
Nama Kinasih mulai diperbincangkan di keluarga Permana. Hal itu membuat ketidaknyamanan Permana terutama sikap ibunya yang seperti tidak suka dengan kondisi Permana yang tertarik dengan gadis yang tidak sebanding dengannya. eluarga Permana sangat hati hati dalam mencarikan istri bagi putranya. Makanya Kinasih bukanlah nama yang tepat.

“Ondol-ondoool…….., cuhcuuur……., gegetuuuk…….,”
Penjual makanan itu duduk malu-malu setelah bu mantri[1], yang punya rumah menyuruhnya naik ke teras. Lalu menyimpan nampahnya dengan hati-hati.
“Ujang siapa dan dari mana?” tanyanya lagi, “Sepertinya baru sekarang ibu melihat kalian berdua.”
“Saya Dodo, Juragan. Ini saudara saya, Ujang.”
“Ooh begitu. Dari mana kalian?”
“Saya pengungsi dari Bandung.”
“Terus makanan ini siapa yang buat?”
“Ibu, bibi, semuanya, Juragan.”
“Oh, terus kalian tinggal di mana?”
“Di sana, Juragan. Di...”
“Eh Dodo dengan Ujang... tidak usah memanggil Ibu juragan ya. Panggil saja ibu ini bu mantri. Biasanya Ibu dipanggil begitu oleh orang-orang sini.”
Dua anak laki-laki itu saling pandang. Lalu salah satu, Dodo mengangguk. Anggukan itu diikuti oleh Ujang.
“Lho, kalian kan keponakannya Harun, ya?” tiba-tiba sebuah suara muncul di pintu seiring kehadiran sosok Permana..
Perempuan berkebaya rapi dengan perawakan tinggi itu mendadak memberenggut. Perhatiannya beralih pada Permana. Wajahnya bu mantri nampak semakin bingung manakala melihat kedua anak itu juga mengangguk.
“Siapa itu Harun?”
“Itu Bu, teman seperjuangan saya.”
“Oya? Terus mengapa kalian jadi berjualan begini?”
“Mungkin mereka mengisi waktu saja, Bu.”
Bu mantri manggut-manggut tersenyum. “Baguslah kalau begitu, cuhcurnya juga kelihatan enak ini,” bu mantri mengambil beberapa, lalu dibungkuskan ke dalam daun pisang yang sudah tersedia. “Sejak Nipon datang, kita tidak pernah makan makanan begini.”
“Sudah ya Jang, ibu beli segini. Mudah-mudahan makanannya laku habis.”
Kedua anak itu mengangguk, lalu menerima uang.
“Jang, salam untuk Teteh Kinasih, ya,” Permana mendekat.
Bu mantri mendadak tersentak. Lalu menatap Permana dengan tajam, tanpa kata. Hingga kedua anak penjual makanan itu pergi.
“Siapa itu Kinasih?”
Permana malu-malu, “Itu Bu, keponakan Harun.” Suara Permana diakhiri dengan isyarat menjulurkan jempol tangan kanannya.
Bu mantri menepuk bahu Permana, “Tidak baik laki-laki dewasa sepertimu mengirimkan salam. Kalau berani datangi saja. Tapi itu pun harus sudah jelas pilihanmu. Bukan main-main. Ingat, gadis itu anak orang, bukan mainan.”
Permana tersenyum, “Tenanglah Bu, ini baru pendekatan.”
Bu mantri terdiam. Lalu berlalu ke dapur.
Ada kasak-kusuk di sana. Memang, sejak dapur itu penuh dengan para perempuan, suasana di sana jadi berbeda. Diantaranya sepupu suaminya yang mengungsi dari Cimahi. Ada Rukiah, sepupu bu mantri yang sudah punya anak gadis, bernama Tuti. Ada juga tetangga yang suka main-main. Termasuk Nyi Erah, janda dengan anaknya, Mimin. Mimin seumur dengan Tuti. Keduanya datang dari Cililin untuk minta jadi pembantu. Bu mantri menyebutnya rencang.
“Tah tah, tadi Cep Permana salam sama siapa?”
“Kinasih, ya Kinasih. Apa Cicih gitu…?”
“Iya pokoknya asih, ada sih sih, nya. Wah siapa itu ya?”
“Lho, lalu, bukannya, katanya tadi malam cep Permana melototi Nyai Desima itu. Terus cep Permana sukanya sama siapa ya?”
“Enak sekali, jadi Nyai Desima itu…”
“Ih, tapi kalau cep Permana salam sama siapa itu, Cicih itu, buat apa? Berarti cep Permana itu….”
“Iya ya, berarti cep Permana suka sama yang lain juga ya? Ah, dasar lalaki!”
“Apalagi cep Permana, sudah gagah, cakep, pintar, baik lagi.”
“Tapi kok nakal?”
“Ya itu, nakalnya itu, masa suka sama lebih dari satu perempuan.”
“Lho, kok kamu yang sewot, Tut?”
“Eh, tahu tidak? Tadi malam cep Permana langsung ke belakang layar. Sepertinya mencari Nyai Desima itu. Gitu tuh laki-laki!”
“Wah, jangan-jangan kamu juga naksir cep Permana itu. Semalam bukannya nonton? Kenapa matamu jadi nguntit cep Permana?”
“Ya, tidak mungkin atuh Neng, saya hanya anak rencang di sini, itu namanya calutak, tidak tahu diri.”
“Makanya, ya biar saja atuh, Nyi. Tidak mungkin cep Permana diam kalau Nyai Desima itu memang cantik.”
“Tapi memang betul, Nyai Dasima itu cuantiiik, sekali. Matanya bulat, hidungnya bangir, bibirnya tipis, dan kulitnya itu lho, bersih. Pasti sudah jadi bentang dia sekarang.”
“Iya, dia memang cantik di panggung. Tapi kalau di luar panggung, tetap saja anak wayang. Tidak ada bedanya dengan penari ronggeng atau tukang ketuk tilu yang semalam berjoget dengan laki-laki nakal.”
Mendadak suasana diam. Ketika itu langsung masuk bu mantri.
“Kalian ini sedang membicarakan apa sih? Perempuan kalau berkumpul, dua orang jadi terdengar lima orang. Nah lima orang, jadi seperti sepuluh orang. Tadi apa anak wayang?”
“Tidak ada apa-apa, Ceu mantri. Itu mojang-mojang pada ribut, katanya ada pemain sandiwara yang cantik. Mungkin mereka merasa tersaingi.”
Tuti mendelik, “Ih, tidak mungkin atuh kita merasa tersaingi, Wa.”
“Ya tidak apa-apa. Kalau melihat orang cantik biasanya kita terilhami untuk bisa ikut menjadi cantik.”
“Tapi kan anak wayang.”
“Nah, itu maksud Ua, anak wayang siapa?”
Tuti mencubit Mimin, “Ayo Min, siapa yang jadi anak wayang?”
“Oh eh, tidak ada kok Bu mantri.”
“Jangan bohong.”
“Itu Bu mantri, Nyai Dasima.”
“Lho, itu kan tokoh cerita yang saya sukai Min? Kalian tahu dari mana?”
“Kan semalam lihat pertunjukannya di tanjakan Sengkun.di Gedung Oryon.”
“Nyai Dasima? Pertunjukan apa itu?”
“Itu Ceu,” Rukiah yang masih duduk-duduk santai menimpali, “Gadis-gadis ini sedang membicarakan Nyai Dasima, pemain sandiwara Harmonie yang juga ikut mengungsi dari Bandung.”
Bu mantri manggut-manggut, “Lalu apa hubungannya dengan Permana?”
“Kang Permana seperti tertarik dengan tokoh itu, Wa. Matanya melotot terus, hekhekhek.” Tuti menyikut Mimin yang sedang memarut kelapa.
Bu mantri terdiam. Menarik nafas panjang. Wajahnya berubah serius.
“Tadi Permana juga bicara begitu,” tapi suara bu mantri tidak berlanjut. Memang tidak biasa bu mantri ikut kasak-kusuk di dapur. Maka ia lebih memilih membalikkan kembali badan. Lalu beranjak lagi ke dalam setelah menyimpan ondol-ondol dan cuhcur di atas meja. Semua saling pandang.
“Hayo, ceu mantri marah tuh. Makanya hati-hati kalau bicara,” mata Rukiah menonjok anak perempuannya.
Wajah Tuti ketakutan. Semua bungkam. Asap mengepul dari tungku yang di atasnya terjerang air. Nyi Erah menyiapkan beras ketan di dalam baskom. Tak ada suara lagi.
Permana masih duduk sambil membaca surat kabar. Bu mantri duduk di dekatnya.
“Bu, tidak sholat Dhuha?”
“Sebentar lagi, Ibu ingin tanya sesuatu sama Permana.”
“Tanya apa Bu? Serius sekali. Pasti soal yang tadi, ya?”
Bu mantri terdiam.
“Tenanglah Bu, di zaman perang begini, urusan laki-laki adalah berjuang.”
“Ibu mengerti, tapi tampaknya kamu sudah mulai serius dengan hal yang lain. Tapi itu Ibu suka. Hanya … asalkan jangan salah pilih saja, ya Permana. Di mana pun seorang Ibu ingin anaknya bahagia. Ingat, kakak-kakakmu semua telah berhasil hidup di perkebunan sana. Semua karena tidak sembarangan dalam menentukan hidup dan memilih pasangannya.”
“Tenang Bu, Permana paham apa yang diinginkan oleh seorang Ibu. Permana paham setiap keinginan wanita di dunia ini, terutama wanita yang sudah mempunyai anak laki-laki bujang.”
“Kamu selalu begitu. Paling pintar berdiplomasi dengan orang tua. Mestinya kamu ikut berunding dengan Walanda itu ketimbang bertempur dan bertempur.”
Permana tersenyum.
“Kenapa Kamu tidak tertarik dengan Bapak di Masyumi[2]?”
“Lho, kok Ibu tanya itu lagi?”
“Karena Ibu tahu, pertempuran bukan satu-satunya tempatmu.”
“Pertempuran melahirkan karya Bu. Ada dua pilihan dalam bertempur. Pertama gugur sebagai syuhada. Kedua, hidup terus dan menjadikan pengalaman bertempur sebagai ide untuk menghasilkan karya besar.”
Bu mantri terdiam sesaat, “Sudah pernah dekat dengan wanita?”
“Teman Permana banyak Bu, laskar-laskar perempuan, para perawat.”
“Ambillah salah satu yang paling cocok.”
“Tidak ada yang cocok, Bu.”
Bu mantri melenguh, tatapannya lurus ke luar melalui pintu tepas[3] yang masih terbuka, “Ibu dengar ada pertunjukan sandiwara tadi malam?”
“Oya, betul Bu. Namanya kelompok sandiwara Harmonie. Nah, Harun yang saya maksud tadi adalah pimpinan Harmonie itu. Sebelumnya, dia juga selalu turun ke medan pertempuran Bu, termasuk kakaknya yang gugur pada waktu perang Desember tahun kemarin.”
Bu mantri mulai menatap Permana penuh selidik, “Terus mengapa temanmu itu jadi pemimpin sandiwara?”
Permana terdiam sesaat. Menarik nafas panjang, “Ya, dulu, Harun seorang pejuang yang selalu siap di garis depan. Harun itu sahabat yang paling dekat dengan saya Bu. Tapi nasibnya kurang menguntungkan. Ketika perang melawan Belanda November lalu, sebulan sebelum kakaknya meninggal, kedua kakinya tertembak peluru tentara Gurkha. Tapi semangat perjuangannya sangat tinggi. Lalu dia meneruskan perjuangan abangnya di kelompok sandiwara. Selain pejuang, Harun itu penulis naskah dan sutradara yang hebat, Bu. Hanya saja waktunya banyak dibagi dengan pertempuran. Permana pernah menyarankan agar dia hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan Keimin Bunka Sidosho[4]. Apalagi zaman Jepang betul-betul menjadikan seni pertunjukan sebagai alat propaganda. Tapi dia tidak mau.”
Bu mantri terdiam. Nafasnya berat. Seperti hendak mengungkapkan sesuatu, tapi sulit.
“Oya Bu, pertunjukan Harmonie tadi malam, luar biasa.”
Bu mantri menatap dengan serius wajah di hadapannya, “Kok Ibu tidak tahu kalau kamu ke sana? Padahal kalau Apa (ayah) tahu, pasti beliau tidak akan suka. Itu kan tontonan, Nak. Kurang sedap untuk keluarga kita. Ingat, Apa pimpinan organisasi Islam, masa putranya hadir di tempat seperti itu. Kakak-kakakmu tidak ada yang pernah menonton pertunjukan begitu.”
“Maaf Bu, ini berbeda. Saya menganggap kehadiran saya di sana sebagai sambutan tuan rumah kepada sahabat lama.”
Bu mantri kembali terdiam. Pembicaraan tentang Nyai Dasima di dapur itu tak ingin dibukanya. Lebih baik tidak tahu baginya. Lalu bangkit tanpa kata.
“Ibu mau sholat?”
“Iya. Sebaiknya kamu juga. Supaya jadi terang pikiranmu.”
Permana garuk-garuk kepala hingga ibunya hilang ditelan pintu kamar. Lalu dia mengambil koran-koran lama di bawah meja. Membuka-bukanya. Lalu menutup lagi. Beritanya tetap yang itu-itu juga. Seperti berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia dalam kongres Wartawan di Solo, 9 Februari lalu. Menyusul berdirinya Kongres Wanita Indonesia melalui Konferensi di Solo tanggal 24-26 di bulan yang sama. Mengapa selalu Solo? Mengapa tidak Bandung? Kota Solo sepertinya lebih aman dibandingkan kota Bandung. Simak saja berita di koran yang lainnya. Betapa Bandung menjadi kota yang tidak kenal lelah dalam bertempur mengusir tentara NICA. Puncaknya bulan Maret itu. Permana masih ingat penyusupannya bersama pejuang lain ke Baleendah, Dayeuh kolot, hingga tengah-tengah kota, lalu ke Cimareme. Menginap dalam dingin Gunung Masigit[5]. Bahkan ketika selanjutnya menyisir tempat hingga Sukabumi.
Lalu halaman lain memuat berita tentang perundingan di Hoge Veluwe, Belanda tanggal 14-24 April 1946. Sebagai tindak lanjut perundingan-perundingan yang diwakili oleh SIr Archibals Clark dari Inggris. Namun perundingan itu tidak menghasilkan kesepakatan apa-apa. Kecuali Indonesia memiliki kedaulatan atas Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Hal yang membuat keinginan bertempur terus membara. Apalagi melihat tindakan Spoor, Panglima Tentara Belanda yang ngotot ingin mengakhiri kekuatan rakyat Indonesia. Seolah-olah menutup mata bahwa kekuatan pejuang Indonesia lebih dari segalanya.
Permana menutup kembali koran itu. Lalu pandangannya kosong ke depan. Ada wajah yang melintas tiba-tiba. Tapi wajah itu juga segera menghadirkan kebingungan yang aneh. Memberatkan pikirannya lebih dari ketika mengangkat bayonet untuk menusukkannya ke dada musuh. Hal ini karena, di samping wajah itu, tergambar juga wajah ibunya, dengan sorot mata yang tajam. Tak memberi restu.
BERSAMBUNG
[1] Sebutan karena suaminya mantri. Sepeti mantri polisi, mantri guru.
[2] Majelis Syuro Muslimin Indonesia
[3] Bagian ruang depan yang berhadapan dengan teras. Dijadikan ruang tamu.
[4] Pusat Pendidikan Populer dan Pengembangan Kebudayaan (Pusat Kebudayaan)
[5] Lokasi tepatnya di kaki gunung Masigit iklan.pikiran-rakyat.com
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
