
"Lo itu bukan Adik gue. karena bagi gue, Lo cuma sebatas budak nafsu gue dan selamanya akan begitu."
Edward Mahendra.
Bagi Mentari Putri Renata, menjadi adik dari seorang Edward Mahendra itu bencana sekaligus penderitaan yang tidak berkesudahan. karena Mentari harus rela tubuhnya disentuh dan disetubuhi Edward kapanpun, saat lelaki itu menginginkannya.
Sedangkan bagi Edward Mahendra, Mentari itu bukan adiknya meskipun mereka memiliki orang tua yang sama. Karena bagi Edward, Mentari adalah budaknya...
Part 07
Cukup lama menguatkan hati dan mentalnya, akhirnya Leo menghembuskan nafas gusarnya, seolah ingin menenangkan perasaannya yang mulai kacau. Padahal, ia hanya ditantang untuk mendekati gadis, yang entah benar atau tidak tentang apa yang diucapkan Haikal, bila gadis yang bernama Mentari itu adalah sosok yang paling anti dengan cowok. Mendengar ucapan temannya itu sebenarnya Leo merasa sudah sangat ragu, bila acara merayunya itu akan berhasil. Namun, lagi-lagi ini semua masalah harga dirinya, membuat Leo harus yakin bila ia akan sangat mudah menaklukan hati seorang Mentari.
"Ingat ya, Le. Lo harus bisa membuat Mentari mau berkenalan sama Lo. Dengan begitu, Lo akan dapat uang satu juta dari gue." Haikal berbisik pelan, membuat Leo bertambah bersemangat bila sudah mendengar kata uang.
"Tapi kalau Lo gagal. Lo harus taubat dari semua tingkah laku Lo yang suka memanfaatkan cewek selama ini. Dan Lo harus juga bisa mencari pekerjaan halal, tanpa harus meloroti harta cewek lagi." Haikal kembali melanjutkan ucapannya, membuat Leo terdiam kaku di tempatnya yang bahkan sudah kesusahan hanya dengan menelan salivanya.
"Kok kayanya gue ragu ya. Bisa dibatalkan enggak itu perjanjian?" tanya Leo sembari memasang wajah memohon.
"Berarti Lo itu cowok pengecut, yang beraninya manfaatin cewek. Tapi Lo enggak berani menepati janji Lo sendiri, kalau Lo bakal terima tantangan gue." Haikal menjawab tenang, namun tidak dengan Leo yang merasa tidak terima dengan ucapan temannya itu. Sedangkan Firman yang sedari tadi mendengar perjanjian mereka hanya tersenyum kecil dengan sesekali menggeleng pelan, merasa tak habis pikir dengan perjanjian yang teman-temannya lakukan itu.
"Oke. Gue terima tantangan Lo itu." Leo menjawab kesal, merasa tidak suka bila dirinya dicap pengecut hanya karena tantangan yang mungkin bisa dimenangkannya.
"Bagus deh kalau Lo gantlemen. Kebetulan gue bawa uang satu juta, yang bakal Lo ambil kalau Lo berhasil. Tapi kalau Lo kalah, siap-siap aja menggembel karena Lo harus taubat, enggak boleh memanfaatkan cewek lagi apalagi membuat para cewek sakit hati." Haikal berujar tenang, membuat Leo berhasil terdiam seolah ragu bila ia akan berhasil kali ini. Karena tidak biasanya, Haikal bersikap seyakin itu, seolah sudah sangat percaya bila ia tidak akan mampu melakukan tantangannya.
"O-oke." Leo menjawab kaku sembari mengangguk ragu, yang turut diangguki mengerti oleh Haikal.
"Siap-siap taubat ya, Le!" Firman menepuk bahu Leo diiringi senyum penuh arti dari bibirnya, membuat Leo kian tak yakin dengan apa yang ia lakukan kali ini.
"Kalian lagi bercanda kan? Mentari itu bukan seperti cewek yang kalian bilang kan?" tanya Leo yang kali ini justru terlihat ragu, membuat Firman dan Haikal terdiam sembari menaikan salah satu alisnya, seolah ingin mengejek Leo kali ini.
"Oke, fix. Kalian benar-benar membuat gue dalam masalah. Kalau gue taubat, mau makan apa gue?" Leo berujar dramatis ke arah teman-temannya, yang justru ditatap acuh oleh keduanya.
"Derita Lo, boy." Haikal menjawab acuh, yang diangguki setuju oleh Firman.
"Sudah lah, Le. Mending sekarang Lo tunjukkin ke kita, rayuan maut Lo ke Mentari. Kalau Lo berhasil, berarti Lo berhak mendapatkan gelar gigolo is the best se-Indonesia." Firman berujar serius, seolah tidak ada kata-kata bercanda dari nada suaranya.
"Oke. Gue jalan nih." Leo mulai melangkah, namun hanya satu langkah, Leo justru kembali menghadap ke arah teman-temannya dengan sorot mata memelas.
"Jangan sekarang deh. Bagaimana kalau bulan depan aja?" tawar Leo memohon.
"Ya, dengan begitu Lo bakal merampok harta tante-tante yang Lo pacari lebih dulu, baru Lo melakukan tantangan gue." Haikal menjawab malas, sudah sangat paham dengan apa yang sedang temannya itu rencanakan.
"Kok Lo tahu sih?" ujar Leo kian gelisah, membuat Haikal memutar bola matanya serasa malas.
"Kita itu sudah temenan sejak kapan sih? Ya mudah banget lah gue menebak isi pikiran lo. Sudah, ke Mentari sana. Kita lihat Lo dari sini." Haikal mendorong pelan tubuh Leo yang merasa tidak yakin dengan apa yang dilakukannya sekarang. Namun ia juga tidak mungkin membatalkan tantangan yang sudah ia sepakati tadi, membuat Leo frustrasi membayangkan bagaimana bila ia gagal nanti.
"Iya-iya," jawabnya malas, lalu mulai kembali berjalan ke arah gadis cantik yang masih duduk di kursi besi taman bersama dengan temannya.
Sampai saat di hadapan Mentari, Leo berusaha bersikap tenang dengan berekspresi percaya diri seperti biasanya. Meskipun kali ini, gadis yang bernama Mentari itu justru menatapnya dengan sorot mata ketakutan, namun justru berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya. Mata gadis itu berbinar, seolah menemukan brilian di tengah jalan.
"Hai," sapa Leo sembari memasang senyum manis andalannya. Membuat gadis yang duduk di samping Mentari itu seketika tersenyum malu-malu, merasa tak percaya bila Leo datang untuk menyapa. Sedangkan Mentari justru terlihat gelisah, menatap ke segala arah dengan sorot mata ketakutan.
"Hai juga." Ela menyapa balik Leo sembari melambaikan tangannya, membuat Leo terdiam kaku melihatnya, karena bukan gadis itu yang menjadi incarannya.
"Boleh kenalan enggak?" tanya Leo sembari menjulurkan tangannya ke arah Mentari, berharap diterima baik oleh gadis itu. Namun kenyataannya justru berbanding terbalik, karena Mentari justru meringkuk takut tanpa mau menatap ke arah Leo, yang mulai bingung dengan tingkah laku gadis incarannya itu.
"Boleh. Namaku Ela." Gadis yang berada di samping Mentari itu justru menyambut tangan Leo, membuat lelaki itu tersenyum canggung, merasa tidak enak hati dengan gadis yang mengaku bernama Ela itu.
"Eh ... iya." Leo menjawab kaku sembari melepas jabatan tangannya, dengan sesekali melirik ke arah Mentari yang lagi-lagi tidak mau menatapnya.
"Ela. Aku pulang dulu ya?" pamit Mentari terlihat terburu-buru, membuat Ela cemberut melihatnya.
"Kok pulang? Kita harusnya main dulu, mumpung kita enggak ada jam pelajaran." Ela menjawab kesal, yang ditanggapi senyuman paksa oleh Mentari yang kian terlihat gelisah.
"Aku kurang enak badan. Aku pulang dulu ya?" jawabnya cepat, lalu berjalan menjauh meninggalkan Ela yang belum menyetujui pamitannya.
"Hai, gue mau berbicara sama Lo," teriak Leo ke arah Mentari yang sekilas menoleh ke arahnya, namun justru tak dihiraukan oleh gadis itu.
"Gue ke dia dulu ya," pamit Leo pada Ela sembari menunjuk ke arah Mentari yang kian menjauh, sedangkan Ela hanya bisa cemberut melihat lelaki tampan di depannya itu justru ingin mengejar Mentari, bukan dirinya.
"Iya," jawabnya terpaksa.
"Mentari," panggil Leo sembari mengejar ke arah Mentari yang justru kian berlari setelah mengetahui Leo menyusul langkahnya.
"Aku mohon, jangan ganggu aku!" jawab Mentari ketakutan tanpa mau menghentikan laju langkahnya.
"Gue cuma mau ngomong sama Lo," jawab Leo tak habis pikir, bagaimana mungkin dirinya justru mengejar gadis yang ketakutan melihatnya. Apa yang salah dari dirinya, hingga seorang Mentari ingin menolaknya? Seolah pesonanya selama ini tak mampu membuat gadis itu mau melihatnya, terlebih lagi menghargainya.
"Aku enggak mau," jawab Mentari kian menjauh, meninggalkan Leo bersama dengan seribu pertanyaan yang bersemayam di otaknya tentang apa yang membuat Mentari begitu tidak ingin berdekatan dengan seorang lelaki termasuk dirinya.
"Dia kenapa sih?" gumam Leo tak habis pikir, sembari menggaruk keningnya yang tak gatal. Sampai saat Firman dan Haikal datang menghampirinya bersama dengan tawa mereka yang meledak, melihat seorang Leo ditolak gadis untuk yang pertama kalinya.
"Apa gue bilang, Lo enggak bakal bisa buat Mentari mau kenalan sama Lo apalagi sampai buat dia klepek-klepek melihat Lo." Haikal berujar meremehkan, yang turut disetujui oleh Firman.
"Betul banget, Sob. Mentari itu memang beda dari yang lain, jadi bagaimana dengan tantangan Haikal sekarang?" ujar Firman yang kian membuat Leo pusing dengan apa yang harus perbuat kali ini.
"Kasih gue kesempatan satu kali lagi. Gue pasti bisa membuat Mentari mau kenalan sama gue, kalau perlu sampai jatuh ke pelukan gue. Bagaimana?" tawar Leo yang justru membuat Firman maupun Haikal terdiam, mencoba menimbang-nimbang ucapan Leo.
"Bagaimana, Kal. Boleh enggak?" tanya Firman ke arah Haikal.
"Bagiamana ya? Masalahnya juga bakal percuma, karena Lo enggak akan bisa membuat Mentari suka sama Lo." Haikal menjawab malas, membuat Leo terdiam memikirkan seberapa parahnya Mentari anti dengan lelaki.
"Memangnya parah banget ya?"
"Iyalah."
"Lo tahu dari siapa?" tanya Leo tak percaya.
"Banyak yang bilang kali. Tanya aja sama Firman! Dia kan dulu juga suka sama Mentari, enggak tahu deh kalau sekarang." Haikal menjawab enteng, tapi tidak dengan Firman yang melototkan matanya saking tak percayanya ia akan ucapan temannya itu.
"Serius, Fir?" tanya Leo syok.
"Iya. Tapi itu dulu kok, sekarang gue enggak terlalu suka sama Mentari." Firman menjawab seadanya atau lebih tepatnya merasa terpaksa mengakuinya.
"Kenapa?" tanya Leo penasaran.
"Ya karena bakal percuma juga, karena banyak cowok ganteng, tajir, fomous yang suka sama dia, tapi semuanya ditolak. Apalagi gue yang cuma modal otak?" jawab Firman jujur.
"Tapi gue penasaran deh sama Mentari. Dia itu kenapa kaya ketakutan begitu ya saat melihat gue? Perasaan, wajah gue stay ganteng aja dari dulu." Leo berujar heran, membuat Firman dan Haikal mulai malas bila sudah mendengar ucapan percaya diri temannya itu.
"Kita juga kan sudah bilang, kalau Mentari itu memang anti cowok. Lah sekarang gue mau tanya sama Lo. Lo itu cowok apa bukan?" tanya Haikal terdengar jengah.
"Ya iyalah gue cowok. Tapi yang membuat gue bingung itu, kenapa Mentari bisa menjadi pribadi yang anti cowok padahal dia kuliah di mana ada banyak cowok di sini? Kenapa enggak kuliah di pesantren aja? Lebih aman," ujar Leo begitu serius, membuat kedua temannya ingin sekali mencekiknya saking konyolnya lelaki itu.
"Ya kali kuliah di pesantren? Enggak sekalian aja di hutan?" sahut Haikal malas.
"Ya kali aja. Kan si Mentari itu antisosialnya sama cowok doang." Leo menyahut kesal, merasa tak habis pikir bila di dunia ini ada gadis semacam Mentari.
"Seperti apa yang ada di sepakatan kita tadi ya, kalau Lo harus berubah menjadi yang lebih baik, kalau Lo gagal melakukan tantangannya." Tiba-tiba Haikal kembali mengungkit masalah tadi, membuat Leo menyengir sembari menatap memelas ke arahnya.
"Kan gue sudah bilang, kalau gue mau minta satu kesempatan lagi. Kali ini, gue pasti berhasil membuat Mentari menerima gue."
"Kan gue juga sudah bilang, kalau semua itu bakal percuma. Lo enggak akan berhasil." Haikal menjawab malas.
"Ya, Kal. Masa gue harus berhenti dari pekerjaan ini, padahal hanya dengan cara ini gue bisa bertahan hidup." Leo berujar memelas, berharap temannya itu mau memberinya satu kesempatan lagi.
"Pekerjaan apa yang Lo maksud? Jadi gigolo yang suka meloroti harta tante-tante?" tanya Haikal kian malas.
"Iya kan, itu doang bakat gue." Leo menjawab lirih diiringi cengiran khas dari bibirnya.
"Bakat kok merugikan orang lain." Haikal menyindir kesal, yang lagi-lagi hanya ditanggapi cengiran oleh Leo.
"Jadi bagaimana, gue dikasih kesempatan lagi kan?" Leo masih berusaha merayu, yang memang belum siap untuk berhenti dari caranya untuk mendapatkan uang.
"Oke. Tapi kalau Lo kalah, Lo harus benar-benar berhenti memanfaatkan cewek. Dan Lo juga harus mau pekerjaan yang lebih manusiawi." Haikal menjawab lelah, yang justru membuat Leo cemberut mendengarnya.
"Lo kenapa sih suka banget menyuruh gue berubah? Padahal kan gue dapat banyak uang kan juga dari cara ini." Leo berujar kesal, sedangkan Firman yang sedari tadi mendengarnya hanya terdiam diiringi senyum hambar dari bibirnya. Padahal, tidak hanya Haikal saja yang ingin Leo menjalani hidupnya dengan cara yang baik, tapi Firman juga menginginkan bila temannya itu mau berubah dan menjalani hidupnya dengan cara yang baik pula.
"Ya gue malu lah punya teman kaya Lo." Haikal menjawab ketus, merasa muak bila harus menjelaskan alasan yang sebenarnya.
"Kok Lo gitu sih?" tanya Leo tak terima.
"Le," panggil Firman sembari merengkuh pundak Leo, berharap temannya itu mau mengerti dengan apa yang akan ia sampaikan.
"Lo itu teman kita dari dulu, ya kita cuma mau yang terbaik aja buat Lo. Ya termasuk menginginkan Lo berhenti memanfaatkan banyak cewek demi keuntungan Lo sendiri. Kita cuma mau, Lo berhenti sebelum semuanya terlambat untuk diperbaiki. Mungkin, sekarang Lo merasa semua baik-baik saja dan berjalan seperti apa yang Lo inginkan. Tapi ada kalanya nanti, Lo akan merasakan apa yang korban-korban Lo rasakan selama ini. Ya intinya, kita cuma mau Lo enggak terus-terusan melakukan hal yang jelas-jelas semua itu salah. Karena kita peduli sama lo, karena kita teman Lo." Firman berujar tulus, membuat Leo terdiam memikirkannya, merasa apa yang diucapkan Firman itu memang ada benarnya. Bila mereka hanya ingin ia berhenti dari kebiasaan buruknya, karena mereka hanya merasa peduli dengannya. Karena mereka temannya.
Part 08
Di ruangannya, Edward mengusap kasar wajahnya, merasa lelah dengan segala rutinitasnya, terlebih lagi saat memikirkan Mentari, adik cantiknya yang tak pernah ia kasihi sebagai mana kakak dan adik pada umumnya. Itu semua karena hatinya, yang begitu menginginkan Mentari selalu ada, namun di lain sisinya lagi, Edward juga tidak ingin Mentari mengetahui perasaannya yang sebenarnya. Perasaan yang seharusnya tidak untuk Edward rasakan, meskipun mereka bukan saudara sedarah. Namun, Edward juga tidak bisa mengelak, bila apa yang dilakukannya selama ini ke pada Mentari itu semua adalah kesalahan yang mungkin tidak bisa dimaafkan.
Sebenarnya, Edward juga ingin mengungkapkan perasaannya pada Mentari, namun semua seolah dipersulit acap kali Edward menatap wajah cantik Mentari yang selalu berhasil membuatnya candu akan sentuhannya. Edward hanya tidak ingin, bila nanti ia sudah mengungkapkan segala rasa di hatinya, Mentari justru berani meninggalkannya.
Edward bahkan tidak mau membayangkan, bagaimana jika nanti Mentari pergi, merasa sudah tidak takut lagi dengannya? Setelah itu, apa yang akan Edward lakukan selain membayangkannya setiap malam bak orang gila yang kehilangan kewarasan.
Ada kalanya, Edward juga tidak ingin melakukan hal yang kemungkinan besarnya justru ia yang akan kalah, yang akan ditinggal dan dicampakkan. Rasanya, Edward hanya tidak bisa merasakan segala sesuatunya berbeda begitu cepat, terutama pada Mentari yang begitu dicintainya sejak kecil.
"Sampai kapan gue bisa berhenti melakukan dosa ini? Gue juga sakit, melihat Mentari menangis. Tapi gue juga akan bakal sakit, saat Mentari berani pergi dari gue." Edward bergumam frustrasi, terlebih lagi saat dirinya membayangkan bagaimana kelakuannya selama ini dengan Mentari. Rasanya, Edward ingin sekali mencaci maki dirinya sendiri saking bejatnya kelakuannya pada adik yang dicintainya itu.
"Gue harus apa, Mentari?" tanya Edward pada bingkai yang di dalamnya terdapat foto Mentari dan dirinya sendiri saat mereka masih kecil. Foto yang pertama kali mamanya ambil, saat mereka baru menjadi satu keluarga untuk yang pertama kalinya.
Melihat foto itu, membuat ingatan Edward terlempar ke masa lalu, di mana Mentari dan dirinya bertemu untuk pertama kalinya di sebuah taman panti asuhan. Tempat yang mungkin tidak akan bisa Mentari ingat, karena saat itu ia baru berusia lima tahun, dan bahkan tak akan pernah Mentari tahu bila dia berasal dari sana.
Flashback on.
Mendengar orang tuanya berbicara serius dengan seorang ibu-ibu berumur empat puluh tahunan, membuat bocah berkulit putih itu merasa bosan, karena tidak mengerti dengan apa yang sedang para orang tua bicarakan. Sampai saat bocah itu menoleh ke arah jendela yang menampilkan suasana luar, di mana ada taman luas yang diisi banyak bocah yang tengah bermain begitu riang. Membuat bocah berumur tujuh tahun itu bersemangat, merasa ingin bergabung dengan permainan mereka.
"Ma, Pa. Edward ke taman ya. Edward mau main sama mereka, boleh?" tanyanya pada kedua orangtuanya, membuat lelaki dan perempuan yang tengah asyik berbincang itu seketika menoleh ke arah putranya, lalu tersenyum melihatnya, seolah sudah paham bila putra mereka itu mungkin sedang merasa bosan sekarang.
"Iya, Sayang. Kamu boleh ke sana, tapi jangan nakal ya sama teman-teman baru kamu nanti," jawab mamanya begitu tulus, sembari mengusap rambut putranya itu penuh kasih sayang.
"Terimakasih, Ma. Edward main dulu ya," pamitnya bersemangat, yang hanya diangguki mengerti oleh orang tuanya yang turut tersenyum bahagia melihat putra mereka yang pintar.
Di taman, bocah lelaki yang biasa disapa dengan sebutan Edward itu seketika tersenyum sumringah, melihat banyak anak-anak sebayanya tengah asyik bermain dengan berbagai permainan yang membuat mereka tertawa dan bahagia. Membuat Edward merasa ingin bergabung dan menikmati waktu luangnya bersama mereka, namun sebelum itu terjadi, mata Edward justru menangkap sosok gadis kecil yang tengah sendirian tidak jauh dari tempat anak-anak yang lainnya bermain.
Di saat seperti itu, Edward justru merasa bimbang harus menghampiri siapa kali ini. Karena Edward pikir, bila gadis kecil itu tak memiliki teman, hingga Edward merasa ingin menemaninya. Namun di lain sisi, Edward juga tidak bisa memungkiri bila ia juga ingin bermain dan bersenang-senang dengan para bocah yang tengah melakukan sebuah permainan yang menggembirakan.
Meskipun sempat merasa bimbang, nyatanya Edward justru menghampiri gadis kecil itu lalu duduk di sampingnya tanpa ada kata permisi sebelumnya, membuat gadis kecil itu kebingungan melihat kehadirannya.
"Kakak siapa?" tanya gadis itu keheranan.
"Aku Edward. Kenapa?" Edward justru berbalik tanya, membuat gadis kecil itu kian kebingungan dengan ucapannya.
"Kakak yang kenapa ada di sini?"
"Cuma mau menemani kamu." Edward menjawab seadanya, merasa bingung harus menjawab apa selain dengan alasan utamanya untuk menghampiri gadis itu.
"Supaya apa, Kak?" Kali ini Edward justru menyerngit bingung dengan pertanyaan gadis kecil itu, merasa aneh dengan ucapannya padahal gadis kecil itu masih sangat belia, namun justru bertanya soal hal sepele yang sebenarnya tidak penting.
"Eh ... supaya bisa menjadi teman kamu?" jawab Edward ragu yang justru terdengar seperti pertanyaan. Sedangkan gadis kecil yang baru mendengar jawaban Edward itu seketika terdiam, menatap sendu pada sosok bocah yang baru dilihatnya di tempat panti asuhan tersebut.
"Jangan deh, Kak. Aku itu enggak punya keluarga, aku enggak pantas punya teman. Aku aja enggak tau ini di mana?" Gadis kecil itu menjawab sendu sembari menatap ke arah sekitarnya, di mana banyak teman-teman sebayanya tengah bergembira tanpa mau mengajaknya.
"Memangnya keluarga kamu di mana?"
"Enggak tahu. Aku bangun-bangun sudah ada di tempat ini, terus orang tua aku juga pergi, enggak pamitan dulu sama aku."
"Kok kamu enggak kelihatan sedih, kalau orang tua kamu pergi tanpa pamit dulu sama kamu?" tanya Edward keheranan, saking herannya melihat mimik wajah gadis itu yang terlihat biasa-biasa saja, berbeda dengan dirinya yang akan menangis bila ditinggal sehari saja dengan orang tuanya.
"Aku sedih kok, Kak. Memangnya wajah aku kelihatan bahagia sekarang?" tanya gadis itu yang justru membuat Edward tersenyum hambar mendengarnya.
"Maksud aku, kenapa kamu enggak sedih, nangis kejer, terus guling-guling, enggak mau makan. Ya pokoknya apa saja deh, yang kelihatan kalau kamu lagi sedih banget." Edward menjawab malas, yang hanya diangguki mengerti oleh gadis itu.
"Aku enggak sayang sama mereka. Jadi kenapa aku harus melakukan hal yang seperti kakak bilang?" Gadis itu berbalik tanya, membuat Edward menyerngit bingung beberapa kali hari ini, melihat seorang anak yang justru mengatakan bila dirinya tidak menyayangi orang tuanya sendiri.
"Kenapa kamu enggak sayang sama mereka?"
"Mereka jahat. Aku sering dipukul sama mereka," jawabnya lirih.
"Oke. Aku paham sekarang dan aku enggak mau bahas hal itu lagi. Aku minta maaf ya," ujar Edward merasa sangat bersalah.
"Aku enggak apa-apa kok, Kak." Mendengar itu, Edward merasa lega lalu tersenyum melihat gadis kecil itu begitu kuat menghadapi persoalan hidupnya sendiri.
"Nama kamu siapa?"
"Mentari, Kak."
"Oh Mentari? Nama kamu bagus ya." Edward menjawab tulus, berharap bisa menghibur gadis yang bernama Mentari itu.
"Enggak, Kak. Mentari itu panas, jadi enggak ada bagus-bagusnya," jawab Mentari yang justru terdengar tak suka.
"Salah. Mentari itu bukan panas tapi hangat."
"Kok bisa?" tanyanya penasaran.
"Ya bisa aja. Tapi kalau kamu mau tersenyum aja ya. Kalau cemberut, jadi jelek." Mendengar jawaban ngawur Edward itu, Mentari justru merasa bahagia lalu tersenyum tanpa sebab.
"Kaya gini?" tanyanya sembari menunjukan senyum manisnya, membuat Edward yang melihatnya seketika terpesona dalam artian kagum setelah melihat senyum Mentari yang terukir manis.
"Nah, kalau kaya gini, kamu kelihatan cantik." Edward menjawab tulus, membuat Mentari tersenyum tanpa mau menatap ke arah Edward yang turut tersenyum melihatnya.
"Kamu mau main enggak sama mereka?" tawar Edward sembari menunjuk ke arah para bocah yang tengah bermain sebuah permainan, yang hanya ditatap ragu oleh Mentari.
"Enggak, Kak."
"Kenapa?"
"Aku cuma enggak mau membuat mereka enggak nyaman. Keluargaku saja enggak mau menerimaku, apalagi mereka yang bukan siapa-siapaku?" Mentari menatap sendu ke arah para bocah yang masih saja asyik bermain meskipun sinar matahari begitu menyengat siang ini.
"Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"
"Enggak apa-apa." Mentari menjawab lirih. Membuat Edward berpikir bagaimana caranya agar Mentari bisa memiliki semangat hidup seperti yang lain. Sampai saat Edward mendapatkan suatu ide, yang mungkin akan terdengar gila, namun Edward benar-benar tulus mengatakannya.
"Nanti kalau kita sudah besar, aku mau nikah sama kamu. Aku akan menciptakan keluarga yang bahagia buat kamu, dan aku berjanji tidak akan pernah membuat kamu menangis apalagi sampai meninggalkan kamu seperti orang tuamu. Bagaimana?" ujar Edward yang justru ditatap bingung oleh Mentari.
"Menikah itu apa?" tanyanya polos yang berhasil membuat Edward tertawa melihat wajah lugunya.
"Menikah itu berarti menjadi orang tua bersama. Kamu jadi ibu, aku jadi ayah." Edward menejelaskan seadanya, setidaknya hanya hal itu yang ia mengerti dari sebuah pernikahan.
"Aku mau, kak." Mentari menjawab antusias, membuat Edward tersenyum melihat wajah cerianya.
Flashback off.
Mungkin perasaan untuk anak seumuran Edward dulu adalah rasa dari cinta monyet yang sering Edward dengar, acap kali orang-orang menilai bagaimana anak kecil yang menyukai lawan jenis sebayanya. Suatu perasaan yang tidak bisa dikatakan kuat, namun mampu tumbuh secara perlahan hingga menguat seperti sekarang. Dan itu lah yang Edward rasakan hingga saat ini, yang mungkin tidak pernah Mentari ingat bagaimana perjanjian mereka dulu.
Lagi-lagi, Edward mendesah frustrasi, merasa tidak percaya bila hatinya saat ini justru termakan oleh ucapannya sendiri. Ucapannya yang terlontar, saat umurnya baru tujuh tahun. Sebenarnya apa istimewanya kalimat ajakan pernikahan itu untuk anak kecil seperti Edward dulu? Namun, anehnya kalimatnya itu yang justru membuat hati Edward kian masuk semakin dalam ke perasaan mencinta.
"Apa gue kasih tahu ke Mentari aja ya, kalau sebenarnya kita itu bukan saudara kandung?" gumam Edward lirih, merasa putus asa dengan hubungannya dengan Mentari yang kian hari, kian terasa sulit.
"Gue juga ingin, kalau Mentari mau belajar mencintai gue. Tapi, bagaimana dengan Mama dan Papa. Apa mereka bisa menerima hubungan itu?" Edward menjambak rambutnya begitu frustrasi, merasa lelah dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya kian terlihat pengecut karena tidak pernah mau mencobanya.
Di saat seperti ini, Edward merasa harus menenangkan diri dengan minuman berakohol, berharap mampu menghilangkan masalah yang begitu kuat membelenggu otaknya. Dan Edward sudah memutuskan, bila malam ini ia akan pergi ke klub malam, untuk sejenak menghilangkan rasa setresnya.
***
Setelah pulang dari klub malam, Edward berjalan sempoyongan di ke arah rumahnya setelah turun dari taksi yang ditumpanginya. Edward memang tidak pernah mau memakai mobil, bila sudah berniat ke klub malam, karena Edward juga paham bila ia pasti akan mabuk berat dan tak akan sanggup menyetir mobil sendiri.
Di depan pintu, Edward terdiam merasa sangat pusing sekarang sampai tidak bisa berjalan lebih lama lagi. Sedangkan yang bisa Edward lakukan sekarang hanya menekan bel pintu, berharap Mentari segera datang datang untuk membantunya berjalan ke kamarnya.
Dan itu benar karena tak lama, Mentari datang dan membuka pintu begitu terburu-buru. Namun matanya seketika membulat, kala mendapati tubuh kakaknya yang mulai merusut ke lantai. Membuat Mentari segera ingin menolong kakaknya untuk segera membantunya berdiri dan mengantarkan lelaki itu ke kamarnya.
"Kakak kenapa bisa sampai kaya gini?" tanyanya khawatir sembari membopong tubuh Edward yang bersender di bahunya, seolah sudah tak memiliki tenaga.
"Bawa gue ke kamar!" pinta Edward yang langsung diangguki oleh Mentari.
"Iya, kak." Dengan perlahan, Mentari menuntun tubuh Edward ke arah kamarnya, meski harus penuh kesabaran karena Edward benar-benar hampir tak punya kesadaran untuk melangkah.
"Mentari. Lo tahu enggak? Kalau Lo itu bukan adik gue? Lo itu bukan siapa-siapanya gue." Edward berujar asal, yang hanya didengarkan oleh Mentari yang sudah paham, bagaimana kakaknya itu begitu membencinya. Jadi sangatlah wajar, bila kakaknya itu mengatakan bila Mentari bukan adiknya.
"Harusnya Lo enggak boleh jadi adik gue," ujar Edward tanpa sadar, sedangkan Mentari lagi-lagi hanya terdiam. Merasa harus fokus pada tubuh kakaknya yang tengah ia bopong, agar sampai tidak jatuh.
"Lo harusnya jadi istri gue ...." Edward menghentikan ucapannya, merasa ada yang ganjal dengan apa yang sudah ia ucapkan tadi. Meski semua itu berakhir sama, Edward tak lagi memperdulikan ucapan ngawurnya saking pusingnya kepalanya saat ini. Namun sikap lain justru Mentari tunjukan, karena gadis itu justru memikirkan maksud dari ucapan kakaknya itu. Merasa ada yang aneh di hatinya, mendengar kakaknya menginginkannya menjadi istri untuknya.
Part 09
Sampai di kamar, Mentari melepas tubuh Edward lalu membaringkannya di ranjang. Sedangkan Edward justru terdiam sembari menahan kepalanya yang mulai sedikit berkurang rasa pusingnya. Namun berbeda dengan Mentari yang masih penasaran dengan maksud kakaknya itu, tentang ia yang seharusnya menjadi istrinya bukan malah menjadi adiknya. Rasanya, Mentari tak bisa menghentikan otaknya untuk tidak memikirkan kalimat kakaknya itu, padahal Mentari selalu berusaha tenang walau kakaknya sering berkata kasar dengannya. Namun kali ini, rasanya Mentari ingin menanyakan maksud kakaknya, meskipun sebenarnya hatinya merasa takut disentak lagi seperti hari-hari sebelumnya.
"Kak," panggil Mentari lirih, sedangkan Edward yang masih berusaha menyadarkan dirinya itu hanya bergumam untuk menyahut panggilan adiknya.
"Hm."
"Maksud ucapan kakak tadi apa?" tanya Mentari pelan, atau lebih tepatnya merasa takut seperti biasanya.
"Ucapan apa?" tanya Edward malas sembari memijit keningnya yang masih terasa berdenyut.
"Tadi kakak bilang, kalau Mentari itu harusnya enggak jadi adik, kakak kan? Tapi harusnya jadi istri kakak," cicit Mentari yang seketika membuat Edward syok mendengarnya, merasa tak percaya bila ia sudah berkata semacam itu.
"Lo ... Lo salah dengar kali." Edward menjawab kaku, tanpa mau menatap ke arah Mentari yang merasa yakin bila dirinya tidak pernah salah dengar tadi.
"Enggak kok, kak. Tadi Kakak memang bilang kaya gitu ke Mentari," jawab gadis itu sembari menyentuh dadanya.
"Lo itu cuma salah dengar." Edward masih mencoba mengelak dengan nada angkuhnya. Membuat Mentari hanya bisa menghembuskan napas kasarnya, merasa harus sangat bersabar dengan sifat kakaknya.
"Ya sudah, kak. Mentari ke kamar dulu ya?" pamit Mentari yang langsung ditatap oleh Edward dengan sorot mata tajamnya.
"Lo enggak boleh pergi dulu. Gue mau ngomong sesuatu sama Lo." Edward mencekal lengan Mentari, berharap gadis itu tidak pergi kali ini.
"Kakak mau ngomong apa?" Mentari bertanya seadanya, merasa ada yang aneh dengan sikap kakaknya malam ini.
"Lo duduk sini!" Edward menepuk ranjang di sebelahnya, membuat Mentari ragu kala menatapnya.
"Mentari berdiri aja, kak."
"Duduk, Mentari!" pinta Edward tegas seolah tidak ingin dibantah, membuat Mentari mengangguk dan segera duduk di sebelah kakaknya.
"Ada apa, Kak?" tanya Mentari lirih setelah duduk di dekat kakaknya.
"Lo sudah punya pacar?" tanya Edward yang sebenarnya merasa ragu dengan pertanyaan konyolnya itu.
"Enggak, Kak. Mentari enggak pernah berani berdekatan sama cowok lain," cicit Mentari kian lirih, seolah ada ketakutan dari nada suaranya.
"Lo enggak bohong kan?" tanya Edward tak percaya, merasa curiga dengan pengakuan Mentari yang mungkin saja berani berbohong dengannya.
"Enggak, kak." Mentari menjawab tegas, meskipun suaranya masih tetap lirih.
"Bagus deh. Karena gue paling enggak suka kalau Lo berdekatan sama cowok lain." Edward menjawab angkuh, yang hanya ditanggapi kediaman oleh Mentari yang merasa kian sakit hati dengan segala tingkah laku kakaknya yang aneh.
"Mau sampai kapan, kakak membuat Mentari seperti ini? Mentari kan juga mau hidup normal, Kak." Mentari mencoba memberanikan diri untuk bertanya, meski sebenarnya ia merasa tak pernah berani melakukannya.
"Memangnya hidup lo sekarang enggak normal? Lo kuliah, Lo punya teman, Lo juga bisa hidup kaya yang lainnya. Apanya yang salah?" Edward menatap malas ke arah Mentari yang kian meringkuk menjauh dari tubuh Edward.
"Bukan itu, Kak. Tapi Mentari juga mau, punya masa depan sebagai seorang istri. Punya anak, punya suami, punya sebuah keluarga kecil, bisa hidup bahagia sama mereka." Mendengar itu, hati Edward serasa terenyuh sakit mengetahui bila Mentari juga ingin memiliki keluarga kecil seperti yang Edward inginkan. Meskipun begitu, Edward sadar bila kenyataannya Mentari tidak akan pernah menjadikan Edward sebagai pilihan hidupnya untuk memimpin keluarga kecil yang diimpikannya.
"Memangnya siapa yang mau punya istri enggak perawan kaya Lo?" tanya Edward sinis, meski sebenarnya hatinya merasa kasihan dengan apa yang Mentari ucapkan. Sedangkan Mentari hanya mampu tertunduk, diiring isakan kecil dari bibirnya. Merasa apa yang diucapkan kakaknya itu memang benar, bila tidak mungkin ada yang mau menerima kekurangannya terutama suaminya nanti.
Di saat seperti ini, keduanya justru sama-sama terdiam, dengan Mentari yang masih menangis lirih tanpa mau didengar oleh kakaknya, sedangkan Edward yang merasa kian bersalah dengan apa yang baru diucapkannya. Sampai saat pikirannya justru menemukan sebuah ide gila, yang mungkin tidak akan Mentari setujui bila Edward melakukannya. Namun, semua itu demi impian adiknya dan impiannya sejak kecil. Yaitu menjadi keluarga kecil, di mana dirinya menjadi ayah sedangkan Mentari menjadi seorang ibu.
Ya, Edward berpikir bila Mentari harus ia hamili, lalu dengan begitu impian adiknya itu akan terwujud. Begitupun dengan impiannya, yang juga menginginkan Mentari menjadi istrinya. Meski Edward sebenarnya merasa ragu melakukannya, karena mungkin akan membuatnya mendapatkan banyak masalah, tapi setidaknya hanya cara itu yang mampu membuatnya terus terikat dengan Mentari.
Perlahan tapi pasti, Edward memiringkan tubuhnya untuk menatap dekat ke arah Mentari. Dengan pelan, Edward menyentuh pipi Mentari dan membelainya secara perlahan, membuat empunya meringkuk, merasa takut bila kakaknya akan melakukan tindakan bejatnya kali ini.
"Kakak mau apa?" tanya Mentari ketakutan sembari melirik ke arah jari-jari Edward yang begitu lembut membelai pipinya.
"Seperti biasanya." Edward menjawab datar, tanpa mau menghentikan tingkah lakunya.
"Kak, aku mohon. Hentikan semua ini, Kak! Mentari capek," ujar Mentari lirih diiringi tatapan memelasnya, namun Edward justru tak memperdulikannya, seolah ia sudah kebal dengan permohonan Mentari yang selalu sama.
Dengan lembut, Edward menarik tubuh Mentari agar terbaring di ranjangnya. Sedangkan tubuh Edward sudah berada di atas tubuh Mentari yang kian terisak, merasakan apa yang akan kakaknya lakukan lagi padanya sekarang.
Di saat seperti ini, Mentari hanya bisa diam tanpa mau menikmati. Karena yang Mentari rasakan hanya sakit, saat kejantanan kakaknya menembus kembali tubuhnya. Tidak ada rasa nikmat, seperti apa yang orang-orang katakan acap kali mereka bercinta dengan pasangan. Yang ada, hanya rasa sesak di dada, karena semua itu harus terjadi lagi dan lagi.
Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, kini Edward melakukannya secara perlahan seolah tidak ada lagi ketakutan di dirinya, bila Mentari akan memberontak lagi kali ini. Rasanya, Edward benar-benar menikmati permainannya sendiri, terlihat dari bibirnya yang begitu pelan dan lembut mengecup setiap jengkal leher milik adiknya. Seolah ingin membawanya ke suatu rasa nikmat, yang sayangnya tidak pernah mau Mentari nikmati.
Mata tajamnya terpejam, menikmati setiap hentakan yang ia buat ke dalam tubuh adiknya. Menikmati dinding kehangatan itu menggosok miliknya hingga serasa ingin mendapatkan puncak klimaksnya bersama dengan rintihan kenikmatan yang keluar dari bibir seksinya.
Berbeda dengan Edward yang begitu menikmati kemimpinanannya, Mentari justru merasa kesakitan di bawahnya. Rasa sakit yang Mentari rasakan, tak hanya tubuh bawahnya, namun ada hati yang terus-menerus merasa terluka dan bosan diperlakukan bak pelayan.
Semua seluruh berakhir sama. Mentari hanya bisa diam, namun bukannya Mentari mau. Tapi memang tidak ada yang bisa Mentari lakukan selain hanya dengan menerima semuanya secara terpaksa. Meskipun dengan cara melawan dan memohon, semua juga tak akan mengubah watak kakaknya yang sudah terbiasa merendahkannya.
Di sisi lain, Edward masih dengan apa yang sudah menjadi tujuannya. Yaitu menghamili Mentari, hingga saat klimaksnya tercapai, beni cintanya ia sengaja tanam di rahim adiknya, berharap dosa apa yang dilakukannya sekarang adalah hal yang membuatnya bersatu dengan gadis cantik itu.
Edward mengerang nikmat, saat pelepasannya terjadi. Tubuhnya meluruh jatuh di atas tubuh Mentari yang hanya bisa terdiam, menunggu kakaknya pergi dari tubuhnya dan melepaskannya. Dengan begitu, Mentari akan pergi dan membersihkan diri seperti biasanya.
***
Paginya, Mentari dan Edward sudah berada di dalam satu mobil. Sudah menjadi kebiasaan mereka setiap pagi, bila Edward akan mengantarkan Mentari hingga di depan kampusnya. Setelah itu, Edward akan berangkat bekerja di kantor orang tuanya.
Seperti biasanya pula, Mentari dan Edward terdiam di mobil bersama dengan suara radio sebagai penengah di antara mereka. Bukannya mereka tidak ingin bercanda tawa layaknya keluarga, layaknya saudara seperti yang lainnya. Namun, ada beberapa hal yang mungkin tidak bisa Edward jelaskan, bagaimana sikap kasarnya yang tercipta sejak awal.
Ada kalanya, Edward dan Mentari juga ingin seperti yang lainnya, namun lagi-lagi sikap keegoisan Edward benar-benar sudah menghancurkan semuanya, termasuk ikatan saudara mereka dan keakraban yang tidak akan pernah mereka ciptakan. Begitupun dengan Mentari, gadis itu bahkan tidak pernah berani berharap, bila kakaknya itu akan berubah seperti kakak-kakak yang dimiliki orang lainnya.
Di saat seperti ini, yang Mentari lakukan memang terdiam dengan sesekali menghela nafas gusarnya, seolah sudah cukup lelah dengan rutinitasnya yang selalu sama dan selalu terasa hambar. Ingin rasanya, Mentari bertanya pada angin yang berhembus di sekitarnya, tentang kapan hidupnya akan penuh warna seperti kisah teman-temannya.
Rasanya tidak mungkin.
Setidaknya hanya jawaban itu yang Mentari yakini sampai saat ini, karena tidak akan mungkin hidupnya yang terlanjur kelabu bisa berubah penuh warna. Rasanya, hanya tidak mungkin.
Di halaman kampus, mobil yang Edward Kendarai berhenti di tempat biasa, di mana ia terparkir seenaknya. Di saat seperti itu, Mentari sudah sangat paham bila ia harus segera turun dari mobil kakaknya. Sebelum kakaknya itu menyemprotnya lagi dengan kata-kata kasar, yang tentunya akan membuat sakit hatinya.
"Mentari pergi dulu, kak."
"Hm."
Seperti biasanya pula, Mentari berpamitan dengan kakak angkuhnya, yang selalu sama menjawab pamitan adiknya dengan gumamam. Membuat Mentari sudah cukup kebal dengan apa yang menimpanya selama ini, seolah sudah cukup kuat menerimanya setiap hari.
Di halaman kampus, Mentari langsung berjalan ke arah kelasnya meski waktu masuk masih dikatakan lama. Itu semua untuk menghindari tatapan lelaki lain, yang mungkin saja akan membuat kakaknya lebih marah bila tahu. Bukannya Mentari percaya diri, Mentari bersikap seperti itu karena kakaknya sering melabrak lelaki yang bahkan hanya menatap intens ke arahnya. Tentu saja, hal semacam itu sangat Mentari hindari, terlebih lagi saat bagaimana kakaknya begitu murka dan menghukumnya lagi dan lagi.
"Mentari." Suara panggilan yang Mentari yakini itu berasal dari suara lelaki, membuat gadis itu menoleh, mencari tahu siapa yang sudah memanggilnya.
"Hai," sapanya seolah ingin memperjelas sosoknya di hadapan Mentari. Sedangkan Mentari justru terdiam kaku, merasa mengingat lelaki yang kali ini tersenyum ramah ke arahnya. Lelaki yang kemarin ingin mengganggunya, dengan cara berkenalan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Mentari justru kembali berjalan seolah ingin mengacuhkan lelaki berwajah manis itu. Dan itu benar, tingkahnya itu justru membuat lelaki yang menyapanya itu merasa keheranan dengan sikapnya, terlihat dari caranya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"He, aku mau ngomong sama kamu." Lelaki itu menarik tangan Mentari, berharap gadis itu mau mempertimbangkan kehadirannya kali ini.
"Tolong jangan ganggu aku!" pinta Mentari tegas sembari memberikan tatapan memohonnya, membuat lelaki itu terdiam seolah ingin mencerna maksud dari Mentari begitu berbeda di waktu yang sama.
"Kenapa? Aku kan cuma mau berteman sama kamu." Lelaki itu menjawab tenang, membuat Mentari kian gelisah terlihat dari cara gadis itu melirikan matanya ke segala arah, seolah ingin mencari alasan dari sekitarnya.
"Lebih baik jangan!" Mentari kembali menyuarakan penolakannya, membuat lelaki yang berdiri di depannya itu menyerngit keheranan lagi dan lagi, merasa ada yang aneh dengan sosok Mentari yang angkuh tapi polos di waktu yang sama.
"Iya kenapa? Kasih tahu aku alasannya."
"Kakakku akan marah, kalau dia tahu kamu mau berteman sama aku. Lebih baik, kamu jauh-jauh dari aku ya," jawab Mentari cepat, lalu berjalan kembali berniat meninggalkan lelaki yang kemarin sempat menyapanya itu.
"Memangnya kenapa sama kakak kamu? Dia cuma kakak kan, bukan pacar?" jawabnya enteng.
"Terserah kamu aja," jawab Mentari acuh tanpa mau memperdulikan bagaimana lelaki itu mengejar langkahnya.
"Hai Mentari. Kenapa sih kamu anti banget sama cowok, kaya kamu enggak bakal nikah sama cowok aja?" tanya lelaki itu terdengar tak habis pikir, membuat Mentari terdiam dan menghentikan langkahnya.
"Memangnya kenapa kalau Mentari menolak berteman sama Lo, bangsat?" Tanpa diduga, Edward sudah datang di belakang mereka, setelah mengetahui Mentari dikejar oleh seorang lelaki. Membuat Mentari terkejut, begitupun lelaki yang mengganggu Mentari tersebut.
"Kak Edward?" panggil Mentari lirih, merasa sudah sangat gelisah bila kakaknya itu mengetahui ia sedang berdekatan dengan lelaki lain.
Part 10
Lelaki itu hanya terdiam bingung, menatap ragu ke arah Edward yang terlihat geram melihatnya. Sedangkan Mentari justru tertunduk, merasa ketakutan seperti biasanya, acap kali kakaknya akan marah.
"Lo siapa?" tanya lelaki itu keheranan, merasa aneh dengan kehadiran Edward yang tiba-tiba datang dan mencampuri urusannya dengan Mentari.
"Lo yang siapa?" tanya Edward tenang, tanpa mau mengubah tatapan tajamnya.
"Gue Leo," jawabnya tenang meski terlihat banyak pertanyaan dari wajahnya, akan sosok laki-laki yang berdiri di hadapannya sekarang.
"Mau apa Lo mendekati Mentari, hm?"
"Itu bukan urusan Lo. Memangnya siapa Lo di sini?" jawab Leo tak suka, membuat Edward tersenyum sinis mendengar jawabannya.
"Gue kakaknya Mentari. Apa itu bisa membuat Lo mau menjawab pertanyaan gue?" Leo hanya bisa terdiam, menatap heran ke arah Edward yang kenyataannya adalah kakaknya Mentari. Seperti yang tadi Mentari katakan, bila ia harus menjauhinya karena kakaknya. Mungkin sifat kakaknya otoriter ini yang membuat Mentari ketakutan bila didekati lelaki lain, meski semua terasa aneh untuk ukuran saudara.
"Gue cuma mau berteman sama dia," jawab Leo pada akhirnya sembari menunjuk ke arah Mentari dengan dagunya, membuat Edward melirik tak suka ke arah Mentari yang kian meringkuk takut.
"Dengar ya, Lo enggak usah berteman sama dia, apalagi kalau Lo sampai suka sama dia. Karena lo bakal tau, apa yang bakal menimpa Lo, kalau Lo berani mendekati Mentari lagi." Edward berujar tegas sembari menunjuk ke arah wajah Leo yang terlihat kian keheranan, merasa bingung dengan hubungan antara Mentari dan kakaknya yang terlalu over protective.
"Ayo, Mentari! Kita pulang sekarang!" Edward menarik kasar lengan Mentari, hingga empunya merasa kesakitan di pergelangan tangannya.
"Tapi, Kak. Mentari masih ada ...."
"PULANG!" sentak Edward geram, membuat Mentari tak berani melanjutkan ucapannya. Sedangkan Leo yang melihat semua itu justru semakin tak percaya dengan kelakuan Edward yang kian semena-mena ke Mentari, padahal mereka adalah kakak beradik yang tak seharusnya sampai seperti itu.
"Lo bisa enggak sih, enggak kasar sama Mentari? Katanya Lo kakaknya, tapi cara Lo terlalu kasar sama dia." Leo berujar tenang, meski terdengar tak suka dari nada suaranya.
"Ini bukan urusan Lo." Edward menjawab tegas, lalu kembali menarik lengan Mentari dan meninggalkan Leo dalam kebimbangannya.
"Kok gue malah merasa penasaran ya sama Mentari?" gumam Leo tak habis pikir, sembari menatap punggung Mentari yang kian menjauh.
"Sebenarnya gue kenapa sih? Enggak biasanya gue merasa kaya gini sama cewek. Gila nih gue," gerutu Leo frustrasi setelah sadar dengan apa yang ia rasakan saat ini. Rasa asing, yang sebenarnya belum sekalipun Leo pernah rasakan.
Rasa ketertarikan.
Mungkin kalimat itu yang bisa menggambarkan hatinya saat ini, saking anehnya perasaan yang Leo rasakan. Sampai saat pundaknya terasa ditepuk seseorang, membuat Leo tersadar dari lamunan lalu menoleh ke arah seseorang itu dengan sorot mata tanpa minat.
"Lo kenapa?" Haikal bertanya tenang, bersama dengan Firman di sampingnya.
"Enggak apa-apa." Leo menjawab malas.
"Tadi, kita melihat Lo sama Mentari dan satu cowok. Dia siapa? Kok kayanya kalian tadi sempat berdebat?" Kini Firman bertanya dengan nada penasaran, membuat Leo terdiam dengan sekilas melirik dingin ke arahnya.
"Dia kakaknya Mentari." Leo menjawab dengan nada yang sama, membuat kedua temannya saling bertatapan, sama-sama merasa heran dengan apa yang baru Leo katakan.
"Kakaknya Mentari?" tanya Haikal memastikan, yang hanya diangguki lemah oleh Leo.
"Kenapa Lo bisa punya urusan sama dia?"
"Dia enggak terima, kalau gue mendekati Mentari."
"Kenapa?" tanya Firman dan Haikal secara bersamaan.
"Mana gue tahu. Tapi, tadi gue memang sempat mau mendekati Mentari sih dan kalian tahu apa yang dia ucapkan ke gue?" jawab Leo dengan nada bertanya.
"Apa?" Lagi-lagi Firman dan Haikal menjawab secara bersamaan, merasa sama-sama penasaran.
"Gue enggak boleh mengganggu dia, karena kakaknya itu bakal marah. Gue pikir, hal itu yang membuat Mentari enggak mau berdekatan sama cowok lain, karena ada tekanan dari kakaknya sendiri."
"Cuma karena kakaknya?" tanya Haikal terdengar tak percaya.
"Iya. Kalau gue lihat, kakaknya itu terlalu otoriter banget sama Mentari. Sampai Mentari itu enggak berani menjawab perintah dia, kaya sudah terbiasa diperlakukan buruk sama kakaknya itu," jawab Leo masih terdengar ragu.
"Terus Lo mau apa sekarang? Kenapa Lo peduli banget sama Mentari, sampai mau-maunya Lo memikirkan masalah dia. Ini bukan gaya Lo, Sob." Haikal mendorong pelan dada Leo, seolah ingin menyadarkan lelaki itu akan kebiasaannya yang tak pernah peduli dengan nasib orang lain, termasuk para korban-korbannya.
"Gue enggak tahu." Leo menjawab lemah, merasa sangat setuju dengan apa yang Haikal katakan tentangnya. Karena sebelum ini, Leo adalah sosok lelaki yang acuh, bahkan tak memiliki hati untuk bersimpati. Tapi hanya dengan Mentari, Leo memiliki rasa itu.
"Jangan bilang, kalau Lo merasa tertarik lebih dalam di kehidupan Mentari." Haikal berujar serius yang diangguki setuju oleh Firman.
"Gue juga enggak tahu kalau masalah itu. Tapi yang pasti, gue enggak bisa diam begitu aja, melihat Mentari tersiksa sama kakaknya sampai kaya tadi. Gue pikir, gue harus buat hidup Mentari lebih baik lagi dari ini."
Firman dan Haikal sampai menyerngit bingung, merasa tak percaya bila lelaki yang berdiri di samping mereka itu adalah Leo. Cowok playboy cap kakap, yang sudah menaklukan hati dan harta ratusan gadis dan tante-tante binal di luaran sana. Aneh memang, bila seorang Leo yang terkenal tak mau tahu dengan apa yang orang lain rasakan, kini justru memiliki niat ingin mengubah kehidupan seorang gadis agar menjadi lebih baik lagi.
"Lo sakit, Le?" tanya Firman ragu.
"Enggak. Kenapa?"
"Tumben Lo peduli sama orang lain?"
"Gue sudah bilang kan, kalau gue enggak tahu masalah itu. Tapi yang pasti, gue cuma merasa peduli seperti apa yang Lo maksud itu, tanpa gue bisa mengerti rasa itu sendiri." Leo menjawab lugas, yang hanya diangguki paham oleh teman-temannya.
"Terus, tantangan gue yang kemarin, bagaimana?" tanya Haikal sembari menaikan salah satu alisnya, membuat Leo terdiam sembari meliriknya.
"Gue kalah di sini. Dan gue bakal bertaubat kok, karena gue sendiri juga mau memperbaiki hidup kedepannya. Mungkin enggak bisa langsung juga, tapi gue melakukannya juga harus bertahap kan?" jawab Leo yang ditatap tak percaya oleh teman-temannya, yang merasa tak yakin bila Leo begitu mudah menyerahkan diri begitu saja, padahal mereka sangat tahu betul bagaimana Leo itu begitu keras kepala dengan hidupnya yang banyak merugikan orang.
"Serius Lo?"
"Iya, gue serius kok. Kalian tenang aja, gue pasti akan berubah menjadi yang lebih baik lagi nanti. Sekarang, gue mau pulang dulu ya." Leo menepuk pelan pundak Haikal lalu berganti ke pundak Firman. Tanpa ucapan lagi, Leo berjalan menjauh, meninggalkan teman-temannya yang merasa heran dengan tingkah lakunya sekarang.
"Si Lele kobokan itu kenapa?" tanya Haikal tak percaya sekaligus heran di waktu yang sama.
"Entahlah. Tapi yang pasti, ini kabar bagus kan?" jawab Firman sembari menatap ke arah Haikal yang terdiam.
"Iya, sih."
***
Keesokannya, Leo menunggu Mentari di balik tembok kampus. Di sana, lelaki itu berniat ingin berbicara serius dengan Mentari, tentang menapa gadis itu begitu takut dengan kakaknya. Setelah lama menunggu, akhirnya Mentari datang, terlihat keluar dari sebuah mobil sport berwarna hitam, yang Leo yakini itu milik kakaknya. Tak lama, mobil yang baru Mentari tumpangi melaju keluar dari halaman kampus, meninggalkan Mentari yang hanya bisa menatap sendu ke arahnya.
Dengan perlahan, Mentari membalikan tubuhnya lalu berjalan ke arah kelasnya, ditemani dengan perasaannya yang mulai lelah dengan semua masalah yang begitu kuat membelenggunya. Entah sampai kapan hidupnya akan terasa pahit, rasanya selalu saja pertanyaan itu yang ingin sekali Mentari tahu jawabannya. Karena benar, apa yang Mentari rasakan saat ini adalah sebuah kepahitan yang tidak ada manis-manisnya.
Seperti kemarin, saat Mentari ketahuan berdekatan dengan seorang lelaki, yang sebenarnya Mentari sendiri tidak tahu siapa dia atau bahkan namanya pun tidak pernah ia dengar sebelumnya. Namun kakaknya justru memarahinya begitu hebat, dan yang terjadi selalu sama, kakaknya itu begitu brutal memakai tubuhnya untuk melampiaskan kemarahannya.
Bukan sebuah pukulan, seperti kebanyakan orang kala marah, namun justru dengan cara bercinta, kakaknya itu melampiaskan segala kemarahannya akan adiknya. Ya, kemarin Edward memang melakukannya lagi ke Mentari, menusukan senjatanya pada tubuh gadis itu seperti biasa.
Mengingat itu, rasanya Mentari semakin ketakutan seolah semua akan menggelap dan ia akan terjatuh ke sebuah jurang dalam dan tidak akan ada yang menolongnya, saking buruknya kelakuan kakaknya. begitupun saat ini, rasanya kaki Mentari melemah seolah lelah melangkah, tubuhnya lemas tak bertenaga, merasa harus berhenti untuk mengistirahatkan diri.
Di bawah pohon rindang dekat taman, Mentari mendudukkan tubuhnya di sana, sembari menikmati udara yang berembus kuat menghantam tubuhnya. Di saat seperti ini, Mentari ingin pergi ke tempat yang jauh, meninggalkan semua kisah hidupnya yang pahit, sangking lelahnya Mentari menjalani semuanya.
Dari kejauhan, Leo melihat Mentari yang terdiam dan duduk di bawah pohon rindang. Matanya menyipit, menatap teliti ke arah wajah sendu Mentari seolah ada yang membuat gadis itu gundah dan bersedih. Dengan keraguan, kaki Leo mulai melangkah ke arahnya berniat ingin menyapa.
"Mentari," panggil Leo lirih, membuat gadis itu seketika menoleh ke arahnya dengan sorot mata waspada.
"Kamu ...." Mentari membulatkan matanya kala mendapati sosok Leo lah yang justru berdiri di sampingnya, membuat Mentari refleks memundurkan tubuhnya dan menjauh dari keberadaan lelaki itu.
"Kamu yang tenang ya, aku enggak punya niat buruk kok sama kamu. Aku cuma ...."
"Jangan dekat-dekat sama aku!" pinta Mentari tegas, meski ada nada ketakutan dari suaranya.
"Kenapa? Apa semua ini karena kakak kamu?" tanya Leo pelan-pelan, dengan kata-kata yang lebih sopan, yang tidak biasanya yang selalu menggunakan kata lo-gue. Sedikit aneh memang untuk Leo rasakan, karena ia sudah terbiasa dengan sapaan kasar, meskipun dengan korban-korbannya yang lainnya. Tapi kali ini, rasanya ia hanya ingin masuk di hidup Mentari secara baik-baik dengan cara tersebut.
"Aku mohon sama kamu, jangan dekat-dekat sama aku apalagi berniat menjadi temanku."
"Kenapa?"
"Karena kamu akan celaka."
"Aku kan cuma mau berteman sama kamu. Aku enggak punya niat buruk apapun sama kamu, karena aku pikir kamu hanya butuh teman." Leo menjawab ambigu di telinga Mentari, karena ia berpikir bila sudah punya teman, lalu kenapa ia harus butuh teman lagi.
"Aku sudah punya teman, namanya Ela." Mentari menjawab dengan nada tak habis pikir.
"Maksudku, teman untuk berbagi segala kisah hidup kamu, yang membuat kamu merasa terbebani sampai saat ini." Mendengar itu, Mentari justru terdiam, merasa tersinggung sekaligus terhina di waktu yang sama. Ya, memang Mentari mengakui, bila ia tak memiliki teman untuk berbagi kisahnya yang gelap, Mentari juga tidak memungkiri bila selama ini ia bertahan sendiri tanpa penyemangat seseorang pun dalam hidupnya, termasuk Ela. Karena sahabat baiknya itu tidak pernah tahu kisahnya, kisah hidupnya yang memiliki kegelapan hampir seluruhnya.
"Aku tahu, kamu pasti tersiksa dengan semua ini kan? Kamu merasa terbebani, karena kamu tidak pernah berbagi selama ini. Kamu menyimpan lukamu sendiri, masalahmu sendiri, sampai kamu enggak pernah sadar, bila nantinya kamu juga punya lelah." Leo berujar lirih, yang hanya ditanggapi kediaman oleh Mentari.
"Sebelum kamu lelah, boleh enggak aku menjadi penyemangat hidup kamu? Tempat kamu berbagi segalanya? Luka, duka, dan suka, semuanya asal kamu merasa lebih baik bila menceritakannya. Aku cuma enggak mau, kalau nanti kamu lelah, kamu justru memilih jalan buruk yang mungkin kamu pikir itu akan lebih baik." Leo kembali melanjutkan ucapannya, yang kali ini membuat Mentari menatap dingin ke arahnya.
"Sok tahu kamu," elaknya pelan dengan kembali menundukan wajahnya, merasa apa yang Leo katakan itu memang ada benarnya. Ada kalanya juga, Mentari ingin berbagi namun tidak bisa ia lakukan saking luka itu begitu membuatnya takut bila ada yang mengetahuinya termasuk Ela, sahabat baiknya sendiri.
Sedangkan Leo justru terdiam, merasa asing dengan dirinya sendiri, karena bisa berbicara sedewasa itu. Berbeda dengan dirinya yang kemarin-kemarin, yang masih menyepelekan segalanya termasuk hati wanita. Namun hanya dengan Mentari, Leo seolah mampu membawa dirinya dalam kebaikan, entah itu apa. Tapi setidaknya, yang Leo rasakan saat ini adalah ketenangan sekaligus rasa harap, agar Mentari mau menjadi temannya dan sedikit berbagi kisah hidupnya, yang sangat Leo yakini bila Mentari tak pernah bahagia selama ini.
"Maaf, kalau aku sok tahu." Leo menjawab lirih, sembari menatap tulus ke arah Mentari yang ingin menangis entah karena apa. Tapi yang pasti, hatinya terasa sesak, terasa ingin dilegakan dengan air mata.
"Tapi aku boleh kan berteman sama kamu?" ujar Leo lagi sembari menjulurkan tangan kanannya ke arah Mentari, yang saat ini secara perlahan mendongak lalu menatap ke arah tangan kosong lelaki itu.
"Aku Leo, kamu Mentari kan?" Sempat merasa bimbang dan terdiam, namun pada akhirnya Mentari mengangguk pelan, seolah ingin menyetujui ucapan Leo kali ini. Dengan perlahan, Mentari mengangkat tangannya lalu menyambut tangan itu begitu singkat.
"Iya, aku Mentari." Melihat tanggapan baik Mentari itu, Leo langsung tersenyum, merasa bahagia dan lega di waktu yang sama.
"Mulai sekarang, aku boleh kan berteman sama kamu?" tanya Leo memastikan.
"Boleh. Tapi jangan menyapaku, saat ada kakakku ya? Karena aku enggak mau, kakakku nanti marah dan menghajarmu." Mentari menjawab lirih, membuat Leo sempat terdiam memikirkan kakak Mentari yang entah kenapa begitu kejam hingga membuat gadis itu begitu tak berani membantah perintahnya.
"Oke. Terima kasih ya."
"Iya. Tapi, aku harus ke kelas dulu, sebentar lagi aku ada jam pelajaran." Mentari menjawab cepat dan kaku sembari menunjuk ke arah kelasnya. Sedangkan Leo hanya tersenyum, lalu mengangguk setuju.
"Oke, kapan-kapan kita ngobrol ya?" jawab Leo yang diangguki kaku oleh Mentari.
"Aku pergi dulu ya," pamit Mentari lagi yang kali ini hanya diangguki oleh Leo.
"Aduh, gue tadi kelihatan ganteng enggak ya di depan Mentari? Kok gue jadi deg-degan begini?" gumam Leo frustrasi, merasa tak habis pikir dengan dirinya sendiri yang begitu bersikap lain hanya karena sedang berbicara dengan seorang Mentari.
"Lebih baik gue ke anak-anak," gumam Leo acuh, mencoba untuk tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi pada perasaannya yang aneh.
Part 11
Di kantin, Mentari dan Ela duduk di bangku pojok bersama dengan makanan mereka yang tengah disantap. Dari kejauhan, Leo dan kedua temannya berjalan, berniat ingin mengisi perut mereka yang keroncongan. Namun Leo justru menghentikan langkahnya, kala matanya baru menangkap sosok Mentari yang tengah mengobrol bersama dengan temannya. Membuatnya segera menghampiri gadis itu, berniat ingin menyapanya.
"Kita ke bangkunya Mentari ya?" ujar Leo sembari menunjuk ke arah bangku yang diduduki Mentari.
"Lo masih mau melanjutkan tantangan gue?" tanya Haikal tak percaya.
"Enggak kok. Gue sangat mengakui, kalau gue kalah dari tantangan Lo. Dan mulai sekarang, gue juga sudah berusaha mengubah diri menjadi yang lebih baik lagi, oke." Leo menjawab santai.
"Terus?" tanya Haikal tak percaya.
"Ya terus gue mau mendekati Mentari. Bukan karena tantangan lo, tapi karena gue memang suka sama dia." Leo menjawab bersemangat sembari menyengir kuda ke arah teman-temannya yang merasa heran dengan tingkah lakunya.
"Lo serius?" tanya Haikal dan Firman secara bersamaan, merasa takjub sekaligus tak percaya di waktu yang sama.
"Iya lah. Kenapa sih?" Leo menjawab heran, tepatnya merasa malas dengan sikap teman-temannya yang berlebihan.
"Gue cuma kaget aja sih, dengan perubahan Lo ini. Menurut gue, Lo terlalu cepat berubah." Haikal menjawab tak yakin, yang diangguki setuju oleh Firman.
"Gue setuju itu. Menurut gue juga, Lo itu terlalu cepat berubah. Apa semua itu karena Mentari?" tanya Firman memastikan.
"Mungkin," jawab Leo sembari tersenyum penuh arti, membuat teman-temannya menyerngit keheranan dengan jawabannya.
"Lo yang serius dong! Gue enggak mau ya, kalau Lo mendekati Mentari itu cuma karena Lo mau memanfaatkan dia. Mungkin gue enggak terlalu dekat sama dia, tapi gue yakin kalau Mentari itu cewek baik, jadi gue enggak akan pernah setuju kalau Lo mau buat dia jadi korban Lo yang selanjutnya." Haikal berujar serius, begitupun dengan Firman yang berdiri di sampingnya.
"Sama. Gue juga enggak setuju, kalau Lo mendekati Mentari cuma karena Lo mau buat dia sakit hati. Mentari itu cewek baik, Sob. Meskipun sikap dia terlalu anti cowok, tapi bukan berarti Lo bisa menjadikan Mentari bahan tantangan buat menaklukan hati dia. Gue enggak akan pernah setuju, atau kalau perlu gue akan menentang hal itu," timpal Firman yang lagi-lagi membuat Leo merasa lelah dengan sikap teman-temannya yang berlebihan, yang selalu saja berpikir buruk tentangnya. Padahal, Leo tak pernah memiliki niat buruk sedikitpun kepada Mentari, tapi teman-temannya itu berbicara seolah Leo masih pada tabiatnya yang playboy.
"Kalian itu enggak pernah apa ya percaya sama gue sedikit aja? Padahal baru kemarin, gue bilang ke kalian kalau gue bakal berubah. Seperti pada janji gue sama Lo, Kal. Gue akan berusaha mencari kerja yang halal, tanpa gue harus merugikan orang lain seperti pada kebiasaan gue yang suka meloroti harta cewek-cewek yang gue manfaatkan. Paham kan kalian?" Leo menjawab kesal, merasa malas dengan teman-temannya yang selalu meragukannya, meski Leo sudah sangat berusaha untuk berubah kali ini.
"Ya kita cuma enggak yakin aja sama Lo. Dengan mudahnya Lo berubah hanya karena Mentari, padahal sejak dulu gue sama Firman itu sudah kaya orang bego ceramahin Lo sampai berbusa-busa supaya Lo mau berubah ke jalan yang benar. Tapi hasilnya selalu nihil, Lo tetap pada kebiasaan Lo yang selalu merugikan orang lain." Haikal menjawab jujur, membuat Leo terdiam kala mendengarnya.
"Gue minta maaf sama kalian. Kalau sikap gue selama ini terlalu kekanak-kanakan, sampai kalian harus repot-repot menceramahi gue setiap hari tanpa lelah, supaya gue bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Gue juga mau berterima kasih sama kalian, karena kalian selalu ada buat gue, menjadi teman gue di keadaan apapun. Tapi, ucapan gue tentang yang mau berubah itu adalah sebuah kejujuran. Gue memang akan berubah, bukan untuk Mentari. Tapi gue berubah karena Mentari, dia cewek satu-satunya yang membuat gue berpikir kalau gue harus menjadi pribadi baik, kalau gue mau pantas buat dia." Leo berujar panjang lebar sembari menatap ke arah Mentari yang masih asyik dengan acara makannya. Sedangkan Haikal dan Firman lagi-lagi dibuat tak percaya, dengan apa yang baru Leo katakan. Sebuah pernyataan penuh arti, namun sangat susah untuk mereka percayai. Seolah apa yang Leo katakan itu adalah impian mereka yang tak pernah terwujud, namun sekarang justru terjadi tanpa terduga.
"Gue boleh tepuk tangan enggak sih?" Haikal berujar kaku, begitupun dengan Firman yang tidak henti-hentinya menatap takjub ke arah Leo.
"Boleh-boleh. Silahkan!" jawab Leo tanpa mau mengalihkan tatapannya dari Mentari.
Dan benar, setelah mendengar jawaban Leo itu, Haikal bertepuk tangan sembari menggelengkan kepalanya secara perlahan, dengan menatap takjub ke arah Leo.
"Gila. Sepanjang sejarah kita berteman, baru kali ini gue mendengar Lo berbicara tapi ada maknanya." Haikal berujar takjub lalu menghentikan tepuk tangannya kala Leo melengos ke arahnya dengan tatapan keheranannya.
"Maksud Lo, selama ini gue ngomong itu enggak pernah ada maknanya sama sekali, begitu?" tanya Leo tak percaya, bila temannya itu begitu tega mengatakan hal itu padanya.
"Iya. Memangnya kenapa?" tanya Haikal polos.
"Ya Lo jagalah perasaan gue! Setidaknya Lo jangan jujur-jujur banget tentang gue." Leo menjawab dramatis, membuat Hildan maupun Firman tersenyum hambar mendengarnya.
"Terserah Lo, Kutil ayam." Haikal menjawab malas sembari melengos ke arah lain, membuat Leo menyengir melihatnya. Sampai saat tatapannya jatuh kembali pada sosok Mentari yang nyatanya baru selesai makan dan sekarang gadis itu mendirikan tubuhnya, berniat ingin pergi dari sana. Membuat mata Leo melotot tak percaya, merasa harus segera menyusul langkah Mentari berniat ingin menyapanya.
"Mentari sudah selesai makan. Gara-gara kalian nih, gue jadi enggak bisa makan bareng sama Mentari," gerutu Leo kesal lalu berjalan ke arah Mentari, meninggalkan Haikal dan Firman dalam keheranannya.
"Bukannya dia yang tadi banyak ngomongnya?" tanya Haikal ke arah Firman.
"Iya. Tadi kan si Leo sendiri yang ngomongnya panjang banget, sudah kaya kereta api lagi jalan." Firman menjawab setuju, sembari menatap heran ke arah punggung Leo yang hampir mendekati Mentari.
"Memang sudah gila itu anak," jawab Haikal.
"Lah, bukannya Leo itu memang radak gila ya dari dulu?"
"Oh iya. Gue lupa," jawab Haikal sembari menggelengkan kepalanya, merasa tak percaya bila ia sudah melupakan tabiat buruk temannya yang satu itu.
Di sisi lain, Leo tiba-tiba menarik tangan Mentari tanpa permisi. Membuat empunya seketika kaget, merasakan tangannya digenggam seseorang secara tiba-tiba. Dengan cepat, Mentari menoleh ke arah seseorang itu, yang nyatanya ada Leo yang tengah menyengir begitu manis, hingga membuat Ela yang melihatnya seketika terpesona.
"Hai, Mentari." Leo menyapa hangat sembari mengedarkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Sedangkan Mentari hanya terdiam dan menghembuskan napas gusarnya lalu melepaskan tangan Leo dari lengannya.
"Jangan kaya begini, aku enggak suka," ujar Mentari yang membuat Leo cemberut mendengarnya.
"Masa sekali aja enggak boleh?" Belum Mentari menjawab, suara Ela kini terdengar, membuat Mentari menghentikan ucapannya.
"Kok aku enggak disapa?" tanya Ela terdengar sendu, membuat Leo yang yang mendengarnya itu seketika tersenyum canggung sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Memangnya nama kamu siapa ya?" tanya Leo kaku, merasa tidak enak hati dengan temannya Mentari itu.
"Masa kamu lupa sama nama aku?" tanya Ela terdengar tak percaya, merasa kecewa dengan Leo yang begitu mudahnya melupakan namanya. Padahal baru kemarin, Ela memperkenalkan dirinya pada lelaki itu.
"Maaf. Tapi aku memang benar-benar lupa." Leo kembali menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sedangkan Ela kian cemberut mendengar jawaban jujur dari bibir Leo.
"Namaku kan Ela," jawabnya terdengar kesal.
"Oh Ela? Hai Ela." Leo mencoba menyapa gadis itu, yang justru ditanggapi ekspresi tak suka olehnya.
"Telat," jawabnya dengan nada yang sama.
"Eh, iya. Maaf." Leo menjawab canggung, andai saja hal itu terjadi bukan di depan Mentari, mungkin Leo akan bersikap acuh pada gadis semacam Ela.
"Hm," jawabnya tak suka sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
"Ela. Aku boleh enggak mengajak Mentari sebentar?" tanya Leo yang seketika membuat Ela maupun Mentari menoleh, menatap bingung ke arahnya.
"Ke mana?" tanya mereka secara bersamaan.
"Di taman."
"Ngapain?" tanya Ela curiga, terlihat dari matanya yang menyipit tak suka.
"Cuma menemani aku makan aja kok," jawab Leo jujur, sedangkan Mentari hanya terdiam, bingung harus menjawab apa sekarang.
"Itu sih terserah sama Mentari, mau apa enggak?" ujar Ela terdengar bijak.
"Enggak, Ela. Kan sebentar lagi aku akan pulang, jadi aku enggak akan ikut dia pergi," sahut Mentari yang seketika membuat Leo menyerngit tak suka mendengar penolakannya.
"Kamu harus ikut aku," ujar Leo tiba-tiba dengan menarik paksa tangan Mentari, membuat empunya sempat tersentak karena ulahnya.
"Kok kamu malah maksa aku?" tanya Mentari tak terima dengan berusaha menarik tangannya dari rengkuhan Leo yang mulai berjalan ke arah salah satu pedagang kantin.
"Bu. Baksonya dua mangkok ya," teriak Leo ke arah pedagang bakso yang hanya mengacungkan jempolnya untuk menjawab pesanan Leo.
"Dibawa ke taman ya, Bu! Tenang, nanti ada ongkirnya kok." Leo kembali berteriak yang lagi-lagi diacungi jempol oleh pedagang bakso tersebut.
"Hei, kamu dengar enggak sih, kalau aku itu enggak mau ikut sama kamu." Mentari kembali berujar yang justru ditanggapi acuh oleh Leo yang sudah terbiasa bersikap seenaknya.
"Mentari, kamu jadi ikut sama dia?" teriak Ela ragu ke arah Mentari yang menggeleng lemah, sedangkan lengannya terus saja Leo tarik untuk terus mengikuti langkahnya.
"Enggak ...."
"Sudah. Kamu ikut aja. Aku enggak Bakan ngapa-ngapain kamu kok. Aku, cuma menyuruh kamu menemani aku makan di taman." Leo menyahut seenaknya, membuat Mentari geram meski tak banyak yang bisa ia lakukan.
***
Di bawah pohon, Mentari dan Leo duduk di sebuah bangku, di mana ada meja sebatas dada mereka di depannya. Berbeda dengan Mentari yang terus saja terdiam, Leo justru begitu asyik dengan makanannya yang baru saja diantar oleh pedagangnya. Ekspresi mereka sangat berbanding terbalik, seperti Mentari yang begitu kurang nyaman berada di sana dan Leo yang begitu lahap makan baksonya tanpa memperdulikan orang-orang di sekitarnya.
Melihat Mentari tak kunjung menyantap baksonya, Leo seketika menghentikan aktivitas memakannya lalu menatap heran ke arah Mentari yang terus saja menoleh ke arah lain, seolah tengah merasa waspada entah karena apa. Membuat Leo penasaran, bila tidak segera menanyakan kondisi Mentari kali ini.
"Kamu kenapa? Kok baksonya enggak dimakan?" tanya Leo yang ditatap polos oleh Mentari.
"Aku sudah kenyang kok," jawab Mentari seadanya, yang tak membuat Leo percaya dengan jawabannya.
"Tapi kenapa kamu kelihatan waspada? Memangnya kamu sedang mengkhawatirkan siapa?"
"Aku takut ada kakakku di sekitar sini," jawab Mentari sendu sembari tertunduk lesu. Sedangkan Leo hanya terdiam, merasa tak habis pikir dengan wanita yang duduk di sampingnya itu. Yang begitu takutnya, hingga dia sangat waspada dengan keadaan di sekitarnya.
"Segitu takutnya ya kamu sama kakak kamu itu? Sampai kamu selalu ketakutan setiap dekat dengan lelaki lain, kamu takut bila kakak kamu tahu hal itu? Padahal, kakak kamu juga enggak kuliah di sini kan? Dan dilihat dari penampilannya kemarin, sepertinya kakak kamu sudah bekerja. Lalu, apa yang kamu takutkan seperti saat ini?" tanya Leo tak habis pikir, membuat Mentari terdiam, merasa ia sendiri tidak tahu dengan apa yang ia rasakan itu. Karena yang ia tahu, kakaknya akan marah bila mengetahui ia tengah bersama lelaki lain. Itu lah kenapa selama ini Mentari terus saja menghindari lelaki yang mau dekat dengannya, karena Mentari hanya tidak ingin disiksa lagi oleh kakaknya.
"Aku enggak bisa cerita tentang apa yang menjadi alasanku bersikap sebegitu takutnya sampai seperti ini," jawab Mentari seadanya, merasa harus menyembunyikan hal itu karena ia pikir orang akan menilai dirinya aneh bila mengatakan yang sebenarnya.
"Oke, aku mencoba mengerti posisi kamu. Tapi kamu juga harus berpikir realistis, kalau kakak kamu juga enggak mungkin setiap waktu bisa memantau kamu. Jadi, berusahalah untuk tenang, terutama saat sama aku, oke?" ujar Leo dengan kembali memakan baksonya, sedangkan Mentari hanya terdiam menatap Leo dengan sorot mata putus asa.
"Oh iya, kamu kan sudah kenyang ya? Berarti bakso ini boleh aku makan kan?" ujar Leo diiringi cengiran manisnya sembari menyentuh mangkok yang masih terisi bakso penuh tanpa tersentuh isinya.
"Makan aja! Aku sudah kenyang kok," jawab Mentari seadanya.
"Maaf ya, aku pikir tadi mau membelikan kamu bakso. Tapi ternyata, aku aja masih kurang." Leo menarik mangkok bakso tersebut lalu melahap isinya. Sedangkan Mentari hanya tersenyum tipis, merasa maklum dengan kelakuan Leo kali ini.
"Soalnya tadi malam aku enggak makan, tadi pagi juga aku enggak sarapan," ujar Leo lagi dengan masih fokus pada makanannya.
"Kenapa enggak makan malam dan sarapan pagi?" tanya Mentari keheranan.
"Soalnya aku malas masak."
"Memangnya kamu enggak ada yang masakin ya? Kenapa kamu harus masak sendiri?" Mendengar pertanyaan Mentari itu, Leo justru terdiam dan menghentikan aktivitas makannya. Ekspresinya terlihat sendu, seolah apa yang baru Mentari tanyakan itu adalah hal sepele namun mampu membuat hati Leo terasa nyeri dan sakit.
"Iya ...." Leo menjawab lesu, membuat Mentari keheranan dengan perubahan sikap lelaki itu.
"Selama ini, aku memang enggak ada yang masakin. Karena sejak kecil, aku sudah terbiasa hidup sendiri." Leo kembali melanjutkan ucapannya dengan nada yang begitu menyayat perasaannya.
"Hidup sendiri? Memangnya orang tua kamu di mana?" tanya Mentari yang kali ini terdengar lebih lirih, seolah ingin menjaga perasaan lelaki itu.
"Aku enggak tahu, orang tua aku di mana selama ini. Yang aku ingat, dulu aku anak panti asuhan. Aku pergi dari panti asuhan, itu karena aku mau mencari orang tua aku. Tapi, aku enggak pernah bisa menemukan mereka." Leo menerawang masa-masa kelam di hidupnya, membuat Mentari bungkam, merasa tak percaya dengan kisah hidup lelaki itu.
"Mungkin, karena aku masih kecil, jadi aku berpikir bisa menemukan orang tua aku di luar panti asuhan. Tapi kenyataannya enggak bisa, aku malah terlantar di jalanan. Sampai saat aku ditemukan keluarganya Haikal dan Firman, orang tua mereka merawatku dan menyekolahkan aku sampai SMP. Dan setelah itu, aku memutuskan untuk hidup mandiri dan mencari uang sendiri untuk biaya sekolahku. Itu lah kenapa sekarang aku tinggal sendiri di apartemen tanpa keluarga, jadi kamu paham kan sekarang, kenapa aku enggak ada yang masakin?" ujar Leo sembari tersenyum, yang sangat bisa Mentari baca bila senyum lelaki itu terlihat begitu palsu. Karena seperti ada luka yang sedang Leo tahan, yang begitu rapat disembunyikan.
"Maaf, kalau aku justru mengingatkan kamu sama masa-masa kelam kamu." Mentari menjawab lirih, membuat Leo menggeleng lemah, seolah tidak menyetujui ucapan gadis cantik itu.
"Enggak lah. Bagi aku, masa-masa kelam itu adalah kenangan yang bahkan hampir setiap hari aku ingat. Jadi, tanpa kamu membicarakannya pun, aku akan tetap mengingatnya." Leo berujar lirih yang lagi-lagi sembari tersenyum tipis. Sedangkan Mentari hanya terdiam, merasa tidak bisa berbicara apa-apa lagi sekarang, sangking tidak inginnya ia membuat hati Leo kian terluka.
Part 12
Di dalam kelas, Leo tak henti-hentinya tersenyum, acap kali otaknya membayangkan bagaimana pertemanannya dengan Mentari selama ini. Yang banyak di antara kisah mereka berdua, membuat Leo berbunga-bunga kala mengingatnya. Sudah cukup lama, Leo dan Mentari berteman dan banyak pula hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa dan bahagia, membuat Leo merasa tak bisa melupakannya, hingga ia menyadari bila hatinya telah berhasil dicuri.
Siapa lagi kalau bukan dengan Mentari? Gadis cantik dengan tubuh berisi dan tinggi. Siapa yang tidak akan tergoda dengannya, terlebih lagi saat melihat senyum manisnya yang tak banyak diketahui semua orang. Dan Leo cukup bangga akan hal itu, karena kepiawaiannya menggoda itu terkadang mampu membuat Mentari tersenyum dan bahkan tertawa indah di hadapannya. Sampai Leo sendiri merasa tak percaya, bila Mentari itu akan terlihat semakin cantik dua kali lipat saat bibirnya merekah indah karena tawa.
Dari kejauhan, Firman dan Haikal tengah berdiri di ambang pintu, merasa ragu dengan kesehatan otak Leo kala melihat teman dekat mereka itu tersenyum tanpa sebab di bangkunya. Sedangkan posisi Leo saat ini hanya sendiri tanpa teman, setelah jam kelasnya selesai beberapa menit yang lalu.
"Itu anak kenapa sih? Senyum-senyum sendiri." Firman menepuk pundak Haikal, membuat empunya menoleh dengan tatapan bertanya.
"Kaya Lo enggak tahu kebiasaan dia aja," jawab Haikal malas.
"Maksud Lo?"
"Leo kan memang radak gila," jawab Haikal dengan nada yang sama.
"Segila-gilanya Leo, dia enggak pernah itu tersenyum kaya orang bahagia banget. Masa Lo enggak bisa lihat perbedaannya? Padahal dari wajah Leo sekarang aja sudah kelihatan banget, kalau dia itu sedang bahagia, kaya ada sesuatu hal yang membuat dia tertarik untuk terus tersenyum." Firman berujar serius sembari menatap ke arah Leo yang masih dengan tingkah lakunya. Sedangkan Haikal justru memutar bola matanya, merasa sangat malas dengan hal apa yang tengah Firman ucapkan.
"Gue enggak peduli, oke?" Haikal menjawab malas lalu berjalan ke arah Leo, diikuti dengan Firman yang tersenyum hambar mendengar ucapan Haikal kali ini.
"Terserah Lo deh," jawab Firman seadanya bersama dengan kakinya yang mulai melangkah.
"Le," panggil Haikal sembari duduk di bangku yang tempatnya tidak jauh dari keberadaan Leo.
"Hm, apaan?" tanya Leo malas setelah aksi melamunnya diganggu oleh kedua temannya itu.
"Lo kenapa senyum-senyum sendiri? Gila Lo?" tanya Haikal terdengar tak habis pikir, begitupun dengan Firman yang turut merasa ingin tahu juga jawabannya.
"Iya, gue juga mau tanya itu. Kenapa Lo senyum-senyum sendiri? Jangan bilang kalau itu semua karena Mentari!" timpal Firman yang kali ini membuat Leo menyengir sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Kelihatan banget ya?" jawab Leo sok malu-malu, yang justru ditanggapi tatapan malas oleh kedua temannya.
"Banget," jawab Firman dan Haikal secara bersamaan.
"Iya kalian pikir sendiri lah. Bagaimana gue enggak senyum-senyum sendiri kaya orang gila kaya gini, setelah gue bisa dekat dengan Mentari?" ujar Leo terdengar bertanya, menuntut jawaban teman-temannya yang bingung dengan ucapannya.
"Maksud Lo?"
"Maksud gue, gue merasa beruntung aja bisa menjadi sosok yang dekat dengan Mentari. Karena kenapa? Karena gue bisa merasakan perasaan ini, perasaan aneh yang sangat gue yakini itu adalah perasaan cinta." Leo menjawab dramatis membuat teman-temannya lagi-lagi merasa tak percaya dengan apa yang baru mereka dengar dari bibir Leo kali ini.
"Oke, Lo cinta sama Mentari. Terus apa istimewanya buat playboy cak kakap kaya Lo?" Haikal menyahut tak suka, yang diangguki setuju oleh Firman.
"Jelas lah perasaan ini sangat istimewa. Karena untuk pertama kalinya, seorang Leo akhirnya menemukan cinta pertamanya, setelah ...." Belum sempat Leo melanjutkan kalimatnya, kini suara Haikal datang menyela.
"Setelah menjelajahi dan menjajah banyak wanita?" sahut Haikal cepat, membuat Firman tertawa melihat tingkah laku teman-temannya itu yang mungkin sebentar lagi akan kembali berdebat seperti biasanya. Sedangkan Leo justru terdiam, sembari menatap kesal ke arah Haikal.
"Lo bisa enggak sih, enggak bawa-bawa masa lalu gue? Gue kan sudah bertaubat." Leo membela keras, sedangkan Haikal dan Firman justru terdiam sembari menatap datar ke arah Leo.
"Kenapa muka kalian kaya begitu?" tanya Leo tak habis pikir.
"Lo bilang, kalau Lo sudah bertaubat? Terus apa yang kita lihat kemarin?" Haikal bertanya sinis, membuat Leo terdiam untuk memikirkannya.
"Memangnya apa?"
"Lo dijemput emak-emak? Lagi?" Haikal dan Firman menjawab secara bersamaan, membuat Leo yang tadinya masih bingung berpikir itu seketika menyengir sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Oh yang itu. Ceritanya sih, gue dihubungi sama Tante Reta, katanya sih gue cuma disuruh menemani dia jalan-jalan. Terus gue dapat uang lima juta dari dia sebagai imbalannya," jawab Leo sejujurnya yang lagi-lagi ditatap datar oleh kedua temannya.
"Bagaimana Lo mau bertaubat, kalau Lo aja masih tergiur sama dunia asli Lo?" Haikal berujar sinis.
"Itu cuma sekali kok. Dan lagi, uangnya mau gue pakai buat mengajak Mentari hari Minggu nanti dan gue bakal bahagiakan dia," bela Leo yang kali ini ditanggapi keheranan oleh teman-temannya.
"Lo enggak berniat menyatakan perasaan Lo ke Mentari kan?" tebak Firman ragu, yang kali ini justru ditatap bingung oleh Haikal yang merasa tak percaya dengan pemikiran Firman tersebut.
"Lo itu memang selalu pintar membaca situasi ya, Fir? Salut gue sama Lo," jawab Leo yang nyatanya mampu membuat Haikal dan Firman melongo mendengar pengakuannya.
"Serius Lo?" Leo hanya mengangguk mantap, saat Haikal dan Firman menanyakan keseriusannya.
"Lo kenal Mentari itu cuma beberapa Minggu sih? Dan sekarang Lo sudah mau menyatakan perasaan Lo ke dia? Apa kegilaan Lo sekarang semakin meluas di otak Lo?" tanya Haikal tak percaya.
"Lebay Lo. Gue sudah biasa nembak banyak cewek sehari setelah gue kenal sama mereka. Tapi hasilnya, gue selalu diterima tuh." Leo menjawab bangga.
"Tapi jangan Lo samakan sama Mentari lah. Dia itu bukan cabe-cabean seperti para cewek yang Lo manfaatkan selama ini." Haikal menjawab lelah.
"Terserah deh kalian mau bilang apa. Tapi yang pasti, gue enggak pernah sekalipun berpikir kalau Mentari itu seperti cewek yang sering gue manfaatkan." Leo berujar serius yang hanya ditatap oleh teman-temannya.
"Keputusan gue juga sudah bulat, kalau gue bakal menyatakan perasaan gue ke Mentari. Dan gue sangat yakin, kalau gue bakal diterima," lanjut Leo sembari mendirikan tubuhnya lalu mengambil tasnya yang berada di atas mejanya.
"Kenapa Lo bisa seyakin ini?" Mendengar pertanyaan Haikal itu, Leo menghentikan aktivitasnya lalu menatap lelah ke arah teman baiknya itu.
"Karena Mentari mau menerima gue apa adanya. Dia enggak pernah mempermasalahkan hidup gue yang cuma anak yatim piatu enggak jelas," jawab Leo seadanya.
"Kita juga enggak pernah mempermasalahkan hidup lo yang itu, karena kita teman kan? Sama, Mentari juga memperlakukan Lo itu kaya teman, seperti apa yang sering kita lakukan ke Lo." Firman menyahut serius.
"Maksud Lo apa?"
"Maksud gue, Lo jangan terlalu menyepelekan sesuatu. Apalagi ini soal Mentari, dia cewek baik. Kita cuma enggak mau, kalau Lo salah mengartikan perasaan Lo sendiri. Di saat Lo sudah mendapatkan Mentari, Lo justru membuang dia setelah ada sesuatu hal yang membuat Lo bosan."
"Gue enggak kaya gitu."
"Tapi faktanya Lo kaya gitu ke semua cewek."
"Tapi, kalau sama Mentari, gue beda. Gue memang suka sama dia dengan hati gue, bukan nafsu apalagi harta. Kenapa sih, kalian selalu enggak pernah percaya sama gue kalau sudah masalah Mentari? Heran gue," jawab Leo tak habis pikir. Sedangkan Firman dan Haikal hanya terdiam sembari menatap satu sama lain, seolah ingin menimbang-nimbang ucapan Leo yang sepertinya mengatakan kejujuran.
"Iya sudah. Kita percaya kok sama Lo. Tapi, kalau Lo memperlakukan Mentari seperti cewek yang lainnya, gue dan Haikal akan menjadi orang pertama yang bakal menghajar Lo." Firman berujar serius, yang diangguki setuju oleh Haikal.
"Iya-iya." Leo menjawab malas.
***
Di ruang tamu, Mentari berjalan begitu saja setelah pulang dari kuliah. Namun langkah kakinya terhenti, kala matanya mendapati sosok kakaknya tengah terlelap di atas sofa. Membuat Mentari keheranan, karena tidak biasanya kakaknya itu beristirahat di sana, sedangkan tubuhnya masih memakai setelan jas kerja. Apalagi di jam siang seperti saat ini, di mana kakaknya masih bekerja di kantor orang tua mereka.
Dengan sangat perlahan, Mentari kembali berjalan yang kali ini menuju ke arah tubuh kakaknya. Matanya menatap khawatir ke arah wajah Edward yang memucat, membuat Mentari kebingungan harus bagaimana sekarang. Karena ia sendiri sangat yakin, bila kakaknya itu sedang tidak baik-baik saja kali ini.
"Kak," panggil Mentari pelan sembari membungkukkan tubuhnya di hadapan Edward untuk menyamai posisi lelaki itu.
"Kak Edward kenapa?" tanya Mentari lagi, sedangkan Edward masih mempertahankan pejaman matanya seolah apa yang Mentari lakukan tak mampu membuatnya tersadar.
"Kak Edward." Mentari menepuk pipi kakaknya itu secara perlahan, membuat empunya mengerjapkan matanya, mencoba menyadarkan tubuhnya.
"Kak Edward kok sudah pulang? Kak Edward lagi sakit ya?" Mentari bertanya lirih sembari berharap dalam hati agar Edward tak memarahinya atas kelancangan yang ia buat sekarang.
"Mentari?" gumam Edward lemah, yang langsung diangguki oleh Mentari sendiri.
"Iya, kak. Ini aku Mentari. Kak Edward lagi sakit ya? Wajah kakak kelihatan pucat banget," jawab Mentari dengan nada yang sama.
"Sini kamu!" pinta Edward lemah sembari menjulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Mentari.
"Ke mana kak?" tanyanya keheranan.
"Di sebelah gue!" Edward kembali berujar lemah, yang dituruti oleh Mentari yang langsung duduk di sebelah tubuh kakaknya.
"Kepala gue pusing banget," ujar Edward dengan menyenderkan kepalanya di pundak Mentari secara tiba-tiba. Membuat Mentari sempat terkejut dengan apa yang Edward lakukan kali ini, terlebih lagi karena hal itu tidak biasanya dilakukan kakaknya yang sering bertingkah angkuh.
"Kok bisa, Kak?" Setidaknya hanya itu yang mampu Mentari tanyakan, tanpa bisa berpikir lagi untuk menanggapi ucapan kakaknya tersebut.
"Di kantor, pekerjaannya banyak banget." Edward menjawab lirih sembari merengkuh tubuh Mentari yang kian kaku karena ulahnya.
"Kak Edward ... mau aku masakin apa?" tanya Mentari kaku sembari menelan salivanya dengan sangat susah payah.
"Enggak usah," jawabnya.
"Kenapa Kak?" Mentari melirik ke arah kanannya diiringi ringisan tak nyaman dari bibirnya.
"Gue enggak lapar. Lo di sini aja ya, jangan ke mana-mana!" pinta Edward terdengar kian nyeleneh dari biasanya. Terlebih lagi kali ini wajahnya kian menelusup masuk di leher Mentari, membuat empunya kian merasa tak nyaman dengan posisi mereka sekarang.
"Kak Edward kok aneh? Ada apa?" Cukup merasa penasaran, akhirnya Mentari memberanikan diri untuk bertanya meski pejaman ketakutan matanya tak hentinya ia lakukan.
"Enggak usah banyak tanya bisa kan? Kepala gue pusing banget nih," jawab Edward terdengar tak suka, yang seketika membuat Mentari bungkam tanpa mau bertanya lagi.
Cukup lama di posisi itu, di mana Edward terlelap di dalam rengkuhan tubuh Mentari. Akhirnya Edward mau terbangun, setelah cukup lama membuat Mentari merasa kesemutan karena ulah seenaknya.
Dengan perlahan, Edward mengerjapkan matanya lalu membangunkan tubuhnya. Sampai saat matanya tertuju ke arah Mentari yang turut terlelap di sampingnya. Wajah gadis itu terlihat lelah, mungkin karena Edward sempat membuatnya tak bergerak cukup lama di tempatnya.
Di keheningan mereka saat ini, diam-diam Edward tersenyum tipis meski kepalanya masih sedikit berdenyut sakit. Mata hitam pekatnya sedikit berbinar, menatap ke arah wajah Mentari yang damai di alam bawah sadarnya. Sampai saat Edward merasa ingin menyentuh wajah mulus itu, terlihat dari tangannya yang mulai mengudara ke arah wajah Mentari lalu membelai pipi itu secara perlahan.
"Maafkan kakak, Mentari. Bila kakak terlalu menyakitimu selama ini," ujarnya lirih bahkan sangat lirih hingga Mentari tidak akan terganggu dengan ucapannya.
"Itu semua kakak lakukan untuk bisa membuatmu takut meninggalkan kakak. Setidaknya, kamu akan tetap bersama kakak, meski hanya sebagai adik. Ya, seorang adik yang hanya bisa kakak miliki tubuhnya tanpa bisa memiliki hatinya."
"Ini sebenarnya terlalu sakit untuk kakak lakukan, Mentari. Apalagi air matamu yang selalu tumpah, saat kakak melakukannya lagi ke padamu. Tapi, hanya dengan ini kakak bisa menyentuhmu sebagai seorang lelaki, bukan menjadi seorang kakak." Edward menggeleng lemah, merasa sangat kecewa pada dirinya sendiri yang begitu bejat memperlakukan adiknya.
"Kakak harap, kamu bisa hamil anak kakak. Dengan begitu, kakak akan memiliki alasan untuk menikahimu di depan orang tua kita nanti." Edward kembali berujar lirih tanpa mau mengalihkan tatapannya yang terus saja terarah ke arah wajah damai milik adiknya.
"Kamu pasti merasa kelelahan dan seharusnya lagi, kamu tidur di kamarmu," ujar Edward terdengar kesal sembari menggendong tubuh Mentari diiringi rasa sakit yang kian menjalar di kepalanya. Namun sebisanya Edward tahan, tanpa mau menghentikan kakinya yang terus melangkah walau dengan sangat perlahan.
Part 13
Malamnya, Mentari terbangun setelah cukup lama terlelap di ranjangnya. Walau ditemani dengan rasa heran, karena tubuhnya bisa berada di sana, sedangkan yang Mentari ingat, tadi siang tubuhnya masih berada di samping tubuh kakaknya yang juga tertidur di sofa ruang tamu.
Dengan cepat, Mentari membangunkan setengah dari tubuhnya dengan sesekali menguap. Matanya menjelajah, mencari keberadaan jam dindingnya, yang ternyata sudah jam tujuh malam. Membuat mata Mentari sempat membulat tak percaya, karena sudah ketiduran begitu lama. Padahal dirinya belum memasak makanan untuk ia dan kakaknya makan malam.
Tanpa mau mandi lebih dulu, Mentari dengan segera mencuci mukanya lalu turun dari kamarnya. Sampai saat matanya menangkap sosok kakaknya berada di dapur, tengah mengaduk sesuatu di sebuah panci. Membuat Mentari keheranan, karena kakaknya itu mau berada di dapur, padahal yang Mentari tahu, Edward adalah sosok laki-laki yang kurang suka berada di dapur terlebih lagi memasak.
Meski sempat ragu, akhirnya Mentari mencoba mengumpulkan keberanian untuk bisa mendekati kakaknya. Walau semua terasa sulit untuk Mentari bisa berbaur dengan kakaknya itu, tapi setidaknya Mentari harus berani melakukannya karena ia juga harus masak untuk makan malamnya dengan kakaknya tersebut.
"Kak ... Edward lagi apa?" tanya Mentari lirih, membuat Edward yang tadi sempat mencicipi masakannya itu seketika menoleh ke arahnya dengan sorot mata bertanya.
"Lagi masak," jawab Edward seadanya sembari kembali memeriksa ponselnya, di mana sudah ada resep sup ayam di dalamnya.
"Masak apa, kak?" tanya Mentari lagi dengan nada yang sama.
"Sup ayam." Edward menjawab seadanya lagi tanpa mau menoleh ke arah adiknya. Sedangkan Mentari hanya ber-oh-ria sembari mengangguk-angguk paham.
"Kepalanya Kak Edward sudah enggak apa-apa? Kan tadi siang sempat pusing?" Mentari mencoba bertanya lagi.
"Sudah kok. Gue tadi sudah minum obat." Mentari kembali terdiam, merasa canggung dan bingung di waktu bersamaan. Sangking anehnya posisi mereka kali ini, karena tidak biasanya Mentari bertanya sedangkan Edward menjawabnya penuh ketenangan, tanpa ada amarah terlebih lagi membentak seperti biasanya.
"Eh ... Mentari mau bilang terima kasih, Kak. Karena Kak Edward tadi mau menggendong Mentari sampai ke kamar tadi," ujar Mentari lirih sembari tertunduk takut.
"Hm," jawab Edward seadanya setelah memberikan beberapa garam di pancinya. Sedangkan Mentari lagi-lagi hanya terdiam, bingung harus mengobrol apalagi kali ini.
"Menurut Lo ini sudah enak enggak?" tanya Edward tiba-tiba yang seketika membuat Mentari mendongak ke arahnya dengan tatapan bertanya.
"Kenapa, Kak?"
"Coba Lo cicipi ini sup! Sudah enak apa belum?" Dengan perlahan, Edward memberikan sendok berisikan kuah sup ke arah bibir Mentari. Membuat empunya sempat keheranan, meski pada akhirnya mau melakukan apa yang Edward perintahkan.
"Bagaimana?" tanya Edward setelah Mentari sudah cukup mencicipi rasa masakannya.
"Sudah enak kok, Kak. Kak Edward bisa masak sup ayam, belajar dari mana?" tanya Mentari antusias setelah merasakan masakan kakaknya yang memang cukup enak di lidahnya.
"Dari internet lah. Di jaman sekarang, apa sih yang enggak mungkin." Edward menjawab santai diiringi senyum manis dari bibirnya sembari menatap ke arah Mentari yang kali ini justru terdiam, merasa ada yang aneh pada hatinya kala melihat senyum manis kakaknya untuk yang pertama kalinya.
"Lo ambil nasi ya buat kita makan!" pinta Edward dengan kembali pada rutinitasnya membuat Mentari seketika tersadar dari lamunannya lalu mengangguk kaku.
"I-iya, Kak." Dengan cepat Mentari mengambil dua piring dari raknya lalu kembali berjalan ke arah kakaknya untuk mengambil nasi dari mesin penanak, sedangkan mata Mentari justru tertegun pada sosok kakaknya yang cukup berbeda malam ini. Sosok laki-laki dingin dan angkuh, yang entah kenapa bisa berubah menjadi sosok hangat yang penyayang.
Walau merasa bingung di dalam hatinya, namun sebisanya Mentari mencoba untuk menghilangkan pemikiran itu dan kembali fokus untuk menyiapkan makan malam mereka.
Di meja makan, Mentari dibuat tak percaya kala matanya menatap makanan kesukaannya berada di atas sana. Udang asam manis adalah makanan yang sangat ia sukai, namun kali ini justru berada di meja makan, yang kemungkinan besarnya kakaknya yang sudah memasak makanan tersebut. Membuat Mentari diam-diam tersenyum, merasa tak percaya bila kakaknya itu bisa melakukan hal semacam itu. Hingga rasanya, hati dan perasaannya menghangat, dengan hal sederhana yang kakaknya lakukan.
Sampai saat otak Mentari kembali tersadar dari rasa aneh yang menyelimuti hatinya. Dengan cepat, Mentari menggelengkan kepalanya lalu memukul pelan keningnya beberapa kali. Mencoba untuk menyadarkan perasaannya, bila ia sedang merasakan hal yang salah, karena yang membuatnya merasakan rasa itu adalah kakaknya sendiri.
"Kenapa cuma berdiri di situ?" tanya Edward tiba-tiba sembari membawa mangkok berisikan sup ayam di tangannya. Membuat Mentari yang mendengarnya itu seketika menoleh ke arah kakaknya lalu duduk di bangkunya.
"Maaf, Kak." Mentari menjawab cepat dengan ekspresi ketakutan dari wajahnya.
"Ya sudah, makan sana. Yang banyak ya!" Edward berujar serius lalu fokus pada makanannya, meninggalkan Mentari dengan segala pemikiran gila di otaknya. Walau itu tak lama, karena Mentari segera mengambil lauknya ke dalam piring nasinya.
"Bagaimana. Udangnya enak enggak?" tanya Edward ditemani senyum manis itu, membuat Mentari dibuat terdiam bersama dengan makanan yang sedang dikunyahnya di dalam mulutnya.
"Eh ... lumayan, Kak. Cuma kurang pedas aja kalau buat Mentari," jawabnya jujur lalu terdiam, menikmati setiap dentuman hebat di dadanya.
"Lo jangan terlalu banyak makan pedas. Enggak baik buat usus Lo," ujar Edward sembari menyantap makanannya yang justru membuat Mentari kembali terdiam, merasa ada yang aneh dengan kakaknya yang tidak biasanya perhatian padanya seperti saat sekarang.
"Iya, Kak." Setidaknya hanya itu yang bisa Mentari jawab, sedangkan otaknya masih saja memikirkan perubahan besar pada sikap kakaknya itu.
"Oh iya, Mentari. Besok, Mama dan Papa akan pulang sore hari. Jadi, besok lo jangan ke mana-mana!"
"Eh iya, kak. Mentari usahakan untuk langsung pulang setelah jam kuliah selesai." Mentari menjawab seadanya tanpa mau menatap ke arah kakaknya yang sepertinya hanya mengangguk lalu kembali fokus pada makanannya.
Keduanya kembali terdiam dengan suara dentingan sendok yang bersentuhan dengan piring, menjadi suara yang menghiasi suasana canggung di antara mereka. Terutama hal itu terjadi pada Mentari, yang masih sibuk memikirkan perubahan sikap kakaknya. Tanpa menyadari, bagaimana Edward tersenyum tipis nan tulus di balik tundukan wajahnya. Seolah lelaki itu sudah bisa menebak dengan apa yang sedang adiknya pikirkan itu, apalagi kalau bukan karena perubahan sikapnya sendiri malam ini.
Ya, Edward memang sangat menyadari bila dirinya kali ini bersikap manis dengan adiknya itu. Bukannya ia mau membuat Mentari berani menentangnya, hanya saja Edward berpikir harus membuat Mentari jatuh hati dengannya. Setidaknya dengan begitu, rencana Edward akan berjalan lancar, bila Mentari bisa benar-benar hamil anaknya.
Rencana besar yang Edward rancang sejak sebulan yang lalu, yaitu membuat Mentari hamil anaknya dan membuat adiknya itu jatuh hati dengannya. Setidaknya dengan begitu, Mentari dengan dirinya tidak akan ada penghalang untuk bersama kecuali restu orang tua mereka.
Entah apa yang akan terjadi nanti, bila rencananya itu berjalan lancar? Terutama bila Edward harus berhadapan dengan orang tua mereka. Rasanya Edward tidak ingin memikirkannya, meskipun ia sangat sadar bila ia akan melewati fase itu.
"Maafkan Edward, Ma, Pa. Bila Edward ingin memiliki Mentari sebagai seorang istri, bukan adik manis yang selalu kalian inginkan untuk bisa melengkapi hidup Edward di mata kalian," batinnya dalam hati.
***
Di dalam mobil, Edward masih fokus menyetir bersama dengan Mentari yang duduk di sebelahnya seperti hari-hari sebelumnya. Namun tidak biasanya yang selalu terlihat dingin, kali ini ekspresi Edward terlihat lebih hangat bersama dengan senyum manis yang sejak tadi tercetak indah di bibirnya. Membuat Mentari sempat salah tingkah, acap kali matanya diam-diam menatap wajah tampan kakaknya tersebut.
Walau tingkah lakunya itu selalu berakhir sama, Mentari akan menggerutu dalam hati dan mensugestikan pikirannya untuk tidak terlalu terbuai dengan senyum manis kakaknya. Meski rasanya itu sangat sulit, seolah wajah kakaknya yang tengah tersenyum itu mampu menghipnotisnya untuk semakin terbuai.
Mungkin hal itu tidak akan Mentari rasakan, perasaan aneh semacam kekaguman akan sosok yang selalu diharapkannya akan sikap baiknya itu. Andai kata kakaknya itu terus mempertahankan ekspresi dingin sekaligus keangkuhannya, tidak seperti saat ini, yang terus tersenyum tulus bak pangeran seperti di istana dongeng dalam khayalannya.
Sampai saat Mentari merasa sudah sangat frustrasi dengan pemikirannya kali ini, dan konyolnya gadis itu bertekad dalam hati, bila ia akan menghapus perasaannya yang sudah terbuai dengan hanya karena senyum manis milik kakaknya itu. Terlihat dari caranya yang terdiam dengan sesekali mempermainkan tali tasnya, sedangkan wajahnya terlihat gelisah, merasa sudah sangat gila dengan apa yang dipikirkannya sekarang.
"Mentari," panggil Edward dengan menoleh ke arah Mentari yang sempat tersentak dari pemikirannya.
"I-iya, Kak. Ada apa ya?" tanyanya gugup dengan menatap ragu ke arah Edward yang tersenyum tulus ke arahnya, membuat jantung Mentari serasa berdebar aneh kala melihat senyum kakaknya lagi.
"Nanti gue bakal jemput Lo jam setengah dua belas ya. Kita bakal menyambut Mama dan Papa di rumah," ujar Edward yang lagi-lagi diiringi senyum tulusnya, membuat Mentari sempat tertegun sebentar lalu mengangguk paham.
"Iya, Kak."
"Menurut Lo, kita masak apa ya buat Mama dan Papa nanti?" tanya Edward yang kali ini membuat Mentari keheranan dengan pertanyaan kakaknya itu.
"Kita ... Kak?" tanya Mentari ragu, yang justru membuat Edward tertawa kecil, menambah kesan ketampanan yang luar biasa saat Mentari melihat wajah ceria kakaknya tersebut.
"Memangnya kenapa?" tanya Edward tak habis pikir dengan sesekali menggeleng pelan, merasa lucu dengan tingkah laku Mentari yang kaku saat tidak biasa berbicara akrab dengannya seperti sekarang.
"Eh ... enggak apa-apa kok, Kak." Mentari menjawab cepat, merasa harus menenangkan hati dan perasaannya yang mulai frustrasi merasakan perubahan besar kakaknya itu.
"Jadi, menurut Lo kita masak apa buat Mama dan Papa nanti?"
"Eh ayam geprek?" Mentari menjawab ragu, membuat Edward menyerngit heran ke arahnya.
"Kenapa ayam geprek?" tanyanya terdengar tak habis pikir.
"Kemarin, Mama bilang mau makan ayam geprek kalau sudah pulang ke Indonesia."
"Oke, kalau begitu kita bakal masak ayam geprek buat Mama dan Papa. Tapi, setelah gue menjemput Lo nanti siang, kita ke super market dulu ya, soalnya kita harus belanja sayuran dan bahan-bahan lainnya," ujar Edward lagi yang hanya diangguki kaku oleh Mentari.
Rasanya hangat di hati Mentari, kala dirinya bisa mengobrol akrab dengan kakaknya itu. Padahal, bila mengingat kelakuan kakaknya yang bejat itu rasanya Mentari juga ingin membencinya, meski semua tak pernah berhasil ia lakukan karena hatinya yang memang tak pernah menginginkan hal itu.
Sampai saat ini, Mentari sendiri juga bingung dengan hatinya yang tak pernah membenci kakaknya. Padahal, kakaknya itu selalu menyakitinya dan bahkan sudah merenggut mahkotanya. Tapi, balik lagi di awal. Mentari bukanlah tipe manusia pendendam, meski rasanya ia juga ingin melepaskan diri dari masalahnya itu. Namun, harapan besarnya selalu berhasil mengurungkan niatnya. Suatu harapan di mana Mentari memiliki keluarga bahagia yang lengkap, dalam artian keluarga yang selalu ada setiap waktu untuknya. Begitupun dengan Edward, kakaknya. Mentari juga ingin memiliki hubungan baik dengan lelaki itu, mengobrol akrab dan bercanda tawa bagai saudara pada umumnya.
Lagi-lagi suasana kembali hening. Edward masih fokus dengan aktivitas menyetirnya dan Mentari dengan segala pemikiran dan harapannya. Sampai saat mobil yang ditumpangi mereka terhenti di halaman kampus, membuat Mentari tersadar kala tubuhnya merasakan mobilnya direm secara perlahan.
Tak berpikir panjang lagi, Mentari membuka sabuk pengamannya lalu turun dari mobil kakaknya. Dengan cepat, Mentari berjalan di pinggir jalan sembari menatap ke arah mobil kakaknya seolah ingin mengucapkan kata perpisahan. Sudah menjadi kebiasaan Mentari yang selalu menunggu kakaknya melajukan mobilnya hingga keluar dari lingkungan kampus, walau semua selalu berakhir sama, Edward tidak pernah mau mengucapkan kalimat sampai jumpa atau semacamnya.
Di tempatnya berdiri, Mentari masih terdiam dan menunggu, merasa heran juga dengan mobil kakaknya yang tak kunjung melaju dari tempatnya. Hingga kaca mobil itu turun, menampilkan wajah tampan kakaknya yang lagi-lagi dengan bibir yang tersenyum dan tatapan hangat. Membuat Mentari kembali dibuat salah tingkah dengan kelakuan kakaknya tersebut.
"Mentari," panggilnya.
"Iya, Kak."
"Yang semangat ya belajarnya! Nanti gue jemput lagi jam setengah dua belas siang. Jangan telat!" ujarnya terdengar hangat, tidak tegas seperti biasanya.
"Iya, Kak. Mentari akan ingat itu."
"Sampai jumpa." Dengan perlahan, kaca mobil Edward kembali menutup, meninggalkan Mentari dengan segala kecengohannya
"Kak Edward kenapa ya?" gumamnya pelan setelah mobil yang ditumpangi kakaknya itu melaju pergi ke arah luar kampus.
"Kok tumben jadi baik banget?" Mentari kembali bergumam sembari menyentuh dadanya yang tadi sempat tak karuan hanya karena melihat senyum kakaknya yang menawan.
"Kayanya, Kak Edward itu memang lebih pantas enggak usah tersenyum. Apalagi bersikap baik seperti tadi. Rasanya itu aneh, aku kurang suka." Mentari menggigit bibir bawahnya, merasa gelisah entah karena apa. Padahal itu hanya sebuah senyuman yang Edward suguhkan, tapi kenapa rasanya Mentari ingin menolak, merasa takut bila hatinya justru semakin menyukai cara kakaknya tersenyum hangat ke arahnya.
"Enggak boleh, enggak boleh. Aku enggak boleh suka sama Kak Edward, dia itu kakak aku. Aduh, enggak tahu lah, aku pusing." Mentari menghembuskan napas beratnya lalu berjalan ke arah kelasnya, sembari berusaha melupakan senyum kakaknya yang memabukkan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
