
Kenikmatan Indomie adalah candu. Aromanya seperti kemolekan seorang gadis dalam puisi pujangga yang penuh pesona. Tiada penolakan, karena siapapun ingin melahapnya.
“Bening bayam lagi!” dengus Anida, istriku. Piring berisi nasi yang diletakkan di atas mangkuk oleh ibuku, ia hentak di atasnya, sehingga mangkuk berisi sayur bening bayam berbumbu cemplung itu, sedikit berguncang dan menumpahkan sebagian kuahnya.
“Kamu kenapa sih, Dik? Jangan begitu, hargai ibu yang sudah memasak untukmu. Kamu tinggal makan aja masih marah-marah,” ucapku kalem, seraya menyendok kuah Indomie yang aromanya sempurna, mencipta imaginasi indra pengecap, pada tiap pasang mata yang melihat. Sebenarnya Ibu masih punya lauk sisa kemarin. Ayam goreng rempah, sambal tomat, dan capcay. Namun aku tidak selera makan itu, jadi aku memasak Indomie kesukaanku sendiri.
“Mas tidak merasa berdosa gitu, makan Indomie di depanku?” sungut Anida. Tatapannya tajam penuh amarah. Sendok berisi kaldu Indomie yang siap meluncur ke lidahku, kutahan di depan mulut. Kemudian, kuturunkan kembali ke mangkuk di depanku. Aku menatap wajah Anida yang kini terlihat murung.
“Ada apa?”
“Sepertinya, empati Mas emang udah matik!” Berkata begitu, Anida sambil berdiri, mendorong kursi ke belakangnya, kemudian berlari meninggalkanku. Aku melongo. Anida belum pernah seperti ini. Selama ini dia selalu patuh dengan apapun yang dititahkan ibu dan aku. Namun ini, ada apa dengannya? Aku bangkit dari dudukku. Melupakan Indomie, yang seolah melambai meminta kunikmati. Aku menyusul Anida ke kamar,
“Kamu kenapa sih, Dik?” tanyaku masih belum mengerti. Anida tidak menjawab, dia justru menundukkan kepalanya. Sedetik kemudian kulihat air matanya mengalir dengan deras.
“Dik?” Kusentuh kedua bahunya, mencoba menatap wajahnya yang ia tekuk, “ada apa, kamu cerita dong sama, Mas.”
“Mas itu jahat, tahu nggak sih?”
“Iya, Mas jahatnya kenapa?”
“Coba Mas jadi aku seminggu saja. Makan hanya berlaukkan bening bayam cemplung, sanggup?” Kudengar suara Anida bergetar. Ah, itu.
“Kenapa? Mas gak sanggup kan? Bayangin aku yang dah sebulan, Mas!” teriak Anida. “Mas gak pernah mikirin bagaimana perasaanku, apakah aku bahagia dengan itu? Mas enak, bosan dengan ayam, telur, ikan, bisa dengan bebas makan Indomie, sementara aku? Pernahkah sekali saja, Mas mikirin aku?”
“Dik,” aku kehilangan kata-kata. Anida benar-benar muntab kali ini.
"Jawab, Mas!"
Aku terdiam. Sejenak berpikir, Anida benar, kalau posisi kami ditukar selama seminggu saja, aku pasti tidak akan sanggup. Sedangkan dia? Satu bulan penuh, Ibu hanya mengijinkannya makan dengan itu setiap hari. Pagi, siang, dan sore. Bahkan sebiji kerupuk yang Anida pinta pun tidak diperkenankan oleh Ibu. “Ini kan demi kebaikan anak kalian juga. Biar ASInya lancar.” Begitu Ibu berdalih.
“Maafkan, Mas, Dik,” bisikku. Kurengkuh bahunya, kutarik kepalanya ke dadaku. Anida sesenggukan di sana. Lumayan lama kami sama-sama terdiam. Aku sengaja memberi ruang buat Anida untuk meluahkan rasa sesaknya.
“Kamu ingin makan sesuatu?” tanyaku, ketika tangis Anida sudah mereda. Ia tidak menjawab.
“Mas masakin Indomie?” bisikku. Anida mengangkat kepalanya, menatapku. Aku tersenyum kepadanya.
“Boleh?” tanyanya polos. Aku mengangguk.
“Mauuu,” gumamnya manja. Kusentuh kedua pipinya, dengan kedua telapak tanganku. Kedua bola matanya kembali berbinar, membuat hatiku bergetar iba.
“Tunggu ya, Mas buatkan untukmu.” Kupikir tak mengapa sekali ini saja. Dia sudah sangat jenuh dengan sayur bening bayam setiap hari. Bibir Anida tersenyum.
“Aku mencintaimu,” bisikku, seraya mengecup keningnya. Kemudian meninggalkannya, untuk memenuhi janji.
***
Sudah satu bulan sejak istriku melahirkan Bagas, anak sulung kami. Aku terlambat menyadari, bahwa kenyataannya istriku semenderita itu.
Kamu yang hidup bersama orang tua modern, paham, dan terbuka terhadap ilmu pengetahuan, bersyukurlah, karena kamu tidak perlu bersitegang dengan keluargamu, hanya untuk meyakinkan, “percaya mitos itu menyengsarakan”.
Selama ini aku mengira istriku baik-baik saja. Nyatanya, dia sangat tertekan batin atas peraturan Ibuku. Dilarang makan inilah, makan itulah. Sejak dia hamil, bahkan hingga ia melahirkan. Takut asinya amislah, pedaslah, panaslah. Takut bayinya mencretlah, muntahlah, dan sebagainya. Padahal dokter juga tidak sesaklek itu.
Keluar dari kamar, aku tidak melihat ibu. Mungkin sedang di kamarnya. Aku langsung ke dapur, untuk membuatkan semangkuk Indomie rasa soto kesukaan istriku.
“Tidak. Bukan semangkuk. Aku mau dua bungkus Indomie rasa soto.” Aku teringat pada awal kami menikah dulu, saat kami memasak Indomie malam-malam. Aku tersenyum mengingati kejadian itu. Kuambil panci, lalu mengisinya dengan air.
“Dengan lima biji cabai rawit merah yang dipotong-potong, dua bongkol sawi muda, dan sebutir telur yang diaduk di dalamnya.” Duh membayangkan itu, aku langsung kembali lapar. Aku bahkan seperti bisa mencium aroma kaldunya yang menguar memenuhi indra penciumanku. Padahal, kompor baru kunyalakan, dan menaruh panci di atasnya.
Menunggu air mendidih, kubuka bungkus Indomie berwarna hijau itu. Lalu kukeluarkan telur, sawi hijau, dan cabe, dari dalam kulkas. Setelah mencuci semuanya, kupecahkan telur ke dalam mangkuk. Ini kulakukan agar pengalaman buruk yang pernah menimpaku di suatu malam, di masa lalu, tidak terulang lagi.
Saat itu, aku sedang lembur pekerjaan kantor. Pada tengah malam, aku kelaparan. Kusempatkan untuk memasak Indomie yang tinggal satu-satunya. Sialnya, saat mie hampir matang, aku menambahkan telur dengan cara memecahkan cangkangnya di atas panci. Saat itulah, kaldu yang semula berwarna kuning, berubah menjadi hitam. Sedetik kemudian, bau tak sedap memenuhi ruangan. Kompor langsung kumatikan. Aku kembali ke ruang kerjaku dengan kesal. Bayangan menikmati mie yang sedap langsung hilang. Aku terkulai.
Tahu dong apa sebabnya? Ya, telurnya sudah membusuk, Saudara!
***
Dua puluh menit kemudian, Indomie pesanan Anida siap dihidangkan. Saat kubawa masuk ke kamar, aromanya serta-merta memenuhi seluruh penjuru ruangan. Menyandera setiap penciuman. Anida langsung menyambut, dengan memposisikan wajahnya di antara uap yang keluar dari mangkuk, saat Indomienya kuletakkan di atas meja kecil samping ranjang. Kedua matanya terpejam, mulut dan hidungnya menghidu aroma rempah dengan semangat. Sungguh ia terlihat sangat menggemaskan dengan posisinya itu.
“Hmmm,” gumamnya. Senyumnya merekah, tangan kanannya mulai menyumpit mie kenyal di depannya. Ah, sesederhana itu untuk membuatnya bahagia. Hanya dengan semangkuk Indomie rebus!
“Adam, kamu di dalam?” Belum sempat Anida menyuap, suara Ibu sudah terdengar, seiring ketukan pintu yang beruntun.
“Iya, Bu!” seruku. Setelah memberi isyarat kepada Anida agar tenang, aku melangkah menuju pintu. “ada apa, Bu?”
“Bantuin Ibu ambil barang di atas lemari, tangan Ibu gak nyampe,” balasnya. Kuikuti langkah Ibu yang menuju kamarnya. Dalam hati aku lega, Ibu tidak masuk ke kamar kami, sehingga tidak melihat semangkuk Indomie yang akan dimakan Anida.
***
Tidak sampai lima menit usai membantu Ibu, aku kembali menuju kamarku. Bibirku terus tersenyum sepanjang berjalan dari kamar Ibu ke kamar kami. Membayangkan Anida menikmati suap demi suap kelezatan Indomie buatanku. Aku suka membayangkan wajahnya yang berseri bahagia. Aku membuka pintu.
“Gimana Rasanya, Dik?” tanyaku, dengan pandangan masih fokus di pintu. Anida tidak menjawab. Aku mengangkat kepala untuk mencarinya.
“Loh, Dik? Apa yang terjadi?” Aku terpana mendapati kenyataan di depan mata.
“Kenapa kamu menangis lagi? Dan itu, kenapa mienya tidak dimakan?” Mendengar pertanyaanku yang bertubi, Anida justru sesenggukan.
“Kenapa?” Anida menyusut hidungnya, kemudian sibuk menghapus airmata.
“Ada apa?”
“Tadi, begitu Mas keluar, Bagas menangis.” Anida mulai menjawab dengan terbata. Aku menunggu dengan sabar.
“Ternyata dia eek,” lanjutnya.
“Lalu?”
“Kuganti dulu popoknya.
“Lalu?”
“Aku ke kamar mandi untuk menaruh popoknya.”
“Lalu?”
“Pas aku balik ke sini, kulihat ia sedang pipis,”
“Lalu?”
“Pipisnya ngucur tinggi, dan masuk ke Indomikuuu, huu.. huu…” Istriku tergugu. Aku mengerjap, mencerna, kemudian.
“Bhuakakakakakak.. a.. apa, Dik? Kamu bilang apa tadi?” Aku tidak bisa lagi menahan tawaku. Anida semakin cemberut.
“Mas jahat, jahat, jahaaat!” teriaknya, masih menangis seraya memukul-mukul perutku.
“Iya maaf." Kupeluk tubuh Anida, "udah jangan menangis. Nanti malam Ibu kondangan, Mas masakin lagi untukmu,” bisikku, sambil tersenyum menahan tawa.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
