
“Di rumah ini enggak ada perempuan yang jadi ratu, apalagi dia cuma seorang menantu.”
Awalnya perkataan itu Vira dengar dari mulut mertuanya, namun semakin lama suaminya jadi ikut-ikutan mengatakan hal yang sama. Sebenarnya apa yang salah? Kenapa laki-laki yang dulu begitu mencintainya, kini memiliki pemikiran yang sama dengan mertuanya yang sering kali menyiksa batinnya.
Padahal selama tinggal di sana, Vira selalu melakukan pekerjaan rumah dan melakukan apa saja yang mereka inginkan, namun nyatanya...
Part 01
Di toilet rumahnya, seorang gadis muda membekap mulutnya dengan mata melotot tak percaya saat melihat alat tes kehamilan yang berada di tangannya. Di alat itu terdapat dua garis merah, yang mengartikan positif hamil. Gadis itu tentu saja syok dengan apa yang dilihatnya, tangannya bergetar hebat sampai alat tes itu terjatuh ke lantai. Tubuhnya pun meluruh ke bawah dengan jantung yang sudah berdebar tak karuan di dalam dadanya, matanya beberapa kali mengerjap seolah berharap ini adalah mimpi buruk di alam tidurnya.
"A-aku enggak mungkin hamil kan?" gumamnya dengan nada bergetar dan juga bibir yang mulai pucat.
"Enggak-enggak. Alat ini pasti salah." Gadis itu mengambil alat tes kehamilan miliknya untuk kembali memastikannya, namun sayangnya garis dua merah itu masih ada di sana dan tercetak dengan jelasnya.
"Garis dua? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Aku dengan Mas Iwan cuma melakukannya sekali, itupun cuma sebentar karena aku memaksanya berhenti, tapi kenapa ...?" Gadis itu sampai tak mampu melanjutkan ucapannya dan yang bisa ia lakukan hanya menangis, menyesali kebodohan yang sudah ia perbuat dengan kekasihnya.
Gadis itu sendiri bernama Vira, umurnya masih sembilan belas tahun dan bahkan baru saja lulus SMA. Sedangkan kekasihnya bernama Iwan, umurnya baru menginjak dua puluh satu tahun. Keduanya tentu saja dikategorikan masih sangat belia bila harus menjadi orang tua di umur mereka yang sekarang, namun juga tidak ada pilihan lain selain mempertanggung jawabkan semuanya.
"Aku harus memberitahu Mas Iwan tentang masalah ini," gumam Vira yakin lalu mendirikan tubuhnya sembari merengkuh alat tes kehamilan itu di tangannya. Dengan berusaha tenang, ia berjalan keluar dari kamar mandi setelah membereskan barang-barangnya yang mencurigakan.
"Vira," panggil seorang wanita yang sempat mengejutkan gadis itu, untungnya ia dengan cepat menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya agar ibunya tidak memerhatikannya.
“Iya, Bu. Ada apa?”
“Enggak ada apa-apa, Ibu cuma khawatir aja sama kamu.”
"Khawatir kenapa, Bu?" Vira berusaha tersenyum untuk menyembunyikan kegelisahannya, ia tentu saja takut ibunya tahu tentang kehamilannya.
"Ya karena kamu lama di kamar mandi, Ibu jadi khawatir kamu sakit perut atau apa, dari tadi juga enggak kedengaran suara air berarti kamu enggak lagi mandi," ujar ibunya yang tentu saja membuat Vira gelisah dan salah tingkah, ia sempat kebingungan mencari jawabannya.
"I-iya, Bu. Tadi aku memang sakit perut, makanya lama di kamar mandi. Sudah ya, Bu. Aku ke kamar dulu, mau istirahat." Vira berjalan ke arah kamarnya, namun ibunya kembali memanggilnya saat baru menyadari wajahnya yang pucat.
“Vira.”
"Iya, Bu. Kenapa?" Dengan perasaan terpaksa, Vira menoleh ke arah ibunya padahal ia ingin sekali ke kamar untuk menghubungi kekasihnya.
“Wajah kamu kenapa pucat sekali? Apa karena kamu sakit perut? Kalau begitu, Ibu belikan obat ya di toko sebelah? Kamu sedang diare atau apa?”
"Aku sudah enggak apa-apa kok, Bu. Aku ke kamar dulu ya," jawabnya dengan terburu-buru, yang mau tak mau ibunya angguki meskipun sebenarnya ia masih merasa khawatir.
“Iya ....”
"Di mana tadi ponselku?" Vira menatap sekeliling kamarnya setelah menutup pintunya rapat-rapat dan bahkan menguncinya, saking takutnya ia akan kedatangan ibunya.
"Ah iya, masih di tas." Vira berjalan ke arah tasnya dan mengambil ponselnya di sana, tak membutuhkan waktu lama, ia segera mengirimi kekasihnya sebuah pesan singkat.
'Aku ingin ketemu sama kamu, Mas, ada yang mau aku bicarakan.' Itu lah pesan yang Vira tulis dan kirim ke Iwan, ia ingin membicarakan masalah kehamilannya secara langsung dengan kekasihnya tersebut. Namun tak lama ponselnya berdering dan bergetar, menandakan seseorang sedang menghubungi sekarang.
"Kenapa dia malah menelepon sih? Ibu bisa aja dengar." Meskipun merasa kesal, namun pada akhirnya Vira mau menerima panggilan itu.
“Ada apa? Kamu mau bicara apa?”
“Kenapa kamu malah menelepon ku? Aku sudah bilang kan tadi, aku mau kita bertemu.”
“Memangnya ada apa sih? Kenapa enggak bicara sekarang aja?”
“Ini masalah penting, aku enggak bisa mengatakannya di sini, kita harus bertemu.”
“Oke, nanti malam aku akan ke rumah kamu.”
"JANGAN!" Tanpa sadar Vira berteriak, yang tentu saja mengejutkan Iwan yang berada di seberang sana.
“Kenapa sampai teriak sih?”
"Maaf, aku ...." Vira ingin menjawabnya namun harus terpotong saat ibunya memanggil namanya dari luar kamarnya.
"Vira. Ada apa? Kenapa kamu berteriak?" tanyanya terdengar khawatir, yang mau tak mau harus Vira jawab agar ibunya merasa tenang.
"Enggak apa-apa, Bu. Aku sedang menelepon Mas Iwan, dia lagi bicara ngawur." Vira merapatkan bibirnya dengan harapan ibunya langsung percaya dan segera pergi dari sana.
“Oh begitu? Ibu pikir kenapa?”
"Iya, Bu. Maaf." Setelah menjawab itu, Vira tak mendengar lagi suara ibunya, sepertinya wanita itu sudah pergi dari depan kamarnya.
"Kok jadi aku yang bicara ngawur? Yang sikapnya enggak jelas kan kamu." Suara Iwan terdengar tidak terima, yang buru-buru Vira hentikan omelannya.
“Iya-iya, terserah kamu lah, Mas. Tapi kamu bisa kan menemui aku nanti malam?”
"Iya, bisa. Aku malah mau ke rumah kamu, tapi kamu malah teriak jangan. Sebenarnya ada apa sih? Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Iwan terdengar penasaran.
"Ya sudah kalau begitu kita ketemu nanti malam di kafe biasa, bagaimana?" jawab Vira seolah sengaja mengalihkan pembicaraan dan tentu saja hal itu disadari oleh kekasihnya yang terdengar menghela nafas dengan pasrah di seberang sana.
“Iya, jam berapa?”
“Jam tuju malam.”
“Oke.”
"Ya sudah aku matikan dulu teleponnya." Vira langsung mematikan sambungan teleponnya, ia tak peduli lagi dengan jawaban Iwan yang sepertinya masih penasaran dengan sikapnya yang tak biasanya.
***
Iwan menatap ke arah sesuatu yang terbungkus tisu, yang saat ini terletak di atas meja kafe. Laki-laki itu tentu saja merasa bingung namun saat melihat wajah Vira yang terlihat gelisah, ia semakin dibuat penasaran dan bertanya-tanya sebenarnya gadis itu kenapa.
Untuk saat ini Iwan dan Vira memang sudah berada di dalam kafe, mereka bertemu di sana dengan kendaraan masing-masing. Namun sejak tadi, yang gadis itu lakukan hanya diam bahkan saat Iwan menggandengnya untuk duduk di kursi lalu memesankan minuman untuknya. Walau kediamannya itu tak terlalu lama, karena setelah pelayan mengantarkan pesanan mereka, Vira menyodorkan sesuatu yang terbungkus tisu.
“Apa ini?”
"Buka aja!" Vira menatap serius ke arah Iwan yang terlihat penasaran saat meraihnya lalu membukanya untuk melihat isinya. Di sana terdapat alat tes kehamilan yang belum pernah ia pegang seumur hidupnya, namun untungnya ia pernah melihatnya di beberapa adegan film jadi ia paham dengan apa yang ia pegang sekarang.
“Apa ini?”
“Kamu buta? Ini alat tes kehamilan, Mas.”
“Aku tau, tapi apa maksudnya ini?”
"Kamu bisa lihat sendiri kan ada dua garis merah di sana dan kamu tau kan apa itu maksudnya?" jawab Vira dengan berusaha menahan emosinya, yang kali ini ditanggapi Iwan dengan menghembuskan nafas panjangnya beberapa kali.
"Kamu ... enggak mungkin hamil kan?" tanyanya sembari tersenyum, sedangkan Vira justru terdiam dengan tatapan tajam seolah mengartikan kebenaran.
"Jawab aku, Vira! Ini bukan milik kamu kan? Karena mustahil kamu hamil." Iwan mencengkeram lengan kekasihnya itu untuk menuntut jawabannya, namun hal itu justru membuat Vira geram dan melepaskan lengannya dengan kasar.
"Kenapa bisa mustahil? Sedangkan kita memang pernah melakukannya?"
"Iya, tapi ... itu kan cuma satu kali." Iwan menghembuskan nafasnya dengan kesal, ia tentu merasa tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
"Satu kali atau seratus kali pun memangnya apa bedanya? Itu semua enggak akan mengubah kenyataan kalau aku sedang hamil anak kamu sekarang." Vira tak kalah kesalnya, ia benar-benar kecewa dengan tanggapan kekasihnya.
"Kamu serius? Kamu enggak lagi ngeprank aku kan?" Iwan kembali bertanya seolah tak bisa mempercayainya begitu saja, sedangkan. Vira justru tersenyum sinis melihat tingkahnya.
"Aku enggak nyangka ya kamu bisa loh berpikir sedangkal itu? Kamu pikir ini lucu ya?"
“Iya karena ini aneh, Sayang.”
“Aneh kenapa?”
"Kita itu cuma melakukannya sekali, jadi mustahil kalau kamu sampai hamil. Kecuali kamu melakukannya dengan laki-laki lain?" Jawaban Iwan tentu saja mengejutkan Vira yang mendengarnya, gadis itu tampak tak percaya dengan jalan pikiran kekasihnya.
"Kamu gila ya? Jelas-jelas aku pertama kali melakukannya sama kamu, kamu yang memaksa ku waktu itu, aku bahkan sampai meminta kamu berhenti tapi kamu malah ...." Saking malu dan kesalnya, Vira sampai tidak sanggup mengatakan yang terjadi pada saat itu.
“Oke, aku mengakui itu memang kesalahan aku. Tapi setelah itu, apa kamu melakukannya dengan laki-laki lain?”
"Apa menurut kamu, aku gadis seperti itu?" tanya Vira tanpa mau melunturkan tatapan tajamnya, yang tentu saja membuat Iwan merasa takut dan juga pasrah di waktu yang sama.
“Iya, kamu memang bukan gadis seperti itu. Tapi aku benar-benar enggak menyangka ini bisa terjadi, kamu hamil anakku? Berita itu seperti petir di siang bolong tau enggak?”
"Menurut kamu, aku mau seperti ini? Enggak. Aku juga enggak mau hamil, tapi mau bagaimana pun kita tetap harus tanggung jawab kan, Mas?" ujar Vira dengan berusaha menahan emosinya, ia tentu tidak ingin membuat keributan di sana meskipun tempat duduk mereka cukup jauh posisinya dari pelanggan lainnya.
"Aku enggak tau," jawabnya terdengar tak berdaya, karena menjadi seorang ayah di umurnya yang baru dua puluh satu tahun bukanlah impiannya. Terlebih lagi Vira juga masih sembilan belas tahun, usianya sangat muda untuk menjadi seorang ibu.
Part 02
Vira yang mendengar jawaban Iwan tentu saja merasa tidak terima, karena mau bagaimana pun posisinya lah yang paling dirugikan di sana. Terutama saat ia merasa tidak enak badan akhir-akhir ini, seperti sering kelelahan, muntah di pagi hari, dan juga pusing, semua itu ia rasakan dengan perasaan tak karuan.
Tentu saja Vira merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya, terlebih lagi ia pernah melakukan hubungan suami istri dengan kekasihnya beberapa Minggu yang lalu ditambah dengan telatnya menstruasinya yang seharusnya sudah datang. Itu lah kenapa ia memberanikan diri untuk membeli alat tes kehamilan di apotik, dan baru tadi pagi ia melihat hasilnya yang menunjukkan garis dua.
Vira sendiri sadar bila dirinya masih sangat muda, bahkan baru lulus SMA, rencananya ia ingin mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarganya, namun dengan kehamilannya ini tentu saja ia tidak akan bisa melakukannya dengan mudah. Ditambah lagi sikap Iwan yang terkesan plin-plan, kian menambah daftar ketakutannya.
“Enggak tau kamu bilang? Ini itu anak kamu, sudah seharusnya kamu bertanggung jawab, Mas.”
“Iya, tapi ....”
“Kenapa lagi?”
“Aku belum siap.”
“Kamu pikir aku siap apa?”
Vira menatap tak percaya ke arah Iwan yang terlihat frustrasi, laki-laki itu tampak ingin lari dari tanggung jawab dan tentu saja Vira tidak akan membiarkannya begitu saja. Karena mau bagaimana pun kehamilannya ini bisa terjadi karena kesalahan dari kekasihnya itu, andai saja dulu dia tidak memaksanya, mungkin semua ini juga tidak akan terjadi di kehidupannya.
"Aku enggak mau tau ya, pokoknya kamu harus tanggung jawab." Vira mulai menekan Iwan sembari menatapnya dengan tegas, ia tidak akan membiarkan laki-laki itu lari dari tanggung jawabnya.
“Tanggung jawab bagaimana? Kita ini masih sangat muda, kamu umur sembilan belas tahun, sedangkan aku baru dua puluh satu tahun. Kamu pikir mudah untuk kita menikah?”
"Maksud kamu apa? Kamu mau lari dari tanggung jawab? Jangan macam-macam ya! Aku enggak akan membiarkan kamu hidup dengan tenang kalau sampai kamu berani melakukannya," ancam Vira serius sedangkan Iwan tampak kian frustrasi dengan posisinya saat ini.
"Bukan begitu maksudku, kamu tau kan kalau kita ini masih sangat muda? Sangat sulit untuk kita menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga, apalagi masih banyak yang ingin kita lakukan kan? Contohnya, kamu ingin bekerja untuk membantu ibu kamu, tapi bagaimana kalau sampai dia tau kamu hamil?" jawab Iwan yang sempat membuat Vira terdiam memikirkannya.
“Jadi kamu maunya bagaimana, Mas? Enggak usah berbelit-belit!”
"Bagaimana kalau kita gugurkan aja anak itu?" Jawaban Iwan yang kian membuat Vira tak percaya dengan jalan pikirannya.
“Menggugurkannya? Kamu sudah gila ya? Ini itu anak kamu, darah daging kamu sendiri. Kamu tega melenyapkannya?”
"Bukan begitu." Iwan berusaha meredam situasinya, karena sepertinya Vira mulai terpancing emosinya padahal ia tak berniat melakukannya.
"Intinya kamu enggak mau bertanggung jawab kan, Mas?"
“Kamu jangan salah paham, aku mau kok bertanggung jawab. Tapi kalau untuk menikah di usia kita yang sekarang, rasanya mustahil diwujudkan.”
“Kenapa mustahil?”
“Ya karena kita masih muda, masih banyak hal yang ingin kita lakukan kan?”
"Memang. Tapi itu sudah enggak penting lagi sekarang, karena aku mau kamu bertanggung jawab dengan cara menikahi ku." Vira menekankan keinginannya pada Iwan, ia tentu tidak mau mengulur waktu semakin lama, karena bertambahnya bulan perutnya akan semakin membesar.
"Menikahi kamu?" Iwan terlihat tidak senang saat mengatakannya seolah pernikahan bukanlah sesuatu yang ia impikan.
"Iya. Kenapa?" tanya Vira terdengar menantang, karena ia yakin kekasihnya itu masih ingin mengugurkan anak mereka.
“Kamu yakin enggak mau menggugurkannya? Bukannya kamu mau cari kerja ya untuk membantu ibu kamu?”
"Aku masih bisa bekerja setelah melahirkan, tapi yang penting sekarang kita harus menikah, karena aku enggak mau orang tau kalau aku hamil lebih dulu." Jawaban Vira terdengar melelahkan untuk Iwan, namun di dalam hati ia juga merasa khawatir dengan keadaan gadis itu terlebih lagi ia juga sangat mencintainya.
“Oke, kita akan menikah. Tapi sebelum itu, kita harus periksa dulu ke dokter, apa benar kamu sedang hamil atau enggak?”
“Kamu pikir aku ini bohong ya?”
"Bukan begitu, Sayang. Aku cuma mau memastikannya aja, supaya semuanya jelas dan lagi aku juga butuh bukti pernyataan dokter untuk mengatakannya ke ibuku kan?" ujar Iwan yang sempat didiami oleh Vira, karena apa yang dikatakannya juga ada benarnya.
"Bagaimana? Kamu mau kan ke dokter dulu?" tawar Iwan memastikan yang mau tak mau Vira angguki.
“Iya, aku mau.”
"Oke, besok pagi aku akan menjemput kamu ya?" Iwan merengkuh tangan Vira sembari menatapnya dalam-dalam, sedangkan gadis itu tampak diam tak tenang.
“Iya.”
***
Keesokannya, Vira dan Iwan datang ke puskesmas berniat menemui dokter kandungan, keduanya tentu merasa penasaran akan kepastian dari alat tes kehamilan tadi malam. Untungnya Iwan bekerja di sawah milik ibunya sendiri, jadi ia tak perlu izin untuk pergi selagi pekerjaannya sudah diselesaikan .
Cukup lama mengantri dan menunggu, akhirnya nama Vira dipanggil oleh suster. Keduanya berjalan masuk ke dalam ruangan dan disambut hangat senyum dokter yang menawan, Iwan sempat tertegun melihat dokter cantik itu sampai pada akhirnya cubitan keras mengenai perutnya.
"Dijaga mata kamu!" gumam Vira terdengar mengancam, yang seketika disenyumi oleh kekasihnya itu.
“Iya, maaf.”
"Silahkan duduk!" Dokter wanita itu mempersilahkan Vira dan Iwan untuk duduk di kursi yang berada di depannya, yang diangguki oleh mereka dan keduanya duduk berdampingan.
"Mau periksa apa?"
"Kemarin sore saya mengetes kehamilan dengan test pack dan hasilnya garis dua, Dok. Saya kesini ingin memastikannya, apa benar saya hamil?" jawab Vira yang diangguki mengerti oleh dokter tersebut.
"Baik, kalau begitu saya periksa dulu ya mari berbaring di sini!" Dokter itu menyuruh Vira untuk naik ke atas ranjang, di sana ia diperiksa tekanan darah dan juga perutnya.
"Tarik nafas!" pinta sang dokter sembari menekan perut Vira, tak lama ia menganggukkan kepala.
"Sudah, Anda boleh kembali ke tempat duduk!" Mendengar itu, Vira hanya mengangguk sopan lalu turun dari ranjang dan duduk kembali ke kursinya.
"Bagaimana, Dok? Apa benar Vira sedang hamil?" tanya Iwan terdengar penasaran saat dokter itu kembali ke kursinya.
"Apa Anda suaminya?" tanyanya yang sempat didiami oleh Iwan sembari menatap bingung ke arah Vira, namun tak pikir panjang gadis itu langsung menganggukinya.
“Eh iya, Dok. Saya suaminya.”
“Kalian ini masih terlihat sangat muda ya? Memangnya umur kalian berapa?”
"Saya dua puluh satu tahun, kalau istri saya sembilan belas tahun." Jawaban Iwan tentu saja mengejutkan dokter tersebut, karena mau bagaimana pun mereka terlalu muda untuk menjadi orang tua.
"Kalian ini masih sangat muda, kenapa buru-buru menikah?" tanya sang dokter yang hanya disenyumi canggung oleh Iwan, namun tidak dengan Vira yang tampak tidak peduli dengan itu semua.
"Jadi bagaimana, Dok? Saya hamil atau tidak?" tanya Vira terdengar penasaran, ia hanya ingin tahu hal itu tanpa mau memikirkan yang lainnya.
"Iya, kamu memang sedang hamil." Jawaban sang dokter mengejutkan Vira dan juga Iwan, keduanya terlihat tak percaya dengan apa yang baru mereka dengar.
"Kamu hari terakhir pertama mens tanggal berapa?" tanya sang dokter sembari mengambil sebuah alat berbentuk bulat.
“Ma-maksudnya bagaimana, Dok? Saya enggak ngerti.”
“Terakhir kali kamu mens di hari pertamanya itu tanggal berapa? Saya akan mengecek umur kandungan kamu dan HPL-nya.”
"H-HPL?" tanya Vira terdengar kebingungan, ia tampak tak fokus dengan pertanyaannya saking syoknya ia sekarang. Padahal sebelum ini Vira sudah tahu dengan kehamilannya, namun entah bagaimana pernyataan dokter itu seolah mengguncang mentalnya.
"Iya, HPL. Hari perkiraan lahir." Dokter itu tentu saja merasa heran dengan keadaan Vira, yang tampak linglung entah karena apa.
"Lain kali saja, Dok. Kami permisi dulu, terima kasih." Vira menarik lengan Iwan lalu pergi dari ruangan itu, meninggalkan dokter dan susternya yang merasa bingung dengan tingkahnya.
"Kamu ini kenapa sih? Dokter tadi itu tanya kapan kamu mens? Tapi kamu malah enggak menjawabnya, jangan-jangan ada yang kamu sembunyikan?" tanya Iwan serius saat mereka sudah di tempat parkiran.
"Maksud kamu apa?" Vira yang masih belum menstabilkan keterkejutannya dibuat geram dengan sikap Iwan, laki-laki itu seolah ingin menjagalnya kapan saja.
"Ya aku kan enggak tau kamu main sama siapa aja? Bisa aja kan kamu melakukannya dengan orang lain sebelum dengan aku?"
"Jelas-jelas aku masih perawan saat kamu sentuh waktu itu, jadi mana mungkin aku melakukannya dengan orang lain lebih dulu?" jawab Vira terdengar geram, namun ia tidak mau meninggikan suaranya agar orang lain tidak mendengarnya.
"Iya sih tapi setelah aku mungkin? Bisa aja kan itu anak orang lain, bukan anak aku?" Jawaban Iwan benar-benar membuat Vira muak.
"Kamu itu sudah sinting," jawabnya tak percaya.
"Kalau memang itu anakku, lalu kenapa kamu buru-buru pergi dari sana tadi? Kamu juga enggak berani menjawab pertanyaan dokter itu? Kenapa? Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Iwan yang kali ini ditanggapi Vira dengan senyuman sinis.
“Aku tadi cuma syok.”
“Syok? Maksudnya?”
"Aku tau kalau aku sedang hamil, tapi saat dokter itu bilang kalau aku benar-benar hamil, rasanya aku enggak mau percaya." Mata Vira mulai berkaca-kaca, padahal sudah sejak tadi ia berusaha menahan tangisnya, namun saat melihat sikap Iwan yang kekanak-kanakan rasanya ia ingin sekali menyerah dengan nasib hidupnya.
Part 03
Iwan dibuat bingung dengan Vira yang mulai menangis di hadapannya, gadis itu bahkan sampai mengalihkan wajahnya seolah sangat kecewa. Iwan tentu merasa kasihan dengan keadaan kekasihnya itu, namun entah kenapa egonya selalu ingin membuktikan kalau dirinya tidak mungkin terlibat dalam permasalahannya.
"Kamu pikir mudah ya jadi aku?" tanya Vira setelah menghapus air matanya dan menatap ke arah Iwan yang sedari tadi diam.
"Kamu sadar enggak sih kalau kamu sudah menghancurkan masa depanku? Impian aku untuk bekerja demi membantu ibuku itu harus terhenti gara-gara kamu. Kamu yang memaksa ku melakukan itu, tapi sedikit aja kamu enggak merasa bersalah. Kamu terus-terusan menuduh ku ini dan itu, seolah aku gadis murahan yang bisa kamu tarik dan ulur." Vira menekan dada Iwan beberapa kali, meluapkan emosinya meskipun harus ditemani dengan air matanya.
"Di saat kamu memaksaku waktu itu, kamu berjanji akan selalu bersamaku dan menjaga ku. Tapi sekarang saat aku hamil, kamu menuduh ku seolah aku ini selingkuh." Vira tersenyum sinis, merasa tak menyangka saja dirinya mencintai laki-laki seperti Iwan, laki-laki plin-plan.
"Aku melakukannya satu kali dan itupun cuma sama kamu, enggak ada laki-laki lain sebelum ataupun setelah itu. Jadi stop menuduh ku! Bilang aja kalau kamu enggak mau tanggung jawab kan?" ujar Vira lagi yang kali ini membuat Iwan terdiam, laki-laki itu tentu saja merasa tertampar dengan kata-kata kekasihnya.
“Aku mau bertanggung jawab, Sayang. Tadi aku cuma ....”
"Cuma apa? Cuma karena aku enggak mau menjawab pertanyaan dokter itu, kamu bisa seenaknya menuduh ku." Vira menunjuk ke arah dadanya yang terasa sakit dan perih di dalamnya.
"Aku bukannya enggak bisa, aku cuma enggak tau harus bagaimana? Dokter itu bilang kalau aku benar-benar hamil? Sedangkan aku aja belum menikah? Kamu pikir bagaimana aku harus menanggung itu semua? Penilaian semua orang tentang aku? Tentang ibuku? Bagaimana aku harus menghadapi itu semua?" tanya Vira dengan tangis yang kian deras mengalir di pipinya.
"Meskipun aku yakin kalau alat tes kehamilan itu enggak mungkin salah, tapi saat mendengarnya langsung dari dokter itu, rasanya dunia ku hampir berhenti berputar. Banyak hal yang aku pikirkan tentang masa depan, enggak sedikit juga yang aku takutkan, tapi kamu malah ...." Vira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, ia benar-benar tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Sedangkan Iwan yang melihat itu tentu saja merasa iba, dengan pelan ia merengkuh Vira untuk sedikit menenangkan emosinya.
"Aku minta maaf, aku sudah salah sama kamu, aku janji akan bertanggung jawab dengan cara menikahi kamu." Iwan mengusap punggung Vira yang naik turun karena sesenggukan.
"Sudah, jangan nangis ya!" Iwan melepaskan pelukannya lalu menatap ke arah wajah Vira, di sana ia menghapus air matanya yang masih merembes jatuh di pipinya.
"Kamu mau memaafkan aku kan?" tanyanya yang kali ini diangguki oleh Vira, dalam hati tentu saja Iwan merasa bersyukur.
"Setelah ini aku akan berbicara dengan Ibu kamu, bagaimana?" Mendengar itu dari mulut Iwan, tentu saja Vira merasa bingung dengan maksud ucapannya.
“Berbicara tentang apa?”
“Tentang apalagi? Ya tentang pernikahan kita lah, aku mau melamar kamu.”
“Kamu serius?”
"Iya lah serius. Kenapa sih? Kamu kok kaya enggak percaya?" tanya Iwan yang kali ini membuat Vira menundukkan kepalanya, merasa sedih saja bila mengingat sikap kekasihnya.
"Bukannya kamu enggak mau kita menikah ya? Kamu bilang kita terlalu muda, kamu bahkan ingin menggugurkan anak kita kan?" tanya Vira tanpa mau menatap ke arah Iwan, yang menghela nafas panjang.
"Ucapanku itu salah, tolong jangan dipikirkan lagi ya? Aku mau kok kita menikah, aku akan bertanggung jawab apapun yang terjadi. Kamu percaya kan sama aku?" Mendengar itu dari bibir Iwan, Vira seketika tersenyum dan menatapnya dengan binar bahagia.
“Iya, aku percaya sama kamu.”
“Bagaimana kalau sekarang kita pulang ke rumah kamu? Aku akan berbicara dengan Ibu kamu baru setelah itu aku akan membicarakan pernikahan kita dengan ibuku, bagaimana?”
“Iya, aku setuju. Tapi setelah itu kamu datang untuk melamar ku bersama dengan ibu kamu kan?”
"Iya, itu pasti." Iwan mengangguk serius sembari tersenyum tulus, yang diangguki setuju oleh Vira.
"Kita pulang sekarang ya!" pintanya sembari menggandeng lengan Vira ke arah motornya, sedangkan gadis itu hanya mengikuti langkahnya dengan senyum manis yang tak pernah luntur dari bibirnya.
***
Sesampainya di rumah, Vira dan Iwan turun dari motor lalu berjalan ke arah pintu untuk masuk ke dalam. Sedangkan ibunya Vira yang kebetulan ada di rumah seketika menyambut kedatangan Iwan, yang dikenalnya sebagai pacar dari putrinya.
"Loh Nak Iwan ke sini sama Vira? Kapan jemputnya tadi? Kok Ibu enggak tau?" tanyanya sembari menyalami laki-laki itu, yang saat ini tersenyum sopan ke arahnya.
“Tadi pagi, Bu. Sekitar jam delapan.”
"Oh pantes aja Ibu enggak tau, kalau jam delapan sih Ibu masih kerja." Wanita itu tersenyum lalu mempersilahkan Iwan untuk duduk.
"Kamu duduk dulu sana, Ibu ambilkan minum ya?" tawarnya yang digelengi oleh Iwan.
“Enggak usah repot-repot, Bu!”
“Enggak kok. Vira kamu mau minum juga? Ibu ambilkan ya?”
"Iya, Bu." Vira mengangguk namun bibirnya seolah enggan untuk tersenyum.
“Sebentar ya, Nak Iwan!”
"Iya, Bu," jawab Iwan terpaksa, karena sekeras apapun ia menolak, ibu dari pacarnya itu akan tetap mengambilkannya minuman atau bahkan makanan.
"Sudah, duduk dulu aja sana!" ujar Vira yang mau tak mau Iwan turuti permintaannya, sedangkan gadis itu ikut duduk di sampingnya dan kini keduanya sama-sama terdiam, menunggu kedatangan ibunya Vira yang masih mengambilkan minuman di kulkas dapur.
"Nak Iwan ini minumannya ya, cepat diminum mumpung masih dingin!" Ibunya Vira yang baru datang itu menyodorkan minuman ke arah putrinya dan juga Iwan yang mengangguk sopan, lalu menatap ke arah mereka berniat pamit dari sana.
"Ya sudah kalau begitu Ibu ke belakang dulu ya," pamitnya yang buru-buru Vira cegah langkahnya.
"Jangan pergi dulu, Bu!"
"Ada apa?" Wanita itu menoleh ke arah putrinya yang melirik ke arah Iwan, sedangkan laki-laki itu terlihat ragu seolah belum siap apapun.
"Mas Iwan mau berbicara sama Ibu. Iya kan, Mas?" ujar Vira gugup sembari melirik ke arah kekasihnya yang tersenyum canggung.
"Iya, Bu. Ada yang mau aku bicarakan sama Ibu." Iwan menjawab seadanya yang tentu saja membuat wanita itu merasa penasaran.
"Ada apa? Kok kayanya serius?" Ibunya Vira kembali berjalan ke arah mereka lalu duduk di kursi yang sama.
“Iya, Bu. Ini memang sedikit serius.”
“Oh ya? Ada apa? Apa kalian ada masalah?”
"Bukan masalah sih, Bu. Lebih tepatnya kami memiliki rencana untuk menikah dalam waktu dekat," ujar Iwan yang cukup mengejutkan ibunya Vira, bisa dilihat dari ekspektasi wajahnya namun anehnya seolah ada kesedihan di sana.
"Apa? Kalian ingin menikah dalam waktu dekat? Tapi kenapa?" tanyanya yang tentu bisa dibaca oleh Iwan dan juga Vira bila wanita itu kurang setuju dengan kabar tersebut.
"Ya enggak apa-apa, Bu. Memangnya enggak boleh ya kalau kita ke jenjang yang lebih serius lagi? Toh, kita pacarannya juga sudah lama." Vira menjawabnya dengan berusaha tenang, ia tentu tidak ingin memberitahu ibunya tentang kehamilannya, bisa-bisa ibunya akan marah besar.
“Ibu tau itu, tapi apa enggak terlalu cepat? Umur kamu aja belum ada dua puluh tahun, masa mau menikah secepat itu?”
“Ya mau bagaimana, Bu? Aku sama Mas Iwan enggak mungkin pacaran terus-terusan kan?”
"Iya, tapi apa kamu enggak mau cari kerja dulu? Cari pengalaman, main-main sama teman, bahagiakan diri kamu sendiri, apapun itu yang enggak mungkin bisa dilakukan setelah menikah, apa kamu enggak mau itu semua? Mumpung kamu juga masih muda, Ra."
“Bu, aku enggak butuh itu semua, karena aku yakin setelah menikah pun, aku masih bisa melakukannya dengan Mas Iwan.”
“Menikah itu enggak mudah loh, Ra. Pasti akan banyak masalah yang terjadi, dengan usia kamu yang masih muda seperti ini, apa kamu yakin bisa menghadapinya?”
"Aku yakin bisa selagi Mas Iwan bersama ku." Vira menjawab yakin yang tentu saja membuat ibunya merasa sedih mendengarnya, putrinya itu terlalu keras kepala sedangkan dia belum pernah merasakan pahitnya rumah tangga.
"Nak Iwan sendiri bagaimana? Apa sudah yakin untuk menikah di usia kalian yang masih sangat muda?" Kini ibunya Vira yang bertanya ke arah Iwan, yang sedari tadi diam mendengarkan.
“Aku yakin, Bu.”
“Lalu bagaimana dengan pekerjaan kamu? Apa itu cukup untuk menghidupi kalian berdua?”
"Untuk saat ini aku masih bekerja di sawah ibuku dengan gaji tiga juta dalam satu musim, tapi ibuku pernah berjanji akan membiayai aku untuk menanam semangka sendiri kalau sudah menikah, Bu." Iwan menjawab yakin yang tentu saja membuat ibunya Vira merasa ragu, namun ia tidak mau mempersulit mereka dan yang bisa ia lakukan hanya pasrah dan mendoakan yang terbaik untuk keduanya.
“Baiklah, Ibu harap apa yang ibu kamu katakan itu benar. Karena menurut Ibu, tiga juta dalam satu musim itu sangat sedikit saat kalian sudah memiliki anak.”
“Ibu tenang aja, ibuku enggak mungkin berbohong, karena sebelum ini kakak laki-lakiku juga diberi satu sawah dan dibiayai untuk menanam sendiri. Dan sekarang penghasilannya bisa puluhan juta dalam satu musim, Bu.”
"Begitu ya? Baiklah, Ibu setuju kalian menikah, yang penting Vira enggak sampai kekurangan apa-apa. Sejak kecil dia sudah banyak menderita, jadi Ibu sangat berharap dia akan bahagia setelah menikah." Wanita itu menatap ke arah putrinya yang menunduk dan terdiam, di dalam hati tentu saja ia merasa tak karuan.
“Iya, Bu. Aku janji, jadi Ibu enggak usah khawatir ya?”
"Iya," jawab ibunya sembari tersenyum tulus ke arah Vira, yang saat ini berusaha terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya hatinya hancur melihat kesedihan di wajah ibunya.
Part 04
Setelah Iwan pulang, ibunya Vira berjalan ke arah putrinya yang saat ini sedang mengemasi gelas minuman di meja. Wanita itu merengkuh tangan putrinya dan menatapnya dalam-dalam seolah ingin menyuruhnya untuk berhenti berkemas, tentu sebagai seorang ibu, ia ingin menasehatinya tentang pernikahan karena mau bagaimana itu sesuatu yang sakral, kita tidak bisa melakukannya dengan tergesa-gesa.
"Ada apa, Bu?" tanya Vira sembari melepaskan tangannya dari gelas yang sempat direngkuhnya.
“Ibu mau bertanya sama kamu.”
"Tanya apa, Bu?" Vira menatap serius ke arah ibunya sembari merengkuh tangannya yang kasar dan mulai keriput karena pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga.
"Apa kamu yakin akan menikah?" Mendengar pertanyaan itu dari bibir ibunya, Vira seketika menghela nafas panjangnya, ia tampak merasa lelah bila harus kembali membahasnya.
“Tadi bukannya kita sudah membahasnya? Tapi kenapa sekarang Ibu menanyakannya lagi?”
“Ibu cuma memastikannya aja, apa kamu benar-benar yakin dengan keputusan kamu untuk menikah di usia kamu yang masih sangat muda? Karena jujur saja, perasaan ibu enggak enak ....”
"Itu cuma perasaan ibu aja," potong Vira sebelum ibunya melanjutkan ucapannya.
“Iya, Ibu berharapnya sih seperti itu, tapi entah kenapa Ibu masih belum sreg kalau kamu menikah.”
“Kenapa? Ibu enggak setuju kalau aku menikah dengan Mas Iwan?”
“Bukan begitu, Ibu setuju aja kalau kamu menjalin hubungan dengan Nak Iwan, tapi kalau untuk menikah rasanya Ibu enggak bisa menerimanya.”
"Kenapa lagi? Apa karena masalah usia kami yang masih muda?" tanya Vira yang kali ini didiami oleh ibunya.
“Ibu, sudahlah. Stop berpikiran yang enggak-enggak tentang rencana pernikahan aku dengan Mas Iwan, karena apapun yang terjadi kami akan tetap menikah.”
"Vira, menikah itu enggak mudah, akan banyak masalah yang akan mengiringi perjalanan rumah tangga kalian, itu lah kenapa kalian butuh kesiapan mental yang kuat untuk menjalaninya. Sedangkan usia kalian ini sama-sama masih muda, Ibu enggak yakin kalian bisa menghadapinya," jawab ibunya yang mulai membuat Vira muak mendengarnya.
"Enggak bisa menghadapinya itu maksudnya bagaimana, Bu? Akan bercerai seperti Ibu dan Bapak?" Pertanyaan Vira itu mampu mengejutkan hati ibunya, yang merasa tak menyangka akan pertanyaan tajam dari bibir putrinya.
"Vira," tegur ibunya terdengar tak percaya.
"Kenapa? Apa yang aku bilang benar kan, Bu? Ibu dan Bapak bercerai karena kalian belum siap secara mental, tapi sekarang Ibu membicarakannya seolah-olah rumah tanggaku akan sama seperti kalian." Vira menatap serius ke arah ibunya yang terluka mendengar penuturannya, padahal selama ini ibunya tidak pernah mengatakan apa yang sudah terjadi dengan keluarga mereka, permasalahan apa yang membuat rumah tangga itu hancur hanya dalam waktu kurun sepuluh tahun.
“Kamu itu enggak tau apa-apa, jadi stop membahas rumah tangga ibu dengan bapak kamu, karena kami sudah memilih jalan hidup masing-masing.”
"Iya, tapi dengan cara menghancurkan hidupku. Gara-gara keegoisan Ibu yang bersikeras ingin berpisah dengan Bapak, aku tumbuh menjadi anak yang kekurangan kasih sayang. Dan bahkan saat aku ingin menikah pun, Ibu masih ingin menghalangi kebahagiaan aku?" tanya Vira yang digelengi oleh ibunya.
“Enggak, Ibu itu setuju kamu menikah tapi enggak sekarang juga, Vira. Kamu ini masih sangat muda, banyak hal yang harus kamu nikmati di usia remaja kamu sebelum menjadi seorang istri apalagi seorang ibu.”
"Tapi ini sudah keputusan aku, Bu. Kenapa sih Ibu enggak mau setuju aja? Aku pasti bahagia kok dengan pilihan ku sendiri, jadi stop mengkhawatirkan sesuatu yang enggak perlu." Vira tentu saja tidak mau dikalahkan, selain karena ia sedang hamil dan harus segera menikah, diam-diam ia juga merasa lelah dengan sikap ibunya yang terlalu sok tahu dan terus mengaturnya.
"Iya, Ibu setuju kamu menikah dengan Iwan. Sudah kan? Kalau begitu Ibu ke kamar dulu," pamitnya sembari mendirikan tubuhnya, namun tanpa putrinya sadari matanya menangis bahkan sebelum sampai di kamarnya. Sebagai seorang ibu, tentu saja wanita itu kecewa dengan sikap putrinya, namun ia juga tidak bisa mengekangnya untuk selalu menuruti keinginannya, karena mau bagaimanapun pernikahan itu adalah impiannya.
Di sisi lainnya, Vira menundukkan kepalanya dengan perasaan tak karuan, ia sadar bila sikapnya sudah keterlaluan ke ibunya, namun ia juga tidak mungkin mengurungkan niatnya untuk menikah dengan Iwan, karena mau bagaimana pun kehamilannya harus segera ditutupi dengan pernikahan.
Sebagai seorang anak, Vira tentu merasa bersalah pada ibunya dan bahkan ia juga sadar bila apa yang dikatakannya memang benar. Usianya masih sangat muda untuk menikah, mungkin juga mentalnya belum siap menjadi seorang istri, dan juga masih banyak hal yang seharusnya bisa ia nikmati di usia remajanya. Namun bukan berarti kehidupannya setelah menikah akan menderita kan, karena Vira yakin bila hidupnya akan lebih baik dari ini, ia akan bahagia bersama dengan keluarga kecilnya termasuk dengan anak yang berada di kandungannya.
"Maafkan aku, Bu. Aku memang harus segera menikah, aku enggak mau mengulur waktu juga demi bisa menjaga nama baik Ibu," gumam Vira dalam hati tanpa menyadari bagaimana ibunya menangis diam-diam di kamarnya yang sunyi.
***
Di rumahnya, Iwan tampak gelisah saat akan berbicara dengan ibunya, namun mau tak mau ia harus tetap melakukannya karena mau bagaimana pun Vira butuh pertanggung jawabannya segera. Kekasihnya itu sedang hamil anaknya dan tentu saja ia harus segera menikahinya, ia tidak boleh mengulur waktu lebih lama lagi demi bisa menjaga nama baiknya.
"Bu," panggil Iwan saat wanita yang sudah melahirkannya itu baru saja duduk di lantai untuk menonton televisi.
"Ada apa?" tanyanya tanpa mau menoleh ke arah putranya, membuat Iwan kian gugup untuk menyampaikan niatnya. Ibunya adalah wanita single parent yang sudah membesarkannya dan juga kakaknya seorang diri, karena ayahnya sudah meninggal saat usianya baru menginjak lima belas tahun.
"Aku mau berbicara sama Ibu? Bisa enggak TV-nya dimatikan dulu?" ujar Iwan serius yang tentu saja membuat ibunya merasa kesal.
“Mau bicara yang tinggal ngomong aja, kenapa juga TV harus dimatikan?”
“Aku mau berbicara serius, Bu.”
"Mau bicara apa?"
"Matikan dulu TV-nya!" pinta Iwan lagi yang kian membuat ibunya kesal dan dengan kasar mematikan teleponnya, lalu menatap ke arah putranya dengan tatapan tajam.
"Sudah Ibu matikan TV-nya. Ada apa sih? Ibu itu baru aja mau nonton TV, tapi kamu malah minta dimatikan. Awas aja kalau sampai enggak penting, jangan tidur di rumah kamu!" ancam wanita itu terdengar geram, namun bagi Iwan, ia sudah terbiasa dengan sikapnya.
“Kalau enggak penting, enggak mungkin aku sampai minta matikan TV, Bu.”
“Ya sudah, kamu mau bicara apa?”
"Aku mau nikah, Bu." Jawaban Iwan yang tentu saja mengejutkan ibunya, bisa dilihat dari bulatan matanya.
“Apa tadi kamu bilang? Kamu mau menikah?”
“Iya, Bu.”
"Enggak usah becanda, ini enggak lucu." Wanita itu menatap tajam ke arah putranya dengan nafas yang mulai naik turun, tentu saja wanita itu merasa tidak bisa menerima ucapan putranya yang ngawur.
“Aku enggak becanda, Bu. Aku serius, aku mau menikah.”
“Sama siapa coba? Ibu tanya.”
“Sama Vira, Bu.”
"Vira? Pacar kamu yang miskin itu?" tanya ibunya yang diangguki kamu oleh Iwan, sejak dulu ibunya memang kurang menyukai pacarnya yang tidak berasal dari keluarga mampu atau semacamnya.
“Iya, Bu.”
"Ibu enggak setuju." Wanita itu menjawab dengan tegas, jawabannya seolah tidak ingin diganggu gugat.
“Tapi kenapa, Bu? Apa alasannya? Apa karena kita masih muda, makanya Ibu enggak setuju?”
"Itu kamu tau, tapi kenapa masih tanya? Apalagi kamu mau menikah sama Vira, yang ibunya aja kerja jadi ART di rumah orang. Malu-maluin kalau sampai jadi besan Ibu." Wanita itu menepuk dadanya beberapa kali, sedangkan Iwan tentu saja merasa kebingungan mencari cara supaya niatnya bisa disetujui oleh ibunya.
“Kenapa harus malu sih, Bu? Yang penting kan Vira enggak jadi ART, toh dia juga pasti tinggal di sini, enggak sama ibunya.”
“Kamu pikir orang enggak bakal tau siapa besan Ibu meskipun si Vira itu tinggal di sini? Semua orang pasti tau itu, dan Ibu enggak mau itu sampai terjadi, bisa malu Ibu.”
“Tapi aku cinta sama Vira, Bu. Masa Ibu enggak mau merestui hubungan ku sama dia sih?”
“Iya, Ibu bakal restui kalau ibunya sudah kaya. Kalau masih miskin sih buat apa?”
“Astaghfirullah aladzim, Bu.”
"Apa kamu nyebut-nyebut segala? Shalat aja enggak pernah kamu, jadi enggak usah sok-sok alim." Wanita itu mengomel terus-terusan sampai Iwan kehabisan cara untuk membuatnya setuju dengan rencana pernikahannya.
“Jadi maunya Ibu itu aku ini harus bagaimana?”
"Batalkan niat kamu untuk menikahi Vira itu!"
"Ya enggak bisa gitu lah, Bu!" Jawaban Iwan yang terkesan ngeyel membuat ibunya merasa heran sekaligus geram.
"Sebenarnya kamu ini kenapa sih? Kenapa kamu mau minta nikah, sedangkan usia kamu aja masih muda? Apalagi sama si Vira itu, kaya enggak ada wanita lain aja."
“Ya kan dia pacarku, Bu. Masa pacarannya sama Vira, nikahnya sama wanita lain?”
"Sekarang kamu berani ya jawab Ibu? Kalau Ibu bilang enggak ya enggak, ngeyel banget sih?" jawab ibunya terdengar tak habis pikir, yang tentu saja membuat Iwan kian frustrasi.
"Vira hamil, Bu," ujar Iwan cepat sembari menatap takut ke arah ibunya yang tampak syok dengan ucapannya.
"Apa kamu bilang?" tanyanya dengan menajamkan matanya ke arah putranya, yang saat ini sudah bersiap-siap melindungi dirinya dengan cara membalikkan tubuhnya.
Part 05
Ibunya Iwan seketika murka setelah mendengar penuturannya, pacar dari putranya itu ternyata sedang hamil, pantas saja Iwan ingin segera menikahinya. Dengan perasaan geram dan marah, wanita itu memukuli pundak putranya yang saat ini meringkuk ketakutan.
Sebagai seorang ibu, wanita itu tentu saja kecewa terlebih lagi saat mengingat bagaimana perjuangannya selama ini untuk menghidupi kedua putranya setelah ditinggal suaminya meninggal. Untungnya ia masih memiliki banyak sawah peninggalan dari suaminya, yang bisa ia tanami sampai mendapatkan hasil. Namun semua itu tentu tak semudah seperti sekarang, karena mau bagaimana pun ia hanya wanita biasa, ia tak pernah bertani sebelumnya, ia juga tak paham bagaimana cara bercocok tanam.
Setelah bertahun-tahun ia belajar, kini akhirnya ia bisa menikmati hasilnya, meskipun awal-awal ia sempat memiliki hutang di bank karena harus memutar modal. Namun pada akhirnya ia bisa berhasil dan menjadi salah satu petani semangka yang sukses. Setelah semua pengorbanan dan penderitaannya itu, putra keduanya itu justru ingin menjelekkan nama baiknya dan harga dirinya sebagai seorang ibu.
“Maafkan aku, Bu!”
"BISA-BISANYA KAMU MENGHAMILI WANITA ITU? KAMU ITU SUDAH GILA ATAU APA? HA?" sentak ibunya marah dengan terus-terusan memukuli Iwan yang mulai merasa kesakitan.
"Aku khilaf, Bu. Aku juga enggak menyangka kalau Vira bakal hamil, makanya aku mau menikahi dia secepatnya, karena mau bagaimana pun aku harus bertanggung jawab kan?" Iwan berusaha memberanikan diri untuk menjawab, meskipun sebenarnya ia juga ketakutan melihat kemarahan ibunya.
"Sekarang apa yang harus Ibu lakukan dengan kelakuan kamu itu? Ibu benar-benar kecewa sama kamu." Wanita itu menghentikan tangannya memukul tubuh putranya, matanya menangis seolah tak mampu lagi membendung masalah yang terjadi.
“Aku minta maaf, Bu. Aku yang salah di sini, enggak seharusnya aku melakukannya dengan Vira apalagi kita juga masih sangat muda, sekarang dia hamil dan harus segera aku nikahi. Kalau enggak keluarga dia dan keluarga kita pasti akan malu, Bu.”
"Kenapa harus keluarga kita juga yang malu? Biarkan saja dia dan ibunya yang malu sendiri," jawab ibunya terdengar serak saking sakit hatinya ia saat ini, seolah tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi nanti.
"Vira dan ibunya juga enggak mungkin tinggal diam, Bu. Mereka pasti akan mengatakannya ke semua orang, siapa yang sudah menghamilinya? Dan pada akhirnya nama keluarga kita juga yang terseret, Bu." Iwan merengkuh lengan ibunya yang mulai sedikit tenang, namun tidak dengan hatinya yang masih terselimuti amarah.
"INI SEMUA GARA-GARA KAMU," teriak ibunya sembari mendorong tubuh Iwan hingga tersungkur, namun putranya itu hanya diam dan tertunduk pasrah.
"Gara-gara kamu Ibu jadi harus memiliki besan miskin seperti ibunya Vira," lanjutnya geram yang lagi-lagi tak Iwan lawan, laki-laki itu hanya berusaha bangun dan tertunduk takut.
“Maaf, Bu.”
"Kapan kita kesana untuk melamarnya?"
“Sebisanya Ibu aja, aku nurut aja, Bu.”
"Ya sudah kalau begitu besok malam kita kesana." Setelah mengatakan itu, wanita itu pergi ke arah kamarnya, meninggalkan putranya yang terdiam dan menghela nafas panjang.
"Iya, Bu," jawab Iwan lirih lalu mengambil ponselnya untuk mengirimi kekasihnya pesan.
[Besok malam, aku dan ibuku akan kesana untuk melamar kamu.]
[Kamu serius, Mas? Kamu enggak sedang membohongi ku kan?]
[Aku sangat serius, kamu sampaikan ini ke ibu kamu ya?]
[Iya, Mas]
Iwan kembali menghela nafas panjangnya, ia tentu merasa frustrasi dengan jalan hidupnya, namun meskipun begitu ia tetap harus berada di tujuannya yaitu menikahi Vira, kekasihnya yang sedang hamil anaknya.
***
Keesokan malamnya, Vira tengah menunggu kedatangan Iwan dan juga ibunya di teras rumahnya. Ia terlihat gelisah karena mereka belum juga datang di jam yang sudah dijanjikan, padahal sebelum ini kekasihnya itu sempat mengiriminya pesan dan berkata bila dia akan tiba di jam tuju malam, namun sampai sekarang mereka tak terlihat batang hidungnya padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan.
"Mereka kemana ya? Kok belum datang juga?" Vira tentu saja merasa gelisah, ia terus saja menatap jalanan di depan rumahnya, sesekali ia juga menatap ponselnya yang tak mendapati pesan apapun dari kekasihnya.
"Vira, Nak Iwan dan ibunya belum datang ya?" Ibunya Vira yang sedari tadi menunggu di dalam pada akhirnya keluar rumah dan bertanya langsung pada putrinya.
“Masih belum, Bu. Sepertinya mereka sedang ada masalah di jalan, aku harap mereka enggak kenapa-kenapa.”
“Kamu enggak mencoba menghubungi Nak Iwan aja? Supaya kamu juga merasa tenang.”
“Jangan, Bu. Mas Iwan pasti sedang bersama dengan ibunya, enggak enak aku kalau sampai menghubunginya.”
“Tapi ini sudah jam delapan loh, padahal kan tadi janjinya jam tuju malam.”
"Iya, aku sendiri juga enggak tau, Bu. Lebih baik Ibu menunggu di dalam aja ya, aku yakin Mas Iwan dan ibunya segera datang." Vira berusaha tersenyum ke arah ibunya yang mengangguk pasrah, padahal di dalam hatinya ia sedang tak karuan sekarang.
“Ya sudah, Ibu akan menunggu di dalam.”
"Iya, Bu." Vira menjawab lirih sembari menghembuskan nafas panjangnya beberapa kali, ia tentu merasa gelisah namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain duduk dan menunggu.
Sepuluh menit kemudian, sebuah mobil terparkir di depan rumah Vira, membuat gadis itu merasa penasaran dengan siapa yang datang. Namun saat melihat kekasihnya yang keluar dari dalamnya, di saat itu lah Vira tersenyum lega.
"Mas," panggilnya lirih lalu menatap ke arah sisi lainnya, dimana ibu dari kekasihnya itu turun dari mobilnya.
"Bu," panggil Vira sopan sembari melangkahkan kaki ke arahnya lalu menyalaminya, namun dengan kasar wanita itu menarik kembali tangannya, membuat Vira sempat terkejut dengan sikapnya.
"Enggak usah basa-basi, kita langsung saja membicarakan pernikahan kalian, aku enggak mau lama-lama di rumah kamu." Wanita itu berujar angkuh tanpa mau menatap ke arah Vira yang sempat terdiam kamu.
"I-iya, Bu. Silakan masuk ke dalam!" pinta Vira yang tidak wanita itu jawab dan hanya berjalan masuk ke dalam rumahnya, di saat seperti ini Vira langsung menoleh ke arah Iwan yang berada di sampingnya.
“Kamu dari mana aja, Mas? Kok baru sampai?”
“Tadi Ibu menemui temannya dulu, makanya kita baru datang sekarang.”
"Bagaimana sih? Katanya mau datang ke sini jam tujuh, tapi malah ke rumah temannya ibu kamu dulu?" jawab Vira terdengar kesal sembari terus berjalan ke arah rumahnya.
"Aku juga enggak tau. Tapi ya sudahlah, jangan terlalu mempermasalahkannya! Karena yang penting sekarang itu Ibu mau datang ke sini untuk melamar kamu, jadi jangan membuatnya berubah pikiran!" ujar Iwan yang mau tak mau Vira angguki.
"Iya-iya." Vira menjawab terpaksa lalu masuk ke dalam rumahnya, sesampainya di sana ia melihat ibunya sudah menyambut kedatangan ibunya Iwan dan menyuguhinya banyak makanan yang sudah dia siapkan sejak siang.
"Silakan dimakan makanannya!" ujar ibunya Vira sembari tersenyum sopan, namun ibunya Iwan tampak enggan menanggapinya dengan cara yang sama.
“Iya.”
“Nak Iwan, Vira. Ayo sini, kalian duduk juga.”
"Iya, Bu," jawab mereka bersamaan saat ibunya Vira meminta mereka untuk duduk, lalu semua orang terdiam seolah sedang menunggu pendahuluan dari ibunya Iwan sebagai orang tua dari pihak laki-laki.
Vira yang merasakan keheningan itu hanya bisa merapatkan bibirnya dengan kedua tangannya sesekali mengusap satu sama lain, saking gugupnya ia saat ini. Sedangkan di sampingnya, ibunya tampak merasakan hal yang sama. Berbeda dengan Iwan yang justru terlihat tenang, padahal saat ini ibu dari laki-laki itu tengah mendiamkan dirinya cukup lama diiringi sorot mata yang terkesan lelah dan kesal.
"Sepertinya saya enggak perlu berbasa-basi ya di sini, toh kalian ini juga siapa? Bukan orang penting juga. Tapi karena kerendahan hati saya, dengan terpaksa saya mau datang ke sini dengan tujuan melamar Vira untuk anak saya yang bernama Iwan." Wanita itu menatap malas ke arah Vira dan juga ibunya, ia bahkan terlihat angkuh saat memerhatikan penampilan keduanya yang terlalu sederhana. Tampa menyadari bagaimana Vira menatapnya penuh kekesalan, namun karena rencana pernikahannya, ia memilih untuk diam tanpa mau melawan.
"Iya, saya akan dengan senang hati menerima lamaran Nak Iwan. Sebagaimana yang saya tahu, mereka sudah menjalin hubungan cukup lama, sebagai orang tua, saya pasti merestui mereka." Ibunya Vira menjawabnya dengan tenang, meskipun sebenarnya hatinya serasa diiris setelah mendengar penuturan dari calon besannya tersebut.
"Iya lah kamu harus menerimanya! Kapan lagi anak kamu yang biasa ini dilamar anak berpunya seperti anakku? Tapi ya sudah lah ya, kita enggak perlu membahasnya, enggak akan membuat kalian sujud syukur juga. Kecuali ... kalian memang sengaja, ups." Ibunya Iwan menyunggingkan senyum sinisnya dengan lirikan mata tak suka ke arah Vira dan juga ibunya.
"Maksudnya sengaja bagaimana ya, Tante?" Vira menatap serius ke arah ibunya Iwan, ia tampak tak suka saat wanita itu mulai berbicara hal ngawur yang bahkan tidak ada kaitannya dengan tujuan dari pertemuan tersebut.
“Ya apalagi kalau bukan sengaja digoda? Kamu sengaja menggoda Iwan kan? Dan sekarang kamu sudah berhasil melakukannya, seharusnya sih kamu sujud syukur ya.”
"Aku enggak pernah menggoda siapapun termasuk Mas Iwan ya, Tante." Vira menjawab dengan tegas, namun hal itu tentu saja tak disukai oleh kekasihnya yang sudah susah payah meminta restu ibunya.
"Vira, kamu bisa diam enggak sih? Jangan melawan ucapan ibuku!" tegur laki-laki itu terdengar tak suka, yang tentu saja membuat Vira merasa kecewa dengan sikapnya.
"Mas, apa yang Ibu kamu katakan itu enggak benar dan kamu tau itu kan? Harusnya kamu membela ku dan mengatakan yang sebenarnya."
"Iya, nanti aku kasih tau Ibu tapi enggak sekarang. Lebih baik kamu diam aja, supaya pertemuan ini juga bisa berjalan dengan lancar dan kita segera menentukan tanggal baiknya." Iwan berbicara serius ke arah Vira yang kian kecewa, berbeda dengan calon mertuanya yang justru tersenyum penuh keangkuhan.
Part 06
Berbeda dengan ibunya Iwan yang begitu bahagia melihat sikap putranya, ibunya Vira justru merasa sebaliknya meskipun sejak tadi yang dia lakukan hanya duduk diam.
"Sepertinya pertemuan ini enggak perlu berjalan lancar atau semacamnya, karena saya berubah pikiran, saya enggak mau Vira menikah dengan Iwan." Ibunya Vira tiba-tiba berbicara, meskipun dengan nada tenang namun diam-diam ia tengah menahan gejolak amarahnya. Bagaimana tidak? Belum menjadi menantunya saja, Vira sudah diperlakukan buruk padahal ia tak pernah berbicara kasar sedikit pun pada Iwan, namun ibunya itu begitu merendahkan putrinya.
"Maksud Ibu apa?" tanya Iwan tak mengerti, namun ibu dari laki-laki itu justru tersenyum sinis.
"Maafkan Ibu, Nak Iwan, sepertinya Ibu enggak bisa merestui hubungan kalian apalagi sampai membiarkan kalian menikah. Ibu enggak mau Vira direndahkan seumur hidupnya apalagi kamu juga enggak berusaha membelanya, Vira adalah putri satu-satunya Ibu, wajahnya cantik, dan sifatnya juga baik. Ibu yakin dia bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik, dan dia juga akan tetap bahagia tanpa harus menikah dengan kamu." Wanita itu berujar dengan serius, namun calon besannya justru tersenyum sinis. Berbeda dengan Vira dan juga Iwan, keduanya tampak gelisah dan kebingungan.
"Saya sih enggak peduli kalau Iwan enggak jadi menikah dengan Vira, toh saya juga enggak menyukainya sejak awal. Tapi apa kamu yakin enggak mau menikahkan mereka?" tanyanya dengan nada angkuhnya.
“Saya sangat yakin.”
"Meskipun putri kamu sedang hamil sekarang?" ucapan ibunya Iwan begitu mengejutkan semua orang yang berada di sana terutama ibunya Vira yang sampai mengerjakan matanya saking bingungnya.
“Maksud Anda apa?”
"Kamu enggak tau ya? Putri kesayangan kamu itu sedang hamil anak dari putraku, itu lah kenapa mereka ingin cepat menikah." Mendengar itu, ibunya Vira seketika membulatkan matanya sembari menatap ke arah putrinya yang tertunduk ketakutan.
"Apa yang ibunya Iwan itu enggak benar kan, Vira?" tanya ibunya penuh harap, namun putrinya itu justru diam membisu tanpa mau menatap ke arahnya.
"VIRA, JAWAB IBU! APA YANG DIA KATAKAN ITU ENGGAK BENAR KAN? KAMU ENGGAK MUNGKIN HAMIL DI LUAR NIKAH KAN?" teriak ibunya yang kali ini ditanggapi putrinya dengan tangisan.
“Maafkan aku, Bu.”
"YA ALLAH VIRA," keluh ibunya terdengar tak percaya diiringi tangis yang sudah membanjiri wajahnya.
"Bagaimana mungkin kamu bisa setega ini sama Ibu? Salah apa Ibu sama kamu, sampai kamu berani buat malu Ibu?" Wanita itu menepuk dadanya, meskipun suaranya sudah lirih namun hatinya masih sangat perih.
“Aku minta maaf, Bu. Aku khilaf .... ”
"KHILAF KAMU BILANG?" teriaknya lagi sembari menarik-narik lengan putrinya yang cuma bisa pasrah.
"Bu ...." Iwan berniat membela Vira, namun tangan laki-laki itu dicubit ibunya seolah ingin menginterupsinya untuk diam, yang mau tak mau ia turuti meskipun sebenarnya ia merasa kasihan dengan keadaan kekasihnya.
"Sudah-sudah! Saya enggak mau mendengar pertengkaran kalian, cuma buang-buang waktu aja." Ibunya Iwan mendirikan tubuhnya, membuat Vira dan ibunya terdiam menatapnya dengan tangis yang masih menghiasi wajah keduanya.
"Oh ya tadi kamu bilang enggak mau kan menikahkan Vira dengan Iwan? Saya sangat setuju dengan hal itu, jadi jangan pernah meminta pertanggungjawaban apapun ke saya apalagi ke putra saya!" Wanita itu kembali melanjutkan ucapannya dengan menunjuk ke arah dirinya dan juga putranya.
"Bu, kenapa bilang seperti itu? Vira butuh pertanggungjawaban aku, Bu. Aku harus segera menikahinya, jadi tolong restui kami!" Iwan mendirikan tubuhnya sembari memohon ke arah ibunya, namun wanita itu terlihat sinis saat menatap ke arah Vira dan juga ibunya.
"Oke, tapi mereka sendiri yang harus datang ke rumah Ibu untuk meminta restuku! Kalau enggak, jangan harap kamu bisa menikahi gadis itu." Setelah mengatakan itu, ibunya Iwan melangkahkan pergi tanpa mau menatap ke arah tuan rumah terlebih lagi berpamitan pada mereka.
"Bu, Vira ...." Iwan terlihat bingung harus bagaimana, ia merasa kasihan dengan kekasihnya, namun ia juga tidak mungkin meninggalkan ibunya pulang sendirian.
"Iwan, ayo cepat kita harus pulang!" pinta ibunya yang sudah berada di luar rumah, yang sempat membuat laki-laki itu merasa bingung sampai pada akhirnya ia memilih untuk menuruti keinginannya.
"Iya, Bu. Sebentar!" teriaknya sembari menatap ke arah Vira dan juga ibunya.
"Kita bicarakan lagi ini nanti ya? Aku harus pulang dulu," pamit Iwan ke arah Vira yang terlihat kecewa dengan sikapnya, namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain membiarkannya pergi dari rumahnya.
Setelah mobil yang dikendarai Iwan pergi, kini ibunya Vira kembali menangis dengan suara isakan yang begitu menyayat hati. Ia masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi? Putrinya yang ia jaga dan ia rawat sepenuh hati itu kini telah mengecewakannya, entah apa yang salah dari didikannya, namun yang pasti ia merasa gagal menjadi seorang ibu dan juga orang tua.
"Ibu," panggil Vira lirih sembari menyentuh tangan ibunya dengan hati-hati.
“Maafkan aku, Bu.”
"Biarkan Ibu sendiri dulu!" jawabnya sembari mendirikan tubuhnya lalu pergi ke kamarnya, di ruangan kecil itu ia akan meluapkan amarahnya dengan tangisan sampai hatinya merasa lebih tenang. Sedangkan Vira masih berada di tempat yang sama, di kursi rumahnya, gadis itu tentu saja merasa sangat bersalah pada ibunya, ia juga tidak menyangka pertemuan itu akan membuka fakta akan kehamilannya.
"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya terdengar gelisah sampai pada akhirnya ia mengingat Iwan, laki-laki itu pasti yang sudah memberitahu ibunya tentang kehamilannya, yang membuat semua rencana hancur berantakan.
[Jam delapan pagi kita harus bertemu di kafe biasa, aku mau bicara sama kamu]
Itu lah pesan yang Vira kirim pada Iwan dengan perasaan yang sudah tak karuan, karena mau bagaimana pun masalah di antara keluarga mereka sudah cukup rumit, ia tentu merasa takut dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini semuanya.
***
Di kursi sebuah kafe, Iwan hanya bisa tertunduk dengan ekspresi bersalah saat Vira menatap tajam ke arahnya. Tentu keadaan seperti ini tidak jauh-jauh dari kejadian tadi malam, pertemuan di antara keluarga mereka yang seharusnya berjalan dengan baik justru menjadi kacau akibat ulah ibunya Iwan yang tak berperasaan.
"Aku tau kamu pasti marah dengan aku karena kejadian tadi malam, aku sendiri sangat menyesalinya, maafkan aku!" ujar Iwan terdengar menyesal, namun Vira justru menghela nafas karena masalah utamanya jauh dari itu.
“Kenapa kamu memberitahu ibu kamu kalau aku sedang hamil, Mas? Sekarang ibuku jadi tau semuanya kan?”
“Aku juga enggak mau itu terjadi, tapi aku enggak punya pilihan lain selain memberitahu ibuku.”
“Kenapa? Kasih aku alasannya!”
"Awalnya ibuku enggak setuju saat aku memberitahunya kalau aku akan menikah apalagi ...." Iwan sempat menghentikan ucapannya, yang tentu saja membuat Vira bingung dengan sikapnya.
"Kenapa berhenti?" tanyanya kian curiga.
"Apalagi kalau nikahnya sama kamu," lanjut Iwan setelah menghela nafas panjangnya, sedangkan Vira tentu saja merasa sedih dan kecewa mendengarnya.
“Ibuku terus-terusan menolak permintaanku, enggak peduli aku memohon seperti apa, tapi karena aku sudah berjanji akan menikahi kamu, jadi mau enggak mau aku mengatakan yang sebenarnya kalau kamu sedang hamil anakku.”
“Lalu setelah itu bagaimana tanggapan ibu kamu?”
“Ibuku marah besar, aku sampai dipukuli. Tapi setelah itu dia mau merestui hubungan kita, itu lah kenapa aku dan ibuku datang ke rumah kamu tadi malam.”
"Tapi sekarang semuanya berantakan, ibuku sudah tau kalau aku sedang hamil, dan sampai sekarang ibuku masih diam, enggak mau bicara dengan aku." Vira menghela nafas panjangnya, merasa frustrasi saja dengan jalan hidupnya.
"Meskipun begitu kamu masih tetap harus membujuk ibu kamu untuk datang ke rumahku," ujar Iwan yang tentu saja membuat Vira bingung.
“Maksudnya?”
"Kamu mendengarnya sendiri kan tadi malam? Ibuku mau kamu dan ibu kamu datang ke rumah, kalau kalian mau aku bertanggung jawab untuk menikahi kamu." Iwan berujar serius yang cukup membuat Vira tak percaya saat mendengarnya.
"Kamu serius? Yang dirugikan di sini itu aku dan ibuku, kenapa juga kami yang harus ke rumah kamu untuk meminta pertanggungjawaban? Kamu yang laki-laki, seharusnya kamu yang berjuang di sini." Vira menunjuk ke arah meja dengan nada tegas.
“Aku tau itu, aku juga sudah berusaha membawa ibuku ke rumah kamu kan? Aku sampai dipukuli loh gara-gara itu. Tapi kamu mendengarnya sendiri kan? Ibu kamu yang enggak mau aku menikahi kamu, ibu kamu bahkan sampai bilang kalau dia juga enggak mau kamu punya mertua seperti ibuku.”
"Ibuku mengatakan itu kan sebelum dia tau kalau aku sedang hamil, kok bisa-bisanya sih ibu kamu bersikap seperti itu?" bela Vira terdengar mulai lelah dengan semuanya.
"Ya terus aku harus bagaimana? Aku juga enggak mau ini terjadi, andai aja ibu kamu bisa diam dan menerima saja ucapan ibuku, mungkin kita sudah direstui sekarang." Iwan tentu saja tak ingin disalahkan, terlebih lagi ia sudah cukup menerima banyak ocehan dari ibunya.
“Bisa ya kamu bilang seperti itu di saat seperti ini? Kalau bukan karena ucapan ibu kamu yang begitu merendahkan aku, ibuku juga enggak mungkin mengatakan itu.”
"Iya, aku minta maaf tentang itu. Di posisi seperti ini aku juga bingung harus bagaimana? Tapi di antara ibuku dan ibu kamu, ibuku lah yang paling keras wataknya, dia enggak mungkin membiarkan aku menikahi kamu, apalagi dia juga enggak akan rugi apapun. Sebaliknya, malahan kamu dan ibu kamu yang akan rugi kalau aku sampai enggak bertanggung jawab." Jawaban Iwan benar-benar mengejutkan Vira, ia tak menyangka laki-laki yang dicintainya itu tega mengatakan hal itu padanya. Padahal dia lah yang sudah memaksa Vira melakukan itu sampai gadis itu hamil anaknya, sekarang saat ada permasalahan sedikit saja, dia bersikap seolah-olah dirinya juga korban.
Part 07
Vira memejamkan matanya, ia sangat berusaha untuk tidak menangis sekarang, namun ucapan Iwan begitu menyesakkan dadanya. Namun di saat seperti ini ia harus tetap tenang, ia tidak mau terlihat lemas meskipun sebenarnya hatinya serasa tidak sanggup menahan semuanya.
"Jadi mau kamu bagaimana, Mas?" tanya Vira dengan berusaha tetap tenang.
“Apalagi? Turuti saja permintaan ibuku! Kamu dan ibu kamu datang ke rumah untuk meminta pertanggungjawaban, dengan begitu ibuku pasti akan merestui hubungan kita.”
“Memangnya enggak ada cara lain? Misalnya kamu membujuk ibu kamu untuk kembali datang ke rumahku dan membahas pernikahan kita? Aku dan ibuku itu pihak perempuan, apa pantas kami kesana?”
"Di saat seperti ini kamu masih memikirkan pantas atau enggak? Kamu itu sedang hamil sekarang, kalau kamu enggak bertindak cepat, perut kamu akan semakin membesar dan orang-orang akan tau kalau kamu hamil di luar nikah. Apa menurut kamu itu pantas kalau sampai itu terjadi?" Jawaban Iwan memang ada benarnya, namun solusi yang diinginkannya begitu memberatkan posisi Vira terlebih lagi sekarang ibunya masih kecewa dengannya, akan sangat mustahil bila ia memaksanya untuk datang ke rumah Iwan.
"Sebaiknya kamu berbicara dulu ke ibu kamu, beri dia pengertian untuk memperjuangkan hubungan kita! Aku yakin ibu kamu akan mengerti demi kamu dan juga demi cucunya yang berada di kandungan kamu." Iwan kembali berbicara yang kian membuat Vira merasa muak mendengarnya.
"Tapi masalahnya enggak sesederhana itu, Mas. Kamu paham enggak sih kalau posisiku ini sulit, tapi kamu cuma bisa menekan ku dan enggak berusaha membantu." Vira terlihat kesal saat menatap ke arah Iwan, yang tampak tak merasa bersalah atau semacamnya.
"Ya terus aku harus bagaimana? Aku sudah kasih kamu solusi kan? Dan sebelum ini aku juga sudah bicara dengan ibuku sampai aku dipukuli, memangnya kamu pikir itu enggak membantu apa? Ibumu saja yang membuat semuanya berantakan," jawab Iwan tak kalah kesalnya.
"Sekarang aku cuma bisa kasih kamu dua pilihan, kamu dan ibu kamu datang ke rumahku untuk meminta pertanggungjawaban atau aku enggak akan bertanggung jawab sama sekali." Iwan kembali berujar yang kali ini dengan nada tegas seolah tak ingin dibantah.
“Tega ya kamu kasih aku pilihan seperti itu?”
"Ya mau bagaimana lagi? Kamu mau kita menikah atau enggak? Kalau iya, ya kamu berusaha lah bujuk ibu kamu itu!" Mendengar itu yang bisa Vira lakukan hanya terdiam dengan menahan tangis, ia tak pernah menyangka kehidupannya akan terasa sangat sulit padahal ia masih sangat muda. Sekarang ia harus dihadapkan pada pilihan berat, yang ia sendiri bingung harus bagaimana cara menyikapinya.
***
Di dalam kamarnya, Vira mengigit bibir bawahnya sesekali menatap ke arah pintu seolah tak yakin akan sesuatu. Setelah berbicara dengan Iwan dan pulang dari kafe, Vira memang memutuskan untuk langsung ke kamarnya sendiri, di sana ia memikirkan rencana untuk kedepannya terutama tentang bagaimana cara berbicara dengan ibunya.
Karena sejak pertemuan mereka dengan Iwan dan ibunya, Vira jadi jarang melihat ibunya keluar kamar, wanita itu terlihat ada di luar pun saat akan mengambil wudhu. Itupun saat Vira berusaha mengajaknya berbicara, ibunya selalu menghindarinya dan pergi begitu saja, sepertinya ibunya masih kecewa dengannya.
Vira sendiri tak bisa memungkirinya, karena mau bagaimana pun ia juga bersalah. Namun masalahnya tidak akan selesai begitu saja, bila ia tak melakukan apapun untuk berusaha memperbaikinya. Sedangkan kehamilannya semakin lama akan membuat perutnya semakin membesar, orang-orang bisa saja curiga bila ia tak buru-buru menikah.
"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menemui Ibu sekarang?" gumam Vira gelisah, ia terlihat frustrasi dengan pemikirannya sendiri.
"Sepertinya aku memang harus menemui Ibu, apalagi aku sudah enggak punya banyak waktu lagi. Toh, Ibu juga enggak mungkin terus-terusan di kamar kan?" Vira mendirikan tubuhnya lalu berjalan keluar dari kamarnya, dan secara kebetulan ia melihat ibunya juga keluar dari kamar miliknya.
"Bu," panggil Vira cepat sembari berjalan ke arahnya, namun wanita itu tampak tak mengindahkannya dan bahkan akan kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Tunggu, Bu! Aku mau berbicara sama Ibu, tolong jangan pergi dulu!" Vira berhasil menarik lengan ibunya sebelum masuk ke dalam, dengan jantung berdebar dan perasaan tak karuan, Vira menatap tulus ke arah ibunya.
"Maafkan aku, Bu. Tolong jangan terus-terusan diam seperti ini, aku sendiri juga bingung harus bagaimana lagi untuk menghadapi semua ini?" Vira menitikkan air matanya, ia terlihat sangat menyesal di hadapan ibunya yang terdiam.
"Bu, aku minta maaf ya? Ibu mau kan memaafkan aku?" ujar Vira lagi sembari merengkuh kedua tangan ibunya yang memalingkan wajah ke arah lainnya.
"Bu," panggil Vira yang lagi-lagi tak mendapatkan respon apapun dari ibunya, yang membuat gadis itu kalap dan tak bisa berpikir panjang lagi. Dengan cepat, ia mengambil pisau yang ada di atas meja lalu mengarahkannya ke arah lehernya.
"Vira, apa yang kamu lakukan?" Ibunya tentu saja terkejut dengan apa yang gadis itu lakukan, terlebih lagi saat pisau itu hampir menyentuh kulit lehernya.
“Kalau Ibu enggak mau memaafkan aku, lebih baik aku mati aja. Toh, kalau pun aku hidup juga percuma kan? Ibu enggak mau merestui hubungan ku dengan Mas Iwan, aku juga akan menanggung malu karena hamil duluan dan enggak ada yang akan menikahi aku.”
"Ibu sudah memaafkan kamu, sekarang jauhkan pisau itu dari leher kamu!" Mendengar instruksi dari ibunya, Vira mulai menjauhkan tangannya yang membawa pisau itu dari lehernya.
"Mana pisaunya!" Saat ibunya memintanya, Vira sempat ragu melakukannya, namun ia mencoba untuk percaya dan menyerahkan benda tajam itu ke ibunya.
"Ibu memang memaafkan kamu, tapi Ibu tetap enggak mau kamu menikah dengan Iwan." Jawaban ibunya setelah berhasil mengambil pisau yang ada di tangan Vira, membuat gadis itu terkejut mendengarnya.
“Maksud Ibu apa?”
"Seperti yang kamu dengar, Ibu enggak merestui hubungan kalian," jawab ibunya terdengar tenang.
"Tapi kenapa, Bu? Mas Iwan itu ayah dari anak yang aku kandung, bagaimana mungkin Ibu enggak mau kami menikah?" tanya Vira terdengar tak habis pikir.
“Kamu enggak melihat sikap ibunya ke kamu? Dia seperti enggak menyukai kamu, lalu bagaimana mungkin Ibu tega membiarkan kamu tinggal di rumahnya dan menjadi menantunya?”
“Aku tau itu, tapi setiap manusia pasti bisa berubah kan? Kali aja setelah aku melahirkan, ibunya Mas Iwan mau menerima ku.”
“Enggak mungkin sesederhana itu, Vira. Jadi stop memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi!”
"Lalu mau Ibu, aku harus bagaimana? Membiarkan semua orang tau kalau aku hamil di luar nikah? Apa menurut Ibu semua itu enggak membuat aku dan Ibu malu?" tanya Vira yang kali ini ditatap geram oleh ibunya.
"KALAU KAMU SUDAH TAU KONSEKUENSINYA, SEHARUSNYA KAMU ENGGAK AKAN MAU MELAKUKANNYA." Teriakan ibunya membungkam mulut Vira, dan dengan nafas naik turunnya, wanita itu terus menatap ke arah putrinya yang terdiam.
"Sejak dulu Ibu selalu bilang ke kamu, akan ada sebab setelah akibat, makanya Ibu selalu berpesan ke kamu supaya tetap berhati-hati saat bertindak apapun. Kalau kamu enggak berani bisa mengatasi konsekuensinya, seharusnya kamu jangan melakukannya sejak awal." Wanita itu menatap serius ke arah putrinya, ia tentu ingin putrinya bisa memahami situasinya yang rumit.
"Kalau aku enggak menikah dengan Mas Iwan, aku akan tetap mendapatkan konsekuensinya kan, Bu? Aku hamil di luar nikah, semua orang akan tau itu, dan aku akan melahirkan tanpa seorang suami begitu pun dengan anakku yang lahir tanpa sosok ayah." Vira menjawab dengan tenang ucapan ibunya.
"Apa menurut Ibu semua itu lebih baik bila dibandingkan dengan aku menikah dengan Mas Iwan?" tanya Vira dengan berusaha menahan tangisnya.
"Menurut Ibu, iya. Setidaknya kamu enggak akan menderita seumur hidup kamu." Jawaban ibunya membuat tangis yang Vira tahan seketika tumpah.
“Menderita apa sih, Bu? Kenapa Ibu bisa berpikir sejauh itu? Aku ini cuma ingin menikah, bukan perang atau semacamnya, jadi stop berpikiran buruk tentang masa depanku, Bu!”
“Ibu melarang kamu menikah dengan Iwan itu pasti karena ada alasannya, apalagi firasat seorang Ibu itu jarang sekali salah.”
“Alah bilang aja Ibu enggak merestui hubungan ku dengan Mas Iwan, karena Ibu enggak mau kan ke sana untuk meminta pertanggungjawaban? Kenapa? Ibu malu? Sekarang aku tanya akan lebih malu mana, orang-orang tau kalau Ibu punya anak yang hamil di luar nikah atau datang ke rumah Mas Iwan?”
“Ibu enggak pernah malu kalau hanya untuk menuntut pertanggungjawaban, tapi dengan mereka memberi syarat untuk kita harus datang kesana saja sudah membuktikan, bagaimana bobroknya keluarga itu? Padahal mereka itu pihak laki-laki, kalau masalah seperti ini saja dipermainkan bagaimana kedepannya nanti?”
"Yang sejak awal membuat kacau kan Ibu, padahal Mas Iwan dan ibunya sudah mau datang ke rumah ini, jadi wajar kalau mereka kecewa dan memberi syarat seperti itu ke kita," jawab Vira yang kali ini cukup mengecewakan ibunya.
"Apa yang ada di otak kamu itu cuma mereka aja yang kecewa? Apa menurut kamu, Ibu ini enggak kecewa?" tanya ibunya yang kian membuat Vira frustrasi mendengarnya.
“Aku tau itu, Bu. Kan aku juga sudah minta maaf? Tapi masalah ini enggak akan pernah mendapatkan titik terang kalau kita enggak datang ke rumahnya Mas Iwan, Bu.”
“Memangnya untuk apa kita kesana? Untuk dipermalukan?”
"Bu," tegur Vira terdengar lelah.
“Vira, kalau mereka sudah tahu arti tanggung jawab, seharusnya mereka yang meminta maaf tadi malam, tapi kamu melihatnya sendiri kan? Mereka malah bersikap angkuh seolah mereka yang paling benar. Kalau di saat seperti itu saja kita dipermainkan, bagaimana nasib kamu kedepannya? Ibu cuma enggak mau kamu lebih menderita saat tinggal bersama dengan mereka, itu saja.”
"Meskipun itu artinya aku harus melahirkan tanpa seorang suami?" tanya Vira serius yang justru diangguki oleh ibunya tersebut.
Part 08
Sebagai seorang anak, Vira sangat paham dengan perasaan ibunya yang terlalu mengkhawatirkannya. Namun ia percaya bila ibunya Iwan tidak akan terus-terusan memperlakukannya dengan buruk, karena ia yakin calon mertuanya itu pasti bisa berubah menjadi lebih baik lagi padanya. Ia hanya perlu bersabar sampai saat itu tiba, setelah itu ia akan membuktikan ke ibunya bila apa yang dikatakannya sekarang ini salah besar.
"Ibu lebih baik malu karena kamu hamil di luar nikah, dari pada Ibu harus melihat kamu menderita saat tinggal dengan mereka." Ibunya mengatakannya dengan tegas, namun Vira tentu saja tidak akan menyerah begitu saja, dengan tenang ia meluruhkan tubuhnya ke lantai, di sana ia bersujud di kaki ibunya untuk memohon restunya.
"Apa yang kamu lakukan, Vira?" tanya ibunya tak percaya sembari berusaha membangunkan tubuh Vira yang sudah bersujud di kakinya.
“Aku mohon, Bu. Sekali ini saja, biarkan aku memilih jalan hidupku sendiri, dan tolong jangan ikut campur untuk masalah ini! Aku sudah dewasa, aku bisa membedakan mana yang baik untuk ku dan mana yang tidak baik untuk ku.”
"Kalau memang kamu bisa membedakannya, kamu enggak akan hamil seperti sekarang." Ibunya menangis melihat putrinya berani bersujud demi laki-laki itu, padahal dia sudah dengan jelas melihat bagaimana buruknya sikap mereka.
"Iya, aku akui itu memang kesalahanku, Bu. Tapi biarkan aku mempertanggungjawabkannya, aku juga enggak mau buat Ibu malu." Ucapan Vira menggetarkan hati ibunya, yang merasa tak menyangka dengan sikapnya.
"Baiklah, Ibu akan merestui hubungan kalian. Sekarang kamu bangun dulu!" pintanya terdengar terpaksa sembari menarik bahu putrinya itu untuk berdiri.
"Apa Ibu yakin?" tanya Vira penuh harap yang mau tak mau ibunya angguki.
“Iya.”
"Terima kasih, Bu." Vira tersenyum semringah sembari memeluk tubuh putrinya, ia tentu sangat bahagia mendengar itu dari bibir ibunya.
“Iya.”
"Nanti malam kita ke rumah ibunya Mas Iwan ya, Bu? Aku mohon," ujar Vira setelah melepaskan pelukannya, yang lagi-lagi ibunya angguki.
“Iya, jam berapa?”
“Bagaimana kalau setengah delapan?”
"Baiklah, terserah kamu saja. Ibu akan ke kamar dulu, mau istirahat." Ibunya menjawab seadanya lalu berjalan ke arah kamarnya, meninggalkan Vira yang masih tersenyum dan juga perasaan lega.
***
Di depan rumahnya Iwan, Vira dan ibunya menghela nafas panjangnya setelah turun dari motor yang ditumpanginya. Bedanya, Vira tampak tak sabar dengan senyum bahagia yang terus terukir di bibir tipisnya. Sedangkan ibunya justru merasa sebaliknya, wanita itu tampak tak berminat berada di sana. Hanya karena putrinya lah, ia mau datang padahal hatinya masih sakit hati dengan sikap mereka yang kurang baik pada putrinya.
"Ayo, Bu!" ajak Vira sembari menggandeng lengan ibunya, yang dengan terpaksa menyunggingkan senyumnya.
"Aku sudah kasih tau Mas Iwan kalau kita mau datang sekarang," ujar Vira yang justru membuat ibunya kesal mendengarnya.
"Kalau pacar kamu itu sudah tahu akan ada tamu, seharusnya dia membuka pintunya lebar-lebar, tapi lihat! Pintunya saja masih tertutup rapat."
“Kok Ibu manggil Mas Iwan dengan kata seperti itu sih? Padahal kalau dulu Ibu selalu memanggilnya dengan sebutan Nak Iwan?”
"Ibu sudah enggak respect sama dia," jawab ibunya jujur, yang tentu saja membuat Vira sedih mendengarnya.
"Ya sudah enggak apa-apa, aku yakin nanti Ibu juga akan seperti dulu lagi ke Mas Iwan." Vira berusaha tersenyum ke arah ibunya, namun wanita itu tak menanggapinya dengan apapun.
"Kita ketuk aja dulu ya pintunya, Bu." Setelah mengatakan itu, Vira mengetuk pintu berbahaya kayu tersebut sembari mengucapkan salam.
"Assalamualaikum," teriaknya setelah mengetuk pintunya beberapa kali dan diulangi lagi.
"Assalamualaikum, Mas." Setelah mengucapkan salam kedua, barulah pintu itu terbuka lebar, memperlihatkan sosok Iwan yang tersenyum ke arah Vira.
"Waalaikumsalam, kamu sudah datang?" sapa Iwan yang diangguki oleh Vira, lalu tatapannya beralih ke arah ibunya Vira yang hanya memerhatikannya.
"Bu," panggil Iwan sembari menyalaminya dengan sopan, lalu mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam.
"Mari masuk, Bu!" pinta Iwan yang dituruti oleh Vira dan juga ibunya, lalu keduanya duduk di sofa setelah Iwan mengarahkannya untuk ke sana.
"Kamu dengan Ibu duduk dulu, aku akan memanggil ibuku sebentar." Mendengar itu, Vira hanya mengangguk dan tak lupa juga tersenyum sembari menatap punggung kekasihnya itu semakin masuk ke dalam rumahnya.
"Rumahnya besar ya, Bu? Beda dengan rumah kita." Vira mencoba berbasa-basi dengan ibunya untuk sedikit menenangkan jantungnya, namun ibunya tampak tak tertarik dengan apa yang dikatakannya.
"Iya," jawanya singkat dan meskipun terlihat tenang, namun sebenarnya hatinya sedang merasa tak karuan sekarang. Tentu saja karena wanita itu sedang menduga-duga, apa yang akan ibunya Iwan katakan lagi padanya dan juga putrinya? Apa kalimat merendahkan itu akan kembali terucap di bibirnya? Karena jujur saja, ia merasa tak yakin akan sanggup menerimanya terlebih lagi ia sudah berjanji akan merestui hubungan Iwan dengan putrinya.
"Ibu enggak apa-apa kan?" tanya Vira terdengar memastikan, terlebih lagi setelah memerhatikan sikap ibunya yang sedari tadi diam.
"Enggak apa-apa." Jawaban ibunya yang terdengar singkat membuat Vira yakin bila ibunya sedang tidak baik-baik saja sekarang. Kini Vira dan juga ibunya kembali terdiam, mereka sama-sama tidak mengeluarkan suara untuk waktu yang sedikit lama sampai pada akhirnya terdengar seseorang tertawa.
"Ternyata kalian benar-benar datang ya?" ujar ibunya Iwan yang tengah berjalan ke arah mereka, Vira yang melihatnya tentu saja langsung mendirikan tubuhnya berniat menyalaminya. Namun saat kepalanya akan tertunduk, tiba-tiba tangan wanita itu ditarik dengan keras, membuat Vira sempat terkejut yang untungnya ibunya tidak melihatnya karena tertutupi oleh tubuhnya.
"Duduk saja kamu!" pinta ibunya Iwan ke arah Vira yang mengangguk kaku lalu kembali duduk ke tempatnya semula, sedangkan Iwan juga sudah ada di sana, laki-laki itu tersenyum ke arah semua orang sembari menyuguhkan minuman.
“Silakan diminum, Bu.”
"Iya, terima kasih."
"Kita langsung saja ke intinya, kenapa kalian kesini? Ada urusan apa kalian di rumah ini?" tanya ibunya Iwan yang sempat membuat putranya bingung dan malu, namun sebagai anak, ia hanya bisa diam dan menurutinya.
"Tanpa saya mengatakannya pun, Anda pasti sudah tahu alasan kedatangan saya kemari. Tapi baiklah, saya akan mengatakannya," jawab ibunya Vira terdengar tenang, namun justru membuat Iwan dan Vira gelisah dan takut di waktu yang sama.
“Saya datang ke sini untuk meminta pertanggungjawaban Iwan atas kehamilan putri saya, saya harap Anda bisa merestui hubungan mereka dan membiarkan mereka menikah.”
"Baiklah, tapi ada syaratnya." Jawaban ibunya Iwan tentu saja mengejutkan semua orang tak terkecuali ibunya Vira yang sudah berlapang dada dan menerima konsekuensinya demi permintaan putrinya.
“Apa syaratnya?”
"Kamu harus mengulangi kalimat permohonan tadi dengan duduk di lantai itu, tepatnya di depan kakiku!"
"Bu, apa yang kamu lakukan? Kenapa Ibu menyuruh ibunya Vira melakukan semua itu?" tanya Iwan terdengar tak terima begitu pun dengan Vira yang turut merasakan hal yang sama, namun tidak ada yang bisa gadis itu lakukan selain merengkuh tangan ibunya untuk menahannya.
"Diam saja kamu! Kamu mau Ibu restui atau enggak? Karena Ibu enggak akan mengizinkan kalian menikah sebelum dia bersimpuh di depan kakiku," jawab ibunya Iwan terdengar tegas.
"Baiklah," jawab ibunya Vira tenang sembari mendirikan tubuhnya, namun tangannya tetap ditahan oleh putrinya.
“Jangan, Bu!”
"Sudahlah, Ibu enggak apa-apa." Wanita itu melepaskan tangan putrinya lalu bersimpuh di hadapan kaki calon besannya, yang saat ini tersenyum sinis melihatnya.
"Saya datang ke sini untuk meminta pertanggungjawaban Iwan atas kehamilan putri saya, saya harap Anda bisa merestui hubungan mereka dan membiarkan mereka menikah." Ibunya Vira berujar dengan tenang sembari tertunduk sopan, yang tentu saja menyakiti hati Vira yang melihatnya tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Sepertinya kurang seru yang kalau cuma seperti itu? Bagaimana kalau kamu bersujud di depan kakiku dan memohon lagi padaku!"
"Bu," tegur Iwan tak terima namun justru mendapatkan tatapan tajam dari mata ibunya.
"DIAM!" sentaknya yang kian membuat nyali putranya menciut dan tertunduk takut.
"Ibu," panggil Vira dengan air mata yang sudah merembes di pipinya saat melihat ibunya bersujud untuk mengikuti permintaan calon besannya.
"Saya mohon restui hubungan mereka! Biarkan mereka menikah dan hidup bersama." Ibunya Vira mengatakan itu dengan mulut yang hampir menyentuh lantai, namun meskipun begitu ia masih tampak tenang dan bahkan terkesan tak memiliki beban.
Itu semua ia lakukan demi Vira, karena putrinya itu lah yang membuatnya mati rasa. Bahkan sekeras apapun ia menentang hubungannya, ucapannya tak akan digubris olehnya. Untuk sekarang yang penting putrinya itu merasa puas, bersujud dan memohon bukanlah masalah besar, selagi hal itu tidak membahayakannya dan mengganggu kebahagiaannya.
Part 09
"Baiklah, saya akan merestui hubungan mereka dan membiarkan keduanya menikah. Ya mau bagaimana lagi? Saya juga enggak memiliki pilihan lain, tapi kalau boleh minta sih saya enggak mau Iwan dan Vira menikah, karena mau bagaimana pun mereka berasal dari keluarga yang berbeda." Wanita bertubuh gempal itu menatap ke arah Vira dan juga ibunya secara bergantian, seolah ingin menunjukkan siapa dirinya.
"Sudah, Bu!" Iwan berujar lirih, ia tentu tidak mau membuat suasananya semakin tidak nyaman, terlebih lagi saat melihat ibunya Vira yang masih bersimpuh setelah bersujud di depan kaki ibunya.
"Kamu bisa diam enggak sih?" Ibunya menajamkan matanya ke arah Iwan, yang hanya bisa tertunduk diam.
"Kalian tahu kan siapa Iwan? Dia itu anak saya, salah satu orang terkaya di desa ini, sebagai orang biasa, tentu kalian harus banyak bersyukur karena akan menjadi bagian dari keluarga ini. Terutama kamu, Vira." Wanita itu menunjuk ke arah Vira yang terdiam, sedangkan tangan gadis itu sudah mengepal sampai bergetar.
"Tentu saja kami sangat bersyukur. Terutama Vira, dia enggak akan melupakan kebaikan Anda," jawab ibunya Vira yang cukup mengejutkan putrinya.
"Bu," panggil gadis itu tak percaya sembari menatap ke arah ibunya yang tampak tenang di tempatnya.
“Bagus. Dan untuk masalah uang mahar, sebaiknya kamu enggak meminta banyak, karena keadaan kamu itu sedang hamil. Kalau bukan karena putraku yang mau bertanggung jawab, mana mungkin ada yang sudi menikahi kamu, jadi kamu harus terima saja berapapun yang Iwan berikan.”
"Memangnya berapa uang maharnya, Tante?" tanya Vira memberanikan diri, ia berusaha menahan emosinya sendiri demi pernikahannya dengan Iwan, meskipun itu artinya ia harus diam saat melihat ibunya dipermalukan.
"Dua ratus ribu," jawab ibunya Iwan yang tentu saja mengejutkan Vira yang mendengarnya, namun sepertinya hal itu tidak berlaku pada ibunya.
“Apa? Cuma dia ratus ribu?”
“Kenapa? Kurang? Seharusnya kamu itu sadar diri, kamu itu sedang hamil, masih untung putraku mau bertanggung jawab. Kalau enggak, kamu pasti akan melahirkan tanpa seorang suami dan anak kamu itu akan lahir tanpa ayah.”
"Tapi apa mahar itu enggak terlalu sedikit, Tante? Karena dua ratus ribu itu nominal yang sangat kecil, di daerah sini saja yang paling sedikit cuma satu juta." Vira tentu berusaha membela diri, karena mau bagaimana pun mahar yang diberikan akan memancing pembicaraan semua orang. Ia tentu tidak mau dinilai buruk, terlebih lagi dicap kurang dihargai oleh keluarga calon suami.
“Apa itu penting? Orang-orang juga enggak akan tahu berapa mahar yang Iwan berikan, karena kalian akan menikah di KUA.”
"Apa? KUA?" Vira kembali dibuat terkejut, tentu saja ayang ibunya Iwan katakan itu begitu jauh dari ekspektasinya tentang pernikahan selama ini.
"Iya? Apa kamu juga tidak terima tentang rencana itu? Kamu ini belum menjadi istrinya Iwan saja, sudah banyak menuntut ya? Kamu pikir, kamu ini siapa?" Wanita itu tampak menantang ke arah Vira yang terdiam sembari melirik ke arah ibunya, dengan harapan dibantu oleh ibunya.
"Saya setuju dengan mahar dua ratus ribu, begitupun dengan rencana menikah di KUA, saya maupun Vira enggak akan mempermasalahkannya." Ibunya Vira tiba-tiba menjawab dengan nada yang tenang, ia tampak tak terpengaruh apapun meskipun posisinya masih tetap direndahkan.
"Itu, Ibu kamu saja setuju kalian menikah di KUA, lalu kenapa kamu enggak? Jangan berpikir kalau kamu itu berharga, sampai saya mau mengeluarkan banyak uang hanya untuk meminang kamu demi Iwan." Mendengar ucapan itu, Vira merasa sudah tidak sanggup lagi untuk tetap bertahan di sana dan menerima segala hinaan ibunya Iwan. Dengan perasaan kesal, ia berjalan ke arah ibunya lalu menarik lengannya untuk berdiri dari sana.
"Ayo, Bu. Kita pulang!" ujarnya ke arah ibunya lalu menatap ke arah pemilik rumah.
"Kami pamit pulang dulu," ujarnya ke arah Iwan dan juga ibunya, lalu berjalan luar rumah tanpa mau menunggu jawaban mereka.
"Cih, enggak punya sopan santun, padahal aku masih belum selesai bicara, tapi mereka malah pergi sekarang," gerutunya kesal tanpa menyadari bagaimana Iwan tampak kecewa dengan sikapnya, namun meskipun begitu, laki-laki itu berusaha untuk tenang lalu mendirikan tubuhnya berniat menyusul Vira, kekasihnya.
"Mau kemana kamu?" tanya ibunya yang mau tak mau menghentikan langkah Iwan di detik berikutnya.
"Aku mau minta maaf ke Vira dan juga ibunya, Bu. Karena apa yang Ibu lakukan itu sudah keterlaluan, bagaimana mungkin Ibu tega menyuruh ibunya Vira bersujud dan memohon? Aku bahkan enggak pernah membayangkannya sebelumnya, tapi Ibu ....?" Iwan sampai tidak bisa berkata-kata saking kesalnya.
“Memangnya apa yang Ibu lakukan? Ibu cuma memberi mereka pelajaran, kalau mereka itu enggak bisa bersikap seenaknya apalagi bersikap angkuh karena mereka bukan siapa-siapa.”
"Ya tapi enggak usah disuruh sujud juga, Bu. Aku kecewa sama Ibu." Setelah mengatakan itu, Iwan membalikkan tubuhnya, berniat menyusul Vira dan juga ibunya.
"Berani kamu keluar dari rumah ini apalagi untuk mengejar gadis itu, akan Ibu pastikan pengorbanan ibunya berakhir sia-sia. Karena Ibu enggak akan merestui hubungan kalian, apalagi sampai membiarkan kalian menikah," ancam ibunya yang kembali membuat Iwan terdiam dengan banyak pertimbangan, sampai pada akhirnya yang bisa ia lakukan hanya menghela nafas lalu pergi ke kamarnya dan mengurung diri di sana.
***
Sesampainya Vira dengan ibunya di rumah, gadis itu buru-buru memasukkan motornya ke dalam rumah lalu menghampiri ibunya yang sepertinya akan masuk ke dalam kamarnya. Vira tentu saja ingin membicarakan kejadian tadi di rumah Iwan, terutama tentang sikap ibunya yang mau-maunya bersujud di hadapan calon besannya.
Sebagai putrinya, Vira tentu merasa tidak terima namun ia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan hal buruk itu terjadi. Walaupun begitu, Vira masih ingin membahas dengan ibunya, karena mau bagaimana pun tindakannya sudah melukai harga dirinya dan tidak seharusnya wanita itu mau melakukannya.
"Bu," panggil Vira pelan, yang sempat didiami oleh ibunya beberapa saat sampai pada akhirnya terdengar helaan nafas dari mulutnya.
"Sudahlah, Ibu sudah enggak mau lagi mendengar pembelaan kamu tentang Iwan dan juga ibunya. Kamu sendiri yang bilang kan, kalau kamu sudah dewasa, kamu sudah bisa membedakan semuanya. Dan mulai sekarang Ibu enggak akan menghalangi apapun keinginan kamu, Ibu juga enggak akan ikut campur masalah apapun yang berhubungan dengan hubungan kalian." Mendengar jawaban ibunya yang terkesan lelah dan kecewa, membuat Vira merasa bersalah.
“Kenapa Ibu berbicara seperti itu sih? Padahal kan aku juga belum tanya apapun.”
"Itu karena Ibu tahu kamu akan membela mereka, jadi sebelum kamu membahasnya, Ibu ingin menghentikannya. Ibu cuma enggak mau terlalu sakit hati, apalagi saat harus melihat putri kandung ibu sendiri lebih membela orang lain." Jawaban ibunya terdengar bergetar seolah sedang menahan tangis, membuat Vira merasa sesak di bagian dadanya seolah tertusuk pisau tajam di sana.
"Aku minta maaf kalau sikapku sudah mengecewakan Ibu, sekarang aku sadar kalau ibunya Mas Iwan sangat membenciku karena beliau sampai tega merendahkan Ibu tadi. Maafkan aku, Bu. Aku menyesal sempat menentang ucapan Ibu, andai aja aku lebih mendengarkan Ibu, mungkin ...." Ucapan Vira terpotong saat ibunya berbalik arah dan menatap tajam ke arahnya.
"Mungkin apa?" tanya dengan tangis yang sudah mengalir dari matanya, wajahnya memerah seolah sedang menahan amarah.
"Penyesalannya bukan di kata andai kamu lebih mendengarkan Ibu, tapi andai saja kamu enggak hamil, mungkin rencana pernikahan kamu dengan Iwan bisa dibatalkan. Tapi lihat kondisi kamu sekarang? Kamu mengandung cucu dari wanita itu, yang mengharuskan Ibu memohon dan menurunkan harga diri Ibu demi memenuhi keinginan kamu itu." Ibunya melanjutkan ucapannya, yang kali ini ingin Vira tanggapi tindakan yang sudah dilakukan ibunya.
"Iya, aku juga ingin membahas itu, Bu. Kenapa Ibu mau-maunya bersujud di depan ibunya Mas Iwan? Ibu sadar enggak sih kalau apa yang Ibu lakukan itu merendahkan harga diri Ibu?" tanya Vira yang berhasil menghentikan tangis ibunya dan berganti senyuman tak percaya.
"Jadi menurut kamu, apa yang Ibu lakukan tadi itu merendahkan harga diri Ibu? Lalu yang kamu lakukan itu apa? Kamu hamil di luar nikah, Vira. Kamu enggak hanya merendahkan harga diri Ibu tapi kamu juga merendahkan harga diri kamu sendiri, padahal usia kamu itu masih sangat muda, usia yang seharusnya digunakan untuk membanggakan orang tuanya. Tapi kamu malah bertindak sebaliknya, kamu mencoreng nama baik Ibu dan buat Ibu malu." Ibunya mulai tidak bisa menahan emosinya, air mata yang tadinya sempat dijadikan teman untuk melebur kesedihannya kini sudah turun menjadi emosi yang sudah tak mampu dibendung lagi.
"Apa kamu juga berpikir kalau Ibu ini senang dan bahagia bersujud di depan ibunya Iwan? Enggak, Ibu juga enggak mau melakukannya. Tapi kamu juga jangan berpikir kalau Ibu melakukannya demi kamu, karena kamu salah besar." Wanita itu kembali melanjutkan ucapannya, yang kali ini membuat bingung putrinya.
"Maksud Ibu apa? Kalau bukan karena aku, lalu untuk apa Ibu mau bersujud dan merendahkan harga diri Ibu tadi?" tanya Vira yang sempat didiami oleh ibunya, namun tidak dengan sorot matanya yang tampak tenang namun mampu meremukkan hati putrinya.
Part 10
Wanita berumur empat puluh tahunan itu meredupkan tatapan tajamnya, ia tentu tidak benar-benar ingin melihat Vira menderita. Namun hanya dengan cara ini, putrinya itu akan paham arti dari kehidupan rumah tangga yang nyatanya tak seindah yang dibayangkannya.
“Ibu cuma mau membuktikan ucapan kamu, apa benar kamu bisa mengubah sikap mertua kamu itu?”
“Bagaimana caranya aku bisa mengubah sikap calon mertuaku, Bu? Kalau soal mahar saja, Ibu enggak mau membantu ku.”
"Apa menurut kamu kalau Ibu membantu, calon mertua kamu itu akan takut lalu menuruti Ibu? Enggak kan?" Wanita itu mulai lelah dengan sikap Vira yang memang belum dewasa, emosi putrinya masih naik turun seolah masih bingung dengan jalan yang harus dia pilih sendiri.
"Ya tapi setidaknya Ibu berusaha lebih dulu, jangan langsung setuju, Bu. Mahar dua ratus ribu itu bisa untuk apa? Apalagi nikahnya juga di KUA." Vira mendengus kesal, ia tampak seperti anak kecil yang tidak dituruti permintaannya.
"Memangnya kenapa dengan mahar dua ratus ribu?" tanya ibunya yang tentu saja tak membuat Vira senang mendengarnya.
“Ya aku malu, Bu.”
"Lebih malu mana kalau Iwan sampai enggak bertanggung jawab?" Pertanyaan ibunya hanya bisa Vira diami, tanya bisa membantah lagi.
"Kamu yang sejak awal memilih jalan seperti ini, hanya karena kamu mengalami kesulitan di awal, kamu bisa seenaknya menyalahkan orang lain termasuk Ibu?" tanya ibunya yang kian didiami oleh putrinya.
“Ingat ya, Vira. Kamu itu sedang hamil, kamu mau dinikahi saja seharusnya kamu bersyukur! Karena masih banyak wanita di luar sana yang hamil di luar nikah tapi enggak ada yang bertanggung jawab. Ibu mengatakan ini, bukan karena Ibu enggak mau membela kamu, tapi sejak awal pun kamu juga sudah keras kepala untuk mempertahankan hubungan kalian kan?”
“Sekarang kamu mengalami sedikit kesulitan, lalu bagaimana nanti kamu bisa mengubah sikap mertua kamu seperti yang kamu katakan kemarin? Kalau saat seperti ini saja kamu menyalahkan Ibu hanya karena enggak membela kamu?”
"Aku enggak menyalahkan Ibu, aku cuma ...." Vira hanya bisa tertunduk saat ibunya memotong ucapannya.
“Cuma apa? Kamu saja enggak berusaha membela Ibu tadi terutama saat calon mertua kamu itu merendahkan harga diri Ibu. Lalu bagaimana mungkin kamu mengharapkan imbalan yang setara?”
“Kok Ibu menyalahkan aku sih? Kan Ibu yang mau melakukannya tadi?”
"Memang Ibu yang mau melakukannya, tapi kamu masih baik-baik saja kan saat melihat Ibu diperlakukan seperti itu? Tapi saat Ibu enggak membela kamu tentang mahar, kamu bersikap layaknya korban."
“Aku juga enggak mau itu terjadi, Bu. Aku enggak terima Ibu diperlakukan seperti itu, tapi kita juga sudah terlanjur di sana kan? Toh, aku enggak akan bisa berbuat apa-apa.”
“Begitu pun dengan Ibu, Ibu juga enggak bisa berbuat apa-apa kalau mereka ingin memberi mahar dua ratus ribu dan juga mengadakan pernikahan di KUA. Toh, yang penting kamu dengan Iwan menikah kan? Dengan begitu kamu bisa menjalani rumah tangga yang kamu inginkan, tapi kenapa kamu masih mempermasalahkan tentang mahar ke Ibu? Seharusnya permasalahkan itu sendiri ke mereka!”
“Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang, Bu? Masa aku harus terima diperlakukan seperti ini? Padahal kan aku yang menderita di sini, aku yang hamil sekarang.”
"Terima saja apapun keinginan mereka! Karena mahar itu sudah enggak penting lagi sekarang, karena yang penting itu kamu dengan Iwan menikah secepatnya." Ibunya menjawab tegas yang kali ini didiami oleh Vira, yang tampak tak rela namun juga tidak bisa berbuat apa-apa.
“Iya, Bu.”
***
Setelah membicarakan rencana pernikahan dan juga mengurus segala permasaahannya, kini Iwan dan Vira pada akhirnya menikah. Keduanya dinikahkan seminggu setelah gadis itu dinyatakan hamil, dan seperti keinginan mertuanya, mereka benar-benar menikah di KUA dengan mahar dua ratus ribu.
Sebagai seorang wanita, Vira tentu saja kecewa, ia juga ingin dihargai dengan mahar yang lebih tinggi. Namun sekeras apapun ia berusaha memintanya, ia tak akan bisa menang dari keputusan mertuanya.
Itu lah kenapa wajahnya tampak murung padahal baru beberapa menit yang lalu, ia dan kekasihnya itu sudah dinyatakan sah sebagai suami dan istri. Sedangkan posisinya saat ini masih berada di KUA, tepatnya ia duduk di sebuah kursi plastik ditemani Iwan beserta dengan para saksi yang lainnya.
Di sisi lainnya, Ibunya Vira diam-diam menitikkan air matanya dengan sesekali menghapusnya dari pipinya, dalam hati tak henti-hentinya ia berdoa agar putrinya itu memiliki hidup yang bahagia dan juga rumah tangganya dijauhkan dari marabahaya. Terlebih lagi sebagai seorang ibu, wanita itu tentu saja langsung bisa merasakan hal buruk dari saat pertama kali ia bertemu dengan calon besannya tersebut.
Itu lah kenapa ia langsung mengurungkan niatnya untuk menikahkan mereka, bahkan saat ia mendengar kabar kehamilan putrinya pun, ia tetap lebih memilih untuk mundur meskipun itu artinya harus menanggung malu. Namun sepertinya perasaannya itu tak selaras dengan keinginan putrinya, yang tetap bersikeras mempertahankan hubungannya dan bahkan melanjutkannya ke jenjang pernikahan. Kecewa, tentu saja. Namun wanita itu juga tak bisa berbuat apa-apa, selain mendoakan yang terbaik untuk kehidupan putrinya.
"Meskipun sekarang kamu menjadi mertuanya Iwan, tapi jangan sekali-kali kamu meminta uang ke dia ya! Aku sebagai ibunya enggak akan ikhlas." Suara besannya terdengar begitu tiba-tiba di sampingnya, membuat ibunya Vira sempat terkejut lalu melirik ke arahnya, ia tentu saja merasa kesal, namun bukan berarti ia akan menanggapinya dengan amarah.
"Iya," jawabnya singkat, wanita itu tentu saja tidak mau terbawa emosih terlebih lagi di acara putrinya saat ini. Namun sepertinya respon yang wanita itu berikan, membuat besannya itu merasa curiga dan ada rasa kesal di hatinya.
“Aku pegang ya omongan kamu, awas aja kalau sampai aku mendengar Iwan memberi kamu uang.”
“Iya, Anda tenang saja. Meskipun saya ini cuma janda miskin, tapi saya masih bisa mencari uang sendiri.”
"Cih, sombong." Mendengar jawaban besannya yang tampak tenang, hal itu justru membuat ibunya Iwan kian kesal. Sedangkan ibunya Vira yang mendengar decakannya hanya bisa menghela nafas panjangnya, ia tentu saja tidak berniat sombong terlebih lagi pada besannya.
"Maksud Anda bagaimana?"
“Pikir sendiri!”
"Astaghfirullah aladzim. Saya ini cuma menjawab jujur, tapi Anda malah ...." Ucapan Ibunya Vira harus terpotong saat putrinya dan juga menantunya datang menghampirinya untuk menyalaminya setelah pernikahan mereka dinyatakan sah.
"Bu," panggil Vira yang langsung disalami oleh ibunya diiringi senyum tulus di bibirnya.
Meskipun saat ini wajahnya terlihat bahagia di depan semua orang, namun sebenarnya hati ibunya Vira merasa kasihan dengan wajah putrinya yang tak terpoles make up apapun padahal ini adalah acara akad nikah, yang seharusnya menjadi moment terindah, yang harus dikenang sepanjang masa. Namun apalah daya, ibunya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena yang mengurusnya ini semua adalah besannya atau ibunya Iwan.
Setelah Vira menyalami tangannya, kini Iwan yang berganti menyalaminya, menantunya itu tampak gagah dengan jas hitam di tubuhnya, berbanding terbalik dengan pakaian Vira yang hanya menggunakan hijab dan gamis biasa tanpa riasan MUA. Namun lagi-lagi yang bisa wanita itu lakukan hanya menerimanya dan duduk pasrah tanpa bisa berbuat apa-apa, bahkan saat ia harus melihat putrinya menunduk ingin menyalami tangan mertuanya, wanita itu langsung menarik tangannya dengan kasar seolah jijik dengan kehadirannya.
"Sudah, jangan lama-lama salimnya. Buat gatal tangan aja," keluhnya kesal bahkan tak merasa bersalah ataupun sungkan, padahal di sana masih banyak orang terutama besannya.
"Bu, jangan seperti itu lah!" tegur Iwan yang hanya ditatap sinis oleh ibunya, sedangkan Vira hanya bisa diam dengan menahan malu di sampingnya. Sedangkan ibunya Vira yang melihat itu semua, hanya mendirikan tubuhnya lalu menarik tubuh putrinya untuk duduk bersamanya di kursi yang berbeda.
"Sudah, enggak apa-apa. Jangan dimasukkan di hati ya ucapan mertua kamu!" ujarnya yang mau tak mau Vira angguki.
"Iya, Bu." Vira menjawab patuh, namun tidak dengan hatinya yang bergemuruh seolah semua manusia yang ada di sana cuma dirinya lah yang paling buruk, saking besarnya dampak dari sikap mertuanya tersebut. Padahal hari ini adalah hari pertama Vira menjadi menantunya, namun mertuanya itu sudah bersikap begitu kasarnya, ia tentu tidak bisa membayangkan bagaimana perlakuannya nanti saat mereka tinggal di rumah yang sama.
Walaupun begitu, Vira masih berharap sikap mertuanya akan berubah dan lebih bisa menerimanya terutama saat anak yang berada di kandungannya lahir di dunia. Karena mau bagaimana pun, Vira tak akan sanggup bila harus menerima sikap kasarnya seumur hidupnya.
Part 11
Pagi ini adalah pagi pertama Vira tinggal di rumah mertuanya, namun karena malamnya ia harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri setelah acara pernikahannya kemarin, ia jadi bangun sedikit siang kali ini, sekitar jam tuju pagi. Sebagai menantu di rumah itu, Vira tentu merasa tidak enak hati berbeda dengan suaminya yang justru masih enak-enakan tidur di sampingnya. Dengan perasaan gelisah, Vira menepuk pelan bahu suaminya itu berharap dia segera bangun untuk menemaninya keluar kamar.
"Mas," panggil Vira sedikit pelan, namun suaranya itu tentu saja tak mengubah apapun, suaminya itu masih terlelap di alam mimpinya.
"MAS, BANGUN!" panggil Vira lagi dengan nada yang sedikit lebih tinggi diiringi cubitan di bagian lengan suaminya.
"Ada apa sih?" Iwan yang masih merasa mengantuk hanya bisa bertanya dengan nada kesal, namun tak mengubah posisi tidurnya.
“Ayo temani aku keluar kamar!”
"Kenapa juga kamu mau ditemani? Kan cuma mau keluar kamar," Iwan mengeluh tak habis pikir tanpa mau membuka kelopak matanya, seolah berniat melanjutkannya tidurnya.
"Ya aku malu lah, Mas. Kamu sendiri kan tau kalau kita ini baru menikah, begitupun dengan aku yang juga baru tinggal di rumah ini. Seharusnya aku itu bangun lebih pagi, tapi aku malah kesiangan sekarang."
"Memangnya kenapa kalau kamu kesiangan? Kan kemarin kita baru menikah, pasti capek mengurus acara, dan kalau telat bangun ya enggak apa-apa, Ibu pasti bisa mengerti kok." Iwan membuka matanya dan menatap ke arah Vira, seolah berusaha mengerti dengan kondisi istrinya yang mungkin tidak enak hati.
“Ya enggak segampang itu lah ibu kamu mau mengerti posisiku, sejak awal aja dia enggak suka sama aku kok.”
“Terus maunya kamu bagaimana?”
“Aku enggak mau tau pokoknya kamu harus ikut keluar sama aku sekarang!”
“Astaga, aku ini capek, mau istirahat.”
“Kamu pikir yang capek itu cuma kamu apa? Aku juga capek, kemarin yang mengurus acara di rumahku semua itu aku, karena aku enggak mau semakin merepotkan ibuku apalagi sampai membuatnya kelelahan.”
"Terus itu salah siapa? Salahku gitu? Kan yang mau mengurus semuanya itu kamu bukan aku." Iwan yang merasa tak bisa sabar seketika membangunkan tubuhnya dan menatap kesal ke arah istrinya.
"Aku itu cuma minta apa sih ke kamu? Aku cuma minta ditemani keluar karena aku malu sama ibu kamu, aku bangun terlalu siang, yang seharusnya aku bisa lebih pagi dari ini, tapi kamu malah bersikap seolah-olah paling capek di dunia ini? Kamu pikir aku enggak capek apa? Aku juga capek, tapi aku coba tahan itu semua demi bisa terlihat baik di depan ibu kamu, Mas." Vira mengungkapkan unek-uneknya yang kali ini Iwan angguki, ia hanya tidak mau memperbesar masalahnya.
"Oke, aku temani kamu keluar sekarang. Puas kan kamu?" Jawaban Iwan terdengar tidak ikhlas meskipun kakinya diturunkan berniat pergi dari ranjangnya.
“Kok jawaban kamu kaya gitu sih, Mas?”
"Kaya gitu bagaimana? Astaga." Iwan sampai menjambak rambutnya saking frustrasinya, padahal ia hanya ingin beristirahat sekarang namun istrinya itu justru bersikap kekanak-kanakan.
“Ya jawaban kamu itu kaya enggak ikhlas.”
“Aku ikhlas, Sayang. Apanya yang enggak ikhlas? Aku ini cuma ngantuk, jadi stop mempermasalahkannya! Sekarang kamu mau keluar atau enggak? Kalau enggak, aku mau tidur lagi.”
"Iya, aku mau keluar." Meskipun kecewa dengan sikap suaminya, namun pada akhirnya Vira mendirikan tubuhnya berniat pergi dari sana. Sedangkan Iwan hanya menggelengkan kepala, merasa tak habis pikir dengan sikap istrinya yang tidak bisa dewasa padahal sudah menikah.
Kini Vira dan Iwan keluar dari kamar, keduanya berjalan ke arah ruang tengah di mana biasanya ibunya Iwan menonton televisi di sana. Namun sesampainya di sana mereka tidak mendapati siapapun, itu lah kenapa Iwan berjalan ke arah dapur dan menemukan ibunya sedang bersama dengan kakak iparnya.
Vira yang melihat mertuanya tengah memanasi makanan, seketika bingung harus bersikap bagaimana padahal sebelum ini ia berniat menyapa mertuanya itu dan mengajaknya berbicara, namun saat melihat ekspresi wajahnya yang tidak ada keramahan sedikit pun di sana, membuat Vira merasa gugup dari sebelumnya.
"Ibu lagi apa?" Untungnya Iwan memulai pembicaraan, membuat ibunya menoleh ke arahnya dengan mimik wajah yang sama.
"Masak," jawab ibunya terdengar singkat yang hanya dihelai nafas oleh menantu pertamanya, seolah Dejavu dengan situasinya sekarang.
"Ada yang bisa aku bantu enggak, Bu?" Vira bertanya hati-hati, ia berniat membantu meskipun dalam hati ia merasa takut setengah mati.
"Enggak ada." Mendengar jawaban singkat mertuanya, Vira seketika terdiam dan merasa bingung harus bagaimana.
"Vira, sini bantu Mbak potong ini!" Seorang wanita berumur dua puluh lima tahun melambaikan tangan ke arahnya, ia adalah istri dari kakaknya Iwan, namanya Risa.
"Iya, Mbak." Vira berjalan ke arah kakak iparnya itu, ia sedikit merasa lebih tenang saat melihat senyum di bibir wanita itu seolah sangat menerima kehadirannya di sana.
“Kamu bisa iris tipis bawang kan?”
"Aku enggak tau, tapi aku akan mencobanya, Mbak." Jawaban Vira yang terdengar antusias membuat Risa tersenyum dan mengarahkan telenan dan pisau ke arahnya.
"Seperti ini ya, Mbak?" tanya Vira sembari menunjukkan hasil potongannya.
“Kurang tipis, kamu coba lagi ya!”
“Iya, Mbak.”
"Mimpi apa aku, punya menantu enggak bisa apa-apa?" sindir ibunya Iwan sembari berlenggang pergi, ekspresi wajahnya terlihat menahan kesal namun juga berusaha tenang di waktu yang sama. Hal itu tentu saja membuat semua orang yang berada di sana terdiam, terutama Vira yang langsung tertunduk sendu.
"Jangan dimasukkan ke hati ya, Vira. Mbak yakin Ibu enggak berniat menjelekkan kamu." Risa mencoba menghibur Vira dan meskipun gadis itu tersenyum dan mengangguk, namun di dalam hatinya ia merasa terluka.
"Iya, Mbak. Aku enggak apa-apa kok." Vira menjawabnya dengan nada tenang, yang disenyumi oleh kakak iparnya, namun tidak dengan Iwan, suaminya itu merasa bila sikap ibunya sedikit keterlaluan. Itu lah kenapa ia menyusul langkahnya, ia berniat berbicara baik-baik pada ibunya.
"Bu," panggil Iwan saat keduanya memasuki ruang tengah.
“Ada apa?”
“Aku tau Ibu kurang suka dengan Vira, tapi dia juga berhak diberi kesempatan untuk menjadi menantu yang baik di rumah ini. Jadi aku mohon, jangan terlalu menekannya karena beradaptasi di sini pasti juga susah untuk dia.”
"Menekan bagaimana maksud kamu? Apa karena tadi Ibu bilang punya menantu yang enggak bisa apa-apa? Iya?" tanya ibunya terdengar mulai tak terima, sedangkan Iwan hanya terdiam seolah ingin mengiyakan.
“Dengar ya, Iwan. Apa yang Ibu katakan itu benar kok, istri kamu itu enggak bisa apa-apa, masa cuma mengiris tipis bawang aja enggak bisa.”
“Vira memang masih harus belajar, Bu. Jadi aku harap Ibu bisa mengerti kondisinya!”
“Masih harus belajar kamu bilang? Dia itu umur berapa sih? Umur sembilan belas tahun kan? Apa selama hidupnya dia enggak pernah diajari sama ibunya tentang tata cara memasak? Padahal potong bawang itu pekerjaan paling dasar di dapur, masa cuma kaya gitu enggak bisa?”
"Iya, aku tau Vira memang belum bisa, tapi bukan berarti Ibu bisa menyindirnya kan? Vira juga punya perasaan, dia pasti merasa sedih diperlakukan seperti itu." Iwan masih berusaha membela istrinya, yang tentu saja membuat ibunya itu merasa geram dengan sikapnya.
"Memangnya apa sih yang Ibu lakukan ke istri kamu itu? Ibu pukul dia? Ngehina dia? Caci maki dia? Enggak kan? Tapi lihat sikap kamu sekarang, kamu begitu membelanya seolah Ibu ini orang yang paling jahat di dunia." Saking geramnya, wanita itu sampai menunjuk-nunjuk wajah putranya yang hanya bisa tertunduk dengan sesekali menghela nafas gusarnya.
“Bukan begitu, Bu. Aku cuma ....”
"Cuma apa? Kalau kamu enggak mau Ibu bersikap seperti itu, seharusnya kamu suruh istri kamu itu untuk jangan sampai membuat kesalahan sedikit pun apalagi di depan Ibu!" Wanita itu memotong ucapan putranya sembari menunjuk dirinya lalu pergi dari sana dengan ekspresi geram.
Di saat seperti ini, tidak ada yang bisa Iwan lakukan selain mendiamkan ibunya, karena apa yang dikatakannya juga benar. Istrinya itu tidak bisa apa-apa, jadi wajar jika ibunya menyindirnya. Dan seharusnya ia tidak usah membela Vira, karena mau bagaimana pun istrinya itu harus belajar melakukan banyak hal supaya ibunya tidak kesal dengannya, pikir Iwan sembari mengangguk paham.
Di sisi lainnya, Vira masih memotong bawang dengan sangat tipis, meskipun dengan gerakan yang sangat lambat namun ia sangat berusaha keras melakukannya. Vira tentu tidak ingin mengecewakan mertuanya itu karena keahliannya di dapur memang cukup buruk, itu bisa terjadi karena selama ini ia hanya fokus sekolah dan ibunya tidak terlalu menuntutnya untuk bisa melakukan segalanya. Jadi saat ia menjadi seorang istri untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidak bisa melakukan segalanya dengan baik terlebih lagi sempurna.
"Semua bawang ini dipotong, Kak?" tanya Vira saat kakak iparnya itu tengah menyiapkan bumbu di depannya.
“Iya, kenapa? Kamu capek ya? Kalau iya, Mbak yang potong aja ya.”
“Aku enggak capek kok, Mbak. Aku cuma penasaran aja, kenapa memotong bawang sebanyak ini? Memangnya buat apa?”
“Ini mau dibuat bawang goreng, makanya harus diiris semuanya.”
“Bawang goreng, Mbak?”
“Iya, biasanya Ibu selalu membuat banyak bumbu yang sudah jadi untuk campuran masakannya, karena kan hampir setiap hari Ibu masak untuk para pegawainya yang ada di sawah.”
"Oh begitu? Tapi kenapa Ibu malah pergi sekarang? Enggak buat bumbunya?" Pertanyaan Vira kembali disenyumi oleh Risa yang mendengarnya.
“Ibu mungkin lagi capek, mau istirahat.”
“Terus bumbunya ini bagaimana, Mbak?”
"Mbak ini sudah menjadi menantu di sini selama lima tahun, jadi Mbak sudah paham bumbu apa aja yang harus dibuat, intinya Ibu sudah mempercayakan semuanya ke Mbak." Mendengar itu yang Vira lakukan hanya mengangguk, dalam hati tentu saja ia merasa takut bila harus berada di posisi kakak iparnya tersebut.
"Oh begitu? Berarti Mbak sering diminta tolong membuatkan bumbu?" tanya Vira dengan berusaha untuk tetap tenang demi bisa menyembunyikan ketakutannya.
“Iya.”
“Memangnya Mbak tinggal di sini juga ya?”
“Enggak, Mbak tinggal di samping rumah ini. Kamu tau kan rumah yang bercat biru yang ada di sebelah kanan?”
“Iya tau, Mbak.”
“Nah itu rumah Mbak.”
"Oh berarti Mbak dan suami sudah tinggal sendiri ya? Aku pikir tinggal di sini." Vira menyunggingkan senyumnya sembari masih berusaha mengiris bawang merah yang berada di tangannya.
"Iya, nanti kalau ada apa-apa atau kamu sedang butuh sesuatu, kamu jangan sungkan ke sana ya!"
"Iya, Mbak. Pasti." Vira mengangguk antusias, merasa bahagia saja mendapatkan ipar sebaik Risa, meskipun mertuanya tidak menyukainya namun setidaknya ia tidak merasa sendirian di sana.
“Oh ya kalau boleh tau, kita mau buat bumbu apa aja, Mbak?”
"Banyak, kita mau buat pecel, bawang goreng, bumbu soto, bumbu lodeh, bumbu ayam ungkep, bumbu ikan ...." Risa menjawab dengan ramah yang tentu saja membuat Vira nyaman mengobrol dengannya, keduanya bahkan saling bercerita tentang kehidupan mereka sembari terus mengerjakan pekerjaan masing-masing.
Part 12
Di pagi hari tepatnya di jam enam pagi, Vira membuka matanya setelah telinganya mendengar suara berisik seperti barang-barang yang berbenturan. Gadis itu tentu saja tidak tahu apa-apa yang sedang terjadi, namun bila didengarkan secara seksama, suara-suara itu seperti berasal dari peralatan dapur.
Vira yang merasa terganggu berusaha membangunkan tubuhnya, meskipun rasanya masih lemas seperti biasanya. Vira sendiri ingin bertanya pada Iwan tentang apa yang sedang terjadi di luar, namun ternyata suaminya itu sudah keluar dari kamar entah sejak kapan.
"Di mana Mas Iwan? Kok dia sudah enggak ada di kamar?" gumam Vira tampak kebingungan, dalam hati tentu ia bertanya-tanya kenapa suaminya itu pergi tanpa membangunkannya. Namun karena ia hanya seorang menantu di rumah itu, mau tak mau ia harus bangun dan pergi keluar untuk membantu mertuanya tersebut.
Vira kembali menutup pintu kamarnya setelah keluar dari sana, baru setelah itu ia berjalan ke arah kamar mandi untuk buang air kecil dan juga membersihkan diri meskipun hanya dengan mencuci wajah namun setidaknya ia merasa lebih segar. Setelah selesai, ia kembali melangkah ke arah dapur di mana suara ribut yang ia dengar sejak tadi berasal dari sana.
Sebagai seorang menantu, Vira tentu saja paham bila mertuanya itu tidak menyukainya dan apa yang dilakukannya sekarang seolah menjadi salah satu cara untuk mengusiknya. Namun Vira bertekad untuk bertahan, ia yakin suatu saat nanti mertuanya itu akan berubah dan bersikap lebih baik lagi padanya.
"Bu," panggil Vira pada mertuanya yang tengah memasukkan beberapa makanan ke sebuah wadah seperti rantang.
"Enak ya? Suaminya sudah berangkat kerja sejak tadi, tapi kamu malah baru bangun tidur." Wanita itu berujar sinis, yang tentu saja membuat Vira merasa bersalah.
"Mas Iwan sudah berangkat kerja, Bu? Berarti Mas Iwan belum sarapan ya?" tanya Vira terdengar khawatir.
"Ya sudahlah, dari jam empat subuh aku itu sudah mulai masak, memangnya kamu jam segini baru bangun?" Jawaban mertuanya membuat Vira merasa lega sekaligus tak enak hati di waktu yang sama.
“Aku minta maaf, Bu. Aku janji, mulai besok aku akan bangun lebih pagi dan membantu Ibu memasak.”
"Alah enggak usah sok janji, apalagi kalau kamu memang enggak pernah bangun pagi! Dari awal aku melihat kamu itu aku sudah tau, kalau kamu itu gadis pemalas, tapi bisa-bisanya Iwan malah suka sama kamu." Mertuanya itu menjawab sinis sembari menutup beberapa rantang yang sudah disiapkannya.
“Aku minta maaf, Bu. Aku benar-benar enggak tau kebiasaan apa saja yang ada di rumah ini, aku cuma butuh waktu untuk beradaptasi.”
"Alah alasan." Mendengar itu, Vira tentu saja merasa terluka karena apa yang dikatakannya memang benar adanya, namun ia tidak mau lagi membalasnya, ia takut akan ada pertengkaran antara ia dan mertuanya.
"Kalau begitu aku yang akan cuci semuanya, jadi Ibu bisa beristirahat setelah ini." Vira tentu saja tidak mau menanggapi ucapan mertuanya meskipun sangat menyayat hatinya, karena mau bagaimana pun ia juga salah karena bangun telat.
“Istirahat kamu bilang? Aku ini juga kerja, setelah ini aku masih harus mengirim sarapan ke semua pegawaiku dan mengawasi pekerjaan mereka di sawah. Memangnya kamu yang taunya cuma istirahat? Cuma tidur?”
"Maaf, Bu. Aku enggak tau." Vira menundukkan kepalanya, ia merasa bingung harus bagaimana lagi menghadapi mertuanya padahal ia baru dua hari tinggal di sana.
"Kalau enggak tau itu makanya tanya! Jangan sok tau!" Wanita itu sampai mendelikkan matanya saking kesalnya, membuat Vira takut hanya untuk menatapnya.
"Aku enggak mau tau ya, pokoknya kamu harus bersihkan semua rumah ini. Awas aja kalau aku pulang, rumah masih kotor dan kamu malah enak-enakan tidur di kamar."
"Iya, Bu. Aku pasti akan membersihkan semuanya," jawab Vira cepat, ia benar-benar takut dan yang ia lakukan sejak tadi hanya menunduk. Namun saat mertuanya itu pergi dari hadapannya, di saat itu lah Vira merasa lega terlebih lagi saat ia mendengar motor mertuanya dinyalakan.
Vira menghembuskan nafas panjangnya setelah yakin mertuanya sudah pergi dari rumah, sampai pada akhirnya ia menatap seluruh dapur yang berada di hadapannya, di sana sudah banyak sekali peralatan masak yang masih kotor tentunya, yang mau tak mau harus ia bersihkan secepatnya dengan begitu ia bisa membersihkan yang lainnya.
***
Jam dua belas siang, Iwan pulang dengan baju yang sudah tercampur dengan tanah karena pekerjaannya yang memang sebagai petani semangka di sawah milik ibunya. Seperti biasa, Iwan selalu ke kamar mandi lebih dulu untuk membersihkan sebelum masuk ke dalam kamarnya. Setelah semuanya selesai dan tubuhnya merasa segar, ia masuk ke dalam kamarnya namun justru mendapati istrinya itu tengah menatapnya dengan ekspresi wajah tak suka.
"Kamu enggak tidur siang?" Iwan berusaha berbasa-basi meskipun tubuhnya sudah sangat lelah sekali.
“Enggak, aku baru selesai bersih-bersih rumah.”
"Oh," jawab Iwan seadanya sembari mengambil ponsel yang berada di atas meja.
"Cuma itu respon kamu?" tanya Vira sembari menatap ke arah Iwan yang baru saja mendudukkan tubuhnya ranjang.
"Memangnya kenapa dengan responku? Kamu bersih-bersih rumah, terus kenapa? Memangnya aku harus menanggapinya bagaimana?" tanya Iwan terdengar tak habis pikir.
“Kenapa tadi kamu enggak membangunkan aku sebelum kamu berangkat bekerja?”
“Ya buat apa membangunkan kamu? Toh, yang mau kerja kan aku.”
“Ya tapi gara-gara kamu enggak membangunkan aku, aku jadi bangun siang tau enggak?”
“Oh ya? Memangnya kamu bangun jam berapa sih? Heboh banget? Dan lagi juga kenapa kalau kamu bangunnya siang?”
"Aku itu baru bangun jam enam. Dan kamu tanya kenapa aku heboh? Ya karena aku cuma menantu di sini, tapi masa aku bangunnya siang sih?" omel Vira yang justru disenyumi oleh Iwan dan bahkan sembari menggelengkan kepala tanda tak percaya.
"Kamu bangunnya jam enam? Aku juga berangkat kerjanya jam segitu, terus kamu maunya aku bangunkan kamu di jam yang sama? Iya? Oke." Iwan mengangguk setuju yang justru membuat Vira merasa bingung.
"Kamu berangkat kerjanya jam enam? Bukannya lebih pagi dari itu ya?" Vira mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang sembari menatap penasaran ke arah suaminya yang tampak tenang.
“Aku memang berangkat kerjanya jam segitu kok, kalau bangunnya mungkin lima menit lebih awal. Kenapa? Kamu juga mau aku bangunkan jam segitu?”
"Ya jangan lah, itu sih termasuk siang." Vira menjawab cepat, dalam hati ia merasa dilema entah bagaimana berbeda dengan suaminya yang justru merasa heran melihat sikapnya.
“Terus kamu maunya aku bagaimana?”
“Enggak apa-apa.”
“Dih kamu kok aneh sih? Tadi aja kamu ngomel-ngomel enggak jelas, sekarang kamu malah jawab enggak apa-apa.”
“Itu karena aku pikir kamu bangunnya lebih pagi tapi sengaja enggak membangunkan aku, tapi ternyata jarak kita bangun juga enggak jauh beda.”
"Memangnya apa sih masalahnya? Kenapa cuma bangun tidur aja dipermasalahkan?" tanya Iwan tak habis pikir.
“Ya masalah lah, karena aku baru tau kalau ibu kamu itu bangunnya jam empat subuh.”
“Ya memang setiap hari ibuku bangunnya jam empat, kan dia harus masak.”
“Kenapa kamu enggak memberitahu ku sejak awal?”
“Kenapa juga harus memberitahu kamu?”
“Ya aku harus membantunya lah, masa ibu kamu masak tapi aku malah enak-enakan tidur di kamar.”
“Ya enggak apa-apa, toh kamu juga sedang hamil kan? Ibu pasti bisa mengerti kok.”
“Sayangnya enggak, ibu kamu tadi aja ngomel-ngomel kok karena aku bangunnya siang.”
"Masa sih Ibu kaya gitu ke kamu?"
"Kaya enggak tau ibu kamu aja, dia kan enggak suka sama aku," jawab Vira mulai terdengar sendu dan bahkan menangis meskipun segera ia hapus. Sedangkan Iwan yang melihat istrinya bersedih hanya bisa mendekat lalu memeluknya dengan erat, ia berharap istrinya itu merasa lebih tenang di dekapannya.
"Aku minta maaf untuk semua sikap buruk Ibu ke kamu, aku harap kamu enggak menyerah dan tetap baik ke Ibu," ujar Iwan yang sempat didiami oleh Vira, karena mau bagaimana pun gadis itu masih remaja, pemikirannya masih belum bisa menerima perlakuan mertuanya meskipun juga tidak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah.
"Iya." Vira menjawab seadanya lalu Iwan melepaskan pelukannya dan menatapnya penuh ketulusan.
"Bagaimana kalau mulai sekarang kamu pasang alarm supaya bisa bangun lebih pagi? Dengan begitu kamu bisa bantu Ibu masak, kali aja setelah itu Ibu akan bersikap lebih baik ke kamu. Bagaimana?" ujar Iwan yang sempat Vira sampai pada akhirnya ia mengangguk menyetujuinya.
“Iya, aku akan mencobanya.”
"Sudah kan? Sekarang enggak ada masalah lagi kan?" tanya Iwan memastikan yang digelengi oleh istrinya, namun ekspresinya masih tampak ada sesuatu yang mengganjal.
“Enggak ada.”
“Ya sudah kalau begitu aku main hp dulu ya, kamu istirahat aja.”
“Kamu enggak tidur?”
"Aku enggak akan bisa tidur, apalagi setelah ini aku masih harus ke sawah lagi, jadi percuma juga." Mendengar jawaban Iwan, yang Vira lakukan hanya mengangguk dan menatap suaminya yang mulai memainkan ponselnya sedangkan dirinya membaringkan tubuhnya mencoba untuk terlelap meskipun sikap mertuanya masih berkecamuk di pikirannya.
"Apa aku bisa membuat mertuaku menyukaiku seperti yang aku katakan ke Ibu dulu?" gumam Vira dalam hati dan entah kenapa ia merasa ragu sekarang, namun meskipun begitu ia juga tidak bisa mundur lagi karena semua sudah terlanjur terjadi. Sekarang yang harus ia lakukan adalah berusaha membuat mertuanya menyukainya, toh dia juga baru dua hari di sana, pikirnya dengan berusaha menghibur dirinya sendiri.
Part 13
Di jam empat subuh, Vira membuka matanya setelah mendengar alarm yang berasal dari ponselnya, yang sengaja ia setting tadi malam. Seperti ucapan Iwan, Vira mencoba menuruti saran dari suaminya tersebut yaitu bangun di jam empat subuh untuk membantu ibu mertuanya memasak di dapur.
Vira sendiri tentu saja masih merasa mengantuk, matanya bahkan masih terasa berat untuk tetap terbuka, namun ia sendiri juga tak memiliki pilihan lain selain bangun dari tempat tidurnya. Di detik berikutnya Vira mendirikan tubuhnya dengan perlahan setelah sempat menatap ke arah Iwan yang masih terlelap, di tempatnya berdiri, Vira menghela nafas panjangnya, ia tentu tak menyangka akan menjalani kehidupan rumah tangga yang seperti ini, padahal sebelumnya ia memiliki keinginan untuk bekerja dan mencari uang untuk membantu ibunya. Namun karena kehamilannya yang tak diinginkannya, kini Vira harus menjadi seorang istri dan juga seorang menantu, yang bahkan jauh dari harapannya dulu.
"Sebaiknya aku cuci wajah dulu supaya merasa segar," gumam Vira terdengar tak bersemangat tentu saja karena ia masih merasa mengantuk sekarang, namun dengan berat hati ia harus berjalan keluar dari kamarnya untuk menunju ke kamar mandi. Di sana ia buang air kecil dan mencuci wajahnya, setelah selesai ia langsung menuju dapur. Dan benar saja, mertuanya itu sudah di sana menyiapkan bahan makanan yang akan dia masak.
"Bu," panggil Vira sembari berusaha tersenyum ramah.
"Ngapain kamu di sini?" Mertuanya yang melihat keberadaannya tentu saja sempat merasa kaget, namun hal itu tertutupi oleh ekspresi wajah ketusnya dan sorot matanya yang tajam.
"Aku mau bantu Ibu masak." Vira mendudukkan tubuhnya di sebuah ranjang yang dikhususkan untuk tempat mengelola bahan makanan. Sedangkan mertuanya itu justru terlihat tak senang setelah mendengar jawaban Vira, bisa dilihat dari ekspresi sinisnya yang tak bisa disembunyikan.
"Memangnya kamu bisa masak apa? Potong bawang aja enggak bisa." Mendengar jawaban mertuanya, Vira tentu saja merasa terluka hatinya, namun ia sendiri sudah bertekad untuk membuat mertuanya itu menyukainya.
"Iya, Bu. Aku tau itu, makanya sekarang aku mau bantu Ibu supaya aku juga bisa belajar memasak dari Ibu." Vira menjawab dengan sopan yang entah bagaimana diangguki oleh mertuanya meskipun bibirnya masih terlihat sinis saat menanggapinya.
"Baiklah, kalau begitu potong kangkung itu menyerong ya!" pintanya yang tentu saja membuat Vira merasa bingung mendengarnya.
“Menyerong, Bu?”
"Astaga, apa kamu juga enggak tau potong menyerong?" tanggapan mertuanya yang hanya bisa Vira tanggapi dengan kediaman.
"Maaf, Bu," jawabnya terdengar lirih, di saat seperti ini Vira tentu saja merasa menyesal karena tidak belajar memasak sejak dulu pada ibunya sendiri.
"Sini aku contohkan!" Mertuanya mengambil setangkai kangkung lalu memotongnya dengan potongan serong seperti yang diinginkannya, sedangkan Vira yang melihatnya itu tentu saja langsung mengerti dan bahkan mengangguk paham.
"Aku sudah mengerti, Bu." Vira mengambil kangkung yang lain lalu memotongnya dengan hati-hati, yang kembali membuat mertuanya merasa geram karena Vira melakukannya dengan perlahan.
"Kapan selesainya kalau kamu memotongnya sepelan itu?" ujar mertuanya terdengar kesal yang tentu saja membuat Vira tertekan karena sepertinya ia kembali membuat kesalahan.
"Sini aku tunjukkan lagi, tadi aku memotongnya dengan pelan supaya kamu bisa mencontohnya, tapi bukan berarti kamu juga melakukan hal yang sama." Mertuanya kembali mengambil setangkai kangkung lalu memotongnya dengan cepat yang kembali Vira angguki karena sudah mengerti.
“Bisa kan kamu?”
"Bi-bisa kok, Bu." Vira mengangguk kaku lalu kembali memotong kangkungnya dengan cepat, ia berusaha semaksimal mungkin meskipun kulitnya sedikit tersayat. Sedangkan mertuanya itu hanya menggeleng tak percaya, merasa tak habis pikir saja ia memiliki menantu seperti Vira.
Setelah memotong kangkung, Vira melakukan hal yang lain seperti mengupas bawang, memotong cabe, dan bahkan membolak-balikkan masakan yang berada di wajan. Intinya apa saja Vira lakukan saat membantu mertuanya tersebut, sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan jam enam pagi, seperti biasa mertuanya itu akan memasukkan hasil masakannya ke dalam rantang untuk ia bawah ke sawah. Sedangkan Vira hanya berdiri dan memerhatikannya, namun harus terganggu saat mendengar suaminya yang baru saja datang.
"Makanannya sudah matang, Bu?" tanya Iwan pada ibunya yang diangguki oleh wanita itu tanpa mau menoleh ke arah putranya tersebut.
"Sudah, kamu langsung sarapan saja," jawabnya sembari terus berkemas.
"Vira, kamu belum sarapan kan? Ayo kita makan bersama, kamu pasti capek bantu Ibu sejak subuh." Iwan tersenyum ke arah istrinya yang turut tersenyum berniat mengangguk, namun ucapan mertuanya mengurungkan niatnya.
"Capek apanya? Cuma bantu gitu doang aja capek." Wanita berumur empat puluh tahunan itu menyahut sinis, lalu menatap ke arah putranya yang terdiam dan menatap bingung ke arahnya.
"Sudah, kamu sarapan saja sana! Biarkan dia mencuci peralatan memasak dulu supaya dapur juga cepat bersih." Wanita itu menoleh ke arah Iwan yang ingin membantah ucapannya karena menurutnya istrinya juga pasti merasa lelah.
“Tapi, Bu. Istriku kan ....”
"Apa yang Ibu katakan benar, Mas. Sebaiknya aku mencuci dulu." Vira memotong ucapan Iwan yang tampak tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.
"Begitu ya? Ya sudah kalau begitu aku sarapan dulu ya?" ujar Iwan yang diangguki oleh istrinya, sedangkan ibunya hanya melirik ke arah mereka sekilas sembari tersenyum sinis lalu kembali merapikan rantang-rantang makanan yang akan dibawanya.
Di tempat cuci piring yang berada di lantai bawah, Vira menghembuskan nafas panjangnya saat melihat peralatan masak yang menumpuk di depannya, padahal kemarin ia juga membersihkan dengan jumlah yang sama. Namun kali ini ia sudah merasa lelah hanya dengan menatapnya, mungkin itu terjadi karena ia bangun lebih pagi dari biasanya dan juga membantu mertuanya memasak selama dua jam lamanya.
Sekarang tidak ada yang bisa Vira lakukan selain menyelesaikan cuciannya dan juga pekerjaan lain yang menunggunya, seperti menyapu dan mencuci baju. Walaupun sebenarnya perutnya sudah merasa lapar sejak tadi, tubuhnya juga terasa lemas, mungkin karena bawaan dari kehamilannya. Di saat seperti ini, Vira masih bisa bersyukur dengan kondisinya yang cukup sehat, tidak seperti cerita-cerita orang lain yang hamil sampai tidak bisa makan apapun karena mual.
"Setelah ini kita makan ya, Nak." Vira mengusap perutnya sembari tersenyum tulus, lalu kembali fokus dengan pekerjaannya yang harus segera ia selesaikan.
***
Setelah mengantarkan makanan ke tempat para pegawainya, ibunya Iwan langsung menuju ke arah pasar untuk membeli bahan makanan yang akan ia masak untuk keesokan harinya. Hal itu memang biasa wanita itu lakukan setiap harinya, selain lebih praktis juga untuk menghemat waktu tentunya.
Saat memasuki pasar, ibunya Iwan memerhatikan bahan-bahan makanan yang mungkin bisa ia olah, terutama di penjual bagian ikan yang akan ia masak untuk lauk-pauk. Setelah mendapatkan ikan yang sesuai dengan kriterianya, wanita itu langsung menanyakan harganya dengan sedikit menawarnya. Setelah selesai bertransaksi, ia kembali melanjutkan langkahnya dan tibalah ia di bagian tempat yang menjual sayur-mayur, di mana kebanyakan yang penjualnya adalah ibu-ibu yang dikenalnya.
"Eh Mbak Siti, mau cari apa?" tanya salah satu penjual yang bernama Mina, yang umurnya sedikit lebih muda.
“Cari pare, ada enggak?”
“Pare lagi kosong, bagaimana kalau genjer aja?”
"Enggak suka aku." Ibunya Iwan menggeleng pelan sembari menatap sekelilingnya yang tampak mengunggah minatnya untuk menanyakan harganya.
“Ini kol berapa harganya?”
“Sekilo lima belas ribu.”
“Aku mau satu kilo.”
"Oke," jawab sang penjual dengan mengambil beberapa kol untuk ia timbang.
"Bu Siti, menantu barunya mana? Kok enggak diajak juga?" Penjual cabe langganannya kini bertanya dengan nada heran, yang membuat para penjual lainnya juga merasa penasaran.
"Iya, Bu. Kok enggak diajak ke pasar? Kan sekalian dikenalkan ke kita-kita, supaya jadi langganan juga." Penjual sayuran lainnya juga menyahut yang diangguki oleh teman-temannya tersebut.
"Menantu baruku ya? Aduh, mana bisa aku mengajaknya ke pasar?" jawab ibunya Iwan yang kian membuat para penjual di sana merasa penasaran.
“Loh memangnya kenapa, Bu?”
"Istrinya Iwan itu bangunnya siang terus, jangankan ke pasar, bantu aku masak di dapur aja enggak pernah."
“Masa sih, Bu?”
“Iya, masa aku bohong sih?”
"Wah kok gitu ya istrinya Iwan? Apa ibunya enggak mengajari dia ya?"
"Kayanya sih enggak pernah, karena pas awal-awal dia tinggal di rumahku kan si Risa pernah menyuruh dia potong bawang, itu pun dia enggak bisa melakukannya, potongannya tebal-tebal. Coba kalian pikir, gadis seperti apa dia itu? Tingkahnya kaya enggak pernah diajari bantu di dapur." Ibunya Iwan menatap para penjual yang merasa tak habis pikir dengan apa yang baru mereka dengar.
“Masa cuma potong bawang tipis aja enggak bisa sih, Bu? Anakku yang SD aja sudah pintar melakukannya.”
"Ya itu kan anakmu, bukan menantuku yang enggak tau apa-apa itu."
“Tapi dia tetap bantu Bu Siti bersih-bersih rumah kan?”
“Ya kalau itu sih pernah tapi ya nggak bisa dibilang sering juga, orang bangunnya aja siang kok.”
"Waduh, kok gitu ya istrinya Iwan itu? Padahal dia itu sudah menjadi istri loh, seharusnya dia berusaha bersikap lebih baik meskipun enggak pernah diajari sama ibunya sendiri." Jawaban para penjual sayur rata-rata mengeluh dengan kalimat yang sama, mereka menyalahkan sikap Vira yang terkesan seenaknya tanpa tahu kejadian yang sebenarnya. Sedangkan ibunya Iwan justru tersenyum puas melihat semua orang yang membicarakan menantunya itu, ia seolah bahagia melihat mereka salah paham dengan istri dari putranya.
Part 14
Sudah beberapa hari ini, Vira bangun lebih pagi demi bisa membantu mertuanya tersebut, yang memang hampir setiap hari memasak untuk sarapan para pegawainya di sawah. Mungkin karena tidak biasa, Vira jadi sering merasa kelelahan terlebih lagi ia juga sedang hamil, menambah rasa tak nyaman pada tubuhnya.
Itu lah kenapa setelah membantu mertuanya memasak dan juga mencuci peralatan dapur, Vira memutuskan untuk membeli mi instan yang berkuah, ia ingin memasaknya dengan telur dan juga cabe. Hal itu memang biasa Vira lakukan saat tubuhnya terasa kurang nyaman, baru setelah itu ia akan beristirahat panjang untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Dan untungnya rumah mertuanya itu tidak terlalu jauh dari toko, hanya berjarak tiga rumah yang masih bisa Vira jangkau dengan berjalan kaki.
Rumah mertuanya sendiri memang berbeda dusun dengan rumah ibunya, namun meskipun begitu banyak orang yang Vira kenal di lingkungan sana, itu lah kenapa ia sempat tersenyum ramah ke arah beberapa orang yang menyapanya di jalan. Begitupun saat memasuki toko, Vira tak sengaja bertemu dengan temannya semasa SMP dan terjadilah aksi sapa menyapa dengan nada tak percaya.
"Vira, kamu kok bisa ada di sini?" tanya temannya yang bernama Anis, gadis berhijab itu tentu saja syok dengan keberadaan Vira, karena sepengetahuannya rumah temannya itu berada di dusun yang berbeda.
“Iya, Nis. Aku kan menikah dengan orang sini.”
“Serius? Siapa? Kok aku enggak tau ya?”
“Namanya Mas Iwan. Kamu kenal?”
“Mas Iwan yang rumahnya dekat sini?”
“Iya, kamu mengenalnya kan?”
“Ya Allah jadi kamu menikah dengan Mas Iwan?”
"Iya." Vira tersenyum ramah berbeda dengan Anis yang masih tak percaya dengan kabar yang baru didengarnya.
“Kok aku enggak tau ya? Memangnya kapan kalian menikah?”
“Mungkin lima hari yang lalu.”
"Apa? Lima hari yang lalu? Tapi kok aku enggak dengar ya? Apa kalian menikah dengan sederhana?" tanya Anis yang sempat membuat Vira merasa sedih mendengarnya, karena pernikahannya dijalankan dengan sangat sederhana bahkan hanya di KUA.
"Ya begitulah." Vira tentu tidak ingin memperlihatkan kesedihannya, itu lah kenapa ia tersenyum dengan semringah seolah hatinya sedang baik-baik saja.
“Oh ya kamu sendiri apa kabar?”
“Aku baik, Vira.”
“Bagus lah kalau begitu, memangnya kesibukan kamu apa saat ini?”
“Aku lagi persiapan untuk kuliah, kamu sendiri... enggak melanjutkan pendidikan kamu ya?”
“Enggak, mana ada uang ibuku untuk membiayai kuliahku?”
"Iya sih, tapi bukannya dulu kamu mau kerja ya?" tanya Anis hati-hati yang sebenarnya membuat Vira sedih, karena kenyataannya jalan hidupnya tak sekarang dengan harapannya.
"Iya, tapi itu kan dulu, kalau sekarang sih aku sudah menikah."
"Iya sih," jawab Anis sembari mengangguk, entah kenapa ia merasa ada yang Vira sembuh darinya.
"Jadi kamu ya menantunya Bu Sita? Istrinya Iwan?" Tiba-tiba penjual toko itu bertanya ke arah Vira yang sempat terdiam lalu menganggukkan kepala.
“Iya, Mbak.”
"Kamu kalau jadi menantu itu jangan malas-malasan terus ya, kasihan itu mertua kamu, setiap hari masak di dapur, tapi kamu malah enak-enakan tidur dan enggak pernah bantu apapun." Wanita berumur tiga puluh tahun itu berujar dengan nada sedikit kesal, berbeda dengan Vira yang justru terkejut mendengarnya.
“Mbak kata siapa kalau saya enggak pernah bantu mertua saya?”
"Ya siapa lagi kalau bukan kata mertua kamu sendiri? Saya enggak mungkin berani menasehati kamu seperti ini kalau saya enggak tau dari orangnya langsung. Enggak cuma saya aja, semua orang di sini juga tau kelakuan kamu." Mendengar jawaban si pemilik toko, Vira seketika terdiam dan tertunduk lemas seolah tak percaya bila mertuanya itu begitu tega memfitnahnya padahal selama ini ia selalu membantunya memasak sampai bangun subuh setiap harinya.
"Ada apa?" tanya Anis terlihat khawatir saat menatap ke arah Vira yang tampak bersedih hati.
"Enggak apa-apa, aku pulang dulu ya," pamit Vira tiba-tiba yang tentu saja membuat Anis merasa bingung karena setahunya Vira belum belanja apa-apa.
“Pulang? Kamu kan belum beli apa-apa?”
"Aku enggak jadi beli, aku duluan ya," pamit Vira yang kali ini Anis angguki.
“Iya.”
"Jadi istrinya Iwan itu temannya kamu, Nis?" tanya pemilik toko yang diangguki oleh gadis tersebut.
"Iya, Mbak." Anis menjawab seadanya sembari terus menatap punggung Vira yang mulai menjauh.
“Memangnya kenal di mana?”
“Dulu aku sama Vira teman satu SMP.”
“Oh jadi namanya Vira? Anaknya itu pemalas ya? Masa mertuanya masak enggak pernah dibantu? Padahal kamu sendiri tau kan kalau Bu Siti itu setiap hari sibuk memasak untuk para pegawainya sampai harus bangun subuh, tapi menantunya itu malah enak-enakan tidur.”
“Setau aku, Vira anak yang rajin kok, Mbak.”
“Kalau rajin mana mungkin mertuanya itu sampai mengeluh ke orang-orang?”
"Kita kan cuma orang luar, Mbak, enggak tau yang sebenarnya terjadi itu seperti apa, jadi aku enggak mau terlalu banyak berkomentar. Oh ya, tadi aku beli gula tiga kilo, ada kan Mbak?" ujar Anis yang diakhiri dengan mengalihkan topik pembicaraan, ia hanya tidak ingin membicarakan masalah dari temannya tersebut.
***
Di dalam kamarnya, Vira mendudukkan tubuhnya di atas ranjang, di sana ia memikirkan ucapan pemilik toko tentang dirinya. Karena ternyata mertuanya itu sudah mengatakan hal yang salah atau bisa dibilang sudah memfitnahnya, sampai ia merasa malu harus dinasehati orang lain padahal selama ini ia sudah berusaha semaksimal mungkin meskipun tubuhnya juga kelelahan.
Vira terus-terusan merenung sampai tidak sadar Iwan sudah pulang dan masuk ke dalam kamar, suaminya itu tentu saja merasa heran dengan ekspresi wajah istrinya yang tidak biasa. Padahal ia ke kamar berniat mengambil baju bersih untuk ia pakai setelah mandi, namun saat melihat istrinya terlihat sedih mau tak mau ia harus menanyakan kondisinya saat ini.
"Vira," panggil Iwan yang berhasil menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
“Kamu sudah pulang, Mas?”
“Iya.”
“Tumben, ini kan baru jam sembilan.”
“Iya, tadi aku cuma menyiram tanaman semangka jadi pulangnya cepat.”
"Oh begitu?" jawab Vira seadanya lalu kembali merenung sembari menghembuskan nafas panjangnya sesekali.
"Ada apa? Kamu lagi ada masalah?" Iwan mendudukkan tubuhnya di samping istrinya yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.
“Bukan masalah sih ....”
“Terus apa kalau bukan karena masalah? Apa kamu sedang memikirkan sesuatu?”
"Tadi aku ke toko sebelah sana," ujar Vira sembari menunjuk ke arah kanannya.
“Terus?”
"Si pemilik toko bilang kalau seharusnya aku jangan suka malas-malasan, kasihan Ibu setiap hari masak enggak pernah aku bantu, aku malah enak-enakan tidur." Vira menjawab dengan nada sendu, yang sempat membuat suaminya itu merasa bingung.
“Kenapa dia bilang seperti itu ke kamu?”
"Ya kenapa lagi kalau bukan karena Ibu yang kasih tau," jawab Vira terdengar lelah, dalam hati tentu saja ia tidak ingin membahas hal ini pada suaminya karena mau bagaimana pun yang dibicarakannya adalah mertuanya, ibu dari suaminya. Namun kalau bukan dengan suaminya, Vira sendiri juga tidak tahu harus cerita ke siapa.
“Masa sih Ibu bilang seperti itu ke pemilik toko itu?”
"Kamu enggak percaya sama aku? Ya sudah ayo kita ke sana terus tanya langsung ke orangnya!" tantang Vira yang dengan cepat digelengi oleh suaminya.
“Bukan begitu ....”
“Aku tau kamu enggak akan percaya dengan ucapanku kan, Mas? Makanya aku ajak kamu ke sana supaya kamu juga bisa mendengarnya.”
“Aku enggak mau buat keributan dengan siapapun, malu kalau sampai masalah ini dibesar-besarkan.”
"Kamu pikir dengan ibu kamu memfitnah ku ke orang lain itu enggak buat aku malu ya? Aku sendiri juga malu, Mas. Karena apa yang Ibu bilang itu semua enggak benar, selama ini aku selalu berusaha bangun subuh untuk membantu Ibu masak. Enggak cuma itu aja, aku juga yang membersihkan semua peralatan memasaknya termasuk juga bersih-bersih di rumah ini. Itu semua aku yang melakukannya, Mas, aku." Vira menunjuk ke arah dadanya yang mulai naik turun karena emosi di hatinya.
"Aku tau itu, kamu yang tenang ya." Iwan tentu saja tidak ingin membuat istrinya marah apalagi sampai suaranya didengar orang lain terutama ibunya.
“Bagaimana aku bisa tenang? Aku ini sedang hamil loh, Mas, tapi sikap ibu kamu itu enggak pernah baik sama aku, dia selalu bersikap seenaknya sama aku, padahal kan juga manusia biasa yang punya perasaan, aku pun bisa kecewa dan marah.”
“Iya, tapi sepertinya kamu yang salah paham.”
“Salah paham bagaimana? Jelas-jelas pemilik toko itu yang bilang kalau Ibu itu ....”
"Iya, tapi apa kamu tanya kapan Ibu bicara tentang kamu ke dia?" Pertanyaan Iwan kali ini berhasil mendiamkan Vira, yang tentu merasa dilema dengan perasaannya.
“Aku enggak tanya.”
"Seharusnya kamu tanya dulu, kapan Ibu bilang seperti itu? Bisa aja kan Ibu membicarakan kamu di awal-awal kita menikah dulu, kan waktu itu kamu bangunnya memang siang sampai enggak sempat membantu Ibu kan?" Mendengar ucapan Iwan, Vira mulai merasa ragu dengan kemarahannya sendiri karena apa yang suaminya katakan itu mungkin bisa saja terjadi.
Karena seingat Vira, ia memang sempat bangun siang selama dua hari di mana mertuanya sudah memasak dan menyiapkan makanan untuk dibawa ke sawah. Meskipun hal itu terjadi cuma satu hari karena pertama kali tinggal di sana, Vira juga bangunnya lebih siang. Namun tetap saja, Vira merasa dirinya tidak enak-enakan tidur di kamar, ia masih membersihkan rumah dan juga mengurus suaminya dengan benar.
"Ya tapi tetap aja enggak seharusnya Ibu bilang kalau aku cuma enak-enakan tidur dan enggak bantu apapun, Mas." Vira berusaha membela dirinya, ia tentu tidak mau terus-terusan dipojokkan terlebih lagi karena memang ia tidak salah dalam hal itu.
"Aku tau itu, tapi apa kamu yakin pemilik toko itu mengatakan yang sebenarnya? Bisa aja kan dia melebih-lebihkan ucapan Ibu supaya kamu marah?" jawab Iwan yang kembali Vira diami.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan ucapan orang itu, karena yang penting itu hubungan kamu dengan Ibu bisa berjalan lebih baik, jadi kamu fokus saja membuat Ibu menyukai kamu ya?" ujar Iwan lagi yang terpaksa Vira angguki.
“Iya.”
"Ya sudah kalau begitu aku mandi dulu ya, kamu istirahat." Setelah mengatakan itu, Iwan berjalan ke arah lemarinya untuk mengambil bajunya, sedangkan Vira hanya terdiam sembari sesekali menghembuskan nafas panjangnya untuk sedikit menenangkan perasaannya.
Part 15
Setelah mendengar ucapan pemilik toko kemarin, Vira memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya demi menjaga hubungannya dengan mertuanya. Ia juga tidak mau pikirannya itu mempengaruhi kehamilannya, karena seperti yang ia tahu, wanita hamil tidak boleh terlalu banyak pikiran, hal itu bisa saja mempengaruhi kesehatan janinnya.
Itu lah kenapa Vira masih bangun subuh seperti biasanya, ia juga tetap membantu mertuanya itu memasak meskipun suasananya selalu tidak mengenakkan. Itu terjadi karena mertuanya itu selalu mendiamkannya, ibu dari suaminya itu tidak akan berbicara sebelum Vira bertanya. Jadi tak akan mengherankan bila keduanya tidak pernah saling mengobrol ataupun bercerita satu sama lain, yang mereka lakukan hanya fokus dengan pekerjaan masing-masing.
Sebenarnya Vira sendiri merasa lelah dengan keadaan seperti itu, karena mau bagaimana pun ia hanya menantu di sana, orang asing yang tiba-tiba menjadi bagian dari keluarga suaminya. Ia tentu sangat berharap bisa diperlakukan dengan lebih baik, diterima dengan tangan terbuka, dan juga hati yang bahagia. Namun Vira sendiri sadar, mertuanya itu tidak pernah menyukainya sejak awal, jadi ia tidak bisa berharap terlalu banyak.
Entah apa yang membuat mertuanya itu membencinya? Namun yang pasti sikapnya itu sudah ada sejak ia diperkenalkan oleh Iwan sebagai kekasihnya, saat itu tatapannya begitu sinis diiring sikap yang dingin, membuat Vira merasa tak nyaman dan meminta untuk pulang.
Sebenarnya Vira tidak terlalu ingin memikirkannya, namun diam-diam ia merasa kalau mertuanya itu tidak menyukainya karena ekonomi keluarganya. Yang Vira sendiri sadar bila dirinya berasal dari keluarga sederhana, ayahnya menceraikan ibunya saat ia masih kecil, membuat ibunya mau tak mau bekerja menjadi asisten rumah tangga demi bisa memenuhi kebutuhannya.
Bila dibandingkan dengan keluarga Iwan, tentu saja Vira tidak ada apa-apanya. Meskipun suaminya itu hanya bekerja menjadi kuli tani biasa, namun ibunya memiliki banyak sawah yang ditanami melon dan juga semangka, yang setiap panen saja bisa menghasilkan ratusan juta rupiah. Sedangkan ibunya Vira hanya bisa menghasilkan satu juta setengah dalam satu bulan, itu pun masih sering dibon karena harus memenuhi kebutuhan rumah dan juga sekolahnya Vira.
Hal itu terjadi saat Vira masih bersekolah, terutama saat ia masih duduk di bangku SMA, ibunya itu sampai berhutang ke bosnya hanya untuk membayar biaya sekolah Vira yang kian mahal setiap tahunnya. Sekarang Vira sudah lulus dan bahkan sudah menikah, ia tak lagi merepotkan ibunya tentang biaya. Namun meskipun begitu, Vira justru merasa sedih karena keinginannya untuk bekerja demi bisa meringankan beban ibunya kini harus hancur karena kehamilannya.
Vira tentu saja sangat menyesali perbuatan bodohnya karena mau melakukan hal itu tanpa memikirkan kedepannya, bahkan di saat ia sudah tahu hamil pun, ia masih menyakiti hati ibunya karena membela Iwan dengan begitu kerasnya sampai tidak sadar perkataannya telah melukai hati ibunya. Sekarang tidak ada yang bisa Vira lakukan selain menerima nasibnya dan berusaha membuat mertuanya menyukainya, dengan begitu ia bisa membuktikan ke ibunya bila pilihannya memang benar.
"He tempenya gosong itu, kenapa kamu malah membiarkannya?" ujar mertuanya dengan nada menyentak yang berhasil menyadarkan Vira dari lamunannya, mungkin karena terlalu kaget dan panik, Vira sampai tidak sengaja menyentuh wajan yang masih sangat panas.
"Akh sakit," keluhnya kesakitan sembari menatap punggung tangannya yang terasa panas, matanya bahkan sampai menangis saking sakitnya, namun hal itu nyatanya tak membuat mertuanya itu merasa kasihan atau semacamnya.
"Kamu ini bagaimana sih? Masa kaya gini aja enggak bisa?" keluh mertuanya sembari mematikan kompornya, sedangkan Vira berusaha meniup tangannya untuk sedikit mendinginkannya meskipun rasa panas masih menjalar di kulitnya.
“Maaf, Bu. Tanganku sakit kena wajan tadi.”
“Makanya kalau masak itu fokus, jangan bisanya cuma ngelamun terus? Kamu pikir tempe ini bisa membalikkan dirinya sendiri apa? Lihat sekarang! Tempenya gosong kan?”
“Maaf, Bu. Aku akan membuangnya dan menggorengnya lagi.”
"Apa kamu bilang? Kamu mau membuangnya? Enggak, kamu enggak bisa membuangnya!" Ucapan mertuanya tentu saja membuat Vira merasa bingung diiringi tangannya mulai terasa nyeri.
“Terus tempenya buat apa, Bu, kalau enggak dibuang? Itu kan sudah enggak bisa dimakan.”
"Tempenya kamu yang makan, kamu yang harus habiskan." Jawaban mertuanya tentu saja mengejutkan Vira, terlebih lagi wanita itu mengatakannya dengan melototkan matanya dan juga menunjuk ke arah wajahnya.
“Apa, Bu? Aku yang makan? Tapi kan ....”
"Enggak ada tapi-tapian, cepat ambil tempe itu! Kamu pikir beli tempe ini enggak pakai uang apa? Kamu yang menggorengnya sampai gosong, kamu juga yang harus menghabiskannya."
"Iya, Bu." Vira tentu tidak bisa membela dirinya karena mau bagaimana ia juga salah, itu lah kenapa ia mengambil tempe dan meniriskannya.
"Cepat ambil nasi!" Mertuanya menunjuk ke arah tempat nasi berada, sedangkan tatapan matanya masih tajam tak berubah.
“Untuk apa, Bu?”
“Untuk apalagi? Kalau bukan untuk kamu makan?”
“Iya, aku pasti akan memakannya kok, Bu. Tapi nanti ya, kan aku juga belum menyelesaikan ini semua.”
"ENGGAK PERLU!" sentak mertuanya dengan nada yang lebih tinggi lagi, yang kian membuat hati Vira teriris sampai tidak sadar matanya kembali menangis.
“Cepat ambil nasi dan makan dengan tempe itu, semua ini aku yang akan menyelesaikannya. Kamu pikir aku ini bodoh ya? Kamu pasti akan membuang tempe itu kan dan mengambil lauk lain kan?”
“Enggak kok, Bu. Aku tau kesalahanku, aku pasti akan memakan tempe itu, tapi enggak sekarang karena kan masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan.”
"Kamu ini jawab terus, kalau aku bilang makan ya makan! Apa susahnya sih?" Jawaban mertuanya kali ini membuat Vira tidak bisa berbuat banyak selain diam dan menganggukkan kepala.
"Iya, Bu." Vira berjalan untuk mengambil nasi sembari membawa piring berisikan tempe gosong, setelah selesai ia duduk di kursi lalu memakan makanan tersebut dengan perasaan campur aduk.
Tentu saja Vira merasa tak karuan sekarang, tangannya masih terasa nyeri karena wajan yang tak sengaja ia sentuh, hatinya juga terluka dibentak dan diperlakukan buruk oleh mertuanya, ditambah lagi ia juga harus memakan nasi dan juga tempe goreng yang terasa pahit di lidahnya.
"Awas aja kalau sampai enggak dihabiskan!" ancam mertuanya yang hanya bisa Vira diami tanpa bisa melawan, sekarang yang ia lakukan hanya menundukkan kepala dan berusaha menghabiskan makanan yang berada di piringnya.
***
Di dalam pasar, ibunya Iwan berjalan dengan ekspresi jengkel namun meskipun begitu ia masih berusaha mencari bahan makanan yang bagus di sana, sampai pada akhirnya ekspresinya itu disadari oleh penjual sayur yang merasa heran dengan sikapnya yang tidak biasa.
"Bu Siti kok cemberut aja sih? Lagi ada masalah ya?" Penjual itu bertanya dengan nada bercanda yang sempat mencuri perhatian para pedagang lainnya.
“Enggak lagi ada masalah, cuma lagi kesal aja.”
"Kesal kenapa, Bu?" Penjual tempe yang berada di samping penjual sayur itu bertanya, ekspresi wajahnya tampak penasaran.
"Bukan apa-apa sih, tadi menantu ku itu mau bantu aku masak, dia maksa mau goreng tempe, ya aku biarkan aja mungkin dia mau belajar kan?" Wanita itu menatap ke arah pedagang yang memerhatikan dan mendengarkannya.
"Terus kalian tau enggak apa yang terjadi? Tempe yang dia goreng itu gosong, aku kaget kan terus aku matikan lah kompornya, tapi ya gitu tempenya sudah enggak bisa dimakan lagi." Ibunya berujar tenang seolah sudah pasrah dengan nasib hidupnya.
“Masa goreng tempe gitu aja gosong sih? Dia kayanya memang enggak pernah diajari sama ibunya.”
“Benar itu.”
"Betul, anak tetanggaku aja sudah pintar masak padahal baru SMA, masa dia yang sudah menikah enggak bisa apa-apa?" Semua penjual yang mendengarnya merasa tak habis pikir dengan sikap Vira, menantu Bu Siti yang mereka kenal sangat baik dan pekerja keras.
“Tapi Bu Siti marahi dia kan? Dia itu harus ditegur loh, Bu. Supaya dia juga berusaha bersikap lebih baik lagi, karena mau bagaimana pun dia itu sudah menjadi istri dan juga menantu.”
"Benar itu, Bu. Jangan terus-terusan memaklumi sikapnya, dia itu harus belajar banyak hal termasuk mengubah attitude-nya." Mendengar itu, yang ibunya Iwan lakukan hanya mengangguk pasrah lalu ia kembali menjawab dengan nada lelah.
"Aku sih maunya begitu, tapi aku enggak tega sama dia. Dia kan sekarang sedang hamil ...." Jawaban ibunya Iwan berhasil mengejutkan semua orang yang mendengarnya, mereka terlihat memandang satu sama lainnya.
“Jadi istrinya Iwan sedang hamil, Bu? Bukannya mereka menikah belum ada satu Minggu ya?”
“Jangan-jangan hamil di luar nikah ya, Bu?”
“Iya, gadis itu memang sudah hamil sebelum mereka menikah.”
“Astaghfirullah aladzim, jadi benar dia hamil di luar nikah?”
“Wah enggak nyangka ya? Aku pikir, istrinya Iwan itu terlalu polos makanya enggak bisa apa-apa, tapi ternyata ....”
"Iya, aku juga enggak nyangka." Semua orang terus-terusan membicarakan Vira, sedangkan mertuanya justru tampak lesu seolah ia juga menyesali apa yang sudah terjadi di antara anak dan juga menantunya itu.
"Ya mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi. Sebagai seorang ibu dan juga mertua, aku cuma bisa menerima gadis itu dengan lapang dada." Jawaban ibunya Iwan membuat semua orang iba mendengar penuturannya. Namun mereka tidak tahu, bagaimana hatinya tertawa melihat semua orang membenci menantu keduanya itu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
