[GRATIS] ISTRI YANG TAK INGIN KUSENTUH TERNYATA [PART 11-PART 20

6
0
Deskripsi

Menjadi yatim piatu di umurnya yang baru dua tahun, mengharuskan Aisyah tinggal di sebuah panti asuhan. Sampai pada akhirnya di usianya yang menginjak tujuh belas tahun, ia diberitahu semua kebenarannya tentang orang tuanya. Aisyah tentu terkejut mendengarnya, namun yang lebih mengejutkannya lagi adalah alasan kenapa selama ini ia tidak boleh diadopsi seperti teman-temannya yang lain.

Aiman adalah laki-laki soleh yang jatuh cinta dengan wanita bercadar, namun sayangnya perasaannya harus kandas bahkan...

Part 11

Keesokannya, Herlambang berniat mengajak Aiman untuk datang ke tempat Aisyah tinggal, ia ingin putranya itu meminta maaf secara langsung pada calon istrinya tersebut. Karena tidak bisa dipungkiri, sikapnya cukup keterlaluan tadi malam terutama saat membentak Aisyah dan berlalu pergi begitu saja.

Jujur, sebagai orang tua, Herlambang merasa sangat kecewa dengan sikap Aiman yang tak pernah ia duga sebelumnya, padahal sebelum ini ia berpikir putranya itu akan menyukai Aisyah karena kecantikan wajahnya. Begitupun sebaliknya, gadis itu juga akan menyukai putranya di hari pertama mereka berjumpa. Namun sayangnya, semua justru terjadi tidak seperti yang ada bayangannya.

Kenyataannya cukup sulit untuk menyatukan keduanya, meskipun pada akhirnya Aiman mau mengalah dan menerima perjodohannya karena ancamannya, namun tetap saja Herlambang merasa tidak mudah melakukannya. Dan sekarang giliran ia menemui Aisyah untuk membicarakan perjodohannya, ia sempat berniat mengajak Aiman namun ia urungkan setelah mengingat sesuatu hal.

Flashback on.

"Aisyah akan diadopsi oleh keluarga lain, Pak. Banyak pasangan suami istri yang menginginkannya menjadi putri mereka, saya sempat bingung memilihnya, tapi sekarang saya sudah menentukannya. Aisyah akan diadopsi oleh keluarga yang cukup terpandang di kota ini, yang saat ini tengah menjabat menjadi walikota kita, Pak." Wanita pengurus panti itu tersenyum saat memberitahu kabar baik itu, namun tidak untuk Herlambang yang mendengarnya.

"Aisyah tidak boleh diadopsi orang lain, Bu. Tolong batalkan saja, saya tidak akan menyetujuinya."

"Apa, Pak? Dibatalkan? Apa Anda tidak ingin Aisyah diadopsi? Tapi kenapa, Pak? Aisyah itu masih sangat kecil, dia butuh orang tua lengkap untuk memenuhi semua kebutuhan dan juga kasih sayangnya."

"Saya yang akan memenuhi semua kebutuhannya dan bahkan saya juga yang akan membayar semua pendidikannya."

"Lalu bagaimana dengan kasih sayang yang harus Aisyah dapatkan, Pak? Apa Anda juga bisa memenuhinya?"

"Saya juga akan berusaha dekat dengan Aisyah, tapi Anda sendiri tahu kan, jarak rumah saya dengan panti asuhan juga lumayan jauh, mustahil kalau saya kesini setiap hari."

"Jadi maksud Anda bagaimana? Apa Anda ingin Aisyah tinggal di panti asuhan ini selamanya? Saya bukannya keberatan, tapi akan lebih baik jika anak-anak seperti Aisyah itu memiliki keluarga lengkap, Pak. Terlebih lagi banyak yang menginginkannya, Aisyah pasti akan diperlakukan lebih baik dari pada tetap di sini."

"Saya tau itu, tapi saya tetap tidak bisa memperbolehkan Aisyah diadopsi oleh keluarga lain."

"Pak, diadopsi adalah pilihan yang paling baik untuk Aisyah dari pada tetap tinggal di sini, karena menjadi bagian dari keluarga panti asuhan itu enggak akan mudah, pasti akan ada yang merendahkannya suatu saat nanti, apa Anda yakin dengan keputusan Anda sendiri?" tanya wanita itu yang sempat Herlambang angguki dengan penuh keraguan.

"Iya."

"Baiklah, tapi apa saya boleh tahu alasannya?"

"Saya ingin menjodohkan Aisyah dengan putra pertama saya, mungkin saya tidak bisa mengadopsinya dan mengangkatnya menjadi anak, tapi saya ingin dia menjadi menantu saya saat sudah dewasa. Jika Aisyah diadopsi, akan sulit untuk saya melanjutkan perjodohan mereka, karena mau bagaimanapun saya yang harus menjaga dan melindunginya seperti keinginan orang tuanya sebelum mereka meninggal."

"Saya bisa mengerti, Pak. Tapi apa saya boleh mengajukan permintaan?"

"Tentu saja boleh, Bu. Apa yang ingin Anda minta?"

"Saya cuma ingin Aisyah diperlakukan dengan baik oleh siapapun yang ditemuinya, andai suatu saat nanti dia menjadi menantu Anda, akan lebih baik jika tidak ada yang tahu asal-usulnya. Saya sudah puluhan tahun merawat anak-anak, lebih dari setengah umur saya, saya dedikasikan untuk mereka, dari situ lah banyak pengalaman tak mengenakan tentang bagaimana mereka diperlakukan oleh masyarakat hanya karena mereka berasal dari panti asuhan. Mungkin hanya segelintir orang yang melakukannya, tapi tetap saja hal-hal kecil itu berhasil mempengaruhi kehidupan mereka dan saya tidak mau itu juga terjadi pada Aisyah setelah dia menikah."

"Saya mengerti maksud Anda, kita bisa membicarakan ini lagi nanti setelah dia sudah dewasa. Karena yang penting sekarang, Anda merawatnya dengan baik dan jangan biarkan dia diadopsi oleh keluarga lain."

"Iya, saya mengerti."

Flashback off.

Herlambang menghembuskan nafas panjangnya, ia baru ingat kejadian belasan tahun yang lalu saat ibu panti yang merawat Aisyah memberitahunya kabar adopsi tersebut. Dan setelah kejadian itu, mereka kembali membicarakan bagaimana baiknya agar asal-usul Aisyah tidak diketahui banyak orang termasuk calon suaminya. Wanita itu berniat tidak datang di hari pernikahan Aisyah begitupun dengan anak-anak panti lainnya, sedangkan Aisyah akan menginap di rumahnya dan dipersiapkan juga dari sana.

Aiman sendiri mungkin sudah tahu bila Aisyah yatim piatu, namun putranya itu tidak tahu jika calon istrinya berasal dari panti asuhan. Padahal sebelum ini Herlambang sendiri yakin putranya itu akan menerima Aisyah apa adanya dan tak mempermasalahkan asal-usulnya, namun karena kejadian tadi malam, Herlambang jadi ragu mengatakan yang sebelumnya. Itu lah kenapa ia memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat untuk membuka semuanya, mungkin saat mereka sudah bisa saling menerima.

"Hari ini Ayah akan menemui Aisyah, Ayah akan membicarakan pernikahan kalian yang akan segera dilangsungkan. Ayah harap, kamu bisa memperlakukan Aisyah dengan lebih baik lagi terutama saat dia tinggal di rumah ini." Herlambang berujar serius yang ditatap oleh semua keluarganya, terutama Ana, putri terakhirnya yang masih duduk di bangku kuliah.

"Iya, Yah." Aiman menjawab seadanya, ia tak memiliki niat lagi untuk membantah, demi bisa menjaga keutuhan rumah tangga orang tuanya.

"Kalau begitu Ayah pergi dulu, assalamualaikum." Herlambang berpamitan setelah menghabiskan makanannya.

"Waalaikum salam." Mereka bertiga menjawab bersamaan, namun ekspresi lain justru Ana tunjukkan.

"Maksud Ayah tadi apa, Bunda? Apa Kak Aiman akan menikah? Dengan siapa? Apa dengan wanita yang bernama Aisyah-Aisyah itu?" tanyanya terdengar penasaran karena ia belum mendengar apapun tentang kabar tersebut.

"Iya."

"Wah kok aku baru tau sih kalau Kak Aiman lagi dekat dengan perempuan dan bahkan akan menikah? Kenapa enggak ada yang kasih tau aku sih?" keluhnya kesal, yang disenyumi oleh bundanya, namun tidak dengan Aiman yang tampak tak berselera makan.

"Kamu kan sibuk kuliah terus, jadi mana sempat kami memberitahu kamu? Sudahlah, lebih baik sekarang kamu cepat sarapan terus langsung ke kampus, sudah jam berapa ini? Nanti telat loh."

"Iya-iya, Bunda." Setelah Ana pergi, bundanya menatap ke arah Aiman yang masih makan makanannya dengan ekspresi enggan, sebagai orang tuanya, tentu saja wanita itu tahu bila putranya saat ini sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu lagi memikirkan pernikahan kamu dengan wanita itu ya?" tanyanya yang ditatap langsung oleh Aiman, namun ia justru menggeleng pelan.

"Enggak kok, Bunda."

"Alah jangan bohong kamu! Bunda tau, kamu pasti merasa terbebani dengan perjodohan ini kan?" ujarnya lagi yang sebenarnya ada benarnya untuk Aiman rasakan, namun bukan karena itu yang ia pikirkan sekarang, karena yang berada di otaknya saat ini hanya Icha, wanita bercadar yang masih mengisi relung hatinya.

"Sudahlah, Bunda. Jangan membahasnya sekarang, aku harus pergi ke kantor dulu, assalamualaikum." Aiman mendirikan tubuhnya setelah meminum air putih miliknya, lalu pergi dari sana dan bersalaman pada bundanya.

"Iya, waalaikum salam." Wanita itu menatap sedih pada putranya, merasa kasihan saja padanya yang harus menikah dengan wanita yang tidak dicintainya.

"Kasihan Aiman harus menikah dengan wanita itu, pokoknya aku harus buat dia enggak betah tinggal di sini terus meminta cerai sendiri ke anakku." Wanita itu berujar serius, merasa yakin dengan tekadnya saat ini.

***

Di panti asuhan, Herlambang menemui Aisyah yang terlihat tidak baik-baik saja namun berusaha tenang meskipun sebelumnya sulit untuk dilakukan. Pria paru baya itu tentu bisa menyadarinya, itu lah kenapa ia berada di sini sekarang, ia ingin meminta maaf secara langsung padanya.

"Aisyah, Om minta maaf ya atas kejadian tadi malam. Om enggak menyangka acaranya jadi kacau karena sikap Aiman yang kasar ke kamu." Herlambang tertunduk penuh penyesalan, yang langsung digelengi oleh Aisyah.

"Om enggak perlu minta maaf, saya enggak apa-apa kok. Saya malah mengkhawatirkan hubungan Om dengan Mas Aiman, saya harap tetap baik-baik saja."

"Kamu tenang saja, hubungan Om dengan Aiman tetap baik-baik saja, kami memang sempat berselisih sebentar, tapi sekarang sudah enggak."

"Begitu ya? Syukurlah kalau begitu, Om."

"Selain ingin meminta maaf ke kamu, Om juga ingin mengatakan kalau rencana pernikahan kalian akan tetap dilaksanakan dua Minggu lagi." Pria itu tersenyum namun justru membuat Aisyah terkejut, karena ia pikir perjodohan itu akan dibatalkan, namun ternyata tetap dilakukan.

"Iya, Om. Saya mengerti," jawab Aisyah terpaksa, entah kenapa ia merasa tak bahagia, padahal sudah sangat lama ia membayangkan pernikahannya tiba.

"Kamu enggak apa-apa kan?"

"Enggak apa-apa kok, Om."

"Baguslah, kalau begitu. Oh ya, Om juga harus kasih tau ke kamu kalau tiga hari sebelum hari pernikahan kalian digelar, akan ada sopir yang datang untuk menjemput kamu."

"Tiga hari sebelumnya? Bukannya tadi malam Om bilang satu Minggu sebelumnya ya untuk saya menginap di sana? Apa Mas Aiman yang ingin saya datang di tiga hari sebelum pernikahan kami?" tanya Aisyah hati-hati, ia tanya seperti itu karena ia pikir laki-laki itu memang sangat membencinya saat ini.

"Enggak kok, bukan Aiman yang memintanya, dia sih enggak mempermasalahkan apapun tentang rencana pernikahan kalian. Om yang ingin kamu datang di waktu itu, karena Om pikir kamu pasti membutuhkan waktu untuk meninggalkan tempat ini dan juga berpamitan secara baik-baik pada adik-adik kamu supaya mereka bisa mengerti setelah kamu pergi."

"Iya, Om. Terima kasih atas pengertiannya, saya memang butuh waktu untuk pergi dari panti asuhan ini, apalagi Ibu dan adik-adik saya enggak bisa datang di hari pernikahan saya."

"Kamu jangan bersedih ya, meskipun mereka enggak bisa datang di hari pernikahan kamu, tapi kamu masih bisa datang ke sini kapanpun yang kamu mau asalkan jangan memberitahu siapapun kalau kamu berasal dari sini, itu semua permintaan ibu kamu, beliau ingin kamu membuka lembaran baru tanpa perlu mengatakan tentang masa lalu kamu."

"Saya tahu itu kok, Om." Aisyah menjawab seadanya, ia sendiri sudah berusaha menerimanya namun entah kenapa ia merasa terbebani dengan itu semua.

"Kamu tenang saja, nanti kalau kamu dengan Aiman sudah saling mencintai satu sama lain, kamu bisa memberitahunya tentang panti asuhan ini, tapi nanti ya setelah semua berjalan dengan baik." Mendengar ucapan Herlambang, Aisyah seketika tersenyum semringah karena itu artinya ia tidak perlu terus-terusan membohongi calon suaminya tersebut.

"Iya, Om."

***

"Apa? Om Herlambang sampai tega mengancam akan menceraikan Bunda kamu?" tanya Bima tak percaya sedangkan mereka saat ini sedang berada di ruangan Aiman.

"Iya, dan ayahku melakukannya cuma supaya dia bisa menjaga wanita itu, dia bahkan akan membiarkan aku dan Ahsan ikut dengan Bundaku, sedangkan Ayahku sendiri berniat pergi bersama dengan Ana dan juga wanita yang bernama Aisyah itu." Aiman tampak geram, perasaan kecewa yang menyelimutinya karena gadis yang disukainya akan menikah kini semakin dibuat marah setelah tahu ayahnya begitu membela Aisyah ketimbang keluarganya.

"Wah, parah sih. Tapi ngomong-ngomong, kenapa ya Ayah kamu sampai berbuat senekat itu? Jangan-jangan ada sesuatu yang ayah kamu sembunyikan, Man."

"Aku enggak tau, tapi kalau dipikir lagi sikap ayahku memang aneh sih. Masa hanya karena Aisyah itu anak dari sahabatnya yang sudah meninggal, dia jadi begitu membelanya sampai tega mengancam ku segala."

"Nah iya kan? Sikap ayah kamu itu memang aneh, terus sekarang bagaimana? Apa kamu jadi menikahi wanita itu?" tanya Bima penasaran.

"Iya jadi lah, bahkan tanggal pernikahannya tetap sama dan enggak berubah." Aiman menjawab malas, entah kenapa kalau sudah membicarakan Aisyah, hatinya merasa marah seolah akan terbakar begitu saja.

"Aku jadi penasaran sebaik dan secantik apa sih Aisyah? Kok kayanya Ayah kamu ngebet banget mau menjodohkannya sama kamu."

"Kamu akan tau juga nantinya, jadi untuk apa merasa penasaran dengan wanita seperti itu? Lebih baik sekarang kamu kembali lagi ke ruangan kamu sendiri, karena aku juga masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan. Cepat pergi sana!" Aiman memeriksa beberapa filenya, sedangkan Bima tampak kesal meskipun pada akhirnya ia pasrah juga.

"Iya-iya, sabar."

Part 12

Hari ini tibalah saatnya Aisyah mengemasi semua barang-barangnya, yang akan ia bawa ke rumah calon suaminya. Sebenarnya cukup banyak barang miliknya termasuk baju-bajunya yang berada di dalam lemarinya, namun ia hanya mengambil beberapa yang mungkin akan cukup untuk satu koper saja. Ibu pantinya yang membantunya tentu saja menatap heran ke arah Aisyah, ia berniat bertanya, namun sepertinya ada yang tengah menggangu pikirannya.

"Aisyah," panggil wanita itu hati-hati yang ditatap tanya oleh si pemilik nama.

"Ya, Bu. Kenapa?"

"Kamu enggak apa-apa kan? Kok kayanya ada yang lagi kamu pikirkan?"

"Enggak kok, Bu. Aku cuma enggak rela aja pergi dari kamar ini, kamar yang penuh dengan kenangan, karena di sini lah kamar pertamaku setelah hampir enam belas tahun tidur dengan anak-anak yang lain, dan di sini juga aku memulai bisnis online ku." Aisyah menatap sekelilingnya sembari tersenyum hambar, dengan mata yang menyiratkan kesedihan.

"Kamar ini akan selalu menjadi milik kamu kok, Ibu enggak akan membiarkan siapapun menempatinya. Jadi kamu tenang saja ya?"

"Apa itu artinya aku boleh kesini lagi, Bu?" tanya Aisyah yang berhasil membuat ibu pantinya merasa sedih mendengarnya.

"Tentu saja boleh, apa sejak tadi kamu berpikir kalau kamu enggak boleh kembali ke panti asuhan ini?"

"Iya," jawab Aisyah sembari tersenyum sendu.

"Ibu hanya menyuruh kamu menyembunyikan asal-usul kamu yang berasal dari panti asuhan, bukan enggak memperbolehkan kamu ke sini lagi, Aisyah. Kamu bahkan bisa datang kapanpun yang kamu mau, tapi mungkin kamu harus berpura-pura menjadi pengunjung, itupun kalau kamu datang bersama suami kamu ya. Kan kamu tau sendiri, calon suami kamu itu suka sekali bersedekah ke anak yatim." Wanita itu tersenyum yang turut disenyumi oleh Aisyah.

"Apa nanti aku juga harus berpura-pura enggak kenal sama Ibu dan anak-anak?"

"Iya, tapi kalau kamu datang ke sininya sendirian sih enggak usah." Wanita itu menjawab bersemangat yang langsung dipeluk oleh Aisyah.

"Aku pasti bakal kangen terus sama Ibu dan anak-anak." Aisyah terisak lirih, tanpa sadar air matanya tumpah di wajahnya.

"Enggak apa-apa, cepat ataupun lambat kamu kan juga harus menikah, punya keluarga sendiri, punya anak-anak sendiri, dan menjalani kehidupan sesuai dengan keinginan kamu sendiri." Wanita itu melepaskan pelukannya lalu mengusap air mata Aisyah dengan pelan.

"Sudah, jangan nangis! Lebih baik sekarang kita temui anak-anak, kamu juga harus berpamitan sama mereka ya?" ujarnya lagi yang hanya Aisyah angguki.

"Apa cuma ini yang kamu bawa?" tanyanya memastikan.

"Iya, enggak apa-apa kan, Bu? Kalau barang-barangku masih banyak di sini?"

"Ya enggak apa-apa lah, ini kan memang kamar kamu, jadi kamu bisa menyimpan barang apapun di sini. Ayo keluar! Anak-anak pasti sedang menunggu." Wanita itu merengkuh tangan Aisyah, lalu menggandengnya untuk ikut berjalan bersamanya.

"Tunggu sebentar, Bu." Aisyah mengambil sebuah kotak yang berisikan foto-fotonya bersama dengan kedua orang tuanya, di mana di sana juga terdapat barang-barang peninggalannya seperti kalung, gelang, jepitan rambutnya, dan juga bonekanya.

"Apa kamu akan membawanya?"

"Iya, Bu. Karena kan cuma ini yang aku punya dari orang tuaku, aku enggak mungkin meninggalkannya di sini."

"Ya sudah, ayo keluar sekarang!" ajaknya lalu keduanya berjalan keluar, menemui anak-anak yang banyak menangis di depan.

"Kalian kenapa? Kok banyak yang nangis?" tanya Aisyah khawatir sembari menghampiri mereka semua.

"Karena Kak Icha mau pergi meninggalkan kita semua di sini, Kak Icha kok jahat sih?" ujar salah satu dari mereka, yang usianya masih kecil, mungkin masih belum mengerti kenapa Aisyah harus pergi.

"Anak-anak, Kak Icha-nya kalian ini akan menikah dan tinggal di rumah suaminya, di sana Kak Icha akan hidup bahagia. Apa kalian enggak mau lihat Kak Icha bahagia?" tanya ibu panti mereka dengan nada tegas, ia tentu tak ingin ada yang memberatkan Aisyah untuk pergi dari sini.

"Mau, Bu." Mereka menjawab bersamaan.

"Ya sudah kalau begitu jangan ada yang nangis! Kak Icha juga pasti akan sering datang ke sini kok, jadi jangan khawatir."

"Beneran, Kak?"

"Iya, buktinya Kakak cuma bawa baju sedikit, kalian semua pasti pada tau kan kalau baju Kakak banyak di lemari, tapi Kakak enggak membawa semuanya, itu artinya Kakak akan datang lagi untuk menjenguk kalian." Aisyah menjawab bersemangat yang disoraki gembira oleh mereka semua.

"Nah, sekarang kalian semua salim ke Kak Icha terus dipeluk juga ya?" ujar ibu panti mereka yang langsung dilakukan oleh mereka, Aisyah tentu merasa bahagia saat menyalami dan memeluk mereka satu persatu tanpa menyadari bagaimana ibu pantinya menahan tangisnya di belakang.

"Semuanya sudah kan, sekarang Kak Aisyah pamit dulu ya, jangan ada yang nakal, kasihan Ibu." Aisyah melambaikan tangannya ke mereka semua termasuk ibu pantinya, lalu masuk ke dalam mobil yang sedari tadi sudah menunggunya.

"Kakak pergi ya, assalamualaikum." Aisyah memberi salam saat berada di dalam mobil dengan kacanya yang sudah ia turunkan.

"Waalaikum salam, Kak." Mereka menjawab serempak sembari melambaikan tangan sampai mobil yang Aisyah tumpangi tak terlihat lagi, dan si saat itu juga lah ibu pantinya berjongkok dengan kepala tertunduk menutupi wajahnya.

"Ibu. Ibu kenapa?" tanya mereka terdengar khawatir, namun yang terjadi mereka justru mendengar ibu pantinya menangis, air mata yang beliau tahan nyatanya tumpah tanpa bisa ia tutupi lagi di depan anak-anaknya.

"Loh kok Ibu nangis sih? Bukannya tadi Ibu yang enggak memperbolehkan kita nangis?" ujar salah satu dari mereka, namun tak membuat wanita itu bergeming dan tetap berada di dalam tangisnya.

"Ibu pasti merasa berat ditinggal Kak Icha, ya enggak apa-apa kalau Ibu mau nangis." Seorang anak yang usianya sudah cukup dewasa berujar ke arah adik-adik yang mengangguk-angguk paham.

"Kasihan Ibu," respon anak yang lainnya sembari memeluk tubuh ibu pantinya, diikuti juga teman-temannya yang lainnya.

"Sabar ya, Bu." Mereka semua berusaha menghibur yang tentu saja membuat ibu pantinya merasa terharu, ia mendongakkan kepalanya lalu menatap mereka semuanya dengan tersenyum hangat. Sesekali ia juga menghapus air matanya, di dalam hati ia harus kuat merelakan Aisyah menjemput kebahagiaannya.

"Ibu harap kamu akan selalu bahagia di sana, Aisyah." Wanita itu berdoa dalam hati, doa tulus yang benar-benar ia panjatkan untuk anak angkat kesayangannya.

***

Setelah sampai di rumah Herlambang, Aisyah menurunkan tubuhnya dari mobil yang ditumpanginya, di sana ia melihat bangunan itu dengan tatapan kekaguman saking besar dan mewahnya. Sebelum ini ia tidak pernah sekalipun masuk ke rumah yang seperti itu, jadi tak akan mengherankan jika ia sempat tertegun di sana cukup lama, sampai pada akhirnya sopir membantunya mengambilkan kopernya.

"Non Aisyah, ini kopernya ya."

"Iya, Pak. Terima kasih."

"Iya, Non."

"Pak, ini beneran rumahnya Pak Herlambang?" tanyanya terdengar memastikan yang langsung diangguki oleh sopir tersebut.

"Benar kok, Non. Non masuk aja, Pak Herlambang sudah menunggu di dalam."

"Oh begitu ya, Pak. Sekali lagi terima kasih ya, Pak." Aisyah menjawab sopan yang kali ini sopir itu angguki. Sedangkan Aisyah sendiri mulai melangkah ke arah sana, lalu memencet bel setelah sampai di depan pintunya.

"Assalamualaikum, Om." Aisyah memberi salam pada laki-laki yang baru saja membukakan pintu untuknya.

"Waalaikum salam. Alhamdulillah, kamu sudah sampai Aisyah," syukurnya sembari tersenyum, yang diangguki sopan oleh Aisyah.

"Iya, Om."

"Ya sudah ayo masuk, Om akan perkenalkan kamu dengan Ana, dia adik keduanya Aiman." Aisyah hanya mengangguk setuju sembari berjalan mengikuti arahan dari calon mertuanya tersebut.

"Aisyah, kamu sudah datang?" tanya bundanya Aiman yang tersenyum saat melihat Aisyah, sedangkan di sampingnya ada Ana, anak ketiganya.

"Iya, Tante." Aisyah menyalami wanita itu dengan sopan, ia sempat menatap ke arah gadis yang sejak tadi memperhatikannya.

"Nah Aisyah ini yang namanya Ana, dia adiknya Aiman yang terakhir." Herlambang menunjuk ke arah Ana yang tersenyum lalu menyodorkan tangan pada Aisyah, yang tentu saja disambut baik olehnya.

"Perkenalkan namaku Ana," ujarnya ramah.

"Aku Aisyah."

"Kak Aisyah cantik banget," pujinya yang disenyumi oleh si pemilik nama, namun sebenarnya ia merasa tak nyaman entah kenapa, mungkin karena ia belum terlalu kenal dengan mereka.

"Terima kasih."

"Kalau adik Aiman yang pertama namanya Ahsan, tapi dia enggak bisa datang ke acara pernikahan kalian."

"Kenapa, Om?"

"Sekarang dia lagi magang di perusahaan yang ada di luar kota, jadi dia enggak bisa ambil cuti."

"Oh begitu?"

"Mungkin satu bulan lagi Ahsan bisa pulang, dia ingin bertemu kamu, dia kan juga ingin tahu seperti apa kakak iparnya," ujar Herlambang yang diangguki dan disenyumi oleh Aisyah.

"Iya, Om."

"Oh ya kamu pasti capek kan? Ayo Om antarkan kamu ke kamar tamu, di sana kamu bisa mandi dan beristirahat."

"Kok Kak Aisyah tidur di kamar tamu, Yah?" tanya Ana terdengar sedih, karena ia berpikir akan menyuruhnya berbagi kamar dengan calon kakak iparnya.

"Memangnya di mana lagi? Di kamar kakak kamu? Mereka kan belum menikah, mana boleh satu kamar."

"Aku tau, maksudku kenapa Kak Aisyah enggak tidur di kamarku aja? Kak Aisyah kan baru datang ke rumah ini, pasti belum terbiasa di sini, kalau Kak Aisyah tidur di kamarku kan aku bisa menemaninya." Ana menjawab antusias yang ditatap tanya oleh ayahnya.

"Memangnya kamu enggak apa-apa berbagi kamar dengan Kak Aisyah?"

"Ya enggak apa-apa lah, Yah. Aku malah senang, karena akhirnya aku punya teman tidur, selama ini kan aku selalu tidur sendirian karena aku anak perempuan satu-satunya." Mendengar jawaban Ana, ayahnya seketika tersenyum begitupun dengan Aisyah.

"Kamu sendiri bagaimana, Aisyah? Kamu enggak apa-apa tidur di kamar Ana?"

"Enggak apa-apa kok, Om."

"Ya sudah kalau begitu kamu ajak Aisyah ke kamar kamu ya? Bantu dia kalau lagi butuh sesuatu."

"Siap," jawab Ana bersemangat lalu menggandeng lengan Aisyah untuk mengajaknya pergi ke kamarnya.

"Ayo Kak ke kamarku, di sana aku punya banyak kuku-kuku palsu, nanti aku pakaikan buat Kak Aisyah yang paling bagus." Ana berceloteh dengan senangnya, membuat ayahnya merasa bahagia melihat kedekatan keduanya, namun tidak dengan istrinya yang justru terlihat kesal.

***

Setelah pulang dari kantornya, Aiman berjalan ke arah dapur, ia berniat mengambil air dingin untuk ia minum, namun sebelum sesampainya ia di sana, ayahnya yang berada di meja makan itu berujar dengan tenang.

"Aiman," panggilnya.

"Iya, Yah. Kenapa?" tanya Aiman setelah menghentikan langkah kakinya.

"Kamu akan menikah tiga hari lagi, akan lebih baik kalau kamu mengambil cuti mulai besok."

"Untuk apa, Yah? Toh acaranya masih tiga hari lagi, kenapa juga aku harus cuti mulai besok."

"Ya kamu kan juga harus beristirahat di rumah, jangan kerja terus!"

"Akan aku pikirkan lagi nanti, Yah, aku ambil minuman dulu ya ke dapur," pamitnya yang diangguki oleh ayahnya. Kini Aiman berjalan ke arah dapur tepatnya ke arah kulkas, ia akan mengambil air mineral dingin dan langsung meminumnya.

"Kalau minum itu sebaiknya dengan posisi duduk, Mas!" Suara seorang wanita berhasil mengejutkan Aiman, yang membuat air yang masih berada di mulutnya menyembur tanpa bisa ia kontrol sebelumnya. Aiman tentu merasa kaget dan langsung menatap ke asal suara, namun ia justru mendapati seorang wanita menatapnya dengan wajah tak kalah terkejutnya.

"Ya Allah, Mas. Airnya kok sampai tumpah? Makanya kalau minum itu dibiasakan dengan posisi duduk, Mas, itu kan Sunnah Rasulullah." Aisyah menatap tak percaya ke arah baju Aiman yang sudah basah karena semburan air dari mulutnya.

"Kamu? Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Aiman dengan membulatkan matanya saat melihat wanita yang bernama Aisyah itu berada di hadapannya, tepatnya di dalam rumahnya.


Part 13

Aisyah merapatkan bibirnya setelah sadar dengan apa yang baru dilakukannya, ia sudah menegur Aiman, padahal ia tak perlu melakukannya karena ia hanya seorang tamu di rumahnya. Mungkin karena Aisyah sudah terbiasa tinggal di panti asuhan, mengatur dan menegur adalah sesuatu yang lumrah ia lakukan, jadi saat melihat ada seseorang yang melakukan sedikit kesalahan, ia tanpa sadar langsung menegurnya.

Aisyah tentu merasa menyesal sekarang, ia bahkan menutup mulutnya sendiri saking merasa bersalahnya ia saat ini. Namun Aiman masih mempertahankan tatapannya, laki-laki itu tampak menunggu jawaban dari pertanyaannya tersebut.

"Aku minta maaf, Mas. Aku enggak berniat menegur kamu, aku yang salah. Maaf," ujar Aisyah yang tentu saja membuat Aiman merasa kesal karena pertanyaannya tidak wanita itu jawab.

"Aku enggak peduli itu, yang aku mau tau sekarang kenapa kamu bisa ada di sini? Di rumahku?"

"Itu karena Pak Herlambang menyuruh sopir untuk menjemput ku kemari," jawab Aisyah seadanya.

"Kenapa?"

"Karena kan aku akan tinggal di sini." Aisyah menjawab lirih sembari tertunduk takut, namun Aiman tampak menghela nafasnya dengan kasar, sepertinya laki-laki itu tak menyukai kabar yang baru didengarnya. Aiman memang sedang kesal sekarang, tanpa menjawab ucapan Aisyah, ia mengembalikan botol air mineral ke kulkas lalu pergi dari sana, meninggalkan Aisyah yang tampak merasa bersalah.

"Mas Aiman pasti semakin membenciku sekarang, bagaimana ini?" gumam Aisyah tampak bingung dan semakin tidak nyaman tinggal di sana, andai ia bisa membatalkan rencana pernikahannya, mungkin ia tidak perlu berada di posisi sekarang.

"Baju kamu kenapa, Man?" tanya ayahnya saat Aiman berjalan ke arahnya, dengan baju birunya yang sudah basah oleh air di bagian dada.

"Enggak apa-apa, Yah. Kenapa wanita itu ada di sini?"

"Maksud kamu Aisyah? Dia punya nama, kamu panggil saja namanya!"

"Iya, kenapa Aisyah ada di rumah ini? Apa dia sudah mulai tinggal di sini, Yah?"

"Kalau iya memangnya kenapa?" jawab sang ayah yang kian membuat Aiman merasa lelah dan hanya menggelengkan kepala.

"Enggak apa-apa, aku ke kamar dulu." Aiman melenggang pergi, meninggalkan ayahnya yang tampak tak mengerti dengan sikapnya saat ini.

***

Di dalam kamarnya, Ana berniat memberi perawatan pada Aisyah, yang saat ini baru saja menyelesaikan shalatnya. Ana tentu merasa bersemangat, karena sebelum ini ia tak memiliki seseorang untuk mengasah kemampuannya terutama saat di rumah.

Kedua saudaranya semua laki-laki, dan mereka sangat sulit bila diajak merias diri, sedangkan bundanya jarang bisa berlama-lama di kamarnya, karena ia juga memiliki kesibukan lainnya bersama dengan teman-temannya. Sekarang Ana memiliki Aisyah, calon kakak iparnya dengan wajah cantik dan juga kulit sehat.

"Kak Aisyah sini!" pinta Ana bersemangat sembari melambaikan tangannya, sedangkan Aisyah yang tengah melepas mukenanya tentu merasa bingung dengan apa yang sedang gadis itu lakukan.

"Ada apa?"

"Sini dulu!"

"Sebentar, aku lipat mukena dulu," jawab Aisyah yang hanya diangguki oleh Ana, sedangkan di sampingnya terdapat produk-produk kecantikannya yang sengaja ia siapkan untuk calon iparnya.

"Ada apa?" tanya Aisyah setelah berada di depan Ana.

"Duduk sini, Kak. Kak Aisyah kan mau menikah, jadi Kak Aisyah harus banyak-banyak perawatan terutama sebelum tidur."

"Perawatan seperti apa?" Aisyah mendudukkan tubuhnya di depan Ana, ia juga tampak penasaran dengan beberapa produk kecantikan yang berada di depannya.

"Banyak, mau coba enggak?"

"Bayar?" tanya Aisyah polos yang berhasil membuat Ana tertawa.

"Ya enggak lah, gratis kalau buat calon kakak ipar mah," jawabnya penuh bangga.

"Oh gitu? Boleh deh."

"Kalau begitu Kak Aisyah harus berbaring di sini, aku akan mulai perawatannya, tapi sebelum itu Kak Aisyah buka hijabnya dulu ya!" Ana menyiapkan bantal untuk Aisyah, yang diangguki mengerti oleh Aisyah dan menuruti ucapan calon iparnya dengan membuka hijabnya di mana rambut Aisyah yang hitam, panjang, dan juga tebal, membuat wajahnya bak boneka, terlebih lagi saat wanita itu mengurainya untuk memperbaiki ikatannya.

Ana yang sempat fokus menata bantal lalu menoleh ke arah Aisyah, bibirnya seketika menganga dengan tatapan tak percaya, karena menurutnya calon kakak iparnya itu jauh lebih cantik saat hijabnya dibuka. Ana bahkan sampai membekap mulutnya, merasa tak menyangka saja dengan apa yang dilihatnya.

"Kak Aisyah cantik banget, malah lebih cantik enggak pakai hijab."

"Oh ya?"

"Iya, Kak. Kak Aiman beruntung banget bisa menikah sama Kak Aisyah."

"Kamu bisa aja. Bagaimana? Ini jadi enggak?" tanya Aisyah memastikan yang langsung diangguki oleh Ana.

"Ya jadi dong, Kak. Ayo Kak Aisyah tidur di sini!" Ana menepuk bantal yang sudah ia siapkan, sedangkan Aisyah hanya menganggukinya lalu berbaring di sana.

"Selain cantik, wajah Kak Aisyah juga sehat, enggak ada jerawat sama sekali, boleh di spil enggak Kak skincare-nya apa?"

"Boleh, nanti aku kasih tau ya."

"Yeei asyik. Aku mulai sekarang ya, Kak. Pertama aku harus bersihkan wajah Kak Aisyah dulu dengan oil cleanser, terus di eksfoliasi." Ana dengan telaten melakukannya, tangannya bahkan sangat lihai saat membersihkan wajah Aisyah.

"Nah sudah, Kak Aisyah cuci wajah dulu ya."

"Oh oke." Aisyah membangunkan tubuhnya lalu membersihkan sisa sek kulit mati yang berada di wajahnya, setelah selesai ia kembali ke tempat asalnya.

"Nah, kalau sudah cuci wajah dan dikeringkan, kita bisa langsung pakai toner, selain bisa membersihkan sisa-sisa minyak di wajah, toner juga menenangkan, memperbaiki, dan menghaluskan permukaan kulit, serta meminimalkan peradangan atau merah-merah pada kulit, Kak." Mendengar celotehan Ana, Aisyah hanya tersenyum sembari sesekali mengangguk paham.

"Kalau sudah selesai, saatnya kita pakai sleeping mask, Kak Aisyah bisa memejamkan mata dulu!" Ana dengan telaten membuka maskernya lalu menempelkannya pada wajah Aisyah, memakaikannya serum wajah, dan juga pelembab di bibirnya.

Setelah semua tahapan perawatan itu selesai, kini Aisyah bersama dengan Ana tengah duduk bersama di atas ranjang. Aisyah sendiri tentu merasa senang diperlakukan baik oleh calon adik iparnya, namun ia juga merasa penasaran dengan kehidupannya. Karena sepertinya Ana adalah gadis yang ceria, yang mungkin usianya sekitar dua puluh tahun ke atas.

"Kalau boleh tau, kamu umur berapa?"

"Dua puluh dua tahun, Kak."

"Oh ya, berarti kamu masih kuliah kan?"

"Iya."

"Jurusan apa?"

"Tata rias dan kecantikan."

"Wah pantas aja kamu pintar perawatan ya? Skincare dan make up kamu juga banyak. Memangnya cita-cita kamu apa? Punya salon sendiri ya?" tebak Aisyah yang disenyumi oleh Ana.

"Enggak lah, Kak. Salon di sini itu banyak, bukannya berkembang nanti malah salonku bangkrut karena banyak saingan."

"Terus kamu maunya jadi apa setelah lulus?"

"Ya buat produk kecantikan lah, punya perusahaan sendiri, punya banyak karyawan, terus produknya terjual laris di Indonesia dan kalau perlu ke luar negeri." Ana menjawab dengan penuh bersemangat, yang disenyumi oleh Aisyah, merasa senang saja melihat calon adik iparnya menjabarkan impiannya.

"Aamiin, dan semoga kamu bisa menggapainya. Oh ya terima kasih untuk perawatannya, wajahku sekarang jadi tambah halus." Aisyah menunjuk ke arah wajahnya yang diangguki oleh Ana.

"Terima kasih juga untuk doanya." Ana tersenyum yang ditanggapi sama oleh Aisyah, keduanya kembali mengobrol banyak hal terutama tentang produk-produk kecantikan yang sedang viral sekarang.

***

Keesokan paginya, Aiman turun dari tangga lalu berjalan ke arah meja makan, di sana sudah ada orang tuanya, Aisyah, dan juga adiknya, Ana. Mereka sengaja menunggunya untuk sarapan bersama, namun ekspresi Aiman terlihat tak bersemangat seperti biasanya terutama saat melihat calon istrinya juga berada di sana.

"Aiman, ayo sini sarapan! Kita semua sedang menunggu kamu, tapi kamu malah baru datang," ujar ayahnya terdengar kesal.

"Kenapa enggak makan langsung aja, Yah, biasanya kan juga seperti itu?" Aiman mendudukkan tubuhnya di kursi, ia tampak tak bersemangat berada di sana.

"Ini kan sarapan pertama kita bersama Aisyah, ya kalau bisa kita semua menemaninya kan?"

"Oh ...." Aiman menjawab seadanya, merasa muak saja mendengar nama wanita itu kembali dibahas oleh ayahnya.

"Ayo semuanya kita bisa makan sekarang, jangan lupa berdoa dulu." Mendengar ucapan Herlambang, semua keluarganya mengangguk lalu berdoa di hati masing-masing, begitupun dengan Aisyah yang belum terbiasa berada di sana.

Di tengah-tengah makan, Ana memerhatikan wajah kakaknya yang terlihat tidak senang entah karena apa, itu lah kenapa ia berniat memberinya semangat dengan caranya, ia yakin kakaknya itu bisa ceria seperti biasanya.

"Kak Aiman."

"Kenapa?"

"Kak Aiman tau enggak, Kak Aisyah kalau enggak pakai hijab itu tambah cantik loh, aku aja yang perempuan suka," ujarnya yang membuat semua orang terdiam terutama Aiman yang tampak tak menghiraukannya.

"Ana, tolong jangan seperti ini!" tegur Aisyah lirih sembari merengkuh lengannya, namun calon adik iparnya itu justru merasa bingung.

"Memangnya kenapa, Kak? Apa yang aku bilang benar kok, Kak Aisyah memang tambah cantik kalau enggak pakai hijab."

"Iya, tapi ini kan kita lagi makan." Aisyah berbicara baik-baik, ia tentu merasa tak nyaman dibahas terlebih lagi saat semua orang sedang fokus sarapan.

"Terus kenapa kalau dia cantik? Apa harus kamu mengatakannya ke semua orang? Kamu itu cuma buat Kakak enggak berselera makan tau enggak?" jawab Aiman terdengar kesal lalu mendirikan tubuhnya dan pergi dari sana, meninggalkan semua orang yang terkejut mendengar jawabannya terutama Aisyah.

"Aiman, mau ke mana kamu?" tanya sang ayah berusaha menahan amarahnya, karena masih ada Aisyah di sana.

"Ke kantor."

"Bukannya Ayah sudah bilang kalau kamu harus ambil cuti dulu? Kamu itu kan akan menikah."

"Enggak usah, aku juga enggak betah di rumah." Aiman menjawab sembari terus berjalan, yang kian membuat ayahnya merasa geram.

"Anak itu, berani-beraninya dia," geramnya namun saat ia akan mendirikan tubuhnya, sebuah tangan menahannya.

"Sudahlah, Yah. Biarkan saja Aiman, dia pasti masih butuh waktu untuk menerima semua ini." Istrinya berusaha menenangkannya, yang mau tak mau ia angguki meskipun rasanya ia ingin sekali menghajar putranya itu.

"Aisyah, maafkan Aiman ya? Dia pasti lagi banyak pikiran sekarang, kamu sebagai calon istrinya bisa mengerti kan?" ujar bundanya Aiman sembari menatap Aisyah dengan tulus, namun tidak dengan hatinya yang tertawa melihat putranya merendahkan calon istrinya.

"Iya, Tante. Aku enggak apa-apa kok." Aisyah berusaha tersenyum di depan semua orang, yang tentu saja mendapatkan tatapan iba dari mata Ana dan juga ayahnya.

"Kak, aku minta maaf ya, aku enggak berniat apa-apa, aku tadi cuma mau menghibur Kak Aiman aja, karena aku pikir tadi dia lagi banyak pikiran, tapi Kak Aiman malah ...." Ana tampak menyesal sampai tidak mampu melanjutkan kata-katanya, ia takut semakin menyakiti hati calon kakak iparnya.

"Aku enggak apa-apa kok, kamu enggak usah merasa bersalah ya!" Aisyah berusaha tersenyum di depan mereka semua, namun tidak dengan jari-jarinya yang meremas satu sama lain, menahan rasa sesak di dadanya yang kian terasa sakit setiap detiknya terlebih lagi saat mengingat ucapan Aiman yang begitu merendahkannya.


Part 14

Hari ini adalah hari pernikahan Aisyah dan Aiman, yang digelar di rumah orang tua dari laki-laki tersebut. Dan sudah sejak tadi pagi, wajah Aisyah dirias oleh MUA terkenal, yang kemampuannya sudah tak perlu lagi diragukan. Aisyah benar-benar cantik dan bersinar, dengan gaun putih sederhana yang membuatnya tampak elegan.

Saat melihat wajahnya di pantulan kaca yang berada di depannya, Aisyah sempat merasa kagum dan bahkan tersenyum, ia merasa dirinya sangat cantik sekarang, namun entah bagaimana senyuman itu seketika luntur saat ia mengingat ucapan Aiman. Calon suaminya itu sangat membencinya, dia tak akan peduli Aisyah cantik atau tidak, karena pernikahan mereka dilandasi oleh rasa terpaksa. Lalu untuk apa ia didandani? Kalau suaminya saja tidak akan peduli, pikirnya mulai putus asa.

"Wah Kak Aisyah cantik banget." Ana yang baru datang ke kamarnya seketika memuji kecantikan calon kakak iparnya, seperti biasa wajahnya selalu ekspresif dalam banyak kesempatan. Membuat Aisyah seketika tersenyum mendengarnya, karena cuma gadis itu yang begitu tulus memujinya.

"Tadi aku sampai mau balik lagi loh, Kak, pas sampai di depan pintu." Ana menunjuk ke arah pintu kamarnya, yang tentu saja membuat Aisyah merasa heran.

"Memangnya kenapa?"

"Aku pikir tadi aku salah masuk kamar, karena enggak mungkin kan di kamarku yang kaya gini ada bidadarinya? Dan setelah aku teliti lagi, eh ternyata calon kakak iparku yang cantiknya Masya Allah ini." Ana ingin menyentuh wajah Aisyah saking gemasnya, namun ia urungkan karena takut merusak makeup-nya.

"Kamu ini bisa aja," jawab Aisyah salah tingkah yang tentu saja membuat Ana tertawa melihatnya ekspresinya.

"Tapi benar kok, Kak Aisyah cantik banget, Kak Aiman setelah ini pasti langsung jatuh cinta lihat Kak Aisyah."

"Sudahlah, An. Jangan seperti itu!" Entah kenapa mendengar nama calon suaminya, Aisyah merasa tak nyaman karena ia tahu kenyataannya seperti apa.

"Oh ya kamu sendiri enggak make up?" tanya Aisyah mengalihkan pembicaraan, yang justru membuat Ana menepuk jidatnya karena melupakan sesuatu hal.

"Aduh, aku lupa. Untung aja Kak Aisyah bilang, kalau enggak aku bisa enggak ingat harus panggil Kakak periasnya. Sebentar ya, Kak." Ana berjalan ke arah perias yang tengah membereskan beberapa gaun yang berada di dalam tasnya.

"Kak, kata Bunda, Kakak disuruh ke kamarnya Bunda, soalnya Bunda sama aku harus di make up di sana."

"Oh iya, saya mengerti."

"Kak Aisyah, aku tinggal dulu ya, aku mau make up dulu, Kak Aisyah sendirian di sini enggak apa-apa kan?"

"Enggak apa-apa kok." Aisyah mengangguk mengerti, sedangkan Ana langsung melambaikan tangan lalu pergi dari sana bersama dengan penata riasnya.

Setelah mereka pergi, Aisyah menghela nafas panjangnya, bibirnya yang sedari tadi tersenyum kini justru terlihat luntur. Ia melihat waktu yang berada di ponselnya, masih satu jam lagi acaranya akan dimulai, di saat seperti ini tentu saja Aisyah merasa bosan, sampai pada akhirnya ia mengingat sesuatu hal.

"Enggak ada orang di sini, lebih baik aku menelepon Ibu, aku juga sudah lama enggak menghubunginya." Aisyah menekan tombol video di bagian kontak ibu pantinya, lalu muncul lah wanita yang dirindukannya itu di layar.

"Assalamualaikum, Bu." Aisyah melambaikan tangannya di depan kamera, di sana ia juga bisa melihat ibu pantinya itu terkejut melihat wajahnya.

"Waalaikum salam. Masya Allah Aisyah, kamu cantik sekali, Ibu sampai pangling loh lihatnya, Ibu pikir tadi nomor kamu dibajak orang lain." Mendengar penuturan ibu pantinya, Aisyah tersenyum senang seolah lupa bila beberapa menit yang lalu hatinya sempat merasa tak tenang.

"Ibu ini bisa aja. Oh ya bagaimana kabar Ibu sama anak-anak yang lain? Semuanya sehat kan?"

"Iya, Alhamdulillah. Semuanya sehat. Kamu sendiri kenapa menelepon, Aisyah? Apa ada masalah?"

"Enggak kok, Bu. Aku cuma kangen sama Ibu, aku berharap Ibu bisa ada di sini sama anak-anak panti lain."

"Maafin Ibu ya, Aisyah. Kami semua yang ada di sini enggak bisa menemani kamu, kamu sendiri kan paham situasinya seperti apa. Tapi ngomong-ngomong, kamu sama siapa? Kalau ada orang lain, lebih baik kita matikan saja sambungan teleponnya, Ibu enggak mau ada yang tau kalau kamu dari panti asuhan."

"Enggak ada orang lain lagi di sini kok, Bu. Aku sendirian di kamar ini, makanya aku berani menelpon Ibu sekarang."

"Oh baguslah, tapi jangan lama-lama ya, nanti kamu malah ketahuan."

"Iya, Bu. Aku menelepon juga karena aku mau minta restu ke Ibu, karena mau bagaimana pun aku juga anak Ibu, aku harus meminta doa dan restu Ibu karena sebentar lagi aku akan menikah," ujar Aisyah dengan mata berkaca-kaca, begitupun dengan ibu pantinya yang tampak berekspresi sama.

"Iya, Ibu merestui kamu. Ibu juga berdoa supaya acara pernikahan kalian berjalan lancar, dan kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Sudah ya, Ibu matikan dulu teleponnya, Ibu lagi sibuk sekarang. Assalamualaikum," salamnya terdengar terburu-buru.

"Iya, Bu. Waalaikum salam." Setelah menjawab salam, sambungan teleponnya terputus begitu saja, membuat Aisyah merasa sedih dan kecewa, namun ia berusaha mengerti karena sepertinya ibu pantinya sengaja mematikannya dengan cepat karena matanya sudah berair oleh tangisan. Wanita itu tidak ingin Aisyah melihatnya menangis, begitu pun sebaliknya.

***

Di sisi lainnya, Aiman duduk bersama dengan Bima, yang diminta menjadi saksi nikahnya. Dan sebelum acaranya dimulai, keduanya sempat mengobrol tentang pekerjaan, sampai pada akhirnya Bima menepuk paha Aiman dengan mendekatkan wajahnya ke arahnya.

"Ana di mana? Kok dari tadi enggak kelihatan?" tanyanya lirih, ia tak ingin pertanyaannya itu didengar oleh ayahnya Aiman yang posisinya tak jauh dari mereka.

"Kenapa kamu mencari adikku?"

"Ya enggak apa-apa, kangen aja."

"Dih," jawab Aiman sembari bergidik ngeri.

"Memangnya kenapa sih? Enggak boleh apa aku kangen sama adikmu?"

"Enggak."

"Sialan kamu. Eh ngomong-ngomong istrinya kamu mana? Kok juga enggak kelihatan ya? Padahal aku penasaran banget sama wajahnya." Bima menatap sekeliling rumah Aiman dan tak mendapati wanita berpakaian pengantin di sekitar sana.

"Sebentar lagi juga kamu akan lihat," jawab Aiman seadanya yang justru mendapatkan tatapan heran oleh sahabatnya.

"Kok kamu kaya biasa aja sih? Kamu sebentar lagi akan menikah loh, Man. Semangat sedikit kenapa sih?"

"Bagaimana caranya aku bersemangat? Sedangkan wanita yang akan aku nikahi itu adalah orang yang juga aku benci?"

"Kamu masih membencinya? Apa karena kamu enggak bisa bersama dengan Icha jadi kamu melampiaskannya ke Aisyah?" tanya Bima terdengar tak yakin, sedangkan Aiman menghela nafas panjangnya.

"Tentang Icha, aku sudah berusaha mengikhlaskannya, karena mau bagaimana pun aku sudah enggak mungkin bisa memilikinya."

"Lalu kenapa kamu masih membenci Aisyah?"

"Karena dia selalu dibela ayahku, kamu sendiri kan juga tau itu."

"Iya, aku tau. Tapi kan Aisyah juga enggak salah, Man."

"Enggak salah kamu bilang? Gara-gara membela dia, ayahku hampir menceraikan bundaku, keluargaku hampir hancur cuma karena wanita itu, kamu pikir bagaimana caranya aku enggak membencinya?" jawab Aiman yang kali ini didiami oleh Bima, ia berusaha mengerti posisi sahabatnya, namun ia juga merasa kasihan dengan Aisyah.

"Iya, aku paham maksud kamu. Aku harap kamu enggak terlalu lama memendam perasaan itu, karena mau bagaimana pun wanita itu akan menjadi istrimu." Bima menepuk pundak Aiman, ia hanya ingin sahabatnya itu menjernihkan pikirannya dan lebih terbuka pemikirannya.

"Pengantin perempuannya sudah datang, sebaiknya acara akadnya segera dilangsungkan." Seseorang berujar ke arah para penghulu dan saksi, yang tentu saja didengar oleh Bima dan juga Aiman.

"Mana? Yang mana calon istrimu, Man?" Bima tampak sangat penasaran saat menatap ke arah tangga, sampai pada akhirnya ada dua orang yang berjalan turun dari sana. Mereka adalah Ana dan juga Aisyah, yang kian mendekat ke arah para tamu undangan yang menatap takjub ke arah pengantin perempuan.

"Gila, itu calon istri kamu, Man? Wah cantik banget," puji Bima bersemangat, sedangkan Aiman hanya menatapnya sekilas seolah istrinya bukan sesuatu yang spesial untuk ia lihat.

"Man, Man, lihat calon istri kamu itu! Kok kamu malah cuek sih?" Bima menyenggol tubuh Aiman, namun laki-laki itu tampak tak bergeming dan hanya menghela nafas dengan kasar.

"Terus aku harus bagaimana? Salto di depan para tamu undangan?" jawab Aiman terdengar malas, yang berhasil mendapatkan lirikan mata sinis dari sahabatnya.

"Iya enggak salto juga."

"Mempelai perempuan silahkan duduk, kita akan mulai acara akad nikahnya, tapi sebelum itu kalian tanda tangani berkas-berkas ini ya." Aisyah dan Aiman hanya mengangguk saat petugas KUA itu menyodorkan sebuah map, lalu mendatangainya seperti yang diminta.

"Semuanya sudah selesai sekarang kita bisa mulai acaranya, bismillahirrahmanirrahim." Sang penghulu mulai menyalami tangan Aiman, untuk melantukan kalimat akad yang akan laki-laki itu jawab.

"Saudara Muhammad Aiman Pradana bin Herlambang, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Aisyah Putri Pratama binti Reza Pratama dengan emas kawin sebesar lima puluh juta rupiah dibayar tu-nai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Aisyah Putri Pratama binti Reza Pratama dengan emas kawin tersebut dibayar tu-nai."

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"SAH."

"Alhamdulillah ...." Semua orang berdoa setelah akad nikah dilangsung, membuat sebagian orang merasa lega karena Aiman tak merasa gugup sedikitpun terlebih lagi harus mengulangnya.

"Sekarang kalian berdua sudah sah menjadi sepasang suami istri, kalian tanda tangan akta nikahnya di sini ya." Mendengar itu, keduanya sama-sama mengangguk dan mendatangani akta tersebut.

"Silakan dicium tangan suaminya!" pinta sang penghulu yang sempat membuat Aisyah ragu meskipun pada akhirnya tangannya terulur lalu menarik tangan Aiman ke wajahnya, sedangkan laki-laki itu hanya diam tanpa mau berkata apa-apa.

Kini mereka sudah sah menjadi suami dan istri, namun ekspresi keduanya tampak tak bahagia seperti pengantin pada umumnya, meskipun begitu mereka berusaha tersenyum saat ada saudara atau teman-teman Aiman memberi selamat.

"Selamat ya, Man. Akhirnya kamu jadi seorang suami, punya istri cantik, dan insyaallah punya anak secepatnya," goda Bima sembari menyalami tangan Aiman, namun laki-laki itu justru menatapnya dengan tatapan tajam seolah ingin mencekik lehernya.

"Nama kamu Aisyah kan? Selamat ya atas pernikahan kalian," ujar Bima ke arah Aisyah berniat menyalami tangannya, namun wanita itu justru tersenyum dan menangkupkan tangannya seolah ingin menghindari tangan Bima.

"Terima kasih," jawab Aisyah ramah.

"Ah iya, aku lupa. Maaf, kita kan bukan mahram ya?" ujar Bima seolah paham dengan apa yang Aisyah rasakan, ia merasa canggung dengan tangan menyentuh leher belakangnya.

"Tidak apa-apa, saya hanya ingin menghargai suami saya."

"Oh ya kamu belum tahu siapa aku kan?" Bima berusaha mengalihkan topik pembicaraan, sedangkan Aisyah sendiri sudah tahu siapa laki-laki itu, karena mereka pernah bertemu di acara santunan anak yatim beberapa Minggu yang lalu.

"Namaku Bima, sahabatnya Aiman sejak kecil, nanti kalau kamu mau cari dia dan nomornya enggak aktif, kamu hubungi nomorku aja, dia enggak akan pergi kemana-mana kalau enggak sama aku." Bima berujar penuh bangga, yang tentu saja ditatap jengah oleh Aiman yang berada di hadapannya.

"Oh begitu ya? Saya mengerti."

"Jangan terlalu formal, anggap aja kita sudah berteman lama!" Bima tersenyum sembari mengacungkan jempolnya yang lagi-lagi Aisyah angguki.

"Iya." Aisyah menjawab seadanya sampai pada akhirnya banyak yang memberinya selamat, yang ditanggapi sama seperti saat Bima akan menyalaminya, Aisyah benar-benar berusaha menjaga marwahnya terutama di hadapan Aiman, suaminya.

 

Part 15

Setelah acara pernikahan mereka selesai, Aisyah menghapus semua make up yang menempel di wajahnya, begitupun dengan gaun yang dipakainya ia lepas di kamar Ana. Setelah semua selesai dan Aisyah sudah memakai baju biasa, ia melipat gaun itu lalu menyimpannya ke dalam kotak tempat asalnya.

Sedangkan Ana sendiri tengah bersama keluarganya, Aisyah tak berani bergabung terlebih lagi berbaur dengan mereka, itu lah kenapa setelah selesai bersih-bersih, ia tetap berada di kamar adik iparnya tersebut. Sebenarnya tidak ada yang Aisyah lakukan di sana selain melihat ponselnya dan juga beberapa foto yang berada di dalamnya.

Foto-foto yang berada di ponselnya adalah foto dirinya bersama dengan suaminya, Aiman. Aisyah sendiri mendapatkannya dari Ana yang sengaja mengirimkannya ke nomornya, di foto-foto itu Aisyah sendiri sedang berdiri bersama dengan Aiman, ia dipaksa untuk tersenyum dan bahkan menggandeng tangan suaminya itu. Ia juga beberapa kali foto dengan keluarga dan saudara Aiman, namun saat itu ia difoto oleh fotografer profesional, tentu ia belum bisa melihat hasilnya sekarang.

Aisyah terdiam melihat hasil jepretan Ana, bukan karena hasilnya tidak bagus, sebaliknya hasil fotonya justru sangat bagus dan ia terlihat sangat cantik di sana. Namun semua itu justru membuatnya sedih, karena di hari pernikahan tidak ada ibu pantinya dan juga adik-adiknya yang lainnya.

Padahal dulu Aisyah sempat membayangkan betapa indah pernikahannya, saat semua keluarga panti asuhannya datang dan berfoto bersamanya. Sekarang kenyataannya justru jauh dari ekspektasinya, jangankan datang dan berfoto, mereka diakui sebagai keluarganya saja, Aisyah tak mampu melakukannya.

"Kak Aisyah," panggil Ana setelah gadis itu masuk ke dalam kamarnya dan mendapati Aisyah masih di sana.

"Ana, kenapa?" Aisyah menghapus air matanya yang tanpa ia sadari sudah membasahi wajahnya.

"Kak Aisyah nangis ya? Kenapa?" tanya Ana hati-hati, karena sepertinya kakak iparnya itu sedang bersedih saat ini.

"Aku enggak apa-apa kak," jawab Aisyah sembari tersenyum, sedangkan Ana yang sudah berada di sampingnya itu merasa kasihan, ia pikir kakaknya bersedih karena keluarga angkatnya tak bisa datang seperti ucapan ayahnya tadi pagi.

"Kak Aisyah sedih ya karena keluarga angkat Kak Aisyah enggak bisa datang di hari pernikahan Kakak?" tanya Ana yang sempat didiami oleh Aisyah.

"Kamu tau dari siapa?"

"Kata Ayah kalau keluarga Kak Aisyah ada di luar kota ya? Makanya enggak bisa datang kan, itu juga kenapa Kak Aisyah sudah tinggal tinggal di sini sebelum hari ini." Mendengar jawaban Ana, Aisyah hanya tersenyum karena ia yakin ibu pantinya lah yang ingin Ayah mertuanya mengatakan itu ke keluarganya.

"Iya, kamu memang benar."

"Sudah Kak, enggak usah sedih lagi ya? Kan sekarang Kak Aisyah sudah punya Kak Aiman dan juga keluarga ini, jadi enggak apa-apa kalau mereka belum bisa ke sini, kali aja nanti pas acara resepsi mereka bisa datang."

"Acara resepsi?" tanya Aisyah tak yakin, karena ia pikir tidak ada acara lagi setelah hari ini.

"Iya, Kak. Ayah sama Bunda lagi membicarakan itu di lantai bawah tapi sama saudara-saudara yang lain juga sih, dan karena aku kecapean makanya aku ke kamar sekarang."

"Oh begitu? Oh ya, An. Aku boleh enggak tidur di sini dulu? Aku enggak berani ke kamar kakak kamu."

"Kenapa enggak berani, Kak? Takut malam pertama ya?" tebak Ana dengan tersenyum menggoda, yang langsung digelengi oleh Aisyah.

"Enggak kok, An. Aku cuma takut mengganggu kakak kamu, dia kan kurang menyukaiku ...." Aisyah berujar lirih di akhir kalimatnya, yang tentu bisa Ana mengerti karena sikap kakaknya memang sedikit dingin pada istrinya.

"Sebenarnya aku enggak apa-apa sih, Kak, aku malah senang kalau Kak Aisyah tidur di sini, tapi kan sekarang Kak Aisyah sudah jadi istrinya Kak Aiman, apa boleh enggak sekamar setelah menikah?" tanya Ana terdengar tak yakin, karena setahunya rumah tangga itu segala sesuatu yang akan dilakukan istri itu harus meminta izin pada suaminya.

"Sepertinya sih enggak apa-apa, kakak kamu enggak akan keberatan, dia mungkin lebih senang kalau aku tetap di sini."

"Begitu ya? Ya sudah kalau begitu Kak Aisyah bisa tidur di sini dulu," jawab Ana yang seketika disenyumi oleh Aisyah.

"Terima kasih ya, An."

"Iya, sama-sama."

***

Keesokannya, Aiman bangun subuh untuk shalat, ia melakukannya seperti hari-hari biasanya, bahkan saat pagi harinya ia juga bersiap-siap diri untuk bekerja. Ayahnya yang melihatnya turun tanpa Aisyah tentu saja merasa bingung, karena ia pikir mereka adalah pengantin baru, seharusnya mereka turun bersama.

"Aisyah mana, Man? Kamu enggak mengajaknya sarapan bersama?" tanya ayahnya sembari menatap ke arah atas namun tidak ada siapapun di sana.

"Kenapa Ayah tanya dia ke aku? Aku mana tau dia di mana?" Aiman menjawab seadanya yang tentu saja membuat ayahnya menatap tak percaya ke arahnya.

"Kok bisa kamu enggak tau? Aisyah kan istri kamu, harusnya dia ada di kamar kamu kan?" tanya ayahnya dengan tatapan geram, mengingatkan Aiman bila mereka sudah menikah sekarang.

"Aku enggak tau, Yah. Setelah acara tadi malam selesai, aku enggak melihat dia datang ke kamarku."

"Ya harusnya kamu lah yang mengajaknya, masa dia yang datang ke kamarmu? Di mana dia sekarang?"

"Aku benar-benar enggak tau, Yah."

"Kamu ini bagaimana sih jadi suami? Meskipun kamu enggak menginginkan pernikahan itu, tapi tetap saja kamu enggak boleh mengabaikannya! Dia itu istri kamu sekarang, tanggung jawab kamu, Man."

"Iya, Yah. Aku tau itu. Maaf," jawab Aiman merasa bersalah, meskipun ia tak menyukai Aisyah namun apa yang dikatakan ayahnya itu juga ada benarnya. Sekarang ia sudah menjadi suami dari seorang wanita, itu artinya ia yang bertanggung jawab atas hidupnya, namun belum apa-apa, ia sudah melupakannya dan tidak mengetahui keberadaannya.

"Pagi, Ayah. Pagi, Kak Aiman." Ana tiba-tiba datang dari atas tangga, membuat kedua laki-laki itu menoleh ke arahnya dengan tatapan berbeda yang bisa gadis itu sadari jika ada yang salah dari mereka.

"Ada apa ini, Yah? Apa ada masalah?" tanyanya hati-hati, sedangkan ayahnya seketika menghela nafas panjangnya, berusaha untuk tetap tenang di depan kedua anaknya.

"Enggak ada apa-apa. Oh ya, An. Apa kamu tau di mana Aisyah sekarang? Karena saat Ayah menanyakannya ke SUAMINYA, dia bilang enggak tau apa-apa," sindir sang ayah yang kian membuat Aiman merasa bersalah sekaligus kesal dengan Aisyah, karena lagi-lagi wanita itu membuatnya bertengkar dengan ayahnya.

"Kak Aisyah ada di kamarku, Yah."

"Kok bisa Aisyah ada di kamar kamu? Harusnya kan dia ada di kamar SUAMINYA?" Ayahnya kembali menekankan kata suami, seolah ingin menyadarkan Aiman akan statusnya saat ini.

"Eh itu karena tadi malam Kak Aisyah yang ingin tidur di sana, Yah."

"Terus kemana dia sekarang? Apa masih ada di sana?"

"Iya, Yah."

"Kenapa enggak turun juga?"

"Kak Aisyah lagi kurang enak badan, Yah. Sepertinya dia kecapean karena acara kemarin."

"Oh begitu? Ya sudah kalau begitu kamu sarapan sana, Ayah masih mau berbicara dengan kakak kamu."

"Siap, Yah." Ana menjawab cepat lalu berlalu pergi begitu saja, meninggalkan ayah dan kakaknya yang sepertinya sedang membahas sesuatu masalah.

"Cepat ambilkan sarapan untuk Aisyah dan juga tanyakan keadaannya, terus ajak dia ke kamar kamu!" ujar Ayahnya yang diangguki mengerti oleh Aiman.

"Iya, Yah."

***

Pagi ini Aisyah merasa tidak enak badan, mungkin karena acara pernikahannya kemarin, meskipun sedikit aneh karena tidak biasanya ia merasa seperti ini walaupun hampir setiap hari mengurus adik-adiknya. Padahal kalau dibandingkan, seharusnya pekerjaan di panti lebih melelahkan namun Aisyah jarang sekali sakit atau semacamnya.

Entahlah, Aisyah sendiri juga bingung dengan badannya, mungkin juga karena pikirannya yang kurang merasa nyaman berada di rumah suaminya. Aisyah sendiri juga sadar, ia jarang merasa bahagia selama di sana berbeda saat ia masih tinggal di panti asuhan.

Aisyah menghela nafas panjangnya, karena sepertinya benar bila pikirannya juga bisa berpengaruh pada kesehatan badannya. Untungnya Aisyah memiliki adik ipar yang baik yaitu Ana, yang mau mengambilkannya makanan tanpa harus ia turun ke bawah, Aisyah juga berpesan untuk kedua mertuanya dan meminta maaf tidak bisa sarapan bersama.

Tok tok tok. Bunyi pintu diketuk, membuat Aisyah merasa bingung dengan siapa yang tengah mengetuknya padahal kalau Ana seharusnya ia langsung masuk saja karena ini kan memang kamarnya. Sepertinya ada orang lain yang berada di luar, itu lah kenapa Aisyah memutuskan untuk membangunkan tubuhnya lalu berjalan ke arah pintu kamar.

"Siapa?" tanyanya dan betapa terkejutnya ia melihat suaminya berada di hadapannya.

"Mas Aiman, kenapa Mas ada di sini?" tanya Aisyah namun laki-laki itu tampak enggan menjawabnya.

"Aku sedang mengantarkan kamu sarapan, kata Ana kamu kecapean?"

"Iya, Mas."

"Kalau begitu makanlah!" Aiman memberikan nampan berisikan makanan dan minuman itu pada Aisyah, yang langsung diterima olehnya.

"Iya, Mas. Terima kasih." Aisyah mengangguk sopan, namun Aiman tak menjawabnya dan berlenggang pergi begitu saja sampai pada akhirnya ia mengingat sesuatu hal dan itu membuatnya sangat kesal.

"Tunggu!" pintanya saat Aisyah akan menutup pintu kamarnya.

"Iya, Mas. Kenapa?"

"Kenapa kamu enggak tidur ke kamarku?" tanyanya yang sempat membuat Aisyah bingung menjawabnya, karena kenyataannya ia takut menggangu suaminya.

"Aku enggak tau kamar kamu yang mana, Mas."

"Ya kamu kan bisa tanya ke Ana, gara-gara kamu aku dimarahi Ayah lagi tau enggak?"

"Maaf, Mas. Tadi malam aku juga kecapean, jadi aku juga langsung istirahat setelah mengganti pakaian."

"Sudahlah, aku enggak mau dengar alasan kamu lagi. Sekarang kamu pindah ke kamarku yang ada di sana, aku enggak mau Ayah marah-marah lagi cuma gara-gara ini."

"Iya, Mas. Tapi aku belum membereskan pakaianku ke koper." Aisyah menunjuk ke arah dalam kamarnya di mana kopernya masih berada di sana.

"Kalau begitu bereskan cepat, sini nampannya aku yang akan membawanya." Aiman meminta nampan itu yang langsung Aisyah berikan dan buru-buru membereskan pakaiannya, ia takut suaminya semakin marah padanya.

"Kamu bisa cepat enggak?" tanya Aiman terdengar kesal dan juga sedikit meninggikan suaranya.

"Iya, Mas. Sebentar lagi." Aisyah meletakkan semua bajunya tanpa melipatnya lalu menutupnya dan mengambil kotak pemberian ibu pantinya.

"Sudah, Mas," ujarnya setelah berada di hadapan Aiman yang menunggunya dan sempat menatap dingin ke arahnya.

"Ya sudah kalau begitu ikuti aku!" Aiman berjalan ke arah kamarnya, sedangkan Aisyah mengikutinya dari belakang sembari mengambil koper dan juga sebuah kotak di tangannya.

 

 

Part 16

Aiman membuka pintu kamarnya lalu berjalan masuk ke dalam sedangkan Aisyah masih setia di belakangnya, sesekali matanya menatap sekelilingnya terutama keadaan di sana. Jika dilihat-lihat secara keseluruhan, kamar itu cukup rapi dan bersih, di sana juga tidak terlalu banyak pernak-pernik. Mungkin hanya ada lemari rak, di mana banyak buku-buku yang tertata rapi di dalamnya.

"Kamu istirahat di sana dan makan sarapan kamu, aku akan berangkat bekerja setelah ini." Aiman kembali memberikan nampan itu pada Aisyah, yang diangguki olehnya sembari melepaskan kopernya dan juga meletakkan kotak yang di bawanya ke lantai.

"Iya, Mas." Aisyah menerima nampan itu lalu menyodorkan tangan kanannya pada Aiman, yang tentu saja membuat laki-laki itu merasa kebingungan.

"Apa? Kamu minta uang? Memangnya uang mahar dari aku sudah kamu habiskan?" tanya Aiman sembari mengambil dompetnya, namun Aisyah justru menggeleng pelan.

"Aku enggak minta uang kok, Mas."

"Terus kenapa tangan kamu kaya gitu?" Aiman menunjuk tangan Aisyah yang masih setia mengambang di udara.

"Aku cuma mau bersalaman, kan Mas Aiman mau berangkat bekerja."

"Sudah, enggak usah." Aiman menolaknya dengan ekspresi tenang, namun tidak dengan Aisyah yang menurunkan tangannya dengan perasaan terluka.

"Aku berangkat kerja dulu, assalamualaikum."

"Waalaikum salam." Aisyah terdiam menatap punggung suaminya yang mulai menghilang dari balik pintu yang tertutup, di saat itu lah ia menghela nafas panjangnya sembari menatap sekelilingnya. Kini kakinya melangkah ke arah ranjang milik suaminya, di sana ia mulai memakan sarapannya yang sudah hampir dingin karena terlalu lama didiamkan.

***

Setelah sarapan Aisyah berniat istirahat, namun sebelum itu ia akan mencuci nampan, piring, dan juga gelas yang sudah ia pakai ke dapur. Sesampainya di sana, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah itu tengah membereskan sisa-sisa acara kemarin. Aisyah yang melihatnya sempat tersenyum ke arahnya lalu berjalan ke arah dapur, dan mendapati mertua perempuannya juga ada di sana.

"Aisyah, kamu baru bangun?" tanyanya yang tentu saja akan Aisyah gelengi ucapannya, namun wanita itu buru-buru menyelanya.

"Kamu ini kan pengantin baru, enggak baik kalau bangunnya siang-siang, tapi ya sudahlah namanya juga kamu enggak punya orang tua, pasti enggak ada yang kasih tau kamu kan?" Mertuanya itu tersenyum, yang ingin kembali Aisyah jelaskan kenapa ia baru turun sekarang.

"Enggak kok, Bunda. Aku sudah dari tadi bangun, tapi karena aku kecapean jadi aku masih istirahat di kamar."

"Siapa yang enggak capek di sini, Aisyah? Aiman capek tapi dia tetap bekerja, Ana capek tapi sekarang dia kuliah kan? Bahkan Ayah dan Bunda juga capek loh, tapi kami tetap harus mengantarkan saudara yang belum bisa pulang. Semuanya juga capek, enggak kamu aja."

"Maaf, Bunda."

"Sudahlah, sekarang kamu cuci semua piring yang ada di dapur terus juga bersihkan lantainya, karena asisten di sini masih harus membereskan sisa-sisa acara kemarin. Bunda itu paling enggak suka kalau ada ruang tamu yang kotor, makanya Bunda mau yang ada di sana dibereskan dulu, tapi karena sekarang ada kamu, jadi kamu bereskan semua yang ada di belakang. Kamu mengerti kan, Aisyah?" tanya mertuanya yang langsung diangguki oleh Aisyah.

"Iya, Bunda."

"Iya apa?"

"Iya, saya mengerti."

"Bagus. Sekarang kamu cepat ke dapur, Bunda sama Ayah masih harus pergi ke beberapa tempat."

"Iya, Bunda." Aisyah kembali mengangguk, sedangkan mertuanya berjalan pergi meninggalkannya. Menyadari hal itu, yang Aisyah lakukan hanya menghela nafas panjangnya lalu berjalan ke arah dapur dan betapa terkejutnya ia saat melihat kondisinya.

Di dapur banyak sekali alat-alat masak yang belum dicuci, begitupun dengan alat makan seperti piring, gelas, dan juga sendok. Melihat itu semua yang Aisyah lakukan hanya pasrah dan memulai membersihkan semuanya, meskipun sebenarnya tubuhnya sudah sangat kelelahan dan bahkan terasa enggak nyaman. Rasanya Aisyah akan sakit sekarang, namun ia tidak bisa istirahat karena masih banyak pekerjaan yang harus ia lakukan.

***

Malam harinya, Aisyah masih terlelap di ranjang Aiman bahkan saat laki-laki itu sudah datang, ia sangat kelelahan setelah mencuci semua peralatan masak dan juga peralatan makan, belum lagi lantai dapur yang juga harus ia bersihkan. Aisyah yang sudah sangat kecapean tentu saja tidak bisa menahan diri untuk beristirahat setelah mandi dan shalat ashar, namun yang terjadi ia justru tertidur sampai malam.

"Ini masih jam berapa? Tapi dia sudah tidur sekarang," gumam Aiman sembari menggeleng heran lalu meletakkan tasnya ke meja kerjanya dengan pelan-pelan, ia tak berniat menggangu tidur istrinya itu, namun anehnya wanita itu justru membuka matanya.

"Kamu sudah pulang, Mas?" Aisyah membangunkan tubuhnya dengan hijab yang masih setia di kepalanya.

"Iya, kamu tidur jam berapa? Kok mudah sekali bangun?"

"Aku tidur setelah ashar, Mas."

"Sampai sekarang? Memangnya kamu enggak shalat magrib dan isya?"

"Memangnya ini sudah jam berapa, Mas?"

"Jam delapan malam." Mendengar jawaban Aiman, Aisyah seketika membulatkan matanya dan menatap ke arah jam yang sudah menunjuk ke angka delapan.

"Astagfirullah aladzim." Aisyah dengan cepat menuju ke kamar mandi, sedangkan Aiman hanya menggeleng pelan lalu duduk di meja kerjanya, ia berniat memeriksa pekerjaannya di sana.

"Mas sendiri sudah shalat?" tanya Aisyah setelah berwudhu dan mengambil peralatan shalatnya.

"Sudah."

"Di mana, Mas? Di masjid ya?"

"Kamu bisa enggak sih, enggak usah cerewet? Mau aku shalat di kebun binatang juga bukan urusan kamu kan?" jawab Aiman sembari menatap dingin ke arah Aisyah yang sempat terdiam dan mengangguk paham.

"Iya, Mas. Maaf." Aisyah menjabarkan sajadahnya lalu memulai shalatnya sedangkan Aiman yang tampak lelah masih berusaha bangun dari kursinya lalu pergi ke kamar mandi, ia berniat membersihkan diri dan berganti pakaian sehari-hari.

Aisyah yang sudah shalat dan mengganti shalat yang tertinggal, ia kembali memakai hijabnya bersamaan dengan Aiman yang baru keluar dari kamar mandi dengan wajah dan tubuh yang tampak segar. Namun ekspresinya masih terlihat sama, dingin dan tenang, berbeda dengan Aisyah yang justru bingung harus bagaimana sekarang.

"Mas Aiman sudah makan? Mau saya masakkan sesuatu?" tanya Aisyah ragu-ragu sembari mendekat ke arah laki-laki itu.

"Enggak usah, aku sudah makan." Aiman menjawab singkat sembari mengambil alas lantai dan juga selimut entah untuk apa tujuannya.

"Itu semua buat apa, Mas?"

"Buat tidur lah, untuk apalagi?" Aiman mulai tak sabar ditanyai terus oleh Aisyah.

"Tapi di ranjang kan sudah ada semuanya." Aisyah menunjuk ke arah ranjang suaminya, yang memang ada barang-barang yang sama dan tentu cukup untuk keduanya.

"Aku enggak akan tidur seranjang sama kamu."

"Maksudnya Mas bagaimana? Mas mau tidur di lantai?" tanya Aisyah terdengar tak yakin.

"Iya," jawab Aiman singkat sembari menyiapkan semua peralatan tidurnya termasuk bantal yang ia ambil dari ranjangnya.

"Kamu tidur saja di ranjang, aku akan tidur di sini." Aiman menunjuk ranjangnya lalu menunjuk ke arah tempat yang akan ia pakai untuk beristirahat.

"Ta-tapi kenapa, Mas? Kita kan sudah menjadi suami dan istri, seranjang kan enggak apa-apa, dari pada Mas tidur di lantai nanti sakit." Aisyah tentu saja khawatir dengan kondisi suaminya, meskipun ia tahu laki-laki itu sangat membencinya.

"Kamu masih tanya kenapa? Tentu saja karena aku enggak mau seranjang denganmu, dan meskipun kita sudah menjadi suami istri, aku enggak berniat menyentuhmu, jadi untuk apa kita satu ranjang?" Aiman menjawab tak habis pikir lalu membaringkan tubuhnya dan beristirahat di sana, tanpa memedulikan bagaimana Aisyah hampir menangis setelah mendengar ucapannya.

"Sabar, Aisyah. Sabar ...." Wanita itu menghembuskan nafasnya beberapa kali, dengan harapan bisa menenangkan hatinya yang terasa sesak di dalamnya.

Karena sudah tertidur cukup lama, kini Aisyah merasa tidak mengantuk, membuatnya berpikir harus melakukan apa sekarang. Sampai pada akhirnya ia melihat jam di dinding kamar, jam setengah sembilan malam. Di saat seperti ini Aisyah tentu merasa bingung bagaimana menghabiskan waktu sampai matanya mengantuk, sedangkan perutnya juga terasa lapar sekarang, namun ia sungkan bila harus ke lantai bawah sendirian.

Aisyah menatap ke arah Aiman, suaminya itu pasti sedang kelelahan sekarang dan meskipun tidak merasakannya pun, laki-laki itu juga mustahil mau menemaninya makan di saat-saat seperti ini. Sampai pada akhirnya Aisyah mengingat Ana, gadis itu pasti sedang berada di kamarnya sekarang, ia pikir tidak apa-apa jika ke sana.

Aisyah mengetuk pintu kamar Ana setelah berada di depannya, tak lama papan bercat putih itu terbuka, menampilkan seorang gadis yang menatapnya dengan mata bertanya.

"Kak Aisyah? Ada apa, Kak? Kok ke sini?" tanyanya khawatir, ia takut kakak iparnya itu bertengkar dengan kakaknya, mengingat hubungan mereka kurang baik bahkan sebelum mereka menikah.

"Enggak apa-apa, aku cuma mau tanya. Kamu lapar enggak?" tanya Aisyah lirih dan bahkan terdengar hati-hati.

"Sedikit sih. Kenapa, Kak? Kak Aisyah lapar ya?"

"Iya, tapi aku sungkan kalau harus pergi ke dapur sendirian." Mendengar jawaban Aisyah, Ana seketika tersenyum mendengarnya, merasa lucu saja dengan sikap kakak iparnya.

"Kenapa harus sungkan sih, Kak? Ini kan rumah Kak Aisyah juga, ya kalau mau makan tinggal ke dapur juga enggak apa-apa kali."

"Iya tapi tetap aja aku enggak enak kalau sendirian ke sana, kamu mau enggak temani aku masak sesuatu di dapur? Nanti aku akan masak buat kamu juga."

"Oke deh, aku mau." Ana mengangguk setuju lalu menutup pintu kamarnya, membuat Aisyah tersenyum lega mendengarnya.

"Memangnya Kak Aisyah terakhir makan jam berapa tadi?" tanya Ana saat mereka berjalan bersama menuruni tangga.

"Tadi pagi," jawab Aisyah jujur, yang berhasil mengejutkan adik iparnya tersebut.

"Tadi pagi, Kak? Pantas aja Kak Aisyah kelaparan malam-malam gini, harusnya Kak Aisyah itu makan tadi siang."

"Iya sih, tadi aku ketiduran makanya belum makan." Aisyah menjawab seadanya meskipun yang sebenarnya ia kelelahan dan pada akhirnya ketiduran.

"Itu kan, ya sudah kita makan apa setelah ini? Kak Aisyah mau mie enggak? Aku yang masak ya," ujar Ana yang langsung digelengi oleh Aisyah.

"Enggak usah, kamu tunggu aku di meja dulu aja ya, aku akan buat makanan untuk kita. Tunggu di sini, oke." Aisyah mengarahkan Ana untuk duduk yang mau tak mau gadis itu angguki, sedangkan Aisyah di dalam mencari bahan makanan yang bisa dimasak di kulkas dan ia sudah menemukannya dan langsung mengesekusinya.

Tak perlu membutuhkan waktu lama, Aisyah sudah siap dengan hasil masakannya dan juga nasi hangat yang kebetulan masih ada di mesin penanak. Ana yang melihat hasil masakan kakak iparnya yang terlihat lezat, seketika membulatkan mata dengan ekspresi kekaguman.

"Apa ini, Kak?"

"Ayam dibumbu kecap."

"Kok kayanya enak?"

"Kamu coba dulu rasanya!"

"Emnh beneran enak, sampai mau nangis," ujar Ana yang menurut Aisyah cukup berlebihan, namun mampu membuatnya tersenyum mendengar pujiannya.

"Ya sudah ayo dimakan, katanya kamu juga lapar kan." Aisyah memberi adik iparnya itu piring yang sudah berisikan nasi, sedangkan Ana hanya menganggukkinya lalu melahap makanannya.

"Kak Aisyah itu sempurna banget sih, sudah solehah, cantik, baik, pintar masak lagi. Kayanya Kak Aisyah ini enggak ada kurangnya sama sekali," ujar Ana dengan mengacungkan kedua jempolnya.

"Ada kok kurangnya."

"Apa coba?"

"Enggak bisa make up kaya kamu."

"Kalau cuma make up sih aku bisa ajarin Kak Aisyah."

"Memangnya boleh?"

"Boleh lah, tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Ajari aku masak juga."

"Oke, siap." Keduanya tertawa dan mengobrol banyak hal, mereka sendiri memang selalu cocok dalam hal apapun, jadi tak heran jika Aisyah merasa tak canggung saat mengobrol dengan adik iparnya tersebut.

Part 17

Di jam setengah lima subuh, Aisyah mendudukkan tubuhnya setelah terbangun dari tidurnya. Ia sendiri berniat shalat subuh, namun saat melihat ke arah suaminya yang masih terlelap, Aisyah sempat terdiam sebentar untuk berpikir suaminya itu harus dibangunkan atau tidak.

Aisyah tentu merasa bimbang mengingat sikap suaminya yang terkesan mengabaikannya, itu lah kenapa ia memilih untuk berwudhu saja. Hal itu ia lakukan bukan karena Aisyah ingin balas dendam, ia hanya tak ingin semakin membuat laki-laki itu membencinya.

Setelah dari kamar mandi dan berwudhu, Aisyah keluar dari sana dan mendapati suaminya masih di alam bawah sadarnya. Melihat itu yang Aisyah lakukan hanya menghela nafas, sepertinya suaminya itu kalau tidak dibangunkan dia akan telat shalat.

Meskipun begitu Aisyah memilih untuk tetap menunggu dan memakai mukenanya, namun lagi-lagi suaminya itu belum terbangun juga, jadi mau tak mau Aisyah harus menghampirinya untuk membangunkannya.

"Mas," panggilnya dengan mukena yang sudah ia pakai sebelumnya.

"Mas Aiman, bangun! Ini sudah waktunya shalat subuh, Mas. Mas." Aisyah menepuk-nepuk lengan laki-laki itu dengan kain mukena sebagai pembatas agar ia tak batal.

"Mas," panggilnya lagi yang kali ini berhasil membangunkan Aiman, bisa dilihat dari caranya mengedipkan matanya lalu menoleh ke asal suara, namun karena ia belum sadar sepenuhnya, matanya sedikit rabun saat melihat Aisyah dengan pakaian mukenanya.

"ARRGGGHHHH." Aiman berteriak tampak ketakutan, begitupun dengan Aisyah yang terkejut dan takut mendengarnya, dalam hati ia bertanya-tanya ada apa dengan suaminya.

"Kamu kenapa, Mas? Mas?" tanya Aisyah khawatir yang kali ini berhasil mendiamkan Aiman yang naik turun nafasnya.

"Astagfirullah aladzim. Jadi tadi kamu yang membangunkan aku? Aku pikir hantu." Aiman menggerutu kesal dengan nafas tak karuan, wajahnya yang ia tutupi dibuka dan baru menyadari bila yang membangunkannya adalah istrinya.

"Aku minta maaf, Mas. Aku membangunkan kamu karena ini sudah waktunya shalat subuh." Aisyah menjawab lirih, ia yakin dirinya akan semakin dibenci oleh suaminya sendiri.

"Memangnya ini sudah jam berapa?"

"Hampir jam lima ...."

"Astaga, ini pasti karena aku enggak terbiasa tidur di lantai, jadi aku tidurnya kebablasan." Aiman menggerutu kesal sembari membangunkan tubuhnya, membuat Aisyah merasa bersalah.

"Mas mudah bangun ya kalau tidur di lantai? Bagaimana kalau nanti malam aku saja yang tidur di sini, aku sudah terbiasa kok tidur di lantai." Aisyah menyentuh dadanya, ia benar-benar jujur saat mengatakannya karena memang seperti itu kenyataannya, sejak kecil ia dan anak-anak panti asuhan lainnya diharuskan tidur dilantai dan hanya dialasi kasur yang sangat tipis, namun saat ia sudah dewasa dan baligh ia memiliki kamar sendiri.

"Enggak usah." Aiman berjalan ke arah kamar mandi, namun sebelum itu Aisyah berniat bertanya sesuatu hal.

"Mas, kita akan shalat berjamaah bersama kan? Kalau iya, saya akan menunggu Mas selesai wudhu." Mendengar pertanyaan Aisyah, Aiman sempat menghela nafas panjangnya dengan tatapan lelah.

"Kamu enggak usah menungguku sekarang ataupun di shalat-shalat selanjutnya, karena aku enggak mau jadi imam shalat kamu meskipun aku sudah sah menjadi menjadi suami kamu." Aiman menjawab dengan lugas lalu pergi ke kamar mandinya, meninggalkan Aisyah yang kembali terluka mendengar ucapannya.

Aisyah benar-benar tak sanggup untuk tidak menangis sekarang, air matanya merembes begitu saja tanpa bisa ia tahan. Bahkan saat ia memulai shalatnya pun, tangisnya masih setia menemaninya.

"Ya Allah, luluhkan lah hati suamiku untuk mau menerimaku. Andai memang kami tidak berjodoh nantinya, pisahkan lah kami secara baik-baik tanpa harus ada pertengkaran di keluarga ini." Aisyah berdoa dalam hati setelah menyelesaikan shalatnya, tentu saja ia tidak mau Aiman mendengarnya meskipun sudah berungkali ia menangis karena sikapnya.

***

Aisyah membantu menyiapkan sarapan untuk keluarga suaminya, di mana kedua mertuanya sudah berada di meja makan begitupun dengan adik iparnya, Ana. Sedangkan suaminya sendiri justru belum datang, Aisyah juga tidak tahu apa yang sedang dilakukan laki-laki itu di kamarnya. Aisyah juga berusaha tak mempedulikannya, ia hanya fokus dengan pekerjaannya, sampai pada akhirnya ayah mertuanya memanggilnya.

"Aisyah."

"Iya, Yah? Ada apa?"

"Kamu sini cepat duduk, sebentar lagi kita akan sarapan bersama. Oh ya ngomong-ngomong suami kamu di mana? Masih di kamar ya?"

"Iya sepertinya, apa Ayah mau saya panggilkan Mas Aiman ke kamar?" tawar Aisyah yang digelengi oleh mertuanya.

"Enggak usah, kamu duduk saja." Mendengar ucapan mertuanya, Aisyah hanya mengangguk lalu menuruti permintaannya untuk duduk. Sampai pada akhirnya Aiman datang dan duduk di sampingnya, sedangkan Aisyah hanya menatapnya sekilas lalu fokus dengan piringnya.

"Karena Aiman sudah datang, kita bisa sarapan sekarang dan jangan lupa berdoa dulu," ujar Herlambang yang dituruti oleh semua keluarganya termasuk Aisyah.

"Aiman," panggil ayahnya kali ini.

"Iya, Yah. Kenapa?" Aiman menatap ke arah ayahnya sembari mengambil nasi untuk piringnya.

"Ayah mau bertanya sama kamu dan Aisyah, apa kalian ingin mengadakan acara resepsi? Supaya kita juga bisa mengundang lebih banyak tamu lagi, karena kan kolega kita itu banyak, jadi enggak enak kan kalau mereka enggak tau pernikahan kamu karena enggak diundang."

"Kalau aku enggak setuju, Yah." Aiman menjawab jujur, karena menurutnya itu bukan sesuatu yang penting.

"Kenapa?"

"Selain karena biaya yang harus dikeluarkan cukup banyak, aku juga kurang suka dengan acara yang terlalu lama menyita waktu. Lebih baik kita undang saja anak-anak panti asuhan, kita bisa berbagi sama mereka dari pada harus mengadakan resepsi pernikahan." Aiman menjawab dengan tenang, namun tidak dengan Aisyah yang merasa deg-degan setelah mendengar kalimat panti asuhan diucapkan.

"Acara sedekah dan pernikahan itu sesuatu hal yang berbeda, bagaimana mungkin kamu menyamakannya?"

"Aku tau itu, Pa. Tapi menurutku resepsi pernikahan itu enggak penting, dari pada uangnya terpakai untuk acara seperti itu, lebih baik kan kalau kita pakai untuk bersedekah?"

"Begitu ya? Kalau menurut kamu bagaimana, Aisyah? Apa kamu ingin ada acara resepsi pernikahan?" tanya Herlambang pada Aisyah yang sempat terkejut meskipun pada akhirnya ia menggelengkan kepala.

"Enggak, Yah."

"Kenapa? Apa alasan kamu?"

"Saya hanya ingin mengikuti apa kata Mas Aiman, jika menurut Mas Aiman itu bukan sesuatu yang perlu dilakukan, berarti saya tidak harus melakukannya kan, Yah?"

"Kalau soal santunan anak yatim? Apa kamu juga menyetujuinya seperti yang Aiman katakan?"

"Iya, saya tentu setuju, Yah." Aisyah menjawab seadanya, ia sendiri juga bingung harus bersikap bagaimana, namun yang pasti ia akan mengikuti apa yang suaminya katakan.

"Baiklah, Ayah akan memikirkannya nanti, andai harus diadakan resepsi pun kita harus mengadakannya setelah Ahsan pulang. Begitupun jika nanti harus mengadakan santunan anak yatim, kita juga harus menunggu dia ada di rumah." Herlambang berujar ke semua keluarganya, yang semuanya mengangguk setuju akan ucapannya.

"Tapi sebelum itu, bagaimana kalau kalian bulan madu saja? Kalian bisa pergi ke Bali atau mungkin ke luar negeri? Bagaimana?" tawar Herlambang yang berhasil membuat putranya itu tersedak, begitupun dengan Aisyah yang tampak terkejut mendengarnya.

"Apa? Bulan madu, Yah? Untuk apalagi sih, Yah?" Aiman terlihat lelah terlebih lagi harus mengerti jalan pemikiran ayahnya yang tak terduga.

"Ya untuk kalian liburan lah, kalian bisa pergi berdua untuk menikmati kebersamaan kalian. Bagaimana? Ide Ayah bagus kan?"

"Enggak usah ada bulan madu atau apapun itu lah, enggak ada gunanya juga, Yah." Aiman menolak mentah-mentah tawaran ayahnya, ia juga terlihat tidak suka saat mengatakannya.

"Kenapa lagi sekarang?"

"Ya buat apa bulan madu, Yah?"

"Apa kamu enggak ada keinginan untuk mengajak istri kamu pergi jalan-jalan atau liburan? Kalian kan baru kenal beberapa Minggu terus langsung menikah, kalian enggak memiliki cukup waktu untuk saling mengenal, atau saling bercerita, jadi apa salahnya pergi bersama?"

"Aku rasa kami enggak membutuhkan hal-hal seperti itu, Yah. Iya kan, Aisyah?" Aiman menoleh ke arah istrinya yang sempat terkejut meskipun pada akhirnya ia mengangguk setuju.

"Iya, Yah. Kami enggak butuh bulan madu," jawabnya menyetujui yang diangguki mengerti oleh mertuanya tersebut.

"Iya, baiklah. Ayah enggak bisa memaksa kalian, tapi jika nanti kalian berubah pikiran dan ingin liburan, kalian bilang saja ya nanti Ayah akan bayari kemanapun kalian mau pergi."

"Iya, Yah. Terima kasih." Aisyah tersenyum sembari mengangguk paham, sedangkan suaminya hanya mengangguk saja dengan ekspresi jengah.

***

Di meja kerjanya yang berada di kamarnya, Aiman menatap ke arah layar komputernya dengan begitu fokus padahal hari ini adalah hari Minggu, hari yang seharunya ia gunakan untuk bersantai namun sepertinya tidak untuk laki-laki itu semenjak ia menikah.

Ya, Aiman memang sering mengerjakan pekerjaannya saat ia sudah di rumah tepatnya semenjak ia menikah dengan Aisyah. Entah apa yang membuatnya melakukan hal itu, namun yang pasti cara itu cukup jitu untuk menghindari keberadaan wanita itu.

Aiman sendiri masih tak mengerti dengan apa yang dirasakannya selama ini, namun yang pasti ia hanya tak ingin melakukan apa-apa pada pernikahannya, ia bahkan tak memiliki bayangan bagaimana nasib rumah tangganya dan akan seperti apa nantinya.

"Mas," panggil Aisyah setelah keluar dari kamar mandi dengan hijab yang sudah menutupi kepalanya. Sampai detik ini pun Aiman memang belum pernah melihat rambut istrinya bahkan saat wanita itu tertidur pun hijabnya tak pernah lepas dari kepalanya. Wanita itu selalu berpakaian tertutup di depannya, dan hanya terbuka saat di dalam kamar mandi saja.

"Kenapa?"

"Hari ini kamu sibuk enggak?"

"Kamu enggak lihat aku lagi apa?" Aiman menatap ke arah Aisyah dengan tatapan pongah, yang membuat wanita itu terdiam tampak kecewa.

"Kenapa diam? Kamu butuh sesuatu?" tanya Aiman setelah menyadari kediaman istrinya, meskipun ia berusaha mengabaikannya namun tetap saja hatinya tidak pernah tega.

"Iya, sebenarnya aku ingin pergi keluar rumah."

"Astaga, kamu bilang aja dari awal, kenapa juga wajah kamu harus seperti itu?" Aiman menggeleng pelan sembari mengambil dompetnya, namun justru membuat Aisyah merasa bingung dengan maksudnya.

"Kartu ini kamu pakai saja! Beli apapun yang kamu mau, passwordnya 313133." Aiman memberikan sebuah kartu ATM ke arah Aisyah dengan ekspresi tenang seolah bukan sesuatu masalah yang besar.

"Apa ini, Mas?" tanya Aisyah sembari mengambilnya dengan tatapan heran.

"Ya kartu ATM lah, jangan bilang kalau kamu enggak tau cara pakainya!" Aiman menatap serius ke arah Aisyah, ia ragu wanita itu tidak mengetahuinya.

"Tentu saja aku tau, Mas. Tapi untuk apa? Aku enggak memintanya?"

"Tapi tadi kamu bilang ingin keluar? Itu artinya kamu butuh uang kan? Meskipun kamu enggak bilang, tapi aku tau kalau kamu mau minta uang ke aku."

"Aku enggak minta uang kok, Mas. Uang mahar dari kamu aja masih banyak, malahan masih utuh."

"Kenapa masih utuh? Kamu enggak memakainya?"

"Enggak."

"Kenapa?"

"Ya karena aku masih ada uang untuk aku pakai membeli semua kebutuhanku, Mas."

"Ya tapi tetap aja kamu harus menggunakan uangnya, kamu juga enggak usah takut menghabiskannya, karena kalaupun habis, aku masih mampu kok menafkahi kamu setiap bulannya." Aiman tentu merasa gemas dengan sikap istrinya yang menurutnya terlalu membatasi dirinya, padahal ia tak pernah menuntut apapun darinya terutama saat berhubungan dengan uang.

"Iya, Mas."

"Jadi kalau bukan karena uang, berarti tadi kamu mau bilang apa?"

"Aku cuma mau pamit aja kok, Mas."

"Oh cuma pamit? Ya sudah kalau mau pergi ya pergi aja! Lain kali enggak usah pamit juga enggak apa-apa," jawab Aiman yang hanya diangguki oleh Aisyah, padahal ia ingin diantar oleh suaminya karena sepertinya sedang libur, namun jika melihat sikapnya, rasanya mustahil jika laki-laki itu mau mengantarkannya.

Part 18

Tak terasa sudah satu bulan Aisyah menikah dengan Aiman, selama itu juga banyak hal dari sikapnya yang membuatnya lelah menjadi istrinya. Bagaimana tidak, jika laki-laki itu saja sering mengabaikannya dan mungkin seperti tidak menganggapnya.

Contohnya saja seperti saat mereka shalat, suaminya itu tidak mau menjadi imamnya, padahal hal itu adalah kewajibannya. Itu lah kenapa sampai sekarang bahkan sampai detik ini, Aisyah masih shalat sendiri begitupun dengan Aiman sendiri. Keduanya menjalankan perintah agama secara masing-masing, meskipun mereka tinggal dan tidur di ruangan yang sama.

Mungkin masalah itu tidak cukup berat untuk dipermasalahkan, namun bagaimana jika tidur seranjang? Semua orang pasti tidak akan mengira jika sampai saat ini Aiman belum pernah sekalipun menyentuh Aisyah. Jangankan untuk melakukannya, berbaring di ranjang yang sama saja tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.

Ya, Aiman masih mempertahankan pendiriannya yaitu tidur di lantai dan tidak berniat sedikitpun untuk menjamah istrinya bahkan di alam mimpinya sekalipun. Entah apa yang membuatnya begitu gigih dengan hasratnya sendiri, meskipun sudah banyak orang yang memuji kecantikan istrinya namun tak membuatnya ingin menyentuhnya.

Aiman juga tidak peduli saat Aisyah harus pergi keluar rumah untuk membeli keperluannya, atau harus pergi ke beberapa tempat untuk mengurus sesuatu hal. Selama ini Aisyah melakukan semuanya sendiri ditemani Ana, adik iparnya, hanya saat gadis itu ada di rumah dan tidak sibuk kuliah.

Meskipun begitu Aisyah merasa tidak keberatan, ia tetap sabar dan bahkan tetap berpamitan meskipun suaminya itu pernah mengatakan jika ia tak perlu melakukannya. Itu karena Aisyah tahu, di dalam agamanya mengharuskan seorang istri untuk selalu berpamitan pada suaminya kemanapun ia akan pergi.

Seperti saat ini, saat Aisyah akan pergi bersama dengan Ana untuk membeli bahan makanan, karena adik iparnya itu ingin belajar masak darinya. Aisyah ingin berpamitan pada Aiman yang posisinya sedang berada di ruang tamu, namun karena ia melupakan ponselnya, ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan menyuruh Ana untuk berpamitan lebih dulu pada ayahnya.

"Kamu ke depan dulu ya? Ayah sama Mas Aiman ada di sana kan, kamu pamitan dulu ke mereka, nanti aku nyusul."

"Memangnya Kak Aisyah mau ke mana lagi?"

"Aku mau ambil HP di kamar, sebentar aja kok."

"Oke, Kak." Ana mengacungkan kedua jempolnya lalu berjalan ke ruang tamu di mana ayah dan kakaknya memang sudah ada di sana.

"Wah anak Ayah yang paling cantik ini mau ke mana? Kok pagi-pagi sudah berhijab dan rapi kaya gini?" tanya Herlambang pada putrinya sembari menatap penampilannya.

"Aku sama Kak Aisyah mau pergi ke toko swalayan, Yah." Ana duduk di samping ayahnya sembari menggandeng lengannya, ia memang paling manja di antara anak-anak yang lainnya.

"Oh ya? Mau cari apa ke sana?"

"Kami mau cari bahan makanan, kan aku mau belajar masak sama Kak Aisyah."

"Wah bagus itu, kamu kan perempuan memang seharusnya bisa masak, apalagi sekarang kamu sudah dewasa, pasti kamu akan menikah, punya suami, punya anak, jadi enggak akan jauh-jauh dari kata memasak."

"Iya, Yah. Apalagi aku minta diajarinya sama Kak Aisyah, dia kan masakannya enak."

"Syukurlah jadi kamu enggak perlu jauh-jauh kan belajarnya? Tapi Ayah lihat-lihat sekarang kamu jadi sering keluar ya sama Aisyah."

"Iya, Yah. Kan suaminya Kak Aisyah enggak pernah mau antar dia, jadi mau enggak mau Kak Aisyah perginya sama aku." Ana melirik ke arah Aiman yang merasa tersindir dengan ucapannya.

"Maksud kamu siapa? Kakak?"

"Siapa lagi kalau bukan Kak Aiman? Kan Kak Aisyah enggak punya suami dua?"

"Ya buat apa Kakak antar dia? Dia kan bisa pergi sendiri? Dia juga bisa kemana-mana sama kamu kan?" jawab Aiman yang tentu saja tak ingin disalahkan.

"Tapi Kak Aiman tau enggak? Kak Aisyah itu sering diganggu loh sama cowok-cowok yang tertarik sama dia, makanya Kak Aisyah sekarang lebih suka pakai masker kalau keluar rumah."

"Terus apa hubungannya sama Kakak?"

"Ya ada lah, kan Kak Aiman suaminya, kalau Kak Aiman yang menemani Kak Aisyah pergi, pasti enggak akan ada yang berani ganggu, beda lagi kalau perginya sama aku."

"Memangnya ganggu bagaimana mereka?"

"Ya suka panggil-panggil dengan kata-kata menggoda gitu, apa sih namanya? Cat calling ya? Itu kan juga termasuk tindak pelecehan Kak." Mendengar jawaban Ana, Aiman jadi merasa kasihan dengan Aisyah, sebagai suaminya Aiman sendiri mengakui kecantikan istrinya jadi wajar jika banyak yang tertarik dengannya, namun ia juga yakin jika wanita itu pasti merasa tidak nyaman berada di posisi seperti itu.

"Untungnya kalau kita ke mall enggak ada sih orang yang kaya gitu, tapi tetap aja Kak Aisyah terlanjur enggak nyaman, jadi maskernya dipakai terus. Aku sempat menyuruh Kak Aisyah untuk membukanya karena kan memang situasinya sudah aman, tapi dia bilang enggak usah, lebih nyaman seperti itu." Ana melanjutkan celotehannya, ia paling antusias saat sedang menceritakan sesuatu hal.

"Ya wajar sih kalau Aisyah merasa enggak nyaman, dia kan dulu bercadar, jadi saat dia digoda sedikit aja dia pasti merasa enggak aman." Herlambang menjawab ucapan putrinya yang berhasil mengejutkan kedua anaknya.

"Oh ya? Jadi Kak Aisyah dulu sempat bercadar, Yag? Wah kok aku malah baru tau ya?" respon Ana dengan berdecap penuh kekaguman.

"Aisyah pernah bercadar, Yah?" tanya Aiman memastikan entah kenapa ucapan ayahnya mengingatkannya pada Icha.

"Iya, memangnya Aisyah enggak pernah cerita ya? Ayah pikir dia sudah pernah memberitahu kalian."

"Enggak pernah sih, Yah." Ana menggelengkan kepala, sedangkan Aiman justru terdiam dengan perasaan tak karuan entah karena apa.

"Ana," panggil Aisyah yang entah sejak kapan sudah berada di sana.

"Iya, Kak."

"Ayo kalau mau keluar sekarang," ujar Aisyah yang diangguki oleh Ana lalu keduanya bersalaman pada Aiman dan juga ayahnya.

"Yah, Mas, aku keluar dulu ya sama Ana." Aisyah berpamitan pada mereka, yang diangguki oleh keduanya.

"Hati-hati ya di jalan," ujar Herlambang.

"Iya, Yah." Aisyah dan Ana menjawab bersamaan, sedangkan Aiman hanya terdiam memerhatikan Aisyah yang tampak bahagia bersama dengan adiknya.

"Untung saja mereka akur ya, Man. Jadi Aisyah punya teman di rumah ini, kasihan kan dia enggak ada pekerjaan pasti cepat bosan kalau lagi sendirian."

"Iya, Yah."

"Oh ya hari ini Ahsan mau pulang, kamu bisa menjemputnya di bandara? Sebenarnya Ayah yang akan menjemputnya, tapi Ayah sama Bunda mendadak harus pergi setelah ini."

"Memangnya jam berapa pesawatnya sampai, Yah?"

"Kata Ahsan sih jam dua belas siang."

"Oh gitu? Masih keburu lah kalau aku ke sana, ya sudah kalau begitu aku siap-siap dulu di kamar ya, Yah." Aiman mendirikan tubuhnya yang diangguki oleh ayahnya.

"Iya."

***

Setelah berhasil bertemu dengan adiknya di bandara, kini Aiman dan juga Ahsan naik mobil ke arah tujuan pulang. Keduanya tampak akrab saat mengobrol bersama, sesekali mereka juga bercanda tawa, menikmati kerinduan yang sudah terpendam lama.

"Ngomong-ngomong kamu sudah berapa lama di sana?" tanya Aiman yang sempat membuat adiknya berpikir untuk menjawabnya.

"Mungkin sudah enam bulan lebih, aku juga enggak yakin sih, Kak." Laki-laki berkulit putih bernama Ahsan itu menjawab ragu, ia sendiri memang lupa sudah berapa lama ia tinggal di kota rantauan.

"Terus bagaimana sekarang? Kamu sudah menjadi karyawan tetap di sana?"

"Sudah, Kak."

"Wah, bagus lah. Kamu bisa cari pengalaman dulu di sana, nanti kalau kamu sudah siap, pasti Ayah akan menyuruh kamu pindah ke cabang perusahaannya."

"Aku enggak terlalu berharap sih, Kak. Toh, aku juga masih muda, masih banyak hal yang belum aku coba."

"Iya, kamu memang benar. Tapi capat ataupun lambat, kamu pasti akan disuruh mengurus perusahaan yang ada di sini, jadi siapkan diri kamu!"

"Aku mengerti, Kak. Oh ya bagaimana kabar semua orang di rumah? Mereka semua sehat kan?"

"Tentu saja mereka semua sehat." Aiman menjawab yakin sembari tetap fokus dengan aktivitas menyetirnya, sesekali ia juga memerhatikan tempat makan di sekitarnya.

"Kamu sendiri sudah makan?"

"Belum sih, Kak."

"Ya sudah kalau begitu kita mampir dulu ke warung makan langganan kita, bagaimana?" tawar Aiman yang langsung diangguki oleh Ahsan.

"Boleh deh, Kak. Aku sudah lama enggak makan ke sana, rasanya kangen juga."

"Oke siap."

***

Di dalam dapur rumahnya, Aisyah tengah mengajari Ana cara membuat kue brownies seperti pada keinginan adik iparnya itu, keduanya begitu asyik sampai tidak menyadari Aiman dan Ahsan sudah datang. Keduanya tentu merasa heran karena tidak ada orang yang menyambutnya, bahkan suasana rumah cukup sepi seolah tak berpenghuni.

"Ayah sama Bunda ke mana, Kak?"

"Mereka lagi pergi karena ada urusan mendadak," jawab Aiman sembari meletakkan tas adiknya di atas meja.

"Kalau Ana di mana? Kuliah ya?"

"Tadi sih pergi, enggak tau kalau sekarang." Aiman menaikkan bahunya, sampai saat keduanya mendengar langkah seseorang di ruang makan.

Di sisi lainnya, Ana mencoba mengambil brownies yang berada di dalam oven, sedangkan yang Aisyah lakukan hanya memperhatikannya meskipun sebenarnya ia merasa ingin membantu adik iparnya tersebut. Namun ia urungkan, karena ia ingin gadis itu bisa melakukannya sendiri.

"Ini yang sudah matang kamu letakkan aja di meja makan, nanti kalau sudah dingin bisa dibuka dari loyangnya terus dihias." Aisyah menunjuk ke arah loyang yang berisikan brownies tersebut, sedangkan Ana hanya menganggukinya lalu menuruti keinginannya.

"Siap, Kak." Ana berjalan ke arah meja makan lalu meletakkan loyang itu di atas sana, sesekali ia memerhatikan bentuknya dan merasa puas dengan hasilnya. Sebagai seseorang yang baru pertama kali belajar, tentu saja Ana merasa bangga, terlebih lagi ia melakukan semuanya sendiri dan hanya diarahkan oleh kakak iparnya.

"Assalamualaikum," salam seseorang yang berhasil membuyarkan lamunan Ana.

"Waalaikum salam." Gadis itu langsung menoleh ke asal suara sembari membalas salamnya, dan betapa terkejutnya ia saat melihat kakak keduanya berada di rumah.

"KAK AHSAN," teriaknya tak percaya sembari berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.

"Kak Ahsan apa kabar? Kok baru pulang ke rumah sih? Aku kangen tau enggak," ujar gadis itu di pelukan kakak keduanya tersebut.

"Kabar Kakak baik, kamu sendiri bagaimana kabarnya?"

"Aku juga baik sih, tapi enggak sebaik saat Kak Ahsan ada di rumah." Ana memanyunkan bibirnya yang tentu saja disenyumi oleh Ahsan yang mendengarnya.

"Kamu bisa aja," jawabnya sembari mencolek hidung adiknya.

"Ada apa, Ana? Kenapa kamu berteriak?" tanya Aisyah sembari berjalan cepat ke arah Ana setelah mendengar suaranya yang cukup keras, Aisyah sempat mencuci tangannya lalu segera ke arah meja makan untuk melihat apa yang terjadi dengan iparnya.

"Kak Aisyah sini!" pinta Ana sembari melambaikan tangannya, sedangkan Ahsan terlihat penasaran dengan wanita yang berjalan ke arah mereka. Ahsan sempat tertegun melihat kecantikannya, bisa dibilang ia kagum dengan parasnya terlebih lagi tatapan matanya yang meneduhkan.

"Kak Ahsan, perkenalkan ini namanya Kak Aisyah, dia istrinya Kak Aiman, Kakak ipar kita." Ana menunjuk ke arah Aisyah yang sudah berada di hadapan mereka, namun ia tak sadar jika ucapannya sempat membuat Ahsan kecewa mendengarnya.

"Oh istrinya Kak Aiman ya? Perkenalkan, aku Ahsan, adik Kak Aiman." Laki-laki itu tersenyum ke arah Aisyah yang mengangguk.

"Iya, aku Aisyah," jawab Aisyah sembari tersenyum ramah dengan tangan menyentuh dadanya, yang diangguki mengerti oleh Ahsan tanpa mau mengalihkan pandangannya dari wajah iparnya.


Part 19

Aiman bergabung dengan kedua adiknya dan juga istrinya, yang saat ini tengah duduk di meja makan, mereka tampak asyik mengobrol terutama Aisyah yang terlihat sudah akrab dengan Ahsan. Aiman sendiri merasa tidak apa-apa, ia bahkan bersyukur jika mereka bisa dekat selayaknya keluarga.

"Kamu sudah berkenalan dengan dia, Ahsan?" tanya Aiman sembari duduk di kursi yang berada di dekat adiknya, sedangkan Aisyah dan Ana berada di hadapannya.

"Dia maksudnya Kak Aisyah, Kak?"

"Iya, siapa lagi?" jawab Aiman terdengar lain jika berhubungan dengan istrinya tersebut, mungkin Ana sudah terbiasa dengan hal itu, namun tidak dengan Ahsan yang justru merasa heran.

"Iya, Kak. Aku sudah berkenalan kok," jawab Ahsan seadanya sembari menatap ke arah Aisyah yang terlihat berubah sikapnya dari sebelumnya.

"Oh ya Kak, mumpung Kak Aiman sudah ada di sini, sekarang aku mau potong kue buatan aku sendiri yang dibantu oleh Kak Aisyah yang paling baik hati." Ana mendirikan tubuhnya sembari menunjuk kuenya dengan kedua tangannya, ia tampak sangat bangga saat memperlihatkannya ke mereka semua.

"Kak Aiman sama Kak Ahsan harus coba kue buatan aku, kalian juga harus nilai rasanya. Sebentar, aku potong dulu." Ana memotong kue tersebut lalu meletakkannya pada dua piring kecil dan memberikannya pada Aiman dan juga Ahsan.

"Silakan dicicipi!" ujar Ana lagi sembari memberikan kue itu ke mereka berdua.

"Bagaimana rasanya, Kak?" tanya Ana penuh harap pada Ahsan yang tampak tak percaya dengan rasanya, bisa dilihat dari ekspresi wajahnya.

"Wah rasanya enak banget, terus coklatnya juga meleleh di dalam, Kakak enggak percaya kamu bisa buat kue seenak ini." Ahsan begitu antusias saat mengatakannya, yang tentu saja membuat Ana kian bangga dengan dirinya.

"Iya dong, pakai resep siapa dulu? Kak Aisyah." Ana menjawab dengan bangga nama Kakak iparnya, yang membuat wanita itu tersenyum mendengarnya.

"Kalau menurut Kak Aiman, bagaimana rasanya? Enak enggak, Kak?" tanya Ana ke arah Aiman kali ini, namun laki-laki itu justru terlihat biasa saja dan bahkan terkesan tidak menyukainya.

"Biasa aja, rasa kuenya juga terlalu manis." Mendengar jawaban Aiman, Ana seketika terdiam dengan ekspresi kecewa, membuat Aisyah merasa bersalah dan berusaha untuk menghiburnya.

"Aku minta maaf ya, Ana. Karena aku yang sudah menyuruh kamu kasih gulanya, mungkin karena itu rasanya jadi terlalu manis. Nanti kita bisa mencobanya lagi tapi dikurangi gulanya, bagaimana?" ujar Aisyah yang diangguki oleh Ana, meskipun kecewa dengan jawaban kakaknya, namun ia juga ingin mencoba rasanya.

"Memangnya iya ya terlalu manis? Tadi gulanya juga enggak terlalu banyak kok," gumam Ana sembari mencicipinya dan menurutnya rasanya sangat pas dan enak, tidak kemanisan terlebih lagi biasa saja.

"Enak kok rasanya, lidah Kak Aiman bermasalah ya?" ujar Ana kesal ke arah Aiman yang tampak tenang dan bahkan menggelengkan kepalanya.

"Enggak kok, Kakak cuma enggak suka aja sama resep kue brownies yang kaya gitu." Aiman mendirikan tubuhnya lalu melenggang pergi begitu saja, meninggalkan mereka bertiga dengan ekspresi berbeda-beda.

"Apaan sih enggak jelas?" Ana tentu merasa kesal, karena kakaknya tidak bisa menghargai usahanya, padahal ia sudah sangat berusaha payah untuk mempelajarinya.

"Kak Aiman kan memang enggak suka manis, Ana. Kamu sendiri tau itu kan, sudah ya! Jangan marah! Kakak suka kok." Ahsan berusaha menenangkan adiknya, sedangkan Aisyah justru terdiam karena ia sadar dengan maksud ucapan Aiman, suaminya itu bukan tidak suka dengan kue buatan adiknya, namun ia hanya tidak suka resep itu berasal darinya, istri yang masih dibencinya.

"Ya tapi tetap aja, Kak Aiman enggak usah bilang kaya gitu juga." Ana masih terlihat kesal yang membuat Aisyah merasa semakin bersalah, itu lah kenapa ia mendirikan tubuhnya dan berniat pergi dari sana.

"Aku ke kamar sebentar ya, Ana. Nanti aku ke sini lagi, aku mau ambil sesuatu di sana." Aisyah berpamitan sembari tersenyum ke arah mereka, yang hanya diangguki oleh Ana dan juga Ahsan.

Di dalam kamarnya, Aiman tengah duduk di meja kerjanya, ia berniat memeriksa beberapa file yang akan ia bawa besok ke kantornya. Namun sebelum ia melakukannya, Aisyah sudah datang dan berjalan menghampirinya.

"Maksud Mas apa sih tadi ke Ana?" tanyanya terdengar menahan kesal yang kali ini ditatap tenang oleh suaminya.

"Apanya? Kamu ini berbicara tentang apa?"

"Apalagi kalau bukan tentang kue buatan Ana? Mas sengaja kan mengatakan itu untuk merendahkan aku, tapi Mas tau enggak kalau ucapan Mas itu juga menyakiti hati Ana?" ujar Aisyah dengan tatapan marah dan mungkin untuk pertama kalinya ia melakukannya.

"Aku enggak tau, dan lagi kenapa juga Ana harus merasa sakit hati cuma karena ucapanku?" tanya Aiman tak habis pikir, ia masih terlihat tak ingin disalahkan, padahal Aisyah sudah mulai kehilangan kesabaran.

"Mas enggak sadar atau memang pura-pura enggak tau?" tanya Aisyah yang mulai ditatap lelah oleh Aiman.

"Enggak usah berbelit-belit, kamu langsung bilang aja intinya itu apa?"

"Mas yang berbelit-belit, bukan aku. Aku tau Mas enggak pernah suka sama aku, tapi apa harus Mas bersikap seperti tadi ke Ana? Dia itu enggak salah apa-apa, dia cuma ingin belajar masak dan buat kue sama aku, itu aja. Tapi Mas melampiaskan kebencian Mas ke aku tanpa lihat situasinya, sekarang Ana merasa sedih setelah mendengar ucapan Mas tadi," ujar Aisyah sembari menunjuk ke arah pintu, ekspresi wajahnya terlihat marah dan juga kecewa yang mulai Aiman sadari kesalahannya.

"Aku enggak berniat buat Ana sedih," jawab Aiman yang langsung Aisyah angguki.

"Aku tau, karena niat Mas cuma ingin merendahkan aku seperti sebelum-sebelumnya kan?" jawab Aisyah cepat yang tentu saja ingin Aiman elak jawabannya.

"Ya bukan gitu juga."

"Sudahlah, Mas. Pernikahan kita memang dilandasi oleh perjodohan dan rasa terpaksa, aku enggak akan menyalahkan kamu, andai kamu belum bisa menerima pernikahan ini. Tapi aku mohon, jangan bawa-bawa siapapun saat kamu membenciku apalagi Ana, dia gadis yang sangat baik," ujar Aisyah dengan suara serak seolah sedang menahan tangisnya.

"Jadi kamu maunya bagaimana?" tanya Aiman to the point karena ucapannya selalu wanita itu dahului meskipun jawabannya juga ada benarnya.

"Aku mau Mas minta maaf ke Ana, jangan buat dia sedih lagi!" pinta Aisyah yang langsung Aiman angguki.

"Oke, aku akan minta maaf sama dia, sekarang aku akan menemuinya di sana." Aiman menghela nafas panjangnya lalu berjalan keluar dari kamarnya dan untuk pertama kalinya ia merasa bersalah pada Aisyah, dan bahkan mau menuruti keinginannya dengan perasaan suka rela. Sedangkan Aisyah sendiri hanya terdiam dan mengikutinya dari belakang, ia hanya ingin memastikan suaminya benar-benar datang menemui adiknya.

"Ana," panggil Aiman dengan nada lembut, namun gadis yang masih berada di kursi makannya itu justru mengalihkan tatapannya, membuat Aiman sadar jika ucapannya benar-benar sudah menyakiti hati adiknya.

"Ana, aku periksa dulu kuenya ya yang ada di dapur," ujar Aisyah sembari berjalan ke arah dapur, sedangkan Ahsan yang paham situasinya langsung mendirikan tubuhnya.

"Ana, Kakak ke kamar dulu ya, Kakak mau mandi terus istirahat." Ahsan berpamitan namun adiknya itu masih enggan menjawab.

"Ana," panggil Aiman lagi sembari duduk di sampingnya namun gadis itu masih tak bergeming dari posisinya.

"Kakak minta maaf ya kalau ucapan Kakak tadi sudah menyakiti hati kamu, Kakak tadi enggak berniat seperti itu." Aiman berujar tulus pada Ana, namun sepertinya gadis itu masih mempertahankan amarahnya.

"Kamu jangan diam aja! Apa kamu masih marah? Kalau iya, Kakak minta maaf, Kakak menyesal sudah buat kamu kecewa," ujar Aiman lagi yang kali ini mau Ana tatap wajahnya.

"Kan Kak Aiman tau kalau aku baru belajar buat kue, harusnya Kak Aiman jangan bilang kaya gitu lah, aku kan sudah berusaha keras buat kue itu, tapi malah dibilang enggak enak." Ana berusaha menahan tangisnya yang ditatap iba oleh kakaknya, meskipun di akhir kalimatnya ia tidak setuju dengan ucapannya.

"Kakak kan enggak bilang kalau kue buatan kamu enggak enak," elak Aiman.

"Iya, tapi Kak Aiman bilang kalau kue buatan aku rasanya biasa aja. Huaaaahhhhhh." Akhirnya Ana menumpahkan tangisnya, air mata yang sejak tadi ia tahan kini mengalir deras di wajahnya, membuat kakaknya merasa khawatir dan langsung memeluknya.

"Iya-iya, Kakak salah. Kakak minta maaf ya, Kakak janji enggak akan mengulangi kesalahan itu lagi."

"Benar ya?" Ana melepaskan pelukannya, meskipun masih terlihat kesal, namun pada akhirnya ia mau memaafkan kakaknya.

"Iya." Aiman menjawab dengan sabar sembari menghela nafas panjangnya, merasa lelah dan lega di waktu yang sama. Di sisi lainnya, Aisyah tersenyum melihat mereka kembali dekat, itu artinya ia tak perlu merasa bersalah pada Ana, ia sendiri sadar karena dirinya lah sikap kakak dari gadis itu sempat kasar padanya.

***

Malam harinya, Herlambang dan istrinya pulang ke rumah dan langsung menghampiri Ahsan, putra kedua mereka. Sedangkan posisi semua orang saat ini sedang berada di ruang makan termasuk Aisyah, suasananya juga sempat heboh dengan pelukan dan juga candaan. Dan kini mereka semua sudah ada di kursi masing-masing untuk membicarakan banyak hal termasuk bagaimana keadaan Ahsan saat tinggal di sana dan jauh dengan keluarga.

Aisyah yang notabenenya hanya menantu dan bukan bagian dari keluarga mereka, tentu saja yang ia lakukan hanya diam dan memerhatikan, ia juga tak berniat bergabung dengan pembicaraan mereka terutama saat semua orang sedang bercanda tawa. Di saat-saat seperti ini, mungkin yang bisa Aisyah lakukan hanya menyimak obrolan dengan sesekali ikut tersenyum saat ada sesuatu yang lucu menurutnya.

"Sudah-sudah bercandanya, lebih baik sekarang kita makan dulu," ujar Herlambang yang berhasil menghentikan obrolan keluarganya.

"Ahsan, kamu makan yang banyak ya! Ayah yakin kamu di sana pasti jarang makan dengan teratur kan?" Herlambang memberikan daging ke piring putra keduanya, yang diangguki dan disenyumi olehnya.

"Iya, Yah. Terima kasih."

"Memangnya selama di sana, siapa yang masak buat Kak Ahsan?" tanya Ana terdengar penasaran.

"Ya enggak ada yang masak, kan di sana tinggalnya cuma di kos-kosan, kalau mau makan ya harus beli atau masak dulu." Ahsan menjawab seadanya, yang tentu saja mendapatkan tatapan kasihan dari mata Ana.

"Kasihan Kak Ahsan sendirian di sana, enggak ada yang masakin. Andai aja Kak Aisyah yang jadi istrinya Kak Ahsan, pasti Kak Ahsan enggak perlu beli makan lagi tapi masih bisa makan enak setiap hari," ujar Ana yang berhasil mengejutkan semua orang yang mendengarnya terutama Aisyah dan Ahsan, mereka bahkan hampir tersedak saking syoknya.

"Ana, kamu ngomong apa sih, Sayang?" ujar bundanya yang tentu saja merasa tak nyaman dengan situasinya sekarang.

"Kenapa, Bunda? Aku cuma berandai-andai aja kok, toh Kak Aiman juga enggak akan keberatan, kan dia enggak peduli sama Kak Aisyah."

"Kamu masih marah ya karena masalah tadi siang?" tanya Aiman serius yang justru disenyumi oleh Ana, yang bahkan tampak tenang seolah ucapannya bukan masalah yang besar.

"Enggak lah, Kak. Santai dong, enggak usah marah, aku sudah bilang kan, aku itu cuma berandai-andai karena aku merasa Kak Ahsan itu kasihan tinggal sendirian di sana apalagi harus jauh dari keluarga."

"Ya tapi kenapa harus bawa-bawa Aisyah? Dia kan istri Kakak," jawab Aiman yang tentu saja mengejutkan Ana.

"Oh ya? Tapi sikap Kak Aiman kaya bukan seperti suaminya." Ana menyindir kakaknya, membuat semua orang merasa tak nyaman berada di sana terutama Aisyah, tentu saja karena ia yang menjadi bahan obrolan adik iparnya. Sedangkan Ahsan turut merasakan hal yang sama, namun ia justru lebih penasaran dengan apa yang Ana katakan tentang sikap kakaknya pada istrinya, Aisyah.

"Kalian ini kenapa sih? Jangan ribut di depan makanan, kaya anak kecil tau enggak?" tegur Herlambang ke arah Ana dan juga Aiman.

"Aku sudah makannya, aku mau ke kamar dulu." Ana mendirikan tubuhnya lalu pergi dari sana, diikuti Aisyah yang turut melakukan hal yang sama.

"Saya akan berbicara dengan Ana, Yah. Saya permisi dulu," pamit Aisyah sopan yang diangguki oleh mertuanya tersebut.

Kini Aisyah berjalan mengikuti langkah Ana, ia berniat memanggilnya, namun ia justru mendengar suara isakkan dari sana. Aisyah tentu merasa ragu bila adik iparnya itu sedang menangis, karena setahunya dia terlihat baik-baik saja saat masih berada di meja makan.

"Ana," panggil Aisyah yang berhasil menghentikan langkah Ana, namun di detik berikutnya gadis itu justru berlari ke kamarnya, yang langsung Aisyah susul dengan cepat langkahnya.

"Ana, kamu nangis? Tapi kenapa?" Aisyah bertanya hati-hati setelah adik iparnya itu masuk ke kamarnya dan membaringkan tubuhnya di ranjang dengan posisi tengkurap.

"Aku benci sama Kak Aiman," ujarnya terdengar lirih namun masih bisa Aisyah dengar suaranya.

 

Part 20

Aisyah menghembuskan nafas panjangnya setelah mendengar pernyataan dari Ana, gadis itu mengatakan bila ia membenci kakaknya yang bernama Aiman. Aisyah tentu merasa paham dengan apa yang terjadi, semua pasti tidak akan jauh-jauh dari masalah tadi siang.

"Kamu masih marah sama Kak Aiman gara-gara masalah tadi siang? Bukannya kamu sudah memaafkan kakak kamu ya? Kok sekarang kamu bilang benci sama dia?" Aisyah mengusap puncak kepala Ana, namun gadis itu masih tak ingin mengubah posisinya dan tetap mempertahankan tangisnya.

"Aku tau Kak Aiman itu sudah keterlaluan, dia kan juga sudah minta maaf, tapi kenapa kamu masih membencinya, Ana? Sudahlah, jangan terlalu dibesar-besarkan ya, kasihan kan Kak Aiman." Aisyah masih berusaha sabar meskipun sebenarnya ia sempat kecewa dengan ucapan Ana tentang ia dan Ahsan.

"Kamu kan sudah dewasa, jadi akan lebih baik jika kamu bisa mengontrol emosi kamu di depan semua orang ya?" ujar Aisyah lagi yang kali ini berhasil membangunkan Ana dari tengkurapnya, dengan wajah sembab ia menatap kakak iparnya tersebut.

"Kenapa cuma aku yang Kak Aisyah suruh untuk mengontrol emosi? Kenapa Kak Aisyah enggak menyuruh Kak Aiman juga? Dia kan juga sudah dewasa, bahkan usianya lebih jauh di atas aku. Kenapa?"

"Ya kan Kak Aiman sudah bisa mengontrol emosinya sendiri, Ana."

"Enggak. Buktinya sampai sekarang Kak Aiman masih bersikap seenaknya ke Kak Aisyah, bahkan saat di depan orang sekalipun."

"Maksud kamu bagaimana? Sikap Kak Aiman yang mana?"

"Sudahlah, Kak. Kak Aisyah enggak usah pura-pura lagi, aku tau selama ini Kak Aisyah sering nangis kan gara-gara sikap Kak Aiman itu? Kenapa sih Kak Aisyah masih sabar? Kenapa Kak Aisyah enggak berusaha marah? Kan Kak Aisyah juga berhak marah." Ana kian menangis saat menatap kakak iparnya, yang masih berusaha terlihat tenang di depannya.

"Kayanya kamu sudah salam paham, Ana."

"Salah paham bagaimana? Aku sering lihat Kak Aiman mengabaikan Kak Aisyah, dia juga beberapa kali enggak jawab ucapan Kakak kan? Terus juga dia sering pergi gitu aja saat Kak Aisyah lagi bicara, bahkan Kak Aiman juga pernah bentak Kak Aisyah di depan kita semua, jadi apanya yang salah paham? Sikap Kak Aiman itu sudah keterlaluan, Kak. Tapi kenapa sih Kak Aisyah masih mau bertahan sama dia?" Ana mengusap air matanya, ia benar-benar kecewa dengan semuanya.

"Ana, ini kan rumah tanggaku, akan lebih baik jika kamu enggak perlu ikut campur ya? Aku enggak apa-apa kok." Aisyah tersenyum sembari membantu mengusap air mata adik iparnya yang kali ini tangannya ditahan olehnya.

"Awalnya aku juga enggak mau ikut campur, Kak. Tapi kejadian tadi siang saat Kak Aiman mencela kue buatanku, aku jadi sadar kalau diperlakukan seperti itu rasanya enggak enak, apalagi Kak Aisyah yang sudah berulang kali diperlakukan dengan cara yang sama. Makanya tadi aku mau balas Kak Aiman, supaya dia juga tau rasanya jadi Kak Aisyah itu kaya gimana." Ana menunjuk ke arah kanannya dengan air mata yang kian deras membasahi wajahnya, yang kali berhasil merobohkan pertahanan Aisyah, wanita itu turut menangis setelah mendengar ucapan adiknya.

"Kamu kan sudah memaafkan Kak Aiman, jadi kamu enggak perlu lagi melakukan hal seperti itu lagi ya? Untuk masalah rumah tanggaku, ya biar aku aja yang menanggungnya." Aisyah mengusap air matanya lalu menyentuh tangan adik iparnya, ia berusaha tersenyum meskipun sebenarnya ia juga terluka.

"Tapi sampai kapan, Kak? Aku cuma kasihan sama Kak Aisyah, Kakak itu wanita yang baik, enggak pantas diperlakukan kaya gini terus-terusan. Aku sebagai adiknya aja enggak tahan lihatnya, apalagi Kak Aisyah yang menjalaninya."

"Aku enggak apa-apa kok, jadi kamu enggak perlu khawatir ya!"

"Bagaimana caranya aku enggak khawatir? Kak Aiman dulu itu enggak pernah kaya gitu ke orang, tapi kenapa ke istrinya malah bersikap seenaknya, aku sampai sekarang aja masih enggak ngerti sama jalan pikirannya. Kayanya dia diguna-guna, Kak. Atau jangan-jangan dirasuki arwah gentayangan," jawab Ana yang mulai merasa tenang, namun ucapannya itu justru membuat Aisyah tersenyum mendengarnya.

"Ana, menikah dengan orang yang enggak kita cintai itu sulit, jadi wajar kalau Kak Aiman masih belum terima dengan pernikahan ini, makanya sikapnya sedikit kurang lembut aja, tapi enggak apa-apa kok."

"Kalau Kak Aisyah sendiri bagaimana perasaannya ke Kak Aiman? Apa Kak Aisyah mencintainya, makanya Kak Aisyah sabar menghadapi sikapnya?" tanya Ana yang kali ini didiami oleh Aisyah, karena ia sendiri juga masih tak mengerti dengan hatinya selama ini.

"Aku enggak tau, aku cuma ingin menjalani pernikahan ini aja." Aisyah menaikkan bahunya, berusaha terlihat baik-baik saja di depan Ana, namun tidak dengan pikirannya yang masih kalut oleh problema hidupnya.

***

Di kamarnya, Aisyah berniat mengistirahatkan tubuhnya, namun sebelum ia sampai di ranjangnya, pintu kamarnya terbuka oleh seseorang, mendengar itu Aisyah menoleh ke arah asal suara dan mendapati suaminya ada di sana.

"Aisyah," panggilnya.

"Iya, Mas. Kenapa?"

"Kamu tadi sudah berbicara dengan Ana kan?"

"Sudah, Mas."

"Kenapa lagi dia?"

"Dia enggak apa-apa kok, Mas."

"Jangan bohong kamu! Ana marah lagi sama aku kan?"

"Enggak, Mas."

"Enggak-enggak bagaimana? Jelas-jelas tadi dia ingin merendahkan aku di depan Ayah, Bunda, dan juga Ahsan. Apa namanya kalau bukan karena dia sedang marah sama aku?"

"Ana tadi cuma bercanda, dia enggak serius, aku juga sudah kasih tau dia kalau enggak seharusnya dia bersikap seperti itu di depan banyak orang apalagi saat makan." Aisyah tentu menutupi apa yang terjadi, ia hanya tidak mau Ana mendapatkan masalah karena rumah tangganya.

"Ana enggak pernah bersikap seperti itu sebelum ini, apalagi sampai berani menyindirku di depan banyak orang, dia jadi berubah semenjak dekat sama kamu." Aiman menunjuk ke arah wajah Aisyah yang terlihat lelah mendengar tuduhannya.

"Terus maksud Mas Apa? Apa Mas pikir, aku yang menyuruhnya untuk bersikap seperti tadi?" tanya Aisyah tak percaya sembari menunjuk dirinya.

"Aku enggak bilang seperti itu."

"Tapi ucapan Mas seolah ingin menuduhku."

"Menuduh apa? Aku enggak mengatakan apa-apa kan? Kalau kamu enggak merasa menyuruh Ana, seharusnya kamu enggak usah takut!"

"Aku enggak takut, aku cuma enggak suka difitnah."

"Oke, mungkin kamu enggak menyuruhnya, tapi diam-diam kamu mempengaruhinya kan selama ini?" tuduh Aiman lagi yang kian membuat Aisyah merasa lelah dengan semua ucapannya.

"Terserah Mas mau bilang apa? Aku sudah enggak tau lagi harus bagaimana, karena apapun yang aku lakukan itu enggak akan pernah buat kamu berpikir kalau aku ini baik. Kamu selalu bersikap seolah-olah aku wanita jahat, yang sudah menghancurkan kehidupan kamu yang damai." Mata Aisyah mulai berkaca-kaca saat mengatakannya sampai pada akhirnya untuk pertama kalinya ia memperlihatkan tangisnya di depan Aiman, saking lelahnya ia menghadapi sikapnya yang cukup keterlaluan.

"Mau ke mana kamu?" tanya Aiman yang masih ingin berbicara, namun Aisyah mengabaikan pertanyaannya dan pergi begitu saja dari kamar mereka. Aiman yang melihat sikap istrinya itu, ia merasa marah dan juga merasa bersalah di waktu yang sama. Karena ia sendiri juga bingung kenapa ia harus bersikap berlebihan pada istrinya itu, padahal selama ini istrinya selalu menerima ucapan kasarnya dan berusaha menuruti keinginannya.

Di sisi lainnya, Aisyah keluar dari kamarnya dengan air mata yang sudah merembes di wajahnya dan hal itu dilihat oleh Ahsan yang baru akan masuk ke kamarnya. Melihat kakak iparnya yang sedang tidak baik-baik saja, Ahsan berniat menyusulnya untuk menanyakan keadaannya.

Aisyah berjalan cepat ke arah depan rumah, sesampainya di sana ia duduk di sebuah bangku kayu yang ada mejanya, ia menundukkan wajahnya dengan kedua lengannya sebagai bantalannya. Aisyah menangis sejadi-jadinya, perasaan sabar yang berusaha ia tahan kini akhirnya meledak dan pada akhirnya Aisyah menyampaikannya dengan rasa amarah.

"Kak," panggil Ahsan hati-hati sembari duduk di depannya, membuat Aisyah yang mendengar suaranya seketika terkejut dan melihat siapa yang sudah memanggilnya.

"Ahsan ...." Aisyah berusaha menghapus air matanya, ia tak ingin dilihat siapapun tangisannya.

"Kak Aisyah kenapa? Lagi bertengkar ya sama Kak Aiman?"

"Enggak kok."

"Kak Aisyah tenang aja, aku enggak berniat ikut campur, tapi akan lebih baik kalau Kak Aisyah masuk aja ke dalam rumah, ini kan sudah malam, anginnya enggak bagus untuk kesehatan."

"Aku enggak apa-apa kok, aku mau di sini sebentar, kamu kalau mau masuk, masuk aja!" Aisyah masih berusaha untuk tersenyum, yang kian membuat Ahsan merasa kasihan.

"Aku temani boleh?"

"Enggak usah, kamu tidur aja, kamu pasti capek kan dari perjalanan tadi siang."

"Aku enggak capek kok, aku tadi juga sudah istirahat. Kalau ada yang mau Kak Aisyah ceritakan, aku akan siap dengarkan, aku janji enggak akan mengatakannya ke siapapun." Ahsan berujar tulus ke Aisyah, yang justru disenyumi olehnya.

"Terima kasih, tapi aku benar-benar enggak apa-apa, aku menangis tadi cuma karena ada masalah kecil. Kalau begitu aku masuk dulu ya, kamu juga harus masuk ke dalam." Aisyah mendirikan tubuhnya sedangkan Ahsan langsung menganggukkinya.

"Iya," jawabnya singkat sembari menatap ke arah punggung Aisyah yang mulai menghilang di telan jarak. Di dalam keheningan malam, perasaan Ahsan mulai tak karuan, entah apa yang sebenarnya sedang ia rasakan, namun rasanya benar-benar tak nyaman.

***

Subuh harinya, seperti biasa Aisyah dan Aiman sama-sama terbangun lalu wudhu secara bergantian, namun yang membedakannya kini ekspresi Aisyah yang terlihat datar dan tenang. Wanita itu bahkan langsung menjabarkan sajadahnya begitu saja, lalu memulai shalatnya tanpa ada sepatah kata sebelumnya, membuat Aiman merasa ada yang janggal dengan sikapnya. Meskipun begitu ia memulai shalatnya, berusaha untuk mengabaikan sikap istrinya yang tak biasanya.

Setelah selesai shalat, Aisyah melepas mukenanya dan melipatnya, ia juga langsung keluar dari kamar tanpa bertanya terlebih dulu pada Aiman ingin sarapan apa. Padahal kalau hari-hari sebelumnya, wanita itu selalu cerewet menanyakan apa yang ingin ia makan dan apa yang ingin ia minum untuk pendamping sarapan.

"Tumben dia enggak cerewet? Apa gara-gara tadi malam ya?" gumam Aiman sembari menaikkan bahunya lalu pergi ke kamar kecil untuk mandi dan bersiap-siap diri ke kantor. Setelah cukup lama berada di dalam akhirnya Aiman selesai, ia memakai kemejanya, dan juga celananya, namun saat mencari dasinya, ia tak menemukan warna favoritnya.

"Di mana dasi yang biasanya ya?" Aiman terus mencarinya, namun tetap tidak bisa menemukannya.

"Pasti Aisyah yang menyimpannya," gumam Aiman yakin lalu keluar dari kamar berniat menemui istrinya di dapur, yang mungkin saat ini sedang membuat sarapan seperti pagi-pagi sebelumnya.

"Aisyah," panggil Aiman saat wanita itu meletakkan wadah berisikan nasi goreng di atas meja, namun bukannya menjawab, wanita itu justru mengabaikannya dan kembali ke dapurnya.

"Dia pasti sengaja mengabaikan aku," geram Aiman mulai kesal, itu lah kenapa ia berniat menyusulnya ke dalam, entah apa yang sedang dilakukan istrinya namun yang pasti Aiman berniat menepuk pundaknya.

"Aisyah," panggilnya bertepatan dengan istrinya membalikkan badan dan terjadilah tubrukan di antara mereka, membuat kopi yang berada di tangan Aisyah tumpah di kemeja Aiman.

"Aghh," teriak Aisyah tertahan dengan ekspresi terkejut sekaligus panik, terlebih lagi saat melihat kemeja suaminya yang sudah berwarna coklat dan yang pasti terasa panas.

"Kamu ini bagaimana sih?" Aiman tentu merasa kepanasan, membuat Aisyah merasa bersalah dan berusaha mengelapnya.

"Aku minta maaf, Mas. Aku enggak tau kalau kamu ada di belakangku." Aisyah menatap bersalah pada Aiman, matanya yang bulat tampak panik namun hal itu justru membuat Aiman terdiam.

"Mata ini ...." Aiman bergumam dalam hati, entah kenapa ia merasa Dejavu dengan kepanikan Aisyah terlebih lagi saat melihat matanya yang membulat seperti mirip dengan seseorang.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya HARGA PROMO || ISTRI YANG TAK INGIN KUSENTUH TERNYATA [PART 21- ENDING]
4
2
Menjadi yatim piatu di umurnya yang baru dua tahun, mengharuskan Aisyah tinggal di sebuah panti asuhan. Sampai pada akhirnya di usianya yang menginjak tujuh belas tahun, ia diberitahu semua kebenarannya tentang orang tuanya. Aisyah tentu terkejut mendengarnya, namun yang lebih mengejutkannya lagi adalah alasan kenapa selama ini ia tidak boleh diadopsi seperti teman-temannya yang lain.Aiman adalah laki-laki soleh yang jatuh cinta dengan wanita bercadar, namun sayangnya perasaannya harus kandas bahkan sebelum ia berjuang, karena ia akan dijodohkan dengan seorang wanita. Aiman tentu tidak bisa berbuat apa-apa, karena gadis yang disukainya juga akan menikah entah dengan siapa.Meskipun Aiman setuju menikah dengan wanita itu, namun bukan berarti ia bisa menjalani pernikahannya selayaknya orang pada umumnya, karena pada kenyataannya hati dan perasaannya masih tertatih pada satu wanita yang sama.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan