
Ayara tertawa miring, tatapannya penuh dengan ejekan.
"Memangnya kamu laki-laki, sehingga membutuhkan perempuan untuk tidur denganmu?" ucapnya.
"Jadi kamu mengejekku?" tantang pria di depannya.
"Semua orang juga sudah tahu, kamu bukan laki-laki normal. Kamu pantas menjadi biksu."
"Baik kalau kamu memaksaku, pilihlah, kamu yang akan mendekat, atau aku yang ke sana dan merobek bajumu, aku akan buktikan kalau aku laki-laki normal."
Sekali lagi, Ayara tergelak. "Gertekanmu terlalu buruk untuk seseorang...
Part 1 Perjanjian
"Jadi, kamu diam-diam menyimpan bunga baru mekar yang indah di rumahmu?" Sejak pertanyaan itu, Dihyan sudah merasakan gelisah. Nawang Nehan majikannya, sudah mengetahui bahwa dia memiliki seorang putri yang cantik jelita, usia remaja.
Dengan langkah gontai, Dihyan keluar dari ruangan megah di rumah rumah itu. Ruangan yang selama ini selalu menjadi tempat ia dan majikannya bertemu, untuk membahas segala hal.
Rasanya dia tidak percaya jika hal ini akan menimpa keluarganya. Dia tidak pernah menyangka, meminta putri tunggalnya datang ke rumah besar ini, merupakan kesalahan fatal, yang konsekwensinya akan diderita putri kesayangannya itu, di sepanjang kehidupannya kelak.
Kemarin, putrinya menghubungi, meminta sejumlah uang yang harus ada saat itu juga. Ada tagihan mendadak dari kampus, katanya. Dan itu tidak bisa ditunda, harus langsung ada saat itu juga.
Dihyan sedang bekerja pagi itu, sementara majikannya telah memberinya pesan, ia tidak boleh meninggalkan tempat, karena akan ada tamu yang datang. Dihyan tidak berani keluar, sehingga meminta putrinya datang ke rumah tuannya ketika ia menelepon.
Sayangnya, saat Dihyan sedang berbincang di depan gerbang dengan putrinya, Nawang Nehan muncul dengan kendaraan mewahnya. Pemilik perusahaan platform E-commerce terbesar di Asia tersebut, langsung melihat kehadiran putri tunggal Dihyan, yang berkulit putih dan mulus.
"Siapa gadis tadi?" tanya Nawang saat mereka hanya berdua di sebuah ruangan. Dihyan sedang mengantarkan kopi cappuccino kesukaan Nawang Nehan saat itu.
"Dia..” Dihyan merasa ragu untuk melanjutkan. Lidahnya terasa kelu. Jika dia jujur, maka, masa depan mengerikan menanti putrinya. Dihyan menunduk. Nawang Nehan melihat kegelisahan di wajah Dihyan.
"Dia putri kalian? Bayi yang puluhan tahun lalu, kelahirannya kamu perjuangkan dengan mempertaruhkan kebebasan kalian, bukan?" Tidak ada pilihan, Dihyan mengangguk lemah, menjawab pertanyaan tersebut. Nawang Nehan menatapnya tajam, jemarinya mengetuk-ngetuk tangan kursi di sampingnya. Dia seperti sedang berpikir. Dihyan semakin merasa gelisah. Apalagi, Nawang Nehan tuannya, sudah menyinggung masa lalu mereka. Detik-detik di mana istri Dihyan akan melahirkan, Sembilan belas tahun lalu.
Riwayat penyakit yang dialami Gayatri, membuatnya tidak memungkinkan untuk bisa melahirkan secara normal. Jika dia memaksa, maka resiko kematian di depannya. Mengetahui hal itu Dihyan tidak bisa tinggal diam. Dia tidak mungkin menyaksikan istri yang teramat dia cintai meregang nyawa karena melahirnya anak pertama mereka. Maka Dihyan pun bersumpah di depan dokter, apa pun caranya dia akan perjuangkan. Dia akan mendapatkan biayanya jika anak dan istrinya bisa selamat. Lalu atas rekomendasi temannya, Dihyan mendatangi orang terkaya di kampung tetangga. Yaitu, rumah Nawang Nehan. Pemilik banyak perusahaan online dan offline.
"Saya membutuhkan uang tiga puluh juta, Tuan."
"Seratus juta jika mau," balas pria di depannya.
"Tolong saya, Tuan."
"Aku membutuhkan tambahan tenaga untuk bekerja di rumah ini. Silakan kamu putuskan, jika kamu siap dengan tawaranku, maka uang 100 juta akan kalian dapatkan." Usai mengatakan itu, Nawang langsung bangkit dari duduknya. Membetulkan pakaiannya, lalu bergerak.
"Tuan, mohon jangan pergi dulu, saya mohon padamu!" Dengan merangkak menggunakan kedua lututnya, Dihyan mengejar Nawang Nehan, dan berusaha menghalangi langkah pria itu.
"Saya siap dengan tawaran, Anda!" Dengan berat hati, Dihyan akhirnya menyetujui. Anak dan istrinya harus selamat. Mereka sudah menantikan selama sepuluh tahun, dan itu adalah kesempatan bagi keduanya untuk memeluk takdir yang telah mereka pinta selama itu. Kehadiran si buah hati.
"Baik, akan dikirimkan kepadamu uang dan surat perjanjian segera." Nawang Nehan kembali melanjutkan langkahnya.
Kini, setelah perjanjian sembilan belas tahun lalu disepakati, Dihyan kembali dihadapkan dengan satu pilihan. Menyerahkan putri tunggalnya kepada Nawang Nehan untuk dinikahkan dengan putra sulungnya yang terkenal dingin, dan sadis terhadap perempuan. Tidak, bukan menikah, karena putra sulung Nawang sepertinya tidak berniat menikah. Tetapi hanya menjadikannya sebagai pelayan seumur hidup di kamarnya. Dihyan tidak rela itu terjadi kepada putrinya.
Menjadi mahasiswi sebuah universitas terkenal, dengan jejak prestasi yang bagus, putri tunggal Dihyan dan Gayatri bisa memiliki masa depan yang cerah. Apa jadinya jika dia harus menjadi pelayan seumur hidup, putra sulung Nawang Nehan? Akan sia-sia semua perjuangannya mewujudkan mimpi putri tersayangnya selama ini.
***
Malam terasa berat dilalui kedua manusia yang sedang gelisah itu. Gayatri terus-menerus terjaga. Semakin berusaha memejamkan mata, semakin menyeramkan bayangan nasib masa depan putrinya.
"Kita harus mencari cara," bisiknya.
"Tetapi Pak Nawang bukan orang yang mudah kita kelabui," balas Dihyan.
"Bapak yakin, bakal diberikan kepada putra sulungnya?"
"Iya, Bu."
"Kenapa kita tidak coba menawar, dengan putra bungsunya saja, Pak?"
"Kamu gimana to, Bu. Putra kedua dan ketiga Pak Nawang tidak pernah kesulitan mendapatkan wanita. Mereka setiap hari bisa menggandeng wanita baru ke rumah.”
“Sebab itu Pak Nawang mencarikan jodoh buat putra sulungnya?” gumam Gayatri. Dihyan menggeleng getir. Bukan jodoh yang dicari, tetapi hanya pelayan. Putra sulung Pak Nawang Nehan, sepertinya sama sekali tidak tertarik kepada wanita. Pelayan yang dibutuhkan, adalah yang bisa menundukkan hasrat pria itu. Jika tidak berhasil maka, nasibnya tidak akan diketahui lagi, entah dibunuh atau disiksa sepanjang hidupnya di kediaman Arlo. Dihyan mengusap wajahnya. Tidak. Dia tidak akan sanggup melihat putrinya mengalami nasib seburuk itu. Namun bagaimana?
"Den Arlo juga jarang sekali keluar kamar. Dia juga tidak pernah tersenyum setiap kali berpapasan dengan orang. Apakah dia normal, Pak?"
"Entah lah, Bu. Bapak juga tidak paham sama dia. Pak Nawang ingin ada perempuan yang menemani di kamarnya, karena dia malu di lingkungan bisnisnya disebut-sebut memiliki anak yang tidak berfungsi kelelakiannya."
Gayatri memejamkan mata. Tiba-tiba terlintas seulas wajah ceria yang selama ini menghiasi rumahnya.
"Pak," panggilnya. Dihyan menatap wajah istrinya yang tiba-tiba ada binar ceria di sana.
"Saya punya ide" katanya antusias. Dihyan penasaran.
"Apa, Bu?" Gayatri kembali melempar kepalanya ke bantal, menatap langit-langit kamar yang sudah puluhan tahun mereka tempati. Kemudian ia mendesah.
“Tetapi saya juga tidak tahu, apakah ini akan berhasil atau tidak.” Gayatri bimbang.
“Kita coba saja, Bu. Katakanlah.”
________________
Hai, Kakak semua!
Terima kasih sudah membaca karyaku. Bantu like, komen, dan subscribe yaa. Makasih.
Karyaku yang sudah tamat lainnya:
1. Mas Iparku, Musibahku
2. Saat Mantan Istri Suamiku Selalu Ingin Bertemu
3. Ahli Waris Keluarga D
PART 2. Perkelahian
Ayara sedang dalam perjalanan pulang, ketika sayup-sayup telinganya mendengar percakapan mencurigakan di balik gedung kosong, yang hampir ia lintasi. Suara lelaki dan perempuan.
Didorong rasa penasaran, Ayara menyelinap di balik tembok. Pembicaraan itu mengusik hatinya. Mungkin mereka akan berbuat mesum, pikirnya, mengingati jalanan setapak itu begitu sepi.
Dari balik tembok, dilihatnya seorang perempuan berbaju ungu, dan dua laki-laki sedang melakukan transaksi. Perempuan itu menyerahkan satu amplop tipis kepada salah satu dari pria tersebut. Juga satu botol kecil berisi cairan.
"Dia itu begitu rapi,” Ayara mengomentari penampilan si perempuan. “rasanya tidak mungkin jika dia hendak menjajakan diri, kepada dua pria itu di tempat seperti ini." Ayara terus mengamati. Sesaat, ia teringat sesuatu, bukankah itu perempuan yang kemarin dia lihat, bersama salah seorang ceo platform kepenulisan Angkasa Biru, di acara temu penulis, di floating cafe? Sedang apa dia di sini, malam begini?
"Siapa di sana?" Sebuah suara dari arah lain, mengejutkan Ayara. Reflek ia menoleh, berniat melesatkan diri untuk kabur, tetapi pria di dekatnya terlanjur siaga menangkapnya. Dia mencengkeram kuat lengan Ayara. Gadis belia itu berusaha menutupi wajah dengan tangan satunya. Sayangnya, lagi-lagi sosok di depannya dengan cepat menghalanginya. Ayara tidak tinggal diam. Dengan kemampuan bela diri yang diajarkan beberapa guru sejak kecil, serta latihan terus-menerus di sepanjang hidupnya, Ayara balas mencengkeram lengan penyerangnya, lalu memuntir ke belakang dan menjatuhkan tubuh pria itu ke tanah. Ayara bertindak cepat, menginjak punggung pria itu.
"Siapa di sana?" Lagi-lagi Ayara dikejutkan oleh suara tidak jauh dari mereka. Saat kepalanya menoleh, ia mendapati perempuan berbaju ungu dan kedua pria yang tadi melakukan transaksi sedang menatapnya. Dengan kuat Ayara menghentak kakinya, ia lepaskan tangan pria yang diinjaknya, lalu melesat, melarikan diri.
"Kejar dan tangkap dia!" perintah suara itu lagi, terdengar nyaring. Dua orang yang berada di samping perempuan tadi langsung mematuhi perintahnya. Keduanya mengejar Ayara.
Usai memberi perintah, perempuan berbaju ungu itu mendekati pria yang tergeletak yang tadi diinjak Ayara.
"Sepertinya dia seorang perempuan, bagaimana bisa seorang Arlo Raynar yang tangguh bisa dijatuhkan oleh seorang perempuan?" Perempuan berbaju ungu itu mencibir, seraya berjalan dengan gemulai menuju sosok yang disebutnya Arlo Raynar tersebut. Setelah dekat, perempuan itu mengulurkan tangan bermaksud membantu Arlo bangkit. Namun bukan sambutan yang Arlo berikan. Pria itu berjingkat dengan cepat, mengebaskan pakaiannya, lalu berjalan meninggalkan dewi penolongnya itu. Perempuan itu tersenyum miring menatap punggung Arlo.
***
Di sebuah kebun karet yang sepi, Ayara berusaha berlari dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Dua orang pria sedang mengejarnya, dia harus berhati-hati agar tidak tertangkap. Sayangnya, baju putih yang ia kenakan menyulitkannya untuk bersembunyi di dalam kegelapan. Kedua pria itu berhasil menemukannya.
"Kamu sudah menyusahkan kami, Nona," seru salah satu dari pria tersebut.
"Aku tidak pernah mencampuri urusan kalian," kata Ayara.
"Ikut kami jika kamu ingin selamat," kata pria satunya.
"Kenapa aku harus ikut kalian? Bahkan aku bisa menghabisi kalian di sini," balas Ayara, sombong.
"Gadis keras kepala!" Usai berkata begitu, pria berbadan sedikit gemuk, langsung menghambur ke Ayara. Mengayunkan tangan dengan kekuatan penuh. Ayara yang sudah waspada langsung bergerak ke samping, sehingga tangan pria itu menghantam udara kosong, tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Saat itulah Ayara menghantamnya dengan kaki, sehingga pria itu tersungkur ke tanah.
Melihat temannya tak berdaya, pria yang satu menyerang. Lagi-lagi Ayara berhasil menaklukkannya.
"Tolong jangan sakiti kami, Nona. Kami hanya menjalankan perintah," suara mereka terdengar gemetar karena ketakutan.
"Siapa yang memerintahkan kalian?"
"Perempuan yang tadi bersama kami."
"Sebut namanya!" Bentak Ayara.
"Itu, Nona Birdella," sahut salah satu dari mereka.
"Birdella Xavera?"
"Be, betul, Nona." Ayara melepaskan cengkeramannya pada dua tangan pria tersebut, lalu mendorong tubuh mereka menjauh. Dua pria itu langsung berlari meninggalkannya.
***
Plak!
Plak!
Dua tamparan mendarat di masing-masing pipi dua pria itu.
"Bodoh sekali! Bagaimana bisa amplop itu hilang? Bagaimana kalau ada yang menemukannya?"
"Saya jamin tidak akan ada yang menemukannya Nona."
"Dari mana kamu bisa menjamin?"
"Karena kami yakin sekali amplop itu jatuh di semak-semak yang orang tidak akan peduli untuk menoleh ke sana."
"Lalu bagaimana dengan perempuan itu? Kalian melihat wajahnya?" Dua pria itu saling pandang, lalu menggeleng.
"Kami hampir menangkapnya, sayangnya dia tergelincir dan masuk ke sungai." Kedua pria itu sudah sepakat untuk berbohong.
Birdella mendengkus kesal. Ingin rasanya dia memecat kedua bawahannya itu, karena ia anggap tidak becus bekerja. Namun dia tidak bisa karena rahasianya sudah banyak diketahui oleh mereka. Jika keduanya tidak terima, bisa-bisa tersebar semua rahasianya.
"Kalian boleh pergi, tapi ingat, segera cari info tentang perempuan itu. Apakah dia selamat atau tidak. Jika selamat, introgasi apa yang dia dengar dari pembicaraan kita tadi."
"Baik, Nona." Setelah membungkuk di depan perempuan itu, kedua pria itu langsung meninggalkan ruangan.
***
Ayara mengeluarkan amplop coklat yang ia temukan di lokasi perkelahian. Benda yang kini terikat dengan karet gelang bersama sebotol cairan itu ia buka. Kedua matanya langsung terbelalak mendapati isinya. Itu, beberapa lembar poto yang wajah pemiliknya sangat dia kenali, dengan bermacam-macam angle.
"Gistara, Hyuna Sada," Ayara bergumam, "apa yang Birdella rencanakan dengan poto-poto ini?"
Diambilnya botol kecil yang berisi cairan, diamatinya dengan seksama. Warnanya tidak benar-benar bening, tetapi mendekati keruh kekuningan.
"Cairan apa ini? Racun?" Ayara terus memandangi benda mungil di tangannya. Didorong rasa penasaran, gadis itu kembali memasukkan poto ke dalam amplop, mengamankan botol, lalu keluar kamarnya. Rumahnya yang hanya beberapa meter dari sungai, menyebabkan banyak tikus di sekitarnya. Ayara akan menangkap satu dan menjadikan tikus sebagai bahan uji coba.
***
Brak!
Dihyan dan Gayatri saling pandang. Suara yang berasal dari dapur itu mengejutkan keduanya.
"Siapa itu jam segini masih di dapur?" tanya Gayatri.
"Mungkin tikus menjatuhkan barang," sahut Dihyan.
"Ayo kita lihat, Pak." Dihyan hanya menurut ketika Gayatri mengajaknya bangkit dari kasurnya.
"Ayara?"
Ayara terkejut!
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Gayatri.
"Banyak tikus berkeliaran, Bu, brisik sekali suaranya," balas Ayara.
"Oh iya, kami juga mendengarnya. Apa tadi yang jatuh?" lanjut Gayatri. Ayara menunjuk baskom yang berada tidak jauh darinya.
"Tikus-tikus itu memang semakin mengganggu saja," gumam Gayatri kemudian. Ayara mengangguk. Tetapi tadi itu bukan tikus yang menjatuhkan, Bu. Aku pelakunya, batinnya.
Gayatri menatap Ayara cukup lama. Membuat gadis itu merasa aneh.
"Ada apa, Bu?" tanya Ayara penasaran. Gayatri mengembuskan napas. Menoleh kepada suaminya. Lalu memberi isyarat dengan matanya. Dihyan mendehem.
"Ayara, apakah kamu belum mengantuk?" tanya Dihyan. Ayara mulai curiga dengan gelagat keduanya.
"Ada apa?" Seperti biasa, nadanya pelan tetapi tegas.
"Duduklah sebentar, ada yang ingin kami bicarakan denganmu."
Ayara mengikuti ajakan Dihyan untuk duduk di kursi meja makan yang ada di dapur. Gayatri mengikuti. Ayara menangkap kegelisahan di wajah keduanya.
"Ada apa?" ulangnya.
Author Part 3. Pertemuan Berikutnya
Tidak memerlukan waktu lama buat Ayara mencerna apa yang baru saja disampaikan oleh Dihyan. Balas budi. Dua kalimat yang tidak bisa Ayara bantah, karena keduanya tidak bisa lunas hanya dengan hukuman cambuk rotan.
Berkali-kali Ayara menarik napas berat. Sebagai gadis jelang sembilan belas tahun, yang jiwa mudanya masih menggebu, dan menginginkan impiannya sendiri terwujud, Ayara sangat keberatan atas permintaan Dihyan dan Gayatri.
Seharusnya dia meraung saat ini. Menolak dengan keras permintaan mereka. Orang yang telah membesarkannya itu. Namun Ayara tidak melakukannya. Pantang baginya menangis di depan orang, seperti wanita pada umumnya.
"Katakan sesuatu, Ayara," pinta Dihyan.
“Ayara, kamu bersedia kan, Nak?” Gayatri menimpali dengan nada cemas. Mereka sangat tahu karakter Ayara. Sejak kecil, jika dia tidak mau melakukan sesuatu, dia akan berontak dan lebih memilih dicambuk lima sampai sepuluh kali di bawah pohon jambu air, di belakang rumah, hingga kedua kakinya lebam oleh bekas cambukan. Tanpa menangis.
Berbeda sekali dengan kakaknya, Kyra Arundati, yang selalu patuh kepada kedua orang tuanya. Kyra bahkan bisa menangis ketika melihat Ayara sedang dihukum.
“Apa aku ada pilihan?” Ayara balas bertanya. Kepalanya terangkat, kedua matanya tajam menatap dua orang di depannya. Dihyan mendesah.
“Ayara, kami tidak bermaksud memaksamu, tetapi kamu tahu kan, Kyra masih ingin mengejar mimpinya.” Gayatri hendak menyentuh tangan Ayara saat mengatakan itu. Namun Ayara langsung menarik, menjauhkan tangannya dari jangkauan Gayatri. Kemudian ia berdiri.
Ayara tidak mau mendengar kalimat Gayatri selanjutnya, karena dia yakin, itu pasti kalimat-kalimat pujian untuk Kyra. Anak yang cerdas, rajin, masa depannya cerah., dan sebagainya.
“Bawa aku bertemu Tuan Nawang besok,” kata Ayara kemudian. Usai berkata begitu, ia langsung mendorong kursinya menjauh ke belakang tubuhnya., dan bermaksud pergi meninggalkan Dihyan dan Gayatri.
“Apa yang akan kamu lakukan?” Ayara kembali berhenti.
“Menerima tawarannya.” Usai berkata begitu, Ayara langsung melangkah dengan cepat. Dihyan dan Gayatri saling pandang.
***
Pagi sekali, sebelum Dihyan dan Gayatri bangun, Ayara menyelinap keluar rumah. Menyusuri jalan setapak, yang akan menuju jalan besar ke tempat pelatihan bela diri. Hari ini kelompoknya akan diperkenalkan dengan pelatih baru. Ayara tidak boleh tertinggal. Dengan langkah cepat, ia berjalan melintasi gedung kosong yang semalam hampir membuatnya celaka.
Ayara mempercepat langkahnya, pandangannya tidak lepas dari sisi-sisi bangunan, khawatir pengejarnya semalam mengintainya di tempat tersebut. Hingga dia tidak menyadari, di depannya ada sosok lain yang sedang berdiri dengan santai.
"Hati-hati, Nona!"
"Ouch.." Ayara menabrak. Tepat berbarengan kakinya yang menginjak sepatu pria tersebut. Pria itu tersenyum.
"Sepagi ini, kamu hendak ke mana?" tanyanya.
"Jalan raya."
"Jalanan masih sangat sepi, Nona. Mungkin kita bisa bareng, mobilku sebentar lagi datang,"
"Siapa yang akan mempercayaimu? Kamu bisa saja akan menculikku," balas Ayara datar. Pria itu tersenyum. Mengimbangi langkah kaki Ayara.
"Jangan mengikutiku," tegas Ayara. Sekilas dia melihat wajah pria di depannya mirip pria yang semalam ia jatuhkan.
"Aku mengkhawatirkanmu," balas pria itu. Ayara menatap ujung kaki hingga ujung kepala pria itu.
"Aku lebih khawatir dengan keberadaanmu!" ketus Ayara. Pria itu tergelak. Ayara berlari meninggalkannya.
"Hmm, gadis yang lucu,"
Tiiiin!
Suara klakson mobil memecah keheningan pagi. Pria itu terkejut. Sebuah mobil Porsche warna merah berhenti tepat di depannya.
"Gila kamu, pagi-pagi di tempat gelap, pakai baju gelap, di tengah jalan, ngelamun pulak!" kata pengendara mobil. Pria itu tergelak, lalu melompat masuk ke dalam mobil.
"Ada yang lebih gila di depan, ayo jalan," katanya. Mobil kembali bergerak.
"Arlo, apa pendapatmu jika kanan kiri jalan ini diubah menjadi taman yang indah?" ucap pria itu setelah duduk di samping pengemudi mobil.
"Sejak kapan kamu peduli?"
"Yah, setidaknya, biar tidak terlalu menyeramkan, jika ada orang lewat sendirian, di pagi buta begini. Kebun karet juga membuat penciuman tidak nyaman jika musim berbunga."
"Kebun karet menghasilkan uang, taman tidak," balas pria yang dipanggil Arlo. Matanya tetap fokus menyetir, dan sedang tahap menambah kecepatan.
"Arlo berhenti!" Tiba-tiba pria itu berteriak. Arlo langsung mengerem.
"Sialan kamu, Cashel!" umpatnya, pada pria di sebelahnya.
"Lihat di depan!" Pria yang dipanggil Cashel menunjuk. Di depan mereka, jarak beberapa meter, seorang perempuan muda sedang berusaha menghindari pukulan tiga pria yang menyerangnya.
Hmm, gadis itu, Arlo membatin.
"Kita harus menolongnya," kata Chasel.
"Kalau kamu mau, kamu boleh menolongnya, aku ada urusan yang lebih penting," sahut Arlo seraya kembali menggerakkan mobilnya.
"Dasar bajingan tidak manusiawi, kamu tega melihat seorang gadis tewas dikeroyok tiga pria?" Arlo tidak menjawab, sebagai gantinya dia melajukan mobilnya semakin cepat, membelah kabut pagi yang mulai memudar ditelan cahaya, yang perlahan mulai muncul.
***
Bug!
Sebuah pukulan telak mendarat di punggung Ayara. Gadis itu tersungkur di tanah. Dia lengah karena memperhatikan mobil yang sempat berhenti tadi.
"Menyerahlah, Nona," kata pria yang tadi memukulnya.
"Tidak akan!" balas Ayara, seketika bangkit, dan langsung membuat gerakan yang tidak disangka-sangka oleh ketiga pengeroyoknya. Dalam waktu yang singkat, Ayara berhasil melumpuhkan ketiga lawannya.
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Ayara.
"Tidak ada," balas salah satu pria berbadan gembul. Ayara memuntir tangan pria itu ke belakang, seraya menekan punggungnya semakin keras, dengan pipi menempel di jalan beraspal. Pria itu meringis kesakitan.
"Silakan mengaku, atau aku akan membiarkan kalian menjadi bulanan warga, dan tewas di tangan mereka."
"Ja, ja, jangan Nona. Kami, kami.. disuruh Nona Birdella." Kenapa Birdella ingin mencelakaiku? Ayara melepaskan pria tadi. Lalu mengeluarkan ponselnya, dan menelepon sebuah nomor.
Tidak lama kemudian mobil polisi datang.
***
Gedung empat lantai itu sudah tampak terang-benderang. Harusnya Ayara sudah sampai di sana sejak satu jam yang lalu, namun dia terlambat karena terpaksa harus berurusan dengan polisi.
Ayara melangkah memasuki halaman gedung. Security langsung menyambutnya. "Tumben kamu telat, Ayara!”
Ayara tersenyum. Lalu pamit masuk ruangan.
Menaiki tangga menuju lantai satu. Punggung dan kakinya terasa ngilu akibat pukulan tadi. Sekilas bayangan mobil porsche berwarna putih dengan dua pria di dalamnya kembali melintas di benaknya. Langkah kakinya berhenti.
"Ini semua ulah kalian," gumamnya, "aku akan mencari dan menghancurkan kalian." Usai berkata begitu, kaki Ayara kembali menaiki tangga dengan hati-hati.
"Siapa yang akan kamu hancurkan?"
"Hmmph" wajah Ayara membentur dada seseorang yang sedang turun tangga. Ia mendongak.
"Kamu?" Pria itu tersenyum lebar. Ayara langsung mengenalinya. Pria yang tadi ia tabrak di jalan. Pria yang mengendarai mobil porsche putih. Ya, meskipun jalanan masih agak gelap, Ayara masih mampu mengenali wajah dan warna.
"Syukurlah kamu baik-baik saja, Nona. Siapa namamu?"
"Jika kita bertemu lagi dalam keadaan baik-baik saja, ke depannya, saat itu aku akan beritahu namaku." Ketus Ayara menyahut. Lalu menggeser tubuhnya dan kembali menaiki tangga.
"Hei." Pria itu ikut membalik badannya, berniat mengikuti Ayara.
Ayara hampir sampai di puncak tangga, saat satu pria lagi muncul. Langkah Ayara kembali terhenti. Sejenak mata keduanya saling pandang. Sekali lagi Ayara mengenali wajah itu. Pria yang ia jatuhkan di samping gedung tadi malam, sekaligus pria yang menyetir porsche tadi pagi.
Pria itu hanya melihat Ayara sekilas, kemudian, bersikap seolah-olah tidak melihat apa-apa. Ia justru berbiara kepada pria satunya
"Chasel, aku memintamu mengambil file di mobil, sedang apa kamu di sini?" katanya. Ia mengabaikan Ayara.
"Siap laksanakan!" balas Chasel ceria. Lalu melangkah pergi. Pria itu kembali memutar tubuh, dan berjalan menuju ruangan. Ayara melakukan hal yang sama dengan gerakan lamban. Hatinya bertanya-tanya, mengapa keduanya ada di sini? Siapa mereka?
Part 4, Pria Arogan Di Kelasnya
Begitu memasuki ruangan, Ayara langsung mencari tempat untuk duduk. Dia langsung tersenyum ketika mendapati Gistara, sahabatnya, memberi isyarat dengan jarinya agar ia datang kepadanya. Ayara langsung menuju tempat yang ditunjuk Gistara.
“Apa yang terjadi?” bisik Ayara ketika ia telah duduk di belakang Gistara. Tumben, biasanya Gistara akan memberinya tempat di depan dia atau di sampingnya agar memudahkan mereka mengobrol di sela-sela materi.
“Belum terjadi apa-apa, tetapi dia tadi sempat bertanya, apakah ada yang terlambat datang,” jawab Gistara.
“Lalu?”
“Gimana lagi, semua serentak menyebut namamu.”
“Oke.”
“Ayara awas!” tiba-tiba Gistara berseru. Dengan tangkas Ayara menggerakkan tubuhnya ke belakang. Sementara tangan kanannya menyambar benda yang barusan melayang menujunya. Lalu, dengan satu gerakan yang sangat cepat, Ayara kembali melempar beda tersebut kepada orang yang melemparnya.
"Wow …" gumam sebagian orang yang ada di ruangan.
Ayara menatap tajam pria di ujung sana. Berdiri di samping meja seraya tersenyum sinis kepadanya. Tangan kanannya terangkat di depan wajahnya, dengan siku bertopang pada tangan satunya, yang bersedekap di bawah dada. Di antara jemari tengah dan telunjuknya terdapat sejengkal kayu. Benda itu yang tadi melayang hampir menyambar tubuh Ayara.
"Keluar!" usir pria tersebut. Suaranya pelan, tetapi penuh tekanan. Ayara mendesah berat. Lihat saja, keluar dari sini, mati kamu!
Ayara berdiri. Lalu melangkah ke depan.
"Kuperingatkan kepadamu, saat jadwal latihan denganku, tidak ada satu pun peserta yang boleh terlambat. Jika ada satu saja yang terlambat, maka semua yang ada di kelompok ini, akan menerima hukuman. Paham?" Pria itu menatap Ayara dengan sinis.
"Ya, Sir!" sahut Ayara tegas, dengan tetap mengangkat dagu.
"Hari ini aku memaklumi, tetapi bukan berarti kamu bebas dari hukuman. Keluar dan berdiri di depan pintu!"
"Yes, Sir!" Ayara langsung melangkah menuju pintu keluar.
***
Dihyan dan Gayatri sangat gelisah. Mereka berkali-kali melongok ke luar, demi ingin melihat Ayara berjalan menuju rumah mereka. Namun, sudah lima jam sejak mereka bangun, Ayara belum juga terlihat. Nomor ponselnya juga tidak diangkat. Sedangkan Dihyan sudah berjanji kepada pihak Nawang Nehan, akan membawa gadis pesanannya tepat pukul tiga sore. Satu jam lagi.
"Ayara tidak minggat kan, Pak?" tanya Gayatri cemas.
"Semoga tidak, Bu," balas Dihyan, "dia anak yang selalu bertanggung jawab pada ucapannya."
Semalam Ayara sudah sepakat, untuk pergi ke rumah Nawang Nehan pagi-pagi. Namun, sebelum tidur, dia peroleh informasi mendadak, bahwa di pusat pelatihan bela diri tempatnya menimba ilmu, akan kedatangan pelatih baru, dan semua murid wajib hadir. Satu saja yang tidak hadir, maka semua peserta akan meroleh imbasnya. Ayara tidak mau teman-temannya menjadi korban. Sebab itu dia menulis surat kepada Dihyan, untuk mengundur jam pertemuan dengan keluarga Nawang Nehan
***
Tiga puluh menit berdiri di depan pintu, Ayara merasakan semakin nyeri pada kedua kakinya. Begitu juga dengan punggung yang bekas pukulan tadi pagi. Ditambah, dia belum sempat konsumsi apa pun dari pagi. Kepala Ayara mulai berputar. Kedua matanya berkunang-kunang.
"Nona, kamu baik-baik saja?" Cashel yang baru datang dari luar, melihat keadaan Ayara. Gadis itu sudah tidak menjawab, tubuhnya limbung. Cashel langsung menangkapnya, serta mengangkat tubuh itu, kemudian membawanya pergi dari sana.
Pria itu membawa Ayara ke ruang pengobatan, dan membaringkan tubuh gadis itu di ranjang yang tersedia.
"Siapa kamu? Kenapa berkeliaran pagi-pagi, dan begitu berani.” gumam ashel lirih. “Hmmm karena kamu tidak mau menyebutkan namamu, mari memanggilmu dengan sebutan, Kelinci Liar,"
Ayara bergeming. Hanya dadanya yang terlihat bergerak naik turun secara teratur. Cashel menyelimuti tubuh gadis di depannya.
"Nama Kelinci Liar cocok denganmu. Kulitmu putih, kamu cantik, dan lincah seperti kelinci."
"Gistara, ha us. Aa .. iir" Tiba-tiba terdengar suara. Cashel dengan cekatan mengambil segelas air dari galon.
"Bangun, Kelinci Liar," Cashel menepuk-nepuk pipi Ayara. Perlahan Ayara membuka mata. Mengerjap, dan terkejut mendapati pria yang ditabraknya dua kali ada di depannya. Ayara berusaha duduk.
"Kenapa kita ada di sini?"
"Kamu pingsan di depan pintu." Cashel menyodorkan segelas air kepada Ayara. Namun gadis itu tidak memedulikannya, ia berjalan ke arah dispenser, mengambil gelas baru, lalu menuang air sendiri. Setelah itu dia kembali keluar kamar.
"Tunggu!" panggil Cashel, Ayara menghentikan langkahnya, "setidaknya, kamu mengucapkan terima kasih kepadaku."
Ayara kembali memutar tubuhnya, menatap pria di depannya, "kenapa? Aku tidak pernah meminta bantuanmu."
Usai berkata begitu Ayara langsung membalik tubuhnya kembali dan berjalan menuju ruangannya. Cashel tersenyum, lalu menggeleng pelan. Dasar kelinci liar tidak punya adab, gerutunya.
***
Dihyan dan Gayatri semakin gelisah. Keduanya merasa putus asa karena hingga jam tiga sore, Ayara belum juga datang. Gayatri mulai menitikkan air mata satu persatu, membayangkan Kyra putri tunggalnya akan dikirim ke rumah Nawang Nehan. Mereka tidak bisa menolak, karena terikat janji sejak Sembilan belas tahun yang lalu.
Saat itu, Nawang tahu, Dihyan dan istrinya adalah orang-orang yang jujur dan bertanggung jawab. Maka ketika Dihyan datang kepadanya, bermaksud meminjam uang untuk biaya kelahiran, Nawang mengikatnya dengan janji, seumur hidup mereka, akan menjadi pembantu di rumahnya. Juga menuruti semua perintah Nawang Nehan.
Selama itu, Nawang memperlakukan mereka dengan baik, royal, dan menjamin kesejahteraan ekonomi keluarga Dihyan. Memberi tempat tinggal tidak jauh dari rumah mereka, Nawang juga tidak pernah menuntut macam-macam. Dia hanya meminta, Dihyan merawat rumahnya, dengan baik, dibantu beberapa tenaga lainnya. Sedangkan Gayatri, mengetuai urusan makanan keluarga mereka.
Hari ini, setelah sembilan belas tahun berlalu, Nawang, meminta Dihyan menyerahkan putri tunggalnya untuk menemani putra sulung mereka. Hati Gayatri terasa hancur.
"Tidak ada pilihan, kita terpaksa mengirim, Kyra." bisik Dihyan.
"Sia-sia kita membesarkan Ayara di rumah ini, anak laknat itu tidak tahu diuntung!" umpat Gayatri. Awas kamu Ayara. Kamu akan membayar pengkhianatanmu ini. Aku akan membuatmu menderita seumur hidupmu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
