkin juga ia membiarkan adiknya kelaparan hanya karena pertanyaan yang sebenarnya bisa tahu jawabannya nanti.
***
Setelah berlari dari kamarnya, Reva memelankan langkahnya setelah sampai di depan gerbang. Dengan cepat ia mengatur deru nafasnya, berusaha terlihat tenang dan baik-baik saja. Perlahan ia membuka gerbang rumahnya, di sana sudah ada Biyan yang membawa buket bunga dan boneka besar di kedua tangannya. Reva yang melihatnya itu hanya terdiam, ekspresinya berusaha terlihat tidak terkejut, meski di dalam hati ia merasa tidak percaya dengan apa yang sedang Biyan lakukan.
"Biyan. Kenapa kamu ...."
"Aku minta maaf, Re. Aku benar-benar menyesali semua perbuatanku, jangan marah lagi ya?" Biyan berlutut sembari memberikan boneka dan bunga itu di hadapan Reva.
"Kamu enggak harus seperti ini. Dan lagi, aku juga sudah memaafkan kamu, lebih baik sekarang kamu berdiri." Reva menarik tubuh Biyan untuk berdiri, namun lelaki itu masih mempertahankan posisinya.
"Aku enggak akan berdiri sebelum kamu benar-benar tulus memaafkan aku."
"Aku sudah memaafkan kamu dengan tulus, Bi. Sudahlah, jangan kaya gini."
"Kalau begitu, terima dulu bunga dan bonekanya." Biyan memajukannya di hadapan Reva, membuat wanita itu tersenyum melihat kegigihannya meminta maaf.
"Iya, ini aku terima ya. Sekarang kamu harus berdiri." Reva mengambil alih bunga dan boneka itu, sedangkan Biyan langsung mendirikan tubuhnya dengan ekspresi bahagianya.
"Kamu benar-benar sudah memaafkan aku kan?"
"Iya. Kenapa sih?"
"Berarti kita masih bersama kan? Kita enggak putus kan?"
"Itu sih tergantung ...." Reva menghentikan ucapannya, membuat Biyan khawatir mendengarnya.
"Tergantung apa?"
"Kamu bakal mengulangi kesalahan kamu apa enggak? Kalau iya, lebih baik kita enggak usah saling kenal." Reva terus menatap ke arah Biyan, ia harus yakin dengan jawaban lelaki itu bohong atau tidak. Meskipun Reva sangat mencintainya, ia juga tidak mungkin memaksanya untuk berubah demi dirinya.
"Enggak. Aku janji, aku enggak akan mengulangi kebodohan yang sama. Aku janji. Kamu tahu aku kan, aku sangat mencintai kamu. Aku bahkan enggak berani mencium kamu tanpa izin dari kamu, aku selalu berusaha menjaga kamu, aku berusaha semua yang aku bisa supaya kamu bahagia. Tolong percaya, aku benar-benar ingin berubah." Biyan menjawab tulus bisa dilihat dari caranya menatap Reva penuh dengan cinta.
Selama ini, Biyan memang lelaki seperti itu, lelaki penjaga yang selalu melindungi kehormatannya. Itulah kenapa Reva sempat tidak percaya dengan ucapan Felly bila Biyan dan Denada berpacaran dan bahkan hubungan mereka sudah jauh melampaui batas kewajaran, karena selama Reva mengenalnya, Biyan adalah lelaki baik yang sangat mencintainya.
Saat Reva melihat video Biyan bersama dengan Denanda, tentu saja perasaannya sangat hancur, namun Reva justru berpikir bila mungkin Biyan juga tidak akan melakukan hal itu andai dia tidak terlalu menjaga kehormatannya. Saat memikirkan hal itu, Reva berubah pikiran, ia merasa jahat telah menjadi wanita egois yang selalu menjaga tubuhnya sampai membuat kekasihnya berpaling mencari kesenangan lain.
"Iya, aku percaya sama kamu." Reva menyunggingkan senyumnya membuat Biyan bahagia mendengarnya.
"Teriak kasih," jawabnya sembari memeluk erat tubuh Reva, menyalurkan rasa bahagianya pada wanita cantik itu.
"Minggu depan aku bawa orang tuaku ke rumahmu ya?" ujar Biyan di sela-sela pelukannya, membuat Reva kebingungan dan melepaskan pelukannya.
"Ada apa? Kenapa kamu mau bawa orang tua kamu?"
"Aku mau melamar kamu." Biyan menjawab jujur, membuat Reva terdiam tak percaya, bibirnya bahkan menganga saking terkejutnya.
"Kamu serius?"
"Iya. Kenapa? Kamu belum siap? Atau kamu masih mau bekerja di luar kota?" tanya Biyan terdengar kecewa, ia tahu kesukaan kekasihnya itu, mana mungkin ia akan tega menghancurkan kebahagiaannya.
"Enggak. Aku bahkan akan mengundurkan diri dari sana," jawab Reva cepat, bibirnya tersenyum saat menatap ke arah wajah Biyan yang terkejut.
"Kamu serius mau berhenti bekerja?" Biyan merengkuh kedua lengan Reva, ekspresinya tampak sangat bahagia.
"Iya, serius."
"Baguslah. Itu artinya, aku enggak takut kita jauh lagi. Aku bisa ketemu kamu kapanpun yang aku mau, apalagi kalau kita sudah menikah, aku bisa melihat kamu setiap hari." Biyan kembali memeluk tubuh Reva, merasa sangat bahagia mendengar kabar baik yang entah sudah berapa kalinya. Sedangkan Reva hanya tersenyum, merasakan hal yang sama dengan Biyan, kekasihnya.
Part 03
Reva berjalan ke arah rumah sembari membawa boneka dan bunga di tangannya, bibirnya terus tersenyum ke arah dua benda itu, sampai tidak menyadari bila adik-adiknya sudah sarapan dan sekarang sedang duduk di sofa ruang tamu.
"Selamat pagi, Kak Reva," sapa Rian hangat, menghentikan langkah Reva yang tidak menyadari kehadiran mereka.
"Pagi ... kalian tumben akur?" Reva bertanya kaku, merasa konyol saja baru menyadari adik-adiknya dan melewati mereka begitu saja.
"Cih," decak Reyhan malas, ia memang kurang akrab dengan kakak pertamanya itu, namun bukan berarti ia tidak bisa akrab dengan saudaranya yang lain.
"Lo terlalu bahagia atau bagaimana sampai lo enggak sadar ada kita? Dan saat lo sadar, pertanyaan konyol itu muncul dari bibir lo? Menurut lo, kenapa kita kelihatan akur? Ya karena lo enggak pernah ada di rumah, sampai lo enggak tahu perkembangan kita." Revan menjawab malas, membuat Reva kesal mendengarnya.
"Revan, lo kok nyolot sih?"
"Sudah, Kak. Jangan berseteru terus, Kak Revan cuma bercanda kok. Oh iya, Kak Reva kapan pulang?" Rian bertanya sopan, seperti biasa, adik terakhir mereka yang selalu menjadi penengah bila kakak-kakaknya sedang tidak bisa akur.
"Kemarin sore." Reva menjawab seadanya, kalau bukan karena Rian, Revan mungkin akan menjadi sarapannya pagi ini.
"Oh kemarin sore? Oh iya tadi Mama sama Papa suruh Kak Reva sarapan, tadi kayanya Kak Reva ada hal penting sampai keluar rumah, makanya kita enggak panggil. Kak Reva sarapan dulu ya, ditunggu Mama sama Papa." Rian menyunggingkan senyum ramahnya, membuat Reva yang tadinya ingin marah seketika luluh mendengar ucapannya. Adiknya yang satu itu memang sangat baik dan sopan, berbeda dengan Reva yang justru terlihat seperti temannya karena perbedaan usia mereka yang tidak terlalu jauh. Sedangkan Reyhan jangan ditanya, adik keduanya itu bahkan jarang menyapanya, ia memiliki dunianya sendiri, jadi cukup mengherankan untuknya saat melihatnya bisa akur dengan yang lain.
"Iya, Kakak sarapan dulu." Reva mengangguk mengerti lalu berjalan ke arah meja makan, di mana orang tuanya sedang menunggunya di sana.
Sesampainya di sana, Reva tersenyum ke arah Mama dan papanya, namun justru mendapatkan tatapan keheranan dari mereka. Itu karena Reva tampak bahagia, bibirnya terus tersenyum bahkan sampai duduk di kursinya. Membuat orang tuanya keheranan, mengingat baru kemarin sore Reva terlihat sedih dan murung.
"Sayang, kok kamu bawa bunga dan boneka ke ruang makan?" tanya Tina, mamanya yang terlihat heran dengan sikapnya. Begitupun dengan Alfan, suaminya itu juga turut merasakan hal sama, mengingat baru saja ia membicarakan perubahan sikap putrinya kemarin.
"Ini dari Biyan, Ma. Tadi dia ke sini bawa ini." Reva menyunggingkan senyumnya lalu meletakkan dua benda itu ke kursi lain.
"Kok kamu enggak ajak dia sarapan juga?"
"Dia buru-buru pulang, Ma. Katanya sih ada urusan di rumah."
"Ya sudah kalau begitu. Tapi kamu sendiri enggak apa-apa kan? Kemarin Mama khawatir sama kamu, karena kamu kaya sedih gitu, muka kamu juga lesu. Sebenarnya kamu ini kenapa?" Tina menyentuh pundak putrinya, berusaha bertanya baik-baik agar tidak menyinggung perasaannya.
"Iya, Reva. Kamu ini kenapa? Seharusnya kalau ada masalah kamu bilang ke Papa, jangan dipendam sendiri, Papa juga khawatir sama kamu." Alfan bertanya hal sama, ia memang seperti itu bila sedang bersama dengan Reva, putrinya. Sikapnya lebih lembut bila dibandingkan dengan Revan, Reyhan, ataupun Rian.
"Aku enggak apa-apa kok, Pa, Ma. Kemarin aku lagi lelah aja." Reva menyunggingkan senyumnya, membuat orang tuanya merasa lega.
"Sekarang bagaimana? Kamu masih merasa lelah?" tanya Tina lagi yang kali ini digelengi kepala oleh putrinya tersebut.
"Sudah enggak kok, Ma."
"Pasti karena Biyan ya?" goda Tina yang membuat Reva tersenyum malu mendengarnya.
"Apa sih, Ma?"
"Ciyee malu," godanya lagi yang kian membuat Reva salah tingkah.
"Sudahlah, Ma. Jangan menggoda Reva dengan Biyan, lelaki itu belum tentu juga baik untuk Reva." Alfan menyahut tak suka, membuat Reva terdiam dengan bibir merapat, papanya itu memang kurang suka dengan sosok Biyan, padahal papanya itu berteman baik dengan orang tuanya.
"Biyan baik untuk aku kok, Pa." Reva menjawab hati-hati, ia juga tidak mau menyakiti hati papanya bila langsung menentang ucapannya.
"Apa buktinya? Bunga dan boneka itu? Dia enggak mungkin memberikannya sepagi ini kalau bukan karena dia sudah berbuat salah ke kamu." Alfan menjawab tenang sembari terus menyantap sarapannya. Tanpa menyadari bagaimana Reva terdiam, merasa saja dengan apa yang papanya tuduhkan.
"Enggak kok, Pa. Biyan ke sini karena dia memang mau ketemu sama aku, kita kan sudah lama enggak pernah ketemu. Dia juga bilang kalau dia dan orang tuanya mau datang ke rumah Minggu depan." Reva tersenyum malu, merasa bahagia memberikan kabar baik itu.
"Orang tua Biyan mau ke rumah? Mau melamar kamu, Sayang?" tanya Tina yang diangguki malu-malu oleh Reva, membuat Tina tersenyum setelah mengetahuinya.
"Baguslah kalau kamu dan Biyan akan menikah, umur kalian kan sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, memang sudah seharusnya hubungan kalian dibawa ke jenjang yang lebih serius lagi yaitu pernikahan." Tina menjawab antusias, berbeda dengan suaminya yang tampak kurang suka.
"Lebih baik kamu pikirkan matang-matang keputusan kamu untuk menikah dengan Biyan, Re. Papa cuma enggak mau nantinya kamu menyesal, dia seperti bukan lelaki baik-baik." Alfan menjawab tak suka, ia sudah sangat lama mengintai Biyan, dan hasilnya lelaki itu bukan orang yang bisa dipercaya.
"Biyan mungkin enggak sepenuhnya lelaki baik, Pa, tapi aku yakin, cuma aku wanita yang dia cintai, dia bahkan berani berubah ke lebih baik lagi demi aku. Aku juga sudah memikirkannya matang-matang, aku sudah mantap ingin menikah dengan Biyan. aku bahkan akan mengundurkan diri dari pekerjaanku sekarang." Reva menjawab yakin, ia tidak akan goyah bila hal ini sudah mengenai kebahagiaannya, karena ia sangat yakin, Biyan lah jodohnya.
"Baiklah, semua keputusan ada di tangan kamu, Papa tidak akan menentangnya, asal kamu merasa bahagia bersamanya."
"Terima kasih, Pa." Reva tersenyum lega, merasa tenang mendengar jawaban papanya, begitupun dengan mamanya, wanita yang disayanginya itu juga tersenyum dengan kebahagiaannya.
***
Sekarang Reva sedang bersama dengan Felly, keduanya sedang berada di sebuah kafe, tempat biasa mereka menghabiskan waktu bersama. Di tempat itu, Reva juga akan mengatakan ke Felly bila ia dan Biyan sudah kembali menjadi kekasih. Tidak itu saja, Reva juga ingin memberitahukan ke Felly bila Biyan sudah melamarnya, ia akan melangsungkan pernikahan dengan kekasih yang sangat dicintainya itu.
"Kamu sudah baikkan kan, Re? Seharusnya kamu enggak perlu keluar dulu, aku tahu perasaan kamu, pasti sulit melupakan Biyan kan? Tapi aku yakin, kamu pasti bisa." Felly merengkuh pundak Reva, berusaha memberi sahabatnya itu kekuatan untuk tetap bertahan.
"Terima kasih, Fell. Tapi aku di sini mau ngomong sesuatu sama kamu." Reva tampak ragu saat mengatakannya, namun ia harus bisa mengungkapkan kejujurannya.
"Kamu mau ngomong apa? Kok kayanya serius?" Felly menatap serius ke arah Reva, ia berusaha untuk tetap fokus dengan apa yang akan Reva katakan.
"Sebenarnya aku dan Biyan kembali menjalin hubungan lagi." Reva menjawab cepat, membuat Felly terdiam mendengarnya.
"Kamu mungkin terkejut mendengarnya, tapi aku cuma mau jujur ke kamu. Pertama-tama aku sangat berterima kasih, kamu sudah berusaha melindungiku dengan mengatakan apapun yang kamu tahu, aku juga mau minta maaf, aku enggak benar-benar bisa membenci Biyan." Reva menghentikan ucapannya, matanya tertunduk takut tanpa berani menatap ke arah Felly yang terlihat kecewa.
"Biyan sudah meminta maaf, dia juga berjanji enggak akan mengulangi kesalahannya lagi. Jadi aku memutuskan untuk menerima dia, aku harap kamu bisa mengerti." Reva menatap ke arah Felly, ia merasa sangat menyesal harus mengatakan ini, namun menutupi semua darinya juga bukanlah ide bagus, itulah kenapa Reva memilih untuk mengatakan semuanya.
"Kamu tahu kan, Biyan itu bukan lelaki baik, kenapa kamu masih mau menerimanya?" tanya Felly terdengar kecewa.
"Aku tahu, tapi semua orang butuh kesempatan kedua kan? Dan aku memilih untuk memberikan kesempatan itu ke Biyan." Revan menjawab mantap, membuat Felly kecewa meski tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali mendukung keinginan sahabatnya.
"Baiklah, aku akan berusaha mengerti. Aku harap, kamu enggak disakiti lagi." Felly menyunggingkan senyumnya, berusaha terlihat baik-baik saja, meski sebenarnya ia merasa sangat mengkhawatirkan Reva, sahabatnya.
"Pasti. Terima kasih karena kamu sudah mau mengerti keputusanku, aku bahagia memiliki sahabat baik kaya kamu." Reva memeluk tubuh Felly, menyalurkan rasa bahagianya pada sahabat baiknya itu. Namun itu tak lama, saat Reva merasakan rambutnya dijambak keras-keras oleh seseorang.
"DASAR WANITA GATEL," umpat seseorang yang suaranya sangat Reva kenali, membuatnya terkejut saat merasakan sakit di kepalanya akibat jambakan di rambutnya. Begitupun dengan Felly, wanita itu juga terkejut dengan apa yang sedang terjadi.
"Denada, kenapa kamu menjambak rambut Reva? Lepas enggak tangan kamu." Felly menarik lengan Denada dari rambut Reva, berusaha menghentikan tindakan konyol wanita yang sempat menjadi temannya.
"Enggak, dia memang pantas dijambak, dia itu wanita gatel, enggak tahu malu." Denada semakin menjambak rambut Reva, memberinya banyak perhatian banyak orang yang berada di sana.
"Apa maksud kamu, De? Bukannya wanita gatel di sini itu kamu ya! Kamu yang enggak punya malu." Reva menjawab tak terima, sembari berusaha melepaskan tangan Denada dari rambutnya.
"Kamu yang enggak punya malu. Bisa-bisanya kamu kembali menjalin hubungan dengan Biyan? Kalian bahkan akan menikah."
"Memangnya kenapa? Kamu marah karena kamu dicampakkan? Seharusnya sejak awal kamu sadar diri, Biyan enggak mungkin mencintai kamu apalagi hidup bersama kamu. Hubungan kalian sudah salah sejak awal, tapi bisa-bisanya kamu rela mengkhianati sahabat kamu sendiri, demi bisa mendapatkan lelaki seperti Biyan." Reva tersenyum sinis, membuat Denada terdiam dan bahkan melepaskan jambakan di rambutnya.
"Iya, aku marah karena aku dicampakkan. Tidak aku saja, tapi juga bayi yang berada di kandunganku. Sekarang apa kamu akan bahagia menari-nari di atas penderitaanku?" tanya Denada tenang, membuat Reva dan Felly bungkam.
"Ha ... mil ...?" Reva bahkan hampir tidak bisa berkata-kata sekarang, saking terkejutnya ia mendengar kabar yang baru Denada katakan.
"Iya. Aku hamil anak Biyan."
"Enggak mungkin. Kamu bohong kan? Biyan sudah melamarku, kami akan menikah. Bagaimana mungkin kamu hamil?" Reva mendirikan tubuhnya, merasa tidak percaya dengan ucapan Denada.
"Kamu pikir hubunganku dengan Biyan itu sebentar? Kita sudah lama main di belakang kamu, kalau kamu tidak percaya, ini buktinya." Denada menunjukkan alat tes kehamilan, di mana hasilnya menunjukkan garis dua, yang berarti positif hamil. Di saat itu lah Reva mulai goyah, tubuhnya oleng bahkan hampir jatuh andai Felly tidak sigap menangkapnya.
"Reva. Kamu enggak apa-apa kan?" tanya Felly khawatir, namun Reva justru terdiam dengan air mata meluncur di pipi putihnya, Reva menangis dengan fakta yang menamparnya telak.
"Sekarang kamu percaya kan? Kamu dan Biyan itu enggak bisa bersama, karena ada anakku yang harus dipertanggungjawabkan. Bagaimana nasib dia kalau kalian menikah? Bagaimana masa depan dia? Lahir tanpa seorang ayah? Kamu tega, Re?" tanya Denada marah, yang hanya bisa Reva diami tanpa bisa berkata apa-apa.
"Stop, De. Aku tahu kamu hamil, tapi kamu enggak harus menekan Reva untuk mengalah sama kamu. Sejak awal, kamu yang salah, kamu yang sudah masuk ke dalam hubungan mereka, enggak seharusnya kamu datang meminta pertanggungjawaban di saat mereka ingin bahagia." Felly berujar serius ke arah Denada, tangannya masih merengkuh tubuh Reva yang terlihat lemah dan hampa.
"Kamu pikir, aku bahagia di posisi ini? Enggak, Fell. Kalau memang sejak awal aku yang salah sudah masuk ke hubungan mereka, seharusnya Biyan enggak berusaha menyulutkan cinta di hatiku. Dia datang sendiri menemuiku, merayuku, menggodaku. Di saat aku sudah terlanjur masuk di hubungan mereka, dengan mudahnya Biyan mau mengeluarkan aku, sedangkan di perutku ada benih dia yang harus aku besarkan. Bagaimana aku bisa melalui ini semua sendiri? Bagaimana caranya?" tanya Denada marah, membuat Felly terdiam dan Reva semakin tertekan.
Part 04
Di rumahnya, Reva pulang dengan dibantu Felly yang sedari tadi menemaninya selama di perjalan. Sebagai seorang sahabat, Felly tidak mau Reva kenapa-kenapa saat di jalan. Ia tahu perasaan Reva sedang tidak baik-baik saja sekarang, sahabatnya itu pasti masih syok dengan kabar yang baru diterimanya.
Padahal Reva sudah begitu baik mau memaafkan Biyan dan bahkan mereka mau ke jenjang hubungan yang lebih serius yaitu pernikahan. Kabar kehamilan Denada begitu menghancurkan hati Reva, tidak hanya dia, Felly pun merasa belum percaya dengan kabar itu, merasa tidak terima dengan apa yang sudah mereka lakukan pada Reva.
"Reva," panggil Tina dari arah tangga, saat mendapati putrinya terlihat lemah tak berdaya dengan Felly sebagai penopangnya.
"Reva, kamu kenapa, Sayang? Reva," panggil Tina setelah sampai di depan tubuh putrinya, namun putrinya itu justru diam membisu, tatapannya kosong, membuat Tina semakin mengkhawatirkannya.
"Felly. Sebenarnya Reva kenapa? Dia kenapa bisa seperti ini?"
"Kita turunkan Reva ke sofa dulu ya, Tante. Nanti saya akan ceritakan masalahnya." Mendengar itu, Tina mengangguk lalu membantu Felly untuk mendudukkan Reva ke arah sofa.
Hal itu juga diketahui Alfan, papa Reva yang baru mendengar ada sesuatu hal aneh dari arah luar kamarnya. Untungnya hari itu ia libur, jadi tahu dengan apa yang sedang terjadi pada putrinya. Tanpa berpikir panjang lagi, kakinya berjalan cepat ke arah ruang tamu, dan mendapati Reva terkulai lemah di sana.
"ADA APA INI, MA? REVA KENAPA?" tanyanya dengan nada meninggi, sebagai putri kesayangannya, tentu saja Alfan merasa tidak bisa melihat Reva kenapa-kenapa.
"Pa, tenang dulu. Reva enggak apa-apa kok, Felly akan cerita semuanya, Papa jangan emosi ya?" Tina berusaha menenangkan suaminya, ia yang paling tahu bagaimana marah suaminya itu bila mendengar Reva sedang tidak baik-baik saja.
"Bagaimana Papa enggak emosi, Reva lemas kaya gini, dia pasti kenapa-kenapa kan?" Alfan mendudukkan tubuhnya di samping putrinya, menatapnya penuh rasa tak berdaya, putri kesayangannya itu menangis dengan ekspresi hampa. Apa yang salah, Alfan ingin tahu kejelasannya.
"Papa ...." Reva memeluk tubuh Alfan, menangisi semua lukanya pada bahu lebar itu.
"Ada apa, Re? Cerita sama Papa, kamu ini kenapa?"
"Biyan, Pa."
"Iya, Biyan kenapa?"
"Dia ...." Reva semakin menangis, membuat orang tuanya kebingungan sekaligus mengkhawatirkannya. Di sisi lainnya, mereka juga tidak mau memaksa Reva untuk bercerita, mereka terlalu menyayangi putri cantiknya itu.
"Felly, sebenarnya ini ada apa? Reva kenapa?" tanya Tina baik-baik ke arah Felly, begitupun dengan Alfan, Papa Reva itu juga ingin tahu yang sebenarnya sudah terjadi. Sedangkan Reva masih menangis di pelukannya, ia belum sanggup menceritakan rasa sakitnya.
"Begini, Tante, Om. Kemarin Reva memergoki Biyan berselingkuh dengan Denada, tapi entah bagaimana Reva mau memaafkan Biyan, mereka bahkan ingin menikah. Saya sempat kecewa mendengarnya, karena saya tahu Biyan itu bukan lelaki baik untuk Reva, tapi saya melihat Reva bahagia, jadi saya berusaha menerimanya dan mendoakan mereka saja. Tapi tadi siang, Denada datang ke tempat saya dan Reva biasa nongkrong, di sana dia ingin Reva membatalkan pernikahannya, karena dia sedang hamil anak Biyan." Felly berusaha menjelaskan sepengetahuannya, yang tentu saja hal itu langsung membuat Tina syok, merasa tidak percaya saja bila Biyan, lelaki yang dikenalnya baik dan sopan bisa berbuat bejat.
"Apa? Denada hamil anak Biyan?" tanya Tina tak percaya, ia bahkan tidak tahu mereka berselingkuh.
"Iya, Tante. Hubungan mereka sudah cukup lama, tapi Reva selalu mempercayai Biyan, tapi baru kemarin Reva memergokinya sendiri. Setelah semua itu, Reva masih mau memaafkan Biyan, tapi yang dia dapat sekarang malah sebaliknya ...."
"Kurang ajar," geram Alfan lirih, matanya menyulutkan api kemarahan yang mungkin tidak akan mudah padam.
"Telefon Revan, Reyhan, dan Rian untuk segera pulang ke rumah, Ma. Papa enggak mau tahu, sesibuk apapun pekerjaan mereka sekarang, mereka harus segera datang." Alfan berujar serius, nada suaranya terdengar tidak ingin dibantah, membuat Tina mengangguk dan menyetujuinya.
"I-iya, Pa." Kalau sudah seperti ini, Tina tidak akan bisa membantah keinginan suaminya, ia tahu bagaimana mengerikannya suaminya bila sedang marah.
***
Reyhan berjalan malas ke rumah orang tuanya setelah mamanya menghubunginya untuk segera pulang ke rumah, padahal hari ini ia ada meeting penting, tapi harus dibatalkan karena papanya ingin berbicara dengannya. Reyhan sendiri tidak tahu kenapa papanya mau berbicara di waktu siang terlebih lagi saat ia sedang bekerja seperti sekarang, padahal dia sendiri yang selalu mengajarkan anak-anaknya untuk selalu menghargai waktu saat bekerja.
Di tengah pemikirannya itu, Reyhan disadarkan oleh suara mobil yang baru saja datang, tepatnya di halaman rumah orang tuanya, mobil milik kakaknya terparkir di sana. Itu artinya tidak dirinya saja yang akan menemui papanya, tapi juga kakaknya.
"Kok lo ada di sini, Rey?" tanya Revan setelah turun dari mobil.
"Disuruh Papa pulang. Kalau lo?"
"Sama. Gue juga disuruh Papa pulang. Ada apa ya?" tanya Revan kebingungan, namun adiknya itu justru menaikkan bahu.
"Mana gue tahu?" Reyhan menjawab tak peduli, membuat Revan muak melihatnya.
"Itu Rian juga baru datang, padahal kan dia harus kuliah, berarti Papa punya berita penting." Reyhan menunjuk ke arah adiknya yang berlari-larian setelah turun dari taksi yang ditumpanginya.
"Mungkin," jawab Revan singkat sembari menatap ke arah adiknya yang terlihat buru-buru datang.
"Ha ... kok Kak Revan sama Kak Reyhan pulang juga? Papa yang menyuruh untuk pulang ya?" tanya Rian ngos-ngosan.
"Iya. Atur aja nafas lo, bisa-bisanya lo tanya dengan nafas setengah kaya begitu. Lo belum jadi dokter sudah mau sekarat, mau latihan jadi pasien apa bagaimana?" sungut Reyhan tak percaya yang hanya Rian cengiri.
"Maaf, Kak. Aku tadi buru-buru, kata Mama aku harus cepat pulang, atau kalau enggak, Papa yang akan bunuh aku." Rian menjawab sejujurnya, membuat kedua kakaknya terdiam karena mendapatkan ancaman yang sama dari Mama mereka.
"Kayanya ada hal penting yang mau Papa kasih tahu ke kita." Revan mengangguk paham yang disetujui adik-adiknya.
"Iya, sebaiknya kita cepat-cepat." Reyhan berjalan masuk ke dalam rumah, diikuti Revan dan Rian di belakangnya.
Sesampainya di dalam, suasana rumah justru tampak sunyi, tidak ada orang yang berada di ruang tamu kecuali papanya. Mereka sempat terkejut melihat papa mereka duduk dengan posisi tenang seperti itu, seperti patung dingin yang mampu membunuh siapapun yang melihat matanya. Membuat ketiga bersaudara itu bergidik ngeri, merasa ada masalah besar yang ingin papanya sampaikan.
"Revan, Reyhan, Rian. Sini kalian!" pintanya dingin dan tegas, membuat mereka buru-buru datang untung menghadapnya.
"Duduk kalian!" pintanya lagi yang membuat mereka segera duduk tanpa banyak bertanya, tatapan mereka bahkan tertunduk, tidak ada yang berani menghadap ke arah Alfan sekarang.
"Kalian tahu kenapa Papa memanggil kalian sekarang?"
"Tidak, Pa." Mereka menjawab serempak.
"Kalian tahu Biyan kan?" tanya Alfan yang kali ini berhasil mendapatkan tatapan dari ketiga putranya.
"Tahu, Pa."
"Siapa dia?"
"Pacarnya Kak Reva, Pa."
"Bagus." Alfan menjawab tenang, namun tidak dengan putra-putranya yang merasa kebingungan.
"Ada apa, Pa? Apa ada masalah?" tanya Revan kali ini yang ditatap serius oleh adik-adiknya yang juga ingin tahu.
"Biyan sudah berani menyelingkuhi Reva, Kakak kalian. Bahkan dia berselingkuh dengan teman dari Kakak kalian yaitu Denada. Sekarang Denada hamil anak dia, Reva sampai syok, dia terus menangis, Papa enggak terima, kalian harus beri Biyan pelajaran, supaya dia enggak berani mendekati Kakak kalian lagi." Alfan berujar serius ke arah putra-putranya, membuat mereka sempat geram meski pada akhirnya Reyhan mendongak dengan senyum menyeringai.
"Papa yakin? Mungkin masalah ini bisa berdampak pada perusahaan." Reyhan menaikkan salah satu alisnya, bibirnya masih tersenyum dengan bentuk yang sama.
"Papa enggak peduli," jawab Alfan mantap, kerja samanya dengan perusahaan orang tua Biyan sudah tidak lagi ia pedulikan, baginya menjauhkan Reva dari bajingan itu adalah hal yang paling utama.
"Bagus, Pa." Reyhan tersenyum senang, tubuhnya berdiri penuh percaya diri lalu menatap ke arah kakak dan adiknya.
"Rian, Kak Revan, ayo kita kasih lelaki brengsek itu pelajaran, supaya dia berpikir ulang kalau mau mengganggu Kak Reva lagi." Reyhan melangkahkan kakinya, diikuti saudara-saudaranya yang mengangguk setuju dengan ajakannya.
***
Seperti hari-hari biasa, Biyan masih sibuk dengan pekerjaannya di kantor orang tuanya. Sampai saat kesibukannya itu terganggu, setelah mendengar keributan di luar ruangannya. Biyan yang merasa penasaran dengan apa yang terjadi di luar sana seketika mendirikan tubuhnya, ia harus tahu apa yang sedang terjadi di kantornya.
"Cepat panggil bos lo atau gue akan temui dia sendiri di ruangannya." Reyhan menggebrak meja di hadapan sekretaris yang sedari tadi melarangnya untuk masuk. Sedangkan di belakangnya ada Revan dan Rian yang menunggunya, keduanya bahkan tampak tak sabar ingin menghajar Biyan.
"Ada apa ini?" Biyan yang baru datang seketika bertanya, ekspresinya tampak bingung melihat adik-adik Reva datang ke kantornya dengan marah-marah.
"Reyhan, Revan, Rian. Ada apa? Kenapa kalian sampai seperti ini di kantorku?" tanyanya lagi, namun Reyhan justru tersenyum miring, terkesan lebih menakutkan dari pada wajah tenang Revan dan Rian.
"Menurut lo ada apa, Brengsek?"
"Lo kok enggak sopan sih ke gue? Ingat ya, Reva bakal menikah sama gue, itu artinya gue bakal jadi Kakak ipar kalian. Seharusnya kalian bisa jaga attitude di depan gue, enggak kaya preman pasar kaya gini." Biya menjawab marah, ia merasa tak terima dengan ucapan Reyhan yang terkesan merendahkannya.
"Bacot," jawab Reyhan marah sembari memberi satu tinju di pipi Biyan, membuat empunya mengeluh kesakitan.
"Lo mukul gue? Kenapa? Gue salah apa?" Biyan menatap tak terima ke arah Reyhan, namun lelaki itu justru tersenyum seolah semakin ingin menantangnya.
"Salah lo banyak. LO SUDAH MENYELINGKUHI KAKAK GUE," sentak Reyhan dengan kembali meninju pipi Biyan, membuat lelaki itu terkejut mendengar ucapannya.
"Dan ini dari gue, KARENA LO SUDAH BUAT KAKAK GUE NANGIS," sahut Revan dengan melakukan hal yang sama.
"Dulu gue memang setuju lo dekat sama Kak Reva, tapi sekarang sorry, bagi gue lo cowok menjijikkan yang harus dimusnahkan." Rian menarik kerah kemeja Biyan, lalu memukul pipi lelaki itu, padahal selama ini ia yang paling tidak suka kekerasan di keluarganya, namun saat mendengar kakaknya menangis, ia berpikir harus membuat pelakunya menderita.
"Gue memang menyelingkuhi Reva, tapi gue sudah minta maaf, gue bahkan sudah melamar dia, dan dia terima gue. Harusnya masalah ini enggak perlu diperpanjang lagi, apalagi sampai kalian harus ikut campur kaya gini." Biyan mendirikan tubuhnya, berusaha membela dirinya, namun lagi-lagi mendapatkan senyuman yang sama dari mereka.
"Kakak gue enggak akan mau menikah sama lo, brengsek. Jadi enggak usah kepedean lo." Reyhan menekan dada Biyan, membuat lelaki itu kebingungan.
"Kalian enggak percaya? Biar gue telepon Reva dan kalian bisa dengar sendiri jawaban dia. Kalian harus tunggu." Biyan menahan mereka dengan gerakan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mengetik ponsel untuk menghubungi Reva.
Sekali dua kali Biyan menghubungi, Reva tidak mengangkat teleponnya. Membuat Biyan merasa resah, merasa ada yang salah dengan wanita itu. Di dalam hati Biyan bertanya-tanya ada apa dengan Reva, bukankah mereka sudah baikkan, seharusnya wanita itu mau mengangkat teleponnya sekarang.
"Bagaimana? Kakak gue mau enggak terima telepon dari lo?" tanya Revan sinis, tubuhnya bahkan semakin maju ke arah Biyan sekarang.
"Tapi kenapa? Bukannya Reva sudah mau memaafkan gue? Dia bahkan terima lamaran gue." Biyan terlihat kebingungan, membuat Revan, Reyhan, dan Rian semakin geram.
"Itu karena lo sudah selingkuh dengan Denada sampai dia hamil, jadi Kakak gue enggak mau lagi kenal sama lo, COWOK BRENGSEK." Revan memberikan pukulan ke arah wajah Biyan, namun lelaki itu justru terkejut baru mendengar kabar itu, ia bahkan tidak berkutik saat Rian dan Reyhan turut memukulinya.
"Jangan pernah ganggu Kakak gue!"
"Lo harusnya mati."
"Cowok brengsek."
Part 05
Reva terdiam di kamarnya, ia masih terlihat murung, bahkan tidak mau makan, membuat Papa dan mamanya khawatir melihat kondisinya. Sebelum ini Reva tidak pernah sampai seperti ini, bagi orang tuanya Reva adalah sosok putri yang manis, jarang sekali ia memperlihatkan kemarahannya, sebesar apapun kekecewaannya. Namun sekarang, Reva justru lebih menyedihkan dari saat dia marah karena diganggu adik-adiknya. Hal itu tentu saja membuat orang tuanya resah, mereka bahkan sampai tidak menyangka Reva bisa mengalami pengalaman percintaan yang menyedihkan.
"Ma, Pa." Suara Reyhan terdengar dari ambang pintu, sedangkan Revan dan Rian juga ada di sana. Tina dan Alfan yang melihat mereka seketika berdiri dan berjalan ke sana, setelah berpamitan ke Reva melalui sentuhan tangan.
"Bagaimana? Kalian sudah berhasil memberi Biyan pelajaran? Papa enggak mau ya dia mengganggu Reva lagi." Alfan bertanya serius setelah keluar dari kamar bersama dengan istrinya.
"Sudah kok, Pa. Papa tenang aja. Dia enggak akan berani menemui Kak Reva lagi, kalau dia masih berani melakukannya, kita akan hajar dia lagi." Reyhan menjawab mantap yang diangguki setuju oleh saudaranya yang lain.
"Bagus."
"Kalian enggak berlebihan kan memukul Biyan? Mama cuma enggak mau kalian mendapatkan masalah," tanya Tina yang disenyumi semua putranya.
"Enggak kok, Ma." Mereka menjawab bersamaan, tatapan mereka seolah mengisyaratkan hal lain.
***
Di sisi lainnya, Reva mengelak malas saat mendapati telepon dari Biyan. Ia benar-benar kecewa sekarang, rasanya hampir tidak mungkin memaafkan lelaki itu sekali lagi. Hatinya benar-benar merasa hancur, seolah tidak bisa lagi utuh meski direkatkan lagi oleh kenangan-kenangan indah mereka. Padahal sudah banyak impian yang ingin diwujudkannya bersama lelaki itu, namun sayangnya semua hancur dalam sekejap mata, saat Denada mengabarkan kehamilannya.
Sayang. Tolong angkat teleponku, aku ingin menjelaskan semuanya.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Reva, namun bagi empunya hal itu tidak lah berguna. Karena tidak ada yang bisa dijelaskan lagi, semua sudah jelas, ia dan Biyan tidak akan bisa bersama. Ada pembatas besar yang mengharuskan Reva untuk melepaskan hubungan yang sebenarnya ingin ia perjuangkan, sebuah janin yang harus mendapatkannya pertanggungjawaban.
Reva kembali menangis, hatinya semakin sakit saat harus mengingat semua tak lagi bisa dipertahankan. Kenapa harus ada kesalahan terbesar itu, sedangkan hatinya selalu berusaha siap memaafkan kesalahan lainnya. Untuk saat ini Reva lebih memilih menyerah, ia akan berusaha melupakan Biyan demi janin yang dikandung Denada, karena bagi Reva luka hatinya tak akan bisa dibandingkan dengan perasaan anak Biyan nantinya.
Reva mematikan teleponnya dan mengambil SIM kartunya, ia berniat menutup akses Biyan untuk menjalin komunikasi lagi dengannya. Reva benar-benar harus siap, meski ia tahu semua itu tidaklah mudah.
***
Gio berjalan lunglai ke kamarnya, ia berniat tidur dan beristirahat setelah sehari semalaman menuruti keinginan perempuan yang menyewanya. Namun matanya justru mendapati Leon tengah tengkurap di ranjangnya, membuat Gio yang melihatnya muak, sahabatnya itu hanya menumpang di apartemennya, namun sikapnya seolah dia lah sang pemilik rumah.
"Le, lo enggak kerja?" tanya Gio sembari membuka kemejanya, namun sahabatnya itu justru enggan menjawabnya, padahal matanya sedang terbuka lebar di wajahnya.
"Le, gue tanya sama lo. Kok lo malah kaya orang bego sih? Lo kenapa?" Gio membaringkan tubuhnya, tepat di samping Leon, sahabatnya.
"Gue tadi ketemu cewek cantik." Leon membalikkan tubuhnya ke arah langit-langit kamar, tatapannya seperti bahagia dan sedih.
"Terus kenapa? Setiap hari lo juga ketemu cewek cantik kan? Pelanggan lo juga banyak yang cantik." Gio tersenyum heran, ucapan sahabatnya itu terdengar konyol di telinganya.
"Dia beda," jawab Leon terdengar lelah.
"Oke. Terus lo kenapa? Apa hubungan lo lihat cewek cantik dengan lo bersikap aneh kaya gini?"
"Masalahnya dia cewek baik-baik. Lo tahu kan seberapa buruknya kesan gigolo di mata cewek kaya dia? Gigolo itu enggak pernah ada baiknya."
"Ya iya lah, Bego. Gigolo mana ada yang baik? Apalagi pantas sama cewek yang lo maksud itu, cewek baik-baik." Gio tersenyum meremehkan, sahabatnya itu mulai berpikir aneh atau bagaimana, ucapannya justru terdengar lain dari biasanya.
"Begitu ya?" Leon menghembuskan nafas panjangnya, ia merasa tertusuk dengan jawaban Gio, seolah ia tidak akan pernah bisa pantas bila disandingkan dengan wanita yang ditemuinya hari ini. Seorang wanita cantik yang sedang membagi-bagikan makanan ke anak jalanan, Leon tidak sengaja melihatnya, namun langsung jatuh cinta di pandangan pertama.
"Lo kenapa?" tanya Gio penasaran.
"Enggak apa-apa kok, gue cuma lagi merasa kotor."
"Lo belum mandi? Memangnya lo dari mana?"
"Bukan itu maksud gue ...."
"Terus apa?"
"Sudahlah, cowok yang sudah kebanyakan dosa kaya lo mana bisa paham." Leon membangunkan tubuhnya dan berjalan ke arah kamar mandi, meninggalkan Gio yang keheranan melihat sikap anehnya.
"Apaan sih lo enggak jelas banget?" sungut Gio tak percaya, sahabatnya itu semakin aneh setiap harinya.
***
Felly tersenyum setelah membuka pintu rumahnya, karena di depannya saat ini sedang ada Reva, sahabatnya. Padahal nomornya sudah lama tidak aktif, Felly sering menghubunginya dan bahkan menemuinya di rumah, namun selalu mendapatkan penolakan dengan alasan Reva belum bisa bertemu dengan siapapun kecuali pihak keluarga.
"Reva? Kamu ke sini?" tanya Felly tak percaya, membuat Reva tersenyum mendengarnya, sahabatnya itu masih seperti Felly yang dulu, Felly yang selalu tulus saat berteman meski ia sering mengecewakannya.
"Kenapa? Enggak boleh ya aku ke sini?"
"Kamu ngomong apa sih? Ya boleh lah." Felly merengkuh lengan Reva, lalu mengajaknya untuk pergi ke kamarnya.
"Kita ke kamarku ya," ujarnya yang diangguki setuju oleh Reva. Sesampainya di sana, Felly menggiring Reva untuk duduk di sofanya, tempat favorit sahabatnya saat berada di kamarnya.
"Bagaimana kabar kamu?" Felly memulai obrolan ringan, ia tahu sahabatnya itu belum bisa bercerita tentang kisah cintanya dengan Biyan yang harus kandas di tengah jalan.
"Aku baik."
"Syukurlah, aku ikut senang dengarnya." Felly tersenyum tulus, membuat Reva merasa bersalah saat melihatnya. Selama ini ia selalu mengecewakan sahabat baiknya itu, ia selalu mengelak saat Felly berusaha memberitahukan perselingkuhan Biyan dengan Denada.
"Aku minta maaf," ujar Reva tiba-tiba, yang ditatap bingung oleh Felly.
"Minta maaf untuk apa?"
"Aku selalu membuat kamu kecewa, aku enggak pernah mau percaya dengan apa yang kamu katakan tentang Biyan. Bahkan saat kamu memperlihatkannya langsung, aku masih mau bersama dengan dia, padahal kamu cuma ingin aku mendapatkan lelaki baik selain dia." Reva menundukkan wajahnya, merasa sangat bersalah dengan sahabatnya.
"Aku enggak apa-apa kok, Re. Aku malah lega kamu sadar sebelum kamu menikah dengan Biyan. Kalau kamu tahu setelah menikah, mungkin itu akan menjadi penyesalan terbesar di hidup kamu. Aku senang, Tuhan masih sayang sama kamu." Felly menyunggingkan senyumnya, membuat Reva merasa lega, sahabatnya itu memang memiliki hati baik.
"Terima kasih." Reva berujar tulus yang diangguki oleh Felly.
"Aku boleh menginap di sini? Aku mau menenangkan pikiranku. Jujur, aku belum bisa melupakan Biyan, tapi aku harus tetap melakukannya kan? Hanya saja, semua masih terasa sulit ...." Reva menghembuskan nafas gusarnya tanpa mau menatap ke arah Felly, di dalam hati ia tak yakin sahabatnya itu masih mau membantunya, lagi.
"Tentu saja boleh. Kapanpun kamu mau tidur di sini, aku akan selalu menerima kamu, Re. Kita kan masih berteman, aku malah senang kalau kamu masih mau tidur di sini."
"Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik untukku, Fell. Aku harap, kamu enggak pernah merasakan apa yang sudah aku rasakan. Kamu terlalu baik untuk terluka, apalagi hanya karena pria."
"Sudahlah, lebih kamu istirahat dulu ya? Aku mau mandi, aku tinggal sebentar enggak apa-apa kan?" tanya Felly memastikan yang digelengi kepala oleh Reva.
"Enggak apa-apa kok. Kebetulan aku bawa laptop, aku akan main game di sini." Reva menunjukkan laptop kesayangannya, yang diangguki mengerti oleh Felly lalu mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.
Saat sedang asyik memainkan sebuah game online, Reva justru mendapatkan iklan dari sebuah web. Di sana ada penjelasan singkat di mana mereka menawarkan gigolo yang mungkin bisa menjadi solusi tepat untuk para wanita kesepian, wanita sedih, atau yang sedang berjuang melupakan lelaki yang mereka cintai. Di iklan itu juga dijelaskan, bila gigolo yang mereka tawarkan akan melakukan apapun yang para pelanggan inginkan.
Membaca hal itu, Reva justru tertarik mencobanya. Karena mau bagaimana pun Reva masih belum melupakan bayang-bayang Biyan, mungkin dengan menyewa lelaki tampan, ia bisa lebih mudah melupakan mantan kekasihnya itu.
Tanpa berpikir panjang, Reva mengeklik iklan tersebut, di sana ia memasuki sebuah web di mana banyak tulisan yang menjelaskan keuntungan-keuntungan apa saja yang ia dapat dari segi mental. Di web tersebut juga menjelaskan bila banyak penyewa gigolo biasanya memiliki masalah percintaan, dan hal itu yang sedang Reva rasakan.
Sebenarnya Reva tahu pekerjaan gigolo itu seperti apa, mereka semacam pelacur yang akan melayani penyewanya, namun di web ini gigolo-gigolo yang mereka tawarkan berbeda. Para lelaki yang dipajang pasti lah tampan, hal itu tidak lah membuat Reva kagum. Namun satu hal yang membuatnya tertarik, bila menyewa seorang gigolo bisa saja menjadi jalan alternatif untuk melupakan seseorang.
"Apa aku harus menyewa satu supaya aku bisa melupakan Biyan? Aku juga bisa melampiaskan semuanya pada gigolo itu kan? Yang penting aku membayarnya." Reva menyunggingkan senyumnya, rasa sakit hatinya ingin sekali memukul lelaki, namun tidak bisa mengingat dirinya tidak memiliki teman lelaki, kecuali adik-adiknya. Bila Reva berani melakukannya ke mereka, yang ada orang tuanya akan memarahinya, karena bagi Mama dan papanya, adik-adiknya itu anak mereka yang sama berharganya.
"Baiklah, aku akan memesan satu gigolo yang sudah profesional, supaya dia siap dengan apa yang akan aku lakukan." Reva mulai memilah gigolo mana yang akan dipilihnya, di sana juga tersedia foto dan video lelaki beserta data diri mereka, bahkan review dan bintang yang sudah mereka dapatkan.
"Gigolo di sini bahkan memiliki level?" Reva bergumam tak percaya, sepertinya dunia memang semakin dibuat praktis meski hal tabu sekalipun.
"Berarti aku hanya harus memilih level tertinggi, level platinum. Siapa review-nya yang paling bagus?"
"Gio? Gio Devano? Ya, dia mendapatkan banyak bintang lima, pelanggannya banyak yang puas dengan kesabarannya saat bekerja. Bayarannya selama sehari semalam sepuluh juta? Lumayan juga harganya, tapi enggak apa-apa lah, mungkin aku bisa melupakan Biyan dengan cara ini."
"Sebaiknya aku memang harus memilih dia, dan aku akan menyewanya selama sebulan." Reva semakin mantap dengan keinginannya, ia bahkan sudah mengajukan penyewaan yang harus menunggu diterima atau tidaknya ia sebagai penyewa. Ia bahkan tidak peduli dengan harga yang akan ia bayar nantinya, yang penting hatinya bisa merasa tenang atau mungkin bisa melupakan Biyan.
***
Gio mendelikkan matanya saat mengetahui ada wanita yang akan menyewanya selama sebulan, bahkan tanpa menawar harga sewanya. Tentu saja Gio langsung mencari tahu wanita seperti apa yang mau menyewanya selama itu, di sana penyewanya itu juga menampilkan fotonya, seorang wanita cantik yang bahkan masih tampak muda.
"Serius? Dia mau menyewa gue selama sebulan? Padahal dia kan cantik, tapi malah suka cowok gigolo?" Gio bergumam heran, meski pada akhirnya ia akan menerima wanita itu untuk menjadi penyewanya.
"Gue terima aja kali ya, dari pada nanti dia berubah pikiran dan cari gigolo lain, lumayan kan tiga ratus juga selama sebulan." Gio menyinggungnya senyumnya, merasa bahagia bisa mendapatkan penyewa cantik dan kaya. Sebagai gigolo yang sudah terkenal dengan kinerjanya, Gio akan bekerja sebaik mungkin bahkan lain dari biasanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
