Rayuan Mantan Tunangan (BAB 1-2)

5
0
Deskripsi

Pertemuan Anya dan Tristan setelah sekian tahun berpisah.

BAB 1

“Ih, ada anying.”

“Bukan! Itu namanya kucing.”

“Anying itu.”

“Kucing! Ini bandal kali dibilangi.” Perdebatan barusan membuat anak yang menyebut seekor kucing baru lewat di depan mereka lantas berdecak, karena lawan bicara menebak nama hewan yang sama. 

“Itu namanya kucing, Sayang-sayangku.”

Suara wanita dewasa langsung menengahi perdebatan kedua anak tadi, yang mana langsung membuat anak yang menjawab benar langsung menggumam, “Tuh kan, kubilang juga apa! Miss Anya aja bilang itu kucing.” semprotnya lagi dengan nada angkuh karena baru saja mendapat pembelaan. 

“Tapi, tapi, tapi … kata mamaku, itu anying.” Anak tadi tidak mau kalah, tetap pada jawabannya yang sudah jelas-jelas salah.

“Itu namanya kucing, Lia Sayang. Kalau anjing badannya lebih besar lagi.” Wanita dewasa yang tadi dipanggil Miss Anya sabar mencoba memberi penjelasan. 

“Oooh, gitu ya, Miss Nya.”

“Iya–eh, awas motor! Jalannya jangan ke tengah.” Anya menarik beberapa anak-anak yang hampir saja keserempet motor yang lewat di tengah jalan. “Ayo, jalannya di pinggir sebelah kiri, jangan ke tengah jalan, nanti kena tabrak loh,” nasihat Anya langsung dituruti anak-anak tersebut.

Wanita bernama lengkap Anya Grethania itu tersenyum melihat beberapa anak-anak berjalan sambil bernyanyi menuju rumah masing-masing. Anya adalah seorang Guru di Taman Kanak-kanak di sebuah desa. Sudah lebih setahun ia memilih untuk mengajar, dan bertemu dengan banyak anak-anak yang menggemaskan. 

“Dadah, Miss Nya!”

“Besok ketemu lagi ya, Sayang. Jangan lupa mam siang.”

Anya membalas lambaian tangan anak terakhir yang akhirnya tiba di rumahnya sendiri. Lantas ia melanjutkan perjalanan menuju rumahnya sendiri. 

“Mamaaaa.” 

Senyum Anya semakin mengembang ketika mendengar jeritan bahagia seorang kecil yang tengah berlari ke arahnya sembari merentangkan tangan ke arah Anya. Dengan senang, Anya mengangkat anak kecil itu tinggi-tinggi membuatnya bertambah senang. 

“Cantiknya anak mama ini–eh, ini kenapa tangan kamu?” Anya yang tadinya tersenyum sumringah langsung terkejut ketika melihat ada goresan di tangan kanan anaknya. 

Yang ditanyai, bukannya langsung menjawab langsung tiba-tiba menangis. “Tadi … tadi Ila mukul Chiya.” 

“Udah, udah. Jangan nangis. Masih sakit?” tanya Anya lagi seraya memegangi tangan Chiya–anak perempuannya–dan meniup-niup di sana. Chiya mengangguk, tangisnya mulai mereda. 

Sebetulnya goresan itu tidak terlalu dalam, sehingga hanya menyisakan bekas, tidak sampai luka berdarah. Jadi Anya itu bukan luka yang cukup serius, cukup menenangkan Chiya saja agar anak itu tidak menangis lagi. 

“Eh, Kak Anya, udah pulang.”

Seorang gadis remaja baru saja datang dari dalam rumah, menyambut Anya yang baru saja pulang dari mengajar anak TK. 

“Ini Chiya kok bisa berantem sama Ira sih?” tanya Anya langsung kepada gadis itu, meminta penjelasan mengapa Chiya yang sudah akrab dengan Ira–anak tetangganya–malah berantem sampai cakar-cakaran begitu. Karena Chiya masih belum bisa menyebutkan ‘r’ dengan sempurna, jadi menyebut Ira dengan sebutan Ila.

“Rebutan boneka, Kak. Ira pengen banget bonekanya Chiya.” Gadis remaja yang sering dipanggil Bora itu menjelaskan.

“Oalah.” Anya geleng-geleng kepala, namun juga memaklumi kelakuan anak-anak. Ia lantas menoleh lagi ke arah Chiya dan mengelus lembut rambut anak perempuan itu. “Chiya tadi ikut mukul Ira, nggak?”

Chiya mengangguk, dan dengan bangganya berkata, “Chiya pukul kepalanya sampai Ila nangis.”

Anya menghela napas berat, mengelus kedua pundak Chiya. “Nggak boleh berantem ya, Sayang. Itu nggak baik. Chiya nggak boleh kasar.”

“Tapi Ila yang mukul Chiya duluan,” protes Chiya, tak terima bahwa dirinya disalahkan.

“Oh gitu. Kalau emang Ira yang duluan mukul, Chiya balas aja.” Karena mengetahui bahwa bukan anaknya yang memulai perkelahian, Anya langsung membela Chiya. Bukannya Anya mengajarkan Chiya untuk yang tidak baik, hanya saja ia juga tidak bisa menerima kekerasan sepihak. Ketika ia masih anak-anak dulu juga pasti akan membalas jika temannya memukul lebih dulu. “Tapi lain kali, kalau Ira pengen pinjam bonekanya, kasih pinjam aja. Terus bilang, besok dikembalikan yaaa. Gitu. Sesama teman harus saling berbagi. Kalau Chiya sama Ira bertengkar, terus temannya Chiya siapa dong?”

“Temannya Chiya banyak. Ada El, ada Is, ada Rumi. Banyak.”

“Iya, iya, tapi jangan sampai bermusuhan. Okey?” kata Anya seraya menunjukkan jari kelingkingnya sebagai tanda perjanjian.

Chiya mengangguk, seraya ikut mengaitkan jari kelingkingnya ke milik mamanya. “Okey.”

“Nanti kita ke rumahnya Ira ya, biar Chiya baikan sama dia.”

Wajah Chiya langsung merengut mendengar usul Ibunya, namun akhirnya mengangguk dengan terpaksa. 

***

“Katanya sih gitu, Kak. Bang Nata nggak jadi pulang sabtu nanti.”

“Kok gitu?”

“Katanya dia ada dinas ke Kisaran, entah berapa minggu itu.”

“Oh gitu ya…” Anya manggut-manggut mendengar penjelasan Bora. Ia semakin mengeratkan syal yang membungkus kepalanya lantaran saat ini mereka tengah mengendarai sepeda motor, jadi otomatis angin mengibas-ngibaskan kulit mereka.

Mereka berdua baru saja pulang dari pasar untuk membeli beberapa bahan pasokan untuk warung Anya. Yah, Anya memang memiliki sebuah warung yang selama tiga tahun ini berjalan. 

“Kak …” panggil Bora yang berada di depannya, menyetir sepeda motor.

“Ya?” jawab Anya, yang mana dari panggilan Bora yang menggantung, seperti ingin mengatakan sesuatu padanya.

“Semalam mamak telepon,” kata Bora dengan nada sedih.

“Terus dia bilang apa?”

“Aku disuruh pulang, Kak.” Nada suara Bora terdengar semakin sedih. 

“Kamu mau?”

Gelengan kepala Bora yang menjadi jawaban. “Aku nggak mau pulang sebelum bajingan itu pergi. Jijik aku liat dia.”

“Kamu bener. Kalau lingkungannya bikin kamu nggak nyaman, tinggalkan.”

Sedikit cerita, Bora atau yang memiliki nama panjang Debora, sudah hampir setahun tinggal di rumah Anya. Pertama kali Anya m enemukan Bora dalam keadaan memprihatinkan. Waktu itu, Anya yang baru saja pulang dari pasar yang harus melewati jurang, bertemu dengan Bora yang berjalan seorang diri sambil menangis. Bora bercerita bahwa ia kabur dari rumahnya karena tidak tahan tahan dengan kelakuan Ayah tirinya yang hampir saja melecehkan dirinya ketika mamaknya tidak ada. Ketika Bora menceritakan perbuatan bejat ayah tirinya, mamaknya justru menyalahkan Bora dan menuduh Bora yang menggoda suami barunya. 

Anya yang kebetulan hanya tinggal berdua dengan anak perempuannya–Chiya–akhirnya ikut membawa Bora untuk ikut tinggal bersamanya, ikut merawat Chiya dan menjaga warung ketika Anya pergi mengajar, bahkan juga mengerjakan ladang yang berada di belakang rumahnya. Kehadiran Bora justru membuat beban Anya semakin berkurang. 

Ketika mereka baru saja sampai di depan rumah, keduanya saling berpandangan dengan ekspresi kebingungan ketika melihat sebuah mobil berwarna putih terparkir di depan rumah mereka, saling bertanya-tanya siapa orang yang bertamu siang-siang begini.

Seorang tetangga yang tiba-tiba muncul dari arah warungnya–karena warungnya tertutup badan mobil jadi tak melihat ada orang di sana. Tetangganya itu tersenyum lebar pada Anya sembari mengucapkan kata-kata yang membuat Anya semakin kebingungan sekaligus penasaran.

“Ada suamimu tuh datang,” kata tetangga itu pada Anya.

Suami?

Dengan rasa penasaran, dan jantung berdebar-debar, Anya berjalan semakin mendekati warungnya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang laki-laki dewasa, bertubuh tinggi, putih, tampan, pokoknya khas seperti laki-laki metropolitan.

Di pangkuan laki-laki itu ada Chiya yang begitu tenang berbicara dengannya, padahal Anya melarang Chiya untuk bicara dengan orang asing. Ketika laki-laki itu mendongak dan menoleh pada Anya, senyum laki-laki itu seketika mengembang dan menaikkan sebelah alisnya.

“Hai, Anya. Long time no see.”

Sial! Anya tahu kalau setelah ini hidupnya tidak akan baik-baik saja.

 

BAB 2

Tristan Pramudya mengira kalau ia memasuki desa pedalaman akan melewati jalanan berlumpur dan susah dilewati. Nyatanya, di masa sekarang sudah semakin maju, jalan ke desa tujuannya saat ini memiliki akses yang cukup mulus, aspalnya seperti masih baru, sehingga Tristan tidak kesulitan ketika melewati desa yang cukup jauh dari perkotaan ini. Sebuah desa yang dekat dengan Tanjung Balai, Sumatera Utara. Tempat dimana ia harus menemukan setengah jiwanya yang hilang.

“Warung yang itu bukan, Pak?” Tristan yang sejak tadi sibuk memandangi area sekitar desa seketika terkesiap ketika seorang laki-laki yang tengah mengemudi mobil bertanya padanya.

Tentu saja Tristan tidak sendirian datang ke tempat ini. Ia membawa satu orang anak buahnya bernama Octo. 

“Sepertinya iya,” jawabnya seraya memandangi sebuah foto, yang mana latar belakang warung mirip dengan apa yang mereka lihat saat ini.

Mobil dihentikan, Tristan segera turun dan memperhatikan sekitarnya dengan seksama. Udara di sini berbeda dengan kota Jakarta yang sudah banyak polusi. Tristan merasakan kesejukan ketika sepoi angin melambai kulitnya. 

Beberapa warga desa yang kebetulan berada di sana, menengok mereka dengan penasaran. Ah, Tristan sebenarnya tidak suka menjadi pusat perhatian begini, apalagi dengan penampilannya yang mencolok.

“Halo, Buk. Apa benar ini rumahnya Bu Anya?” Octo–Anak buah Tristan–langsung bertanya kepada seorang perempuan paruh baya yang tak jauh dari tempat mereka.

“Iya, mau ngapain? Kalian siapanya Anya?” Ibu-ibu itu balik bertanya seraya memandangi mereka berdua secara bergantian. Terutama kepada Tristan, Ibu itu memandangi Tristan dengan rasa penasaran sekaligus kagum dengan penampilannya yang seperti artis. 

“Oh, ini … kita ada perlu sama Bu Anya. Kira-kira orangnya di rumah nggak ya, Buk?” Octo kembali bertanya seraya melirik-lirik ke arah rumah yang mereka tuju, pintunya masih tertutup rapat dan sepertinya tidak ada orang di dalam.

“Oh, Anya, dia pergi ke pasar tadi. Bentar lagi pulang dia tuh,” jawab Ibu itu sekenanya, sembari terus memandangi Tristan sembari berpikir-pikir. Ia merasa seperti tidak asing dengan wajah laki-laki ini. Seperti pernah lihat, tapi di mana ya? A ha! Ibu itu ingat. “Bapak ini suaminya Bu Anya?” Seakan teringat sesuatu, Ibu itu bertanya lagi kali ini dengan nada yang cukup akrab. 

“Su-suami? Maksud–” 

“Ya ampun, ternyata ini betulan suaminya si Anya? Ganteng juga kau ya. Ke mana aja kau selama ini?”

Rentetan perkataan Ibu itu membuat Tristan bingung, ia menengok pada Octo yang juga sama bingungnya. Dari mana Ibu-ibu ini tahu kalau Tristan adalah suami Anya. Apakah hanya menebak atau memang sok tahu? 

Meskipun begitu, Tristan cuma bisa tersenyum saja dan mengangguk, tidak mengelak ucapan Ibu tadi. Karena satu sisi ia pun senang jika disebut sebagai suami Anya, walaupun kenyataannya masih belum. 

“Selama si Anya tinggal di sini nggak pernah nampak kami suaminya siapa. Baru kali ini lah kutengok suaminya, ternyata ganteng juga.” Ibu-ibu itu dengan sok akrabnya terus berceloteh. “Oh ya, namanya adek berdua ini siapa?”

“Bapak ini namanya Pak Tristan, Buk. Saya Octo.” 

“Oh ya ya, saya panggil aja Ibu Surya.” Ibu itu ikut memperkenalkan dirinya. “Duduklah duduk di sana, warung si Anya itu. Tunggu aja di sini, sebentar lagi dia pulang itu dari pasar.” 

Tristan mengangguk ketika Ibu itu mempersilahkan Tristan untuk menduduk bangku panjang yang terbuat dari beberapa bambu, terletak di depan warung Anya. Mungkin memang sengaja dibuat bangku untuk para pelanggan warungnya. 

“Iraaaaa … Iraaa, panggil dulu si Chiya itu ke sini, Nak. Cepat!”

Suara Bu Surya itu terdengar keras agar bisa sampai ke rumah sebelah, sampai-sampai Octo harus menutup telinganya mendengar suara itu. Sementara Tristan meskipun ia sedikit terganggu dengan suara keras itu, tetap saja memasang wajah cool.

“Apa, Mak?” Seorang anak kecil tampak berlari menyahut Ibunya, disusul oleh anak kecil lainnya yang juga datang bersamanya. 

Melihat salah satu anak perempuan yang mungil itu, Tristan langsung terkesiap menelan ludahnya. Darah di seluruh tubuhnya seakan dialiri air dingin kala menatap mata bulat yang juga tengah menatapnya dengan polos.

Anak itu mirip dengan foto yang bersama Anya. Benarkah itu anaknya?

“Chiya, sini, Nak.” Ibu itu menyuruh anak kecil itu mendekat ke arahnya.

Ketika Chiya berjalan mendekat ke arah mereka, Tristan hampir saja membeku di tempat.

“Chiya, itu bapakmu datang.” Ibu itu tanpa berbasa basi langsung bicara pada Chiya dan menunjuk ke arah Tristan.

Ketika melihat Tristan, Chiya diam sebentar lantas menggelengkan kepalanya sembari mengemut jari telunjuknya. Bukannya mendekati Tristan, ia malah memeluk kaki Bu Surya. 

Tristan menelan ludahnya yang kelu, ia yang sedari tadi diam memperhatikan, akhirnya buka suara. “Halo, Ci … Chiya.” Jujur, ia masih kesulitan melafalkan nama anaknya sendiri.

“Nggak usah malu-malu. Itu ngomong sama bapakmu, Chiya.” Bu Surya mencoba untuk mendorong Chiya mendekat pada Tristan, karena sejak tadi hanya diam saja.

Antara malu-malu dan takut, Chiya malah menggelengkan kepalanya dan tak mau mendekati Tristan. Ia belum pernah melihat orang ini sebelumnya, ia orang asing.

Mata Chiya nampak berkaca-kaca, sedetik kemudian tangisnya langsung pecah. “Mamaaaa…” jerit Chiya, ia merasa ketakutan karena tak menemukan mamanya di sini. Ia takut ketika ia harus berhadapan dengan orang baru tanpa harus melihat respon mamanya. Ia ingin bertemu mamanya sekarang juga. 

“Shhh, udah, udah, jangan nangis, Chiya. Nggak papa.” Bu Surya mencoba menenangkan Chiya dengan menepuk-nepuk bahunya, sekaligus menengok ke arah Tristan dengan rasa tak enak hati.

“Mamaaaa…” Chiya terus menjerit memanggil-manggil mamanya, seraya menengok ke arah Tristan dengan takut.

Tristan yang tidak pernah berurusan dengan anak kecil tentu saja panik. Ia bingung hendak bagaimana untuk menenangkan Chiya, sampai-sampai ia harus menyenggol Octo untuk membantunya.

Octo yang menghela napas berat karena mau tak mau ia harus turun tangan untuk menenangkan Chiya. Ia lantas berjongkok di hadapan Chiya agar tinggi mereka sejajar. Lantas menyunggingkan senyum manis pada anak kecil itu. Ia mengambil sebuah lolipop dari sakunya, memamerkan tepat di hadapan Chiya. 

“Om Octo punya permen. Chiya mau? Enak loh ini.” kata Octo seraya menyodorkan permen itu pada Chiya.

Tangis Chiya sedikit mereda, menyisakan isak kecil. Ia hanya memandangi laki-laki besar di hadapannya dan juga permen itu secara bergantian. Namun belum berani menerima pemberian laki-laki itu meskipun ia sangat ingin. Chiya menyukai permen, dan ia belum pernah melihat bentuk permen di hadapannya. Chiya penasaran apakah rasa permen itu lebih enak daripada yang biasa dia makan?

“Ambil aja, Chiya. Nggak papa. Buat kamu ini.” Octo terus membujuk dengan nada suaranya yang lembut. 

Akhirnya dengan sedikit malu-malu, Chiya menerima permen dari tangan Octo. Ia menunduk tanpa bicara apa-apa, meskipun ia ingin mengucapkan terima kasih, namun masih enggan.

“Dah ya, Chiya jangan nangis lagi. Chiya cantik loh, kalau nangis jadi jelek.” Octo dengan berani mengusap sisa-sisa air mata anak kecil itu, yang untungnya Chiya tidak mengelak, seolah mulai merasa nyaman dengan perlakuan Octo yang lembut. 

Gadis itu itu tampaknya kesusahan membuka bungkus permennya, sampai-sampai menimbulkan garis-garis kerut di dahinya karena berpikir bagaimana harus membuka bungkus permen ini.

“Susah ya bukanya? Sini biar Om bantu.” Chiya membiarkan Octo mengambil kembali permennya untuk dibuka. Namun bukan laki-laki itu yang membuka, ia justru memberikan pada Tristan yang sejak tadi diam memperhatikan interaksi mereka. “Pak, bantu bukain dong, Pak.” 

Tristan melotot ketika Octo berani-beraninya memerintah atasannya sendiri. Namun, Tristan tidak menolak, dan tetap mengambil permen itu untuk dibuka. Diam-diam Tristan mengamati ekspresi Chiya yang memandanginya ketika membuka permen itu. 

“Aduh, kok susah ya?” Tristan berpura-pura kesulitan membuka bungkus permen itu–padahal kenyataannya mudah. Itu ia lakukan hanya ingin melihat ekspresi Chiya yang menggemaskan. Ia ingin gadis kecil itu lebih lama lagi memusatkan atensinya pada Tristan.

“Bisa nggak, Pak?” tanya Octo mulai tak sabaran.

“Bisa, bisa.” Tristan mencoba lagi untuk membuka bungkus itu dan akhirnya berhasil. Ia sempat melihat senyum Chiya terbit ketika Tristan bisa membuka bungkus permen itu. “Nah, ini buat Chiya cantik.” Tristan ikut berjongkok dan mensejajarkan tingginya pada Chiya, seraya memberikan permen tersebut pada gadis kecil itu.

Sumpah! Octo nyaris mual mendengar nada suara Tristan yang sok-sok dibikin imut seperti anak kecil.

Chiya langsung mengemut permen itu dan dugaannya tak salah, memang permen itu sangat manis dan enak. Chiya suka. 

Karena dirasa Chiya mulai merasa nyaman, mereka berbicara basa-basi pada anak kecil itu. 

“Chiya umurnya udah berapa?” tanya Octo.

“Dua.”

“Berarti bentar lagi masuk TK dong.”

Chiya mengangguk semangat seraya menggigit permennya. Tanpa sadar posisinya sudah nyaris dipeluk Tristan. Bahkan ia dengan santainya bersandar di antara kedua paha Tristan yang tengah berjongkok. 

“Mamanya Chiya ke mana?”

“Pasar.”

“Terus Chiya ditinggal sendirian di rumah?” Kali ini Tristan yang bertanya dengan heran. Bisa-bisanya meninggalkan anak sekecil ini di rumah sendiri. Kalau ada yang culik bagaimana?

“Biasanya kalau Bu Anya pergi ke pasar, dititipin dulu di rumahku. Nggak papa itu. Ada temannya main di sana.” Bu Surya menjawab pertanyaan Tristan. 

Tristan manggut-manggut, kembali tolehkan pandangan pada Chiya.

“Eh, itu Bu Anya sudah pulang.” Bu Surya segera beranjak dari tempat duduknya ketika melihat si pemilik warung datang. 

Tristan seketika membeku di tempat, jantungnya berdetak tak karuan. Antara terlalu bersemangat atau ia bingung bagaimana kalau berhadapan dengan Anya nanti. Lebih tepatnya ia takut kalau respon Anya tak sesuai harapannya begitu bertemu dengan Tristan. Sudah pasti akan terlalu canggung. Ketika ia melihat wajah Anya yang terkejut melihatnya, Tristan menelan ludahnya yang terasa pahit. Namun ia mencoba untuk tersenyum dan menyapa perempuan yang teramat sangat dirindukan itu.

Bersambung….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Rayuan Mantan Tunangan (BAB 3-4)
5
0
Gimana kalau kita nikah lagi?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan