
Menjadi istri bukan berarti ia akan menjadi yang terakhir, ada kalanya lelaki yang sudah menjadi suami menginginkan hal lebih. Itu lah yang terjadi di rumah tangga Azizah dan Farhan, keduanya dihadapkan ujian rumah tangga, di mana kesetiaan menjadi taruhannya.
Azizah harus menyerah saat tahu Farhan mencintai wanita selain dirinya, padahal Azizah selalu bertekad untuk tetap bertahan dengan segala sikap kasar suaminya. Namun nyatanya semua tak mampu membuat lelaki itu berubah dan justru semakin semena-mena....
Part 01
Wanita bernama Azizah itu menghela nafas panjang, setelah pulang dari tempatnya bekerja. Hari ini ia memang cukup kelelahan, setelah atasannya memberinya tugas yang cukup banyak dari hari biasanya. Untungnya sekarang ia sudah sampai di rumah suaminya, dengan begitu ia bisa membersihkan diri dan beristirahat.
Ya, wanita cantik bernama Azizah itu memang sudah menikah, ia menikah dengan kekasihnya yang bernama Farhan. Sebelum menikah, mereka dekat selama setahun dan berpacaran sampai dua tahun, lalu keduanya memutuskan untuk membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan.
Setahun dari pernikahan mereka saat ini, Azizah belum hamil terlebih memiliki anak, karena ia sudah bertekad untuk menabung dulu sebelum benar-benar siap untuk memiliki keturunan. Sebagai seorang wanita yang akan menjadi ibu, tentu saja Azizah tidak mau kekurangan dalam memberikan kebutuhan untuk anaknya nanti. Walau suaminya juga memiliki pekerjaan, Azizah tidak berniat membebaninya terlebih lagi mereka masih tinggal dengan orang tua dari suaminya tersebut. Ada tanggung jawab lain yang harus suaminya topang, karena orang tuanya sudah tua dan tidak bisa bekerja.
Setelah membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi, Azizah justru dibuat heran saat mendapati Farhan, suaminya itu berada di ranjang mereka sedang bermain game di ponselnya. Azizah berjalan ke arahnya, ia berniat bertanya kenapa suaminya itu sudah pulang, karena biasanya lelaki itu mengambil pekerjaan lembur hingga malam.
"Mas, kamu kok sudah pulang?" Azizah duduk di sampingnya dan bertanya dengan nada hati-hati, ia juga tidak mau menyinggung perasaan suaminya itu sebelum tahu alasan yang sebenarnya.
"Iya," jawab Farhan singkat sembari terus bermain game di ponsel, sedangkan Aziza masih tampak sabar dan ingin bertanya lagi.
"Tapi kenapa? Biasanya kan kamu ikut lembur." Azizah masih bertanya baik-baik, namun Farhan justru menggeram dan tampak kesal sekarang.
"Kamu bisa enggak sih, enggak banyak tanya? Aku ini lagi main game, kalah kan sekarang aku? Ini semua gara-gara kamu tahu enggak?" Farhan menatap kesal ke arah Azizah yang terdiam dan menghela nafas, seperti itu lah suaminya bila ia mengajaknya mengobrol saat lelaki itu bermain game, selalu menyalahkannya setiap kalah.
"Aku minta maaf, Mas. Tapi aku juga mau tahu, kenapa kamu enggak ikut lembur seperti biasanya."
"Kamu pikir aku enggak bisa capek ya? Aku ini juga bisa capek, aku juga mau istirahat di rumah, memangnya salah ya kalau aku enggak ikut lembur sekali?"
"Aku kan tanyanya baik-baik, Mas. Kalau memang kamu capek ya bilang aja, enggak usah marah."
"Masalahnya kamu tanya pas aku main game, kamu itu berisik, aku jadi kalah kan?" Farhan menatap nyalang ke arah Azizah yang lagi-lagi hanya bisa menghela nafas panjang. Kalau sudah seperti ini, yang bisa Azizah lakukan hanya meminta maaf dan mengontrol emosinya agar tidak bertengkar, ia juga tidak mau pembicaraan mereka didengar orang tua Farhan.
"Iya, aku salah. Aku minta maaf ya, Mas?" Azizah berujar tulus sembari berusaha tersenyum, menghadapi sikap suaminya yang kian berubah setiap harinya, semakin membuat Azizah lelah, namun memarahinya juga bukan jalan keluar terbaiknya. Sepertinya, ia harus memberi Suaminya itu waktu untuk lebih menikmati hidupnya lagi
"Iya. Siapkan aku makan malam, Ibu dan Ayahku juga pasti belum makan kan? Pergi ke dapur sana!" Farhan mengibaskan tangannya ke arah pintu, mengisyaratkan Azizah untuk segera pergi dari hadapannya.
"Iya, Mas." Azizah hanya menjawab pasrah lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan, padahal ia ingin beristirahat sebentar, namun keinginannya itu tidak bisa terwujudkan, karena ternyata suaminya sudah pulang lebih awal.
Kalau hari biasanya setelah pulang bekerja, Azizah akan tidur sebentar lalu memasak jam setengah tujuh malam, setelah itu baru ia makan malam dengan kedua mertuanya. Sedangkan Farhan yang pulang jam sepuluh, akan makan malam setelah sampai di rumah dan kadang juga tidak.
Setelah sampai di dapur, Azizah langsung menyiapkan bahan makanan yang akan ia masak. Sampai saat mertua perempuannya datang dan tersenyum ke arahnya, di saat itu lah Azizah juga tersenyum untuk menyapanya.
"Ibu."
"Kamu lagi apa, Zizah?"
"Aku mau masak, Bu."
"Tumben, biasanya kan kamu masaknya sedikit malam." Wanita paru baya itu berujar heran, namun Azizah justru tersenyum, seolah tubuhnya tidak lelah melakukannya, meski sebenarnya ia ingin sekali beristirahat di saat itu juga.
"Kebetulan Mas Farhan pulang cepat, Bu. Jadi aku harus cepat memasak untuk makan malam Mas Farhan." Azizah kembali fokus dengan acara memasaknya sembari terus mengobrol dengan mertuanya.
"Memangnya kamu enggak capek? Kamu kan juga pulang kerja."
"Enggak kok, Bu." Aziza menjawab bohong, sebagai menantu, ia memang tidak pernah mengeluh dengan mertuanya tersebut. Kedua orang tua dari suaminya itu semua orang baik, mereka memperlakukan Azizah selayaknya anak kandung, akan sangat sungkan bila Azizah mengeluh tentang putra mereka.
"Ya sudah, kalau begitu Ibu bantu ya, supaya kamu masaknya cepat selesai, terus kamu juga bisa beristirahat." Wanita itu tersenyum lalu membantu Azizah mengupas bumbu, membuat Azizah tersenyum lalu mengangguk setuju.
"Terima kasih, Bu."
"Iya."
***
Setelah makan malam, Azizah mencuci piring sedangkan mertua perempuannya tengah membersihkan meja seperti biasanya. Setelah selesai semuanya, Azizah berpamitan ke mertuanya untuk ke kamar, ia berniat beristirahat lebih awal. Saat sampai di kamarnya, Azizah justru dibuat heran dengan Farhan, suaminya itu tengah berkemas seolah ingin pergi padahal baru saja makan malam.
"Kamu kok sudah rapi, Mas? Memangnya kamu mau ke mana?" tanya Azizah dengan nada herannya, namun Farhan tampak biasa seolah pertanyaan istrinya bukanlah sesuatu yang harus ia permasalahkan.
"Aku mau ke rumah Beni."
"Untuk apa ke sana?"
"Ya, aku mau main lah sama teman-temanku, aku kan sudah lama enggak ngumpul sama mereka." Farhan menjawab tak habis pikir, sedangkan Azizah justru dibuat kian heran. Bukannya ia tidak tahu siapa Beni, Azizah bahkan sangat tahu lelaki itu, dia adalah temannya Farhan, mereka sudah dekat sejak kecil. Hanya saja, suaminya itu juga akan bertemu teman-temannya yang lain, itu berarti mereka akan mengobrol atau bermain game sepanjang malam. Padahal baru tadi sore Farhan pulang dan berkata bila dia tidak bisa lembur bekerja karena dia sedang lelah dan ingin beristirahat.
"Tapi tadi kamu bilang kalau kamu capek, makanya kamu enggak lembur kan? Terus kenapa sekarang kamu malah mau pergi ke rumah Beni, Mas?"
"Memangnya kenapa kalau aku ke rumahnya Beni? Aku cuma mau mengobrol dengan teman-temanku yang lain, mereka mengajakku bertemu, mana mungkin aku menolak?"
"Iya, aku tahu. Tapi kan kamu capek, seharusnya kamu istirahat kan?"
"Kamu kok cerewet banget sih sekarang? Aku yang capek, aku yang ke rumah temanku, tapi kenapa kamu yang ribet?" Farhan bertanya tak habis pikir, ekspresi wajahnya tampak kurang nyaman dengan sikap Azizah yang berlebihan.
"Bukan begitu, Mas. Aku cuma enggak mau kamu tambah capek, karena aku tahu kebiasaan kamu, kalau sudah gabung dengan teman-temanmu yang lain, kamu pasti lupa waktu sampai lupa istirahat." Azizah masih menjelaskan maksudnya dengan nada sabar dan berhati-hati, namun sepertinya tak mengubah pendirian suaminya, bisa dilihat dari caranya menatap tak suka ke arahnya.
"Ya terus masalahnya apa? Aku kan yang capek bukan kamu, jadi stop melarang aku ini dan itu, kamu memang istriku, tapi bukan berarti kamu bisa mengekangku untuk tetap di rumah ya!" Farhan melangkahkan kakinya setelah menunjuk wajah Azizah dengan jari telunjuknya.
"Aku enggak berniat mengekang kamu, Mas. Aku cuma ...."
"Hallah, sudahlah. Aku capek tahu enggak dengar omelan kamu, mending aku pergi sama teman-temanku dari pada di rumah ini sama kamu." Farhan terus melangkah pergi, sedangkan Azizah yang tidak berniat membuat suaminya merasa kurang nyaman itu sempat terdiam dengan mata keheranan.
"Kok kamu malah nyalahin aku sih, Mas? Mas," panggil Azizah dari ambang pintu kamar, namun tak membuat Farhan berhenti dan kembali, lelaki itu tetap berjalan pergi meninggalkan istrinya sendiri.
Sedangkan Azizah hanya bisa terdiam, ia tidak bisa mengejar Farhan, terlebih lagi menahannya untuk kembali. Selain karena ia tidak ingin mertuanya tahu pertengkaran di antara ia dan putra mereka, Azizah juga ingin memberi suaminya itu waktu untuk bersama dengan teman-temannya, mungkin saja lelaki itu hanya ingin hiburan di luar rumah.
***
Farhan memarkirkan motornya di depan rumah Beni, temannya bermainnya sejak kecil, namun belum juga beristri, lelaki itu masih betah sendiri begitu pun dengan temannya yang lain. Di pertemanan mereka, memang cuma Farhan yang sudah menikah, sedangkan yang lainnya masih asyik bekerja dan menikmati hidup membujang.
Setelah memarkirkan motornya, Farhan berjalan masuk ke dalam rumah Beni, di sana teman-temannya sudah berkumpul dan mengobrol satu sama lain. Namun tak membuat Farhat bersemangat untuk bergabung dengan mereka, bisa dilihat dari caranya menghela nafas panjang lalu duduk dengan asal. Tentu saja kelakuannya itu disadari oleh teman-temannya yang lain, tak terkecuali Beni, teman baiknya sendiri.
"Kamu kenapa, Han? Ada masalah?" tanya Beni ke arah Farhan yang sudah bersender di sofa rumahnya. Dari teman-temannya yang lain, memang Beni lah yang paling dekat dengan Farhan, jadi tak akan mengherankan bila dia bisa menebak kalau temannya itu sedang ada masalah.
"Enggak kok, aku cuma capek kerja aja."
"Masa cuma capek kerja, tapi mukamu kaya lagi ada masalah. Padahal kamu itu sudah lama enggak kumpul sama kita, sekalinya kumpul, kamu malah enggak semangat." Salah satu dari teman Farhan berujar, yang diangguki setuju oleh temannya yang lainnya.
"Bagaimana aku mau semangat, si Azizah itu tambah hari, tambah cerewet. Setiap hari kan aku sudah lembur kerja, cuma malam ini aku libur karena mau gabung sama kalian, tapi dia malah banyak tanya, kan aku jadi enggak mood sekarang." Farhan menjawab kesal, sedangkan teman-temannya yang lain hanya mengangguk, berusaha mengerti perasaan Farhan saat ini.
"Makanya Han sering-seringlah main sama kita, supaya kamu juga enggak bosen di rumah, kita bisa main game kaya dulu, seru ya enggak?" Beni bertanya ke arah temannya yang lain, yang diangguki setuju oleh mereka.
"Iya lah."
"Betul itu."
"Iya sih, aku lama-lama di rumah juga bosen, kalau enggak kerja dan tidur, mungkin aku di rumah sudah muak dengar kecerewetan si Azizah." Farhan menjawab kesal, menurutnya istrinya itu terlalu mengekangnya dan banyak menuntutnya.
"Kamu sih nikah dulu, sekarang kamu jadi enggak bebas kan, belum lagi harus lembur kerja, padahal kalau dulu kita bisa pulang larut malam dan main seenaknya."
"Iya, benar kamu. Farhan mah enggak asik, harusnya kan jangan nikah dulu."
"Bucin sih dia."
Semua teman-temannya Farhan tertawa tak terkecuali Beni, mereka membicarakan Farhan yang dari dulu memang bucin dengan Azizah, bahkan sebelum berpacaran dengannya. Semua tanggapan temannya itu diam-diam Farhan setujui, ia berpikir kalau dirinya dulu memang sangat bodoh hingga mau menuruti permintaan Azizah untuk segera melamar dan menikahinya.
Saat itu, Farhan tidak tahu bila hidupnya akan seberat ini menjalani pernikahan, terutama dengan Azizah yang terlalu banyak bertanya dan berbicara, istrinya itu tidak bisa mengerti keadaannya. Farhan merasa bila dirinya juga berhak melakukan apapun yang dia mau, tidak harus ditanya terlebih dahulu.
Menyebalkan, pikir Farhan mulai merasa lelah dengan pernikahannya.
***
Azizah membuka matanya setelah mendengar suara pintu ditutup, saat ini ia memang sedang tertidur, namu harus terbangun setelah suaminya pulang dan menutup pintu kamar. Azizah yang mengetahui hal itu langsung membangunkan tubuhnya, ia berniat menanyakan keadaan suaminya, terlebih lagi setelah pulang di jam malam seperti sekarang.
"Kok baru pulang, Mas? Ini kan sudah jam dua belas lebih, malah hampir jam satu." Azizah bertanya hati-hati, sedangkan Farhan justru membaringkan tubuhnya, matanya juga tampak sayu seolah sedang mengantuk.
"Mas," panggil Azizah, merasa belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
"Apa sih, Zah? Aku ini capek, aku mau tidur."
"Iya, tapi jawab dulu pertanyaanku, aku kan juga berhak tahu kamu dari mana saja, Mas."
"Aku kan sudah bilang kalau aku mau ke rumah Beni kan? Berarti aku dari sana." Farhan menjawab dengan nada meninggi, membuat Azizah tidak bisa membantah ucapannya lagi, meski sebenarnya ia hanya ingin tahu kenapa suaminya pulang sampai larut malam.
"Iya, iya. Aku minta maaf, kita tidur sekarang ya?" Azizah berusaha mengalah malam ini, ia juga berpikir kalau dirinya mungkin terlalu mengkhawatirkan suaminya sampai tidak memedulikan perasan dan keadaannya.
Untungnya setelah mendengar permintaan maafnya, Farhan langsung menutup mata berniat terlelap, meski ekspresinya sempat terlihat kesal ke arah Azizah. Sedangkan Azizah hanya menghela nafas panjangnya, ia benar-benar tidak ingin bertengkar dengan suaminya, namun kenapa sikapnya seolah ingin menguji kesabarannya.
Entahlah, Azizah berusaha untuk tetap berfikir positif sekarang. Mungkin suaminya memang sedang lelah, atau hanya butuh hiburan, Azizah hanya ingin mengerti keadaannya, namun di dalam hati ia juga ingin suaminya itu mau terbuka dengannya tanpa harus marah-marah, setidaknya ia akan tahu harus bersikap bagaimana.
Part 02
Azizah menghela nafas setelah jam makan siang tiba, tak lupa ia juga meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku setelah setengah hari mengetik tanpa henti. Di dalam kediamannya, pikirannya berkelana memikirkan sikap suaminya yang kian hari semakin berbeda.
Jujur saja, Azizah merasa kecewa meskipun apa yang suaminya lakukan hanya bermain dengan teman-temannya sampai lupa waktu. Namun tetap saja, nada suara suaminya saat menjawabnya seolah bisa menggambarkan bagaimana lelaki itu merasa kesal dengannya.
Padahal dulu Farhan adalah sosok lelaki penyayang, tidak pernah sekalipun Azizah melihat suaminya itu menunjukkan kekecewaannya, begitupun saat lelaki itu bersama dengan kedua orang tuanya. Farhan akan tersenyum ke mereka dan menuruti semua keinginan keduanya, itu lah kenapa Azizah merasa yakin bila Farhan memanglah takdirnya.
Mengingat semua kenangan indah itu, membuat Azizah tersadar akan sesuatu hal, bila tidak seharusnya ia berpikir buruk dengan suaminya, karena ia sendiri yang merasa yakin bila lelaki itu lah yang terbaik untuk hidupnya.
Memikirkan hal itu, Azizah menyunggingkan senyumnya, ia merasa bodoh karena sempat meragukan Farhan hanya karena lelaki itu sedikit berbicara kasar. Sekarang Azizah tidak merasa terpuruk lagi, keraguannya seolah terhapus setelah mengingat kenangan indah mereka, Azizah bahkan sampai tidak menyadari bila temannya saat ini sudah berdiri tepat di belakangnya.
"Zah, kamu enggak apa-apa kan?" tanya Vina, teman sekantor Azizah yang sudah cukup dekat dengannya.
"Aku enggak apa-apa kok. Memangnya aku kenapa?" Azizah menyunggingkan senyumnya dengan mata bertanya, namun Vina justru memanyunkan bibirnya seolah meragukannya.
"Tadi aku melihat kamu menghela nafas beberapa kali, aku pikir kamu sedang putus asa, tapi sekarang kamu justru tersenyum, bukannya itu aneh?" Vina memicingkan matanya yang lagi-lagi disenyumi oleh Azizah.
"Kamu yang aneh, karena kamu belum makan, makanya kamu ngelantur, aku baik-baik aja kok. Lebih baik sekarang kita ke kantin terus makan siang, bagaimana?" Azizah mendirikan tubuhnya dengan tersenyum hangat seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi sesuatu dengan hatinya.
"Iya, sepertinya kamu memang baik-baik saja. Ya sudah, kita ke kantin sekarang." Vina menyunggingkan senyumnya lalu merengkuh lengan Azizah dan mengajaknya pergi dari sana.
Di sisi lainnya, seorang pria tampan dengan setelan jas hitam, berjalan bersama dengan sekretarisnya, setelah menghadiri rapat penting di sebuah perusahaan yang baru saja bekerja sama dengan perusahaan miliknya.
Ekspresi wajahnya yang tenang dan penuh wibawa, menjadikannya sosok yang gagah dan maskulin di depan semua mata orang yang memandang ke arahnya. Terutama para wanita yang terpincut dengan ketampanan sekaligus penampilannya, tidak sedikit wanita yang melirik ke arahnya dengan sesekali tersenyum saat berpapasan tepat di depannya. Sedangkan lelaki itu hanya menghela nafas, seolah tak berminat dengan godaan yang mereka sematkan dengan tatapan mata.
Saat berhasil memasuki lift untuk turun ke lantai bawah, di saat itu lah lelaki itu bisa bernafas lega. Ia memang kurang nyaman dengan tatapan memuja, padahal kalau dulu ia selalu percaya diri acap kali para gadis datang dan menggodanya, kalau sekarang ia justru merasa risih dan tidak menyukainya.
Sampai saat pintu lift akan tertutup, lalu kembali terbuka saat ada dua orang wanita yang tiba-tiba berdiri berniat masuk ke dalam sana. Di saat itu lah lelaki dengan wajah berkarisma itu terdiam, matanya tercengang oleh kehadiran seseorang yang sangat dikenalnya.
"Azizah," panggilnya terdengar tak percaya, membuat wanita yang bernama Azizah itu terdiam saat menatap ke arahnya.
"Aditya ...?" Azizah bergumam tak yakin, karena lelaki yang baru saja memanggilnya itu mirip sekali dengan temannya semasa SMA. Tidak bisa dikatakan sama, itu karena penampilannya cukup jauh berbeda, lelaki itu tampak wah dengan setelan jas hitamnya, wajahnya juga menenangkan untuk dipandang mata.
"Ya, aku Aditya. Kamu ... kenapa ada di sini?" Lelaki itu tersenyum tipis, ia merasa lega ternyata ia tidak salah mengenali seseorang, wanita itu memang Azizah, wanita yang sempat mengisi hatinya di jaman SMA.
"Seharusnya aku yang tanya, kenapa kamu ada di sini? Ini kan tempat aku bekerja." Azizah menjawab hangat seperti biasa, bagi Aditya wanita itu memang tidak pernah berubah, tetap cantik dan baik ke semua orang.
"Oh ya? Kebetulan sekali, aku baru saja rapat dengan pemilik perusahaan ini. Jadi ternyata di sini tempat kamu bekerja ya?" Aditya bertanya tak kalah hangatnya yang diangguki oleh Azizah, sedangkan Vina hanya mengawasi pembicaraan mereka tanpa mau mencela, meski diam-diam ia mengagumi ketampanan lelaki yang ia tahu bernama Aditya.
"Iya, aku sudah lama bekerja di sini, malah sebelum aku menikah." Azizah menjawab sejujurnya, ia merasa nyaman saja saat mengatakannya pada Aditya, namun respon lain justru lelaki itu tunjukkan.
"A-apa? Kamu ... sudah menikah?" Aditya bertanya tak percaya, entah bagaimana bisa hatinya kembali dibuat hancur untuk kedua kalinya oleh wanita yang sama.
"Iya, kamu pasti belum tahu kan? Aku sudah menikah setahun yang lalu." Azizah menyunggingkan senyumnya tanpa menyadari bagaimana Aditya terluka mendengarnya.
"Liftnya sudah berhenti, kamu pasti sudah selesai dan mau pergi kan? Kalau begitu, aku dan temanku pergi dulu ya, kami berniat makan siang di kantin." Azizah menyunggingkan senyumnya lalu merengkuh lengan Vina, berbeda dengan Aditya yang tampak tak rela melebarkan senyumnya.
"Iya, aku harus pergi. Semoga kita bisa bertemu lagi dan mengobrol," jawab Aditya terdengar tak rela, namun Azizah justru tersenyum dan mengangguk menyetujuinya, lalu pergi dari sana, meninggalkan Aditya yang terlihat putus asa tanpa sepengetahuannya.
"Dulu aku terlalu pengecut, sekarang aku justru seperti pecundang." Aditya tersenyum miris, ia merasa tidak percaya saja dengan perasaannya yang terluka lagi oleh wanita yang sama, seorang Azizah.
Dulu, Aditya seorang playboy yang suka memainkan hati para gadis yang menyukainya. Setiap ada gadis yang menyatakan cintanya, ia selalu menerimanya tanpa memedulikan gadis-gadis lain yang lebih dulu diterimanya. Karena pada saat itu yang ia tahu hanya lah bersenang-senang, ia juga bukan tipe murid yang mengutamakan belajar ataupun kesopanan di sekolah, membuatnya dicap trouble maker oleh para guru terutama BK.
Aditya juga masih mengingat jelas, bagaimana kehidupannya mengalami perubahan setelah bertemu gadis yang tidak tertarik dengannya. Siapa lagi kalau bukan Azizah, temannya itu justru menganggapnya perempuan yang anti dia cintai terlebih lagi dipacari.
Awalnya Aditya berniat mendekati Azizah, namun sikap gadis itu justru terkesan hangat, selayaknya ia bersikap dengan teman-temannya yang lain. Tidak ada istilah malu-malu ataupun salah tingkah saat Aditya berusaha memberi Azizah kode tentang perasaannya, gadis itu tetap hambar seolah apa yang dilakukannya adalah hal wajar.
Dulu, Aditya sampai pernah berpura-pura membeli bunga untuk kekasihnya, saat itu ia berharap Azizah akan melihatnya dan menanyakan tentang bunga yang dipegangnya, dengan begitu Aditya akan tahu bila Azizah juga diam-diam memerhatikannya. Namun sayangnya semua rencananya itu tidak berhasil, angan-angannya juga tidak terjadi, karena faktanya Azizah justru tidak memedulikannya dan bahkan terlihat penasaran pun tidak.
"Kamu enggak mau tahu kenapa aku membawa bunga di sekolah?"
Pertanyaan itu terlontar dari bibir Aditya dulu saking gemasnya ia dengan sikap Azizah yang terlalu menjaga jarak, padahal saat itu Aditya sangat berharap kalau Azizah akan bertanya, lalu ia bisa membuat gadis itu cemburu dengan menjawab kalau bunga itu untuk gadis yang Aditya cintai.
"Kenapa aku harus mau tahu?" Itu lah jawaban Azizah pada saat itu, membuat Aditya sempat frustrasi, meski sangat berusaha ia menahan bibirnya untuk tidak berteriak di depannya.
"Ya, seharusnya kamu tanya kenapa aku membawa bunga, kamu kan ... " Aditya ingin mengatakan bila Azizah itu gadis yang disukainya, namun sepertinya perasaan gadis itu berbeda.
"Kamu kan temanku," lanjut Aditya berbohong, nada suaranya juga terdengar lesu dan pasrah, sedangkan Azizah justru mengangguk-angguk seolah sudah paham dengan maksud Aditya saat itu.
"Memangnya kalau teman harus ikut campur dengan urusan temannya yang lain ya? Aku pikir, itu bukan hal yang baik, kecuali kamu memberitahuku dan bercerita sendiri." Mendengar jawaban Azizah, Aditya dibuat tak percaya dengan jalan pikirannya, padahal sejak pertama kali Aditya datang di sekolahnya, banyak para gadis yang menjerit melihatnya membawa bunga, banyak dari mereka yang bahkan berharap diberi bunga itu. Sedangkan Azizah apa? Gadis itu bahkan tidak mau peduli dengan urusannya terlebih lagi merasa penasaran.
"Begitu ya? Baiklah, sebenarnya bunga ini akan aku berikan ke seseorang." Aditya sudah tampak tak berminat, bisa dilihat dari caranya meletakkan bunga itu di atas meja milik Azizah.
"Oh ya? Memangnya kamu mau memberinya ke siapa?" Azizah bertanya dengan nada antusias, raut wajahnya juga tampak bahagia, seolah tidak ada rasa cemburu apapun di sana.
"Aku akan memberikannya ke kamu, terimalah!" Aditya menjawab dengan nada yang sama, tak berminat dan bahkan tidak bersemangat.
"Wah, bunga ini untukku? Memangnya ada apa? Ini kan bukan hari ulang tahunku."
"Iya, aku tahu. Tapi, hari ini adalah hari terburukku." Aditya bahkan hampir ingin menangis saat itu, saking tidak percayanya ia dengan respons Azizah yang terlihat biasa saja.
"Kamu memberiku bunga di hari terburukmu?" tanya Azizah ke arah Aditya yang mengangguk lemah, namun Azizah justru tersenyum manis ke arahnya.
"Terima kasih," ujarnya lagi sembari memeluk bunga itu, sedangkan Aditya rasanya sudah hampir mau pingsan di sana.
"Aku ragu kamu itu perempuan," gumam Aditya sembari mengangguk setuju, menurutnya Azizah kurang manusiawi sebagai perempuan pada umumnya. Karena Aditya sangat yakin, kalau dirinya sudah cukup sempurna untuk dijadikan pasangan, ia tampan, ia pintar, ia juga anak dari orang kaya, lalu kenapa Azizah bersikap seolah mereka berteman selayaknya orang biasa pada umumnya.
"Apa tadi kamu bilang?" tanya Azizah yang hampir tidak mendengar gumaman teman baiknya itu.
"Enggak ada, aku pergi dulu." Aditya mendirikan tubuhnya, ia harus menenangkan perasaannya pada saat itu, dengan begitu ia bisa kembali menemui Azizah lagi.
Kenangan itu terjadi hampir sepuluh tahun yang lalu, namun Aditya masih mengingatnya dengan jelas, berbeda dengan Azizah yang sepertinya tak terlalu ingat bila mereka juga pernah dekat. Wanita itu bersikap seolah mereka berteman biasa, hanya tersenyum hangat dan bertanya adalah caranya untuk menyapa, tidak ada yang istimewa di antara keduanya terlebih lagi memeluk untuk meredupkan rindu satu sama lain.
Sekarang, Aditya justru ragu bila ia mengharapkan hal itu, karena Azizah ternyata sudah menikah, dia sudah memiliki suami yang mencintainya. Betapa beruntungnya lelaki itu yang tidak dianggap teman biasa oleh Azizah, dia bisa menunjukkan perasaannya dan diterima baik olehnya, bahkan sampai ke jenjang pernikahan.
Sedangkan Aditya hanya bisa menyesalinya, ia merasa pengecut karena dulu selalu berpikir bila Azizah pasti akan menyukainya, dengan begitu ia bisa jual mahal selayaknya ia memperlakukan gadis-gadis lain yang mengaguminya.
Setelah ia dan Azizah lulus lalu dipisahkan oleh pendidikan, karena Aditya harus belajar ke luar negeri, di saat itu lah Aditya merasa sangat menyesal. Aditya berpikir seharusnya ia bisa menyatakan cintanya sebelum pergi, mengungkapkan perasaannya yang sudah lama terpendam. Namun sayangnya hati dan otaknya terlalu pengecut, Aditya memilih memendam semuanya dan menyimpannya baik-baik, ia juga sempat bertekad akan belajar dengan giat lalu pulang dengan cepat.
Sayangnya orang tuanya justru memintanya untuk melanjutkan S2 di universitas yang sama, membuatnya harus tinggal lebih lama. Setelah semua itu selesai, Aditya juga harus beradaptasi dengan berbagai pekerjaan yang harus ia lakukan sebelum menjadi pemimpin di perusahaan milik orang tuanya.
Sekarang setelah berhasil menjadi pemimpin, Aditya justru dipertemukan dengan cinta semasa remajanya, sebuah momen yang sudah ia harapkan sejak lama. Namun nyatanya momen itu justru membawanya kembali ke titik rasa kecewa, Azizah sudah menikah, tidak ada harapan lagi untuk Aditya memilikinya.
***
Di sisi lainnya, Azizah berjalan dengan Vina yang tampak penasaran dengan sosok lelaki yang bernama Aditya, lelaki tampan yang ternyata kenal dengan temannya.
"Lelaki tadi itu siapa?" tanya Vina setelah puas memerhatikan Aditya berjalan keluar kantor tempatnya bekerja.
"Yang mana?"
"Yang kita ketemu di lift, kamu mengenalnya kan?"
"Oh, dia Aditya."
"Kamu kenal dia di mana?" Vina tampak kian penasaran, sedangkan Azizah tampak biasa saja dengan pertanyaan temannya yang terdengar tidak biasa.
"Dia teman sekolahku dulu," jawab Azizah sembari terus berjalan begitupun dengan Vina di sampingnya.
"Wah, kamu beruntung banget punya teman seganteng dia, pasti hari-harimu di sekolah menyenangkan kan?" tanya Vina yang justru membuat Azizah tersenyum sekarang.
"Biasa aja kok, aku dan Aditya juga enggak terlalu dekat, jadi hari-hariku di sekolah juga biasa aja." Azizah tersenyum hangat lalu duduk di bangku kantin setelah sampai di tempat biasa ia makan siang.
"Tapi kan kamu masih bisa melihat ketampanan dia di sekolah, masa biasa aja, kamu pasti menyukainya kan?"
"Enggak kok. Tapi, kenapa kamu malah bahas Adit sih? Kamu enggak nuduh aku suka sama dia kan? Ingat ya, aku sudah menikah loh, jadi jangan fitnah, oke?"
"Iya-iya, aku tahu. Tapi, BTW dia ganteng ya?"
"Di sekolah dulu dia playboy, ya wajar sih kalau kamu bilang dia ganteng, karena dia memang banyak yang suka. Oh ya, kita mau pesan apa?"
"Bagaimana kalau bakso?"
"Oke."
Seperti itu lah Azizah, wanita itu hanya mencintai suaminya, padahal temannya yang tampan baru saja bertemu dengannya, namun tak mampu membuatnya terpesona dengan karismanya. Azizah tetaplah Azizah, baginya mencintai seseorang cukuplah satu kali di dalam hidupnya dan itu berarti hanya Farhan di hatinya, lelaki yang sudah berhasil merebut cinta yang sudah ia pertahankan sejak lama.
Part 03
Azizah meletakkan tasnya setelah masuk di kamarnya, ia baru saja pulang dari tempatnya bekerja. Seperti biasa, tubuhnya terasa remuk dan lelah, namun harus tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri sekaligus menantu di rumah suaminya tersebut.
Azizah berniat duduk sebentar, setelah itu baru ia akan mandi dan membersihkan diri. Namun saat Azizah akan menuju ranjang, ia justru melihat Farhan keluar dari kamar mandi dengan keadaan tubuh dan rambut yang sudah basah, yang Azizah yakini suaminya itu baru saja mandi.
"Kamu kok ada di rumah, Mas? Kamu enggak kerja?" tanya Azizah ke arah Farhan yang tengah menggosok rambut basahnya dengan handuk.
"Ini aku juga baru pulang kerja, masa kaya gini kamu masih tanya?" Farhan menjawab dengan nada kesal, sepertinya suaminya itu masih mengingat obrolan mereka tadi malam. Bisa dilihat dari sikapnya yang masih tak ramah, membuat Azizah hanya bisa menghela nafas, harus berhati-hati lagi bila harus berbicara dengan suaminya itu.
"Bukan gitu, Mas. Maksudku kamu enggak ambil lembur lagi?"
"Lembar-lembur aja yang kamu tanya, kenapa sih? Memangnya kenapa kalau aku enggak ambil lembur lagi?" Farhan menatap dengan mata menantang ke arah istrinya, merasa kian kesal dengan pertanyaan yang disematkan untuknya.
"Mas, gaji kamu di shift siang itu sedikit, kalau kamu enggak ikut lembur kaya biasa, berarti penghasilan kamu berkurang kan? Aku cuma mengingatkan kewajiban kamu untuk memenuhi kebutuhan di rumah ini, itu aja, Mas." Azizah masih berusaha menjelaskan maksudnya dengan nada sehalus mungkin.
"Kok jadi aku sih? Kamu kan juga kerja, masa enggak cukup untuk memenuhi kebutuhan di rumah ini, apalagi gaji kamu juga besar."
"Tapi, Mas, gajiku kan aku tabung kalau-kalau aku hamil dan kita punya anak, karena aku juga mau berhenti bekerja dan fokus mengurus anak kita nanti, Mas."
"Kenapa kamu harus berhenti? Kamu masih bisa bekerja meskipun kita punya anak nanti, dan lagi sekarang kamu juga belum hamil kan? Pakai gaji kamu itu untuk keperluan di rumah ini, jangan mengandalkan gajiku terus! Aku juga capek lembur sampai malam."
"Loh, Mas, kamu pikir aku enggak capek? Aku juga capek, tapi aku mau menabung sendiri untuk keperluan anak kita nanti. Aku juga enggak berniat minta ke kamu, aku cuma mau kamu memenuhi kebutuhan di rumah ini, itu aja." Azizah berusaha menjelaskan keinginannya, namun sepertinya suaminya itu terlalu keras kepala untuk mengerti harapan besarnya.
"Sekarang aku tanya, memangnya kamu sudah hamil?" tanya Farhan kali ini yang digelengi kepala oleh Azizah.
"Belum lah, Mas. Aku kan masih pakai KB, tabunganku juga belum memenuhi targetku, bagaimana mungkin aku hamil lebih dulu?"
"Nah, kamu aja belum hamil, malah memikirkan uang untuk nanti kita punya anak, harusnya kamu pikirkan keperluan di rumah ini dulu, baru sisanya kamu tabung untuk keinginan kamu itu." Farhan menjawab enteng, seolah ucapannya adalah hal wajar tanpa memikirkan bila semua itu adalah tanggung jawabnya.
"Kan memenuhi keperluan di rumah ini tugas kamu, Mas, kok kamu jadi mengandalkan gajiku? Ini rumah kamu, kita juga masih tinggal dengan orang tua kamu yang harus kamu penuhi kebutuhannya, belum lagi kebutuhan dapur dan lainnya, semua itu kan juga butuh uang, Mas."
"Oh jadi maksud kamu, kamu enggak ikhlas gaji kamu dipakai untuk keperluan orang tuaku? Iya? Ingat ya, Zah, mereka itu orang tuaku, berarti orang tua kamu juga, harusnya kamu enggak perhitungan sama mereka." Farhan menunjuk ke arah wajah Azizah yang tampak tak percaya dengan jawaban suaminya.
"Yang bilang aku perhitungan dengan orang tua kamu itu siapa sih, Mas? Aku enggak pernah bilang seperti itu, aku cuma bilang kalau aku mau menabung untuk keperluan anak kita nanti, karena aku juga enggak mau minta ke kamu, harusnya kamu mengerti keinginanku itu!"
"Iya, aku tahu. Tapi faktanya kamu juga belum hamil kan? Lalu apa salahnya kalau kamu pakai gaji kamu dulu untuk keperluan di rumah ini? Apa salahnya?" Farhan menatap tajam ke arah Azizah yang tampak lelah menjelaskan keinginannya.
"Sekarang, bagaimana aku bisa menjalankan keinginanku untuk hamil dan punya anak, kalau gajiku kamu minta untuk memenuhi kebutuhan di rumah ini? Target tabunganku enggak akan pernah terwujud, kalau kamu masih mengandalkan gajiku, sedangkan kamu enggak berusaha memenuhi kebutuhan di rumah ini."
"Sekarang aku semakin yakin, kalau kamu itu enggak pernah ikhlas menjadi istriku, kamu masih perhitungan dan keras kepala." Farhan menjawab dengan nada kesal dan bahkan segera pergi dari kamarnya, membuat Azizah harus menahan kepergiannya.
"Kok jadi aku yang enggak ikhlas sih, Mas?" tanya Azizah sembari berjalan mengikuti langkah suaminya.
"Sekarang kamu juga mau ke mana? Kita harus membicarakan semua ini, Mas, aku enggak mau kamu berpikir buruk tentang maksudku." Azizah menarik tangan Farhan, namun lelaki itu tetap berjalan dan bahkan melepas tangan Azizah dengan kasar.
"LEPAS!" sentak Farhan sembari melepaskan tangan Azizah dari lengannya, ekspresi wajahnya juga tampak sedang menahan amarah, membuat Azizah tidak bisa berbuat apa-apa kecuali terdiam menatap kepergiannya.
Setelah melihat punggung suaminya yang kian menghilang ditelan jarak, yang Azizah lakukan hanya menangis dan menangis. azizah berpikir keras sekarang, sesulit itu kah Farhan untuk mengerti keinginannya, padahal yang ia inginkan juga meringankan bebannya, namun kenapa suaminya itu justru salah paham dan menuduhnya begitu buruknya.
"Azizah, ada apa?" Suara mertuanya kini terdengar dari arah belakangnya, membuat Azizah buru-buru menghapus air matanya lalu tersenyum hangat ke arahnya.
"Aku enggak apa-apa kok, Bu."
"Enggak apa-apa tapi kamu kok kelihatan baru nangis? Ada apa? Kamu bertengkar ya dengan Farhan?" tanya wanita itu terdengar sedih, namun lagi-lagi yang Azizah lakukan justru tersenyum lalu menggeleng pelan.
"Enggak kok, Bu. Aku sama Mas Farhan enggak bertengkar, kami baik-baik aja." Azizah merengkuh tangan mertuanya, berusaha meyakinkannya dengan jawabannya. Namun sebagai seorang ibu, tentu saja wanita paru baya itu tahu bila rumah tangga anaknya sedang tidak baik-baik saja. Bila sudah seperti itu yang ia lakukan hanya mengangguk, berusaha memercayainya karena ia yakin mereka bisa menyelesaikannya sendiri secara baik-baik.
"Ya sudah kalau begitu kamu istirahat ya? Kamu pasti capek kerja kan? Biar Ibu saja yang masak, nanti kalau sudah matang, Ibu panggil kamu di kamar ya?" ujarnya penuh kehangatan.
"Jangan, Bu, aku masih bisa masak kok."
"Sudah, kamu istirahat saja ya. Ibu yang masak." Wanita itu masih kekeh dengan keinginannya, karena ia sangat tahu bila perasaan menantunya itu sedang tidak baik-baik saja sekarang.
"Iya, Bu. Terima kasih ya? Maaf merepotkan." Azizah tertunduk penuh rasa bersalah, jujur saja ia memang sedang lelah sekarang, belum lagi masalah suaminya yang kian membuat tubuhnya serasa tak karuan, rasanya Azizah ingin segera istirahat dan menenangkan perasaannya di kamar.
"Enggak merepotkan kok, kan cuma masak. Sudah, istirahat sana!" Wanita itu tersenyum yang hanya Azizah angguki lalu pergi ke kamarnya, membuat mertuanya itu terdiam dan menghela nafas panjang. Baginya, Azizah adalah menantu yang sangat baik, ia pasti akan sangat kecewa bila Farhan menyakitinya, meski tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali diam, ia tidak mau ikut campur dengan masalah rumah tangga mereka, ia hanya berharap semua akan baik-baik saja.
***
Keesokannya, Azizah terlihat menghela nafas beberapa kali saat ia dan Vina tengah makan siang di kantin seperti biasanya. Tentu saja, sikapnya itu disadari oleh Vina yang merasa aneh dengan sikap temannya yang tidak biasanya itu, cara makannya juga terlihat berbeda seolah tak berselera. Padahal Azizah adalah sosok wanita yang tidak suka diet dan akan memakan apapun bila makanan itu memang kesukaannya, ia bukan sosok wanita yang tenang saat makan, tak seperti sikapnya yang sekarang.
"Zah, kamu kenapa?" tanya Vina hati-hati, sepertinya temannya itu sedang ada masalah di rumah tangganya, ia tidak berniat ikut campur, ia hanya ingin temannya itu membagi ceritanya untuk sedikit mengurangi bebannya.
"Kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama aku, Zah." Vina melanjutkan ucapannya, namun tak mampu membuat Azizah tersenyum hangat seperti biasanya.
"Aku mau tanya pendapat kamu, menurut kamu aku ini salah apa enggak." Azizah berujar serius, nada suaranya mulai berubah sedikit serak, seolah air mata akan tumpah di pipinya.
"Iya, kamu bisa tanya pendapatku apapun itu. Memangnya kamu ingin tanya apa?" Vina menatap serius ke arah Azizah, ia tidak akan melewatkan apapun dari kalimatnya.
"Apa aku salah kalau aku menabung untuk keperluan anakku nanti? Maksudnya keperluan saat aku hamil, melahirkan, dan keperluan saat anakku sudah lahir, saat dia mulai tumbuh menjadi anak-anak. Apa aku salah kalau aku mempersiapkan tabungan untuk semua itu, karena aku tidak mau menyusahkan suamiku?" Azizah bertanya serius ke arah Vina yang sangat paham dengan maksud dari ucapan teman baiknya itu.
"Tentu saja enggak, Zah. Malah seharusnya kamu enggak perlu bingung-bingung memikirkan semuanya, karena semua itu bukan tanggung jawab kamu, keperluan kamu hamil sampai punya anak itu harusnya tanggung jawab suami kamu kan?" Vina menjawab dengan nada mantap, ia yakin dengan apa yang baru diucapkannya.
"Begitu ya?" jawab Azizah terdengar lega, setidaknya ia tidak salah, malah seharusnya semua itu tanggung jawab Farhan sebagai suaminya, namun sayangnya lelaki itu tidak bisa berpikir sama.
"Memangnya ada apa?"
"Enggak ada apa-apa kok. Terima kasih ya, jawaban kamu membuat aku sedikit lebih tenang." Azizah kembali tersenyum hangat yang tak membuat Vina percaya dengan mudah.
"Kamu serius enggak ada apa-apa? Tapi kayanya ada yang sedang mengganggu pikiran kamu," jawab Vina tak yakin, namun Azizah justru tersenyum kembali dan menggeleng pelan untuk meyakinkan teman baiknya itu.
"Iya, aku enggak apa-apa. Aku makan dulu ya?" Azizah mulai menyantap makanan yang sedari tadi ia biarkan, membuat Vina sedikit yakin kalau temannya itu memang sedang baik-baik saja.
***
Setelah makan siang di kantin, Azizah dan Vina berjalan ke arah tempat mereka bekerja, namun sebelum sampai di sana, Azizah maupun Vina menundukkan wajah dengan sopan saat bos mereka datang dan berhenti tepat di hadapan mereka.
"Azizah, apa kamu sudah makan siang?" tanya lelaki bertubuh tinggi itu dengan penampilan khas layaknya pemimpin perusahaan, sedangkan Azizah langsung mengangguk mengiyakan.
"Sudah, Pak."
"Baguslah. Sekarang kamu ikut saya ke kantor yang bekerja sama dengan perusahaan kita, kebetulan Selvi tidak masuk hari ini, tugas kamu cuma catat poin penting yang nanti kita bicarakan. Kamu mengerti kan?"
"Iya, Pak. Saya mengerti."
"Sekarang kamu ambil barang-barang yang mungkin kamu butuhkan, saya tunggu kamu di luar."
"Iya, Pak." Azizah kembali mengangguk sopan lalu bergegas mengambil barang keperluannya, sedangkan Vina hanya tersenyum seolah memberinya semangat saat Azizah berpamitan untuk pergi dengan bosnya.
Setelah sempat berlarian untuk menyusul bosnya di mobilnya, akhirnya Azizah bisa bergabung dan berangkat ke tempat tujuan. Tak lama di perjalanan, akhirnya ia dan bosnya itu sampai di sebuah kantor yang tak kalah besarnya dengan tempatnya bekerja.
Di sana, Azizah hanya mengikuti bosnya berjalan masuk ke dalam. Sesekali Azizah tersenyum sopan saat ada orang yang menyapa bosnya lalu menatapnya. Sebagai karyawan biasa, Azizah memang tidak pernah ikut dengan bosnya, namun setidaknya ia akan berusaha melakukan yang terbaik selagi bosnya tidak melarang sikapnya.
"Pak Herman, Anda sudah datang? Silakan masuk." Seorang lelaki datang menghampiri bosnya dan menyambutnya selayaknya tamu, sedangkan Azizah hanya memerhatikannya dari belakang. Di saat itu lah ia tahu, bila lelaki itu adalah Aditya, temannya dulu sewaktu di SMA.
Mengetahui hal itu, yang Azizah lakukan hanya tersenyum, ia tidak menyangka bila ia akan bertemu lagi dengan temannya yang playboy itu. Kalau dulu, Aditya sering sekali menemuinya dan terkadang mengaku-ngaku sebagai pacarnya, saat dirinya dikejar banyak gadis untuk menjadi kekasihnya. Azizah hanya tersenyum mengingat masa-masa itu, ia tidak pernah menyangka bisa bertemu lagi dengan temannya yang satu itu, sampai tidak menyadari bila Aditya tengah memerhatikannya setelah mempersilahkan rekannya masuk ke dalam ruangan pertemuan.
"Azizah," panggilnya terdengar heran, menyadarkan wanita itu bila bosnya kini sudah tidak berada di depannya.
"Ya, Pak." Azizah menjawab sopan sembari tertunduk ragu.
"Kenapa kamu memanggilku Pak? Aneh." Aditya tersenyum manis ke arah Azizah yang tampak tidak aneh dengan panggilannya itu.
"Memangnya kenapa ya, Pak?"
"Kamu bercanda ya? Aku kan teman lamamu, Zah. Masa kamu panggil aku Pak? Sejak kapan aku jadi Bapakmu?" Aditya menjawab tak habis pikir, lelaki itu masih sama seperti dulu, selalu bercanda setiap berbicara.
"Bukan begitu, di sini kan aku kerja, masa aku panggil kamu dengan sebutan nama, ya enggak sopan kan?"
"Iya sih. Oh ya kenapa kamu ada di sini? Biasanya bukan kamu yang ikut Pak Herman," ujar Aditya terdengar heran.
"Oh maksud kamu Selvi ya? Dia lagi enggak masuk, kenapa? Kamu menyukainya ya? Kamu enggak pernah berubah ya, selalu saja menyukai wanita cantik dan seksi." Azizah tersenyum ke arah Aditya berniat menggodanya, yang tentu saja Aditya langsung menggeleng untuk menolak pernyataan Azizah.
"He, jangan fitnah. Aku enggak menyukainya."
"Terserahlah, aku harus menemui bosku, dia pasti marah kalau aku enggak masuk sekarang. Aku ke bosku dulu ya?" ujar Azizah terdengar takut-takut lalu segera masuk, namun Aditya justru menggenggam tangannya untuk menahan kepergiannya.
"Ada apa?"
"Masuklah bersamaku!"
"Maksudnya?" Belum Azizah mendapatkan jawaban, Aditya langsung menarik tangannya untuk masuk ke dalam dan menemui bos wanita itu.
"Maaf, sudah membuat Anda menunggu lama, Pak. Kebetulan karyawan Bapak ini teman lama saya, jadi saya sedikit bertanya kabarnya." Aditya menunjuk ke arah Azizah setelah melepas genggaman tangannya.
"Begitu ya, saya malah baru tahu."
"Iya, Pak." Aditya tersenyum lalu duduk di kursinya, begitupun dengan Azizah yang juga melakukan hal sama. Azizah sendiri tidak akan menyadari bagaimana Aditya diam-diam tersenyum melihat ke arah tangannya yang baru saja menyentuh kulit wanita itu, di dalam hati ia merasa bahagia sekaligus kecewa di waktu yang sama.
Part 04
Seperti biasa, Azizah pulang dengan keadaan tubuh lelah, matanya juga mengantuk setelah hampir semalaman menangis karena masalahnya dengan Farhan, suaminya. Butuh waktu lama untuk Azizah terlelap tadi malam, yang berakibat dengan keterlambatannya bangun untuk membuat sarapan.
Saat Azizah akan duduk di ranjang, pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok Farhan yang baru pulang bekerja. Sepertinya suaminya itu tidak ikut lembur lagi malam ini, itu berarti obrolan mereka tadi malam tak membuatnya paham ataupun mengerti.
"Kamu sudah pulang, Mas?"
"Iya." Farhan menjawab singkat, nada suaranya terdengar kesal sekarang, sedangkan Azizah hanya menghela nafas panjang, berusaha untuk tetap bersabar.
"Kamu sengaja ya buat aku mau mati karena kelaparan?" tanya Farhan ke arah Azizah yang tampak kebingungan dengan maksud dari ucapannya.
"Maksud kamu apa, Mas?" Azizah mendirikan tubuhnya di depan suaminya dan menatap bingung ke arahnya.
"Tadi siang aku bangun enggak ada makanan, padahal aku mau kerja, kamu sengaja kan enggak masak supaya aku kelaparan?" tuduh Farhan terdengar kian kesal.
"Tadi pagi aku masak kok, Mas, mungkin pas siangnya habis, karena aku masaknya memang sedikit, tadi pagi aku terlambat bangun." Azizah menjawab jujur, ia memang terlambat bangun karena malamnya ia kesusahan saat akan tidur, sedangkan suaminya itu tidak akan tahu karena dia pergi entah ke mana dan pulang cukup malam.
"Harusnya kamu masak lebih banyak, aku di tempat kerja jadi kelaparan kan."
"Aku sudah masak dengan porsi yang sekiranya cukup untuk kamu dan orang tua kamu kok, Mas. Aku malah enggak sempat serapan, karena aku juga buru-buru berangkat kerja." Azizah menjawab dengan nada sabarnya, namun justru membuat Farhan kian marah.
"Oh jadi kamu menyalahkan orang tuaku sekarang? Kamu pikir, orang tuaku yang menghabiskan makanannya? Iya?" Farhan kian menuduh Azizah.
"Kapan aku mengatakannya, Mas? Aku enggak bilang apa-apa tentang orang tua kamu." Azizah mengelak tidak terima, tentu saja ia tidak bisa terima tuduhan suaminya, karena bukan itu maksud dari ucapannya
"Kamu bilang sendiri kalau kamu sudah masak untukku dan orang tuaku, kamu juga bilang kalau kamu malah enggak sarapan, tanpa sengaja kamu sudah menuduh orang tuaku yang menghabiskan makanannya kan?" Farhan menunjuk ke arah Azizah yang tampak tidak percaya dengan ucapan suaminya. Hanya karena makanan, suaminya itu begitu tega menuduhnya sebegitu buruknya.
"Enggak, Mas. Aku enggak nuduh siapa-siapa."
"Akh, sudahlah! Sekarang kamu masak yang banyak, aku mau makan." Farhan menunjuk ke arah pintu, ia menyuruh Azizah untuk memasak, padahal ia tahu bila istrinya itu baru saja pulang bekerja.
"Aku capek, Mas. Aku duduk sebentar ya, aku baru aja pulang, aku butuh istirahat." Azizah berujar jujur, wajahnya juga menyiratkan rasa lelah, namun sepertinya Farhan tidak bisa mengerti itu semua.
"Kamu pikir, aku bisa menunda rasa laparku? Aku ini juga baru pulang kerja, tapi aku enggak semanja kamu. Apalagi pekerjaanku berdiri, enggak kaya pekerjaan kamu yang cuma duduk di kursi empuk."
"Kok kamu jadi membandingkan pekerja kita sih, Mas? Meskipun pekerjaanku cuma duduk, aku bekerja seharian, sedangkan kamu cuma setengah hari, kamu juga sudah enggak pernah ikut lembur malam kan?"
"Memangnya kenapa kalau aku sudah enggak mau ikut lembur kerja? Ha? Kamu pikir aku enggak boleh capek apa? Aku juga bisa capek."
"Sama, Mas. Aku juga bisa capek, apa aku enggak boleh istirahat sebentar? Setelah itu aku akan masak buat kamu."
"Aku enggak mau menunggu lebih lama lagi, aku mau makan, cepat masak sana." Farhan membaringkan tubuhnya di ranjang, tanpa mau tahu Azizah lelah atau tidak. Sedangkan yang Azizah lakukan hanya menghela nafas, mau tak mau ia harus ke dapur dan memasak sekarang.
Setelah keluar dari kamar dan menunju ke dapur, perlahan air mata Azizah jatuh membasahi wajahnya. Wanita itu menangis lagi dan lagi kali ini, sampai tidak menyadari bila mertua perempuannya tengah memerhatikannya dan menyusul langkahnya.
"Azizah," panggilnya hati-hati, ia tahu menantunya itu sedang tidak baik-baik saja sekarang, bisa dilihat dari wajahnya yang basah oleh air mata.
"Iya, Bu. Ada apa?" Azizah mengusap air matanya, berusaha menyembunyikan tangisnya dari mertuanya.
"Ada apa?"
"Enggak ada apa-apa kok, Bu. Aku cuma mau masak buat Mas Farhan, tadi siang dia enggak sempat makan sebelum berangkat bekerja." Azizah menyunggingkan senyum tipisnya, ia selalu saja seperti itu, selalu menyembunyikan masalah yang menyimpanya tak terkecuali masalah di rumah tangganya.
"Maafkan Ibu ya, Zizah. Tadi pagi Ibu lupa menutup makanannya, jadi ada kucing yang masuk ke rumah dan memakan lauknya. Saat Ibu tahu itu, Ibu langsung membersihkan meja dan membuang makanannya, Ibu berniat memasak untum Farhan, tapi dia buru-buru berangkat bekerja dan enggak sempat sarapan. Pasti dia marah sama kamu kan, makanya kamu nangis sekarang." Wanita itu berujar penuh bersalah, sedangkan Azizah hanya menghela nafas panjangnya, sekarang ia tahu sumber masalahnya.
"Aku enggak apa-apa kok, Bu. Sekarang aku akan masak buat Mas Farhan makan ya, Ibu bisa kembali ke kamar." Azizah berusaha tersenyum di depan mertuanya tersebut, meski sebenarnya hatinya ingin menangis setelah dituduh oleh suaminya sendiri.
"Kamu enggak usah masak, Ibu sudah masak tadi siang, tapi Ibu simpan di kulkas. Ibu panasih ya? Kamu panggil saja Farhan, setelah itu kita makan sama-sama, dengan begitu kamu bisa beristirahat lebih cepat." Mertuanya itu mengambil makanan dan adonan lauk yang sudah disiapkan dan hanya tinggal digoreng.
"Ibu sudah menyiapkan makanannya? Terima kasih ya, Bu."
"Iya, Ibu tinggal panasih dan lauknya digoreng, sudah selesai, kamu panggil Farhan sana, Ibu yang siapkan semuanya."
"Iya, Bu." Azizah tersenyum ke arah mertuanya lalu berjalan ke arah kamarnya, di mana suaminya tengah beristirahat di sana. Di dalam langkahnya, Azizah merasa bersyukur mertuanya sudah menyiapkan semuanya, dengan begitu ia bisa mandi dan beristirahat setelah ini.
Saat masuk ke kamarnya, Azizah tersenyum dan menghela nafas, amarah yang sempat memenuhi perasaannya kini menghilang setelah melihat wajah pulas Farhan saat terlelap. Ia akan membangunkan suaminya itu dengan sangat hati-hati, agar tak membuatnya kaget terlebih lagi sampai marah.
"Mas," panggil Azizah setelah duduk di tepi ranjang, tangannya terulur menepuk pelan pipi suaminya.
"Ayo keluar, makanannya sudah disiapkan sama Ibu." Azizah berujar lirih, membangunkan Farhan yang baru saja tertidur.
"Apa?"
"Kamu lapar kan? Ayo bangun, Ibu sudah masak, sekarang Ibu lagi siapkan makanannya buat kamu makan." Azizah memperjelas kalimatnya, Farhan yang baru mendengarnya seketika membangunkan tubuhnya.
"Apa kamu bilang? Ibu yang masak? Kamu menyuruh Ibuku masak?"
"Enggak, Mas. Aku enggak nyuruh Ibu." Azizah menggelang tak terima, karena ia memang tidak pernah meminta terlebih lagi menyuruh mertuanya.
"Aku enggak percaya, kamu sendiri tadi yang bilang kalau Ibu yang sudah masak, sedangkan kamu malah ke kamar, terus gunanya kamu apa di rumah ini?" tanya Farhan terdengar marah yang tentu saja tidak bisa Azizah terima tuduhannya.
"Ibu sudah masak tadi siang, Mas, sekarang Ibu cuma lagi memanasi semuanya, aku disuruh memanggil kamu untuk makan."
"Ya, berarti Ibu yang masak kan? Bukan kamu. Kamu itu menantu Ibuku, harusnya kamu bisa meringankan pekerjaan Ibuku, bukan malah menyuruh Ibuku memasak."
"Aku enggak nyuruh Ibu, Mas." Azizah bersikeras, ia juga tidak mau dituduh buruk oleh suaminya.
"Terus kenapa Ibu yang masak?"
"Ya aku enggak tahu, aku kan baru pulang kerja, kamu tadi suruh aku masak, tapi Ibu sudah masak."
"Itu berarti kamu yang enggak becus jadi menantu Ibuku, kamu membiarkan Ibuku masak, dia itu sudah tua, Azizah. Sebagai menantu seharusnya kamu bisa mengerti itu dan menganggap Ibuku ya Ibumu juga, bukan malah membiarkan Ibuku melakukan pekerjaan rumah." Farhan berteriak ke arah Azizah yang tampak tak percaya, tubuhnya yang lelah kian melemah mendengar kalimat pedas dari suaminya.
"Sudah masak enggak mau, malah membiarkan Ibuku yang masak. Dasar, istri enggak becus." Farhan menggerutu kesal lalu pergi dari kamarnya, yang tentu saja ucapannya sangat jelas terdengar di telinga istrinya.
Setelah Farhan pergi dari kamar, Azizah meluruhkan tubuhnya, wajah cantiknya kembali dibanjiri oleh air mata. Rasanya ia sudah tidak tahan lagi dengan perubahan sikap suaminya yang kian hari, kian keterlaluan memperlakukannya.
Dulu, saat Azizah masih berpacaran dengan Farhan, ia diperlakukan sangat baik, lelaki itu mau menuruti apapun keinginannya. Di mata Azizah, Farhan adalah lelaki pekerja keras, Farhan juga sosok anak yang sangat menyayangi orang tuanya, itu lah kenapa Azizah mudah tersentuh dengan semua sikap manisnya.
Dua tahun berpacaran, Azizah mengajak Farhan menikah, ia tidak mau lama-lama berpacaran. Dengan rasa bahagia, Farhan menyetujuinya, lelaki itu bahkan berjanji akan membuatnya bahagia dan menjadikannya satu-satunya wanita yang berada di hatinya. Setelah itu, Azizah melangsungkan lamaran dengan Farhan, namun semua sikap lelaki itu sedikit berubah setelah pernikahan.
Farhan berubah menjadi lelaki cuek yang suka sekali bermain game, tak jarang dia mengabaikan Azizah yang sudah lelah dengan pekerjaan. Perhatian-perhatian kecil yang pernah Farhan berikan seperti memijat kakinya, mengambilkannya makanan dan menyuapinya, semakin lama, semakin menghilang. Farhan berubah menjadi lelaki tidak peduli, meskipun pada saat itu ia masih berusaha bekerja dan ikut lembur seperti sebelum menikah.
Sekarang, lelaki itu justru tidak mau ikut lembur, nada suaranya sering meninggi, tidak ada kalimat halus lagi yang keluar dari bibirnya, semua itu menghilang seolah tidak pernah ada. Jujur saja, Azizah merasa sangat kecewa, dan akhir dari perasaannya, saat Farhan menuduhnya melakukan sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan. Azizah seperti diberi racun dan dipaksa untuk menghirupnya, terasa sesak dan menyakitkan untuk Azizah terima begitu saja.
Di keheningan kamarnya ditemani langit yang kian menggelap, Azizah masih menangis dengan tubuh masih berada di lantai, hatinya masih terasa sesak dengan sikap suaminya, sampai ia merasa tidak sanggup untuk melakukan apa-apa. Azizah hanya ingin menenangkan perasaannya, ia berusaha yakin bila perubahan suaminya itu hanya sementara, ia juga berusaha percaya bila suaminya mungkin sedang lelah yang berakibat pada emosinya yang naik turun.
"Zizah," panggil Farhan setelah sampai di kamar, sedangkan Azizah masih tertunduk dengan air matanya, padahal waktu sudah menunjukkan lebih dari sepuluh menit Azizah di posisi yang sama.
"Iya, Mas. Ada apa?"
"Astaga, kamu lagi apa sih? Aku pikir kamu sudah mandi dan rapi, tapi kamu malah enak-enakan duduk di lantai." Farhan menatap tak percaya, sedangkan Azizah langsung menghapus air matanya lalu mendirikan tubuhnya.
"Maaf, Mas."
"Cepat cuci piring sana, jangan menyuruh Ibuku ya, dia itu sudah sepantasnya beristirahat, kamu sebagai menantunya yang harus melakukan pekerjaan rumah." Farhan berjalan ke arah ranjang, tanpa mau memedulikan perasaan istrinya yang kian terluka dengan kalimatnya.
"Iya, Mas. Tapi aku mandi dulu ya," ujar Azizah sembari berjalan ke arah kamar mandi.
"Untuk apa mandi dulu? Cuma mau cuci piring kan? Lebih baik kamu selesaikan dulu, nanti malah Ibuku yang melakukannya, itu kan tugas kamu, bukan tugas Ibuku," ujar Farhan berhasil menghentikan langkah Azizah yang terdiam, sampai pada akhirnya ia menghela nafas berusaha untuk tetap sabar.
"Iya, Mas." Azizah berjalan keluar kamar, berniat mencuci pring seperti apa yang suaminya perintahkan. Meski di balik semua itu, matanya kembali menangis, menahan tubuhnya yang sudah lelah. Begitupun dengan hatinya yang terluka oleh tuduhan dan ucapan kasar suaminya, meski tidak ada yang bisa Azizah lakukan kecuali menahan semuanya.
Part 05
Setelah Azizah menyelesaikan tugasnya, ia kembali ke kamar dan tidak mendapati Farhan berada di sana. Ia yakin, suaminya itu pasti keluar rumah untuk menemui teman-temannya. Seperti biasa, lelaki itu akan bermain game dan pulang nanti malam saat Azizah sudah terlelap pulas.
Mengetahui semua itu, yang Azizah lakukan hanya menghela nafas, diam-diam ia merasa lelah dengan sikap suaminya yang kian lama kian keterlaluan. Namun rasanya Azizah juga mustahil bila harus menyerah begitu saja, karena ia masih yakin suaminya itu pasti akan berubah.
Belum lagi umur pernikahan mereka yang baru satu tahun, seolah mengintimidasinya akan omongan orang kedepannya. Terlebih lagi perasaan orang tuanya sendiri, Azizah pasti akan merasa sangat bersedih bila orang tuanya kecewa dengan sikap kekanak-kanakannya.
Rasanya, menyerah dengan pernikahan ini juga bukanlah sesuatu yang benar, karena Azizah juga harus memikirkan banyak hal terutama tentang perasaan Ibu dan Ayahnya sendiri. Dari dulu, Azizah bukanlah anak pebakang, ia akan berusaha menuruti permintaan orang tuanya selagi itu bisa membuat mereka bahagia. Begitupun dengan pernikahan ini, Azizah akan berusaha bertahan sebisanya, setidaknya ia sudah berusaha mencoba.
Di sisi lainnya, Farhan pergi ke rumah temannya yang bernama Beni, setiap malam ia berkumpul dengan teman-temannya yang lain. Seperti biasa, mereka berkumpul untuk bermain game online, kalau dulu Farhan jarang ikut, tapi kalau sekarang ia berniat berkumpul dengan mereka setiap malam tepatnya setelah pulang bekerja.
"Han, kok kamu baru datang sih? Yang lain pada nunggu kamu tahu enggak, mereka sudah enggak sabar main." Beni berujar ke arah Farhan setelah membuka pintu untuk temannya itu.
"Iya-iya, maaf. Tadi aku sempat bertengkar dengan Azizah, makanya aku ke sininya lama." Farhan berjalan masuk ke dalam menuju ke kamar temannya tersebut.
"Ada apalagi sama istrimu itu?" tanya Beni keheranan sembari berjalan di belakang Farhan.
"Dia enggak becus banget jadi istri, masa tadi siang dia enggak masak buat aku, padahal kan aku harus kerja. Jadi pulang-pulang aku kelaparan kan, ya aku suruh dia masak lah, tapi dia malah membiarkan Ibuku yang masak? Keterlaluan." Farhan berujar kesal, sampai saat ini hatinya juga masih terasa panas mengingat sikap istrinya.
"Wah, kalau sudah masalah orang tua, aku bisa ngerti perasaan kamu, Han. Tapi aku cuma bisa bilang, kamu yang sabar ya," jawab Beni yang diangguki setuju oleh Farhan.
"Iya, terima kasih, Ben." Farhan menepuk pundak temannya itu lalu masuk ke dalam kamar, di mana teman-temannya yang lain sudah berada di sana.
"Ini orangnya, dari tadi ditunggu-tunggu enggak muncul." Salah satu dari teman Farhan itu berujar, yang hanya Farhan senyumi kali ini lalu duduk dan bergabung dengan mereka.
"Iya-iya, maaf. Tadi ada masalah di rumah." Farhan menjawab seadanya.
"Ya sudah ayo kita masuk, kita mulai sekarang aja mainnya." Beni berujar ke arah teman-temannya yang lain, yang diangguki setuju oleh mereka.
Kini, Farhan dan teman-temannya sedang fokus dengan permainan mereka sebagai tim di game online, di sana mereka juga tampak serius membunuh musuh di ponsel masing-masing. Sampai saat Farhan berteriak frustrasi saat ponselnya mengalami gangguan, yang tentu saja berdampak pada teman-temannya yang lain.
"Han, kok kamu malah keluar tiba-tiba sih? Kalah kan kita, gimana sih kamu?"
"Maaf, hp-ku gangguan. Kalian bisa lihat kan, tiba-tiba permainanku berhenti dan keluar begitu aja."
"Makanya beli hp yang bagus dong, kaya punyaku nih, enggak bakal gangguan, sinyal juga lancar jaya, RAM-nya aja banyak," ujar salah satu dari mereka, yang membuat Farhan terpengaruh, merasa juga ingin memiliki ponsel seperti itu.
"Aku mana ada duit buat beli hp kaya punyamu." Farhan menjawab jujur, karena semua gajinya pasti akan ia berikan pada istrinya, Azizah.
"Lah sebentar lagi kan kamu gajian, kamu pergi aja ke konter minta tukar tambah, nanti kamu bisa dapat ponsel kaya gini." Temannya itu menunjuk ke arah ponselnya, nada suaranya terdengar bangga memiliki benda pipih canggih itu.
"Terus uang yang bakal aku kasih ke istriku apa? Aku kan juga harus kasih dia uang."
"Kan istrimu kerja, banyak uangnya, masa gaji dia enggak cukup buat sebulan sampai kamu gajian lagi."
"Iya juga sih," gumam Farhan setuju, ia pikir ide temannya itu cukup bagus, dengan begitu ia bisa bermain game sepuasnya tanpa gangguan.
***
Aditya pulang ke rumah dengan bibir tersenyum, tidak seperti hari biasanya. Sikap anehnya itu tentu saja disadari oleh mamanya yang tak sengaja berpapasan dengannya, wanita cantik itu bahkan sampai dibuat heran dengan tingkah laku putranya.
"Adit, kamu enggak apa-apa kan?"
"Enggak apa-apa kok, Ma. Memangnya kenapa?" Aditya menyembunyikan senyumnya dan berusaha terlihat baik-baik saja.
"Ya enggak biasanya kamu senyum-senyum sendiri apalagi setelah pulang kerja, biasanya kamu kecapean dan langsung beristirahat di sofa. Ada apa? Ada yang menarik ya?" tanya wanita itu terdengar penasaran, namun Aditya justru tersenyum, ia ingin mengatakan yang sebenarnya bila ia sudah bertemu dengan wanita yang dicintainya dan bahkan hubungan mereka bisa dikatakan dekat meski karena pekerjaan. Namun fakta tentang wanita itu yang sudah menikah, rasanya senyum Aditya tidak bisa tercipta lagi dengan mudah.
"Enggak ada yang menarik kok, Ma. Aku cuma pingin senyum aja," jawab Aditya seadanya, entah kenapa ia sekarang merasa tak bisa bahagia mengingat status Azizah.
"Kalau begitu kabar dari Mama pasti bisa buat kamu tersenyum lagi." Wanita itu berujar antusias, yang kali ini ditatap tanya oleh Aditya yang merasa penasaran.
"Kabar apa, Ma?"
"Kamu ingat mantan kamu yang bernama Sarah? Dia akan pulang ke Indonesia."
"Terus kenapa kalau Sarah pulang, Ma? Apa itu kabar baiknya?" Aditya bertanya tak mengerti, apa yang menarik dari kepulangan mantan kekasihnya itu.
"Kok kamu kelihatan enggak senang sih, Dit? Sarah mau pulang loh, harusnya kamu bersorak bahagia."
"Untuk apa aku melakukannya, Ma? Mama ada-ada aja," ujar Aditya sembari menggeleng heran lalu berjalan ke arah sofa di mana ruang keluarganya berada di sana.
"Bukannya kamu sedang menunggu Sarah pulang ya?" Wanita itu berjalan mengikuti langkah putranya dan duduk di sebelahnya.
"Untuk apa aku menunggunya, Ma?"
"Kok untuk apa sih, Dit? Bukannya kamu mau menunggu Sarah pulang karena kamu mencintainya ya? Kamu mau melamarnya kan? Itu lah kenapa kamu menolak dijodohkan dengan Sandrina."
Aditya seketika merapatkan bibirnya, merasa tidak percaya mamanya masih mengingat kebohongannya saat itu. Padahal ia hanya mencari alasan untuk menghindari perjodohan itu, karena ia masih ingin sendiri dan mengharapkan bisa bertemu dengan Azizah lagi, namun sepertinya mamanya itu terlalu menanggapinya dengan serius.
Aditya berpikir lagi, dulu ia juga tidak mungkin menjadikan Sarah alasan bila hal itu mustahil untuk dijadikan bahan untuk melarikan diri dari perjodohan. Bila dipikir lagi rasanya juga aneh bila Sarah kembali ke Indonesia, padahal wanita itu sendiri yang bilang tidak akan kembali ke negara asalnya karena ia sudah nyaman di negaranya yang sekarang.
"Bukannya Sarah enggak akan pulang ke Indonesia ya, Ma? Dia bahkan sudah berganti kewarganegaraan, dia sudah nyaman di sana." Aditya bertanya ke arah mamanya yang tersenyum penuh arti.
"Papa kamu berhasil mengajak orang tua Sarah berbesanan, itu berarti kamu akan dijodohkan dengan Sarah. Yaeii," sorak sang mama yang seketika didiami oleh Aditya yang tertegun tak percaya.
"Apa, Ma? Aku mau dijodohkan dengan Sarah?" tanyanya berusaha meyakinkan pendengarannya.
"Iya, Sayang. Kamu senang kan? Karena akhirnya kamu bisa menikah dengan Sarah, jadi penantian kamu selama ini enggak sia-sia."
"Mustahil, Ma. Aku enggak mungkin menikah dengan Sarah, aku enggak cinta sama dia." Aditya mendirikan tubuhnya sembari menatap tegas ke arah mamanya.
"Kamu enggak cinta sama Sarah, tapi dulu kamu bilang kalau kamu mau menunggu dia pulang, itu lah kenapa kamu enggak mau dijodohkan kan?" Sang mama bertanya dengan nada tak mengerti, membuat Aditya merasa frustrasi.
"Aku bohong tentang semua itu, Ma. Aku menjadikan Sarah alasan, karena aku memang enggak mau dijodohkan."
"Apa, Dit? Kamu bohongi Mama?"
"Maafkan aku, Ma. Aku cuma enggak bisa mencari alasan yang tepat, supaya aku enggak menyakiti perasaan Mama dan Papa."
"Kamu beralasan dengan menggunakan Sarah? Mantan kamu sendiri?"
"Iya, Ma. Karena aku tahu, dia enggak akan kembali ke Indonesia."
"Astaga, Adit." Wanita itu menyenderkan tubuhnya dengan sangat frustrasi, membuat putranya merasa bersalah sekaligus bingung harus berbuat apa.
"Aku enggak mau dijodohkan dengan Sarah, Ma. Tolong jangan paksa aku lagi, biarkan aku memilih wanita yang benar-benar aku cintai." Aditya duduk di samping mamanya dan berharap permintaannya itu dikabulkan.
"Kamu pikir, kenapa Papa sampai jauh-jauh menemui orang tua Sarah? Karena Mama dan Papa berpikir kalau kamu mencintai dia, kami ingin yang terbaik untuk kebahagiaan kamu, makanya kami berusaha mewujudkan impian kamu. Tapi ternyata ... apa yang kamu katakan dulu itu cuma kebohongan, astaga ...." Wanita itu mengeluh tak percaya, bagaimana ia bisa menghadapi orang tua Sarah sekarang, bila putranya saja ternyata cuma membohonginya demi bisa lagi dari perjodohannya.
"Maafkan aku, Ma. Tapi aku memang enggak bisa dengan Sarah, aku enggak cinta sama dia, hubungan kita cuma masa lalu, mustahil dibangun lagi." Aditya berujar serius.
"Sarah itu mantan kamu kan? Itu berarti kamu pernah mencintainya. Sekarang, apa salahnya kalau kamu berusaha mencintainya lagi?" Sang mama bertanya ke arah putranya yang terdiam, ia bahkan tidak pernah mencintai Sarah meskipun pernah menjalin hubungan dengannya.
"Aku enggak pernah mencintai Sarah, Ma."
"Terus kenapa kamu dulu mengajaknya menjalin hubungan?"
"Itu karena aku cuma ...."
"Cuma apa?"
"Aku cuma mau main-main, Ma. Aku enggak benar-benar suka sama Sarah."
"Astaga, Adit. Mama enggak pernah ya ngajarin kamu mainin hati perempuan, kenapa kamu teh sih sama Sarah? Dia kan wanita baik-baik."
"Aku tahu, Ma. Maaf ...." Aditya berujar menyesal, ia juga tidak berharap kelakuan playboynya dulu berdampak pada kehidupannya saat ini.
"Mama enggak tahu harus bagaimana. Sebagai seorang lelaki, kamu selesaikan masalah ini sendiri, akan lebih bagus kalau kamu belajar mencintai Sarah."
"Tapi, Ma ...." Aditya ingin mengatakan bila ada wanita lain yang dicintainya, namun bila mengingat status wanita itu yang sudah menikah, rasanya akan sangat mustahil bila mamanya akan mendukungnya.
"Apalagi? Kamu yang sudah memulai kebohongan ini, kamu juga yang harus mengakhirinya." Wanita itu menjawab lelah, ia benar-benar merasa lelah dengan kelakuan putranya.
"Aku tahu, Ma. Maaf ...." Aditya menunduk pasrah, ia sendiri bingung harus bagaimana.
Aditya sendiri merasa kalau dirinya tidak bisa mencintai Sarah, namun di sisi lainnya, sangat mustahil bila ia memperjuangkan wanita yang dicintainya. Karena ternyata wanita itu sudah menikah, memiliki suami yang dia cintai di hatinya.
Rasanya juga mustahil Aditya merebutnya. Bahkan saat wanita itu masih remaja dan belum menyukai lelaki manapun, ia merasa kesusahan membuatnya jatuh cinta dengannya. Bagaimana kalau sekarang? Kemungkinan besarnya adalah kegagalan.
"Apa aku harus belajar mencintai Sarah? Dia juga wanita baik dan cantik," gumam Aditya dalam hati, merasa bimbang sekaligus dilema di waktu yang sama.
Part 06
Azizah tertunduk lesu di meja kantin setelah menyelesaikan makan siangnya, makanannya itu juga tidak sepenuhnya habis, namun sudah Azizah singkirkan seolah tak memiliki niat untuk menghabiskannya. Untuk saat ini, pikirannya masih kacau dengan perubahan sikap pada suaminya yang kian hari, kian keterlaluan.
Vina yang sedari tadi memerhatikannya sampai merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang Azizah pikirkan, karena akhir-akhir ini temannya itu lebih banyak murung dari pada berbicara seperti biasanya.
"Zah, kamu ada masalah ya?" tanya Vina hati-hati setelah menghabiskan makan siangnya, sedangkan Azizah hanya mengangguk di tundukkan kepalanya yang berada di atas meja.
"Masalah apa? Kali aja aku bisa cari solusinya."
"Farhan, Vin. Kian hari, sikapnya tambah lain." Azizah menegakkan tubuhnya lalu menatap ke arah temannya dengan wajah sendunya.
"Tambah lain bagaimana? Maksudnya tambah berubah, gitu?"
"Iya. Farhan sudah enggak mau lembur kerja lagi, padahal kan uang gajinya aku pakai buat keperluan rumah dan orang tua dia juga. Sedangkan gajiku sendiri aku tabung untuk keperluanku saat hamil dan melahirkan nanti, aku kan juga mau punya anak, Vin."
"Oh jadi ini maksud kamu kemarin tanya, apa salah kalau kamu kerja dan uangnya ditabung untuk keperluan anakmu nanti?"
"Iya. Apa aku salah ya?"
"Kamu enggak salah kok, Zah. Harusnya Farhan yang berterima kasih sama kamu, karena kamu sudah bantu keuangan yang seharusnya jadi tanggung jawab dia."
"Terus kenapa Farhan tambah berubah?" tanya Azizah terdengar putus asa, yang tentu saja belum bisa Vina mengerti maksudnya.
"Berubahnya bagaimana? Kalau cuma enggak mau lembur kerja, mungkin aja dia lagi capek."
"Iya, aku pikir juga begitu. Farhan enggak mau lembur kerja, mungkin karena dia capek, tapi setelah pulang kerja, dia malah keluar ke rumah temannya dan pulangnya bisa tengah malam dan bahkan lebih." Azizah menghela nafas panjangnya, rasanya ia tidak bisa mengerti dengan jalan pikiran suaminya.
"Padahal kerjanya Farhan kan cuma satu shift, yang berangkatnya siang terus pulangnya sore, kalau memang capek kan harusnya dia istirahat, bukan malah keluar rumah dan pulang malam kan?" tanya Azizah kali ini yang diangguki setuju oleh Vina.
"Iya lah, malah lebih capek kamu yang kerjaannya bisa seharian sampai telat pulang." Vina menjawab setuju, namun Azizah masih tampak ragu.
"Tapi kenapa Farhan enggak mau ngerti ya, Vin? Aku pikir, aku sudah enggak minta banyak dari dia, semua gaji dia juga enggak pernah aku gunakan untuk keperluanku. Tadi malam juga dia marah-marah sama aku, cuma karena Ibunya masak, Farhan pikir aku membiarkan Ibunya melakukan pekerjaan rumah. Padahal aku aja enggak tahu kalau mertuaku masak, karena makan siangnya dimakan kucing." Azizah berujar dengan nada serak, matanya hampir menangis bila mengingat hal itu.
"Astaga, Zah. Jadi selama ini kamu yang melakukan pekerjaan rumah?" tanya Vina tak percaya.
"Iya, aku yang mengerjakan pekerjaan rumah termasuk masak untuk sarapan dan makan malam. Tapi mertuaku diam-diam selalu bantu aku kok, cuma ya pas enggak ada Farhan di rumah." Azizah menjawab jujur, yang tentu saja membuat Vina geram mendengarnya.
"Astaga, Zah. Pekerjaan kantor itu capek loh, aku aja meskipun belum menikah, aku enggak diperbolehkan bersih-bersih rumah sama orang tuaku. Ibuku bahkan selalu berterima kasih sama aku, karena sudah menggantikan posisi Bapak sebagai tulang punggung, makanya aku enggak boleh nyentuh pekerjaan rumah. Sedangkan kamu?" Vina menatap ke arah Azizah yang terdiam menunggu lanjutan ucapannya.
"Kamu itu cuma menantu di rumah suami kamu, kamu juga bekerja mengurangi beban mereka, terus pas pulang kamu malah disuruh bersih-bersih rumah, masak makan malam juga. Menurutku, suami kamu sudah keterlaluan deh, Zah. Setidaknya dia harus bantu kamu membersihkan rumah, kalau memang dia enggak mau orang tuanya yang melakukannya." Vina melanjutkan ucapannya yang diam-diam Azizah setujui argumennya, karena ia sendiri juga merasa lelah, belum lagi perkataan Farhan yang mulai kasar saat berbicara dengannya.
"Sebenarnya aku enggak permasalahkan itu sih, Vin. Selagi aku sanggup dan mampu, aku pasti bakal lakukan apa yang suami aku katakan. Hanya saja, aku punya keinginan untuk berhenti bekerja saat aku melahirkan dan punya anak, itulah kenapa aku menabung dari dulu, dengan begitu aku enggak harus mempersulit suamiku dengan kebutuhanku dan anakku nanti. Tapi kalau dari sekarang aja dia sudah enggak mau lembur kerja, bagaimana aku bisa berhenti bekerja dengan tenang, sedangkan gaji Farhan saat kerja dan lembur cuma cukup untuk kebutuhan rumah dan orang tuanya. Padahal aku enggak pernah minta apapun untuk kebutuhanku sendiri."
"Menurutmu apa keinginanku terlalu berlebihan ya, Vin? Apa aku salah ya kalau aku mau Farhan lebih bertanggung jawab lagi?" tanya Azizah terdengar kian ragu, rasanya ia yang justru merasa bersalah sekarang.
"Kamu enggak salah kok, Zah. Mungkin suami kamu aja yang belum bisa mengerti keinginan kamu, bagaimana kalau kamu berbicara baik-baik sama dia? Kali aja dia mau mengerti."
"Iya juga sih, tapi sekarang Farhan jarang ada di rumah. Setelah pulang dari tempat kerjanya, biasanya dia ke rumah temannya dan pulang malam. Paginya aku berangkat kerja, dianya masih tidur."
"Ya kamu harus bisa memulai obrolan dengan baik-baik, kali aja suami kamu mau dengar dan mau mengerti keinginan kamu."
"Iya, kebetulan hari ini Farhan gajian, biasanya dia kasih aku semua uangnya, saat itu tiba, aku juga akan membicarakan keinginanku." Azizah tersenyum ke arah Vina yang juga tersenyum melihatnya.
"Nah, itu baru semangat."
"Terima kasih ya sudah mau memberiku saran, aku kadang suka bingung harus cerita ke siapa, mustahil kan kalau aku cerita ke orang tuaku." Azizah menghela nafas, ia sendiri sangat merindukan orang tuanya, namun belum bisa menjenguknya, saking lelahnya ia setelah bekerja, belum lagi ia juga harus membersihkan rumah.
"Iya, makanya kalau ada apa-apa kamu cerita. Meskipun aku enggak bisa bantu, setidaknya kamu bisa merasa lega." Vina berujar tulus yang diangguki mengerti oleh Azizah.
"Iya, terima kasih."
***
Setelah pulang, Azizah langsung memasak dan menyiapkan makanan untuk Farhan, ia juga sempat membersihkan rumah dan kamarnya sebelum suaminya itu datang. Azizah sengaja melakukan semua itu lebih awal, ia hanya tidak ingin suaminya marah-marah lagi seperti sebelum-sebelumnya.
Sekarang Azizah juga sudah mandi, tinggal menunggu suaminya yang entah bagaimana pulang lebih lama dari biasanya. Azizah sendiri tidak yakin bila suaminya itu mengambil lembur, karena lelaki itu sudah mengatakan bila dia tidak akan mengambil pekerjaan malam seperti sebelumnya. Namun anehnya, saat ini sudah jam setengah tujuh, waktu yang cukup malam untuk lelaki itu pulang.
Di balik kediamannys, Azizah merasa kepikiran, ia merasa takut terjadi sesuatu dengan Farhan, karena tidak biasanya suaminya itu pulang telat. Azizah terus berpikir positif, ia juga berusaha yakin tidak ada terjadi sesuatu yang buruk dengan suaminya itu.
"Apa aku harus menghubungi Mas Farhan ya? Tapi, nanti dia marah kalau aku telepon pas dia ada di jalan." Azizah dibuat gelisah, pikirannya dibuat tak karuan sekarang. Sampai saat suara pintu terbuka mulai terdengar, di saat itu lah Azizah mendirikan tubuhnya dan menghembuskan nafas leganya saat melihat suaminya pulang dengan selamat.
"Mas, kamu dari mana? Enggak biasanya kamu pulang telat." Azizah bertanya baik-baik, namun suaminya itu justru tersenyum sembari menatap ke arah bungkusan kresek yang berada di tangannya.
"Aku baru beli ini." Farhan menunjukkan bungkusan itu ke arah Azizah yang tampak bingung dengan apa yang berada di dalamnya.
"Apa itu, Mas?"
"Ini HP bagus, aku tukar HP-ku yang lama dengan yang ini." Farhan menyunggingkan senyumnya lalu menunjukkan sebuah kotak ponsel dan membukanya setelah duduk di tepi ranjang.
"Hp ini kayanya lebih bagus dari Hp kamu yang lama, kamu tukar tambah ya?" tanya Azizah dengan nada hati-hati, di balik semua itu, ada ketakutan yang menyeruak masuk ke dalam hati dan pikirannya.
"Iya, memangnya kenapa?"
"Dari mana kamu dapat tambahannya, Mas?"
"Dari gajiku lah, dari mana lagi?" Farhan menjawab tak habis pikir sembari memeriksa beberapa fitur di ponsel barunya.
"Dari gaji kamu, Mas? Harga HP itu pasti mahal kan, kamu enggak mungkin tambah sedikit untuk HP itu." Azizah tampak tak percaya dengan kelakuan suaminya, merasa tak mengerti saja kenapa suaminya itu tega tukar tambah dengan uang gaji yang seharusnya dipakai untuk keperluan rumah.
"Kalau iya, kenapa?" Farhan bertanya tak habis pikir, seolah tidak peduli dengan apa yang istrinya pikirkan tentangnya.
"Kamu masih tanya kenapa? Gaji kamu seharusnya dipakai untuk kebutuhan rumah dan orang tua kamu, Mas. Tapi kenapa kamu malah pakai untuk beli HP? Memangnya HP kamu yang dulu kenapa? Kan enggak kenapa-kenapa, masih bagus juga." Azizah berujar tak percaya, ia ingin marah dengan suaminya.
"He, HP-ku yang lama itu sudah lemot, sering keluar sendiri kalau aku lagi main game online, RAM-nya juga sedikit, mana bisa buat simpan game lain?" Farhan menjawab enteng, nada suaranya juga terkesan meremehkan.
"Jadi kamu tukar tambah cuma gara-gara game online?"
"Iya. Memangnya kenapa?" tanya Farhan terdengar menantang.
"Terus sekarang sisanya mana?" Azizah berusaha untuk tetap sabar dengan sikap suaminya, meskipun rasanya ia juga ingin marah, ingin melampiaskan emosinya pada suaminya tersebut, namun lagi-lagi Azizah merasa tidak sanggup.
"Sisanya cuma tinggal lima ratus ribu, aku akan memakainya untuk keperluanku sehari-hari seperti bensin dan kuota." Farhan menjawab tak acuh dan bahkan terus menatap ke arah ponsel barunya, tanpa mau peduli dengan Azizah yang terlihat tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
"Kamu menghabiskan hampir semua gaji kamu hanya untuk ponsel itu, Mas?" tanya Azizah sembari menunjuk ke arah ponsel yang berada di tangan suaminya.
"Padahal kebutuhan keluarga kita juga masih banyak yang harus dipenuhi, tapi kenapa kamu dengan seenaknya menggunakan gaji kamu untuk hal enggak penting?" Azizah berujar lagi, yang kali ini tak bisa Farhan diami.
"Enggak penting katamu? Aku sangat membutuhkan ponsel ini, kamu enggak tahu bagaimana aku kesusahan saat bermain game dengan ponselku yang lama. Kalau soal kebutuhan rumah, kamu kan juga kerja, harusnya kamu pakai dulu uang kamu itu, jangan terus-terusan mengandalkan uangku," jawab Farhan sembari menatap tegas ke arah Azizah.
"Aku mengandalkan uang kamu, bagaimana? Aku aja enggak pernah minta uang kamu untuk kebutuhan aku sendiri, gaji kamu saja cuma cukup untuk memenuhi kebutuhan di rumah ini dan kebutuhan orang tua kamu juga."
"Lama-lama kamu cerewet ya? Jadi kamu enggak mau pakai uang kamu dulu untuk keperluan di rumah ini?" tuduh Farhan yang tentu saja langsung digelengi oleh Azizah.
"Bukan begitu, Mas. Aku cuma mau kamu lebih bertanggung jawab, kalau kamu pakai gaji kamu untuk kebutuhan yang lebih penting dan mendesak, aku juga enggak akan masalah. Tapi kamu pakai hampir semua gaji kamu untuk ponsel ini, apa menurut kamu itu semua enggak keterlaluan?"
"He, ponsel ini juga kebutuhan penting dan mendesak, menurutku ini enggak berlebihan. Tapi kamunya aja yang pelit, yang enggak mau pakai uang kamu untuk kebutuhan di rumah ini."
"Bukan begitu, Mas ...."
"Akh, sudahlah. Aku mau mandi dulu, lama-lama kamu buat aku enggak betah tinggal di rumahku sendiri. Masa cuma karena aku beli HP dari hasil gajiku sendiri, kamu ceramahi aku banyak hal yang enggak penting." Farhan meletakkan ponselnya di meja lalu pergi ke kamar mandi, meninggalkan Azizah yang sebenarnya masih ingin berbicara, namun lagi-lagi sikap suaminya itu justru membuatnya ingin menyerah.
Sekarang, tidak ada yang bisa Azizah lakukan selain menggunakan gajinya untuk kebutuhan di rumah ini, setidaknya untuk satu bulan ini. Ia masih berusaha mengerti keinginan suaminya, yang mungkin sangat menginginkan ponsel itu. Azizah hanya bisa pasrah dan menahan semuanya, sampai saat matanya kembali menangis membasahi wajahnya, sebenarnya Azizah ingin menenangkan perasaannya agar tak terlalu kecewa namun kenyataannya justru tidak bisa, Azizah lagi-lagi dibuat terluka hati oleh suaminya.
Part 07
Di tempat kerjanya, Azizah sedikit merenung memikirkan sikap suaminya yang kian berubah. Padahal saat ini ia masih di jam kerja, waktu yang tidak diperbolehkan untuk lengah sedikit saja, itu karena akan berakibat pada pekerjaannya. Namun sepertinya hal itu sedang tidak Azizah ingat sekarang, saking sedihnya ia memikirkan masalah di rumah tangganya.
"Azizah," panggil seorang lelaki yang tentu saja Azizah tahu siapa, dia bos di tempatnya bekerja.
"Iya, Pak. Ada apa?" Azizah bertanya sopan, namun sepertinya bosnya itu sedang ingin marah sekarang, bisa dilihat dari caranya melempar banyak kertas yang berisikan laporan di atas meja kerja Azizah.
"Kenapa laporan kamu hari ini banyak yang salah? Enggak biasanya kamu kaya gini. Kalau kesalahannya sedikit, mungkin saya bisa tolerir, tapi kesalahan kamu kali ini sudah keterlaluan. PERBAIKI!" sentak lelaki itu sembari menunjuk map yang sudah berserakan isinya.
"Iya, Pak. Maaf ...." Azizah hanya bisa menunduk pasrah.
"Awas saja kalau kamu melakukan kesalahan yang sama, kamu akan mendapatkan surat peringatanmu yang pertama." Bosnya itu berujar tegas yang lagi-lagi hanya bisa Azizah angguki mengerti
"Iya, Pak. Saya mengerti, sekali lagi saya minta maaf." Azizah menjawab sopan, sedangkan bosnya tidak menjawab apa-apa lalu berlenggang pergi begitu saja.
Melihat bosnya sudah pergi, Azizah menitikkan air matanya yang langsung ia hapus dengan cepat. Setelah itu Azizah mendudukkan tubuhnya dan menghela nafas panjangnya, ia berusaha menenangkan perasaannya sekarang. Sampai saat seseorang datang menepuk pundaknya, di belakangnya ada Vina yang ingin mengetahui keadaannya.
"Kamu enggak apa-apa kan, Zah?" tanyanya terdengar khawatir, namun Azizah justru tersenyum dan menggeleng pelan.
"Aku enggak apa-apa kok."
"Ya sudah, lebih hati-hati ya kerjanya."
"Iya, terima kasih." Azizah menyunggingkan senyumnya, sedangkan Vina hanya bisa mengangguk dan pergi dari sana.
Sebagai temannya, tentu saja Vina merasa tidak percaya dengan jawaban Azizah, ia bahkan yakin kalau temannya itu sedang tidak baik-baik saja sekarang. Namun karena kondisi kantor yang rame, setelah Azizah menjadi pusat perhatian, akhirnya yang bisa Vina lakukan hanya mengiyakan, ia berniat menanyakan semuanya nanti di jam makan siang.
***
Setelah makan siang, Vina bertanya kepada Azizah tentang masalah di rumah tangganya. Sebagai teman, tentu saja Vina tidak mau Azizah merasa sedih dan terbebani sendiri, ia juga ingin menjadi teman yang bisa Azizah andalkan di saat wanita itu sedang ada masalah.
"Jadi Farhan memakai gajinya untuk tukar ponsel baru, tanpa memberitahumu lebih dulu?" tanya Vina setelah mendengar semua cerita Azizah, ia juga sempat terkejut saat temannya itu memberitahunya tentang sikap dan ucapan kasar suaminya.
"Iya. Apa aku salah kalau aku kecewa?" tanya Azizah kali ini, mungkin untuk sebagian wanita, mereka tidak akan mempermasalahkan sikap suaminya yang seperti Farhan, namun tidak dengan Azizah yang sudah berusaha tak membuat suaminya terbebani dengan hidupnya. Selama ini, Azizah membeli semua keperluannya dengan gajinya sendiri. Bahkan saat ia membeli make up dan baju, Azizah tidak pernah memakai uang suaminya tersebut. Lalu apa ia salah bila ia merasa kecewa pada sikap suaminya, yang begitu seenaknya membelanjakan gajinya untuk sesuatu yang menurut Azizah kurang berguna dan mahal harganya.
"Kamu enggak salah, Zah. Kamu bahkan berhak marah, karena menurutku suamimu juga sudah keterlaluan," jawab Vina yang turut merasakan apa yang sedang Azizah rasakan sekarang.
"Tapi kenapa jadi aku yang dituduh pelit sih, Vin? Sebenarnya aku juga enggak masalah kalau aku harus pakai gajiku untuk keperluan rumah, andai gaji suamiku dipakai untuk hal yang lebih penting, tapi dia malah hampir menghabiskan semuanya hanya untuk ponsel?" Azizah tampak frustrasi hanya dengan memikirkan sikap suaminya itu.
"Kamu tahu aku kan, Vin? Aku enggak pelit, aku cuma mau suamiku itu lebih bertanggung jawab aja kan? Kamu paham kan maksudku?" Azizah bahkan sampai menangis hanya untuk menjelaskan maksudnya, karena ia sendiri bukan seseorang yang ingin mengambil kesempatan untuk keuntungannya sendiri.
"Iya, Zah. Aku tahu kamu orangnya bagaimana? Kamu bukan seseorang yang seperti itu, sudah ya, jangan nangis!" Vina merengkuh tangan Azizah, berusaha menenangkan perasaan temannya tersebut.
"Padahal tadi malam aku mau berbicara baik-baik dengan suamiku, aku ingin membahas dan menyelesaikan semuanya, aku juga berharap dia mau mengerti dan mengubah sikapnya. Tapi ternyata aku salah, bahkan sebelum aku berbicara, aku sudah dibuat kecewa." Azizah menghapus air matanya, namun air bening itu terus saja mengalir membasahi wajahnya.
"Mungkin suami kamu cuma lagi jenuh aja, Zah. Nanti kalau dia sudah merasa bosan dengan game dan teman-temannya, aku yakin dia bakal kembali sama kamu, ada saatnya dia pasti mencari kamu karena merindukan kamu. Jadi saranku, kamu tunggu dia sampai saat itu tiba. Untuk saat ini, kamu fokus aja kerja, masalah uang dan kebutuhan rumah pakai gaji kamu dulu. Beri suami kamu waktu dan ruang, supaya dia merindukan kenangan bahagianya sama kamu, mungkin dengan begitu dia bisa sadar dan meminta maaf." Vina berujar tulus yang dimengerti oleh Azizah, yang saat ini sudah merasa lebih tenang sekarang.
"Baiklah. Aku akan mencobanya, aku harap suamiku bisa berubah seperti dulu lagi, aku juga merindukan sikap hangatnya," jawab Azizah terdengar penuh harap, yang disenyumi oleh temannya.
"Tetap semangat ya? Aku tahu, kamu pasti bisa."
"Iya, terima kasih."
***
Azizah menghela nafas panjangnya, setelah pulang dari belanja keperluan rumah. Tubuhnya juga cukup lelah saat harus berkeliling mencari banyak hal lalu harus membawanya pulang.
Kebetulan, hari ini ia libur setelah mendapatkan gaji, yang Azizah manfaatkan untuk berbelanja bulanan. Azizah sudah biasa seperti ini, belanja untuk kebutuhan rumah dan juga untuk orang tua suaminya, namun yang membedakannya sekarang, ia harus memakai uang gajinya sendiri.
Kalau dulu, meskipun Farhan sedikit tidak peduli setelah menikah karena sering bermain game, namun suaminya itu masih bertanggung jawab, masih bekerja dan memberikan seluruh gajinya pada Azizah. Namun sepertinya, bulan ini Azizah tidak bisa menabung untuk sementara, karena ternyata suaminya sudah menggunakan hampir seluruh gajinya.
Sebenarnya Azizah merasa sangat marah, namun di sisi lainnya, ia juga merasa kasihan dengan Farhan. Mungkin suaminya memang membutuhkan ponsel bagus untuk hobinya dan tidak seharusnya Azizah merasa kecewa.
Mengingat sikapnya itu, tentu saja Azizah merasa sangat menyesal, itu lah kenapa ia ingin memperbaiki hubungannya dengan cara menuruti permintaan suaminya itu untuk kali ini saja. Ia akan memakai uangnya dalam satu bulan ini, ia harap bulan depan ia bisa kembali menabung.
"Dari mana saja kamu? Hari libur bukannya bersih-bersih rumah malah keluyuran?" tanya Farhan dari arah belakang, sedangkan Azizah langsung menoleh ke arah suaminya yang sepertinya baru bangun dari tidurnya.
"Aku baru belanja bulanan, Mas." Azizah menyunggingkan senyumnya ke arah Farhan yang tampak tak peduli dengan kelelahan istrinya, padahal sudah sangat jelas dari wajahnya yang memerah dan berkeringat oleh rasa lelah dan panas.
"Kok kamu belanja banyak? Pakai uang siapa? Pakai gaji kamu?" tanya Farhan yang langsung Azizah angguki.
"Iya, Mas."
"Nah, gitu kan enak. Kamu belanja pakai gaji kamu sendiri, jangan pakai gajiku terus, aku mau beli apa-apa aja bingung. Kalau aku enggak beli HP ini, kamu pasti masih pelit sama kebutuhan di rumah ini kan?" tuduh Farhan sembari menunjukkan ponselnya, sedangkan Azizah hanya bisa terdiam, karena ternyata dugaannya salah, suaminya itu masih sama, masih bersikap buruk seperti biasanya dan mungkin jauh lebih buruk dari sebelumnya.
"Iya, Mas."
"Cepat masak sana! Aku lapar, belanja gitu aja lama sampai siang." Farhan berujar kesal yang lagi-lagi hanya bisa Azizah sabari dengan cara menghela nafas beberapa kali. Padahal ia berbelanja lama itu karena ia belanja sendiri, tidak ada yang membantunya mendorong troli ataupun membawa semua belanjaannya ke taksi.
"Iya, Mas. Maaf ...." Lagi-lagi Azizah hanya bisa bersabar dan melakukan apa yang suaminya perintahkan.
***
Di rumah Beni tepatnya di kamarnya, seperti biasa Farhan bermain game online dengan teman-temannya. Setelah pulang kerja, lalu mandi, dan makan, Farhan memang sering datang ke rumah Beni dan berkumpul untuk bermain dengan game yang sama, ia bahkan sudah tidak peduli dengan istrinya yang hampir setiap saat tidak pernah disapanya.
Bila dipikir-pikir, Azizah memang sudah tidak pernah cerewet lagi, istrinya itu lebih banyak diam dan berbicara seperlunya. Farhan yang tidak tahu kenapa, hanya mengabaikannya, ia sendiri masih asyik dengan dunianya, ia bahkan bersyukur bila istrinya itu tidak banyak bicara seperti dulu, dengan begitu ia bisa bebas menjalani hidupnya.
Begitupun dengan uang untuk keperluan rumah, Azizah juga tidak pernah meminta, istrinya itu mau menggunakan gajinya sekarang, membuat Farhan tersenyum puas dengan begitu istrinya akan tahu bagaimana rasanya uang gajinya dipakai untuk keperluan sehari-hari.
"Kamu enggak gila kan, Han? Kok kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Beni terdengar ragu, merasa khawatir saja bila temannya itu memang benar gila.
"Ya enggak lah, kamu itu yang gila."
"Terus kenapa kamu senyum-senyum sendiri?"
"Kayanya ada untungnya aku beli hp ini dengan gajiku," jawab Farhan dengan menunjukkan ponselnya.
"Iya lah, kan kamu bisa main game dengan lancar jaya, tanpa hambatan."
"Bukan begitu. Kalau itu sih, aku sudah dari dulu tahu, bahkan sebelum membelinya."
"Terus maksud kamu apa?" tanya Beni penasaran, sedangkan Farhan justru tersenyum setan.
"Ya karena setelah aku beli HP ini, uang gajianku kan tinggal sedikit, terus istriku mau pakai uang gajiannya untuk keperluan rumah. Kamu tahu kan, istriku itu pelit, dia terus menyimpan uangnya dengan alasan akan digunakan saat dia sedang hamil, melahirkan, dan bahkan sampai anaknya sudah besar. Padahal kan dia hamil saja belum." Farhan menjadi dengan nada mencibir.
"Wah, bagus dong. Berarti bulan depan, gajianmu bisa kamu gunakan untuk keperluan kamu yang lain, contohnya traktir kita makan gitu?" ujar Beni dengan nada penuh arti, yang kali ini disenyumi mengerti oleh Farhan.
"Kalau itu sih kamu tenang aja, traktiran aman." Farhan menjawab santai yang diacungi jempol oleh temannya tersebut.
Setelah mengobrol, Farhan dan teman-temannya yang lain memulai permainan mereka. Sampai saat Farhan menegakkan punggungnya setelah mendapatkan pesan dari game yang saat ini sedang dimainkannya, pesan itu dari seseorang dengan profil perempuan.
[Permainan kamu bagus, ajarin aku dong.]
Pesan itu berisikan permohonan sekaligus pujian, diakhiri dengan emotikon memohon. Farhan yang mendapatkan pesan itu tentu saja tersenyum, selama ini ia selalu mengabaikan pesan-pesan seperti itu karena ia sangat mencintai Azizah, namun entah kenapa sekarang ia justru menikmatinya dan bahkan ingin menerima permintaan seseorang yang mengiriminya pesan itu.
[Kalau di sini aku enggak bisa ajarin kamu, bagaimana kalau kita ngobrol di WA?]
Setelah mengetik pesan itu, Farhan kembali tersenyum, ternyata berbalas pesan mampu membuatnya jantungnya kembali berdebar. Tidak seperti saat ia bersama dengan Azizah, istrinya itu terlalu sibuk bekerja dan bekerja, mana mungkin dia bisa bermain game seperti perempuan lainnya.
[Boleh. Chat aku ya, 085 666 777 8888. Aku tunggu loh]
Farhan membaca pesan itu lalu menyimpan nomor yang berada di sana, setelah itu ia melihat profil si pengirim pesan, ternyata seorang wanita cantik dengan tubuh menarik. Farhan semakin bersemangat, ia bahkan tidak peduli dengan statusnya yang sudah memiliki istri.
"Dia cantik dan seksi juga, boleh lah aku main-main sama dia." Farhan bergumam dalam hati sembari berniat mengirimi wanita itu pesan melalui aplikasi WA.
[Hai, Cantik. Aku yang memiliki akun Reddevil. Salam kenal ya, kalau boleh tahu, nama kamu siapa?]
[Aku Bella. Kalau nama kamu siapa?]
[Aku Farhan. Nama kamu cantik, seperti orangnya.]
[Kamu bisa aja, kamu juga ganteng]
Mereka terus berbalas pesan, mengobrol banyak hal mengenai permainan, semakin lama mereka berbicara hal pribadi mengenai status masing-masing. Farhan yang tidak ingin kehilangan wanita itu, tentu saja ia mengaku bila dirinya single dan belum menikah. Lelaki itu juga sesekali menggoda wanita bernama Bella itu, ia bahkan berharap bisa menjalin hubungan dengannya.
Part 08
Semakin hari, hubungan Azizah dan Farhan semakin jauh, seolah ada jarak di antara mereka meskipun keduanya menempati rumah yang sama. Azizah yang fokus dengan pekerjaannya, sering kali kelelahan acap kali pulang, belum lagi ia juga harus membersihkan rumah dan memasak. Meskipun mertuanya sudah berusaha membantu, namun tetap saja Azizah merasa kewalahan saat Farhan berada di rumah dan ibunya tidak boleh membantunya.
Farhan memang paling tidak suka melihat Ibunya yang mengerjakan pekerjaan rumah, karena baginya Azizah lah yang seharusnya melakukan semua pekerjaan rumah itu. Terlebih lagi soal makanan, Farhan tidak mau ibunya itu ikut turun tangan ke dapur, lagi-lagi ia juga berpikir bila semua itu juga pekerjaan istrinya.
Itu lah kenapa ibunya sering membantu Azizah secara diam-diam, karena beliau pernah dibentak oleh putranya itu, hanya karena ingin membantu menantunya memasak dan bersih-bersih rumah. Saat itu adalah hari di mana Farhan dan Azizah menikah setelah satu bulan, Azizah yang baru tahu watak Farhan saat itu hanya bisa menangis, namun tetap berusaha menjalankan perintah suaminya. Mulai hari itu, Ibu Farhan membantu Azizah sebisanya dan bahkan sembunyi-sembunyi, terutama saat putranya berada di kamar atau berada di luar rumah.
Seperti pagi ini, wanita tua itu langsung meletakkan sapunya, saat putranya itu keluar dari kamarnya dengan penampilan rapi tidak seperti pagi biasanya. Kebetulan Azizah yang baru saja memasak itu baru keluar dari dapur, setelah selesai menyiapkan sarapan di atas meja, ia juga melihat suaminya yang sudah mandi dan berpenampilan rapi, tentu saja Azizah dibuat heran dengan sikap suaminya yang tidak biasanya itu.
"Tumben kamu masih pagi sudah bangun, Mas? Penampilan kamu juga sudah rapi. Memangnya kamu mau ke mana?" tanya Azizah setelah berada di hadapan suaminya, sedangkan Azizah sendiri masih menggunakan baju seadanya meskipun sudah mandi, itu karena ia tidak mau baju kantornya bau asap masakannya. Ya, memang seperti itu lah kebiasaan Azizah setiap harinya, sebelum berangkat bekerja, ia harus masak untuk sarapan suami dan mertuanya, tak jarang ia juga sering tidak sarapan karena sudah telat.
"Itu bukan urusan kamu." Farhan menjawab tak acuh, ia masih fokus dengan penampilannya saat ini, tanpa peduli bagaimana Azizah merasa kecewa dengan jawabannya.
"Kan aku cuma tanya, Mas. Apa salahnya kalau kamu jawab? Apa kamu akan kerja ambil shift pagi, hari ini?" Tanya Azizah lagi, yang tentu saja tak membuat Farhan merasa bersabar dengan pertanyaan istrinya.
"Kamu bisa diam enggak? Pusing aku dengar pertanyaan kamu, aku mau kerja shift pagi atau siang itu juga bukan urusan kamu," jawab Farhan dengan nada kesalnya.
"Aku minta maaf, Mas. Aku cuma mau tahu."
"Makanya jangan jadi istri cerewet, lama-lama setres aku dengar ocehan kamu."
"Maaf ...." Azizah menundukkan wajahnya, ia benar-benar tidak ingin ada pertengkaran di antara mereka, terutama saat ada mertuanya yang sedari tadi memerhatikannya. Sebagai orang tua, ibu ataupun ayah Farhan memang tidak pernah ikut campur dengan masalah keluarga putranya, ibunya Farhan hanya bisa berusaha menenangkan Azizah saat Farhan tidak ada di rumah.
"Kamu sudah buat sarapan kan?" tanya Farhan kali ini yang langsung diangguki oleh Azizah.
"Sudah, Mas. Kamu mau sarapan sekarang?" tawar Azizah.
"Iya." Farhan menjawab singkat sembari berjalan ke arah meja makan.
"Ya sudah aku ambilkan nasinya ya?" Azizah berjalan ke arah dapur untuk mengambil piring dan nasi untuk suaminya yang sepertinya saat ini sudah berada di tempat duduknya.
"Ini Mas, nasinya." Azizah meletakkan piring berisikan nasi di hadapan Farhan yang hanya diam tanpa mau menjawab walau hanya sebatas mengangguk.
"Panggil Ayah dan Ibuku. Mereka harus segera sarapan, aku enggak mau orang tuaku kenapa-kenapa."
"Iya, Mas." Azizah menjawab patuh lalu berjalan ke arah luar ruang makan untuk menemui mertuanya, sedangkan Farhan belum makan, ia berniat menunggu kedua orang tuanya.
"Azizah, Farhan marah lagi ya sama kamu? Maafkan Farhan ya," ujar mertua perempuan Azizah terdengar merasa bersalah saat berjalan ke arah ruang makan setelah disuruh menantunya itu untuk segera sarapan.
"Memangnya ada apa? Farhan marah-marah lagi?" Kini mertua lelaki Azizah yang bertanya, sedangkan Azizah justru tersenyum, pertanyaan kedua mertuanya itu tak mungkin ia jawab dengan sejujurnya.
"Enggak kok, Bu, Yah. Aku sama Mas Farhan enggak ada apa-apa, Mas Farhan juga enggak marah, jadi siapa yang harus dimaafkan, kan enggak ada yang salah?"
"Kamu beneran kan, Zah? Ibu dan Ayah cuma enggak mau kamu terus mengalah dengan Farhan, sekali-kali kamu juga harus bisa marah kalau Farhan berbuat salah."
"Ya, Bu. Aku mengerti. Lebih baik Ibu dan Ayah sarapan ya, aku juga harus siap-siap berangkat kerja." Azizah menggiring mertuanya berjalan ke arah ruang makan, sedangkan di sana Farhan sedang asyik dengan permainannya, bisa dilihat dari caranya tersenyum beberapa kali ke arah layar ponselnya.
"Kalau mau makan, ditaruh dulu ponselnya, Han!" Sang Ibu berujar ke arah Farhan yang mengangguk dan tersenyum, setelah itu ponselnya benar-benar diletakkan di atas meja makan.
"Iya, Bu."
"Azizah, kamu ambilkan Ayah dan Ibuku nasi di dapur ya?" ujar Farhan ke arah istrinya, nada suaranya terdengar memerintah, tidak ada nada kelembutan dari bibirnya.
"Enggak usah, Azizah. Ibu bisa ambil nasi sendiri, lebih baik kamu siap-siap dulu, terus sarapan ya? Ibu juga akan ambilkan nasi buat kamu." Sang ibu menyahut lembut ke arah menantunya, yang tentu saja ditatap tak suka oleh putranya.
"Kok jadi Ibu yang ambil nasi? Kan aku nyuruh Azizah. Lebih baik Ibu itu duduk, biar Azizah yang siapkan semuanya."
"Sudahlah, Han. Azizah itu juga sudah capek masak buat keluarga ini sarapan, belum lagi dia juga harus siap-siap kerja, jangan kamu suruh-suruh dia lagi. Ibu bisa kok ambil nasi sendiri, sudah ya? Jangan dipermasalahkan lagi, kasihan Azizah, Han." Wanita itu berujar ke arah putranya, ekspresi wajahnya tampak kecewa dengan sikap putranya.
"Apa sih, Bu? Azizah kan menantu di sini, ya wajar lah kalau dia melayani kita, Ibu jangan terus-terusan bela dia." Farhan menjawab tak suka, membuat Azizah terdiam dengan rasa sesak yang seolah mampu menghimpit dadanya, sangat sakit untuk Azizah rasakan saking kecewanya ia dengan sikap suaminya.
"Ibu enggak bela Azizah, Han. Tapi sikap kamu memang sudah keterlaluan, tolong jangan perlakukan istri kamu seperti pembantu, dia itu menantu Ibu, berarti anak Ibu juga."
"Terserah Ibu lah," jawab Farhan malas, ia paling tidak suka berdebat dengan Ibunya, selain karena Farhan sangat menyayanginya, ia juga tidak mau melihat ibunya kecewa dengannya.
"Azizah, tolong maafkan Farhan ya?" ujar wanita itu ke arah menantunya yang sedari tadi terdiam menahan tangis.
"Iya, Bu. Aku enggak apa-apa kok, aku ke kamar dulu ya?" pamit Azizah lalu pergi dari sana, meninggalkan mereka yang entah sedang membicarakan apa. Azizah berusaha tidak memedulikannya, hati dan perasaannya sudah cukup hancur diperlakukan buruk oleh suaminya.
Setelah sampai di kamarnya, Azizah menjatuhkan air mata yang sedari tadi ditahannya, Azizah menangis untuk yang ke sekian kalinya. Azizah sendiri tidak mengerti kesalahannya apa, sampai suaminya itu begitu berubah, sikapnya kian mengerikan untuk ia terima setiap harinya.
Azizah juga ingin berteriak dan marah, namun hatinya selalu yakin dan percaya bila Farhan nanti pasti akan kembali seperti dulu, yang manis dan hangat, yang sangat mencintainya hingga tidak mau kehilangannya. Namun lagi-lagi Azizah bertanya-tanya, kapan hari itu datang? Ia juga tidak sanggup bertahan lama, bila Farhan terus-terusan melakukan hal yang sama, selalu menyakiti hati dan perasaannya.
Azizah bahkan merasa bodoh, saat dirinya lagi-lagi berpikir bila ia akan mendapatkan kebahagiaan itu suatu saat nanti, karena pada kenyataannya, Azizah semakin tersiksa bahkan saat ia telah berusaha mengalah.
Sekarang Azizah tidak tahu lagi sampai kapan ia bisa bersabar, ia bahkan berpikir akan menceraikan Farhan bila lelaki itu tetap memperlakukannya dengan cara yang sama. Namun untuk saat ini, ia masih berusaha bersabar, ia akan menjalani pernikahannya sampai ia benar-benar merasa lelah.
***
Aditya hanya bisa menghela nafas panjangnya, saat orang tuanya mengajaknya ke sebuah restoran mewah. Mungkin kalau untuk makan malam biasa, Aditya mungkin akan sangat senang hati menerima tawaran mamanya, namun sayangnya ada niat lain kenapa acara makan malam itu diadakan.
Ternyata, orang tuanya berniat mempertemukannya dengan Sarah dan keluarganya, mereka ingin mengobrol setelah sekian lama tidak pernah berjumpa. Tentu saja hal itu tak membuat Aditya bersemangat, bisa dilihat dari caranya duduk dengan ekspresi tak suka.
"Sayang, ayo berdiri. Sarah dan keluarganya sudah sampai itu," bisik sang mama yang hanya Aditya angguki tanpa mau menjawab, lalu mendirikan tubuhnya untuk menyambut kedatangan Sarah, mantannya.
Saat Sarah berjalan ke arahnya, lagi-lagi Aditya hanya menghela nafas lalu tersenyum dengan sangat terpaksa. Sebenarnya Aditya tidak ingin tersenyum sekarang, namun wanita itu begitu hangat menyapanya dengan senyum cantiknya, membuat Aditya mau tak mau harus membalasnya.
"Hai, apa kabar?" sapanya sembari menyalami Aditya yang dibalas balik olehnya.
"Kabarku baik, kabar kamu sendiri bagaimana?" Aditya bertanya seadanya, yang entah bagaimana kedua orang tuanya justru tersenyum ke arahnya seolah ingin menggodanya.
"Sama, aku juga baik."
"Bagaimana kalau kita ke lantai atas saja? Jadi, Aditya dan Sarah bisa di sini untuk mengobrol, kali saja mereka ingin berduaan kan?" Suara mamanya kini terdengar, Aditya langsung menoleh dan mendapati mamanya itu berbicara dengan papanya dan orang tua Sarah.
"Iya, kita biarkan saja mereka mengobrol." Kini mamanya Sarah yang menjawab, yang sebenarnya ingin Aditya jawab untuk tidak meninggalkannya bersama dengan Sarah. Pertemuan keluarganya dengan keluarga Sarah saja sudah membuatnya tak nyaman, bagaimana mungkin ia bisa ditinggal sendirian untuk mengobrol dengan Sarah, rasanya Aditya tidak bisa membayangkannya, ia bukan lelaki playboy dulu yang sok tampak dengan tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata.
"Ya sudah ayo!"
Aditya hanya bisa terdiam pasrah, saat orang tuanya benar-benar meninggalkannya dengan Sarah saja. Dan yang membuatnya hampir gila, mamanya itu justru mengepalkan tangannya seolah ingin memberinya semangat, namun justru terdengar memuakkan untuk Aditya lihat.
"Eh ... silakan duduk!" ujar Aditya ke arah Sarah yang tersenyum lalu duduk di kursinya, begitupun dengan Aditya. Meskipun Aditya merasa sangat canggung, setidaknya ia tidak boleh memperlakukan Sarah dengan cara yang salah.
"Bagaimana kehidupan kamu di sana? Sepertinya kamu merasa nyaman, tapi kenapa kamu pulang ke Indonesia?" tanya Aditya memulai obrolan, meski ia sudah tahu jawabannya, namun ia justru pura-pura tidak mengetahuinya.
"Menurut kamu kerena apa?" Sarah bertanya dengan tenang, nada suaranya begitu lembut, menampilkan keanggunan yang begitu kental.
"Entahlah, aku tidak tahu. Memangnya karena apa?" Aditya bertanya dengan nada penasaran, yang anehnya justru disenyumi oleh Sarah kali ini.
"Sejak kapan?" tanya Sarah yang tak membuat Aditya mengerti dengan maksud dari ucapannya.
"Sejak kapan apanya?"
"Sejak kapan kamu berubah sekalem ini? Seingatku kamu lelaki hangat yang mudah mencairkan suasana dengan kalimat menggoda dan ribuan gombalan, sampai aku tidak bisa melupakannya. Tapi, sepertinya sekarang kamu sudah banyak berubah ya?" ujar Sarah sembari tersenyum, ekspresi wajahnya sangat tenang dan anggun seperti dulu.
Sedangkan Aditya justru tersenyum mendengar ucapan Sarah, itu karena ia merasa apa yang dikatakan wanita itu memang benar. Dulu, ia adalah lelaki yang memiliki banyak rumus cinta di otaknya, tak akan mengherankan bila ucapannya banyak sekali mengandung makna gombalan dan rayuan. Namun sekarang semua itu seolah sudah menghilang, Aditya hampir tidak bisa mengingat semua kelakuan gilanya sewaktu di SMA.
Itu semua karena setelah lulus SMA, Aditya terlalu fokus dengan pendidikannya, ia ingin sekali segera lulus dengan nilai terbaik agar orang tuanya bangga. Aditya hampir tidak punya waktu untuk bersenang-senang, ia bahkan sering mengucilkan diri dari teman-temannya, bukan karena ia ingin sendirian, ia hanya tidak mau fokus dan tekadnya untuk segera lulus kuliah justru menghilang.
Mungkin karena itu lah, sikap Aditya yang dulunya suka berbicara dengan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi, kini menghilang dan berganti menjadi dirinya yang lebih tertutup dan dewasa.
"Iya, aku memang banyak berubah, karena aku pikir kelakuanku di SMA itu terlalu kekanak-kanakan, tidak cocok untuk aku yang sekarang." Aditya menjawab seadanya, membuat Sarah tersenyum mendengarnya.
"Kamu semakin menarik, itu berarti kita bisa lebih dekat kan sekarang?" tanya Sarah yang sebenarnya tak membuat Aditya mengerti dengan arti dari ucapannya.
"Ya, tentu saja. Kenapa tidak?" Aditya menjawab seadanya, ia pikir pertanyaan bisa lebih dekat adalah artian dari awal pertemanan. Lalu kenapa ia menolaknya? Sarah adalah wanita baik dan yang pasti anggun dan tenang, cocok untuk berteman dengan Aditya yang kurang suka dengan orang yanh banyak bicara.
Part 09
Di kamarnya, Azizah merenungkan pernikahannya yang kian hari, kian berat untuk ia jalani sendirian. Terutama saat ia harus menghadapi sikap Farhan, suaminya itu sering sekali pulang malam seperti saat ini, tak jarang dia menginap di rumah temannya yang bernama Beni. Bukan Azizah mencurigai suaminya, hanya saja semua terasa janggal untuk ia cerna mentah-mentah.
Itu karena akhir-akhir ini, Farhan lebih banyak tersenyum saat memainkan ponselnya, penampilannya juga sering terlihat rapi dan wangi, dia juga sering bangun pagi, sesuatu yang tidak dilakukannya bahkan setelah menikah dengan Azizah.
Sebagai seorang wanita, tentu saja Azizah sangat peka dengan perubahan sikap suaminya, meskipun ia sudah terbiasa dimarahi oleh suaminya, namun tetap saja perubahan demi perubahan itu sangat mudah disadarinya.
Sebenarnya apa yang salah, Azizah ingin tahu letak kesalahannya di mana, dengan begitu ia bisa berusaha untuk memperbaikinya. Mungkin semua akan mudah, bila Farhan mau disuruh duduk dan berbicara dari hati ke hati, namun sayangnya lelaki itu terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Setiap Azizah ingin mengobrol, lelaki itu pasti akan marah dan berkata bila Azizah sudah mengganggu waktunya.
Azizah sendiri merasa berada di titik dilema, di mana ia ingin memperbaiki semuanya, namun suaminya itu justru semakin semena-mena. Lalu bagaimana caranya agar Azizah bisa bertahan, sedangkan ia juga bisa merasa lelah dan muak dengan pernikahannya yang kian mempersulit hidupnya.
Ya, Azizah memang merasa bila hidupnya kian dipersulit oleh tali pernikahan, di mana ia harus menjadi istri yang baik, yang harus pintar memasak dan bersih-bersih rumah. Sedangkan di sisi lain dari hidupnya sebagai istri, ia juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan bahkan kebutuhan dari keluarga suaminya. Bukannya Azizah tidak ikhlas melakukan semua itu, hanya saja sikap suaminya yang kasar, membuatnya berada di titik rasa lelah.
"Mas, kamu baru pulang?" tanya Azizah setelah melihat suaminya itu menutup pintu kamarnya.
"Iya," jawabnya singkat, nada suaranya juga terdengar lelah.
"Mau aku siapkan makan malam, Mas?" tanya Azizah lagi, Azizah sendiri sudah memasak untuk makan malam, namun kerena ia tidak tahu suaminya pulang kapan, jadilah ia menyimpannya di kulkas.
"Enggak usah, aku sudah kenyang." Farhan meletakkan jaketnya ke sembarang arah, membuat Azizah mau tak mau harus mengambil dan membereskannya.
"Tumben kamu sudah makan, Mas? Biasanya kamu makan di rumah." Azizah bertanya ke arah Farhan yang sudah duduk di ranjang mereka.
"Kaya gitu aja kamu masih tanya? Kalau aku enggak makan di rumah, berarti aku sudah makan di luar. Dipakai dong otak kamu itu, jangan bisanya tanya!" Farhan menyentak ke arah Azizah yang terdiam dengan mata terpejam, menikmati setiap perkataan Farhan yang kian menyakitkan.
"Maaf, Mas ...."
"Maaf-maaf, tapi enggak pernah dipikir dulu kalau mau ngomong. Sekarang aku minta uang lima ratus ribu!" Farhan mengadakan tangan ke arah Azizah yang terdiam melihatnya, merasa heran saja kenapa suaminya itu meminta uang.
"Untuk apa, Mas?"
"Untuk bayar hutang ke Beni. Mana? Kamu ada uang kan?"
"Ada sih, Mas. Tapi aku juga harus tahu kenapa kamu hutang ke Beni, bukannya kamu ada simpanan uang ya untuk kebutuhan kamu selama satu bulan?" tanya Azizah kali ini, merasa tidak mengerti saja kenapa suaminya itu memiliki hutang yang cukup lumayan ke temannya.
"Ya aku butuh sesuatu, makanya aku pinjam ke Beni."
"Butuh sesuatu seperti apa, Mas? Lima ratus itu enggak sedikit bagi aku, kamu habiskan untuk apa?"
"Tambah hari, kamu tambah cerewet ya? Kamu pikir, aku ini bohong kan? Kalau begitu aku akan menghubungi Beni sekarang juga, supaya kamu tahu kalau aku ini jujur." Farhan mengambil ponselnya dan mengetik nama sahabatnya untuk dihubungi, sedangkan Azizah justru menggeleng, karena bukan itu maksudnya.
"Bukannya aku enggak percaya, Mas, aku cuma mau tahu, uang lima ratus ribu itu untuk apa?" Azizah berusaha menjelaskan maksudnya, ia juga tidak mau kalau masalah di rumah tangga mereka membesar dan diketahui banyak orang yang bahkan bukan keluarganya.
"Hallo, Ben." Namun sepertinya Azizah kalah cepat, Farhan sudah menghubungi temannya, lelaki itu bahkan melondspeaker ponselnya.
"Iya, Han. Ada apa?"
"Ini Azizah mau tahu kalau aku ada hutang kan sama kamu?" tanya Farhan ke arah ponselnya, sedangkan Azizah hanya menghela nafas panjangnya, ia tidak mengerti kenapa suaminya itu begitu mudah membicarakan masalah di rumah tangganya.
"Iya, kenapa?"
"Berapa hutangku ke kamu?"
"Lima ratus ribu kan?"
"Dengar kan kamu? Aku memang ada hutang ke Beni, mana uangnya? Aku butuh sekarang!" Farhan kembali meminta ke arah Azizah, sedangkan sambungan teleponnya juga belum terputus, yang tentu saja masih bisa Beni dengar obrolan mereka.
"Iya Mas, iya. Sudah ya tutup teleponnya, jangan diperpanjang masalahnya. Aku pasti kasih uang lima ratus ribu itu."
"Ada apa, Han? Kamu masih belum bisa bayar ya? Kalau belum bisa, enggak apa-apa kok, enggak usah buru-buru bayar, santai aja." Beni menyela pembicaraan di telepon, nada suaranya juga terdengar tidak enak hati.
"Enggak apa-apa kok, aku tutup dulu ya teleponnya. Nanti aku ke rumahmu, bye." Belum mendapatkan jawaban dari Beni, Farhan langsung mematikan sambungan teleponnya, lalu mengadahkan tangan kembali ke arah istrinya.
"Sekarang kamu percaya kan kalau aku memang ada hutang ke Beni, mana uangnya? Aku butuh sekarang, cepat!"
"Iya, Mas. Sebentar." Azizah berjalan ke arah tasnya, lalu mengambil lima uang berwarna merah dari sana dan memberikannya pada suaminya.
"Ini uangnya, Mas."
"Dari tadi kek ngasihnya, ya sudah aku pergi dulu ke rumah Beni, mau kasih uang ini ke dia." Farhan mengambil uang Azizah dan memasukkannya pada dompetnya.
"Iya, Mas." Azizah menghela nafas panjangnya, lagi-lagi air matanya dibuat tumpah oleh suaminya dan untuk yang kesekian kalinya Azizah terluka dengan sikap lelaki itu.
***
Farhan berjalan masuk ke rumah Beni, setelah memarkirkan motornya di depan rumah temannya tersebut. Namun tak lama, temannya itu datang dan membuka pintu rumah depan, bahkan sebelum Farhan mengetuknya, membuat lelaki itu tersenyum merasa heran saja dengan tingkah temannya yang tidak biasa itu.
"Mau ke mana kamu, Ben? Mau keluar ya?" tanya Farhan yang langsung digelengi kepala oleh lelaki itu.
"Enggak. Aku malah mau nunggu kamu di luar, tapi ternyata kamu datang lebih awal." Beni menjawab jujur, yang tentu saja ditatap aneh oleh Farhan.
"Ada apa? Tumben kamu menungguku?" Farhan bertanya tak mengerti, namun Beni justru menggiringnya untuk duduk di kursi yang berada di depannya.
"Aku mau tanya serius sama kamu."
"Tanya apa sih? Tanya tinggal tanya juga, enggak usah lebay lah."
"Aku cuma penasaran, kenapa tadi kamu meneleponku dan ada Azizah di sampingmu? Kalian bertengkar ya?"
"Kamu kaya enggak tahu rumah tanggaku kaya apa? Namanya bertengkar juga hal wajar, memangnya kenapa sih? Kenapa kamu peduli?" tanya Farhan merasa penasaran juga pada akhirnya, karena tidak biasanya temannya itu peduli dengan hal-hal yang bersangkutan dengan pernikahannya, temannya itu bahkan lebih suka mengomporinya dari pada harus menenangkannya.
"Aku bukan peduli, tapi saat dengar suara istri kamu, kayanya dia enggak tahu apa-apa." Beni menjawab dengan nada bersalah.
"Maksud kamu bagaimana?"
"Kamu jujur ya sama aku, kamu bohong kan pas bilang kalau istri kamu cerewet dan pelit?"
"Aku enggak bohong kok, istriku memang pelit dan cerewet kan?"
"Mungkin aku enggak terlalu kenal dengan istri kamu, kita cuma bertemu beberapa kali kan, tapi kayanya dia yang tertekan hidup sama kamu. Apalagi pas dia berusaha menenangkan kamu, dia kaya bukan wanita yang kamu bilang selama ini. Terus apa maksud kamu meminta uang ke istrimu buat bayar utangku? Aku kan sudah bilang tadi pagi, kalau kamu bisa bayar utang itu kapan aja, bukan malah minta ke istrimu." Beni berujar panjang lebar, nada suaranya bahkan terdengar tak enak hati dengan istri dari temannya itu.
"Memangnya kenapa? Bukannya kamu sendiri ya yang bilang kalau uang istriku ya uangku juga, lalu untuk apa kamu bicara panjang lebar, seolah kamu merasa bersalah dengan istriku."
"Aku memang merasa bersalah dengan istrimu, Han. Sepertinya aku salah menilai dia, termasuk saat aku mengatakan ke kamu tentang hal buruk seperti uang istrimu ya uangmu juga. Dulu, setelah menikah, kamu sering mengeluh tentang istrimu, karena kamu temanku jadi aku percaya, aku bahkan berpikir kalau istrimu memang seperti apa yang kamu katakan. Makanya aku selalu memberimu saran seenaknya, tapi saat aku mendengar pembicaraan tadi, aku merasa kalau istrimu itu orang baik, Han." Beni berujar tak yakin, namun di dalam hatinya ia merasa salah atas penilaiannya pada istri temannya itu.
"Kamu tahu dari mana sih, Ben? Cuma dari telepon tadi kan? Terus kamu bisa berasumsi kalau aku bohong selama ini, lalu kamu berpikir kalau istriku wanita baik? Aku yang setiap hari menghadapinya, bukan kamu, cuma karena kamu mendengar suaranya sekali lalu kamu bisa berpikir lain, begitu?"
"Bukan begitu, Han. Saat kamu mengenalkannya padaku atau saat kamu mengajak istrimu pergi bersama kita dulu, dia memang terlihat seperti wanita baik kan, dia juga jarang bicara, jadi pikiranku selama ini tentang dia ya menurutku salah."
"Sekarang aku tanya sama kamu, kenapa kamu memikirkan urusan rumah tanggaku? Kalau istriku baik, kenapa? Kalau istriku memang pelit dan cerewet juga kenapa? Kenapa kamu begitu memedulikannya?"
"Aku bukan memedulikannya, aku cuma merasa bersalah aja. Kalau istri kamu ternyata orang baik, berarti apa yang aku katakan ke kamu enggak seharusnya keluar dari mulutku. Karena aku sangat sadar, setiap kamu cerita tentang istri kamu, aku selalu memberimu solusi buruk, itu berarti aku sama saja dengan menyepelekannya dan bahkan merendahkannya kan?" tanya Beni yang kali ini ditertawai oleh Farhan.
"Sejak kapan sih kamu jadi melow gini? Santai aja, istriku enggak sebaik yang kamu pikirkan kok, jadi ucapan kamu juga enggak ada salahnya." Farhan menjawab dengan nada santainya, namun tak membuat Beni percaya dengan ucapannya.
"Kenapa kamu diam? Kamu masih enggak percaya? Sudahlah, kamu enggak salah, jadi enggak usah berlebihan, oke?" ujar Farhan kali ini, yang hanya Beni angguki.
"Oh ya, ini utangku tadi pagi, terima kasih ya." Farhan memberikan uang lima ratus ribu pada Beni yang diterima baik oleh lelaki itu.
"Iya. Memangnya tadi pagi uangnya kamu pakai untuk apa? Kamu juga terlihat buru-buru saat ke rumahku." Beni menatap tanya ke arah Farhan yang tersenyum penuh arti sekarang.
"Sebenarnya tadi pagi aku mau minta uang ke Azizah, tapi karena dia sudah buat aku kesal sampai lupa tujuanku, akhirnya aku menemui kamu, untungnya kamu belum berangkat kerja."
"Kalau uang ini dari istri kamu, berarti yang yang tadi pagi aku beri ke kamu sudah habis kan? Memangnya uangnya buat apa? Enggak mungkin kan kamu habiskan dalam sehari?"
"Kalau iya, kenapa?"
"Apa? Serius?"
"Iya. Serius. Aku pakai uangnya untuk jajan dan uang bensin."
"Mana ada jajan sama bensin habis lima ratus ribu?" tanya Beni tak habis pikir, yang lagi-lagi mendapatkan tawa jahil dari bibir Farhan.
"Itu karena aku membawa Bella ke puncak."
"Bella? Bella siapa? Jangan bilang kalau dia itu pacarmu!" tegas Beni, namun Farhan justru mengerlingkan matanya.
"Jadi dugaanku benar? Kamu menyelingkuhi istrimu?"
"Ya, bisa dibilang seperti itu. Karena tadi siang aku sudah menyatakan perasaanku dan dia menerimanya."
"Kamu gila, Han? Kamu sudah punya istri tapi kamu memiliki hubungan dengan wanita lain?" Beni berujar dengan nada tak percayanya, ia bahkan hampir frustrasi memikirkan kelakuan temannya itu.
"Bagaimana ya, Ben? Aku dengan Azizah sudah enggak cocok, istriku itu sering mengabaikan aku, dia lebih fokus dengan pekerjaannya ketimbang mengurusku, dia sering melakukan banyak kesalahan yang membuatku marah, apalagi kalau sudah masalah orang tuaku, rasanya aku benar-benar sudah muak melihatnya."
"Ya, tetap aja. Kamu enggak bisa seenaknya, mau bagaimanapun istri kamu, harusnya kamu jangan menyelingkuhinya."
"Sudahlah, enggak usah mengurusi urusanku. Kamu kalau jadi aku juga enggak mungkin nolak Bella gitu aja, dia itu cantik dan seksi, pintar main game lagi, tipeku banget." Farhan tersenyum ke arah Beni yang tampak ragu dengan ucapannya.
"Tapi ...."
"Kapan-kapan aku ajak dia ke sini, kita main game sama yang lain juga. Bagaimana?" tawar Farhan yang hanya Beni angguki tanpa minat, ia sendiri masih kepikiran dengan istri dari temannya itu. Beni hanya tidak mau kalau dirinya lah yang ternyata menjadi penyebab dari keretakan rumah tangga temannya, cuma karena ia tidak bisa menjaga mulutnya. Beni juga sangat menyadari, bila dirinya selama ini sering memberi solusi tidak baik pada Farhan, hanya karena mendengar cerita sebelah pihak dari temannya itu. Ia belum mendengar kisah keduanya dari pihak Azizah, mungkin saja Farhan yang sudah memutar balikkan fakta. Entahlah, Beni hanya merasa bila istri dari temannya itu orang baik dan tidak seharusnya ia mendukung temannya untuk bersikap seenaknya.
"Terserah kamu aja," jawab Beni seadanya.
Part 10
Aditya tersenyum ke arah lelaki paruh baya yang baru beberapa bulan ini menjadi koleganya, tak lupa ia juga menyalaminya setelah menyelesaikan meetingnya dengan baik. Aditya bahkan menghembuskan nafas leganya beberapa kali, merasa bangga dengan dirinya sendiri, menurutnya menjalankan perusahaan orang tuanya tidak lah mudah, harus ada tanggung jawab besar untuk mengembangkannya. Namun untuk berada di titik ini, Aditya sudah merasa bahagia, ia merasa puas dengan kerja kerasnya.
Padahal kalau Aditya mengingat masa lalunya yang dulu, mungkin ia masih tidak menyangka kalau dirinya pernah menyepelekan pekerjaan orang tuanya, yang nyatanya tak semudah apa yang dipikirkannya. Aditya bahkan pernah berpikir kalau dirinya akan menjadi bos besar dengan bantuan orang tuanya, ia tidak perlu bekerja keras, karena ia pernah berpikir kalau menjadi bos itu hanya perlu duduk dan semua akan beres, namun nyatanya semua tak seperti pada pemikirannya.
Banyak hal yang harus Aditya lakukan, dan menurutnya semua itu tidak ada yang mudah pada awalnya, ia bahkan pernah membuat perusahaan papanya rugi meskipun tidak terlalu besar, namun cukup untuk memberinya tamparan keras dari tangan papanya.
Mengingat semua itu, yang Aditya lakukan hanya tersenyum, ia bahkan berpikir tidak akan melupakan kenangan pahit itu untuk ia jadikan pengingat agar lebih baik lagi kedepannya. Tak terkecuali hari ini, saat ia menemui pemimpin dari perusahaan yang bekerja sama dengannya, Aditya berusaha melakukan semua yang terbaik untuk perusahaannya.
"Seharusnya Anda tidak harus jauh-jauh ke sini, saya bisa ke tempat Anda bila memang ada masalah yang mengharuskan saya datang." Lelaki itu berujar sopan, namun Aditya justru tersenyum, ia bahkan berharap ada masalah kedepannya untuk ia jadikan alasan pergi ke kantor tersebut.
"Tidak apa-apa, Pak. Kebetulan saya tidak terlalu banyak pekerjaan hari ini. Oh ya, apa di kantor ini ada kantin? Saya harus segera makan siang, saya tidak mau magh saya kambuh karena telat makan." Aditya tersenyum ramah, namun sebenarnya itu hanya lah kebohongan semata.
"Oh iya, Pak. Ada kantin di kantor ini, nanti sekretaris saya yang antar Anda ke sana ya?"
"Iya, Pak. Terima kasih." Aditya tersenyum sumringah, ia merasa tidak sabar bertemu dengan Azizah seperti pada rencananya.
***
Vina memicingkan matanya, merasa ada yang aneh dari bentuk tubuh Azizah yang sepertinya sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Wajah segarnya yang begitu memancarkan pesonanya, kini seolah menghilang dari sana.
"Zah," panggil Vina hati-hati, sedangkan temannya yang tengah mengaduk baksonya itu justru terdiam seolah sedang merenungkan sesuatu hal.
"Azizah." Vina kembali memanggil nama temannya itu dengan nada yang sedikit lebih tinggi dari sebelumnya, yang berhasil menyadarkannya dari lamunannya.
"Iya, Vin. Kenapa?"
"Kamu ngelamun apa sih, Zah? Kamu lagi ada masalah lagi ya?" tebak Vina yang disenyumi tipis oleh Azizah, merasa bingung saja harus menjawab apa.
"Tebakanku benar kan? Pasti sikap kamu ini gara-gara suami kamu itu." Vina menjawab yakin.
"Aku enggak apa-apa kok, aku cuma kurang enak badan aja." Azizah menjawab seadanya, nada suaranya juga terdengar lemah, begitupun dengan wajahnya yang kian memucat.
"Iya, wajah kamu juga pucat. Kamu sakit, Za? Harusnya kamu jangan kerja kalau kurang enak badan."
"Iya ...." Azizah menjawab seadanya sembari menundukkan kepalanya yang terasa kian berat disanggahnya. Tubuh Azizah semakin melemah, membuat Vina mengkhawatirkan kondisinya.
"Zah, kamu enggak apa-apa kan? Kamu kok kaya lemas sih? Zah," panggil Vina terdengar cemas, tangannya bahkan menepuk pundak Azizah beberapa kali, namun empunya itu justru terdiam di balik tundukkan kepalanya dengan sesekali menghela nafas kasar.
Di sisi lainnya, Aditya merapatkan bibirnya, menatap ke area kantin yang berada di hadapannya. Di sana cukup luas, di mana banyak para karyawan yang tengah makan siang.
"Bapak mau makan siang kan? Kok malah berhenti disini? Bapak mau saya pesankan makanan?" tawar sektretaris Aditya yang sedari tadi berada di belakangnya.
"Sebentar!" Aditya meneliti setiap perempuan yang berada di sana, ia berniat menemukan Azizah di antara mereka. Tak lama, akhirnya Aditya menemukannya, bibirnya seketika tersenyum melihat wanita itu bersama dengan temannya.
"Apa kamu akan makan di sini? Kalau iya, makanlah! Saya akan menemui teman saya dulu di sana." Aditya menunjuk ke arah Azizah.
"Baik, Pak."
Setelah mendengar persetujuan sekretarisnya, Aditya kembali tersenyum, meskipun jantungnya serasa berdebar seperti saat ia masih muda, tak menyulutkan niatnya untuk menemui Azizah. Wanita itu memang sudah menikah, namun apa salahnya bila ia ingin berteman dengannya.
Setidaknya, Aditya harus bisa meredakan rasa rindunya selama ini, setelah itu ia bisa melupakan Azizah dengan mudah. Sudah sejak lama, tepatnya setelah bertemu dengan Azizah lagi untuk pertama kalinya, Aditya terus memikirkannya, ia bahkan berniat memilikinya meskipun semua itu mustahil, namun rasa ingin bersama Azizah terus memuncak setiap harinya.
Itu lah kenapa Aditya mencari-cari alasan untuk bertemu dengan Azizah, ia berharap rasa itu akan semakin memudar setelah menemui wanita itu. Dan di sana lah ia, berjalan ke arah Azizah yang tengah duduk dengan temannya, Aditya sempat canggung mendapatkan tatapan heran sekaligus kekaguman dari banyak orang, namun ia berusaha tidak memedulikannya.
"Zah, kamu dengar aku kan?"
Aditya memelankan langkahnya, menatap heran ke arah wanita yang terlihat cemas menatap ke arah Azizah. Ada apa? Aditya buru-buru mencari tahunya, bisa dilihat dari caranya berjalan cepat menuju ke meja temannya.
"Azizah," panggil Aditya dengan menepuk pundak wanita itu, namun di detik berikutnya, Azizah justru meluruh jatuh dari kursinya, membuat Aditya buru-buru menangkap tubuhnya.
"Astaga, Azizah. Kamu kenapa sih? Zah," panggil Vina sembari mendirikan tubuhnya, ia terlalu panik sampai tidak tahu harus bagaimana.
"Azizah kenapa bisa pingsan? Anda temannya kan?" tanya Aditya khawatir sembari menggendong tubuh Azizah dengan sigap.
"Iya, saya temannya. Tapi, saya tidak tahu, Pak ...." Vina menjawab kaku, ia tahu lelaki itu siapa, dia temannya Azizah, yang sempat membuatnya bingung kenapa lelaki itu bisa di kantin tempatnya bekerja.
"Apa di kantor ini ada ruang kesehatan? Yang ada dokternya?" tanya Aditya cepat, ia bahkan tidak peduli dengan tatapan semua orang yang tertuju ke arahnya, tak terkecuali sektretarisnya sendiri.
"Di sini tidak ada ruang seperti itu, Pak."
"BAGAIMANA MUNGKIN KANTOR SEBESAR INI TIDAK ADA RUANG KESEHATAN, SEHARUSNYA ADA." Aditya berteriak frustrasi sembari terus menggendong tubuh Azizah.
"Ada apa ini, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya sekretaris Aditya setelah mendekat ke arah bosnya, ia juga tidak ingin bosnya itu membuat keonaran di sana.
"Tidak ada. Saya akan membawa Azizah ke puskesmas terdekat, kamu pulang saja ke kantor naik taksi." Aditya berujar ke arah sekretarisnya yang langsung diangguki oleh wanita itu.
"Baik, Pak."
"Pak, apa saya boleh ikut? Saya ingin menemani Azizah." Vina berujar takut-takut, nada suaranya juga terdengar sangat berusaha memberanikan diri untuk bertanya ke arah Aditya.
"Baiklah, kamu temani Azizah di kursi belakang, saya yang akan menyetir mobil, cepat ikut saya!" Aditya berlari ke arah mobilnya sedangkan Vina langsung mengikutinya dari arah belakang, diam-diam ia juga merasa bersyukur bisa menemani temannya itu, yang entah bagaimana bisa pingsan sekarang.
***
Setelah berhasil menemukan klinik dokter, Aditya langsung membawa tubuh Azizah masuk ke ruang periksa, ia tidak peduli dengan orang-orang yang mengantri lebih dulu darinya.
"Ada apa ini, Pak?" tanya sang dokter ke arah Aditya yang tampak kelelahan sekarang, sedangkan Vina masih setia menemani Azizah di sana.
"Tolong teman saya, Pak, dia tiba-tiba pingsan, saya takut terjadi sesuatu dengan dia." Aditya menjawab cemas yang tentu saja bisa Vina lihat bagaimana lelaki itu begitu mengkhawatirkan Azizah.
"Seharusnya Anda mengantri lebih dulu, Pak." Seorang perawat menyela ucapannya, membuat Aditya geram mendengarnya.
"Saya akan bayar berapapun, asal teman saya diperiksa lebih dulu. Dia itu sedang pingsan, bagaimana mungkin saya bisa menunggu antrian sepanjang itu di luar? Anda bisa mikir enggak sih, Anda kan perawat." Aditya membentak perawat itu dengan nada kasarnya, yang tentu saja menimbulkan kekacauan di luar sana, banyak para pasien yang bertanya-tanya ada apa di dalam.
"Tolong tenang ya, Pak. Saya akan periksa teman Anda ya, tolong keluar dulu!" Sang Dokter menyela pembicaraan, berusaha menenangkan Aditya yang tampaknya benar-benar takut terjadi sesuatu dengan Azizah.
"Saya minta maaf, Pak. Tolong Anda keluar dulu," ujar suster tersebut ke arah Aditya yang terlihat masih marah dengan ucapan suster tersebut.
"Kita keluar dulu, Pak!" Vina mempersilakan Aditya untuk keluar, ia sendiri tidak tahu kenapa Aditya begitu mengkhawatirkan Azizah, namun yang pasti ada sesuatu di antara mereka.
Setelah keluar, Vina menggiring Aditya untuk duduk di kursi tunggu, sedangkan ekspresi lelaki itu tampak tak menentu. Ada kekhawatiran sekaligus rasa tak sabar di wajahnya, bisa dilihat dari caranya merapatkan bibirnya dengan cemas.
"Anda tenang saja, Azizah pasti baik-baik saja. Kemarin dia masih terlihat sehat, mungkin sekarang dia hanya kelelahan, Pak." Vina berusaha menenangkan Aditya, namun sepertinya tak membuat lelaki itu mau percaya.
"kamu pikir, kelelahan macam apa sampai Azizah bisa pingsan? Dia itu wanita paling kuat yang pernah saya temui, dia bahkan masih bisa mengejek saya setelah lari sepuluh putaran lapangan, sedangkan saya justru harus dilarikan ke rumah sakit." Aditya menjawab tak percaya, karena ia yang paling tahu bagaimana Azizah dulu.
"Intinya, Azizah tidak mungkin langsung pingsan cuma karena kelelahan sedangkan kemarin kamu bilang kalau dia baik-baik saja." Aditya melanjutkan ucapannya, nada suaranya juga terdengar mantap, berbeda dengan Vina yang tampak merasa aneh dengan sikap Aditya.
Setahu Vina, lelaki yang bermana Aditya itu hanya teman Azizah sewaktu SMA, bahkan Azizah sendiri yang mengakuinya, ia juga berujar kalau hubungannya dengan lelaki itu tidak terlalu dekat. Lalu kenapa, sikapnya seolah menggambarkan kecemasan yang benar-benar nyata seolah takut kehilangan Azizah.
"Maaf, sebenarnya Anda ini siapanya Azizah? Kenapa Anda begitu peduli dengan kondisinya? Azizah sendiri mengatakan bila Anda ini hanya temannya dulu di SMA." Vina bertanya hati-hati, namun ucapannya itu mampu menyadarkan Aditya akan dirinya yang tak pernah istimewa di mata Azizah. Wanita itu masih menganggapnya teman biasa, tidak ada yang spesial di antara mereka.
Bodoh, Aditya merasa sangat bodoh karena baru mengingatnya, padahal tadi sikapnya ke Azizah begitu cemas dan khawatir, yang tentu saja membuat semua orang bertanya-tanya dengan sikapnya. Mungkin orang akan menganggap bila dirinya berlebihan, namun semua sikapnya itu spontan keluar begitu saja pada dirinya, saking cemasnya ia dengan kondisi Azizah.
"Ya, saya memang cuma temannya Azizah sewaktu di SMA, kami juga sudah lama tidak bertemu. Tapi bagi saya, Azizah adalah teman terbaik saya, dia seperti saudara saya sendiri, jadi saya sangat mengkhawatirkannya," jawab Aditya bohong, suaranya mulai terdengar lebih tenang dari sebelumnya.
"Oh begitu ya? Saya mengerti."
"Iya, maaf bila sikap saya tadi sedikit berlebihan." Aditya merasa konyol saja dengan sikapnya yang mungkin akan dipikir aneh untuk temannya Azizah itu.
"Iya, tidak apa-apa." Vina menjawab seadanya, namun di dalam hati ia berpikir bila sikap Aditya itu tidak sedikit berlebihan, karena pada kenyataannya dia bersikap sangat-sangat berlebihan seolah dia lah orang yang sangat mencintainya Azizah.
"Anda bernama Aditya kan? Perkenalkan, nama saya Vina." Vina menyalami Aditya, begitupun dengan lelaki itu.
"Iya, nama saya Aditya, salam kenal."
"Permisi," sapa seorang suster yang tadi sempat bersitegang dengan Aditya.
"Iya, Sus. Ada apa?" Vina mendirikan tubuhnya, begitupun dengan Aditya di sampingnya.
"Kalian bisa masuk, Dokter ingin menyampaikan kondisi pasien."
"Baik, Sus." Vina mengangguk paham lalu masuk ke dalam dengan Aditya di belakangnya, sesampainya di sana, mereka langsung duduk di hadapan dokter yang sudah memeriksa kondisi Azizah.
"Bagaimana dengan keadaan teman saya, Dok? Dia baik-baik saja kan?" tanya Vina kali ini, sedangkan Aditya hanya diam mendengarkan.
"Begini, Bu, sepertinya pasien ini mengalami setres berat yang berdampak pada kesehatannya. Saya pikir, pasien harus dirawat untuk malam ini saja, setidaknya untuk memulihkan kondisinya. Untuk masalah setresnya, sebaiknya Anda membantunya untuk menyelesaikan masalahnya. Bila terus-terusan seperti ini, pasien bisa saja mengalami depresi, tingkat kesehatan mental yang lebih tinggi lagi."
Aditya dan Vina hanya bisa terdiam, ucapan dokter itu tentu saja membuat mereka terkejut sekaligus tidak ingin percaya. Bagaimana mungkin seorang Azizah yang selalu tersenyum hangat itu bisa mengalami kondisi seperti sekarang ini, terutama Aditya yang bahkan tidak pernah menyangka sebelumnya. Aditya bahkan berharap bila Azizah hanya kelelahan, dengan begitu ia bisa sedikit lebih tenang, namun sepertinya apa yang dilewati wanita itu begitu menyakitkan hingga mengalami hal seperti sekarang.
"Tolong lakukan yang terbaik untuk teman kami, Dok!" Hanya ucapan itu yang bisa Aditya lontarkan, ia masih bertanya-tanya kenapa Azizah bisa setres, karena rasanya mustahil bila dilihat dari kepribadian ceria dan hangat wanita itu.
"Baiklah, kami akan menyiapkan kamarnya."
"Iya, Dok. Terima kasih." Aditya mendirikan tubuhnya lalu menatap ke arah Vina yang tampak tak percaya dengan apa yang menimpa Azizah.
"Bisa kita bicara sebentar di luar, Vina?" tanya Aditya memastikan, sedangkan yang Vina lakukan hanya mengangguk paham lalu mendirikan tubuhnya dan mengikuti langkah Aditya.
"Kamu temannya Azizah, kamu pasti tahu dia kenapa kan? Tidak mungkin Azizah stres tanpa sebab, pasti dia memiliki masalah berat. Tolong ceritakan apa saja yang kamu tahu, kali saja saya bisa membantu Azizah keluar dari masalahnya." Aditya berujar ke arah Vina yang tampak ragu dengan niatnya.
"Anda tidak akan bisa membantu Azizah."
"Kenapa begitu? Memangnya ada apa?"
"Sepertinya Azizah setres karena suaminya."
"Suaminya? Memangnya apa yang sudah dia lakukan pada Azizah?" tanya Aditya penasaran, berbeda dengan Vina yang tampak tak yakin ingin membicarakan masalah Azizah pada Aditya, temannya. Ia takut, justru ia yang mendapatkan masalah dan yang lebih buruknya lagi Azizah marah dengannya. Vina dibuat dilema, antara harus memberi tahu Aditya atau tidak, namun di sisi lainnya ia juga berharap lelaki itu bisa membantu Azizah keluar dari masalahnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
