
Inayah dibuat syok saat tahu kekasih yang selama ini dicintainya adalah laki-laki yang sama, yang sudah menghamili kakak kandungnya. Impiannya untuk menikah dengan laki-laki itu juga seketika hancur, saat tahu mereka sudah lama menjalin hubungan di belakangnya.
Meskipun begitu Inayah berusaha menerima nasibnya, walau nyatanya menjadi adik ipar dari mantan kekasihnya juga terasa sulit untuk dijalaninya. Itu lah kenapa Inayah memilih pergi dari rumah, namun sepertinya hal itu tak membuat semuanya selesai...
Part 01
Di sebuah kafe anak muda, seorang wanita berumur dua puluh tujuh tahun tampak tak nyaman saat harus duduk sendirian di sofa, namun ia tak memiliki pilihan lain selain menunggu seseorang yang sudah berjanji akan datang.
Wanita itu sendiri bernama Inayah, wajahnya sangat cantik dengan kulit putih bersih, rambutnya juga panjang dan tebal, membuatnya menjadi pusat perhatian beberapa orang yang sedang makan. Itu lah kenapa ia merasa tak nyaman terus-terusan berada di sana, ia ingin sekali pergi saking lamanya orang yang ia nantikan sejak tadi.
"Sudah setengah jam lebih, tapi kenapa Mas Bima belum datang ya?" Inayah bergumam lirih setelah menatap jam yang melingkar indah di pergelangan tangannya, sedangkan ekspresinya terlihat gelisah saat menghindari tatapan beberapa orang yang berniat menggodanya. Sampai pada akhirnya, matanya tertuju ke arah luar jendela di mana ada seorang anak bersama dengan ayahnya tengah mengambil beberapa barang bekas di tempat sampah, melihat pemandangan seperti itu tentu saja Inayah merasa kasihan.
"Sepertinya anak itu sedang kelaparan," gumam Inayah merasa tak tega, itu lah kenapa ia segera memanggil pelayan untuk memesan beberapa makanan.
"Ada yang bisa saya bantu, Kak?"
"Saya pesan lima paket ayam krispi dengan lima botol minuman air putih, kalau sudah selesai, tolong berikan ke mereka." Inayah menunjuk ke arah pemulung itu yang saat ini tengah duduk di trotoar jalan.
"Buat mereka semua, Kak?" tanya pelayan memastikan, yang diangguki oleh Inayah.
"Iya."
"Tapi kok banyak banget Kak pesannya?"
"Enggak apa-apa, mungkin di rumah mereka masih ada keluarga lain yang belum makan." Inayah tersenyum semringah, merasa bahagia saja bisa membantu mereka.
"Oh ya, ini uangnya ya. Kembaliannya untuk kamu saja." Inayah memberikan uang dua ratus ribu, yang langsung diangguki oleh pelayan tersebut.
"Iya, Kak. Saya buatkan dulu pesanannya. Terima kasih." Mendengar itu yang Inayah lakukan hanya mengangguk dengan senyum yang masih sama, lalu tatapannya kembali tertuju ke arah luar di mana anak dan ayahnya itu masih duduk di sana, tanpa menyadari bagaimana perbuatan baiknya itu diperhatikan oleh seorang pria berjas hitam yang tengah duduk cukup jauh dari tempatnya.
Pria itu tersenyum tulus sembari menatap kagum ke arah Inayah, ia merasa wanita itu sangat baik padahal wajahnya cukup cantik. Tidak seperti kebanyakan wanita di luaran sana, yang terkadang merasa angkuh ketika memiliki wajah sempurna. Ia tentu tak asal bicara, karena kebanyakan wanita cantik yang ingin mendekatinya hanya mengharapkan uangnya.
Mungkin ada juga wanita yang menyukainya karena ketampanannya, namun tidak sedikit dari mereka memiliki hati yang kurang tulus dalam beberapa hal. Contohnya pada orang-orang sekitar, yang mungkin belum beruntung tentang harta seperti pemulung di luar. Namun wanita yang tidak ia ketahui namanya itu justru bersikap sebaliknya, ia tentu merasa kagum dengan kebaikannya.
"Siapa ya namanya?" Pria yang bernama Kevin itu menyengitkan dahinya, alis tebalnya hampir menyatu saat begitu fokus melihat wanita itu. Namun rasa penasarannya itu berganti menjadi rasa bingung, saat ada seorang laki-laki datang dan duduk di depan wanita tersebut. Di saat seperti ini, Kevin tentu saja merasa paham bila mereka sedang menjalin suatu hubungan, itu artinya harapannya untuk dekat dengannya juga sudah pupus sekarang.
Kevin menghembuskan nafas panjangnya, bibir tipisnya tersenyum melihat kedekatan mereka, ia turut bahagia jika memang wanita itu sudah memiliki pasangan. Namun bila dipikirkan lagi, rasanya juga aneh jika wanita itu masih single mengingat wajahnya sangat cantik dan sifatnya juga baik, pasti banyak laki-laki yang ingin mendekatinya dan laki-laki yang tengah duduk bersamanya adalah laki-laki beruntung yang berhasil mendapatkan hatinya.
"Aku harap dia selalu bahagia," gumam Kevin sembari mendirikan tubuhnya lalu pergi dari tempatnya, ia benar-benar sangat tulus saat mendoakannya karena kebaikan hati wanita tersebut juga luar biasa besarnya.
Di sisi lainnya, Inayah tersenyum semringah saat melihat kekasihnya datang lalu duduk di kursi yang berada di depannya, akhirnya laki-laki itu sampai setelah Inayah menunggunya hampir satu jam. Berbeda dengan Inayah, kekasihnya yang bernama Bima itu justru terlihat kesal padahal ia lah yang datang terlambat.
"Kenapa kamu baru sampai, Mas? Aku sudah menunggu kamu dari tadi loh."
"Macet di jalan."
"Macet? Kamu kan naik motor, masa macet sih, Mas?"
"Memangnya kenapa kalau aku naik motor? Kamu enggak suka? Kamu malu?" tanya Bima yang tentu saja membuat Inayah merasa bingung.
"Maksud kamu apa sih, Mas? Aku kan cuma tanya saja, kok bisa kamu terkena macet? Karena biasanya kan kalau orang naik motor itu bisa menyalib lebih cepat, Mas."
"Ya kan kenyataannya memang seperti itu kok, aku datang telat ya karena macet, kamu masih saja enggak percaya."
"Bukan enggak percaya, Mas. Aku cuma tanya saja sama kamu, masa enggak boleh sih?"
"Ya enggak lah, aku ini capek kerja, tapi kamu menelepon aku cuma untuk bertemu. Sudah tahu di jalan itu panas, banyak debu, macet." Bima menggerutu kesal, yang kalau sudah seperti ini Inayah harus meminta maaf untuk meredakan emosinya.
"Aku minta maaf ya, Mas?"
"Minta maaf untuk apalagi sekarang?"
"Aku minta maaf karena aku sudah mengajak kamu bertemu sekarang." Mendengar jawaban Inayah, Bima tampak tak menggubrisnya, tatapannya bahkan terkesan jengah dengan sikapnya.
"Sudahlah, kamu pesan makanan saja sana! Tapi kamu yang bayar ya," jawab Bima yang langsung diangguki oleh Inayah, karena memang seperti itu lah sikap kekasihnya, selalu menyuruhnya membayar apapun yang diinginkannya.
"Iya, sebentar ya, Mas." Inayah mendirikan tubuhnya lalu berjalan ke arah kasir untuk memesan makanan, tanpa menyadari bagaimana Bima tampak memutar bola matanya seolah apa yang dilakukan Inayah bukanlah sesuatu yang besar.
Inayah dan Bima sendiri sudah menjalin hubungan cukup lama, tepatnya hampir lima tahun bersama. Mereka berpacaran saat masih berada di bangku kuliah, bedanya Bima lebih tua satu tahun dari Inayah, namun mereka lulus di tahun yang sama.
"Ini Mas makanannya, ayam krispi kesukaan kamu." Inayah meletakkan nampan berisikan makanan Bima dan menyodorkannya pada kekasihnya tersebut.
"Iya, kamu sendiri enggak makan?"
"Aku masih kenyang, Mas."
"Iya, seharusnya memang seperti itu, jangan terlalu banyak makan, kamu itu perempuan," jawab Bima sembari melahap makanannya, sedangkan Inayah tersenyum terpaksa, ia memang selalu diingatkan seperti itu oleh kekasihnya, menjaga pola makannya dan juga proporsi tubuhnya.
"Iya, Mas." Inayah hanya mengiyakan sembari menunggu Bima makan, ia mengajak kekasihnya bertemu karena memang ingin menanyakan sesuatu hal, namun ia tak akan melakukannya saat laki-laki itu sedang makan seperti sekarang.
"Sudah selesai, Mas?" tanya Inayah setelah Bima menghabiskan makanannya yang tersisa hanya tulangnya.
"Kamu buta atau apa? Jelas-jelas aku sudah selesai makan, masih pakai tanya lagi," jawab Bima terdengar kesal sembari mengelap tangannya dengan tisu, membuat Inayah merasa sedih mendengarnya.
"Kamu kok seperti itu sih, Mas? Aku kan cuma tanya."
"Iya, tapi yang kamu tanyakan itu enggak penting."
"Ya sudah, aku minta maaf. Aku cuma enggak mau mengganggu kamu makan, karena sebenarnya aku mengajak kamu ke sini itu karena aku mau membicarakan sesuatu."
"Kamu mau membicarakan apa? Awas saja kalau sampai enggak penting."
"Begini, Mas. Ibu sudah tanya ke aku tentang hubungan kita ini sudah ke tahap mana?" tanya Inayah berhati-hati, yang justru mendapatkan tatapan berbeda dari Bima kali ini.
"Maksudnya?"
"Kamu ingat kan, kita ini berpacaran sudah hampir lima tahun, umur kita juga enggak bisa dibilang muda, Ibu cuma ingin tahu apa kita enggak ada niatan untuk menikah?"
"Menikah kamu bilang?" tanya Bima sembari tersenyum sinis, yang tentu saja membuat Inayah merasa bingung.
"Memangnya kenapa, Mas? Apa yang Ibu tanyakan kan juga enggak salah."
"Iya sih, tapi kamu lihat diri kamu lah!"
"Memangnya kenapa dengan aku, Mas?"
"Kamu saja masih bekerja kok, bagaimana mungkin aku mau menikah dengan kamu?" Bima menggeleng tak habis pikir, senyumnya masih terkesan sinis.
"Kalau aku masih bekerja, apa ada yang salah? Aku kan bekerja juga demi Ibu, Mas."
"Kalau kamu bekerja, bagaimana kamu bisa menjadi istri yang baik untuk aku nanti? Yang ada kamu sibuk terus di luar rumah sampai enggak bisa memperhatikan aku sebagai suami kamu." Bima menepuk dadanya, ia sangat menekankan kalimatnya.
"Ya kan kamu masih bisa melakukan semuanya sendiri, Mas. Sebelum kita menikah ataupun sudah menikah, kamu juga masih bisa melakukan semuanya sendiri kan?"
"Ya terus apa gunanya kamu jadi istriku? Kalau pada akhirnya aku juga harus mengurus diri aku sendiri?" tanya Bima terdengar tak habis pikir.
"Cuma waktu siang saja kok, Mas. Malamnya aku masih bisa memenuhi tugasku sebagai istri, apa itu terdengar sulit? Aku pikir enggak." Inayah menggeleng yakin, namun kian ditanggapi Bima dengan senyuman sinis.
"Iya kalau buat kamu, tapi kalau buat aku ya beda, enggak ada gunanya kamu jadi istriku kalau kamu masih tetap bekerja."
"Ya terus maunya Mas, aku harus bagaimana? Mengundurkan diri dari pekerjaanku, begitu?" tanya Inayah mulai lelah dengan sikap kekasihnya yang seenaknya, laki-laki itu mudah sekali mengatakan sesuatu hal tanpa perlu berpikir panjang.
"Ya iya lah, kalau kamu mau kita menikah dan menjadi istriku, kamu harus mengundurkan diri dari pekerjaan kamu itu."
"Aku sudah sangat bersusah payah mendapatkan posisiku yang sekarang, jadi mustahil kalau aku melepaskannya begitu saja, Mas." Inayah menekankan kalimatnya namun tak membuat Bima mau memahami maksudnya.
"Oh jadi kamu lebih mementingkan pekerjaan kamu itu dari pada aku, begitu?" Bima membulatkan matanya dengan tatapan amarah, yang tentu saja digelengi oleh Amanda.
"Bukan begitu, Mas."
"Lalu apa? Kalau kamu mau kita menikah ya kamu harus mengundurkan diri dari pekerjaan kamu itu dan fokus saja menjadi istri yang baik untuk aku."
"Kalau aku mengundurkan diri dari pekerjaanku, lalu bagaimana dengan nasib Ibu, Mas? Dia sangat bergantung dengan aku, karena semua kebutuhan rumah aku yang memenuhi semuanya."
"Ya nanti aku juga pasti akan bantu kan? Kenapa sih kamu ini keras kepala banget jadi orang?"
"Bantu kamu bilang, Mas? Pekerjaan kamu saja cuma menjaga toko sembako, Mas. Apa bisa kamu memenuhi kebutuhan kita dan juga Ibu di rumah?"
"Kamu merendahkan pekerjaanku? Meskipun aku cuma bekerja menjaga toko, tapi aku bisa kok menghidupi kamu dan Ibu kamu yang menyusahkan itu." Bima menunjuk ke arah wajah Inayah yang terdiam, merasa tak percaya saja dengan apa yang baru ia dengar.
"Apa tadi kamu bilang, Mas?" tanya Inayah terdengar kecewa, ia benar-benar tak menyangka laki-laki yang sangat dicintainya itu tega mengatakan ibunya menyusahkan, padahal ibunya selalu baik padanya dan bahkan sudah menganggapnya seperti anak kandungnya.
Part 02
Bima sempat gelagapan saat Inayah menatapnya dengan mata kekecewaan, ia tentu tak berniat mengatakan hal itu, namun seperti biasa ia tak mau terlihat kalah terlebih lagi sampai meminta maaf pada kekasihnya.
"Memangnya kenapa? Apa yang aku katakan benar kan? Ibu kamu itu cuma bisa menyusahkan orang, sudah tahu anaknya ingin menikah, tapi dia enggak mau berusaha mendapatkan uang sendiri, maunya cuma bergantung sama kamu terus."
"Mas, Ibuku itu sudah tua, sudah enggak bisa cari uang sendiri, ya wajar lah kalau dia masih bergantung sama aku."
"Ya tapi sampai kapan? Sampai ibu kamu mati?" tanya Bima terdengar meremehkan yang kali ini tak bisa Inayah maafkan.
"Mas, kamu ngomong apa sih?"
"Kenapa lagi? Aku kan cuma tanya ke kamu, sampai kapan ibu kamu itu bergantung terus sama kamu?"
"Aku benar-benar enggak menyangka kamu jadi seperti ini, Mas. Ibu itu sayang banget loh sama kamu, dia tanya kapan kita menikah, karena Ibu peduli dengan kita, Mas. Tapi apa yang kamu katakan tadi? Kamu berbicara seolah-olah Ibu aku ini beban." Inayah menatap tak percaya ke arah Bima, yang terlihat tenang terlebih lagi tak merasa bersalah.
"Ya sudah kamu tinggal bilang saja ke ibu kamu, kita enggak akan menikah sebelum kamu berhenti dari pekerjaan kamu itu."
"Begitu ya? Lebih baik kita putus dari pada aku harus menikah dengan laki-laki egois seperti kamu," jawab Inayah sembari menunjuk ke arah Bima, yang justru tersenyum mendengar ucapannya.
"Apa tadi kamu bilang? Putus? Ini kamu yang minta ya, bukan aku. Oke kalau begitu, mulai sekarang kita putus. Toh, aku juga enggak mau punya pacar atau istri yang lebih memilih pekerjaannya dari pada pasangannya sendiri. Oh ya tadi kamu bilang aku egois? Enggak salah? Kamu itu yang egois." Bima mendirikan tubuhnya lalu pergi dari sana, meninggalkan Inayah yang sempat terdiam lalu memikirkan apa saja yang baru ia dengar, sampai pada akhirnya air matanya tak kuasa untuk tidak turun di wajahnya, Inayah menangis sejadi-jadinya saking sakit hatinya.
***
Inayah turun dari motornya, lalu berjalan ke arah rumahnya dengan perasaan tak karuan, sedangkan wajahnya terlihat lesu dengan mata sembab setelah hampir satu jam menangis sendirian. Meskipun Inayah yang memutuskan hubungannya dengan Bima, namun tetap saja ia masih tak rela berpisah dengannya.
Bima adalah cinta pertama Inayah sekaligus pacar pertamanya, tidak ada laki-laki lain yang pernah mengisi hatinya, wajar saja jika Inayah merasa kehilangan setelah memilih untuk berpisah. Namun jika mengingat sikapnya yang sudah jauh berbeda, rasanya perpisahan adalah jalan yang terbaik untuk mereka.
Bima adalah satu-satunya laki-laki yang pertama kali Inayah sukai, itu lah kenapa ia menerima pernyataan cintanya dulu. Inayah bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana Bima mendekatinya dulu, laki-laki itu selalu baik dan juga perhatian dengannya, tak jarang dia membawakan makanan untuk menemaninya belajar semasa Inayah masih kuliah.
Masa-masa kuliah adalah masa yang paling indah untuk dikenang, saat itu Inayah sangat bahagia bisa menjalin hubungan dengan Bima. Namun semenjak Inayah bekerja dan Bima melanjutkan bisnis orang tuanya yaitu menjaga toko sembako, perlahan hubungan mereka sedikit merenggang. Awalnya Inayah dan Bima masih bisa mengatasinya, keduanya akan saling bercerita saat berjumpa, pergi ke tempat yang mereka sukai, membeli makanan yang sedang viral, atau hanya sekedar berjalan-jalan di mall.
Semakin lama, keduanya sudah jarang melakukan hal-hal kecil itu, bukan karena Inayah yang sibuk atau semacamnya, ia bahkan sering mengajak Bima ke beberapa tempat untuk menyalurkan kerinduan di hatinya. Namun laki-laki itu selalu menolak dengan alasan banyak hal, seperti kelelahan, tidak ada uang, atau karena orang tuanya yang tidak mengizinkannya keluar.
Selama ini Inayah selalu berusaha mengerti keadaan Bima, tak jarang ia yang membayar semua makanan atau barang yang laki-laki itu inginkan. Namun semakin lama, sikap kekasihnya itu semakin melelahkan Inayah, padahal mereka sudah jarang sekali berkomunikasi seperti menelepon, pesan chat, terlebih lagi video call. Sepertinya semua pengorbanannya itu tak membuat Bima bisa menjadi lebih baik dan malah bersikap semenah-menah, di saat seperti ini melepaskan adalah jalan terbaiknya.
"Inayah," panggil ibunya saat melihat Inayah duduk di sofa dengan keadaan tidak baik-baik saja.
"Kamu kenapa?" Ibunya mendekatinya dan duduk bersama dengan Inayah, sedangkan kedua tangannya merengkuh pundak putrinya itu seolah sudah paham kondisinya sedang tidak baik-baik saja.
"Mas Bima, Bu."
"Kenapa dengan dia?"
"Aku putus dengan Mas Bima." Inayah memeluk tubuh ibunya dan menenggelamkan wajahnya di dadanya.
"Kenapa kalian bisa putus? Bukannya hubungan kalian sudah sangat serius?" Ibunya mengusap puncak kepala Inayah dengan perlahan, ia hanya ingin menenangkannya sekarang.
"Iya, tadi aku sempat membahas pernikahan, Bu. Tapi jawaban Mas Bima benar-benar mengecewakan aku, Bu."
"Memangnya apa yang sudah Bima katakan ke kamu? Kalau cuma masalah kecil, sebaiknya jangan dibesar-besarkan, kalian kan sudah sama-sama dewasa." Ibunya menatap ke arah Inayah yang mulai melepaskan pelukannya.
"Mas Bima ingin aku berhenti bekerja kalau kami akan menikah, Bu."
"Ya terus apa masalahnya? Bukannya itu lebih baik ya? Kalau kamu berhenti bekerja, kamu jadi bisa fokus dengan keluarga kalian."
"Terus bagaimana dengan Ibu?"
"Memangnya Ibu kenapa?" Wanita itu menyunggingkan senyumnya ke arah putrinya, ia berusaha terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya menyesakkan mengetahui dirinya lah yang menjadi penghalang putrinya bahagia.
"Kalau aku berhenti bekerja, bagaimana aku bisa kasih uang ke Ibu untuk kebutuhan sehari-hari?"
"Ya Ibu enggak apa-apa, Ibu kan bisa berjualan di depan rumah."
"Berjualan apa sih, Bu? Ibu ini sudah tua, yang harus Ibu lakukan itu banyak-banyak beristirahat dan juga beribadah." Inayah tentu tidak setuju dengan ucapan ibunya itu, apalagi beliau ingin berjualan yang pasti akan membuatnya kelelahan.
"Ya kan ada Kak Araya, dia bisa bantu Ibu kan?"
"Iya sih, tapi tetap saja aku enggak bisa berhenti bekerja, Bu."
"Kenapa lagi sekarang?"
"Bu, mendapatkan posisiku yang sekarang itu enggak mudah, mustahil kalau aku melepaskannya begitu saja sedangkan gajinya saja sudah hampir sepuluh juta."
"Tapi bagaimana dengan Bima? Dia kan enggak setuju kalau kamu bekerja, apa kamu akan tetap mempertahankan pekerjaan itu dari pada menikah dengan dia?"
"Iya lah, Bu. Karena dengan aku bekerja, aku bisa kasih Ibu uang dan memenuhi kebutuhan rumah." Inayah menjawab dengan yakin, meskipun ekspresinya tampak sedih kali ini.
"Apa kamu yakin? Bima kan laki-laki yang paling kamu cintai, apa kamu bisa kehilangan dia?" tanya ibunya yang sempat didiami oleh Inayah, ia tentu saja merasa bingung karena mau bagaimana pun Bima adalah cinta pertamanya yang ingin ia jadikan sebagai suaminya.
"Aku enggak tahu, Bu." Mendengar jawaban Inayah yang terdengar ragu, membuat ibunya merasa bersalah pada putri bungsunya tersebut.
"Andai Ayah kamu masih ada, Ibu pasti enggak akan menyusahkan kamu seperti ini." Wanita itu menundukkan kepalanya, yang langsung digelengi oleh Inayah.
"Ibu berbicara apa sih? Ibu itu enggak pernah menyusahkan aku, Bu. Dan kalaupun Ayah masih ada, aku juga pasti tetap akan bekerja untuk memenuh kebutuhan kalian." Inayah merengkuh pundak ibunya, ia tidak ingin wanita yang sudah melahirkannya itu merasa bersalah.
"Ibu masih ingat enggak pesan terakhir Ayah apa?" tanya Inayah yang hanya ditatap oleh ibunya.
"Ayah ingin aku berpendidikan tinggi supaya aku bisa dapat pekerjaan yang bagus, yang gajinya besar, sekarang aku sedang berada di posisi yang Ayah inginkan, Bu. Lalu apa aku akan melepaskannya cuma karena akan menikah? Enggak, Bu. Aku enggak mau." Inayah menggeleng yakin, yang tentu saja membuat ibunya merasa bersedih.
"Andai saja kakak kamu, Araya, enggak hamil di luar nikah, pasti dia akan lulus kuliah dan bekerja seperti kamu. Jadi kamu enggak perlu merasa bertanggung jawab sepenuhnya, untuk memenuhi semua kebutuhan Ibu." Wanita itu tertunduk lesu dengan air mata yang sudah jatuh.
"Sekarang Kakak kamu malah menjadi janda setelah keguguran anaknya, kuliahnya juga berhenti, dan masa depannya hancur." Wanita tua itu menghapus tangisnya yang langsung ditenangkan oleh Inayah dengan mengusap-usap punggungnya.
Araya sendiri adalah kakak pertama Inayah, mereka dua bersaudara dengan jarak umur dua tahun. Itu artinya umurnya sekarang sudah dua puluh sembilan tahun, sedangkan Inayah baru dua puluh tujuh tahun.
Araya dan Inayah sama-sama memiliki wajah cantik, keduanya bahkan seperti saudara kembar, saking miripnya. Namun nasib keduanya jauh berbeda, meskipun dididik dengan cara yang sama. Itu karena sewaktu kuliah, Araya sempat berpacaran dengan beberapa pria sampai pada akhirnya ia hamil dengan pacarnya yang bernama Reza.
Mau tak mau keduanya harus menikah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka, namun baru tiga bulan, Araya mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan janin yang berada di kandungannya tidak bisa bertahan. Araya mengalami keguguran, namun bukannya merasa bersalah dan meminta maaf, suaminya justru menceraikannya dan meninggalkannya.
Karena kejadian itu lah, ayahnya menjadi sakit-sakitan dan ibunya yang setia merawatnya, sedangkan Araya merantau ke luar kota untuk melupakan masalahnya. Saat itu hanya ada Inayah yang menjadi harapan mereka satu-satunya, itu lah kenapa Inayah sangat berjuang untuk kuliah dengan cara mendapatkan beasiswa, ia juga bekerja paru waktu agar tak membebani orang tuanya tersebut.
Sayangnya ayahnya tidak bisa bertahan lebih lama terlebih lagi untuk melihat kelulusan Inayah, namun yang pasti beliau sempat memberinya pesan agar Inayah bisa melanjutkan pendidikannya supaya memiliki pekerjaan yang bagus tidak seperti kedua orang tuanya. Setelah ayahnya meninggal, Araya langsung pulang ke rumah setelah diberitahu kabar tersebut, dan sampai sekarang dia masih berada di rumah orang tuanya dengan berjualan online.
"Sudahlah, Bu, jangan menyesali masa lalu, toh sekarang aku sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus sesuai dengan keinginan Ayah, itu lah kenapa aku enggak bisa berhenti bekerja karena di pekerjaan ini ada harapan Ayah. Selain itu aku juga ingin membantu kebutuhan rumah, karena kalau Ibu meminta bantuan ke Kak Araya juga kasihan dia, Bu."
"Iya, kamu memang benar. Tapi tetap saja, Ibu enggak mau menjadi penghalang untuk kamu bahagia. Bagaimana kalau kamu bicarakan lagi masalah ini dengan Bima, kali saja dia mau mengerti dan berubah pikiran." Wanita itu merengkuh tangan Inayah, mencoba untuk membujuknya yang tentu saja membuat putrinya itu merasa dilema.
"Tapi bagaimana kalau Mas Bima masih kekeh dengan keinginannya itu, Bu?" tanya Inayah sembari menundukkan kepalanya lalu menatap ke arah ibunya dengan tatapan lelah.
"Aku bukannya ingin merendahkan Mas Bima, Bu, tapi Ibu sendiri tahu kan kalau dia cuma bekerja di toko sembako milik ibunya. Mana cukup penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan ku dan juga Ibu? Tapi kalau aku tetap bekerja, aku masih bisa menghasilkan uang sendiri dan yang paling penting bisa memberi Ibu." Inayah menjawab yakin yang diangguki mengerti oleh ibunya.
"Iya, kamu ada benarnya juga sih. Tapi apa salahnya mencoba dulu? Beri Bima pengertian pelan-pelan, kali saja dia mau berubah pikiran."
"Iya, Bu. Nanti aku akan berbicara lagi dengan Mas Bima."
"Nah gitu dong, jangan menyerah ya?"
"Iya, Bu." Inayah hanya mengangguk setuju sedangkan ibunya tersenyum tulus, tanpa mengetahui ucapan Bima tentang dirinya yang menyusahkan, Inayah tentu tidak tega memberitahu ibunya, itu lah kenapa ia tidak membahasnya.
Part 03
Di tempat kerjanya sebagai sekretaris, Inayah tampak tak bisa fokus sekarang, matanya terus tertuju ke arah ponselnya yang tak mendapati notifikasi apapun. Sejak pertemuannya dengan Bima kemarin, laki-laki itu sudah tidak pernah menghubunginya lagi sampai sekarang, sepertinya dia memang benar-benar ingin mengakhiri hubungan mereka.
Inayah tentu merasa sedih, di sisi lainnya ia sangat mencintai Bima, namun di sisi lain lagi ia tidak mau berhenti kerja dan tetap ingin menghasilkan uang untuk ibunya. Inayah tentu berada di titik dilema antara kehilangan cintanya atau kehilangan pekerjaannya, yang itu artinya harus melihat ibunya serba kekurangan.
"Enggak, aku enggak bisa melihat Ibu kekurangan uang, aku harus tetap mempertahankan pekerjaan ini." Inayah mengangguk yakin lalu matanya melirik ke arah jam di mejanya di mana waktu sudah menunjukkan waktu makan siang.
"Lebih baik aku ke Sella dulu." Inayah mendirikan tubuhnya lalu berjalan ke arah temannya untuk mengajaknya makan bekal bersama. Ya, memang seperti itu lah kebiasaan Inayah dengan temannya, selalu makan bersama di jam istirahat tiba, mereka tidak membeli makanan luar untuk berhemat padahal gaji keduanya lumayan besar.
"Sell, kamu sudah makan?" tanya Inayah setelah berdiri di samping temannya.
"Ya belum lah, aku enggak mungkin makan kalau kamu belum datang." Sella mendirikan tubuhnya setelah mengambil bekalnya.
"Ya sudah ayo makan!" ajak Inayah yang hanya diangguki oleh Sella, lalu keduanya berjalan ke meja yang biasa para karyawan gunakan untuk membuat kopi atau lainnya.
"Sell, aku putus." Inayah tiba-tiba mengatakan itu saat mereka mulai makan bersama, yang berhasil mengejutkan Sella terlihat dari caranya tersedak makanan sampai terbatuk-batuk.
"Gila ya kamu? Kalau kasih kabar terpanas itu jangan pas aku lagi mengunyah makanan lah, jadi tersedak kan aku." Sella menggerutu kesal sembari meminum air putih dari botol minuman miliknya.
"Iya maaf ...." Inayah tertunduk sembari kembali melahap makanannya, yang tentu saja ditatap kasihan oleh Sella.
"Apa tadi kamu bilang? Kamu putus?"
"Iya," jawab Inayah seadanya.
"Sama Bima?"
"Siapa lagi? Pacarku kan cuma dia."
"Iya, kamu kan bucin, mustahil sih kalau ada pacar lain. Tapi kok bisa kamu putus? Ya aku tahu sih kalau Bima itu toxic, tapi kok baru sekarang sih kalian putus? Kok enggak dari dulu-dulu saja begitu." Mendengar jawaban Sella yang terdengar santai tanpa beban, membuat Inayah merasa kesal namun juga merasa heran di waktu yang sama.
"Mas Bima itu enggak toxic, kenapa kamu bisa bilang seperti itu sih? Ucapan kamu seperti bersyukur kalau aku putus dengan dia." Inayah terlihat sedih mendengarnya, namun Sella yang sudah terbiasa mendengar cerita-ceritanya tentu saja bisa menilainya.
"Ya toxic lah, mana ada pasangan yang setiap keluar makan tapi yang bayar ceweknya? Kalau bukan kamu dengan Mas Bima mu itu." Sella tampak tak acuh saat mengatakannya.
"Bukannya itu normal ya? Kan gajiku lebih besar dari Mas Bima, ya enggak apa-apa kan?"
"Ya enggak apa-apa kalau sekali dua kali, tapi kalau setiap bertemu, ya toxic lah namanya."
"Masa sih? Padahal aku merasa enggak ada masalah loh kalaupun aku harus membayari makanan kami, toh aku juga ikut makan kan?"
"Mungkin kamu enggak mempermasalahkannya, tapi kalau hubungannya sudah ke tahap serius itu sih sudah enggak normal, Inayah. Cowok kalau sayang dengan pasangannya, dia pasti akan berusaha menjadi pelindung yang membuat kamu merasa aman dan nyaman di dekat dia. Contohnya ya mengusahakan hal-hal kecil seperti mengajak kamu keluar, mengajak kamu makan, bayar makanan kalian, kasih kamu sesuatu yang lucu, bahkan meskipun saat itu kondisinya dia enggak ada uang sekalipun, dia pasti akan berusaha untuk itu." Sella berujar dengan bijak yang tentu saja didiami oleh Inayah, karena sikap Bima tidak ada di list yang temannya itu contohkan.
"Aku pernah menanyakannya, kenapa dia enggak pernah membayar makanan kami? Dia bilang karena aku lebih banyak uang, bukankah itu alasan yang wajar ya?"
"Ya enggak wajar lah, laki-laki itu harga dirinya tinggi, mereka itu paling enggak suka terlihat rendah apalagi kalau dilihat dari sisi hubungan mereka itu sendiri."
"Maksudnya?"
"Gini loh Inayah ku, Sayang. Kebanyakan laki-laki itu instingnya ya memimpin, mereka enggak akan suka tuh terlihat lebih rendah dari pasangannya, contoh kecilnya saja dari tinggi badan."
"Tinggi badan?"
"Iya, jarang kan ada laki-laki yang cari pasangannya yang lebih tinggi dari mereka, pasti kebanyakan mereka cari yang lebih pendek." Sella mensejajarkan kedua tangannya lalu menurunkan salah satunya untuk menggambarkan tinggi seseorang.
"Sama seperti saat laki-laki mengajak pasangannya makan, insting mereka pasti mengatakan harus membayar tagihannya karena ingin terlihat unggul." Sella melanjutkan ucapannya, yang kali ini ditatap dilema oleh Inayah.
"Tapi kalau sebaliknya, bagaimana?"
"Ya dia enggak sayang sama kamu, atau malah ingin memanfaatkan kamu, tipe-tipe cowok mokondo." Sella mengibaskan rambutnya, ia memang paling benci laki-laki seperti itu.
"Sepertinya kamu memang benar, Mas Bima sudah enggak sayang lagi sama aku, dia langsung setuju waktu aku bilang ingin putus." Inayah menghela nafas panjangnya, ia terlihat sangat tak karuan dan bahkan tak berselera makan.
"Serius dia langsung setuju? Kok bisa sih dia mau putus sama kamu, bukannya dia harusnya merasa rugi ya? Kamu kan cantik, baik, badannya bagus, pekerjaan kamu juga enggak kaleng-kaleng loh."
"Aku juga enggak tahu, padahal selama ini aku selalu mengalah dan berusaha melakukan apapun yang dia inginkan, tapi sepertinya itu enggak bisa membuat Mas Bima mempertahankan hubungan ini. Tapi memang salahku sih enggak mau mengundurkan diri pekerjaan aku saat ini, jadi mungkin Mas Bima kecewa." Inayah tampak lelah dengan hidupnya, yang tentu saja membuat temannya itu merasa heran dengan kalimat terakhirnya.
"Tunggu-tunggu! Tadi kamu bilang apa? Bima mau kamu mengundurkan diri dari pekerjaan kamu yang sekarang, begitu?"
"Iya, tapi aku enggak bisa."
"Ya jangan sampai lah, gila kamu? Kamu sudah bertahun-tahun kuliah terus kerja sampai di posisi sekarang, masa harus mengundurkan diri cuma gara-gara dia? Yang benar saja." Sella menggeleng tak percaya, merasa tak terima saja dengan apa yang baru didengarnya.
"Keinginan Mas Bima juga enggak salah sih, dia mau aku mengundurkan diri kan karena dia ingin kami menikah, kalau aku enggak bekerja kan bisa lebih fokus menjadi istrinya." Mendengar penuturan Inayah yang masih terdengar ingin membela Bima, membuat Sella merasa kian mual dan bahkan ingin muntah di saat itu juga.
"Jadi dia mau kamu mengundurkan diri dari pekerjaan ini karena kalian akan menikah, begitu?"
"Iya."
"Wah gila sih dia."
"Kok kamu bicaranya seperti itu?"
"Terus aku harus bicara bagaimana untuk menanggapi tingkahnya? Sudah pekerjaannya cuma jaga toko orang tuanya, enggak pernah kasih kamu perhatian, jarang kasih kamu kabar, suka minta bayari kamu makanan dia, sering menyuruh kamu bayari barang yang dia mau beli, dan sekarang dia mau kamu mengundurkan diri dari pekerjaan yang kamu usahakan selama bertahun-tahun? Dan dengan bodohnya kamu masih membelanya dan bilang dia enggak salah meminta itu semua? Wah hebat." Sella bertepuk tangan saking tak percayanya ia memiliki teman seperti Inayah.
"Aku juga enggak setuju kok, makanya aku memilih untuk memutuskan dia, aku enggak mau berhenti bekerja karena masih ada Ibuku yang harus aku tanggung kebutuhannya." Inayah segera menjawabnya dengan cepat, ia juga tidak mau temannya itu terlalu salah paham.
"Sebenarnya enggak apa-apa sih kalau kamu mau mengundurkan diri dari pekerjaan ini terus menikah dengan Bima, tapi kamu harus kasih dia persyaratan." Sella tampak geram saat mengatakannya, yang tentu saja membuat Inayah merasa penasaran dengan maksudnya.
"Persyaratan apa?"
"Kalau dia ingin kamu enggak bekerja setelah kalian menikah, itu artinya dia harus memilki pekerjaan yang bagus, yang minimal gajinya seperti kamu, sepuluh juta." Sella menjabarkan kedua tangannya, menunjukkan ke sepuluh jarinya.
"Itu mustahil ...."
"That's right. Mustahil, sama seperti pernikahan kamu dengan dia, sangat amat mustahil." Sella menekankan kalimatnya, namun Inayah justru memikirkannya.
"Tapi kalau aku mau bicara baik-baik, mungkin Mas Bima mau mempertimbangkannya kan? Kali saja setelah aku mengajukan persyaratan itu, dia mau mencari pekerjaan di kantor, dia kan juga sarjana S1." Mendengar ucapan Inayah, Sella seketika menjambak rambutnya.
"Astaga, terserah kamu lah. Tapi aku ingatkan ke kamu ya, jangan pernah terima lamarannya sebelum dia diterima bekerja di kantor atau di mana saja yang gajinya besar."
"Iya, aku tahu itu, kamu tenang saja." Inayah menyunggingkan senyumnya, tanpa peduli bagaimana Sella sudah lelah dengan kebucinannya.
***
Inayah menghembuskan nafas panjangnya setelah sampai di toko Bima, yang saat ini sedang melayani beberapa pesanan orang. Sebenarnya Inayah tak ingin menganggu, namun untuk sekali saja ingin mencobanya lagi, mungkin saja kali ini ia berhasil mempertahankan hubungannya dengan Bima.
Awalnya Inayah masih bingung dan bimbang saat ibunya ingin ia berbicara baik-baik dengan Bima, namun setelah berbicara dengan Sella, sekarang ia jadi paham dengan apa yang harus dilakukan. Itu lah kenapa ia berada di toko Bima sekarang, padahal ia baru saja pulang dari kantor tempatnya bekerja.
"Mas Bima," panggil Inayah saat berada di kerumunan orang, membuat laki-laki itu menoleh ke arahnya dengan tatapan tak percaya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Bima tak habis pikir, sorot matanya seolah ingin mengatakan mereka kan sudah putus, untuk apa kedatangan Inayah sekarang.
"Aku mau bicara sama kamu, Mas."
"Kamu enggak tahu atau memang pura-pura buta? Aku ini sedang sibuk bekerja, kamu enggak melihatnya apa?"
"Aku tahu, Mas. Tapi aku cuma mau bicara sebentar saja."
"Bima, ada apa?" tanya ibu dari laki-laki itu yang tampak merasa bingung sembari menatap ke arah Inayah yang tersenyum.
"Bu," sapanya sopan yang disenyumi oleh ibunya Bima tersebut, sebagai orang tua tentu saja wanita itu tahu siapa Inayah dan memiliki hubungan apa dengan putranya.
"Dia mau bicara sama aku, Bu. Padahal dia sendiri juga tahu kan kalau sekarang aku sedang sibuk, benar-benar menyebalkan." Bima menggerutu kesal pada ibunya yang tentu saja bisa Inayah dengar dan bahkan orang-orang di sekitar.
"Sudah-sudah, kamu pergi saja. Biar Ibu yang menggantikan kamu, sebentar lagi Ayah juga datang membantu."
"Tapi, Bu ....
"Sudah, enggak apa-apa. Malu itu dilihat orang." Mendengar ucapan ibunya, mau tak mau Bima mengangguk setuju lalu berjalan ke arah Inayah yang masih setia menunggu.
Part 04
Bima dan Inayah kini sedang berada di sebuah taman, di mana banyak orang yang berlalu lalang namun juga masih nyaman untuk berbicara empat mata. Bima yang pekerjaannya diganggu tentu saja merasa kesal, ia tak henti-hentinya memperlihatkan ekspresinya itu ke Inayah yang sebenarnya merasa bersalah.
"Kamu marah ya, Mas?" tanyanya hati-hati.
"Ya iya lah, aku marah. Kamu itu selalu mengganggu hidupku tahu enggak? Tapi sudahlah, aku enggak mau berlama-lama di sini sama kamu. Sekarang kamu bilang saja, apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Aku ingin membahas tentang pernikahan kita, Mas."
"Pernikahan kamu bilang? Kamu benar-benar enggak punya malu ya? Kemarin kan kamu memutuskan aku, memutuskan hubungan kita, lalu untuk apa kita membahas pernikahan sekarang?" tanya Bima terdengar tak percaya.
"Aku minta maaf soal kemarin, Mas. Saat itu aku sedang emosi saja, karena kamu membicarakan ibuku dengan kata kasar." Inayah tidak berani menatap ke arah Bima, ia tahu laki-laki itu masih marah padanya.
"Aku enggak kasar, apa yang aku bilang tentang ibu kamu itu memang benar." Bima tentu tidak ingin mengalah, ia bahkan membenarkan sikapnya yang sebenarnya tidak Inayah suka, namun lagi-lagi wanita itu berusaha untuk menahannya dilihat dari genggaman tangannya.
"Ya sudah terserah kamu mau bilang apa, tapi aku ke sini ingin menyampaikan sesuatu hal ke kamu." Inayah menatap ke arah Bima dengan tatapan pasrah.
"Apa? Kamu mau bilang apa?"
"Aku mau mengundurkan diri dari pekerjaan ku yang sekarang," jawab Inayah yang tentu saja membuat Bima merasa terkejut.
"Serius? Kamu mau mengundurkan diri? Akhirnya kamu sadar juga ya kalau setelah menikah wanita itu harus ada di rumah, jadi istri yang baik dan nurut, untuk apa bekerja? Cuma buang-buang waktu saja." Bima menjawab dengan tersenyum meremehkan yang diangguki oleh Inayah.
"Iya, Mas. Tapi ada satu syarat yang harus kamu penuhi sebelum aku mengundurkan diri dan kita menikah?"
"Syarat? Syarat apa maksud kamu?"
"Aku akan berhenti bekerja asalkan kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari aku atau setidaknya gajinya sama dengan aku, Mas." Inayah mengungkapkan pemikirannya, yang tentu saja membuat Bima marah besar.
"Apa kamu bilang? Aku harus mendapatkan pekerjaan seperti kamu? Di kantor, begitu?"
"Iya, Mas. Kamu kan juga lulusan sarjana, pasti mudah untuk kamu mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan di sebuah perusahaan." Inayah tersenyum ke arah Bima yang justru terlihat sebaliknya.
"Enggak, aku enggak mau." Mendengar jawaban Bima, senyum yang berada di bibir Inayah seketika luntur di saat itu juga.
"Tapi kenapa, Mas?"
"Memangnya gampang apa bekerja di kantor? Aku sudah pernah mencobanya dan rasanya memuakkan, hampir setiap hari aku ditekan sampai rasanya kepalaku hampir mau pecah." Bima menunjuk ke arah kepalanya saking emosinya.
"Namanya juga pekerjaan, Mas. Ya pasti banyak susahnya dari pada enaknya."
"Ya tapi itu bukan gayaku, karena aku paling enggak suka diintimidasi apalagi dengan orang lama." Bima begitu angkuh saat mengatakannya, yang tentu saja membuat Inayah merasa kecewa.
"Yang sabar saja, Mas. Kalau aku bisa, kamu pun pasti juga bisa."
"Aku bukan orang bodoh seperti kamu, yang mau-mau saja direndahkan senior." Bima menyilangkan tangan di dadanya, tampak begitu sombong di mata Inayah yang sering kali melihat sikapnya.
"Tapi buktinya aku bisa sukses kan, Mas? Aku bisa menjadi di posisi sekretaris dengan gaji yang lumayan besar."
"Tapi tetap saja aku enggak mau."
"Terus kamu maunya bagaimana? Tetap bekerja di toko ibu kamu? Berapa penghasilan kamu di sana?"
"Dua juta." Bima mengatakannya dengan bangga yang tentu saja membuat Inayah tak percaya dengan jawaban percaya dirinya.
"Dua juta mana cukup untuk kebutuhan setelah menikah, Mas? Harusnya kamu cari pekerjaan yang lebih baik dari itu."
"Kamu enggak tahu ya, aku ini yang akan mewarisi toko ibuku, lalu apa salah kalau aku tetap bekerja di sana? Toh, suatu saat nanti aku juga yang akan mengurusnya?"
"Aku tahu itu, Mas. Tapi sampai kapan? Orang tua kamu saja sekarang masih sehat-sehat kok, mereka masih bisa menjalankan toko bahkan tanpa kamu bantu sekalipun, jadi apa salahnya kalau kamu cari pekerjaan yang lebih baik di luar?"
"Masalahnya aku yang enggak mau, untuk apa capek-capek bekerja di luar kalau pada akhirnya nanti jaga toko juga?" Bima begitu keras kepala yang tentu saja membuat Inayah merasa lelah dengan sikapnya.
"Lalu bagaimana dengan pernikahan kita, Mas? Apa enggak ada pemikiran sedikit saja untuk kamu mempertimbangkannya?"
"Ya ada lah, makanya aku ingin kamu mengundurkan diri itu juga cara aku mempertimbangkan pernikahan kita, supaya kedepannya kamu bisa fokus di rumah."
"Itu bukan mempertimbangkan, Mas, tapi malah mencari masalah. Kalau aku sampai berhenti bekerja, sedangkan kamu enggak mau mencari pekerjaan yang lebih baik, itu sama saja bunuh diri. Uang dua juta di kota ini enggak bisa dipakai untuk orang berumah tangga, apalagi ada ibu dan juga kakakku yang harus aku tanggung hidupnya."
"Kalau kita menikah, untuk apa kita masih harus memikirkan keluarga kamu? Mereka ya harus cari makan sendiri lah. Orang tuaku saja enggak mau menyusahkan aku, kok jadi keluarga kamu yang malah mau menyusahkan aku." Bima menjawab tak mengerti yang kian membuat Inayah merasa lelah dengan tingkahnya kali ini.
"Ya makanya aku harus tetap bekerja, Mas. Aku enggak akan meminta uang kamu untuk memenuhi kebutuhan keluargaku."
"Aku yang enggak mau kamu bekerja, kamu pikir enak apa punya istri tapi enggak pernah ada di rumah?" tanya Bima yang kali ini Inayah diami, ia benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran laki-laki yang ia cintai, bagaimana mungkin semua solusinya ditepis dengan rasa keegoisannya tanpa memikirkan kedepannya.
"Sudahlah, kamu itu keras kepala orangnya, kita enggak akan cocok untuk menikah." Bima melanjutkan ucapannya setelah melihat kediaman Inayah.
"Jadi maksud kamu bagaimana, Mas? Kamu ingin mengakhiri hubungan kita yang sudah berjalan lima tahun? Kamu enggak berusaha memperjuangkannya atau setidaknya mempertahankannya?" tanya Inayah yang justru digelengi oleh Bima.
"Apanya yang mau diperjuangkan? Kamu saja orangnya keras kepala, aku itu sudah enggak sanggup kalau terus-terusan pacaran sama kamu apalagi sampai menikah." Bima menunjuk ke arah wajah Inayah dengan santainya seolah benar-benar tidak ada cinta di hatinya.
"Kamu sudah enggak sayang ya sama aku?"
"Kalau iya, kenapa? Sudahlah kalau mau putus, ya putus saja, kenapa juga kamu masih ke sini untuk membicarakan hal enggak penting?" Bima mengalihkan pandangannya, ia terlihat muak dengan situasinya.
"Jadi benar, kamu memang sudah enggak sayang sama aku, atau mungkin sudah enggak cinta." Inayah menatap tegas ke arah Bima yang justru tersenyum ke arahnya.
"Buat apa cinta dengan wanita yang sok jual mahal seperti kamu?"
"Maksud kamu?"
"Enggak usah pura-pura bodoh! Selama lima tahun kita pacaran, pernah enggak kamu sekali saja mengizinkan aku mencium bibir kamu? Enggak pernah kan? Kamu selalu menolak ku dan merendahkan harga diri ku."
"Aku enggak pernah ada niat merendahkan kamu, Mas."
"Apa bedanya? Dengan kamu menolak ku itu sama saja kamu merendahkan aku, dan aku enggak suka itu." Bima menunjuk dadanya dengan tatapan marah.
"Aku minta maaf tentang itu, Mas. Tapi berciuman enggak harus dilakukan saat kita berpacaran kan? Kita juga pasti akan melakukannya setelah menikah." Inayah tentu membela dirinya, ia tak mau Bima salah menafsirkan sikapnya.
"Iya apa namanya itu kalau bukan sok jual mahal? Sok suci."
"Mas, aku pikir kamu enggak mempermasalahkannya selama ini, tapi ternyata kamu enggak seperti yang aku pikirkan ya? Kamu benar-benar buat aku kecewa." Inayah sampai menitikkan air matanya saking sakitnya ia mendengar ucapan Bima, laki-laki yang selama ini ia pikir baik ternyata menyimpan pikiran kotor di otaknya.
"Makanya aku bilang ke kamu, kita itu enggak cocok, padahal semua laki-laki juga seperti aku, kamu-nya saja yang sok suci. Memangnya apa sih yang aku minta ke kamu? Aku cuma ingin mencium kamu? Aku enggak meminta perawan kamu kok, tapi respon kamu selalu berlebihan, menyebalkan." Bima melengos kesal yang kian membuat Inayah kecewa dengannya.
"Aku menjaga diriku karena aku enggak mau bernasib sama seperti kakakku, yang hamil di luar nikah dan diceraikan setelah keguguran. Mungkin awalnya cuma berciuman, tapi setelah itu apa yang terjadi? Enggak ada yang tahu kan? Jadi sebelum terlambat, lebih baik aku menghentikannya sejak awal." Inayah menjawab dengan tegas yang kian membuat Bima merasa geram.
"YA SUDAH KALAU BEGITU KAMU PERGI SAJA DARI SINI, WANITA SOK SUCI!" sentak Bima marah yang tentu saja mengejutkan Inayah yang kian menangis di sampingnya.
"Kamu sudah memutuskan aku, tapi kamu malah kembali menemui ku, selain sok suci apa kamu juga enggak punya malu?" lanjutnya yang kali ini benar-benar membuat Inayah merasa lelah dan enggan untuk memperjuangkannya.
"Aku kembali menemui kamu, karena aku pikir kamu masih layak untuk aku pertahankan, tapi ternyata aku salah dan sekarang aku sangat menyesal sudah datang." Setelah mengatakan itu, Inayah mendirikan tubuhnya lalu berjalan ke arah motornya dan pergi dari sana, meninggalkan Bima yang justru tersenyum meremehkannya.
"Lihat saja nanti, akan aku buat kamu semakin sakit hati karena sudah merendahkan aku." Bima bergumam lirih, ia tentu tidak bisa melupakan semuanya bagaimana Inayah sering menolaknya hanya karena ia ingin berciuman. Apa yang wanita itu lakukan sudah seperti menginjak harga dirinya, itu lah kenapa Bima mulai tidak mencintainya lalu sikapnya berubah jauh berbeda dari pertama kami mereka bersama.
Di sisi lainnya, Inayah mengendari motornya dengan tangis yang setia mengalir di wajahnya, ia tentu tidak menyangka sebelumnya jika laki-laki yang sangat dicintainya itu ternyata memiliki pemikiran kotor di otaknya. Penolakannya selama ini membuat laki-laki itu merasa dendam dan mungkin karena itu juga lah sifatnya mulai berubah.
Laki-laki yang dulunya pengertian dan selalu ada untuknya, perlahan mulai berubah hanya karena sebuah alasan yang tak masuk akal. Padahal kalau memang dia mencintainya, seharusnya dia bisa menghargai keputusannya yang tidak ingin berciuman.
"Maafkan aku, Bu. Sepertinya aku sudah enggak bisa mempertahankan Mas Bima, dia terlalu berubah sekarang, dia juga enggak bisa menghargai Ibu." Inayah mengusap matanya tanpa bisa fokus dengan jalannya, yang membuat motor yang dikendarainya oleng dan pada akhirnya terjatuh.
"Akkhhhh," teriaknya sesaat sebelum tubuhnya menyentuh aspal.
Part 05
Inayah mengeluh kesakitan saat tubuhnya terjatuh dan tergeletak di aspal bersama dengan motor kesayangannya, ia terus-terusan menangis sampai tidak fokus dengan jalannya yang untungnya kondisinya sedang sepi kali ini, karena berada di jalur masuk ke perumahan.
Di sisi lainnya, Kevin yang berada di dalam mobil dibuat heran saat melihat ada seorang wanita tengah duduk dengan motor terbaring, yang sepertinya baru saja mengalami kecelakaan atau semacamnya. Kevin tentu saja merasa khawatir, itu lah kenapa ia menepuk pundak sopirnya berniat memintanya untuk menghentikan laju mobilnya.
"Berhenti dulu, Pak!"
"Kenapa, Den?"
"Itu ada wanita jatuh, saya mau menolongnya."
"Oh itu? Jangan Den!"
"Loh kenapa, Pak? Kasihan dia."
"Saya tahu itu, tapi biarkan saya saja yang membantu, Aden tunggu di sini saja, nanti kalau ada apa-apa kan Aden Aman." Sang sopir melepaskan sabuk pengamannya lalu membuka pintu mobilnya, yang tentu saja ingin Kevin hentikan.
"Tapi, Pak.".
"Sudah, Den. Biar saya saja ya." Sang sopir turun dari mobil tanpa memedulikan ucapan Kevin, tentu saja beliau merasa takut terjadi sesuatu dengan putra dari majikannya tersebut terlebih lagi itu jalanan sepi, bisa saja kan wanita itu hanya umpan perampokan.
"Mbak, Mbak kenapa?" tanya sopirnya setelah berada di samping wanita itu, sedangkan Kevin hanya bisa memperhatikannya dari dalam mobilnya.
"Enggak apa-apa, Pak. Cuma jatuh." Inayah menjawab seadanya tanpa mau menghentikan tangisnya, bukan karena luka di tubuhnya yang membuatnya terus menangis, namun luka di hatinya lah yang terasa kian perih setiap saatnya.
"Ya sudah, Bapak bantu ya? Jangan nangis!" Sang sopir mendirikan motor Inayah, sedangkan pemiliknya hanya berdiri di samping jalan.
"Enggak kok, Pak."
"Enggak nangis tapi air matanya masih keluar itu."
"Iya, Pak. Ini juga sudah enggak." Inayah menghapusnya dan berusaha terlihat baik-baik saja.
"Terima kasih ya, Pak, sudah bantu saya."
"Iya, sama-sama. Kalau naik motor itu hati-hati, jangan ngebut."
"Saya enggak ngebut kok, Pak."
"Lah terus kenapa bisa jatuh?"
"Enggak tahu, tiba-tiba jatuh."
"Ada-ada saja, ya sudah kalau begitu saya pergi dulu ya. Kamu hati-hati naik motornya."
"Iya, Pak. Terima kasih." Inayah hanya menunduk sopan lalu menaiki motornya kembali, tanpa menyadari bagaimana Kevin menyengitkan dahi di dalam mobilnya.
"Itu kan wanita yang kemarin," gumamnya saat memerhatikan wanita yang sopirnya bantu.
"Saya sudah membantunya, Den. Sekarang kita langsung pulang ya?" Sopirnya datang dan duduk kembali di bagian kursi kemudi, sedangkan Kevin hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita tersebut.
"Iya, Pak."
"Tadi dia kenapa, Pak? Kok bisa jatuh?" tanya Kevin penasaran setelah mobil yang ditumpanginya melaju kembali di jalanan.
"Enggak tahu, Den. Katanya sih motornya tiba-tiba oleng makanya dia jatuh."
"Lukanya parah ya, Pak? Kok dia terus-terusan menangis tadi?" tanya Kevin setelah menghembuskan nafas panjangnya mendengar alasan kenapa wanita itu bisa jatuh dari motornya.
"Tadi saya lihat sih cuma kakinya saja yang luka, tapi sepertinya sangat sakit makanya sampai menangis."
"Oh begitu? Apa sebaiknya kita bawa ke klinik saja ya, Pak? Saya takut terjadi sesuatu dengan dia."
"Wah tumben Aden peduli dengan orang enggak dikenal sampai segitunya? Padahal kan biasanya Aden berusaha enggak peduli, karena takut terjadi sesuatu seperti dulu."
"Itu kan dulu waktu saya masih kecil, Pak. Sekarang kan saya sudah dewasa, saya bisa menjaga diri saya sendiri."
"Tapi sayangnya Nyonya masih takut, Den. Jadi akan lebih baik bila Aden jangan terlalu baik ke orang yang enggak dikenal ya?" pinta sopirnya yang mau tak mau Kevin angguki.
"Iya, Pak." Kevin menjawab seadanya, ia tentu bisa paham dengan perasaan mamanya yang mungkin takut kejadian di masa lalu terjadi lagi. Itu lah kenapa sampai di usianya yang sekarang, Kevin masih diantar sopir ke manapun dia pergi termasuk berangkat dan pulang bekerja seperti saat ini.
***
Di depan rumahnya, Inayah menurunkan tubuhnya dari motornya dengan sangat berhati-hati, itu karena kakinya masih terasa sakit padahal hanya lecet sedikit. Entah apa yang sebenarnya ia rasakan sekarang, namun yang pasti Inayah merasa tidak baik-baik saja kali ini. Inayah mulai berjalan ke arah rumahnya, ia masuk dengan langkah perlahan membuat ibu dan juga kakaknya yang sedang berada di sofa ruang tamu, merasa heran dengan sikapnya yang tak biasa.
"Inayah, kamu kenapa?" tanya ibunya terdengar khawatir begitupun dengan kakaknya yang turut merasakan hal yang sama.
"Iya, Dek. Kamu ini kenapa? Kok jalannya seperti orang pincang?"
"Aku tadi jatuh dari motor," jawab Inayah sembari menangis keras, yang tentu saja membuat ibunya datang untuk mendatanginya.
"Kok bisa sih kamu jatuh dari motor? Ayo duduk dulu!" pintanya sembari membopong tubuh Inayah ke arah sofa dan mengarahkannya untuk duduk di sana.
"Coba Ibu lihat mana yang luka?" Ibunya begitu serius melihat kaki Inayah, yang nyatanya hanya lecet sedikit, namun putrinya itu menangis begitu keras.
"Ini sih cuma lecet sedikit, apa sangat sakit? Sampai kamu menangis seperti ini?" tanya ibunya terdengar khawatir yang justru digelengi oleh Inayah, yang tentu saja membuat ibu dan kakaknya merasa bingung dengan maksudnya.
"Kalau enggak sakit, terus kenapa kamu menangis? Kamu waktu masih kecil pernah sampai terluka parah gara-gara menyelamatkan anak laki-laki dari penculik, tapi kamu enggak sampai menangis seperti ini. Tapi sekarang tambah dewasa, kamu malah tambah cengeng cuma karena luka kecil." Ibunya menggerutu tak habis pikir.
"Aku menangis bukan karena luka, Bu."
"Lah terus kenapa?"
"Aku menangis karena aku sudah putus dengan Mas Bima dan enggak akan ada kata balikan lagi, karena semuanya benar-benar sudah selesai." Inayah kian menangis dengan menutupi wajahnya yang kali ini didiami oleh ibunya, yang tentu saja merasa kasihan dengan nasibnya.
"Memangnya kamu sudah mencoba untuk berbicara baik-baik dengan Bima?" tanya ibunya sembari mengusap lembut puncak kepalanya.
"Sudah, Bu. Tapi hubungan kami memang sudah enggak bisa dipertahankan lagi, enggak ada titik temu untuk masalah kami masing-masing."
"Ya sudah, enggak apa-apa. Ibu yakin kamu pasti bisa melupakan Bima."
"Tapi bagaimana caranya, Bu? Mas Bima itu cinta pertamaku, kami sudah berpacaran selama lima tahun, kami sudah melewati suka dan duka bersama, ya sulit kalau aku harus melupakannya."
"Ya memang sulit, kamu juga enggak akan bisa melakukannya secara langsung, tapi Ibu yakin pelan-pelan kamu pasti bisa melupakan Bima." Ibunya terus mengusap puncak kepala Inayah, sesekali wanita itu juga mengusap punggungnya untuk sedikit menenangkannya.
"Iya, Dek. Kakak juga yakin kamu pasti bisa melupakan Bima, kamu fokus saja bekerja, kali saja pikiran kamu jadi lupa sama dia." Kini Araya yang berbicara yang sempat didiami oleh Inayah, yang merasa ucapannya juga ada benarnya.
"Iya, Kak. Aku akan mencobanya dulu." Inayah mengangguk setuju yang disenyumi dan diangguki oleh ibu dan juga kakaknya.
"Kamu pasti belum makan kan? Ibu siapkan kamu makan ya?" tawar ibunya yang justru digelengi oleh Inayah dengan ekspresi tanpa minat seolah tak berselera.
"Enggak usah, Bu. Aku mau ke kamar saja." Inayah mendirikan tubuhnya lalu pergi dari sana, meninggalkan ibu dan kakaknya yang tentu saja merasa kasihan padanya.
***
Kevin turun dari mobil yang ditumpanginya lalu berjalan ke arah rumahnya, ia berniat mengistirahatkan tubuhnya untuk sedikit menenangkan pikirannya. Sebenarnya ia tak pernah bermasalah dengan semua pekerjaannya, karena ia selalu bisa menyelesaikannya dengan mudah. Namun entah kenapa wanita yang ditolong sopirnya tadi, begitu mengacaukan pikirannya kali ini.
Jujur saja, Kevin memang menyukainya atau bisa dibilang ia jatuh cinta pada pandangan pertama saat ia melihatnya untuk pertama kalinya di kafe. Ia juga sangat sadar diri, bila ia tak akan mungkin mendapatkannya karena wanita itu sudah memiliki kekasih. Namun kejadian tadi di jalan, justru membuatnya berharap karena dipertemukan lagi oleh Tuhan dengan cara yang sama, wanita itu tak tahu wajahnya dan bahkan tidak tahu keberadaannya.
"Tadi mungkin cuma kebetulan saja, aku enggak mungkin bertemu dengan wanita itu untuk yang ketiga kalinya atau bahkan seterusnya." Kevin berusaha tersenyum untuk menghibur dirinya sendiri, sampai pada akhirnya kakinya berada di ruang keluarga di mana mama dan papanya sedang menonton televisi di sana.
Melihat orang tuanya, Kevin berjalan ke arah mereka untuk memeluk keduanya seperti pada hari-hari biasanya. Kevin sendiri anak tunggal dan sejak kecil ia sudah terbiasa mendapatkan banyak cinta dari kedua orang tuanya, itu lah kenapa ia merasa tak sungkan saat memeluk mereka.
"Kamu sudah pulang, Sayang?"
"Iya, Ma."
"Kamu belum makan malam kan? Mama siapkan dulu ya, nanti kamu makan."
"Enggak usah, Ma. Aku masih kenyang, tadi aku sudah makan dengan klien," jawab Kevin yang diangguki mengerti oleh mamanya, sedangkan papanya menonton televisi sembari sesekali memerhatikan mereka.
"Ngomong-ngomong kamu ini sudah umur berapa sih? Kalau enggak salah, dua puluh sembilan ya?" tanya mamanya yang diangguki oleh Kevin dengan tatapan bertanya.
"Iya, Ma. Kenapa?"
"Enggak apa-apa, Mama cuma merasa sedih saja." Wanita itu tampak termenung yang tentu saja membuat putranya bingung.
"Sedih kenapa, Ma?"
"Sebentar lagi kan kamu sudah umur tiga puluh tahun, tapi sampai sekarang kamu belum juga memiliki pasangan. Jangankan istri, pacar saja kamu enggak punya." Wanita itu memanyunkan bibirnya yang justru disenyumi oleh putranya.
"Mama selalu saja seperti ini," jawab Kevin sembari menggeleng pelan.
"Memangnya salah kalau Mama merasa sedih karena kamu belum punya pacar?"
"Ya enggak salah sih."
"Ya makanya kamu cari pacar dong supaya Mama enggak sedih lagi, kamu itu memang enggak pernah sayang sama Mama." Melihat mamanya merajuk, tentu saja Kevin merasa ingin menuruti keinginannya dan juga membahagiakannya, namun sayangnya sampai saat ini ia belum menemukan wanita yang cocok untuk diajak menikah. Satu-satunya wanita yang membuatnya tertarik, justru sudah memiliki kekasih.
Part 06
Kevin menghembuskan nafas panjangnya, pikirannya mulai kacau lagi sekarang, padahal ia sudah berusaha untuk tidak memikirkan wanita itu, namun saat mamanya membicarakan pasangan, ia justru mengingatnya lagi sekarang. Kevin sendiri juga tidak mengerti kenapa ia bisa seperti ini, padahal ia baru bertemu dengan wanita itu baru dua kali.
"Pinginnya sih aku enggak mau buat Mama sedih, tapi kan kenyataannya aku susah mendapatkan pasangan, jadi mau bagaimana lagi?" jawab Kevin sembari menaikkan kedua bahunya, yang tentu saja tak membuat mamanya percaya.
"Kamu bukannya susah mendapatkan pasangan, tapi kamunya saja yang pemilih."
"Namanya saja cari istri, Ma. Ya harus pemilih, karena kan kita setiap hari sama dia, memutuskan sesuatu juga sama dia, bangun tidur lihat dia, mau makan juga ada dia, pokonya semua harus dilakukan dengan dia. Kalau aku sampai salah memilih orang, ya aku pasti akan menyesal seumur hidup kan?" jawab Kevin yang kali ini disenyumi dan diacungi jempol oleh papanya.
"Good, itu baru anak Papa. Sebagai laki-laki, kita memang harus pintar-pintar memilih mana wanita yang cocok untuk dijadikan istri? Jangan sampai kita salah pilih, apalagi memilih cuma karena dia cantik tapi aslinya enggak baik."
"Betul itu kata Papa." Kevin menyahut setuju yang tentu saja mendapatkan tatapan jengah dari mamanya.
"Iya sih sebagai laki-laki, kamu memang harus pintar-pintar memilih, tapi kenyataannya kamu berusaha mencari saja tidak, bagaimana mau memilih, Kevin?" jawab mamanya terdengar lelah yang disenyumi oleh putranya.
"Aku juga sudah berusaha mencari kok, Ma."
"Apa buktinya? Setiap Mama perkenalkan kamu dengan anak temannya Mama, kamu selalu bilang enggak cocok, padahal kamu mengajaknya berbicara saja belum."
"Itu karena aku kurang sreg saja, Ma."
"Kurang sreg bagaimana? Semua anak dari temannya Mama itu cantik-cantik loh, tapi masa kamu langsung merasa enggak sreg?" tanya mamanya tak percaya.
"Kenyataannya memang seperti itu, Ma." Kevin mengusap belakang lehernya yang tak gatal, merasa bersalah saja dengan mamanya.
"Kamu bilang saja deh ke Mama, tipe wanita kamu itu seperti apa? Cantik? Itu pasti kan? Enggak mungkin kamu suka yang ganteng."
"Yang benar saja, Ma? Memangnya aku gay apa?" jawab Kevin merasa geli sendiri, padahal mamanya hanya bercanda tadi.
"Syukurlah kalau kamu enggak suka yang ganteng, tapi kamu tetap suka yang cantik kan?"
"Iya lah, Ma."
"Nah, kasih tahu Mama ciri-cirinya seperti apa tipe wanita yang kamu suka itu! Supaya nanti Mama juga bisa pilih-pilih kalau mau mengenalkan wanita ke kamu."
"Bibirnya tipis mungil, hidungnya mancung, alisnya sedikit tebal, bulu matanya lentik dengan kelopak mata bulat, kulitnya putih bersih, rambutnya panjang, hitam, dan tebal. Terus apalagi ya? Oh ya tingginya kira-kira seratus enam puluh senti, kepribadiannya juga baik, suka membantu orang kesusahan, contohnya kasih pemulung makan. Kalau digoda cowok itu dia enggak pernah respon, Ma. Terus dia juga pakaiannya sopan-sopan, enggak terlalu terbuka, ya meskipun cengeng juga enggak apa-apa lah." Kevin menuturkan tipe wanita yang disukainya, yang tak hanya mengejutkan mamanya namun juga papanya yang sempat tak percaya dengan pendengarannya.
"Kamu serius itu tipe wanita yang kamu suka?" tanya mamanya yang diangguki oleh Kevin, namun ekspresi mamanya masih terlihat tak yakin pada putranya.
"Iya lah, Ma. Memangnya kenapa sih?"
"Enggak apa-apa sih, tapi kok tipe wanita kamu itu terlalu jelas ya gambarannya? Bahkan sampai ke sifat-sifatnya loh, kamu yakin itu cuma tipe wanita kamu atau jangan-jangan itu semua ciri-ciri wanita yang kamu sukai sekarang?" tanya mamanya yang justru disenyumi oleh Kevin kali ini, ia terlihat malu-malu untuk mengakuinya namun mamanya terlihat ingin menuntut jawabannya.
"Kan tadi Mama bilang mau tahu seperti apa tipe wanita yang aku suka, jadi aku menggambarkannya dengan sejelas-jelasnya."
"Saking jelasnya kamu sampai bisa loh kasih Mama fotonya saja, biar Mama cari itu wanita yang kamu sukai meskipun ke ujung dunia sekalipun," jawaban mamanya yang membuat Kevin tertawa mendengarnya.
"Mama bisa saja."
"Tapi serius itu bukan ciri-ciri wanita yang kamu sukai sekarang? Kalau iya, Mama akan dengan sangat senang hati loh menerimanya, kamu jangan sungkan membawanya ke rumah." Wanita itu tampak serius mengatakannya kepada putranya yang sempat tertunduk sedih, itu karena ia memang mengakui jika wanita yang tuturkan memang ada di dunia ini, namun sayangnya sudah dimiliki, itu tak mungkin menjadi perebut hanya untuk mendapatkannya.
"Apa sih, Ma? Apa yang aku katakan tadi itu cuma ciri-ciri tipe wanita yang aku suka, Ma."
"Tapi kok sampai sedetail itu? Mama kan jadi curiga, jangan-jangan kamu sedang menaksir seseorang."
"Enggak kok, Ma. Memang belum ada yang buat aku suka, karena kebanyakan wanita yang mendekatiku itu tahu siapa aku? Pewaris tunggal Kavin'z Company."
"Lah memangnya kenapa kalau mereka tahu kamu siapa?"
"Ya enggak apa-apa, tapi aku merasa mereka kurang tulus saja."
"Kenapa? Apa mereka mendekati kamu karena melihat dari kekayaan keluarga kita?"
"Iya." Kevin menganggukinya yang justru disenyumi oleh mamanya.
"Sayang, wanita itu wajar kalau melihat laki-laki dari sisi kekayaannya, karena kan mereka harus realistis."
"Aku tahu itu, Ma. Aku juga bukan laki-laki pelit kan? Aku cuma kurang suka saja dengan wanita yang terlalu fokus pada hal tertentu terutama kekayaan seseorang, karena kebanyakan dari mereka enggak punya pendirian jadi bagaimana mau berkomitmen untuk menikah?"
"Lah bukannya wanita akan semakin yakin menikah ya kalau laki-lakinya sudah siap dari segi ekonomi?"
"Ya memang, tapi kalau sampai terlalu fokus ke hal itu dan suatu hari nanti aku ada masalah keuangan, dia akan pergi menceraikan aku begitu? Kan yang dia butuhkan bukan aku tapi hartaku."
"Oh iya-iya, Mama mengerti sekarang. Tapi bagaimana caranya kamu bisa mendapatkan wanita yang benar-benar tulus mencintai kamu tanpa melihat status kamu?"
"Aku juga enggak tahu, Ma." Kevin menaikkan kedua pundaknya.
"Mungkin saja suatu saat nanti ada wanita cantik yang enggak tahu kamu siapa?"
"Aku harap juga begitu, ya sudah aku ke kamar dulu ya, Ma, Pa. Aku mau istirahat." Kevin mendirikan tubuhnya sembari berpamitan yang diangguki oleh kedua orang tuanya.
"Iya, Sayang."
***
Di pagi hari, seperti biasa Inayah berniat mandi lalu bersiap-siap untuk bekerja, namun sebelum sampai di kamar mandinya, langkah kakinya terhenti saat mendengar seseorang sedang muntah-muntah di dalam. Inayah tentu merasa khawatir, ia takut terjadi sesuatu dengan ibunya yang memang sempat mengeluh sakit di bagian perutnya.
"Ibu. Ibu kenapa?" tanya Inayah sembari menggedor-gedor pintu kamar mandi, ia benar-benar ingin tahu sampai jantungnya berdebar tak karuan, itu karena ia merasa takut dan trauma saat kehilangan ayahnya dan ia tidak mau hal itu terulang lagi pada ibunya.
"Ada apa, Inayah? Kenapa kamu manggil-manggil Ibu di depan kamar mandi? Ibu kan sedang masak di dapur." Ibunya yang berjalan cepat ke arahnya tentu saja bertanya, wanita itu justru merasa heran dengan sikap putrinya.
"Loh Ibu ada di sini? Terus yang muntah-muntah di kamar mandi siapa?" tanya Inayah sembari menunjuk ke arah pintu kamar mandi, ekspresi dan tatapan matanya terlihat tak mengerti.
"Ya berarti kakak kamu, Araya. Siapa lagi? Kita kan cuma tinggal bertiga?"
"Memangnya Kaka Araya sakit ya, Bu? Kok muntah-muntah? Perasaan tadi malam dia enggak kenapa-kenapa."
"Ibu juga enggak tahu, kita tunggu saja dia keluar terus tanya keadaannya, kalau parah kita bawa ke klinik sebelah, pagi-pagi seperti ini pasti sudah buka."
"Iya, Bu." Inayah hanya mengangguk meskipun tidak setakut tadi karena ibunya baik-baik saja, namun ia juga mengkhatirkan keadaan kakaknya.
"Kak, Kakak enggak apa-apa kan?" tanya Inayah yang mulai tak sabar dan ingin tahu apa yang sedang terjadi dengan kakaknya saat ini.
"Sebentar ...." Araya menyahut dari dalam, tak lama wanita itu keluar dengan ekspresi sedih dan juga bingung.
"Kakak kenapa? Lagi kurang enak badan ya? Kita ke klinik ya! Aku antar ke sana." Inayah merengkuh lengan kakaknya yang justru terdiam sembari tertunduk seolah sedang takut.
"Enggak usah."
"Loh kenapa, Kak? Kita kan enggak tahu kenapa Kakak bisa muntah-muntah, nanti kalau diperiksa kan sekalian bisa diobati."
"Iya, Araya. Sebaiknya kita periksa saja ya, Ibu juga takut kamu kenapa-kenapa, karena tadi malam saja kamu ini masih baik-baik saja, masa paginya sudah muntah-muntah." Kali ini ibunya yang menyahut, yang membuat Araya kian meringkuk.
"Aku cuma ... hamil ...." Araya menjawab dengan lirih, nada suaranya juga terdengar merasa bersalah tanpa mau menatap ke arah adik dan ibunya yang terkejut mendengar jawabannya.
"Apa, Kak? Kakak hamil?" tanya Inayah terdengar tak percaya begitupun dengan ibunya yang seketika melunturkan tangisnya.
"ASTAGA, ARAYA. BISA-BISANYA KAMU HAMIL LAGI DI LUAR NIKAH? YA ALLAH." Ibunya sampai berteriak saking emosinya namun pada akhirnya tubuhnya meluruh jatuh ke lantai.
"Ibu." Inayah segera menghampiri ibunya yang tampak lemas di lantai, ia berusaha mendudukkannya meskipun masih sadar namun keadaannya seperti orang linglung sekarang.
"Maafkan aku, Bu." Araya menghampiri ibunya dan merengkuh tangannya.
"IBU KECEWA SAMA KAMU, KAMU BUAT IBU MALU!" teriak ibunya sembari menarik kasar tangannya, membuat Araya terkejut dan menangis di tempatnya.
"Sebenarnya apa sih yang Kakak pikirkan? Kenapa bisa hamil lagi, apa Kakak enggak kapok dengan masa lalu Kakak?" tanya Inayah sembari memeluk ibunya yang menangis di dadanya.
"Aku enggak tahu kalau akan berakhir seperti ini, apalagi sampai aku hamil lagi."
"Ya seharusnya Kakak bisa lah menahan diri, masa Kakak mengulangi kesalahan yang kedua kali sih? Lihat Ibu sekarang, Ibu sampai syok gara-gara Kakak hamil lagi." Inayah menitikkan air matanya melihat kondisi ibunya yang terguncang, Araya juga merasa menyesal itu lah kenapa ia kembali merengkuh tangan ibunya.
"Maafkan aku, Bu. Aku benar-benar menyesal, Bu." Araya kembali merengkuh tangan ibunya yang masih menangis di pelukan Inayah, namun tak lama ia terbangun dan menatap Araya dengan mata kekecewaan.
"Kalau kamu menyesal, suruh laki-laki itu datang bersama dengan orang tuanya untuk melamar kamu secepatnya, Ibu enggak mau orang lain tahu ini apalagi tetangga di sini." Wanita itu menjawab dengan tegas, meskipun air mata terus mengalir di wajahnya, namun ia harus berusaha tegar untuk menyelesaikan masalahnya.
"Tapi ...." Araya menatap ke arah Inayah, sorot matanya memperlihatkan kebingungan.
"Enggak ada tapi-tapian, kalian harus menikah secepatnya," potong ibunya yang tak mau mendengar alasan apapun dari bibir putrinya, saking kecewanya ia dengannya.
"Iya, Bu. Aku akan menyuruhnya datang secepatnya." Araya mengangguk patuh, sedangkan Inayah yang juga merasa kecewa berusaha untuk tidak mengatakan apa-apa, karena ia juga yakin posisi kakaknya juga pasti sulit saat ini.
"Ayo, Bu. Aku bantu ke kamar ya, Ibu harus banyak-banyak beristirahat dulu." Inayah membantu ibunya untuk bangun dari lantai, Araya yang melihatnya tentu saja tidak tinggal diam, wanita itu juga berniat membantu, namun sebelum itu terjadi tangannya justru ditepis oleh ibunya sendiri.
Araya hanya bisa menangis melihat adiknya membopong ibunya tanpa bisa membantunya, ia tahu ibunya itu pasti sangat kecewa dengannya terlebih lagi ia juga pernah mengecewakannya dengan cara yang sama.
Part 07
Setelah berhasil menenangkan ibunya, Inayah harus masuk kerja karena ia tidak mungkin bisa cuti secara mendadak kecuali itu hal yang sangat penting. Selama bekerja pun, Inayah tak bisa tenang memikirkan kondisi ibunya itu lah kenapa ia beberapa kali menanyakan keadaannya pada kakaknya.
Sebagai seorang adik, Inayah tentu saja kecewa dengan kakaknya yang kembali mengulang kesalahan yang sama yaitu hamil di luar nikah. Padahal dulu ayahnya sampai sakit-sakitan karena malu dengan orang-orang yang menggunjingnya, yang tidak bisa menjaga anak perempuannya, dan kondisinya semakin memburuk saat kakaknya keguguran dan diceraikan, sampai pada akhirnya ayahnya tidak kuat dan meninggal.
Sekarang Inayah tentu saja merasa takut hal serupa menimpa pada ibunya, ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa seorang ibu yang selalu menguatkannya. Karena cuma ibunya lah yang membuatnya bertahan dan terus bekerja keras, ia hanya ingin membangunkannya rumah supaya masa tuanya bahagia dan bangga memilikinya.
Di tempat kerjanya, Inayah beberapa kali tidak fokus dengan pekerjaannya yang sempat membuatnya dalam masalah besar, untungnya ia bisa segera menanganinya. Bagi Inayah sendiri, pekerjaannya sudah sangat sulit, namun permasalahan cintanya membuat hidupnya terasa berat, dan sekarang justru ditambah dengan masalah kakaknya, belum lagi kesehatan ibunya yang harus ekstra dijaga.
Setelah seharian bergulat dengan pekerjaannya dan juga masalah hidup yang ada di pikirannya, kini akhirnya Inayah bisa pulang ke rumah. Ia bahkan sudah membayangkan untuk mandi dan mengistirahatkan diri, ia hanya ingin merasa sedikit tenang meskipun itu cuma sebentar.
"Mobil siapa ini? Kok mirip mobilnya orang tua Mas Bima ya?" gumam Inayah saat melihat ada mobil berwarna hitam yang terparkir rapi di depan rumahnya.
"Tapi mobil seperti ini kan banyak, bisa saja ini milik orang kan, atau jangan-jangan mobil ini milik laki-laki yang sudah menghamili Kak Araya." Memikirkan itu Inayah segera menuju ke rumahnya, ia ingin tahu seperti apa laki-laki yang sudah kurang ajar dengan kakaknya.
"Mas Bima ...." Inayah bergumam lirih saat mendapati mantan kekasihnya itu duduk di sofa ruang tamunya bersama dengan kedua orang tuanya. Inayah tentu saja merasa bingung sekarang, terlebih lagi ekspresi mereka terlihat bahagia saat melihatnya namun tidak dengan Bima.
"Inayah, kamu sudah pulang? Ayo duduk di sini, Ibu, Ayah, dan Mas Bima baru saja datang." Ibunya Bima melambaikan tangannya sembari menyunggingkan senyumnya, begitupun dengan ibunya Inayah yang juga berada di sana.
"I-iya, Bu." Inayah mengangguk patuh lalu berjalan ke arah sofa, namun ucapan Bima berhasil menghentikan langkahnya.
"Untuk apa dia di sini, Bu?" tanya Bima ke arah ibunya sendiri, yang tentu saja membuat orang yang berada di sana merasa bingung begitu pun dengan Inayah yang akan duduk di sofa.
"Loh bukannya kita kesini karena akan melamar Inayah ya? Makanya dia harus ada di sini, kan dia yang mau dilamar." Ibunya begitu sabar bertanya pada Bima, namun putranya itu tampak tak senang dan bahkan menghela nafas panjang.
"Aku mengajak Ayah dan Ibu ke sini karena aku mau melamar Araya, bukan Inayah." Bima menjawab dengan tenang namun mampu mengejutkan semua orang.
"A-araya? Kenapa bisa Araya? Bukannya kamu berpacarannya dengan Inayah ya?" Ibunya tentu saja merasa bingung dan kikuk, ia tak menyangka putranya justru ingin melamar kakak dari kekasihnya, padahal saat di rumah ia berpikir Inayah lah yang akan dilamar mengingat mereka sudah lima tahun bersama.
"Iya, Bima. Maksud kamu ini apa? Jangan buat malu keluarga!" Kini ayahnya yang menyahut, ekspresi dan nada suaranya juga terdengar bingung.
"Sejak awal aku ke sini memang ingin melamar Araya, Bu. Ibu dan Ayah saja yang langsung setuju tanpa tanya aku terlebih dahulu." Bima menjawab dengan tenang, namun tidak dengan ibunya yang merasa malu sekarang.
"Kamu jangan main-main, Bima! Lebih baik kita pergi saja dari sini, Ibu enggak mau menuruti keinginan kamu itu." Ibunya mendirikan tubuhnya dan menarik lengan Bima, ia benar-benar tak bisa menyakiti Inayah yang saat ini terdiam tanpa bersuara, padahal wanita itu yang begitu baik pada putranya.
"Inayah, Ibu minta maaf ya, Ibu benar-benar enggak tahu kalau yang ingin Bima lamar itu kakak kamu. Ibu sangat menyesali ini semua, enggak seharusnya Bima melakukan ini ke kamu. Sekali lagi Ibu minta, kami akan pergi dari sini." Wanita itu menatap menyesal ke arah Inayah yang berusaha tersenyum, namun tidak dengan hatinya yang terluka.
"Ayo, Bima! Kita pergi dari sini, kamu itu sudah buat Ibu malu." Tangan Bima kembali ditarik oleh ibunya, namun laki-laki itu tak bergeming dari tempat duduknya.
"Kita enggak bisa pergi dari sini, Bu. Aku masih harus melanjutkan niatku untuk menikahi Araya, karena dia sedang hamil anakku sekarang." Ucapan Bima kembali mengejutkan semua orang yang berada di sana terutama Inayah, bahkan ibunya yang posisinya tengah berdiri sampai duduk kembali saking syoknya.
"Apa tadi kamu bilang?"
"Araya sedang hamil anakku, Bu. Sebagai laki-laki, aku harus menikahinya kan?"
"AAARRGGGG ANAK KURANG AJAR, BISA-BISANYA KAMU MELAKUKAN INI KE IBU, BIMAAAA." Mendengar pengakuan Bima, ibunya berteriak sampai memukuli tubuhnya sedangkan ayahnya berusaha melerainya meskipun sebenarnya dia juga kecewa.
"Kakakku hamil anak kamu, Mas? Padahal baru kemarin kita putus, apa itu artinya kamu sudah menjalin hubungan dengan kakakku saat kita masih berpacaran?" tanya Inayah yang diangguki oleh Bima.
"Iya, kamu memang benar."
"Pantas saja sikap kamu berubah ke aku, ternyata semua itu karena kakakku?"
"Aku berubah itu bukan karena Araya, tapi aku berubah karena aku sudah muak menjalin hubungan dengan wanita seperti kamu, wanita sok suci." Bima menunjuk ke arah Inayah yang menangis, yang tentu saja membuat ibunya tak terima namun tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali menenangkan Inayah dengan cara mengusap-usap punggungnya.
"DIAM KAMU! BISA-BISANYA KAMU MASIH MERENDAHKAN INAYAH SETELAH APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN KE DIA? ANAK KURANG AJAR." Ibunya terus memukuli Bima saking emosinya, namun lagi-lagi ayahnya Bima berusaha menahannya, meskipun begitu Bima tampak tak berpengaruh seolah apa yang dilakukannya sekarang bukan kesalahan yang besar.
"Aku wanita sok suci? Lalu wanita seperti apa yang kamu sukai? Wanita murahan seperti kakakku? Bagus lah, kalian memang cocok untuk hidup bersama, karena sama-sama menjijikan." Inayah menekankan kalimatnya lalu mendirikan tubuhnya dan pergi dari rumah, ia tidak mau melihat acara lamaran mereka, mantan kekasihnya dan juga kakak kandungnya.
"APA KAMU BILANG?!" teriak Bima yang berniat menghampiri Inayah, namun langsung ditahan oleh ayahnya dengan cara memberinya bogem mentah.
"DIAM KAMU, BIMA!" sentak sang ayah geram, ia sudah sangat berusaha menahan sabarnya namun sikap putranya itu seolah tak memiliki salah apa-apa.
"Inayah, kamu mau ke mana? Ini sudah malam?" Ibunya berlari menyusulnya dengan air mata yang sedari tadi mengalir di wajahnya.
"Aku akan ke tempat kos Sella, Bu. Aku enggak mau di sini." Inayah menjawab seadanya tanpa mau menatap ke arah ibunya, karena ia tahu hatinya akan semakin sakit melihat ibunya menangis.
"Ya sudah, hati-hati ya." Itu lah pesan ibunya yang entah kenapa tak mampu Inayah jawab, padahal kalau biasanya ia akan tersenyum dan melambaikan tangannya.
"Bima, Ibu benar-benar enggak menyangka kamu melakukan ini semua ke Inayah, Araya itu kakak kandungnya, apa harus kamu menyakitinya sampai seperti ini?" tanya ibunya Inayah yang hanya didiami oleh Bima.
"Kalau kamu memang sudah enggak cinta dengan Inayah, ya sudah bilang saja, putuskan dia secara baik-baik! Kamu enggak perlu mendekati kakaknya apalagi sampai menghamilinya." Ibunya Inayah kembali melanjutkan ucapannya dengan tangis yang berderai di matanya, membuat Bima dan orang tuanya terdiam dengan perasaan bersalah.
"Aku tahu apa yang sudah aku lakukan itu salah, Bu. Tapi semuanya sudah terjadi, enggak ada yang bisa diulang lagi. Sekarang Araya sedang hamil anakku, itu artinya aku harus segera menikahinya untuk memperbaiki semuanya." Bima menjawab dengan tegas tanpa memedulikan bagaimana ekspresi orang tuanya yang merasa malu dengan tingkah lakunya.
"Ibu sendiri kan yang meminta Araya untuk mendatangkan aku, sekarang aku sudah datang dan berniat melamarnya, aku harap Ibu bisa merestui hubungan kami." Bima menatap ke arah ibunya Inayah yang terlihat menyesal.
"Itu karena Ibu enggak tahu kalau laki-laki yang sudah menghamili Araya itu kamu, andai saja Ibu tahu sejak awal, akan Ibu pastikan Araya akan keguguran," jawabnya terdengar geram.
"Sudahlah, Bu. Semua sudah terjadi, sekarang Ibu panggil saja Araya, kita bicarakan saja pernikahan kami sebelum orang-orang tahu Araya hamil di luar nikah." Bima menjawab dengan tenang yang mau tidak mau ibunya Inayah turuti, itu lah kenapa wanita itu mendirikan tubuhnya namun tidak mampu menghentikan tangisnya.
"Araya," panggil ibunya ke dalam kamarnya, ternyata putri pertamanya itu tengah berjongkok di kamarnya seolah sedang bersembunyi di sana.
"Iya, Bu."
"Bisa-bisanya kamu masih terlihat tenang setelah berhasil menghancurkan perasaan adikmu."
"Bukan begitu, Bu."
"Sudahlah, Ibu enggak mau mendengar apapun alasan kamu, sekarang cepat keluar dan temui calon suami kamu yang kamu dapatkan dari cara merebut milik adikmu itu."
"Ibu, kenapa Ibu bicaranya seperti itu sih?"
"Kenapa? Apa yang Ibu katakan benar kan?"
"Tapi itu jahat, Bu. Karena mau bagaimana pun aku ini anak Ibu, apa pantas Ibu mengatakan itu ke aku?"
"Lalu yang kamu lakukan ke adikmu itu memangnya pantas?" tanya ibunya yang sempat didiami oleh Araya, sampai pada akhirnya ia menjawabnya.
"Tapi semua sudah terjadi kan, Bu? Masih untung Bima mau bertanggung jawab, bagaimana kalau dia malah lari dan enggak mau menikahi ku?" jawab Araya yang justru disenyumi oleh ibunya.
"Benar apa yang Inayah bilang, kalian memang sangat cocok, baiklah Ibu akan merestui hubungan kalian, sekarang kita keluar untuk menemui Bima dan juga orang tuanya." Wanita itu menarik lengan putrinya dan membawanya ke ruang tamu untuk menemui calon suaminya tersebut.
***
Di sisi lainnya, Inayah menangis sejadi-jadinya di atas motor yang dikendarainya, ia bahkan tampak tak peduli dengan orang-orang sekitar yang memerhatikannya saking sakit hatinya ia sekarang. Di dalam pikirannya, ia masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi, mantan kekasihnya yang masih sangat dicintainya itu ternyata laki-laki yang sudah menghamili kakak kandungnya.
Sebanyak apapun Inayah berpikir, rasanya masih sulit untuk mengerti kenapa hal itu bisa terjadi, sedangkan ia tak pernah curiga saat mereka mengobrol ataupun bercanda bersama. Mungkin karena itu lah, ia tak pernah sadar sudah dibohongi oleh mereka yang menyembunyikan perselingkuhan di belakangnya.
Pantas saja Bima mudah sekali mengiyakan permintaannya untuk putus, karena ternyata laki-laki itu sudah memiliki cadangan yang tak lain dan tak bukan adalah kakaknya sendiri. Inayah tentu saja kecewa, ia merasa sangat dikhianati, namun yang lebih menyakitkannya lagi itu dilakukan oleh saudaranya sendiri.
Maksudnya, kenapa dari puluhan dan bahkan ratusan wanita di sekitarnya, laki-laki itu justru memilih kakaknya untuk menjadi selingkuhannya. Padahal dia bisa saja kan memilih wanita yang tak Inayah kenal, dengan begitu hatinya tidak akan sesakit sekarang. Karena tak hanya dikhianati satu orang saja, melainkan dikhianati dua orang yang sama-sama disayanginya.
"Inayah, kamu kenapa?" tanya Sella setelah membuka pintu kosnya dan mendapati Inayah sudah berada di depannya, dengan helm yang masih menempel di kepalanya dan juga air mata yang melunturkan make up di wajahnya nya. Namun bukannya menjawab, Inayah justru kian menangis dan memeluk Sella dengan erat.
"Kok tambah nangis sih? Ya sudah kamu masuk dulu saja ya, tenangkan diri kamu!" Sella menarik tubuh Inayah lalu menutup pintu kosnya, ia tentu tidak mau tangis temannya itu mengganggu para tetangganya.
Part 08
Setelah Inayah sedikit merasa tenang, ia menceritakan semuanya ke Sella yang sedari tadi setia menunggunya dan selalu berada di sampingnya. Meskipun dengan menangis, Inayah berusaha menyampaikan isi hatinya yang nyatanya masih terasa sakit sampai saat ini.
"Jadi kakak kamu sedang hamil? Dan yang menghamilinya itu Bima, mantan pacar kamu sendiri?" tanya Sella yang Inayah angguki namun lagi-lagi matanya kembali menangis.
"Aku enggak tahu sebenarnya aku ini salah apa, sampai mereka tega melakukan itu ke aku, La." Inayah menutupi wajahnya, ia benar-benar kesulitan menghentikan tangisnya acap kali mengingat mantan kekasihnya dan juga kakaknya.
"Kamu enggak salah, Nayah, mereka saja yang enggak tahu diri." Sella tentu saja merasa emosi, namun yang bisa ia lakukan hanya memeluk tubuh Inayah dengan sesekali mengusap punggungnya.
"Mereka orang-orang yang aku sayangi, La. Tapi mereka malah mengkhianati ku dan tertawa di belakang ku, mereka enggak memikirkan bagaimana perasaanku sama sekali."
"Sudah, jangan nangis lagi. Kalau kamu terus-terusan nangis seperti ini, aku juga ikutan nangis." Sella sampai menitikkan air matanya, seolah ia bisa merasakan apa yang sedang Inayah rasakan. Hampir tiga tahun berteman dengannya, ia tak pernah melihat Inayah sehancur sekarang, rasanya begitu menyesakkan melihat orang sebaik temannya itu disakiti, apalagi yang melakukannya adalah orang-orang yang disayanginya.
"Sekarang apa yang harus aku lakukan, La? Rasanya aku enggak akan sanggup membayangkan mereka bersama apalagi melihat mereka menikah." Inayah menghapus air matanya berusaha untuk menenangkan perasaannya, namun lagi-lagi air matanya kembali mengalir di wajahnya.
"Aku mengerti perasaan kamu, pasti sulit melihat mereka bahagia di atas penderitaan yang sedang kamu alami. Tapi bagaimana kalau kamu tinggal di kos saja? Di sini banyak kok kamar yang masih kosong, selain bisa menghindari mereka, kamu juga bisa menenangkan diri dan belajar melupakan Bima." Dengan mata memerah, Sella menatap tulus ke arah Inayah, ia benar-benar berharap yang terbaik untuk temannya itu.
"Tapi bagaimana dengan Ibuku, La? Ibuku pasti sendirian di rumah kalau kakakku dan Mas Bima tinggal di rumah orang tuanya."
"Jadi bagaimana? Kamu akan tetap tinggal di sana, yang kemungkinan besarnya mereka akan datang dan kamu akan melihat mereka bersama. Apa kamu yakin akan sanggup?" tanya Sella yang didiami oleh Inayah.
"Aku enggak tahu."
"Jangan terlalu dipaksakan kalau memang kamu enggak sanggup, Nay. Aku yakin ibu kamu pasti bisa mengerti perasaan kamu dan mengizinkan kamu ngekos, karena memang enggak mudah berada di posisi kamu sekarang."
"Aku akan mencobanya dulu, kalau memang aku enggak sanggup melihat kebersamaan mereka, aku akan cari kos di sini."
"Iya, baiklah. Tapi untuk malam ini, apa kamu mau menginap di sini untuk menenangkan diri?"
"Memangnya boleh?"
"Ya boleh lah, kamu bahkan boleh menginap di sini sampai kapan pun yang kamu kamu, Nay."
"Terima kasih ya, La. Cuma kamu yang selalu ada si saat aku terpuruk seperti ini." Inayah memeluk Sella kembali, yang wanita itu angguki.
"Iya, kamu yang sabar ya? Aku yakin kamu pasti bisa melupakan Bima dengan cepat."
"Iya."
***
Hampir semalaman Inayah menginap di tempat kos Sella, ia juga berangkat kerja dari sana dengan meminjam pakaian temannya tersebut. Meskipun begitu, Inayah belum merasa tak lebih baik, ada saat-saat di mana ia masih sering menangis terutama saat ia membayangkan wajah Bima dan juga kakaknya, Araya. Contohnya saja saat Inayah sedang mandi, menyisir rambutnya, atau bahkan saat sarapan.
Sella yang melihatnya hanya bisa memeluknya, namun tidak ada yang bisa ia lakukan saat Inayah menangis di tempat kerjanya, karena mereka berada di ruangan yang berbeda. Untungnya Inayah tipe wanita yang pintar, yang bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik meskipun dengan menangis.
Di jam pulang, Sella sempat meminta Inayah untuk menginap kembali ke tempat kosnya, namun Inayah menolak dengan alasan ibunya pasti sedang mengkhawatirkannya sekarang. Sella tentu tidak bisa berbuat banyak terlebih lagi sampai memaksanya, ia hanya berusaha mengerti meskipun sebenarnya ia kurang setuju jika Inayah kembali ke rumahnya di hari itu juga.
Selama di perjalanan pulang, Inayah terus saja menghembuskan nafas panjangnya beberapa kali dengan harapan bisa menenangkan perasaannya yang masih saja terasa sesak. Meskipun berulang kali ia mencobanya, namun hasilnya tetap saja sama, Inayah akan menangis sejadi-jadinya saat mengingat semua luka yang diterimanya.
Sesampainya ia di depan rumahnya, Inayah menghapus air matanya setelah membuka helm di kepalanya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah berniat pergi ke kamarnya tanpa mau menyapa siapa-siapa, namun sebelum ia sampai di sana, ibunya datang menghampirinya dan langsung memeluknya.
"Inayah, kamu sudah pulang? Ibu sangat mengkhawatirkan kamu." Ibunya memeluk erat Inayah yang berusaha menahan tangisnya.
"Iya, Bu. Maaf ya aku baru pulang, aku tadi malam menginap di kos Sella terus paginya langsung berangkat bekerja dari sana." Inayah melepaskan pelukan ibunya dan berusaha tersenyum ke arahnya.
"Terus bagaimana keadaan kamu sekarang? Kamu baik-baik saja kan?"
"Iya, Bu. Aku baik-baik saja kok," jawab Inayah dengan suara seraknya dan juga matanya yang kembali berkaca-kaca.
"Mata kamu sampai sembab, kamu pasti sering menangis." Ibunya membelai kedua pipi Inayah dengan mata yang sudah merembes airnya di wajah lusuhnya.
"Aku enggak apa-apa kok, Bu. Aku juga enggak nangis, aku tuh cuma kecapean." Inayah mengusap air mata ibunya, ia sangat berusaha menahan tangisnya namun rasanya tak bisa, Inayah kembali menangis di hadapan ibunya.
"Aku ke kamar dulu ya, Bu. Aku mau istirahat." Inayah buru-buru melangkahkan kakinya, yang sempat ditanyai oleh ibunya.
"Kamu sudah makan?"
"Sudah kok, Bu." Inayah menjawab bohong karena sejak tadi malam ia belum makan apa-apa, hanya air putih yang mengisi perutnya.
"Nanti malam makan lagi ya, Ibu akan masak makanan kesukaan kamu."
"Iya, Bu." Inayah menjawab seadanya sembari berjalan ke arah kamarnya, tanpa menyadari bagaimana kakaknya yang baru menyadari kedatangannya berniat menemuinya.
"Inayah sudah pulang ya, Bu?"
"Iya, tapi sebaiknya kamu jangan mengganggunya, dia masih membutuhkan waktu untuk menenangkan pikirannya."
"Tapi aku ingin meminta maaf, Bu."
"Meminta maaf untuk apa? Apa belum cukup kamu menyakitinya sampai kamu harus menemuinya hanya untuk meminta maaf? Kamu pikir Inayah akan merasa lebih baik meskipun kamu bersimpuh di kakinya?" jawab ibunya yang tentu saja membuat Araya kecewa.
"Ibu selalu saja seperti ini," jawabnya dengan nada marah, yang tentu saja tak membuat ibunya merasa bersalah.
"Seperti apa maksud kamu?"
"Ya selalu berlebihan saat membela Inayah apalagi kalau berhubungan dengan aku, Ibu pasti akan marah dan mengata-ngatai aku." Araya menunjuk ke arah dadanya, ia terlihat kecewa dengan sikap ibunya.
"Itu karena sikap kamu sendiri yang selalu keterlaluan dengan Inayah, kamu selalu mengorbankan dia demi keegoisan kamu sendiri." Ibunya menunjuk ke arah Araya yang tentu saja tak mengerti dengan ucapan ibunya kali ini.
"Maksud Ibu apa sih? Kapan aku mengorbankan Inayah untuk kepentingan aku sendiri? Dan sikapku mana yang keterlaluan ke dia?"
"Kamu pikir selama ini Inayah enggak pernah mengalah sama kamu? Dia itu selalu mementingkan kamu lebih dulu dari pada dirinya sendiri. Kamu tanya kapan dia mengorbankan dirinya untuk kamu? Apa kamu lupa waktu kamu hamil, kamu menyuruh siapa untuk memberitahu Ibu dan Ayah? Bahkan saat kamu sakit, siapa yang sering merawat kamu kalau buka Inayah? Dan saat kamu keguguran, siapa yang bolak-balik ke rumah sakit kalau bukan adik kamu padahal saat itu dia juga harus menjalani ujian." Ibunya menjawab dengan nada geram sembari menunjuk ke arah Araya yang terdiam.
"Dari dulu sikap kamu itu selalu keras kepala, apa yang kamu mau harus segera dituruti bahkan meskipun itu milik adik kamu sendiri. Dan pada akhirnya apa yang terjadi? Inayah mengalah lagi dan lagi," lanjut ibunya yang kali ini tak membuat Araya merasa terima.
"Itu karena Ibu selalu memberikan Inayah yang terbaik, yang lucu-lucu, dan juga yang paling bagus, sedangkan aku apa? Ibu selalu memberikan aku barang biasa, yang enggak ada istimewa-istimewanya."
"Itu karena Inayah menabung uang sendiri lalu memberikannya ke Ibu untuk membeli sesuatu yang dia mau, sedangkan kamu tahunya cuma minta saja, tanpa berpikir uang dari mana? Saat kamu melihat Inayah mendapatkan barang yang dia suka, kamu selalu meminta barang yang sama, dan saat Ibu cuma bisa membelikan kamu yang biasa, kamu marah dan meminta milik Inayah. Dan apa yang adik kamu lakukan? Dia mengalah lagi lalu memberikan yang dia punya untuk diganti dengan milik kamu."
"Siapa yang suruh? Inayah sendiri kan yang mau? Salah Ibu sendiri, kenapa Ibu enggak membelikan barang dengan kualitas yang sama." Araya tentu tidak ingin disalahkan, karena baginya ia lah yang korban atas pilih kasih orang tuanya.
"Percuma Ibu bicara sama kamu, enggak akan membuat kamu mengerti. Karena setiap Ibu mengatakan alasan yang sebenarnya, kamu selalu bilang kalau Ibu membela Inayah, padahal memang dia yang selalu mengalah."
"Memang kenyataannya seperti itu kan? Ibu itu lebih sayang ke Inayah dari pada aku, apalagi dia sarjana dan memiliki pekerjaan yang bagus dengan gaji yang besar, berbeda dengan aku yang cuma bisanya jualan online di rumah." Araya begitu keras kepala saat membela dirinya sendiri, yang tentu saja membuat ibunya merasa lelah dan tak ingin mengerti lagi perasaan putrinya.
"Terserah kamu mau bilang apa, karena apapun yang Ibu katakan, kamu akan selalu berpikir kalau Ibu lebih menyayangi Inayah kan? Tapi kenapa kamu harus merebut pacarnya? Orang yang sangat dicintainya? Kenapa, Raya? Kenapa?"
"KARENA KEHIDUPAN INAYAH TERLALU SEMPURNA," teriak Araya pada ibunya yang seketika terdiam tak percaya.
"Ayah dan Ibu itu lebih sayang ke Inayah, padahal dia lulusan sarjana, memiliki pekerjaan yang bagus, gajinya besar, dia cantik dan terawat, dia juga punya pacar yang baik dan menyayanginya. Sedangkan aku?" ujar Araya sembari menunjuk ke arah dadanya.
"Sedangkan aku apa, Bu? Aku harus berhenti kuliah karena hamil di luar nikah, meskipun aku menikah tapi aku keguguran, lalu aku diceraikan dan kadi janda dengan pekerjaan yang enggak menentu hasilnya. Kenapa nasib ku dengan Inayah berbanding terbalik, Bu? Kenapa?"
"Itu karena kesalahan kamu sendiri, andai saja kamu bisa jaga diri kamu sendiri, mungkin kamu enggak akan hamil dan bisa lulus kuliah. Sekarang kamu marah karena adik kamu lebih sukses dari kamu? Lalu kamu membalasnya dengan merebut pacarnya, begitu?"
"IYA, KENAPA? IBU ENGGAK TERIMA? IBU AKAN SELALU SEPERTI INI, SELALU MEMBELA INAYAH DAN INAYAH TERUS." Araya pergi ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang terdiam dan menangis di tempatnya.
Part 09
Di dalam kamarnya, Inayah kembali menitikkan air matanya saat mendengar pertengkaran ibu dengan kakaknya. Mereka terdengar begitu menggebu-gebu membahas tentang dirinya, yang posisinya juga merasa bingung harus bagaimana.
Awalnya Inayah merasa kasihan dengan ibunya dan berniat untuk melerai pertengkaran mereka terlebih lagi saat itu ibunya begitu membelanya, namun niatnya itu terhenti saat kakaknya mengeluarkan semua uneg-unegnya.
Inayah sempat merasa tak menyangka sikap baik kakaknya ternyata menyembunyikan rasa iri padanya, padahal Inayah tak pernah berpikir buruk tentangnya meskipun ia sering mengalah. Selama ini ia selalu mengiyakan permintaan kakaknya dan berusaha menuruti kemauannya, ia tak pernah sekalipun merasa kesal atau semacamnya, karena ia selalu ingat kata-kata ayahnya.
"Kak Araya itu satu-satunya saudara yang kamu punya, jadi jangan membencinya meskipun nanti dia membuat kamu kecewa ya? Karena Ayah dan Ibu enggak akan selalu ada untuk kalian, tapi kalian akan selalu ada untuk satu sama lain."
Inayah menghapus air matanya, namun tangisnya masih setia mengalir di wajahnya. Rasanya begitu menyesakkan, saat dipaksa harus mengalah tanpa boleh membenci, namun entah kenapa kakaknya itu masih tidak bisa mengerti bila yang dilakukannya juga sulit untuk dijalani.
Kakaknya selalu mengira bila Inayah beruntung dalam banyak hal, padahal ia juga berusaha untuk mencapainya, ia bahkan sampai rela dihina dan dicaci maki atasannya untuk meningkatkan kinerjanya dan juga mempertahankan pekerjaannya. Tidak ada yang mudah Inayah dapatkan termasuk beasiswa kuliah, lalu kenapa kakaknya bisa berpikir hidupnya begitu sempurna.
Sudahlah, dipikir sebanyak apapun Inayah juga tidak akan mendapatkan jawabannya, namun karena kondisinya juga sudah seperti ini, mau tak mau Inayah harus mengalah lagi demi kakaknya yang sedang hamil. Inayah bertekad akan mengikhlaskan dan melupakan Bima demi kakaknya, ia berharap mereka bisa hidup bahagia setelah menikah.
***
Saat libur kerja, Inayah justru merasa tak nyaman berada di rumah karena ia harus bertemu dan berhadapan langsung dengan kakaknya, di mana mereka masih terasa canggung untuk berbicara. Itu lah kenapa Inayah memutuskan untuk pergi ke kafe langganannya, ia ingin menghabiskan waktu di sana dengan memakan makanan favoritnya.
Sesampainya di sana, Inayah langsung memesan seblak komplit, makanan yang paling ia sukai dengan level kepedasan lima. Inayah tentu merasa tak sabar saat menunggunya, ia juga menghubungi Sella untuk segera datang karena ia sudah memesankan pesanannya.
Di tengah aktivitasnya menscroll layar ponselnya, Inayah sampai tidak menyadari ada laki-laki yang terkejut saat melihatnya. Siapa lagi kalau bukan Kevin, yang sampai saat ini belum mengetahui namanya, namun mampu menarik hatinya ke dalam pesonanya.
Diam-diam Kevin tersenyum saat memerhatikan wajah serius Inayah, yang terlihat fokus saat menatap layar ponselnya. Untungnya posisi Kevin saat ini berada di pojok dan sedikit jauh dari tempat duduk wanita itu, jadi ia tak perlu takut ketahuan atau semacamnya.
Kevin sendiri tengah menunggu temannya yang saat ini sedang berada di perjalanan, mereka akan membahas acara di cabang perusahaan milik papanya meskipun hari ini adalah hari libur kerja. Sebagai CEO di kantor pusat, Kevin tentu tidak memiliki banyak waktu untuk datang ke sana karena ia yakin temannya itu bisa mengatasinya. Namun untuk acara kali ini, temannya itu justru memaksanya datang ke kafe untuk membahas sesuatu hal, Kevin sempat merasa kesal pada awalnya namun sekarang ia justru merasa bahagia berada di sana, ia bahkan sampai berharap temannya itu tidak jadi datang agar tak mengganggu waktunya.
"Dia kenapa?" Kevin bergumam lirih saat memerhatikan Inayah yang tiba-tiba menghentikan aktivitasnya dengan ekspresi datar seolah sedang mengingat sesuatu hal, namun itu tak lama karena di detik berikutnya air matanya tumpah entah dengan alasan apa.
"Dia menangis kenapa?" Kevin tentu merasa bingung meskipun pada akhirnya Inayah menghapus air matanya dengan berusaha menenangkan perasaannya, namun tetap saja Kevin masih merasa khawatir dan juga penasaran di waktu yang sama.
"He ada apa? Apa yang kamu lihat?" Rendra, temannya Kevin yang baru datang tiba-tiba bertanya sembari menepuk pundaknya yang membuatnya terkejut dengan tingkahnya.
"Kamu buat aku kaget tahu enggak?"
"Ya maaf," jawab Rendra sembari mendudukkan tubuhnya di kursi yang berada di depan Kevin, temannya.
"Ada apa sih?" Rendra tentu saja merasa penasaran dan menoleh ke arah yang temannya itu tatap, dan objeknya jatuh pada sosok wanita yang ternyata sangat dikenalnya.
"Lah itu bukannya Inayah ya? Kebetulan banget bertemu di sini, tapi sepertinya dia sedang menunggu seseorang." Rendra kembali membalikkan tubuhnya dan menatap ke arah Kevin yang tiba-tiba memerhatikannya dengan tatapan tajam.
"Inayah? Nama wanita itu Inayah?"
"Iya, kenapa sih? Kamu mengenalnya?"
"Enggak. Kamu sendiri kenapa bisa tahu namanya?"
"Dia kan sekretaris ku di kantor, ya wajar lah kalau aku tahu namanya."
"Serius? Dia sekretaris kamu di cabang perusahaan papaku?"
"Iya, kenapa? Kamu suka sama dia? Lebih baik kamu cari yang lain saja." Rendra terdengar malas saat mengatakannya, yang tentu saja membuat Kevin merasa penasaran.
"Kenapa?"
"Ya karena dia sudah punya pacar lah, dan mungkin sebentar lagi mereka akan menikah," jawab Rendra dengan entengnya yang sempat ditatap kesal oleh Kevin tentunya.
"Kalau itu sih aku juga tahu."
"Dari mana kamu bisa tahu? Katanya enggak kenal." Rendra menjawab tak habis pikir sembari mengeluarkan berkas-berkas yang ingin ia tunjukkan pada Kevin.
"Aku memang enggak mengenalnya, tapi aku sempat melihat dia dengan seorang laki-laki, makanya aku jadi tahu kalau dia sudah punya pacar."
"Oh begitu? Ya sudah kita fokus ini saja sekarang, karena ada beberapa kendala yang aku enggak tahu harus menanganinya seperti apa."
"Ya mana kendalanya?"
"Yang ini."
"Oh ini sih gampang ...." Kevin mulai fokus dengan berkas perencanaan yang Rendra sodorkan, sedangkan di sisi lainnya Inayah kembali tersenyum dan bahkan tertawa lebar saat melihat Sella datang, tangannya tanpa sadar melambai ke arahnya seperti pada kebiasaannya.
"Siapa itu?" Kevin sampai menyatukan alisnya saat memerhatikan seorang wanita yang baru datang dan menghampiri Inayah, bukannya ia merasa penasaran hanya saja ia merasa pernah melihatnya.
"Ya dia sepupu kamu lah, Sella." Rendra yang baru menatap ke arah yang ditatap Kevin, kini kembali menatap ke arah temannya itu.
"Apa? Sella? Kenapa dia bisa bersama dengan wanita itu?"
"Ya karena apalagi? Kalau bukan karena mereka berteman dekat."
"Serius?"
"Iya, kenapa sih? Sella kan kerja di cabang yang aku pimpin begitupun dengan Inayah, ya wajar kan kalau mereka kenal dan berteman?" Rendra menatap tak habis pikir ke arah Kevin yang justru terlihat kaget dan bahkan takut.
"Sebaiknya kita pergi saja dari sini, jangan sampai Sella melihat ku apalagi menyapa ku." Kevin menutupi wajahnya dengan berkas yang temannya bawa.
"Memangnya kenapa? Wajar kan kalau Sella menyapa mu, dia kan sepupu kamu."
"Kamu enggak akan mengerti, lebih baik kita cepat-cepat pergi dari sini, kamu juga jangan sampai ketahuan!" Kevin mendirikan tubuhnya dengan berusaha menutupi wajahnya lalu pergi dari sana, meninggalkan Rendra yang menatapnya tak percaya meskipun pada akhirnya ia juga berusaha mengalihkan wajahnya agar Sella dan Inayah tak menyadari keberadaannya.
Di dalam mobil, Kevin menghembuskan nafas panjangnya setelah berhasil pergi dari sana, tak lama Rendra datang menyusulnya dan masuk ke dalam mobilnya. Namun ekspresi temannya itu tampak bingung dan juga ingin tahu, yang mau tak mau harus Kevin jelaskan kenapa ia sampai melakukan hal itu.
"Sebenarnya kamu ini kenapa sih?"
"Aku enggak apa-apa."
"Ya tapi kenapa tadi kamu menghindari Sella? Kalian kan sepupuan biasanya juga akrab dan dekat."
"Iya, aku tahu. Aku cuma enggak mau Sella menyapa ku dan pada akhirnya wanita itu menyadari keberadaan ku."
"Tunggu-tunggu! Dari tadi kamu bilang wanita itu maksudnya Inayah kan?" tanya Rendra yang Kevin angguki.
"Iya."
"Kamu tertarik dengan dia?"
"Enggak," elak Kevin cepat yang bisa dipastikan terdapat ekspresi tak percaya di wajah Rendra.
"Kamu pikir aku percaya? Jujur saja sama aku, kamu suka dengan Inayah kan? Aku enggak akan kasih tahu siapapun kok."
"Cuma sedikit tertarik."
"Lah terus kenapa kamu enggak mau dia tahu keberadaan kamu? Kalau sampai Sella menyapa mu dan kalian jadi saling mengenal satu sama lain, kamu takut tambah menyukainya?" tebak Rendra yang dicengiri oleh Kevin kali ini.
"Iya, kamu sendiri juga tahu kan dia sudah punya pacar dan tadi kamu sempat bilang ada kemungkinan dia juga akan menikah." Kevin menjawab jujur yang kali ditatap kasihan oleh Rendra, temannya itu memiliki trauma di masa lalu, ia jadi sedikit kesulitan menyukai orang baru, namun sepertinya Inayah benar-benar membuatnya tertarik.
"Kalau kamu menyukainya, kenapa kamu enggak merebutnya?"
"Dari pacarnya?'
"Iya."
"Kamu itu masih muda, jadi jangan gila dulu!" Kevin menjawab datar, yang tentu saja membuat Rendra tertawa.
"Tapi apa salahnya kalau kalian berteman? Enggak apa-apa kan?"
"Aku yang enggak mau, jadi akan lebih baik kalau dia enggak kenal dengan aku atau bahkan enggak tahu kalau aku hidup." Mendengar jawaban Kevin, yang Rendra lakukan hanya menghela nafas panjangnya, temannya itu memang paling tidak bisa mengambil konsekuensi yang kemungkinan besar tidak bisa dia tangani.
"Terserah kamu sih."
"Oh ya jangan kasih tahu mamaku ya kalau aku sempat tertarik dengan Inayah!" Kevin menatap ke arah Rendra setelah mengingat mamanya.
"Kenapa lagi?"
"Mamaku itu sekarang sedang mencari wanita yang akan dijodohkan dengan aku, kalau sampai mamaku tahu aku tertarik dengan Inayah, urusannya pasti akan semakin rumit, kamu sendiri juga tahu kan mamaku seperti apa?" Kevin berujar serius ke arah Rendra yang mengangguk setuju.
"Iya, aku mengerti."
"Sebenarnya ini juga alasanku kenapa aku enggak mau Sella melihatku tadi, kalau sampai dia sadar aku menyukai Inayah, dia bisa saja mengatakannya ke mamaku dan semuanya akan kacau."
"Kenapa juga sampai kacau?"
"Ya karena Inayah sudah punya pacar dan akan segera menikah, sedangkan mamaku enggak akan memedulikan itu apalagi kalau yang berhubungan dengan aku, dia pasti akan mencari cara supaya Inayah menjadi milikku."
"Ya bagus kan? Mama kamu cuma ingin membantu mu."
"Masalahnya aku cuma mau dicintai dengan tulus bukan karena terpaksa apalagi karena diancam."
"Mama kamu bukannya juga sudah berusaha mencarikan kamu pacar ya? Tapi kamu yang menolak mereka semua."
"Iya, tapi aku kurang tertarik. Kebanyakan dari mereka semua enggak tulus, mereka mengejar ku karena mereka tahu siapa aku."
"Oh begitu? Aku mengerti maksud mu." Rendra menepuk bahu Kevin, temannya itu memang tidak bisa bersama dengan orang-orang yang mendekatinya cuma karena ada maunya, selain karena itu bukan hal baik, temannya itu pernah mendapatkan trauma waktu dia masih kecil.
Part 10
Di rumahnya, Araya dibuat terkejut setelah Bima datang dan memberitahunya suatu masalah yang cukup besar. Sedangkan ibunya turut merasakan hal yang sama, meskipun begitu wanita itu terlihat tenang seolah tak mampu merasakan apa yang sedang putri pertamanya itu rasakan.
"Apa, Mas? Orang tua kamu enggak bisa membiayai pernikahan kita?" tanya Araya terdengar kecewa, sedangkan Bima hanya bisa menganggukkinya.
"Tapi kenapa? Orang tua kamu kan kaya, mereka punya toko sembako terbesar di sini loh."
"Orang tuaku sangat kecewa dengan hubungan kita, karena mereka berharap Inayah yang menjadi menantu tapi ternyata malah kamu." Bima menghela nafas panjangnya, yang tentu saja membuat Araya merasa geram mendengarnya.
"Tapi enggak harus seperti ini juga kan? Mau bagaimana pun kamu itu anaknya, masa biaya pernikahan saja mereka enggak bisa bantu?'
"Mereka benar-benar kecewa, jadi enggak ada yang bisa aku lakukan sekarang."
"Tapi kita harus menikah secepatnya, Mas, sebelum orang-orang tahu kalau aku hamil, mereka bisa saja berpikir buruk tentang aku yang mengulang kesalahan yang sama seperti dulu." Meskipun kenyataannya memang seperti itu, namun tetap saja Araya merasa malu jika orang-orang mengetahuinya.
"Iya, aku tahu. Aku cuma punya uang untuk kita menikah di KUA, bagaimana? Kamu mau?"
"Apa? Di KUA? Orang-orang malah akan berpikir yang enggak-enggak tentang kita, Mas. Setidaknya pernikahan kita harus ada dekorasi dan mengundang banyak orang, aku enggak mau tetangga sini menggunjing ku, titik." Araya menekankan keinginannya, ia tentu saja tidak mau terlihat buruk lagi setelah pernikahannya yang dulu digelar dengan sangat sederhana dan bahkan tertutup.
"Ya mau bagaimana lagi? Kita saja enggak ada dana untuk menggelarnya sesuai dengan keinginan kamu itu. Sudahlah kita menikah di KUA saja, enggak usah pedulikan ucapan orang-orang, yang penting kita sah." Bima tentu tak ingin mempersulit diri untuk menuruti keinginan calon istrinya itu, karena kondisinya saja sudah tak karuan sekarang.
Setelah pulang dari rumah Araya tadi malam, orang tuanya memarahinya habis-habisan, mereka sangat kecewa dengan apa yang sudah ia lakukan. Sebagai anak, Bima berusaha mengerti perasaan orang tuanya yang mungkin sudah mengharapkan Inayah menjadi menantunya namun putranya justru menghamili wanita lain yang mau tak mau harus segera dinikahi.
Bima masih mengingat betul bagaimana ibunya menangis histeris sesampainya di rumah, setelah ibunya berusaha menahan emosinya di dalam mobil selama di perjalanan pulang. Begitupun dengan ayahnya, meskipun laki-laki itu sampai tidak menangis, namun ekspresi wajahnya tidak bisa membohongi, hatinya sangat kecewa dan meluapkannya dengan memukul Bima sampai saat kalimat itu terlontar.
Flashback on.
"Kamu sudah mengecewakan Ayah dan Ibu, sekarang kami sudah enggak peduli lagi dengan apa yang akan kamu lakukan nanti," ujar ayahnya terdengar marah sedangkan ibunya hanya bisa menangis setelah kelelahan memukul Bima, hatinya juga masih terasa sakit dan yang ia lakukan saat itu hanya duduk di lantai.
"Maksud Ayah apa?" tanya Bima tak mengerti, ia bahkan terlihat tak peduli dengan rasa sakit di tubuhnya setelah mendapatkan pukulan dari ibunya.
"Kamu akan menikah dengan Araya kan? Cari biayanya sendiri karena Ayah dan Ibu enggak akan membantu sepeser pun." Mendengar ucapan ayahnya, Bima tentu saja merasa tidak terima.
"Tapi, Yah, aku kan anak tunggal di keluarga ini, masa Ayah dan Ibu enggak kasihan dengan aku?"
"Kenapa Ayah dan Ibu harus kasihan dengan kamu? Sedangkan kamu saja enggak pernah peduli dengan keluarga ini."
"Aku enggak peduli dengan keluarga ini? Aku setiap hari bantu Ayah dan Ibu di toko kok, apanya yang enggak peduli?"
"Kamu membantu juga Ayah gaji kan? Kamu mendapatkan upah dari apa yang kamu lakukan di toko, itu sama saja dengan bekerja, dan asal kamu tahu itu berbeda dengan membantu." Mendengar ucapan ayahnya, kali ini yang Bima lakukan hanya diam tanpa bisa menjawabnya karena apa yang dikatakan ayahnya juga benar.
"Kamu itu bodoh, Bima! Bisa-bisanya kamu menyelingkuhi Inayah dan berhubungan dengan Araya sampai dia hamil? Bagaimana Ibu bisa menghadapi Inayah dengan ibunya sekarang? Ibu benar-benar malu." Ibunya kembali berbicara dengan tangis yang masih setia mengalir di wajahnya, sedangkan yang Bima lakukan hanya diam mendengarkan.
"Sebenarnya apa sih yang kurang dari Inayah? Dia itu wanita baik-baik, pekerja keras, sukses, pendidikannya juga bagus, dia begitu tulus menerima kamu yang cuma bekerja di toko? Tapi kamu malah mengkhianatinya, Ibu enggak bisa membayangkan sesakit apa Inayah sekarang? Dia diselingkuhi dengan kakak kandungnya sendiri. Ibu sendiri bahkan sampai enggak menyangka kamu sejahat ini, sekarang nikahi saja wanita yang kamu hamili itu, kamu memang enggak pantas untuk Inayah." Ibunya kembali berbicara yang kian membuat Bima merasa menyesal, namun laki-laki itu tentu tak ingin disalahkan karena mau bagaimana pun ia juga memiliki alasan kenapa berselingkuh.
"Aku juga enggak akan selingkuh kalau Inayah punya waktu untuk ku, Bu. Dia itu terlalu sibuk cari uang, sampai aku enggak pernah dia pedulikan. Ya wajar kan kalau aku cari selingan? Aku cuma enggak mau kesepian." Setelah mengatakan itu pukulan keras tertuju ke arah pipinya dan menghantamnya hingga Bima terhuyung jatuh.
"APA KAMU BILANG? BERANI KAMU BICARA SEPERTI ITU KE IBUMU, YANG MENEMANI AYAH DARI ENGGAK PUNYA APA-APA SAMPAI SEKARANG?" sentak ayahnya penuh amarah.
"Bahkan saat Ayah sudah berada di posisi sekarang, enggak ada sedikit pun Ayah berpikir untuk menyelingkuhi ibumu? Tapi kamu? Kamu malah berani berselingkuh di saat kamu enggak punya apa-apa, untung saja kamu dengan Inayah belum menikah, Ayah sampai enggak bisa bayangkan bagaimana nasibnya kalau sampai punya suami seperti kamu." Ayahnya kembali berbicara yang kian membuat Bima geram dengan ucapannya.
"Sebenarnya anak Ibu dan Ayah itu siapa sih? Aku atau Inayah? Kenapa kalian terus-terusan membelanya?" keluh Bima kesal, ia terlihat marah saat mengatakannya lalu pergi masuk ke kamarnya yang sebenarnya ingin ayahnya hajar tubuhnya namun ditahan oleh ibunya.
"Sudahlah, Yah. Biarkan saja dia, akan sulit membuatnya mengerti kalau sedang emosi." Bima sempat mendengar ucapan ibunya, namun ia memilih untuk mengabaikannya tentu saja karena ia sedang kecewa dengan mereka, yang ingin lepas tanggung jawab sebagai orang tua dengan tidak membiayai pernikahannya.
Flashback off.
Bima menghela nafas panjangnya, jika mengingat pertengkarannya dengan orang tuanya tentu ia masih belum terima dengan keputusan mereka yang seenaknya. Bagaimana tidak? Ayah dan ibunya tidak mau membiayai pernikahannya padahal sudah menjadi tugas mereka sebagai orang tua, namun mereka seolah mengabaikannya hanya karena Inayah, padahal ia lah satu-satunya putra mereka, anak tunggal yang harusnya dibahagiakan bukan malah disengsarakan seperti sekarang.
"Sah itu enggak cukup, Mas. Kalau enggak bisa mengundang banyak orang, ya buat apa kita menikah?"
"Ya terus kita harus bagaimana? Aku sudah enggak punya banyak tabungan untuk menggelar pernikahan yang kamu mau, kamu sendiri apa punya tabungan?" tanya Bima yang langsung dijawab oleh Araya.
"Ya enggak lah, apalagi aku cuma penjual online di rumah?"
"Ya sudah, enggak usah memaksakan diri lah." Mendengar jawaban Bima yang terdengar tak peduli, membuat Araya merasa kesal dan geram lalu menoleh ke arah ibunya yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.
"Ibu punya tabungan kan untuk biaya pernikahan aku dengan Mas Bima? Ibu kan orang tuaku, ya harusnya Ibu yang membiayai pernikahanku."
"Ibu mana ada uang sebanyak itu? Apalagi sampai menyewa dekorasi yang itu artinya kamu harus menyewa baju pengantin dan make up juga."
"Ya masa Ibu enggak ada tabungan sama sekali? Selama ini kan Inayah sering kasih uang ke Ibu."
"Ya memang, tapi Ibu enggak pernah minta banyak karena yang penting itu ada uang untuk kita makan dan kebutuhan rumah, kasihan Inayah kalau hasil kerja kerasnya dihabiskan dengan percuma."
"Percuma bagaimana sih, Bu? Ya setidaknya Ibu menabung lah dari uang yang Inayah kasih, jangan mintanya pas-pasan terus."
"Ibu enggak berani minta lebih, Ibu cuma kasihan dengan Inayah, dia juga pasti ingin menikmati hidupnya tanpa harus menanggung beban keluarga."
"Ibu itu bukan beban keluarga untuk Inayah, jadi dia pasti akan mau menuruti keinginan Ibu berapapun yang Ibu mau."
"Tapi, Raya ...."
"Hust, pokoknya aku enggak mau tahu, Ibu itu orang tua aku, Ibu bertanggung jawab penuh untuk membiayai pernikahan aku. Apalagi orang tua Mas Bima sekarang sudah lepas tangan, jadi cuma Ibu yang harus mengatasi semuanya terutama biayanya."
"Araya, kamu enggak bisa bersikap seenaknya seperti ini sampai memaksa Ibu untuk menanggung biaya pernikahan kamu? Dari mana Ibu dapat uang sebanyak itu?" Ibunya tentu saja merasa kesal, namun matanya justru menangis saking sakitnya ia melihat putrinya yang begitu tega padanya.
"Ya aku enggak mau tahu, Bu. Inayah kan kerja, uangnya pasti banyak, ya Ibu pinjam atau minta lah ke dia. Masa gitu saja enggak bisa sih, Bu?" Araya menatap serius ke arah ibunya yang terdiam dan menghela nafas, tentu saja wanita itu tidak mau menuruti keinginan putrinya itu sampai pada akhirnya Inayah datang dan melihat tangisnya.
"Ada apa ini, Bu?" tanya Inayah sembari menghampiri ibunya, sedangkan Araya dan Bima hanya diam memerhatikan, namun ekspresi kakaknya tampak berbeda seolah tak suka pada Inayah.
"Enggak ada apa-apa, kamu sudah makan?" tanya Ibunya sembari mendirikan tubuhnya setelah menghapus air matanya.
"Enggak ada apa-apa tapi kok Ibu menangis sih? Ini pasti gara-gara Kakak kan?"
"Kok kamu jadi bawa-bawa aku sih, Dek? Ibu saja yang gampang menangis." Araya menyahut tak terima yang tentu saja membuat ibunya merasa lelah melihat pertengkaran kedua putrinya.
"Sudahlah, Inayah. Ibu enggak apa-apa, kamu sudah makan belum?" tanya ibunya lagi yang mau tak mau Inayah jawab kali ini.
"Sudah, Bu."
"Ya sudah kamu langsung ke kamar ya, Ibu juga mau istirahat." Wanita itu menggandeng tangan Inayah untuk membawanya pergi dari rumah tamu, sebagai seorang ibu, wanita itu tentu saja merasa takut kedua putrinya akan bertengkar kalau tidak segera dipisahkan.
"Sebenarnya ada apa sih, Bu? Kenapa tadi Ibu menangis?" Inayah bertanya pada ibunya setelah ia mengajak ibunya masuk ke dalam kamarnya dan menyuruhnya untuk duduk di tepi ranjang.
"Ibu cuma sedang kecewa saja dengan kakak kamu, makanya Ibu menangis tadi. Tapi sekarang Ibu sudah enggak apa-apa kok, kamu istirahat ya? Ibu mau ke kamar dulu." Wanita itu berniat mendirikan tubuhnya namun Inayah langsung menahannya.
"Tunggu, Bu!'
"Kenapa lagi? Ibu sedang pusing sekarang."
"Pusing? Ibu sakit?"
"Enggak. Ibu cuma bingung saja dari mana Ibu mendapatkan uang untuk pernikahan kakak kamu, sedangkan selama ini Ibu selalu merepotkan kamu, Ibu enggak pernah bekerja apalagi menghasilkan uang untuk membantu kamu." Wanita itu berusaha tersenyum ke arah Inayah, ia ingin terlihat baik-baik saja di depannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
