
“Janda dari mananya? Anya masih istri saya.”
BAB 9
Tristan berdecak tak nyaman ketika Anya memandanginya sambil menahan tawanya. Mungkin di dalam kondisi normal, Tristan akan salah tingkah jika dipandangi oleh wanita itu. Namun karena sebagian wajahnya membengkak lantaran disengat tawon semala, Tristan jadi malu dan berusaha menutupi bagian wajahnya yang membengkak. Seumur-umur, baru kali ini ia disengat tawon. Selain karena sakitnya seperti ditusuk jarum besar, bisa juga membuat wajah jadi nampak jelek.
“Bang Tristan kok bisa disengat tawon kek gitu?” Bora yang duduk di bangku depan warung yang berhadapan dengan tempat duduk Tristan saat ini. Sementara Anya duduk di dalam warung, untuk menjaga.
“Nggak tahu, Bor. Kemaren pas lagi asik-asiknya mancing, tiba-tiba ada tawon depan mata. Ya udah, aku usir keyak gini.” Tristan mempraktekkan ketika ia mengusir tawon dengan cara mengibaskan tangannya di depan wajah. “Eh, tiba-tiba aja muka aku disengat. Sakit banget sumpah.”
“Tawonnya yang bentuk semut besar gitu nggak sih?” tanya Bora lagi.
Tristan tampak berpikir seakan sedang mengingat. “Nggak tahu deh kek gimana, tapi kayaknya bentuknya nggak besar juga, warna hitam.”
“Oh … kalo tawon begitu mending jangan dipukul deh. Makin dipukul makin dikejar, Bang. Mending lari aja, menghindar.”
“Oh, gitu ya?” guman Tristan paham seraya mengusap-usap wajahnya yang masih terasa sakit.
“Hu’um.”
Tiba-tiba warung Anya didatangi seorang laki-laki yang memandang Tristan dengan sinis.
“Dek, bensin satu liter.” ujar laki-laki itu seraya duduk di bangku samping Bora.
Langsung saja Bora melakukan tugasnya untuk mengambil bensin dan mengisi pada sepeda motor laki-laki itu yang tangkinya sudah dibuka.
Tristan melihat laki-laki di depannya yang memandang tak suka padanya. Ah, ia baru ingat, kalau laki-laki pernah datang ke warung ketika Tristan kebetulan menjaga warung. Tristan tak bisa membohongi hidungnya karena merasakan bau tak sedap dari laki-laki itu. Bau keringat, bau pakaian yang sepertinya tidak diganti entah berapa hari dan juga bau rokok yan bercampur jadi satu. Dengan terang-terangan Tristan menutup hidungnya, merasa tak nyaman.
“Dek, ini yang kau bilang itu?” tanya laki-laki itu pada Anya seraya menunjuk Tristan dengan sudut matanya.
Anya mengerutkan keningnya, lantas menoleh pada Tristan yang memandangnya bingung. Apa maksud pertanyaan itu?
Omong-omong, Tristan tidak tahu nama laki-laki di depannya itu, dan tidak ingin tahu.
“Kenapa rupanya, Bang? Dia memang suamiku,” ujar Anya, dengan nada tak ramah kepada laki-laki itu.
Biar Tristan tebak, Anya pun sepertinya tidak tertarik pada laki-laki itu. Banyak menyukai pun tidak. Tristan tersenyum miring, dari awal ia sudah menduga, Anya tidak mungkin tertarik pada dengan laki-laki modelan begitu.
“Ah yang betul? Bukan suami pura-pura dia itu kan?” Laki-laki itu bertanya dengan nada sangsi seraya melirik sinis pada Tristan. “Sampe sekarang aku masih percaya kau udah janda, Dek.”
Ucapan laki-laki burik itu membuat mata Tristan melotot tak terima.
“Janda dari mananya? Anya masih istri saya, ya.” Tristan langsung menimpali dengan suara tak suka.
“Kalo dek Anya istrimu, ke mana kau selama ini? Kenapa kau telantarkan istrimu sampe tiga tahun? Kau datang ke sini pasti mau minta rujuk kan? Iya kan? Nggak tahu diri kau,” semprot laki-laki itu seraya berdiri dengan emosi tanpa sebab. Ia seakan menantang Tristan.
Ditantang begitu, jujur saja membuat Tristan agak menciut kalau diajak duel otot. Laki-laki burik itu nampak lebih berotot dan kuat daripada Tristan. Ditantang dengan kata-kata pun, Tristan masih menciut. Karena ia sendiri bingung hendak mengatakan bagaimana. Karena skenario yang sesungguhnya dipegang oleh Anya, ia datang-datang malah memainkan peran sebagai suami dadakan.
“Kan aku udah bilang, Bang, kalau suami aku ini merantau ke Kalimantan. Jadi kami pisah rumah sementara, dan sekarang karena suami aku selesai kontrak kerjanya, dia balik lagi ke sini. Kenapa harus ditanya lagi sih masalah kek gini? Pas suami aku nggak ada, Bang Tigor ngotot nggak percaya aku bersuami. Sekarang suamiku beneran udah di sini, masih juga nggak percaya. Gimana sih?!” ketus Anya seraya menghembuskan napas panjangnya.
Bang Tigor, nama laki-laki yang kini berlagak sok jagoan ini, sudah lama terang-terangan naksir pada Anya. Bahkan sudah beberapa kali mengajak Anya untuk menjalin hubungan dan bersedia menjadi ayah untuk Chiya. Anya jelas saja menolaknya mentah-mentah, karena dia memang tidak menyukai Bang Tigor. Anya tidak suka karena laki-laki itu tidak menjaga kebersihan dirinya sendiri alias jorok. Suka minum-minum di kedai tuak sampai mabuk. Meskipun begitu, Bang Tigor itu pekerja keras. Ia mengerjakan semua ladang orang tuanya, bahkan sanggup membayar beberapa pekerja ketika musim panen datang.
Sementara Tristan, hanya bisa mengangguk-angguk sambil mengerutkan keningnya. Oh, jadi skenarionya, Anya ditinggal merantau Tristan dan jadilah mereka harus LDR-an.
“Kalau nggak percaya, tinggal lihat Chiya aja, Bang. Mirip nggak sama bapaknya?” Tiba-tiba Bora menimpali, seraya duduk di samping Tristan. Raut wajah gadis remaja itu pun nampak tidak suka dengan bang Tigor.
Bang Tigor terdiam sejenak, memandangi Tristan dengan ekspresi tidak suka. Jika dilihat-lihat, Chiya memang sangat mirip dengan Tristan, bahkan sepertinya gen Tristan lebih mendominasi daripada gen Anya sendiri.
“Lagian ngapain sih ngeributin hubungan orang lain. Kayak Anya mau aja sama lo. Ngaca lah dikit. Ganteng juga enggak,” kata Tristan cuek, memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Apa kau bilang?!”
Bang Tigor tiba-tiba maju menghampiri Tristan yang masih duduk. Untung saja belakang Tristan itu ada tembok. Kalau tidak, ia akan jatuh terjengkang karena didorong perut gempal laki-laki burik itu.
“Bang, udah, Bang. Jangan ribut di sini.” Anya langsung keluar dari warung, mencoba melerai. Ia mendorong Tigor untuk menjauh dari Tristan.
Tristan yang kini posisinya berada di belakang Anya–karena dilindungi wanita itu–lantas berdiri dan balik menatap Tigor dengan tatapan menantang.
“Yang suaminya siapa, yang emosi siapa. Jadi kebalik. Harusnya aku sih yang nggak terima istriku dideket-deketin sama laki-laki lain. Kok jadi situ yang emosian?” tukas Tristan seraya mendengkus keras.
Tigor maju lagi hendak menghajar Tristan. Tangannya terkepal hendak memukul wajah Tristan yang masih bengkak, namun karena Tristan lebih tinggi, pukulan itu hanya kena sedikit di pipi, ditambah lagi Anya mendorong Tigor untuk menjauh. Tristan yang nggak mau kalah, menepis tangan Tigor dengan kasar.
“Oh, nantangin kau ya.” Bang Tigor lolos dari dorongan Anya dan berhasil melayangkan pukulan di wajah Tristan hingga membuat pria itu nyaris tersungkur.
“BANG TIGOR, UDAH! STOP!” Anya mendorong bang Tigor dengan kuat agar menjauh dari Tristan. Ia melirik pada mantan tunangannya yang tengah mengusap sudut bibirnya. Lantas kembali menoleh pada Tigor. “Pergi! Kalau mau bikin keributan, jangan datang ke sini! Pergi!” Teriak Anya dengan amarah yang meluap-luap.
“Awas kau ya. Kubalas kau kapan-kapan.” Sebelum benar-benar pergi, Tigor masih sempat mengancam Tristan dengan menunjuk-nunjuknya dengan raut wajah penuh dendam.
***
“Aku mau kita pergi dari sini, Nya.”
Anya tidak menjawab ucapan Tristan, sibuk mengompres wajah Tristan yang tadi kena pukul Tigor. Sial betul nasib pria ini. Baru saja kemaren disengat tawon, sekarang dapat bogeman juga.
“Nya, kamu denger nggak sih? Aku tuh nggak suka kamu deket-deket sama orang kayak tadi. Dia itu bahaya.”
“Aku nggak deket sama dia. Dia aja yang berusaha deketin aku,” ujar Anya.
“Tetap aja aku nggak suka lihatnya. Gimana kalau suatu saat, karena kamu nolak dia, kamu jadi dilecehkan.”
“Nggak usah mikir aneh-aneh.”
Tristan mendengkus. Padahal yang ia katakan bisa saja terjadi. Karena sudah banyak kasus cinta ditolak yang berujung jadi tindak kriminal.
“Nya, kita kembali ke Jakarta, ya. Plis.” bujuk Tristan seraya menarik satu tangan Anya yang bebas.
Ketika Anya hendak menarik tangannya, namun Tristan tetap menahannya, bahkan pria itu semakin memajukan posisinya untuk mendekati Anya.
“Eh, mau ngapain kamu?” Anya yang panik karena posisi mereka semakin menempel, mencoba untuk menjauh, namun tempat duduknya kepentok di ujung sofa dan tak bisa menjauh lagi. Anya hendak berdiri, namun Tristan menariknya lagi untuk tetap duduk.
“Nya, kamu tahu, setelah hari dimana kamu pergi, aku semakin menyadari kalau yang kubutuhkan cuma kamu. Tanpa kamu, semua hari-hariku kujalani dengan gelisah. Aku selalu pengen tahu keadaan kamu gimana, kamu lagi apa, kamu lagi di mana.”
“Oh ya? Tapi kenapa dulu waktu aku bersama kamu, kamu nggak ngerasain hal macam begitu? Justru dulu waktu kita bersama, kamu mirip mayat hidup. Kamu mati rasa, kamu bahkan–”
“Ssstt– maaf, aku minta maaf. Aku salah. Sepenuhnya memang salah aku.”
“Kalau tahu kamu salah, apa kamu pikir kamu layak dimaafkan?”
Tristan terdiam, menundukkan wajahnya dengan sendu. Lantas mengangkat kepalanya dengan raut wajah sedih. “Tapi ada kesalahpahaman yang harusnya kamu tahu. Nggak semua kabar yang kamu dengar itu benar,” ujarnya seraya mengelus pipi Anya dengan lembut. “Plis, kasih aku kesempatan. Ijinkan aku memperbaiki diriku sendiri, Nya. Aku yakin nggak akan mengecewakan kamu lagi. Nya, aku cinta sama kamu.”
Mendengar ucapan terakhir Tristan, membuat Anya seketika tertegun. Kata-kata yang diharapkan Anya dari dulu, baru pertama kali ini diucapkan Tristan padanya. Wanita itu hanya terdiam seraya menyelami manik mata Tristan yang menatapnya dengan serius. Beberapa detik mereka saling bersitatap. Hingga Anya terlambat menyadari kalau sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya, bahkan melumatnya lembut.
BAB 10
“Gembala itu teriak-teriak minta tolong, dia bilang kambing-kambingnya dimakan harimau.”
“Hiii…” Chiya merespon cerita papanya sambil bergidik ngeri.
Tristan telentang di atas sofa, dengan Chiya yang berada di atas tubuhnya. Ia menceritakan sebuah dongeng sebuah gadis kecilnya tidur.
“Mendengar teriakan si gembala, orang-orang datang lah. Mana, mana, harimaunya … kata orang-orang berniat mau menolong. Tapi ternyata si Gembala ini malah tertawa karena sudah berhasil membohongi orang-orang di desa. Kambingnya rupanya tidak dimakan harimau. Akhirnya, orang-orang pun merasa kecewa karena dibohongi, dan mereka kembali pulang.”
“Belalti halimaunya nggak ada?” tanya Chiya dengan kerutan di keningnya.
“Nggak ada. Kan tadi gembalanya berbohong sama orang-orang, dia cuma pura-pura bilang kambing-kambingnya dimakan harimau.”
“Oh, gitu …” Chiya manggut-manggut.
“Terus besok harinya, gembala ini teriak-teriak lagi minta tolong sama orang-orang. Tolong, tolong, kambing-kambingku dimakan harimau, katanya.”
“Gembalanya pula-pula lagi?”
Tristan menggeleng. “Gembalanya nggak bohong. Memang betulan kambing-kambingnya dimakan harimau.”
“Hiiii … jadi?” Chiya nampak semakin penasaran.
“Nah, gembalanya kan minta tolong, tapi orang-orang di desa nggak ada yang mau datang. Mereka mikirnya, ah paling pura-pura lagi. Pasti si gembala bohong lagi itu. Jadi nggak ada satu pun dari mereka yang mau datang ketika si gembala teriak-teriak minta tolong. Akhirnya kambing-kambingnya sudah habis dimakan harimau, dan si gembala cuma bisa nangis-nangis.”
“Kasian.” Chiya mendesah sedih mengingat nasib si gembala.
“Nah, itu akibatnya kalau suka berbohong. Chiya juga nggak boleh seperti itu ya, Sayang. Jangan suka berbohong. Nanti kalau suatu saat, Chiya menyampaikan kebenaran, orang-orang tidak akan percaya pada Chiya lagi. Chiya akan dijauhi orang-orang kalau suka berbohong.
“Iya,” jawab Chiya singkat seraya mengangguk-angguk. Ia mengeratkan pelukannya pada Sang papa. Matanya perlahan-lahan mulai memberat.
“Apa tadi kata papa? Jangan suka berbo …?”
“Hong,” jawab Chiya, sembari menguap, matanya semakin memberat dan seperti ia sudah tak sanggup menahan kantuk.
“Pinter anak papa.” Tristan mengelus puncak kepala gadis kecilnya dan mengecupnya dengan lembut.
Karena dilihat Chiya sudah mulai tidur, Tristan pelan-pelan mengangkat anak itu. Kemudian berjalan menuju ke pintu kamar yang tertutup. Ia mengetuk pintu tersebut, karena tak ingin lancang jika langsung masuk ke dalam.
Tak perlu menunggu lama, pintu terbuka. Nampaklah Anya dengan wajah masamnya memandang Tristan dengan raut jutek.
“Sini, biar aku aja.” Anya berniat ingin mengambil Chiya dari gendongan Tristan.
Tristan menurut saja, ia memindahkan Chiya ke tangan Anya. Detik itu pula, pintu kamar tersebut langsung ditutup di depan Tristan. Laki-lai itu hanya bisa mendesah berat dan mengelus-elus dadanya.
Ia lantas kembali ke tempat biasa ia tidur. Di mana lagi kalau bukan di sofa ruang tamu. Selama hampir dua minggu ini, Tristan hanya bisa tidur di sofa ruang tamu. Anya tidak pernah membolehkannya untuk tidur di kamar wanita itu. Yah, meskipun mereka di kampung ini statusnya sebagai suami istri (bohongan), tapi tidak perlu membuat mereka harus tidur di ranjang yang sama.
Di malam-malamnya selama di tempat ini, Tristan tak pernah bisa tidur tenang. Bukan karena tempat tidur–sofa–yang kurang nyaman. Ia terus memikirkan bagaimana caranya ia bisa membujuk Anya pulang ke Jakarta. Sementara ia hanya memiliki waktu seminggu lagi seperti yang ia janjikan dengan mamanya.
***
Anya menggenggam ponselnya kuat-kuat, bahkan jikalau ponsel ini serapuh kerupuk, mungkin sudah hancur berkeping-keping diremasnya. Ia memejamkan sejenak matanya mencoba untuk menahan amarahnya. Kembali ia melihat layar ponselnya.
Sebuah postingan di instagram dengan caption; miss you so muchhh, berharap ini jadi awal buat kita. Itu bukan postingan biasa bagi Anya, foto slide pertama adalah foto seorang perempuan yang tengah tersenyum lebar, sementara foto slide kedua adalah foto tangan seorang laki-laki.
Ini bukan hanya dugaan Anya, tapi ia sangat yakin bahkan foto tangan itu adalah tangan Tristan. Jam tangan dan bentuk tangan Tristan, Anya hapal sekali. Dan yang paling membuat Anya semakin geram, foto itu diposting oleh Mirna–mantan pacar Tristan.
Merasa butuh penjelasan, Anya langsung mendatangi rumah Tristan.
“Ini kamu kan?” Tentu saja Anya memberi waktu sebentar sebelum menembak pertanyaan terbuat kepada Tristan. Ia biarkan mereka menikmati makan malam dengan tenang dulu di rumah Tristan, dan menonton televisi sebentar, barulah ia menanyakan pertanyaan tadi.
Tristan mengerutkan keningnya ketika melihat foto sebuah tangan tersebut.
“Kenapa kamu yakin itu aku?” tanya Tristan balik seraya mengalihkan pandangannya ke arah televisi.
“Jam tangannya punya kamu, tangan itu juga persis kayak tangan kamu.” Anya mencoba untuk bersikap tenang, meskipun ia hampir tidak bisa menahan dirinya. “Kamu datang ke acara reuni kemaren?”
Pertanyaan Anya tak dijawab langsung oleh Tristan. Pria itu hanya terdiam seraya fokusnya tetap tertuju pada televisi.
“Bukannya kamu udah bilang nggak akan datang ke acara reuni itu? Terus, yang ini apa? Aku juga lihat foto-foto kamu sama anak alumni lain yang datang ke acara reuni itu,” lanjut Anya dengan napas terengah-engah. Sepertinya ia sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.
“Kemaren kebetulan ketemu sama Rizal, dia maksa ngajakin aku. Ya aku terpaksa ikut.”
Anya berdecih seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah memang alasan itu memang benar, atau hanya sekedar alibi.
“Lagian kamu kenapa sih? Itu cuma acara reuni loh.”
“Terus kenapa nggak ngajakin aku juga?”
Tristan menaikkan alisnya sebelah sambil menatap Anya, kemudian menghembuskan napas berat. “Hari itu aku mendadak ketemu Rizal, mau ngajak kamu juga nggak sempat.”
Halah, Alasan!
“Oh, mungkin biar kamu punya peluang ketemu sama mantan. Iya kan?” sindir Anya.
Tristan menatap Anya tak percaya karena dituduh begitu. Ia mengeleng-gelengkan kepalanya. “Nih ini, sifat yang aku nggak suka dari kamu. Terlalu overthinking. Posesif.”
“Yah overthinking lah. Apalagi pas dia bikin caption begitu. Mikir deh kamu, orang mana yang nggak kesel, ada cewek yang berusaha ngerebut tunangannya sendiri.”
Tristan menghembuskan napas beratnya, lantas berdiri dari tempat duduknya, merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini. “Kamu tanya sama dia dong, kenapa dia bikin caption begitu.”
“Tapi nggak ada salahnya dong, aku nanya ke kamu juga.” Anya ikut berdiri, mengikuti Tristan yang sudah berjalan menuju ruang kerjanya. “Kamu udah nggak ada rasa lagi kan ke dia? Kamu udah move on kan dari dia?”
Tristan tak menghiraukan pertanyaan Anya. Ia duduk di kursi kerjanya dan membuka laptopnya. Lebih baik ia fokus saja bekerja ketimbang meladeni kemarahan Anya.
“Jawab, Tristan! Jangan diam aja? Kamu udah nggak cinta kan sama dia? Kita udah tunangan, dan bentar lagi nikah. Aku nggak mau kalau kamu masih nyimpan rasa ke mantan kamu. Oh, atau jangan-jangan …, kamu belum bisa cinta sama aku karena belum move on dari dia.”
“IYA! Aku emang masih cinta sama dia. Aku belum move on. Terus kamu mau apa?” Tristan langsung berdiri menatap tajam pada Anya, akhirnya menjawab demi memuaskan emosinya. Ia akan menjawab apapun yang akan membuat Anya semakin marah, ia benarkan saja sekalian semua tuduhan Anya itu, biar wanita itu puas.
Anya terdiam menatap mata Tristan. Bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca, dan setetes air mata jatuh ke pipinya. “Kamu jahat!”
Wanita itu langsung pergi keluar ruang kerja Tristan, meninggalkan laki-laki itu yang kini hanya bisa mendengkus kasar dan kembali menghempaskan tubuhnya di kursi.
Bersambung….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
