GRATIS || MY DEAR ENEMY (Part 16 - Part 20)

3
0
Deskripsi

"Tolong terima saja perjodohan ini, aku janji enggak akan menyentuhmu bahkan setelah kita menikah, tapi kalau kamu yang menginginkannya juga enggak apa-apa."

Seorang bad boy yang dulu sering merundungnya, memintanya untuk menerima perjodohan dengannya? Bisa kalian percaya? Tidak. Allena tidak akan percaya kecuali lelaki itu menikahinya untuk melanjutkan misi membully dan menyiksanya lagi.

Tentu saja Allena menolak dengan keras, ia bahkan masih ketakutan mengingat apa yang sudah lelaki itu lakukan...

Part 16

Rian menghela nafas sembari memutar bola matanya saking lelahnya ia dengan masalah hidupnya, ditambah ia juga memiliki sahabat seperti Fikri dan Nando, yang itu artinya ia juga harus membagi kisahnya pada mereka. Kalau masalah dengan keluarganya, mungkin kedua temannya itu tidak akan terkejut seperti sekarang, namun sayangnya mereka tampak terkejut setelah mendengar nama yang baru ia sebut.

"Iya, Allena." Rian menjawab dengan sabar.

"Kok jadi Allena? Bukannya lo sama dia sudah enggak pernah ketemu ya?" tanya Fikri kali ini.

"Gue sudah sering ketemu kok sama dia."

"Oh ya? Di mana? Dan kok bisa?"

"Di kantor gue, dia kerja di sini." Rian menjawab santai, sorot matanya tentu tak memantulkan kebohongan, namun kedua temannya itu tampak tidak mempercayainya.

"Apa? Allena kerja di sini? Bercanda kan lo?" Nando sangat terlihat tidak percaya, namun Rian justru menatapnya seolah ingin membuktikannya dengan ekspresi keseriusannya.

"Rian enggak mungkin bercanda, dia mana bisa bercanda?" sahut Fikri terlihat tak yakin namun masih berusaha mempercayai.

"Jadi lo serius? Cewek itu kerja di sini?" tanya Nando yang diangguki oleh Rian.

"Tapi tadi kok gue enggak lihat dia ya? Memangnya dia kerja di bagian apa?"

"Karyawan biasa."

"Lah bukanya dia anak orang kaya ya? Kok dia mau-maunya sih kerja di sini? Apa keluarganya sudah jatuh miskin ya?" Fikri menyahut tak habis pikir.

"Iya, orang tua dia kan kaya. Enggak mungkin lah dia mau kerja di sini," timpal Nando masih tak percaya.

"Kalian masih ingat kan kenapa gue membully Allena dulu?" tanya Rian serius sembari menatap ke arah Fikri dan Nando yang mengangguk paham.

"Ingat lah. Lo mau dia membenci lo kan? Dengan begitu, rencana perjodohan kalian bisa dibatalkan, karena akan mustahil kalau dia masih mau menikah sama lo nanti," jawab Nando yang diangguki Fikri.

"Nah, sekarang orang tua gue dan orang tua Allena berencana mendekatkan gue sama dia, caranya ya dia kerja di sini." Rian menjawab tenang, namun tidak dengan kedua temannya.

"Kok dia mau sih kerja di sini? Gue pikir, rencana lo dulu berhasil buat dia membenci lo."

"Berhasil kok, bahkan sampai sekarang pun dia masih membenci gue. Tapi orang tuanya aja yang bohongi dia, makanya dia bisa kerja di sini."

"Tunggu deh. Gue masih enggak ngerti, bukannya kalau Allena kerja di sini itu berarti rencana perjodohan orang tua kalian itu akan berhasil ya? Maksud gue, mereka ingin mendekatkan kalian kan, nah sekarang kalian kerja di tempat yang sama, tapi kenapa lo masih ditampar? Sampai lo enggak mood ke panti asuhan kaya gini." Fikri berujar tak habis pikir, sedangkan Rian hanya menghela nafas panjangnya.

"Itu karena Allena berhasil mempengaruhi orang tuanya untuk membatalkan perjodohan ini, meskipun itu artinya rencana gue dulu itu berhasil, tapi sekarang gue malah menyesalinya." Rian tampak kecewa yang tentu membuat kedua temannya kebingungan.

"Kenapa lagi? Bukannya ini ya yang lo mau?"

"Jangan bilang lo suka sama Allena!" sahut Nando yang berhasil mengejutkan Fikri.

"Si Anjing, mana mungkin lah Rian suka sama Allena?" sahut Fikri tak habis pikir karena hal itu tidak masuk akal mengingat betapa kejamnya temannya itu mengganggu adik kelas mereka tersebut, namun saat menatap Rian yang terdiam seolah membenarkan, Fikri dan Nando seketika melongo.

"Bangsat, kayanya dia benar-benar suka sama Allena."

"Anj ... kenapa lo enggak pernah bilang ke kita?"

"Memangnya apa untungnya kalau gue bilang ke kalian?" Rian menjawab tak habis pikir.

"Ya tapi tetap aja lo harusnya cerita ke kita," elak Nando.

"Meskipun cerita ya buat apa? Gue juga enggak mau menikah sama Allena, jadi enggak akan ada yang berubah."

"Kenapa?"

"Kalian sendiri tahu kan bagaimana keluarga gue, akan semakin rumit kalau Allena hidup bersama gue, makanya gue membully dia dulu, gue cuma mau dia membenci gue dan menggagalkan perjodohan ini."

"Ya terus kenapa lo merasa menyesal sekarang setelah berhasil buat Allena membenci lo? Dan membatalkan perjodohan kalian?" Nando bertanya tak mengerti begitu pun dengan Fikri saat ini.

"Itu karena Mama gue berjanji akan mempertemukan gue dengan Papa kandung gue kalau perjodohan itu berhasil, maksudnya setelah gue dengan Allena menikah." Rian menjawab jujur, ia tampak tak yakin dengan hal itu, namun ekspresinya seolah tak bisa berbuat apa-apa.

"Gue benar-benar bingung sekarang. Jujur, gue enggak mau menikah dengan Allena, karena gue yakin hidup dia juga enggak akan bahagia sama gue. Tapi kalau gue enggak berhasil menikahi dia, gue juga enggak akan bisa bertemu dengan bokap gue." Rian menangkap wajahnya penuh frustrasi, yang tentu bisa sahabatnya mengerti.

"Satu-satunya cara ya lo harus menemukan bokap lo. Dengan begitu, lo enggak perlu lagi menuruti keinginan gila Mama lo itu." Nando menepuk pundak Rian, berharap bisa sedikit memberinya semangat.

"Gue paham itu. Tapi kalian sendiri juga tahu kan, sudah bertahun-tahun gue cari bokap gue, tapi enggak pernah ketemu. Gue bahkan sudah menyewa orang untuk cari bokap gue ke beberapa kota, dan itu enggak cuma satu atau dua orang, gue sewa sepuluh orang sekaligus tapi hasilnya nihil. Gue enggak pernah mendapatkan informasi sedikit pun tentang bokap gue, seolah bokap gue enggak pernah ada jejaknya."

"Sebelumnya gue minta maaf, tapi jangan-jangan bokap lo ... sudah meninggal ...." Fikri berujar lirih, yang langsung Rian gelengi.

"Enggak mungkin."

"Kenapa lo seyakin itu?" tanya Nando kali ini.

"Mama gue selalu mengirimi gue video terbaru dari bokap gue setiap bulannya, dan kalau dilihat dari kondisinya, bokap gue baik-baik saja tapi kaya enggak bisa berbuat apa-apa."

"Jadi dengan cara itu lo disetir Mama lo?" tanya Nando prihatin, sedangkan Rian hanya menganggukinya penuh frustrasi.

"Gue boleh lihat videonya?" tanya Fikri yang diangguki oleh Rian lalu menyodorkan ponselnya yang sudah terdapat video papanya.

"Gue juga mau lihat." Nando mendekatkan tubuhnya pada Fikri, lalu keduanya melihat secara bersama-sama.

"Kalau dilihat dari ruangannya, bokap lo ada di sebuah kamar pengap tanpa jendela." Fikri menilai video dari seorang laki-laki tua yang tubuhnya sudah kurus dan sedang duduk di sebuah ranjang tidur.

"Iya, karena video-video itu gue semakin ingin menuruti keinginan Mama gue, dengan begitu gue bisa menyelamatkan bokap gue, karena sepertinya bokap gue menderita di sana. Kalian bisa lihat sendiri kan?" Rian menatap kedua temannya yang mengangguk setuju dengan ucapannya.

"Lo enggak coba membuntuti mama lo ke manapun dia pergi? Kali aja, dengan begitu lo jadi tahu di mana bokap lo berada sekarang." Fikri berujar serius yang diangguki setuju oleh Nando.

"Sudah. Gue bahkan menyewa satu orang khusus untuk membuntuti mama gue dan melaporkannya secara langsung ke gue, tapi selama ini mama gue enggak pernah pergi ke tempat yang mencurigakan. Selama ini dia cuma pergi ke kantornya, belanja, ke spa, butik, dan tempat keramaian yang lainnya."

"Mungkin bokap lo berada di luar kota atau tempat pelosok, jadi lo enggak bisa nemuin dia."

"Tapi kenapa ada mama gue di video itu? Kalau benar bokap gue berada di tempat pelosok atau luar kota. Sedangkan mama gue aja enggak pernah pergi ke tempat jauh atau tempat mencurigakan lainnya."

"Masalah lo terlalu rumit, gue enggak yakin bokap lo bisa ketemu dengan mudah, satu-satunya cara ya lo harus menikah dengan Allena." Fikri akhirnya menyerah untuk memikirkan caranya, karena masalah temannya terlalu rumit untuk dicari jalan keluarnya.

"Tapi bagaimana caranya? Sedangkan dia aja membenci gue sekarang."

"Ya lo jangan terlalu kaku lah sama dia, sekali-kali lo memperlakukan dia selayaknya wanita pada umunya, yang harus dilembuti, dimengerti, diberi yang manis-manis, atau apa saja lah yang penting jangan kaya sewaktu kita masih SMA." Kali ini Nando yang memberi Rian saran.

"Susah lah, dia aja enggak pernah dekat dengan wanita manapun." Fikri menyahut tak yakin mengingat temannya itu memang tidak pernah terlihat dengan dekat dengan siapapun selain mereka.

"Iya juga sih. Oh ya, kita jadi enggak ke panti asuhan? Ini sudah terlalu siang, anak-anak di sana pasti sudah tidur sekarang." Fikri menatap ke dua sahabatnya dengan mata bertanya.

"Bagaimana kalau besok? Gue pasti akan ikut, tapi kalau sekarang, gue enggak bisa," ujar Rian yang diangguki mengerti oleh kedua sahabatnya tersebut.

"Oke lah, kita ke sana pagi-pagi ya," jawab Nando yang diacungi jempol oleh mereka berdua.

***

Di meja kantin, Rina bersama dengan Allena tengah makan siang, keduanya menyantap makanan masing-masing, sampai pada akhirnya Rina memulai pembicaraan, padahal saat ini Allena sedang murung seolah ada yang sedang wanita itu pikirkan.

"Na, Na. Kamu tadi lihat enggak?" tanya Rina sembari menepuk pundak Allena.

"Lihat apa?" tanyanya tanpa minat.

"Bukan lihat apa, tapi lihat siapa?" ralat Rina yang ditatap tak mengerti oleh Allena.

"Memangnya siapa?"

"Pak Nando dan Pak Fikri."

"Ha? Siapa mereka? Tapi kok kayanya nama itu enggak asing ya?" jawab Allena sembari mengingat-ingat kedua nama tersebut.

"Mereka itu teman baiknya Pak Rian, kamu tadi lihat mereka enggak? Mereka itu ganteng banget loh, ramah juga lagi, pokoknya baik deh, enggak kaya Pak Rian." Rina menjawab antusias.

"Ah iya, aku baru ingat. Kak Fikri dan Kak Nando, jadi selama ini mereka masih berteman?" tanya Allena tampak tertarik.

"Iya. Tapi kok kamu kaya sudah tahu? Ah iya, kamu kan calon istrinya Pak Rian, mustahil juga kalau kamu enggak kenal mereka."

"Stop bilang aku ini calon istrinya Kak Rian, karena aku enggak akan mau menikah sama dia. Dan kalau soal Kak Nando dan Kak Fikri, aku memang tahu mereka, tapi itu dulu, saat aku sama mereka masih sekolah di SMA yang sama, jadi kalau sekarang aku enggak tahu bagaimana wajah mereka seperti apa? Dan apa tadi kamu bilang? Mereka ramah? Enggak kaya Kak Rian?" tanya Allena yang diangguki oleh Rina dengan ekspresi polosnya.

"Asal kamu tahu ya, Kak Rian dengan kedua temannya itu satu spesies. Mereka itu pembully, pengganggu, tukang rusuh, pokoknya trouble maker banget. Jadi please, stop bilang mereka ramah, karena aku yakin, mereka masih sama seperti dulu." Mendengar ucapan Allena yang begitu menggebu-gebu, Rina jadi ragu dengan keyakinannya tersebut dan yang bisa ia lakukan hanya mengangguk.

"Begitu ya?"

"Iya." Allena menjawab mantap, sedangkan Rina yang tak yakin berusaha untuk mempercayai kata-katanya.

"Oh ya, besok kan kita libur, bagaimana kalau kita ke mall? Kita cari-cari baju, kulineran, terus belanja tas atau sepatu mungkin. Bagaimana?" tawar Allena yang tiba-tiba lupa dengan emosi yang sempat menyulutnya.

"Wah, ide bagus tuh. Aku juga sudah lama enggak pernah ke mall, aku juga mau beli barang-barang baru."

"Nah, bagaimana kalau kita ketemu di sana jam setengah sembilan? Sekalian kita cari sarapan yang enak di sana. Bagaimana?"

"Boleh sih. Oke, berarti ini deal ya?" Rina menyodorkan jari kelingkingnya yang langsung Allena tautkan dengan jari yang sama.

"Deal," jawabnya sembari tersenyum bahagia begitu pun dengan Rina.

 

 

Part 17

Hari ini adalah hari Minggu, di mana Allena sudah berjanji dengan Sinta untuk ke mall bersama. Mereka akan bertemu di tempat parkir dari gedung tersebut, awalnya tidak ada yang aneh, semua berjalan dengan lancar seperti izin orang tua yang entah bagaimana dengan mudah ia dapatkan. Mungkin karena Mama dan Papanya tidak ingin mengekangnya lagi, dan memberinya kesempatan untuk mencari kebahagiaannya sendiri.

Sebagai seorang anak yang kadang main saja dilarang, tentu Allena merasa bahagia sekarang, bisa dilihat dari caranya tersenyum sembari menatap ke arah luar jendela mobilnya. Namun hal itu tak lama, saat sopir dari keluarganya menghentikan mobil yang dikemudikannya di tepi jalan.

"Ada apa, Pak?" tanya Allena kebingungan.

"Saya minta maaf, Non. Sepertinya ban mobil bagian belakang bocor."

"Kok bisa sih, Pak? Memangnya sebelum ini enggak Bapak periksa apa?"

"Sudah, Non. Tapi ya namanya apes kan kita enggak ada yang tahu, jadi meskipun saya periksa sepuluh kali pun kalau kena paku di jalan ya tetap bocor." Sang sopir menjawab logis, tentu saja karena ia tidak mau disalahkan terus.

"Iya sih. Terus bagaimana sekarang, Pak?"

"Non turun aja dulu, saya ganti ban mobilnya, kebetulan di belakang ada ban cadangan. Bagaimana?"

"Ya sudah, saya akan turun." Allena menjawab terpaksa dengan ekspresi cemberutnya lalu turun dari mobilnya, di sana ia memandang sekitarnya lalu berpikir kalau sopirnya berhenti di depan panti asuhan yang tempatnya tak terlalu ramai kendaraan.

Allena sendiri tak terlalu mengawasinya, pandangannya bahkan jatuh pada sebuah trotoar yang akan ia gunakan untuk tempat duduk, karena sepertinya sopirnya itu akan lama mengganti bannya.

"Oh ya, aku belum mengabari Rina kalau aku mungkin akan telat sampai di sana." Sebelum mendudukkan tubuhnya, Allena mengambil ponsel yang berada di tasnya lalu menghubungi Rina yang mungkin masih berada di rumahnya.

"Hallo, Al. Ada apa?"

"Begini, sepertinya aku akan datang telat."

"Oh ya? Kenapa?"

"Mobil yang aku tumpangi bannya kempes, jadi mau enggak mau harus ganti ban dulu, dan kamu pasti tahu kan itu cukup memakan waktu." Allena berujar dengan nada bersalah karena sudah membuat Rina kecewa.

"Begitu ya? Ya sudah, enggak apa-apa. Toh, aku juga masih ada di rumah, jadi aku kesananya nanti saja." Sinta menjawab dengan rasa penuh pengertian.

"Serius? Enggak apa-apa?"

"Ya enggak apa-apa lah. Memangnya kenapa?"

"Ya aku pikir, kamu bakal marah."

"Mana mungkin? Aku enggak masalah kok, jadi untuk apa marah? Oh ya, btw kamu berhenti di mana? Mau aku jemput enggak?"

"Di depan panti asuhan kasih ibu. Kamu enggak usah ke sini jemput aku. Nanti kamu malah bolak balik lagi, rumah kita kan enggak searah."

"Oh begitu? Oke lah. Tadi kamu bilang panti asuhan kasih ibu kan?"

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Enggak apa-apa. Kan itu panti asuhannya Pak Rian dan kedua temannya, bisa dibilang mereka yang mendirikannya, meskipun enggak ikut mengelola tapi mereka itu donatur tetap di sana." Rina menjawab dengan tenang, namun tidak dengan Allena yang mendelik mendengarnya.

"Pak Rian? Maksudnya bos kita?"

"Iya lah. Siapa lagi?"

"Bohong kan kamu?"

"Buat apa aku bohong? Semua karyawan di tempat kita juga sudah tahu semuanya, kan sempat masuk TV panti asuhannya. Memangnya kamu enggak tahu ya?" tanya Rina yang langsung digelengi oleh Allena.

"Enggak. Tapi yang buat aku bingung, untuk apa Kak Rian membangun panti asuhan? Dia kan titisan setan." Allena bertanya tak habis pikir, masih tak percaya dengan kabar yang baru didengarnya itu.

"Enggak cuma kamu, semua karyawan dulu termasuk aku juga merasa bingung. Kok bisa laki-laki sekaku Pak Rian itu mau mendirikan panti asuhan? Tapi saat itu, jawaban yang paling logis ya karena dia dipaksa teman-temannya yaitu Pak Nando dan Pak Fikri, mereka berdua kan baik."

"Baik apanya?" sahut Allena tak terima.

"Itu juga yang sempat buat aku ragu, kemarin kan kamu bilang kalau Pak Rian dan kedua temannya itu sifatnya sama, intinya mereka enggak baik lah. Tapi kenapa mereka mendirikan panti asuhan yang notabenenya kegiatan sosial dalam hal kebaikan kan? Jadi aku pikir, pemikiran kamu tentang mereka itu salah atau mungkin mereka sudah berubah sekarang."

"Masa sih? Mustahil banget apalagi Kak Rian, dia itu makhluk tuhan yang paling kejam, kaya mustahil aja dia mau membantu orang."

"Kalau kamu masih enggak percaya, kamu bisa datangi panti asuhannya lalu tanya ke pengurusnya siapa yang sudah mendirikan panti asuhan itu dan siapa donatur tetap di sana. Kalau jawabannya Pak Rian dan kedua temannya, berarti aku benar, mereka sudah berubah menjadi lebih baik sekarang." Rina menjawab serius yang didiami oleh Allena yang masih meragukannya.

"Kok kamu diam aja? Kenapa?"

"Eh enggak apa-apa, aku cuma lagi memikirkan caranya supaya bisa masuk ke panti asuhan itu. Aku tutup dulu ya teleponnya, nanti aku kabari lagi."

"Oke." Setelah mendengar jawaban Rina, Allena langsung memutuskan sambungan teleponnya dan menoleh ke arah sopirnya.

"Pak, masih lama kan?"

"Iya, Non. Kenapa?"

"Saya mau ke panti asuhan itu, Bapak tunggu sini ya."

"Oke, Non."

Allena melangkahkan kakinya lalu menyebrang jalan dengan menoleh ke kiri dan ke kanan, sampai pada akhirnya ia sampai di depan pintu gerbang panti asuhan yang ingin ia korek informasinya. Tanpa ba-bi-bu lagi, Allena menyapa sang satpam yang kebetulan sedang berjaga di posnya sekarang.

"Selamat siang, Pak."

"Siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"

"Begini, saya ingin sekali masuk ke dalam dan melihat anak-anak yang tinggal di sini. Apa boleh?"

"Tentu saja boleh, Bu. Anda langsung saja ke ruangan Bu Rini, beliau adalah pengurus dari panti asuhan ini." Sang satpam menunjuk ke arah pintu ruangan yang masih membuat Allena kebingungan.

"Yang sebelah mana ya, Pak?"

"Itu-itu, Bu, orangnya yang pakai kerudung kuning. Beliau sedang berjalan ke arah aula sepertinya, Anda langsung temui saja!"

"Oh yang itu ya, Pak?"

"Iya, Bu."

"Baiklah, saya ke sana dulu ya, Pak. Terima kasih."

"Sama-sama, Bu."

Allena menghembuskan nafas panjangnya, berusaha untuk terlibat baik-baik meskipun perasaannya tengah campur aduk sekarang. Allena sendiri merasa aneh, kenapa ia begitu penasaran dengan kehidupan Rian, namun diam dan berusaha tidak peduli rasanya juga sulit untuk ia lakukan.

"Assalamualaikum, Bu Rini." Allena memberi salam saat berada di belakang wanita berhijab tersenyum.

"Wa'alaikum salam. Maaf, siapa ya?" tanyanya setelah berbalik badan dan menatap ke arah Allena yang sempat terdiam.

"Perkenalkan, nama saya Allena."

"Iya, saya Bu Rini. Pengurus panti asuhan ini. Kalau boleh saya tahu, ada gerangan apa ya Anda ke sini?" tanyanya hati-hati.

"Saya cuma mampir sebentar untuk melihat-lihat, Bu. Sekalian saya juga mau menanyakan sesuatu hal ...." Allena menjawab tak yakin.

"Oh ya? Memangnya apa? Kalau saya bisa menjawabnya, saya pasti akan melakukanya."

"Apa benar yang mendirikan panti asuhan ini bernama Pak Rian?"

"Betul. Bukan Pak Rian saja, tapi Pak Nando dan Pak Fikri juga turut andil menyelesaikan pembangunan di panti asuhan ini."

"Jadi itu benar, Bu? Tapi kenapa Anda yang mengurusnya?"

"Itu karena Pak Rian, Pak Nando, dan Pak Fikri yang memberi saya amanah ini secara langsung, mereka bilang pekerjaan mereka di kantor sudah sangat menyita waktu, jadi akan sangat sulit untuk mereka mengelola panti asuhan ini."

"Begitu ya? Memangnya sudah berapa tahun panti asuhan ini berdiri, Bu?"

"Cukup lama. Mungkin sudah lima tahunan. Kenapa ya? Kok sepertinya Anda sangat penasaran?"

"Iya, Bu. Saya memang sangat penasaran."

"Kenapa begitu?"

"Karena Pak Rian yang saya kenal tidak sebaik ini, maksud saya memikirkan orang lain sampai membangun sebuah panti asuhan. Saya pikir itu jauh dari kepribadiannya, jadi saya meragukannya dan ingin menanyakannya langsung pada Anda." Allena menjawab jujur dan sopan, yang tentu saja membuat wanita berhijab itu tersenyum senang.

"Berapa lama Anda mengenal Pak Rian?"

"Cukup lama, mungkin sudah hampir sepuluh tahun lebih. Memangnya kenapa, Bu?"

"Tidak apa-apa. Terkadang mengetahui sifat dan kepribadian seseorang tidak bisa bisa dilihat dari berapa lama kita mengenalnya, karena terkadang orang tua kita saja, tidak bisa sepenuhnya mengenali kita yang sebenarnya."

"Maksudnya?"

"Begini, Anda mungkin sudah lama mengenal Pak Rian, tapi mungkin Anda bukan seseorang yang bisa membuat Pak Rian nyaman untuk memperlihatkan sisi baiknya dan kepribadian dia yang sebenarnya, jadi Anda tidak bisa mengklaim sifatnya seperti apa, hanya dari melihat kebiasaannya setiap hari." Mendengar jawaban wanita itu, Allena seketika terdiam bimbang, merasa tak menyangka dengan jawaban yang baru ia terima.

"Eh ... begitu ya? Mungkin Anda memang benar ...." Allena tiba-tiba merasa bingung harus bagaimana, karena jujur saja ia merasa takut menilai Rian sekarang karena rasa bencinya ia dulu pada laki-laki itu.

"Apa Anda mau melihatnya?" tanya wanita itu yang menyadarkan Allena dari lamunannya, namun karena tak mengerti, ia jadi bertanya kali ini.

"Maksudnya melihat siapa?"

"Pak Rian dan kedua temannya. Kebetulan mereka sedang ada di sini, tepatnya di aula tempat anak-anak bertemu dengan para donatur."

"Maksudnya Pak Rian ada di sini? Di panti asuhan ini? Ka-kalau begitu, saya permisi dulu, saya tidak mau Pak Rian tahu saya datang ke sini." Allena menjawab gelagapan, ia tampak sangat bingung sekarang.

"Kenapa begitu?"

"Tidak apa-apa, saya hanya tidak mau saja."

"Berarti Anda tidak akan bisa memastikan keraguan Anda sendiri."

"Maksudnya?"

"Anda bilang, Anda sempat berpikir kalau Pak Rian tidak mungkin bisa bersikap baik. Jadi mumpung kalian sama-sama ada di sini, kenapa Anda tidak melihatnya secara langsung? Maksudnya saat Pak Rian bertemu dengan Anak-anak dan bagaimana beliau memperlakukan mereka?"

"Tapi ... bagaimana kalau Pak Rian tahu saya ada di sini?"

"Kalau begitu, jangan sampai ketahuan. Bagaimana? Anda mau ikut saya?" tawarnya yang tentu membuat Allena ragu, meskipun di detik berikutnya ia mengangguk setuju.

 

 

Part 18

Di sisi lainnya, Rian dan kedua temannya tengah membagikan mainan pada anak-anak panti asuhan, sesuatu hal yang biasa mereka lakukan saat berkunjung di sana. mainan itu sendiri bukan sesuatu yang mahal, karena terkadang mainan yang Rian bawa adalah mainan yang sedang trend di sekolah SD dan mudah sekali habis karena dikreasikan.

Kalau biasanya setelah mengajari mereka, Rian, Nando, dan Fikri akan membagikan makan siang dan malam yang sudah mereka pasan dan aman datang di jam yang sudah ditentukan. Nah, kalau sekarang waktunya Rian dan kedua temannya itu ikut bermain, membuat anak-anak panti asuhan itu merasa bahagia saking serunya mereka membawakan suasana.

"Nah, kalau kaya gini sih kamu kalah."

"Yahh ...."

"Harus dicoret wajahnya."

"Kok nyoretnya di bawah hidung kan jadi kaya kumis."

"Enggak apa-apa, kamu malah kelihatan manis kok. Ayo main lagi."

Itu lah obrolan mereka diiring hiruk-pikuk suara anak-anak yang lain, yang turut membentuk kelompok untuk bermain permainan yang Rian bawa. Bila dilihat secara seksama, mereka semua tampak sangat bahagia, terutama Rian dan kedua kawannya yang begitu tulus mengajari anak-anak panti asuhan. Sampai tidak menyadari, bila semua sikap mereka itu ditonton dan diperhatikan langsung oleh Allena.

Iya. Allena sejak tadi memang memperhatikan semua orang yang berada di sana, terutama tawa kebahagiaan yang banyak terdengar dari sana, yang sempat membuatnya tak percaya karena itu dilakukan oleh ketiga laki-laki yang sangat dibencinya. Rasanya aneh dan tidak percaya, orang-orang yang begitu kejam membullinya dulu, kini begitu baik pada anak-anak yatim piatu.

"Bagaimana? Sekarang Anda percaya kan?" tanya seorang wanita pada Allena yang sempat menghela nafas seolah sedang kecewa, karena apa yang dilihatnya tidak sesuai dengan bayangannya.

"Iya, Bu. Terima kasih ya sudah memberi saya kesempatan untuk melihat kebahagiaan mereka, kalau begitu saya pergi dulu ya. Assalamualaikum." Allena berpamitan dengan terburu-buru sembari menyalami tangan wanita tersebut, namun karena ia juga merasa malu, akhirnya ia tak mau menunggu jawaban salam dari wanita tersebut.

"Wa'alaikum salam," jawabnya meskipun ekspresinya tampak kebingungan.

"Sebenarnya wanita itu kenapa ya?" gumamnya bingung sembari menatap ke arah punggung Allena yang berlalu. Meskipun tak lama, karena di detik berikutnya tatapannya tertuju ke arah anak-anak panti asuhan lalu menghampiri mereka dengan senyum merekah.

"Kok pipi Kak Rian kaya lebam?" tanya salah satu anak yang sejak tadi diam memerhatikan. Rini yang mendengar itu tentu saja terkejut, dan buru-buru memerhatikan wajah Rian yang saat ini tampak bingung ingin menjelaskan.

"Iya, kemarin sempat Kakak sempat jatuh, makanya lebam." Rian menjawab kaku dengan sesekali memerhatikan temannya yang turut bingung harus bersikap bagaimana.

"Kok bisa sampai jatuh sih, Nak Rian?" tanya Rini terdengar khawatir.

"Iya, Bu. Saya yang teledor, lari-lari sampai tidak lihat jalan, makanya jatuh." Rian menjawab gelagapan, namun sepertinya Rini tidak bisa percaya dengan mudah setelah melihat pipinya.

"Tapi ini kok kaya bukan luka jatuh? Nak Rian berantem lagi ya sama orang?" tebaknya yang didiami oleh Rian dan teman-temannya.

"Eh ...."

"Pasti ini karena berantem kan? Apa enggak bisa masalah itu diselesaikan dengan kepala dingin? Jangan apa-apa pakai kekerasan." Rini mengusap puncak kepala Rian, ia tampak sangat lembut dan perhatian.

"Iya, Bu. Maaf." Sedangkan Rian hanya bisa mengiyakan tanpa bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya.

***

Setelah dari panti asuhan, Allena memutuskan untuk pulang dan membatalkan rencananya dengan Rina dengan alasannya kurang enak badan. Untungnya temannya itu sangat baik dan bisa mengerti kondisinya, karena kebetulan juga dia masih di rumahnya.

Allena sendiri merasa tidak mood dengan hal-hal seperti belanja, padahal ia yang paling antusias sejak awal, namun saat ia berada di panti asuhan dan melihat sikap Rian yang berbeda, entah kenapa ia merasa dilema. Karena jujur saja, Allena sendiri bukan tipe wanita yang jahat terlebih lagi pendendam, ia juga seorang manusia yang mudah luluh melihat orang yang sempat dibencinya mau berubah.

"Apa benar Kak Rian sekarang jadi laki-laki baik? Kalau iya, sepertinya aku harus berusaha melupakan kesalahannya. Karena kalau dipikirkan lagi, sikapnya ke aku memang sedikit berubah menjadi lebih baik, enggak kaya dulu." Allena menghembuskan nafas panjangnya, ia tampak tak yakin, namun apa yang dilihatnya tadi cukup memberinya bukti.

"Allena. Kok kamu sudah pulang, Sayang? Katanya tadi mau ke mall." Mamanya datang menghampirinya, Allena yang melihatnya langsung tersenyum sekilas.

"Enggak jadi, Ma."

"Loh kenapa?"

"Tadi ban mobil bocor, jadi aku batalin aja janjiannya sama temanku, enggak enak kan kalau dia harus menunggu lama." Allena menjawab bohong karena sebenarnya bukan itu alasannya.

"Oh begitu? Ya sudah, kamu tadi kan belum sarapan, sekarang kamu makan ya? Mama temani."

"Emh iya, Ma." Sebenarnya Allena ingin menolak dan segera pergi ke kamarnya, namun apa yang dikatakan mamanya itu benar, ia belum sarapan karena rencananya ia akan mencari makanan di mall. Karena tidak jadi pergi, sekarang perutnya terasa perih.

Kini Allena berjalan ke arah ruang makan, mengikuti langkah mamanya yang saat ini tangannya tengah merengkuh lengannya seolah ingin menuntunnya. Setelah sampai, mamanya menatap ke arah makanan yang berada di meja, yang pasti sudah dingin sejak tadi.

"Mau Mama panasi lagi enggak makanannya?" tawar mamanya yang langsung digelengi oleh Allena.

"Enggak usah lah, Ma. Masakan ini juga pasti masih enak." Allena meletakkan tasnya di atas meja lalu mendudukkan tubuhnya di kursinya.

"Ya sudah, kamu makan ya? Yang banyak." Mendengar ucapan mamanya, Allena justru merasa aneh sekarang, karena tidak biasanya mamanya begitu perhatian dengannya seperti yang dilakukannya sekarang. Terlebih lagi tangannya yang begitu lembut mengusap puncak kepalanya dengan sesekali memperbaiki tatanan rambutnya, membuat Allena tidak tahan untuk tidak menanyakannya.

"Sebenarnya Mama ini kenapa sih? Kok tumben banget kaya gini?"

"Kaya gini bagaimana?"

"Ya kaya sekarang, usap-usap rambut aku, kan Mama enggak biasa kaya gini, terus ucapan dan sikap Mama juga kaya ada yang beda." Allena berujar jujur sembari menyuapkan satu sendok nasi dan lauk di mulutnya.

"Mama cuma merasa bersalah sama kamu, Allena."

"Merasa bersalah?"

"Iya, merasa bersalah."

"Kenapa?"

"Ya karena selama ini kamu selalu menuruti semua keinginan Mama dan Papa, kamu jarang sekali membantah, tapi semakin ke sini, kami jadi sering mengatur kamu, padahal kan kamu juga pasti memiliki keinginan untuk diri kamu sendiri." Mendengar ucapan mama ya yang tampak menyesal, Allena menghentikan aktifitas makannya.

"Mama ngomong apa sih? Aku kan enggak sepenurut itu, kadang aku kan juga menentang keinginan Mama dan Papa."

"Iya, tapi setiap kali Mama dan Papa paksa kamu sedikit saja, kamu langsung mengiyakan."

"Mau bagaimana lagi? Sejak kecil, aku kan sudah biasa kaya gini, Ma." Allena berusaha tak terlalu menanggapi, namun tentu saja hal itu membuat mamanya kian merasa bersalah.

"Jawaban kamu itu malah membuat Mama merasa bersalah," jawabnya sendu.

"Kenapa harus merasa bersalah sih, Ma? Aku memang sudah biasa kan kaya gini, aku jadi mudah menerimanya karena bukan sesuatu yang baru juga."

"Apa kamu marah dengan Mama dan Papa?"

"Enggak," jawab Allena yakin.

"Mama janji, Mama enggak akan memaksa kamu lagi terutama tentang perjodohan kamu dengan Rian. Mama juga sudah membuat janji dengan mamanya untuk membahas semuanya, sekarang kamu bisa merasa tenang kan?" ujar mamanya sembari tersenyum.

"Iya," jawab Allena yang entah bagaimana ia justru merasa kecewa.

"Oh ya, bagaimana dengan pekerjaan kamu? Apa kamu sudah mengundurkan diri dari perusahaan Rian?"

"Belum, Ma."

"Loh kenapa? Berarti kamu belum berhenti dari sana?"

"Iya, Ma. Itu karena aku masih memikirkannya," jawab Allena yang justru terdengar ragu.

"Memikirkan apa? Bukannya kemarin kamu sendiri ya yang nangis-nangis ke Papa minta berhenti dari sana?"

"Iya sih, tapi setelah aku pikirkan lagi. Aku malah seperti manusia enggak bertanggung jawab, bertentangan banget dengan yang selalu Papa ajarkan."

"Tapi kalau memang kamu enggak betah kerja di sana, ya enggak apa-apa kan kamu berhenti? Toh, Mama dan Papa siap menanggung kerugiannya." Mendengar jawaban mamanya, Allena mengangguk mengiyakan dengan ekspresi sabar.

"Iya, aku tahu itu, Ma. Tapi karena Mama dan Papa yang menanggung semuanya lah, yang buat aku berpikir kalau aku ini enggak bertanggung jawab. Karena kan seharusnya aku yang bayar kerugiannya, karena aku sendiri yang mau berhenti dari perusahaan Kak Rian." Allena menjawab dengan bijak.

"Tapi kan uang seratus juta itu sedikit, anggap saja itu semua uang kamu yang Mama dan Papa berikan buat kamu."

"Terima kasih, Ma. Tapi bukannya Mama sendiri yang bilang ya, kalau aku enggak bisa meminta uang seenaknya apalagi untuk sesuatu yang enggak ada gunanya."

"Iya sih, tapi ...."

"Sudah lah, Ma. Aku enggak apa-apa kok, aku bukannya enggak mau terima bantuan Mama, tapi aku cuma ingin berusaha menyelesaikan masalahku sendiri dengan caraku sendiri." Allena memotong ucapan mamanya dengan tegas, yang tentu saja membuat wanita itu merasa heran.

"Mama jadi enggak ngerti, sebenarnya kamu kenapa sih? Bukannya kemarin kamu ya yang paling antusias untuk berhenti kerja dari perusahaan Rian? Tapi kenapa sekarang kamu kaya enggak ada masalah, padahal kamu sempat nangis-nangis ke Mama dan Papa setelah pulang kerja."

"Ya enggak apa-apa sih, Ma. Waktu itu aku ingin berhenti kerja di sana cuma karena Kak Rian aja, aku enggak mau melihat wajah menyebalkannya. Tapi kalau untuk pekerjaan dan lingkungan pertemanannya semuanya baik kok, jadi sekarang aku memutuskan untuk tetap melanjutkan."

"Kenapa kamu berubah pikiran?" tanya mamanya kian heran.

"Karena sepertinya Kak Rian enggak seburuk dulu," jawab Allena ragu.

"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?"

"Aku enggak tahu sih, Ma. Tapi setelah aku mendengar informasi kalau ternyata Kak Rian itu memiliki panti asuhan, aku jadi berpikir positif ke dia."

"Rian punya panti asuhan? Mama baru tahu itu. Tapi kamu tahu dari mana? Kalau cuma kata-kata orang sih, lebih baik kamu jangan percaya!" Mamanya memperingatkan Allena.

"Awalnya aku juga enggak mau percaya sih, Ma. Tapi setelah tanpa sengaja aku melihatnya sendiri, aku jadi percaya sekarang."

"Kamu melihat apa?"

"Ya aku melihat sendiri Kak Rian di panti asuhan sedang bersama dengan anak-anak yatim piatu, Ma. Enggak cuma itu aja, aku juga sempat tanya langsung ke pengurusnya dan beliau bilang iya, Kak Rian lah yang sudah membangun panti asuhan itu bersama dengan kedua temannya." Allena menjawab serius.

"Sebenarnya Mama enggak terlalu kaget sih kalau Rian bisa berbuat kebaikan sebesar itu. Karena alasan seperti itu juga, kenapa dulu Mama memilih dia untuk dijodohkan sama kamu." Wanita itu menjawab jujur, yang tentu saja membuat putrinya merasa bingung dengan maksud dari ucapannya tersebut.

"Maksud Mama bagaimana?" tanya Allena tak mengerti, namun mamanya justru tersenyum bersiap untuk bercerita kisah masa lalu. Tentang masa di mana mamanya bertemu untuk pertama kalinya dengan Rian, seorang remaja yang berhasil menyentuh hatinya dengan kebaikan yang dilakukannya.

"Kamu ingat enggak, waktu Mama kecelakaan dulu?"

"Ingat. Memangnya kenapa, Ma?"

"Saat itu, sebenarnya yang menyelamatkan Mama adalah Rian."

"Apa? Kak Rian? Mama bohong kan?" Allena tentu saja terkejut mendengar pengakuan mamanya, ia bahkan tidak percaya saking tidak masuk akalnya.

"Enggak, Sayang. Saat itu ...."

 

 

Part 19

Di dalam sebuah taksi, seorang wanita tengah mengirim pesan pada suaminya, ia adalah Viona atau mamanya Allena yang baru saja keluar dari area bandara. Wanita itu sendiri berniat pulang ke rumahnya, ia mengirim pesan untuk memberi kabar tentang keberadaannya. Setelah selesai, ia menghela nafas lega lalu meletakkan ponselnya kembali ke dalam tasnya, lalu memerhatikan arah luar lewat jendela.

Awalnya semua berjalan baik, tidak ada yang aneh dari perjalanannya saat ini, semua lancar sama seperti sebelum-sebelumnya. Iya, wanita itu sendiri memang sering sekali keluar kota untuk menemui beberapa klien untuk mewakili suaminya, yang juga sering sibuk mengurus beberapa cabang perusahaan mereka. Dan sebenarnya ia juga tidak sendiri, ia ditemani beberapa pegawai kepercayaannya, namun karena ada sedikit masalah di perusahaan, ia menyuruh mereka pulang lebih awal.

Itu lah kenapa ia pulang sendirian sekarang, sebagai wanita karir, tentu ia merasa tidak keberatan dengan apa yang dilakoninya sekarang. Meskipun itu artinya ia jadi sering meninggalkan putri semata wayangnya, yang saat ini sudah lulus sekolah menengah pertama dan akan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi nantinya.

Untungnya putrinya itu sudah biasa ia didik dengan baik, jadi tak akan mengherankan bila dia menjadi pribadi yang mandiri, tidak manja, bijak, dan juga selalu berusaha mengerti perasaan orang lain. Semua sikapnya itu juga berlaku pada orang tuanya, terbukti dari sikapnya yang hampir tidak pernah merengek dan meminta hal-hal aneh meskipun sering ditinggal orang tuanya cukup lama.

Sebagai seorang ibu, tentu saja ia merasa bangga padanya, terlebih lagi putrinya itu juga sosok anak yang penurut, yang tidak terlalu banyak membantah dan juga selalu berusaha memenuhi keinginannya. Memikirkannya, membuat wanita itu tersenyum bahagia dan bangga bisa memilikinya, dalam hati tentu saja ia tak sabar menemuinya dan memeluk erat tubuhnya yang mulai tumbuh menjawab gadis remaja.

"Sepertinya kita diikuti, Bu." Suara sopir taksi membuyarkan lamunannya, membuat wanita itu terjaga dan waspada.

"Maksud Anda apa, Pak?"

"Ada yang mengikuti kita sejak tadi, Bu."

"Sejak kapan?" tanyanya gelisah sembari menatap ke arah belakang, di mana ada mobil hitam berada tepat di belakang taksi yang ditumpanginya.

"Sepertinya sejak kita keluar dari bandara," jawab sang sopir tak kalah gelisahnya.

"Mungkin aja mobil itu memang searah dengan tujuan saya, apalagi kan kita juga baru keluar dari jalan tol, Pak."

"Iya sih, Bu. Tapi dari tadi mobil itu terus-terusan ada di belakang kita, enggak berusaha nyalip meskipun saya sudah memelankan laju mobil, itu lah kenapa saya berpikir kalau kita sedang diikuti."

"Jangan buat orang parno deh, Pak."

"Saya enggak berniat buat Anda parno, Bu. Saya cuma khawatir aja apalagi sebentar lagi kita harus melewati jalan dekat pabrik, di sana kan jalannya sepi, jadi saya juga takut." Sang sopir menjawab jujur, yang kian membuat wanita itu bingung dan langsung buru-buru menghubungi polisi untuk berjaga-jaga.

"Bagaimana ini, Bu? Mobil itu masih ada di belakang padahal kan saya jalannya juga lambat."

"Sebentar, Pak. Saya akan menghubungi polisi. Anda fokus saja pada jalan, kalau bisa dipercepat aja ya," pintanya sembari membuka tasnya kembali untuk mengambil ponselnya.

"Iya, Bu." Tanpa basa-basi, sang sopir menaikan kecepatannya dan fokus pada jalan, sedangkan wanita yang berada di belakangnya berusaha menghubungi polisi, namun belum tersambung dari sana karena kendala jaringan.

"Aduh, kenapa ini? Kenapa malah enggak ada sinyal sama sekali sih?" keluhnya dengan masih berusaha untuk menghubungi nomor polisi.

"Aakhhh," jeritnya spontan saat merasakan taksi yang ditumpanginya ditabrak dari belakang.

"Sepertinya mereka sengaja menabrak supaya kita berhenti. Bagaimana ini, Bu?"

"Kita terus saja, Pak. Jangan pernah berhenti sebelum berada di tempat keramaian, nanti kalau mobilnya ada kerusakan, biar saya yang tanggung semuanya berapapun itu." Wanita itu menjawab tegas, yang bisa sang sopir mengerti dan kembali menancapkan gasnya untuk berusaha keluar dari tempat sepi seperti sekarang.

"Bu, Bu. Awas, pegangan!" Sang sopir tiba-tiba membanting setir ke arah kiri saat mobil yang membuntuti mereka berada di depannya, karena kaget dan tak ingin menabrak, yang beliau lakukan langsung membelokkan mobilnya, di mana ada pohon besar yang tanpa sengaja ditabrak pada akhirnya.

Setelah kejadian itu, tentu saja mamanya Allena terbentur kepalanya begitupun dengan tubuhnya yang langsung tersungkur hingga terasa remuk saking kerasnya tabrakan itu terjadi. Sedangkan sang sopir mengalami hal yang tak jauh berbeda, kepalanya bahkan berdarah karena terbentur kerasnya setir.

Saat keduanya berusaha sadar dari rasa syok dan juga rasa sakit, tiba-tiba beberapa orang datang berusaha untuk membuka pintu mobil, mereka berdua tentu ketakutan meskipun rasa sakit berusaha untuk tidak dihiraukan. Tak terkecuali mamanya Allena, yang sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, sedangkan ponsel yang tadi berada di tangannya kini menghilang entah ke mana.

Sekarang yang wanita itu lakukan hanya pasrah, karena ia yakin segerombolan orang-orang itu berniat mencelakainya untuk mengambil barang-barang berharganya terutama uang. Dan yang bisa ia lakukan sekarang hanya berdoa, semoga ia dan sopir taksi itu masih bisa selamat meskipun ia yakin uangnya akan diambil habis.

"Ambil tasnya! Di sana pasti banyak uangnya, dia kan istri dari salah satu konglomerat di kota ini."

"Iya."

"Coba periksa, apa saja isinya!"

"Sebentar."

Samar-samar mamanya Allena masih bisa mendengar percakapan mereka, ia juga bisa merasakan bagaimana tasnya ditarik dengan kasar dari tangannya. Namun ia tidak bisa mempertahankannya saking tak berdayanya ia sekarang, bahkan untuk berusaha tetap terjaga pun rasanya sulit, pandangan matanya hampir menggelap seolah akan pingsan.

"WOI, APA YANG KALIAN LAKUKAN?" Sebelum kesadarannya menghilang, wanita itu juga mendengar suara seorang pemuda yang meneriaki mereka, yang sudah berhasil mengambil tasnya. Namun setelah itu, ia sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi, yang ia tahu pemuda itu sempat menyuruh temannya untuk pergi ke kantor polisi terdekat.

"NAN, LO CEPAT KE KANTOR POLISI TERDEKAT UNTUK MINTA BANTUAN. URUSAN MEREKA, BIAR GUE DAN FIKRI YANG HADAPI."

"OKE, TAPI KALIAN JANGAN SAMPAI MATI YA. AWAS KALAU SAMPAI ITU TERJADI, GUE ENGGAK AKAN PERNAH MEMAAFKAN KALIAN."

"BACOT LO, CEPAT PERGI!"

Di tengah rasa sakit di kepala dan tubuhnya, mamanya Allena berusaha untuk tetap sadar, namun keinginannya itu tidak sejalan dengan apa yang terjadi, karena kesadarannya menghilang dan pandangannya menggelap sempurna.

***

Mamanya Allena yang sempat pingsan kini sudah dibawa ke rumah sakit, ia juga sadar setelah satu jam penanganan. Sedangkan suaminya sendiri sudah dihubungi dan langsung datang ke ruangannya, dan kini sedang menemaninya dengan sesekali mengurus kasus yang dialami istrinya.

"Pa," panggil wanita itu terdengar lirih.

"Kamu sudah bangun, Ma?" tanya sang suami terdengar khawatir sembari mendekatkan tubuhnya ke arahnya dan juga merengkuh tangannya.

"Iya. Mama lagi ada di rumah sakit ya?"

"Iya, Ma. Untung saja kamu masih selamat, padahal kamu sudah diincar mereka sejak keluar dari bandara."

"Iya, syukurlah. Mama sempat enggak nyangka ada kejadian kaya gini, suasana tadi benar-benar menakutkan." Wanita itu menitikkan air matanya, seolah lupa dengan rasa sakit di tubuhnya saking takutnya ia mengingat kejadian yang hampir merenggut nyawanya.

"Sudah, Ma. Jangan diingat-ingat, yang penting sekarang Mama sudah selamat dan aman."

"Iya, Pa. Tapi seingat Mama, ada yang datang sebelum Mama pingsan, Mama pikir mereka ada beberapa orang dan berniat membantu."

"Maksud Mama tiga anak SMA?"

"Mama kurang tahu. Mama belum sempat melihat mereka, jadi enggak tahu persisnya."

"Iya, Mama benar, ada yang membantu Mama saat itu. Dan kondisi mereka sekarang baik-baik saja, tapi salah satu dari mereka ada yang cedera, jadi harus dirawat."

"Apa Mama boleh bertemu dengan mereka? Mama mau bilang terima kasih, Pa. Kalau bukan karena mereka, mungkin Mama enggak akan selamat."

"Kita pasti akan menemui mereka, Ma. Tapi enggak sekarang juga, kan kondisi Mama masih lemah."

"Please, Pa. Mama mau melihat mereka sekarang, boleh kan? Mama enggak akan bisa istirahat, kalau belum bilang terima kasih ke mereka, karena perasaan Mama juga enggak akan tenang." Mendengar permohonan istrinya, sang suami merasa iba dan pada akhirnya luluh juga.

"Baiklah. Mama tunggu sini ya, Papa mau cari kursi roda sebentar," pamitnya yang diangguki oleh istrinya.

***

Di sisi lainnya, Nando dan Fikri sedang menunggu di kursi, karena Rian sedang ditangani oleh dokter di ruang IGD. Sebagai seorang teman, tentu saja mereka sangat khawatir terlebih lagi Rian sempat dipukul di bagian kepala hingga berdarah, karena itu juga yang membuatnya oleng dan pada akhirnya pingsan. Untungnya pada kejadian itu, Nando sudah datang tepat waktu bersama dengan polisi yang sengaja ia panggil di kantornya.

"Lo bagaimana sih? Kenapa lo membiarkan Rian dipukul di bagian kepala? Kalau dia jadi bego, bagaimana?" Nando bertanya kesal ke arah Fikri yang menatapnya dengan cara yang sama.

"He, mana gue tahu? Pas kejadian itu, gue kan juga lagi ngurusi penjahat yang lain. Lo-nya aja yang kelamaan panggil polisi, makanya Rian dipukul tanpa sepengetahuan dia dan pada akhirnya sekarang dia pingsan."

"Kok lo jadi nyalahin gue sih? Bukannya gue juga sudah bilang ya, supaya kita langsung ke kantor polisi aja, enggak usah bantu mereka dulu, tapi Rian malah enggak mau dan langsung turun dari motor."

"Itu karena Rian tahu, kalau dia enggak membantu saat itu juga, orang yang ada di dalam mobil itu akan terbunuh makanya dia langsung turun."

"Dan sekarang dia yang paling terluka," sahut Nando terdengar frustrasi begitupun dengan Fikri saat ini.

"Selamat siang, apa di sini ada wali pasien?" tanya salah satu suster yang baru datang dan berdiri tepat di depan mereka.

"Kami walinya, Sus." Fikri mendirikan tubuhnya begitu pun dengan Nando yang berada di sampingnya.

"Saya minta maaf, tapi wali pasien tidak boleh dari kalangan pelajar."

"Memangnya kenapa, Sus? Meskipun kami masih pelajar, tapi kami akan bertanggung jawab kok kalau ada sesuatu yang terjadi."

"Bukan begitu, ini memang peraturan rumah sakit. Mungkin kalian bisa menghubungi pihak orang tua dari pasien dan meminta mereka untuk datang?"

"Enggak bisa. Orang tua Rian enggak akan peduli dengan masalah ini, mereka kan Dajjal." Nando menyahut ketus yang tentu saja membuat suster itu merasa bingung.

"Lalu bagaimana ini? Apa tidak ada saudara lain yang bisa menjadi wali pasien?"

"Duh, ribet banget sih? Memangnya kalau kita yang jadi walinya Rian kenapa sih?" Fikri mengeluh tak kalah kesalnya, ia sudah cukup pusing dengan kondisi temannya, tapi pihak rumah sakit seolah ingin menambah beban pikirannya.

"Sekali lagi saya minta maaf, tapi wali pelajar itu tidak diperkenankan ...."

"Saya yang akan menjadi walinya, Sus." Seorang laki-laki datang menyahut, sedangkan di depannya ada kursi roda yang berisikan seorang wanita dengan tubuh lelah.

"Saya adalah suami dari wanita yang pasien itu selamatkan, jadi sebagai gantinya saya yang akan menjadi walinya termasuk membayar seluruh pengobatannya." Laki-laki itu menjawab yakin yang hanya ditatap haru oleh Fikri maupun Nando.

"Baiklah, Pak. Silahkan isi data diri Anda dan juga data diri pasien di sana," jawab sang suster sembari menunjukkan ke arah ruang registrasi.

"Tapi saya tidak tahu nama pasien siapa,"

"Namanya Dikrian Farudik, Pak. Terima kasih sudah mau menjadi walinya," sahut Fikri sembari tersenyum tulus.

"Kalau begitu, kamu ikut saya ke sana ya, kamu kasih tahu saya tentang data diri Dikrian."

"Iya, Pak." Fikri menjawab setuju lalu menatap ke arah Nando yang kembali duduk.

"Gue ke sana dulu, lo jaga ibu itu," pamitnya yang diangguki oleh temannya.

"Iya."

 


Part 20

Mamanya Allena dan papanya kini akhirnya bisa menemui Rian, yang sedang terbaring lemah di ranjangnya, namun untungnya kondisinya sudah sadar sekarang dan tidak ada yang terlalu dikhawatirkan. Mereka tentu merasa sangat lega, keduanya juga berniat bilang terima kasih untuk bantuannya.

Sebelum ini, mereka juga tidak lupa mengucapkan rasa terima kasih mereka pada Nando dan Fikri, karena kedua remaja itu juga turut membantu kejadian tadi siang. Kini mereka sedang berada di luar setelah sempat masuk ke ruangan Rian untuk melihat kondisinya, meskipun sempat sangat khawatir, namun sekarang mereka bisa sedikit merasa lega karena Rian tidak mengalami cedera serius terutama di bagian kepalanya.

"Nama kamu Dikrian kan?" tanya mamanya Allena yang baru tahu nama anak SMA tersebut. Sedangkan Rian yang ditanyai sempat terdiam, meskipun pada akhirnya ia menganggukkan kepala.

"Iya, Tante."

"Terima kasih ya sudah membantu saya, kalau enggak ada kamu dan teman-teman kamu, saya enggak tahu bagaimana nasib saya saat ini, mungkin saya sudah enggak ada di dunia ini lagi." Wanita itu berujar tulus nan sendu, yang ditenangkan oleh suaminya dengan mengusap lembut punggungnya.

"Jangan bilang seperti itu, Tante. Kebetulan tadi saya lewat di sana, jadi saya berusaha membantu." Rian menjawab seadanya, karena memang itu fakta kejadiannya.

"Iya, sekali lagi terima kasih. Kamu juga jangan terlalu khawatir untuk biaya rumah sakit, karena semua Tante yang akan menanggungnya. Kalau perlu, biaya sekolah kamu juga Tante yang membayar semuanya, bagaimana?" tawarnya yang langsung digelengi oleh Rian.

"Terima kasih untuk tawarannya, tapi Anda tidak perlu repot-repot membiayai sekolah saya." Rian menggeleng pelan yang ditatap heran oleh kedua suami istri tersebut.

"Tapi kenapa? Tante memang benar-benar ingin melakukannya, Tante kan juga ingin membalas kebaikan kamu."

"Iya, Dikrian. Tante dan Om mampu kok membiayai sekolah kamu kalau perlu biaya kuliah kamu juga, jadi tolong terima saja tawaran kami." Sang suami menyahut serius, namun Rian tampak teguh dengan pendiriannya.

"Bukannya saya ingin menolak, Om, Tante. Tapi kebetulan saya termasuk siswa berprestasi dari segi akademis dan olah raga. Jadi saya tidak terlalu mengkhawatirkan soal biaya sekolah atau semacamnya, begitupun dengan kuliah, saya juga akan berusaha mendapatkan beasiswa." Mendengar jawaban Rian, tentu saja mereka merasa kagum dan turut bangga.

"Bagaimana kalau Tante kasih kamu uang saja. Berapa yang kamu inginkan? Tante akan penuhi berapapun yang kamu mau?" tawarnya lagi.

"Tidak usah, Tante. Meskipun saya cuma anak SMA, tapi saya punya usaha kafe kecil-kecilan, pengunjungnya juga lumayan rame, karena tempatnya memang cocok untuk dijadikan tongkrongan anak muda. Jadi kalau masalah uang, saya juga tidak terlalu membutuhkannya." Lagi-lagi jawaban Rian membuat suami istri itu merasa kagum dengannya, padahal usianya masih sangat muda, namun berprestasi dan memiliki usaha sendiri.

"Begitu ya? Baiklah, kalau begitu Om dan Tante hanya akan membiayai semua pengobatan kamu di sini."

"Iya, Tante. Terima kasih."

***

Beberapa bulan kemudian.

Di dalam sebuah rumah, sepasang suami istri datang memenuhi undangan si pemilik rumah. Mereka berniat makan malam bersama, untuk merayakan kerja sama yang baru terjalin di antara mereka.

Si pemilik rumah sendiri juga sepasang suami istri, mereka memang sengaja mengadakan makan malam itu untuk mengikat hubungan di antara mereka, karena mereka tahu bila sepasang suami istri itu adalah termasuk konglomerat di kotanya. Tentu saja keduanya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut, demi bisa memperluas usaha milik keluarga mereka.

"Ini namanya Aldi dan yang ini namanya Aldo, mereka saudara kembar, umurnya baru tujuh belas tahun." Seorang wanita memperkenalkan kedua anaknya yang kembar, mereka berdua hanya tersenyum ramah dengan wajah tampan yang cukup memikat siapapun yang melihatnya.

"Jadi mereka kembar? Tapi enggak mirip ya?" respon sang tamu dengan tersenyum tulus.

"Iya. Mereka memang bukan kembar identik."

"Wah, tapi mereka sama-sama ganteng ya?"

"Iya. Kalau anak jeng sendiri berapa?" tanyanya kali ini.

"Anak saya cuma satu, itu pun perempuan."

"Kalau umurnya berapa?"

"Umurnya baru enam belas tahun, namanya Allena."

"Wah, pasti anaknya cantik. Kenapa enggak diajak ke sini?"

"Mana mau dia? Anaknya kan paling suka di kamar, kalau diajak kemanapun pasti menolak."

"Tapi kapan-kapan ajak ya, kali saja dia suka dengan salah satu di antar mereka berdua, terus kita bisa jadi besan kedepannya." Wanita itu tertawa kecil yang diangguki setuju oleh istri dari rekan kerja suaminya tersebut.

"Mama ngomong apa sih? Mana mau beliau besanan dengan kita, kita kan orang biasa." Sang suami menyahut pelan, merasa tidak enak hati dengan jawaban sang istri.

"Jangan bilang seperti itu, saya enggak pernah memandang orang dari statusnya, kalau memang anak-anak kita berjodoh, saya pasti akan setuju dan enggak akan mempermasalahkannya." Wanita itu menjawab mantap, yang tentu saja membuat semua orang tersenyum mendengarnya.

"Aku pulang," ujar seseorang yang tiba-tiba datang dari pintu, suaranya juga terdengar lirih, namun mampu menjadikannya pusat perhatian semua orang yang ada di sana.

"Aku minta maaf, Ma. Aku enggak tahu kalau ada tamu, aku akan langsung ke kamar." Setelah menyadari ada tamu di rumahnya, entah kenapa laki-laki remaja itu langsung meminta maaf dan berjalan pergi ke arah tangga.

"Dia siapa, Jeng?" tanya sang tamu karena merasa cukup mengenalnya, namun ia tak yakin dengan hubungan di antara anak itu dengan koleganya.

"Oh itu anak pertama saya, penampilannya memang sedikit urakan, tolong jangan menilainya jelek ya, Jeng!" Wanita itu tampak malu dan sungkan, namun diam-diam matanya melirik tak suka ke arah putra pertamanya yang sudah pergi dari sana.

"Jadi Dikrian itu anaknya Jeng?" Wanita itu tersenyum bahagia, entah kenapa ia merasa senang dengan informasi yang baru didengarnya.

"Eh iya, tapi kenapa Jeng bisa tahu nama anak saya? Saya kan belum memberitahukan namanya."

"Iya, Dikrian itu pernah menolong saya dulu. Dia anaknya sangat baik, kalau enggak salah, dia juga anak yang berprestasi kan di sekolahnya?"

"I-iya, Jeng kok bisa tahu itu juga?" tanyanya kebingungan.

"Tahu dong. Begini saja, bagaimana kalau Dikrian kita jodohkan dengan Allena? Papa setuju kan?" tanyanya yang diakhiri dengan meminta persetujuan dari suaminya.

"Tentu saja, Ma. Dikrian kan anak yang sangat baik, pintar, dan juga memiliki jiwa pebisnis, sangat cocok untuk Allena, putri kita." Sang suami menjawab setuju.

"Ta-tapi, penampilan Dikrian cukup urakan, dia juga enggak sebaik yang kalian pikirkan."

"Ah jangan merendah begitu, Jeng. Kami tahu kok meskipun penampilan Dikrian kurang rapi tapi bukan berarti dia anak yang jahat kan, karena kami sempat mengenalnya, dia anak yang suka membantu siapa saja."

"Tapi ...."

"Apa Jeng enggak mau kita besanan?" tanyanya terdengar sedih, yang langsung digelengi oleh mamanya Rian.

"Bukan begitu, Jeng. Saya cuma tidak menyangkanya saja, Jeng memilih Dikrian menjadi menantu padahal masih banyak yang lebih pantas. Tapi baiklah kalau Jeng mau anak kita dijodohkan, saya setuju-setuju saja." Wanita itu menjawab ragu, sorot matanya menatap ke arah dua putranya yang terdiam dan tidak tahu apa-apa, padahal ia sangat berharap salah satu di antara mereka bisa berjodoh dengan Allena.

"Baguslah. Semoga saja mereka bisa saling mencintai, lalu menikah, dan hidup bahagia bersama." Wanita itu merengkuh tangan suaminya dengan senyum bahagia, tatapannya penuh dengan harapan yang direspon sama oleh semua orang.

"Aamiin."

Flashback off.

Allena begitu fokus mendengarkan cerita mamanya, sesekali alisnya mengernyit ragu, meskipun begitu ia tidak memotong ucapan mamanya itu. Meskipun ia sendiri merasa tak yakin bila Rian yang dikenalnya jahat itu bisa berbuat baik, namun satu hal yang pasti mamanya tidak akan mungkin membohonginya terlebih lagi mengarang cerita.

"Jadi yang menyelamatkan Mama waktu itu adalah Kak Rian? Tapi kenapa Mama enggak pernah bilang?"

"Untuk apa? Untuk menarik simpati kamu? Mama enggak akan melakukannya."

"Kenapa?"

"Mama cuma enggak mau kamu merasa memiliki hutang budi pada Rian karena sudah menyelamatkan Mama waktu itu."

"Terus kenapa Mama menceritakannya sekarang?"

"Itu karena Mama pikir kamu sedang merasa ragu dengan Rian, padahal dia benar-benar anak yang baik sejak dulu, bahkan jauh sebelum mengenal kamu." Wanita itu tampak berusaha meyakinkan putrinya, yang saat ini tampak belum sepenuhnya mempercayai mamanya.

"Tapi Mama juga sempat kecewa sih sama dia, karena sudah buat kamu nangis waktu itu, Papa juga kecewa," lanjutnya tersenyum sendu, yang tentu saja mendapatkan tatapan bersalah dari mata putrinya tersebut.

"Aku minta maaf, Ma. Sebenarnya ... aku sudah berbohong waktu itu," ujar Allena sembari menundukkan wajah, merasa tak berani menatap mata mamanya.

"Maksud kamu apa?"

"Sebenarnya Kak Rian enggak pernah bersikap buruk ke aku terutama di depan karyawan atau saat ada di kantor ...."

"Terus kenapa kamu bisa nangis pas pulang waktu itu?" tanya mamanya terdengar tak percaya putri kesayangannya sudah tega membohonginya.

"Aku pakai obat tetes mata, Ma. Maaf ...." Allena menjawab lirih di akhir kalimatnya, yang sangat membuat kecewa mamanya, bisa dilihat dari caranya memijat keningnya.

"Astaga, Allena. Kamu itu keterlaluan tahu enggak? Meskipun kamu enggak suka dengan Rian atau bahkan membencinya sekalipun, kamu enggak seharusnya memfitnah dia. Karena kalau bukan karena dia, mungkin Mama sudah meninggal sejak lama." Wanita itu menatap kecewa ke arah putrinya, nada suaranya juga terdengar sangat marah, yang kian membuat Allena merasa bersalah.

"Aku minta maaf, Ma. Aku kan enggak tahu kalau Kak Rian yang sudah bantu Mama waktu itu, yang aku tahu Mama menjodohkan aku dengan laki-laki yang aku benci, makanya aku berusaha menggagalkannya ...." Allena menatap ke arah mamanya sembari merengkuh lembut tangannya.

"Kalau sudah seperti ini, dilanjutkan juga mustahil karena Mama sudah terlanjur malu dengan keluarga Rian. Kamu enggak mau kan menikah dengan Rian? Kalau begitu, Mama akan membicarakan ini dengan Papa untuk membatalkannya saja rencana perjodohan kalian dan meminta maaf baik-baik pada orang tua Rian." Mamanya mendirikan tubuhnya dari kursi, sedangkan Allena hanya terdiam tanpa bisa berbuat apa-apa, meskipun keinginannya terkabul, namun tetap saja ia masih merasa bersalah sekarang terutama pada Rian.

"Maaf, Ma ...." Hanya itu yang bisa Allena katakan, sedangkan mamanya hanya mengangguk tenang.

"Enggak apa-apa, kamu makanlah," jawabnya lalu melangkah pergi ke arah kamar, meninggalkan Allena yang menjambak rambutnya frustrasi, merasa bingung sendiri kali ini.

***

Di depan gedung tempatnya bekerja, Allena menghela nafas panjangnya, tatapannya tampak tak berminat saat kakinya akan memasuki bagian pintunya. Itu karena ia tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini, terutama saat bertemu dengan Rian, apa yang akan ia lakukan nanti. Meminta maaf dan mengatakan terima kasih, pasti akan sangat sulit mengingat hubungan mereka yang kurang baik.

"Bagaimana ya mengatakannya? Kalau aku akan tetap bekerja di sini dan aku juga baru tahu kalau Kak Rian yang sudah menyelamatkan Mama waktu itu. Karena kalau dipikir lagi, Kak Rian memang salah sudah membully ku dulu, tapi bukan berarti aku boleh membencinya kan apalagi sampai memfitnahnya."

Allena menghela nafas panjangnya, kakinya melangkah masuk penuh keraguan, namun di dalam hati ia juga harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia lakukan. Itu lah kenapa ia tak berhenti begitu saja terlebih lagi duduk di tempat kerjanya, karena tujuannya saat ini adalah ruangan Rian.

"Sepertinya Kak Rian enggak ada di ruangannya," gumam Allena setelah tak mendapati suara apapun dari dalam, padahal ia sudah mengetuk pintunya cukup lama.

"Aku akan menunggunya, mungkin sebentar lagi Kak Rian datang." Allena menyenderkan punggungnya di tembok sembari sesekali memerhatikan sekitarnya, ia juga berharap Rian segera datang karena sebentar lagi waktunya ia bekerja.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya MY DEAR ENEMY (Part 21- ENDING) ( TOTAL 12 PART)
6
0
Tolong terima saja perjodohan ini, aku janji enggak akan menyentuhmu bahkan setelah kita menikah, tapi kalau kamu yang menginginkannya juga enggak apa-apa.Seorang bad boy yang dulu sering merundungnya, memintanya untuk menerima perjodohan dengannya? Bisa kalian percaya? Tidak. Allena tidak akan percaya kecuali lelaki itu menikahinya untuk melanjutkan misi membully dan menyiksanya lagi.Tentu saja Allena menolak dengan keras, ia bahkan masih ketakutan mengingat apa yang sudah lelaki itu lakukan dulu padanya, lalu bagaimana mungkin ia hidup dan terikat pernikahan dengannya? Jawabannya tidak akan pernah. Allena tidak akan menerima perjodohan itu sampai kapan pun, bahkan saat ia tidak menemukan jodoh sekalipun.Lalu bagaimana saat Rian mengajukan sebuah perjanjian di atas kertas? Di mana Allena bisa menuliskan peraturan apapun untuk keuntungannya, asalkan ia mau menikah dengannya lalu bercerai di waktu yang sudah ditentukan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan