Kembang Pelakon 1

8
3
Deskripsi

Novel ini berkisah tentang seorang gadis pemain sandiwara di zaman perang kemerdekaan. Kinasih namanya. Dia terkenal di kalangan para pemuda. termasuk menjadi pujaan tentara Jepang. Kehidupannya makin berwarna setelah jatuh cinta dengan seorang pemuda republik yang ketika peristiwa Bandung Lautan Api membuat kelompok sandiwaranya harus hengkang ke Bandung selatan, yaitu Ciwidey. 

KEMBAN PELAKON BAGIAN 1

Bandung, 22 Maret 1946
“Sayonara … Mata aimasho. ”Laki-laki itu menunduk. 
Meskipun sudah berganti pakaian sipil, wajahnya tetap Dai Nipon. Tampang pemuda itu tidak bisa dihohongi. Ya, laki-laki itu adalah Dai Nipon atau tentara Jepang. Tentara yang selama tiga setengah tahun merasa jagoan di wilayah ini. Menebarkan rasa takut pada penduduk. Menghantui kehidupan para gadis. Membuat keadaan semakin tak karuan. Kutukan yang paling menakutkan. 
Tapi sejak Amerika menjatuhkan bomnya di Kota Hiroshima dan Nagasaki, 6 Agustus 1945 lalu, para abdi kaisar Tenno Heika itu tunduk dalam kekalahan. Seperti laki-laki itu, tengkuknya merunduk patuh di ujung bayonet pemuda Indonesia.
Kinasih termangu. Dia membayangkan kejadian itu. Empat tahun yang lalu, ya empat tahun yang lalu. Ketika itu Belanda masih kuat menguasai negeri ini. Lalu tiba-tiba Jepang datang. Dengan kesaktian Sang Dewi Amaterasu-nya, bangsa kulit kuning bermata sipit itu berhasil mengambil alih kekuasaan Belanda. Padahal Belanda sudah hidup ratusan tahun. Memberikan garis hitam dan putih pada negeri ini. Tapi tak terasa, takdir kembali berbalik. Sekarang Jepang juga harus mengakui kekalahannya. Itulah sejarah. Sejarah pula yang membawa laki-laki itu ke hadapan Kinasih untuk menemuinya sesaat. Lalu pergi lagi. 
*
“Kamu melamun, Sih?”
Kinasih tersenyum, “Saya hanya ingat tentara Jepang itu, Mang.”
“Ingat tentara Jepang itu? Maksudnya?”
“Maksud Kinasih, dengan bermain sandiwara, ternyata rakyat kecil seperti kita bisa jadi dikenal orang. Dan Kinasih jadi kenal tentara Dai Nipon itu...”
“Cuma kenal, penggemar, atau cinta?”
Kinasih memanyunkan bibirnya, “Apa ya? Tapi yang jelas, saya juga bisa punya penggemar ya, Mang? ”
“Tentu saja, Sih. Kamu kan pemain sandiwara yang bagus. Terus kamu kan cantik. Bisa saja suatu saat kamu ditarik bermain felm (film).”
“Mamang bisa saja.”
“Betul. Bahkan Mamang pikir, kamu tidak kalah oleh artis Dahlia  atau artis Jepang Kaeroda Kijo .”
“Wah Mamang ini, jangan berlebihan Mang.”
“Lho, Mamang serius Asih.”
“Sudahlah Mang, jangan bercanda terus. Sekali pemain sandiwara, Asih tetap bersandiwara. Asih bahagia dengan bersandiwara. Ini hidup Asih untuk membuat almarhum emak sama apa bangga sebagai anak wayang.”
Keduanya terdiam. Angin berdesir lembut ke sela-sela wajah mereka.
“Oya Mang, kira-kira Dai Nipon itu dibawa kemana ya?”
Laki-laki itu mengangkat bahu, “Mungkin dia sudah mati, Sih.”
Kinasih menarik nafas panjang.
“Mungkin begitu. Atau mungkin juga dia dibawa ke Cihapit. Supaya tentara Jepang itu ikut merasakan penderitaan rakyat dan orang-orang Belanda yang dulu ditawan mereka di sana.”
“Cihapit?”
“Ya.”
“Sama saja mereka bertukar tempat. Sama-sama mendapat siksaan.”
Laki-laki yang dipanggil mamang itu tersenyum. Tak lama kemudian dia beranjak. Langkahnya tertatih disangga sepasang tongkat yang dikepit oleh kedua ketiaknya. 
Sekarang Kinasih sendiri. Gadis itu memperbaiki letak duduknya menjadi lebih nyaman. Dia menikmati tempat itu. Sebuah bangku dengan meja lebar di bawah pohon kersen. Biasanya kalau sore atau malam (jika tidak ada perang), tempat itu selalu digunakan bapak-bapak untuk mengobrol, bermain kartu, atau catur. Tempat itu juga biasa dijadikan tempat berlatih para pemain sandiwara. Mulai berlatih dialog hingga berlatih menahan mental karena dimarahi sutradara. 

Beberapa saat kemudian dia kembali mengambil kain putih berbahan sifon di dekatnya. Lalu menisik bagian-bagian yang sobek dari gaun pengantin itu. Salah satu perlengkapan pentas untuk lakonnya nanti.
Angin menyapu sepi. Pelataran yang diisi dengan rumah-rumah kayu, atau tepatnya kamar-kamar berukuran tiga kali empat meter itu, nampak tidak bernyawa. Para penghuni kamar satu pintu itu masih istirahat sisa pertunjukan semalam. Begitulah keadaan bascamp sebuah grup sandiwara manakala matahari sedang di atas kepala. Meskipun di dalam kamar lebih pengap dan sesak, mereka tetap menikmatinya. Padahal pada umumnya satu kamar berisi tiga empat orang, bahkan sekeluarga. 
Pelataran itu juga terkesan sederhana. Hal ini karena selain mereka berada di pinggiran kota, juga nampak dari penataan sekitar halamannya. Tengok saja dari ujung kiri ke ujung kanan. Di depan pintu setiap kamar yang berjumlah lima itu, nampak meja kayu dengan perabotan dapur seadanya, mulai kompor minyak, penggorengan, rak piring kecil, dan bakul yang bergantung di dinding. Tidak jauh dari situ berdiri tiang kayu dengan bentangan tali jemuran. Di atasnya bertengger baju-baju lusuh. Mulai rok, kebaya, kain jaidun, celana komprang, kaos belel, handuk-handuk tipis kusam, hingga pakaian dalam. Untunglah tempat itu masih tertata dengan baik dan bersih. Meskipun tanah merah yang terkadang becek di musim hujan kerap masuk ke dalam. 
Sesekali terdengar teriakan anak-anak yang sedang bermain gatrik dari bagian sudut pelataran. Jika tidak ada latihan yang kerap ditontonnya, mereka  memilih bermain. Tak jarang anak-anak itu mengganggu para orang tua yang sedang istirahat. Maka tak jarang pula mereka mendapat umpatan. Hingga satu atau dua orang tua yang tidak sabar langsung keluar kamar. Marah-marah atau mengusir mereka. Hingga keadaan benar-benar sepi. Namun setelah matahari condong ke barat, suasana kembali ramai. Karena saat itu adalah saatnya para pemain berlatih. Ada latihan gerakan, seperti tarian hingga berkelahi. Ada latihan bernyanyi, berdialog, hingga latihan menangis. Semua harus dihapalkan di luar kepala sesuai dengan petunjuk sutradara. Tentu saja kadang tanpa teks naskah. Apalagi sebagian dari mereka ada yang tidak bisa membaca. Makanya teks tidak penting bagi mereka.
“Sih, sedang apa? Mamang ada?”
Asih tersentak. Di hadapannya sudah berdiri seorang laki-laki gemuk pendek bermata sipit. Dengan warna kulitnya orang bisa menyimpulkan kalau laki-laki itu orang Cina. Umurnya kira-kira lima puluh tahunan. Dia berkemeja putih dan celana hitam, serta berdasi kupu-kupu.
“Eh, Babah Bonceng , ada Babah.”
“Masih istilahat? Suluh ke sini mamangmu itu.”
Kinasih bangkit segera.  Laki-laki itu duduk di bangku dengan gelisah.
Tak lama kemudian muncul laki-laki yang bertongkat tadi. Dengan sopan dia menyalami tamunya.
“Lun, Halun, keadaan genting!” Babah Bon Cheng segera menuntun tangan laki-laki yang bernama Harun itu. Lalu membantunya duduk di bangku tadi.  Sementara Kinasih berdiri melongo. 
“Keadaan genting, Lun. Kita halus mengungsi.”
“Mengungsi? Ada apa lagi? Bukankah Jepang sudah kalah?” Harun mendekap erat sepasang tongkatnya. Wajahnya tegang.
“Aah, itu aku tidak paham. Yang penting situh halus amankan almada situh, telutama Kinasihmu itu!” 
“Mengungsi ke mana Babah?”
“Pengumumannya halus pindah ke alah selatan. Semua, kelualgaku juga. LLI (RRI) sudah umumkan supaya seluluh penduduk kota  mengungsi ke tempat aman. Bandung akan dibakal nanti malam oleh pala pejuang kita supaya tidak diduduki Belanda. Itu saja yang aku tahu, Lun.”
Harun melenguh. Sejak kakinya cacat oleh karena peperangan, dia tidak bisa lagi berjuang. Terutama melibatkan diri dalam kancah peperangan di garis depan. 
“Betapa tidak bergunanya aku ini buat bangsaku sendiri. Aku harus mengungsi menjaga para perempuan dan anak-anak saja? Menghindar?” itu pikir laki-laki yang dipanggil Harun itu.
“Bukan begitu Lun, kau halus ngelti, kau bisa beljuang dengan calamu sekalang. Peljuanganmu dulu sudah cukup. Yang penting kan kau tidak diam. Dengan mengungsi dan tetap menggelakkan sandiwala, kau tetap beljuang dengan cala lain.”
Harun menarik nafas panjang. Menerawang, “Mestinya dulu aku mati ya Babah, mati sebagai pahlawan.”
“Hus, kau ini bicala apa? Kalau kau mati, siapa yang jaga Kinasih? Siapa pula yang akan menjaga almada ini. Hidup mati meleka ada di tangan kalya-kalyamu, Lun. Tidak ada kalyamu, altinya meleka tidak makan.”
Kinasih tersenyum, “Tenang Mang, dengan bersandiwara, Mamang tetap berjuang, mengobarkan semangat perjuangan pada para pemuda. Apa dan ema pasti senang.”
“Betul betul,” babah Bon Cheng menepuk-nepuk bahu Harun yang masih menerawang, “Sekalang sebaiknya belsiap-siap. Paling lambat jam sepuluh malam.”
“Baiklah Babah, terima kasih.”
Babah Bon Cheng mengangguk, lalu pulang.

Siang itu seluruh penghuni bascamp, bahkan penghuni lain berhamburan keluar. Masing-masing membawa pakaian seadanya. Ada yang di kantong, di karung, bahkan dibungkus kain berbentuk buntelan. Mereka siap meninggalkan rumah petak sederhana sekaligus bascamp kesayangan! 

Anak-anak riang gembira sambil meneriaki pekik merdeka.
“Selamat tinggal kota Bandung….”
“Kami tidak akan lama. Kami akan kembali...”
“Tunggulah kami! Merdeka!”
“Merdeka!” 
Pekik merdeka terdengar dari berbagai penjuru. Pintu-pintu rumah mulai terbuka. Mengeluarkan penghuninya dengan langkah semangat. Seorang ibu menggendong anaknya yang masih kecil. Diikuti anak yang lain yang lebih besar. Ada yang tidak beralas kaki. Tapi tapak kaki mereka begitu akrab dengan tanah kasar di bawahnya.
Di jalanan ternyata sudah berhamburan para pengungsi lain. Mereka kebanyakan orang tua, wanita, dan anak-anak. Ada yang menuntun, ada yang menggendong, bahkan ada pula anak-anak yang menggendong adiknya. Wajah mereka ada yang gelisah, ada juga yang sedih. Mereka meninggalkan kota kesayangan. Tapi ada juga sebagian wajah anak yang tetap riang. 
“Asih, Mamang tidak akan kuat kalau harus jalan kaki. Sekarang suruh semua awak sandiwara untuk berjalan ke arah stasiun. Mamang punya tabungan. Biar Mamang yang membayarkan karcisnya. Kita akan ke daerah Ciwidey. Kebetulan ada teman mamang di sana.”
“Memangnya kalau jalan kaki jauh ya, Mang?”
“Waduh, bukan jauh lagi atuh Nyai. Kita harus mengambil arah Cililin. Artinya kita jalan ke arah Cimahi. Itu tidak mungkin. Akan berhari-hari kita di jalan. Harus lewat Rongga, Sindangkerta, Rancapanggung, belum masuk ke Gunung Padang, yang puluhan kilometer dari Ciwidey. Lalu masuk Rawabogo, Salamanjah, Nagkerok, Panyocokan... Oh, jangan! Tentu kamu sayang sama pamanmu ini.”
Kinasih termangu. Sedikit pun tak paham tentang nama-nama tempat yang diabsen satu-satu itu. Pamannya yang bekas prajurit itu sudah tentu sangat kenal dengan banyak daerah di wilayah ini. Bahkan mungkin di pulau ini. 
“Apa tidak ada jalan lain, Mang?”
“Melalui jalan lapangan Andir?” Harun menggeleng, “Mamang kuatir, jalan itu tidak aman, banyak tentara musuh berkeliaran di sana.”
“Kasihan saja uang mamang bisa habis nanti.”
“Tidak apa-apa.” 
Akhirnya semua mengikuti anjuran Harun sebagai pemimpin. Para awak sandiwara memutar arah menuju ke utara. Menyusuri pasar Baroeweg (jalan Oto Iskandardinata sekarang). Mereka terdiri atas para perempuan dan anak-anak. Sementara pengungsi lain kebanyakan berhambur ke arah selatan menuju Tegallega. 
Anak-anak tampak riang. Di pikirnya seakan tak ada beban. Dan ketika mereka mendengar bahwa kaki harus diarahkan ke stasiun langkah mereka makin kencang saja. Padahal keringat sudah mulai membasahi tengkuk. Tapi tak ada kelelahan di wajah-wajah itu. Mereka menyibak kerumunan. Inilah pengalaman yang hebat. Untuk yang pertama kalinya mereka akan naik kereta. 
“Nah, anak-anak, kita mau naik si Gomar.”
Anak-anak bersorak mendengar nama itu. Si Gomar adalah sebutan untuk lokomotif Tipe 1 D+D buatan Amerika. Selama ini nama itu memang hanya ada dalam dongengan. Tapi kini, tampang si Gomar ada di hadapan. 
“Mamang, makasih ya bisa naik si Gomar...” salah satu anak berbisik 
Alangkah baiknya paman mereka. Harun, menjadi pahlawan dalam pikiran seluruh awak. Harun memang pemuda yang baik. Sejak kakinya cacat oleh peluru tentara Belanda, hidupnya diserahkan untuk awak kelompok sandiwara itu. Apalagi setelah orang tua Kinasih meninggal. Seluruh hidupnya murni untuk keponakannya itu. Jadilah Kinasih dan awak sandiwara itu asuhannya.
Matahari sudah condong ke barat. Kereta api sudah mengendus dari arah utara. Membelah ribuan penumpang  yang hendak ke selatan. Asapnya mengepul. Sudah siap kembali untuk sebuah perjalanan panjang.

 

BERSAMBUNG …

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kembang Pelakon 2
9
0
Pada bagian ini  para tokoh sudah mengungsi ke wilayah Ciwidey, dan pertemuan penting antara tokoh Harun terjadi dengan kawan lamanya, pada saat pementasan perdana grup sandiwara Harmonie di wilayah itu. Ketika itulah Kinasih menjadi pusat perhatian penonton termasuk tokoh pemuda kawan lama Harun.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan