Rayuan Mantan Tunangan (Bab 15-16)

3
0
Deskripsi

“Kali ini aku akan melamar kamu dengan sungguh-sungguh” - Tristan

BAB 15

Hujan masih belum berhenti sejak kurang lebih lima menit mereka bertuduh di gubuk orang lain. Keduanya terdiam tanpa terlibat pembicaraan apapun selama itu. Situasi ini sangat canggung sekali. Namun Tristan tidak ingin membuang kesempatan ini, mencoba berpikir bagaimana cara untuk memulai topik pembicaraan. 

“Ehm, Nya, Chiya ulang tahunnya kapan?” Tristan bertanya setelah menemukan pertanyaan yang pas. karena ia memang penasaran juga bagaimana tumbuhnya Chiya selama ia tidak ada.

Anya mengerutkan keningnya, dengan nada tak bersahabat, ia tetap menjawab pertanyaan Tristan.

“Tanggal 24 Agustus,” jawabnya sekedar saja, tanpa mengalihkan pandangan pada rintik hujan yang terus jatuh ke tanah. 

“Wah, berarti bentar lagi dong,” seru Tristan, mengingat sekarang sudah bulan Juni. Itu berarti ulang tahun anaknya dua bulan lagi. 

Kalau dihitung-hitung, tanggal kelahiran Chiya memang delapan bulan setelah Anya melarikan diri dari pesta pernikahan. 

“Aku lagi kepikiran aja mau kasih apa buat anak aku,” sambung Tristan sembari tertawa kecil. “Udah tiga tahun aku melewatkan ulang tahun anakku,” katanya dengan nada lirih. 

Hening lagi, mereka kembali sama-sama diam. Karena Tristan tidak mendapatkan feedback dari pembicaraan mereka barusan. 

“Berarti Chiya bentar lagi masuk TK dong, Nya?” Karena tahun ini Chiya akan berusia tepat empat tahun. Pertanyaan Tristan hanya ditanggapi dengan deheman singkat. “Aku cuma kepikiran aja, gimana kalau ketika Chiya masuk sekolah, tentunya ia harus memiliki berkas-berkas yang menunujukkan siapa Ayah dan Ibu kandungnya. Sementara ia belum memiliki itu, tentunya itu akan menjadi penghalang untuknya, sementara kamu sudah mengakui bahwa kamu sudah menikah dan menjadikan aku suamimu.”

Ucapan Tristan barusan sontak saja membuat Anya menatapnya tajam. Namun tergambar raut was-was di wajah wanita itu. 

“Aku bisa atur itu nanti,” kata Anya pendek, seraya mengalihkan pandangan ke arah lain. 

“Mau diatur bagaimana, Nya? Kamu mau bikin surat pernikahan palsu buat kita? Mama sama papanya asli sih, tapi surat-suratnya illegal gitu?” tanya Tristan dengan tidak sabar.

Ia tidak setuju jika Anya melakukan hal-hal di luar nalar seperti itu. Tentu saja itu akan menyangkut masa depan anaknya nanti. Ia tak mau jika nanti anaknya terkan masalah jika memiliki berkas-berkas pals dengan keegoisan Anya. 

“Aku bisa mikirin itu nanti. Kenapa kamu harus repot-repot sih?”

“Yah, tentu saja aku harus repot, Chiya itu anak aku. Apapun yang terjadi di hari0hari berikutnya, aku harus ikut andil demi kepentingan anakku,” kata Tristan terus menghakimi Anya. Hal-hal seperti ini perlu perdebaran. Ia tak mau Anya mengambil keputusan yang salah seperti yang dulu, yang mengundang banyak masalah rumit lainnya. “Maksud aku kenapa kita nggak nikah aja, Nya? Dengan begitu –”

“Kamu bilang apa? Nikah sama kamu? Nggak mungkin!” potong Anya cepat dengan nada sinis.

Terlihat sekali bahwa ia langsung menolak usul Tristan.

“Jangan egois, Nya. Ini demi Chiya juga.”

“Halah. Nggak sudah cari kesempatan kamu. Aku bisa cari ayah lain buat Chiya. Yang penting bukan kamu.”

Gigi Tristan bergemelatuk mendengar ucapan enteng Anya. Tidak, ia tak akan biarkan siapapun laki-laki lain memiliki apa yang harusnya menjadi milik Tristan.

“Oh, terus gimana nanti tanggapan orang-orang desa kalau tahu kamu menikah laki-laki lain sementara aku masih jadi suami kamu?”

“Yah, aku pindah ke tempat lain aja untuk memulai hidup baru. Lagian memang aku berencana untuk pindah dalam waktu dekat.”

Arghhh! Tristan meremas rambutnya dengan frustasi. Heran ia dengan pemikiran Anya yang di luar nalar. Seenteng itu Anya memikirkan untuk menyelesaikan masalah yang mungkin akan menimbulkan masalah lain.

“Tidak. Kami nggak bisa menikahi laki-laki lain selain aku, Nya.”

Tembak Tristan terang-terangan langsung pada intinya.

Anya terkesiap mendengar itu, ditatapnya Tristan yang kini memandangnya dengan intens. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perasaan tak menentu. Ia lantas beranjak dari tempat duduknya.

“Kita mending pulang aja,” katanya meskipun hujan masih belum mereda, tapi ia ingin segera meninggalkan tempat ini. Situasai macam ini membuatnya tak nyaman. Terlalu lama berduaan dengan Tristan membuat debar jantungnya semakin tak menentu. Langkah Anya terhenti ketika ia hendak menerobos hujan, karena sepasang tangan melingkat di perutnya. Tentu saja ia terkejut karena tiba-tiba mendapat pelukan Tristan dari belakang.

“Nya, plis, kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku ingin kita kembali seperti dulu lagi,” gumam Tristan.

Anya tertegun, ia bisa merasakan deru napas pria itu menyapa lehernya. Pundaknya terasa berat karena Tristan menumpu dagunya di sana.

“Lantas ke mana kesempatan-kesempatan yang sudah aku kasih ke kamu dulu? Kamu mengabaikan juga kan akhirnya?” balas Anya, membiarkan posisi mereka seperti itu. 

“Maaf,” gumam Tristan penuh sesal. Ia mengeratkan pelukannya dan mengecup bahu Anya dengan lembut sehingga membuat wanita itu berjengit kaget karena perlakuannya yang tiba-tiba. “Tapi percayalah, Nya. Apa yang terjadi antara aku dan Mirna dulu itu hanya kesalahpahaman. Kalau kami balikan, nggak mungkin aku ngejar kamu sekarang kan? Aku bahkan menolak wanita-wanita yang mau mama jodohin ke aku biar aku move on. Tapi aku nggak bisa, aku cuma mau kamu, Nya.”

Tanpa disadari, wajah Anya memanas saat mendengar kalimat terakhir Tristan. Tristan menginginkan dirinta tentu saja membuatnya salah tingkah. Pria ini tidak sama seperti tunangannya dulu. Tristan yang dulu tidak pernah mengucapkan kata-kata manis untuk membujuk Anya. Alih-alih membujuknya, justru Tristan akan mengabaikannya dan menunggu Anya yang lebih dulu melunak. 

Namun sekarang, Tristan tak peduli dengan egonya sendiri. Ia mengatakan apapun untuk bisa membuat Anya kembali padanya. 

“Tapi aku nggak bisa dengan laki-laki yang nggak mencintai aku.”

“Aku cinta. Aku cinta sama kamu, Nya. Nggak mungkin aku mengejar kamu kalau tidak mencintai kamu.” 

Jantung Anya berdebar ketika mendengar ucapan spontak dari Tristan. Kata-kata yang sangat ia harapkan dari dulu ternyata tidak aman bagi jantungnya. Anya mencoba menghalau perasaan yang sempat mengucup, tiba-tiba saja kembali mekar. 

Sembari Anya berperang dengan pikirannya yang kalut, lingkaran tangan Tristan mengendur tetapi bukan untuk melepaskan Anya, melainkan memutar posisi mantan tunangannya untuk berhadapan dengannya.

Anya menelan ludahnya ketika ditatap sedalam itu oleh Tristan. Ia mencoba untuk melarikan pandangannya ke arah lain, asalkan tidak beradu tatap dengan Tristan yang mana membuat jantungnya tidak aman. Namun dengan kurang ajarnya, Tristan meraih dagu Anya dan membuat wanita itu memandangnya.

“Nya, plis, nikah sama aku. Kali ini aku akan melamar kamu dengan sungguh-sungguh.”

Entah siapa yang memulai, entah karena suasana yang mendukung, bibir keduanya bersentuhan.

Karena tak mendapat penolakan dari Anya–wanita itu hanya diam mematung–Tristan kecup lagi bibir manis itu dan melumatnya lembut. Dirinya seperti tersengat ketika kembali mencium bibir yang sudah lama tidak ia rasai itu. Rasa rindu akhirnya terbayar hari ini.

Lumatan Trista semakin lama semakin intens dan menuntut. Lidahnya membuka mulut Anya dan akhirnya mendapat respon dari wanita itu. Keduanya hanyut dalam percumbuan yang memanas di cuaca yang sedang dingin-dinginnya dan tempat yang siapapun bisa saja melihat mereka.

Anya melepaskan tautan bibir mereka lebih dulu. Napasnya terengah-engah seolah nyaris kehabisan napas. Ia mendorong dada Tristan, seakan baru saja menyadari apa yang ia perbuat. Ia terlalu hanyut dalam suasana.

Perjalanan pulang mereka hanya terdiam. Tak ada yang mengungkit kejadian tadi. Sesampainya di rumah, Anya langsung buru-buru turun dan menghampiri rumah.

“Surprise!”

Teriakan mengagetkan ketika Anya membuka pintu. Tanpa ia sangka-sangka, ada seseorang yang baru saja datang ke rumahnya. Tanaka, laki-laki itu tengah tersenyum lebar menyambut kedatangan Anya. Namun senyumnya memudar ketika melihat Tristan muncul dari belakang Anya.

BAB 16

Nataka memastikan bahwa meja-meja dan kursi restoran sudah rapi. Ia lantas menaiki area rooftop untuk memastikan masih ada orang di sana atau tidak karena ia akan mengunci tempat itu sebelum pulang.

Ternyata benar masih ada orang di sana.

Anya, bosnya di restoran tempat ia bekerja saat ini, tengah duduk sendirian di sudut rooftop. Sembari memandangi suasana malam kota Jakarta. Ini sudah ketiga kalinya Nataka mendapati bosnya itu duduk termenung di sana.

Awalnya Nataka sungkan untuk berbicara dengan Anya karena mereka tidak cukup dekat. Hanya hubungan antara bos dan pegawai. Namun melihat suasana hati Anya yang sepertinya membutuhkan teman bicara, kali ini Nataka memberanikan diri.

“Mbak Anya, belum mau pulang? Pintunya mau saya tutup.”

Anya tersentak ketika tiba-tiba saja dihampiri laki-laki berseragam restoran miliknya. Wanita itu lantas tersenyum tipis.

“Biar saya yang kunci nanti, kamu pulang aja duluan.” Anya menjulurkan tangannya untuk meminta kunci dari Nataka.

Nataka memberikan kunci itu dengan sedikit ragu. Ia kemudian berbalik, namun tidak jadi pergi. Ia menoleh lagi kepada Anya yang sudah kembali memandangi suasana malam kota, dimana terlihat banyak cahaya lampu dari gedung-gedung tinggi.

“Ehm, mbak Anya butuh teman?” Ujar Nataka langsung. Karena ia tidak tega membiarkan seorang wanita sendirian dengan pikiran kalut seperti ini.

Tempat mereka berada sekarang di lantai tiga. Bisa saja setan yang berada di dekat Anya menghantui dan menghasutnya untuk melompat dari tempat ini. Karena yang Nataka tahu, orang-orang yang pikirannya sedang tidak baik-baik saja seperti Anya seperti ini akan mudah dimasuki setan. Sebut saja pikiran Nataka terlalu liar hingga menduga yang tidak-tidak. Namun keadaan bosnya sepertinya tidak baik-baik saja hari ini. Ditambah lagi dua botol alkohol berada di depannya semakin membuat Nataka was-was.

“Kamu pulang aja. Saya sudah terbiasa sendiri,” kata Anya seraya tersenyum kecil, meneguk minuman kerasnya. Lantas mengisi ulang gelas kecilnya.

Nataka membiarkan saja bosnya melakukan itu. Jika ia mencegahnya, takutnya dikira terlalu lancang dan akan dipecat keesokan harinya. Meskipun Nataka tak segera menuruti perintah bosnya untuk segera pulang, ia masih mengawasi dari sana.

“Lo tahu nggak, dua hari lagi pernikahan gue. Tapi gue lagi mikir gimana caranya biar itu nggak terjadi.”

Anya kembali berbicara lagi dengan suara terseret-seret, mungkin karena sudah mulai terbawa pengaruh alkohol. Ia sepertinya tak peduli dengan siapa ia bicara kali ini. Namun Nataka yakin, bosnya ini memang membutuhkan teman untuk mengeluarkan segala unek-uneknya.

“Gue benci sama dia. Gue nggak mau sama dia lagi. Dia jahat.”

Nataka tidak tahu siapa yang Anya maksud. Kalau ditebak, mungkin orang yang Anya bicarakan adalah calon suaminya. Sebelumnya ia mendengar kabar pernikahan Anya, bahkan semua pegawai restoran pun mendapatkan undangan. Rencananya restoran akan ditutup sementara di hari pernikahan Anya.

“Lo bisa bantu gue nggak buat lari dari masalah ini?”

Nataka terkesiap ketika Anya tiba-tiba bicara begitu. Anya memandangnya dengan wajah sendu, seperti menggambarkan kesedihan di bola matanya. 

“H-hah? Maksud mbak gimana?” tanya Nataka tidak yakin, memastikan bahwa ia tidak salah mengartikan. Benarkah bosnya ini sedang meminta bantuanya?

“Bantu gue buat kabur dari tempat ini.”

***

Tristan memandang tak suka dengan suasana di dalam rumah saat ini. Nampak Chiya tertawa lepas bersama laki-laki yang baru ia tahu bernama Nataka itu. Laki-laki yang menelepon Anya tempo hari, yang membuat Tristan cukup penasaran tentangnya.

Dilihat dari keperawakannya, Nataka tampak lebih muda daripada Anya. Tingginya tidak melebihi Tristan, dan Tristan yakin bahwa dirinya lah yang lebih tampan dari Nataka.

“Bang, ini tehnya biar hangat.”

Tristan terkesiap ketika Bora tiba-tiba saja datang, menawarkan secangkir teh hangat. 

“Makasih, Bor,” ujarnya seraya meraih teh tersebut. Ia baru saja selesai mandi lantaran sehabis kena hujan tadi. Badannya memang sedang menggigil kedinginan. Untung saja ada Bora yang lebih peka dengan keadaannya. Anya malah sibuk bercengkarama dengan Nataka dan Chiya, seperti tidak mempedulikan keberadaan Tristan yang sedang dilanda cemburu.

Tiba-tiba saja ponsel Tristan berdering sehingga mengundang tatap dari orang-orang yang sejak tadi sibuk bercengkaram. Tristan menggaruk tengkuknya dengan canggung seraya melihat layar ponselnya. Begitu melihat nama kontak di sana ternyata mamanya, Tristan buru-buru keluar rumah.

“Ya, Ma?” Ia duduk di depan warung seraya bersandar di dinding.

“Waktu kamu tinggal besok. Sesuai perjanjian, kalau kamu nggak berhasil dengan misi kamu, itu berarti kamu harus pulang sekarang juga.”

Tristan meringis mendengar ucapan mamanya yang tanpa basa-basi. Ia pun baru menyadari waktu cepat berlalu, dia ia bahkan belum mendapatkan lampu hijau dari Anya. Sedikit sih, ketika kejadian di gubuk tadi sore. Terbuka dari cara mantan tunangannya itu membalas percumbuan mereka.

Sial! Tristan makin diingatkan dengan kejadian tadi makin membuat perasaannya tidak karuan.

“Aku minta waktu seminggu lagi, Ma,” tawar Tristan.

“Nggak boleh dong. Janji harus ditepati. Nggak ada satu minggu lagi. Kalau kamu nggak mau, biar mama suruh orang-orang mama buat nyeret kamu dari sana.”

Mamanya seperti tidak peduli dengan keresahan yang dialami Tristan. Dengan teganya tidak menambah kesempatan untuknya.

“Tunggu, itu berarti kamu belum berhasil kan? Udah lah, kalau urusan begini kamu memang lamban. Biar nanti mama cariin wanita yang lebih baik daripada si Anya itu. Mama jamin itu.”

Tristan mendesah berat mendengar perkataan mamanya. “Tapi aku tetap maunya sama Anya.”
“Jangan keras kepala kamu! Kalau Anya nggak mau sama kamu, jangan kamu paksa. Harusnya kamu itu bisa meniru Anya, bisa move on.”

Kata-kata mamanya tentu sindirian yang sangat pedas, membuatnya meringis miris.

Pembicaraan diakhiri dengan Tristan yang mengalah saja. Ia iya-iyakan saja ucapan mamanya dengan nada malas karena berdebat dengan mamanya akan menguras banyak energi. 

Ketika Tristan beranjak hendak masuk ke dalam rumah, ia tersentak kaget ketika melihat Tristan sudah berdiri di depannya. Ia kembali memasang ekspresi coolnya.

“Kamu nguping? sejak kapan di situ?” sembur Tristan dengan nada tak suka.

“Bang, pulang aja nggak papa. Anya aman di sini, udah ada saya yang jagain di sini.”

Tristan mendengkus kasar seraya mendekati Nataka. Ia tatap tajam laki-laki itu.

“Saya akan pulang, tetapi bersama Anya,” ujarnya tegas seraya berjalan melewati Nataka. Namun langkahnya terhenti ketika Nataka mengatakan sesuatu yang menyentil egonya.

“Jangan memaksakan sesuatu berlebihan, Bang. Takutnya akan sama mengecewakan seperti yang dulu.”

Bersambung…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Rayuan Mantan Tunangan (Bab 17-18)
1
0
“Nggak mungkin kamu bisa mencintai orang lain, selain aku."
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan