
Selamat membaca Kakak. Semoga terhibur dan peroleh manfaat.
PART 1, Sial
Mama menggelar pesta di rumahnya malam ini. Mas Ipar ketiga menghadiahi beliau kulkas seharga sebelas juta. Menggetarkan penghuni dompetku yang masuk kategori misquin. Sebelas juta, mending uangnya dikasihkan aku, toh kulkas seharga 2,5 juta juga sudah bagus kan? Sayang sekali rasanya. Namun, apalah aku, si misquin yang hanya bisa menghayal kekayaan orang lain.
Terkadang, perasaan terjebak juga muncul di benakku, ketika kondisi jiwaku sedang lelah lahir batin. Aku merasa telah ditipu oleh Mas Arsen, suamiku. Ya, Mas Arsen menipuku sejak awal kami menjalani pacaran, dan baru kuketahui setelah menikah. Sungguh, memang sial nasibku!
Aku yakin apa yang dilakukan Mas Ipar itu pasti ada udang di balik rempeyek. Semacam suap, agar peroleh warisan lebih besar dari Mama mungkin. Mas Iparku ini adalah duda, Saudara! Istrinya minggat sama pria lain. Bahkan ketika pernikahan mereka belum genap dua tahun. Konon katanya, istrinya tidak sanggup hidup misquin bersamanya. Ah, jika saja istrinya itu tahu, Mas Ipar bakal peroleh warisan dalam jumlah milyaran…
Mama baru saja mengabarkan. Bahwa rumah yang kami huni saat ini, beserta kebun di sampingnya, sudah terjual. Laku dengan harga sembilan milyar lima ratus juta rupiah. Harga yang fantastis, bukan? Semakin menggetarkan isi dompetku. Namun aku tetap ikut bahagia, karena kami pasti bakal kecipratan dari hasil penjualan tersebut.
Mama terpaksa menjual rumah besarnya ini, karena memikirkan masa depannya yang sudah tua. Rencananya Mama akan membeli rumah kecil di daerah Kampung Makassar untuk dihuni beliau dengan seorang asisten. Kami? Entah bagaimana nanti. Mungkin suamiku akan diberi jatah untuk membeli rumah sendiri.
Aku membuka kulkas Mama. Ingin tahu seperti apa dalamnya kulkas seharga sebelas juta itu.
"Heii kamu, jangan main buka-buka aja. Itu kulkas mahal. Kalau rusak gimana?" Mas Ipar tiba-tiba sudah di belakangku.
"Eh, iya, Mas. Helen cuma pengen liat dalemnya,” sahutku gugup.
"Kamu bilang aku dulu lah kalau mau lihat. Biar aku kasih lihat ke kamu. Jangan main buka sendiri. Ini kulkas mahal,” katanya. Nyerocos. Dan masih berlanjut, "kalau rusak gimana? Mana mampu kamu belikan. Orang belikan durian Mama aja pilih yang murahan!"
Duh yaa Allah, itu lagi yang dia ungkit!
Ceritanya kemarin siang aku lewat pasar, di jalan aku melihat durian sedang promo. Tiga puluh ribu isi tiga butir, seukuran kelapa hijau. Sesampainya di rumah. Mama langsung menyambutku, "Bau duren, Na."
"Iya, Ma. Aku beli murah tadi di jalan,” sahutku.
"Mimpi apa kau semalam beliin Mama duren?" Mama langsung menodong. Padahal aku bukan membelikan Mama. Aku beli niat untuk bikin minuman.
"Ayo cepat dibuka." Ucap Mama lagi memberiku pisau dapur yang biasanya dipakai untuk memotong daging. Akupun langsung melakukan perintah Mama.
"Bah, berapa kamu beli tadi? Manis pulak ini duren." Seru Mama senang. Di Pasar Rebo, di pinggir jalan memang berderet penjual durian jika musimnya tiba. Mereka menumpuknya dalam gundukan-gundukan kecil dengan harga yang berbeda-beda. Ada yang tiga puluh ribu dapat tiga butir, ada pula yang lima puluh ribu isi tiga butir. Tergantung kualitas. Kalau mau yang lebih bagus ya yang lima puluh ribu satu butir. Ada juga durian montong yang dihargai kiloan. Satu butir antara delapan puluh, hingga seratus dua puluh ribu.
"Iya Ma, manis. Cuma tiga puluh ribu ini semua,” balasku.
Sore ketika Mas Ipar pulang kerja, Mama menceritakan semuanya. Mama tidak bermaksud menggunjingku, tetapi hanya memberi tahu, barangkali Mas Ipar mau membeli durian juga.
"Ah… Mama ini, nanti aku belikan durian montong. Sebutir seratus ribu lebih. Enak manis dan besar." Sahut Mas Ipar. "Apalah Helena nie, belikan Mama durian seharga murahan begitu. Pelit sekali kau." Lanjutnya. Sakiit hatiku mendengarnya.
Entah apa dosaku pada Mas Ipar, dia selalu saja mencari celah untuk menjatuhkanku di depan semua orang. Kecuali jika suamiku sedang di rumah, dia tidak berani mengusikku. Menurut Mama sih malas ribut, karena Arsen keras kepala kebangetan. Hey, Ma, bukannya yang songong itu anak kesayanganmu, si Harris? Kadang aku ingin meneriakkan itu, tetapi aku tidak berani.
Suamiku adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Dulu kupikir, dengan menikahinya hidupku akan bahagia. Tinggal di rumah mewah yang besar ini, dengan ibu mertua yang sudah tua, dan baik.
Tentu saja. Mama sudah sangat tua. Suamiku saja, yang anak bungsunya usianya sudah tiga puluh lima tahun. Iya saudara-saudara. Aku yang baru dua puluh lima tahun ini, menikah dengan pria tua, yang kukira adalah pria kaya raya, karena selalu menjemputku menggunakan mobil SUV yang bersih dan mengkilap. Dia juga sering mengajakku singgah dulu di rumah ini. Rumah yang kata Mas Arsen, kelak akan menjadi milik kami. Sayangnya, di kemudian hari, baru kuketahui, ternyata mobil yang dia gunakan untuk menjemputku itu, adalah mobil Mas Ipar. Ugh… memang sial sekali nasibku!
Sebelum menikah, aku bekerja sebagai telemarketing, di salah satu perusahaan Camera CCTV daerah Jakarta Pusat. Mas Arsen telaten menjemputku setiap pulang kerja. Setelah menikah dia melarangku bekerja, dan menyuruhku menemani Mama di rumah, karena dia bekerjanya di Bogor. Mas Arsen bisa pulang setiap akhir pekan. Saat itu Mas Iparku itu belum tinggal di sini, bersma kami.
Aku sih tidak masalah, hitung-hitung sambil menjaga dan merawat rumah ini kan? Toh kelak bakal menjadi milik kami. Jadi harus rajin merawatnya dong.
Ya, sebelum bertunangan Mas Arsen sempat beberapa kali mengajakku ke rumah ini. Aku pikir, siapa yang tidak senang, bakal jadi istri anak bungsu, yang pasti sangat disayangi oleh mamanya, dan dengan rumah yang sebesar ini? Dia akan menjadi ahli waris yang berpeluang kaya mendadak, tanpa susah payah mengumpulkan uang dengan cara berhemat, dan menekan mengeluaran di sana sini hanya untuk membeli sebuah rumah.
Kata Mas Arsen, sebelum kami bertunangan, semua saudaranya sudah diberi rumah satu-satu oleh Mama. Makanya rumah ini adalah haknya. Sayangnya, ternyata dia dusta. Setelah menikah Mama banyak bercerita kepadaku, bahwa Mas Arsen juga sudah diberi rumah, namun dijual lagi entah buat apa. Lalu kembali ke rumah Mama. Jelas, status kami di rumah ini hanya sebagai penumpang saat ini. Hal ini juga sering diungkit sama Mas Ipar. Sepertinya memang nasibku yang sial.
Semakin terpuruk, begitu Mas Ipar pindah kemari, sejak perceraiannya dengan Mbak Monica, mantan istrinya.
PART 2
Bersama Mama dan Mbak Romlah, kami menyiapkan makanan pendamping untuk makan malam. Untuk makanan utamanya sendiri, Mama sudah memesan satu paket besar nasi biryani di restoran terkenal di daerah Condet. Mama yang masih memiliki darah Arab - Medan, memang sering mengajak kami untuk makan-makan menu Arab, Turkey dan sebagainya yang kuketahui sebagai menu yang berasal dari wilayah Timur Tengah. Aku sendiri tidak begitu paham. Tetapi aku sangat suka nasi biryani dan sambosa.
Mama mengaduk puding, aku membersihkan sayuran untuk tambahan lalapan, sementara Mbak Romlah, sedang marinasi paha ayam untuk digoreng nanti.
Mbak Romlah bukan ART kami, tetapi dia sering dipanggil oleh Mama untuk bantu-bantu ketika kami sedang sibuk seperti sekarang. Bagi Mama, keberadaan Mbak Romlah adalah suatu keberkahan. Dulu sebelum aku menjadi bagian dari keluarga ini, Mbak Romlah pernah ngekost di sini, di kamar kostan nomor delapan selama enam tahun. Dia pindah karena menikah dan suaminya mengajaknya pindah ke mess keluarga, yang disediakan oleh perusahaannya, di daerah Jakarta Utara.
Meskipun tinggal di mess yang sempit, hidup Mbak Romlah tampak bahagia. Ceritanya selalu menyenangkan. Tidak seperti aku yang tinggal di rumah besar namun gara-gara Mas Ipar, rasanya sungguh menjenuhkan. Apalagi LDRan dengan suami. Gak enak bangeeet rasanya. Tidak ada yang bisa memahami perasaanku.
Urusan sayuran selesai. Selanjutkan aku akan membersihkan buah-buahan. Mbak Romlah membawa buah pir singo yang sangat besar dua butir. Padahal Mama sudah mengatakan kepadamya untuk datang saja tanpa membawa apa-apa. Namun dia tetap merasa tidak enak jika datang dengan tangan kosong. Apalagi setiap kali pulang, Mama selalu membekalinya dengan banyak makanan, termasuk buah dan sejumlah uang.
Di daerah sini, Mama memang terkenal royal. Setiap Idul Adha tiba, Mama selalu menyembelih dua ekor kambing untuk dibagikan kepada orang yang ekonominya kurang. Seperti tukang sampah, tukang pulung, tukang kebun, dan beberapa tetangga yang dianggap kurang mampu. Termasuk para penghuni kontrakan. Begitu juga setiap Idul Fitri, Mama membagikan sejumlah parcel untuk mereka.
Punggungku terasa capek dari tadi menunduk membersihkan sayuran. Kebetulan di belakangku ada sandaran, maka aku nyaman menyandarkan punggungku di sana. Tanganku meraih kresek yang berisi banyak buah untuk kupindahkan ke keranjang. Ada jeruk Bali merah, jeruk murcot Thailand, apel envy, apel Pacific Queen, Pacific Rose, yang kesemuanya dibeli oleh Mas Ipar. Aku mulai mengupas pir singo dari Mbak Romlah.
"Helena!” baru beberapa gerakan tanganku menyentuh buah, suara Mas Ipar tiba-tiba mengagetkanku. Tubuh tinggi dan tegapnya sudah nongol di ambang pintu. “apa yang kamu lakukan?”
"Memangnya kenapa?" Aku celingukan tidak paham.
"Lihat punggungmu!" Bentaknya. "Yaa Salaaaam, itu kulkas Mama bisa lecet entar!
"Eh iya, Mas. Helen tidak liat-liat tadi. Ada kulkas sebelas juta ya." Aku nyengir, meskipun hati terasa nyesek. Kenapa pula ini punggung nyandar di kulkas sebelas juta Mama?
"Pindah, pindah!" Usirnya. Tangannya bergerak cepat, mengepas agar aku segera pindah. Aku pun menuruti perintahnya. Berharap si sialan ini segera pergi dari dapur. Agar aku bisa melanjutkan kerjaanku dengan tenang. "Itu bukan kulkas murahan. Aku beli bukan buat kamu pakai bersandar! Paham?"
"Iya, Mas, maaf." Kataku. Ngempet air mata.
"Eh apa pulak itu yang kamu kupas?" Tanyanya lagi
"Pir!" Sahutku pendek, tanpa menoleh, karena aku sedang berusaha keras menetralisir hatiku, dan agar air mata bertahan, tidak tumpah. Bisa habis aku kalau sampai menangis di depan dia. Kesenangan dia, peroleh bahan buat mengolokku lebih sadis. Tidak, aku tidak akan pernah memberinya kesempatan itu.
"Mama sudah kasih tau kamulah, itu buah jangan dicampur sama yang lain?" Lanjutnya.
"Nggak." Sahutku malas. Apa-apaan sih? Rasis amat, urusan buah aja harus dibeda-bedakan! Mentang-mentang ini pir bawaan Mbak Romlah yang cuma tukang bantu-bantu gitu?
"Pisah!" Perintahnya dengan nada tinggi. Aku yakin, kedua matanya pasti melotot kepadaku.
"Hah?" Memangnya apa salah buah singo ini, sehingga tidak boleh dicampur dengan buah bawaan dia? Semahal apa memangnya bawaan dia? Pir Singo juga mahal!
"Ada apa sih ini? Kalian ini beranteem mulu," Mama yang tadi pergi ke belakang rumah sebentar kembali masuk. Mungkin mendengar suara Mas Ipar yang keras.
"Helena, Ma. Ngupas pir." Sahut Mas Ipar. Suaranya lembut, beda sekali saat berbicara denganku tadi.
"Oh, itu." Mama sepertinya langsung paham. Entah ada bahasa qalbu apa antara keduanya mengenai hal ini. Mama mendekati rak setelah mencuci tangannya. Mengambil satu lagi wadah buah potong. Lalu berjalan ke arahku.
"Ini." Ucap Mama, seraya mengulurkan wadah tadi. "Masmu itu memang alergi buah pir. Makanya gak bisa kalau makan buah yang bercampur sama pir."
"A… apa, Ma?" Aku sedikit terkejut. Sudah hampir empat tahun tinggal bersamanya di sini, tetapi aku tidak pernah tahu jika Mas Iparku alergi pir? Ugh.. bodohnya aku.
"Kulitnya bisa gatal semua kalau makan buah pir. Sebab itu dia takut sekali." Lanjut Mama. Gustiiii. Aku sudah berburuk sangka rupanya.
***
Lepas maghrib, semua makanan sudah tertata rapi di meja makan. Anak-anak Mama datang semua komplit dengan pasangan dan anak-anak mereka. Rumah menjadi sangat ramai. Mama terlihat sangat bahagia. Mas Ipar dengan bangga menunjukkan kulkas sebelas jutanya pada Mbak Tutik, anak kedua Mama yang langsung ke dapur, dan membuka kulkas baru tersebut. Dia merasa takjub
"Kulkas sebelas juta buat apa, Ma?" Tanya Mbak Tutik ke Mama. "Aku beli seharga empat juta juga dah bagus."
"Ahh, payah kamu!" Mas Ipar langsung menyahut. "Beda kualitas lah. Kulkas sebelas juta janganlah kau bandingkan dengan empat juta. Apalagi dengan durian murahan. Jauuh kemana-mana."
Deg!
Lagi-lagi mulut lemesnya itu menyindirku. Ugh… Kenapa Mas Arsen belum pulang juga untuk menyudahi semua nyinyiran Mas Ipar saat ini? Kalau ada dia, aku akan lebih bisa bernapas tentunya. Baju longgar yang kukenakan rasanya tiba-tiba menjadi sempit. Aku melipir ke belakang. Mengambil segelas air dingin dan langsung menenggak habis.
"Mana suamimu, Len?" Tiba-tiba Mama sudah ada di sampingku.
“Ma…” gumamku. Aku sibuk dengan perasaanku yang terluka oleh perbuatan Mas Ipar, sehingga tidak menyadari ketika Mama menyusulku ke dapur.
"Mas Arsen belum ada kabar, Ma." Sahutku. Mama menoleh.
"Kamu kenapa?" Mama menatapku, mungkin karena mendengar suaraku yang serak.
"Tidak apa-apa kok, Ma." Sahutku.
"Kamu jangan masukkan hati sama ucapan-ucapan Masmu itu. Dia memang begitu orangnya." Lanjut Mama.
"Nggak kok, Ma." Bohongku. Beruntung saat itu juga, ponselku berbunyi. Jadi aku bisa lepas dari pertanyaan dan pandangan iba dari Mama.
"Sayang, aku tidak bisa pulang malam ini." Suara Mas Arsen suamiku mengabarkan.
"Kenapa?" Tanyaku. Semakin lemas rasanya tulang-tulang di tubuhku. Tidakkah ia bisa merasakan, betapa inginnya aku bersandar di bahunya?
"Mas masih banyak urusan ini." Jawabnya.
"Tapi, Mas."
"Sudahlah, berikan handphonenya sama Mama, biar aku bicara sendiri." Perintahnya. Hening beberapa saat, seiring air mataku yang menggelinding di pipi. Aku sesenggukan.
“Len? Halooo… Helena!” aku mendesah berat.
“Kamu kenapa sih, Len?”
“Ya sudah, sebentar, Helen panggilkan Mama,” balasku akhirnya. Buru-buru kuhapus air mataku, kemudian berjalan mencari Mama yang sudah kembali ke ruang tengah. Mereka sedang duduk di lantai beralas karpet. Minum teh sambil ngemil snack kering di toples. Kulihat istri Mas Rasyid, anak sulung Mama, sedang menyuapi batitanya. Diam-diam aku iri kepadanya. Mereka tujuh tahun menikah anaknya sudah 5. Sedangkan kami sudah tiga tahun lebih menikah belum ada tanda-tanda aku hamil.
"Apa katanya, Len?" Mama langsung menyambutku.
"Mas Arsen mau ngomong sendiri sama Mama." Sahutku seraya menyerahkan smartphoneku ke Mama.
Aku duduk di salah satu kursi meja makan, yang sebelumnya sudah kugeser lebih dulu menghadap orang-orang di lantai. Saat itulah aku melihat sesisir pisang di meja. Yang kemudian memberiku pencerahan. Sebuah ide untuk membalas perlakuan Mas Ipar kepadaku.
PART 3
Haruskah aku tumpahkan buah-buahan di meja? Tapi bagaimana caranya?
Aku terus mencari cara. Malam ini adalah kesempatan untuk membalas Mas Ipar. Mataku nanar memperhatikan satu-persatu cucu mama. Siapa di antara mereka yang paling aktif dan bisa kumanfaatkan?
Ajeng, anak sulung Mas Rasyid, sudah berusia 8 tahun. Dan terlalu pendiam, tidak mungkin bisa dimanfaatkan. Apalagi dia sudah mulai tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Coret.
Aku terus memperhatikan cucu Mama yang lain. Dan terpaku kepada Wildan Anak kedua Mbak Tutik. Anak itu baru saja keluar dari kamarku, dengan wajah penuh coretan merah. Tangannya memegang lipstik milikku. Wildan berusia hampir empat tahun.
"Yaa Allah, Wildaaaan." Mbak Tutik berteriak. Yang lain seketika menoleh, lalu tertawa terbahak-bahak. Mbak Tutik langsung berdiri, bermaksud menangani Wildan.
"Biar aku saja, Mbak." Cegahku. "Mbak duduk aja."
"Beneran?" Tanya Mbak Tutik.
"Iyah." Aku mengangguk mantap.
"Makasih ya." Sahut Mbak Tutik.
"Ayo Wildan, ikut Tante." Ajakku pada Wildan. Aku membawa anak itu ke kamar lagi. Kubersihkan wajahnya dengan pembersih make up, sambil terus kubisikkan sesuatu di telinganya. Anak itu mengangguk.
"Baik, Tante." Ucapnya. Tidak sampai sepuluh menit, kami sudah keluar kamar. Wildan kubopong ke dapur untuk membilas wajahnya.
"Sana ke meja." Aku mendorong tubuh gempal anak itu agar berlari ke meja makan, di mana ada buah anggur kesukaannya.
Semua orang sedang sibuk mengobrol. Ketika Wildan mencampur semua buah yang siap santap di meja. Lalu menuangnya dengan air gelas mineral yang tadi sengaja kubuka dan kuletakkan di sampingnya.
"Wildan, jangan diberantakin lagi ya, Sayang." Aku pura-pura. Dalam hati aku berkata, "Teruskan, teruskan Anak Manis."
"Wildan sini, Sayang." Mbak Tutik memanggil. Wildan tidak peduli. Aku segera melangkah mendekatinya. Mengangkat tubuh anak itu turun dari kursi, dan menyuruhnya pergi ke mamanya. Lalu, tanganku bergerak cepat memisahkan kembali antara buah pir dengan yang lainnya. Airnya segera kubuang. Setelah selesai aku kembali duduk di tempatku semula.
Selang beberapa menit, kulihat Mama berdiri.
"Suamimu tidak pulang, Na." Katanya, seraya menyerahkan kembali ponselku.
"Iya, Ma." Sahutku. Nyesek dan kecewa. Pulang seminggu sekali saja masih sering dikorting.
"Apalah Arsen nie, semua kumpul dia seorang yang tidak pulang. Betah nian di Bogor, punya istri muda atau apa dia tu!" Itu suara si mulut lamis, kakak tepat di atas Mas Arsen.
"Hush Haris! Kalau ngomong tu dijaga!" Kali ini Mbak Tutik yang menimpali. Mungkin dia bermaksud menjaga perasaanku sebagai sesama wanita. Ah iya, aku belum menyebutkan nama Mas Iparku yang bermulut lamis itu ya. Namanya Harris Mustofa. Nama yang bagus bukan? Sayangnya orangnya tidak sebagus namanya. Itu menurutku.
"Iya ih, Harris. Demen banget bikin orang marah." Mama menimpali, seraya menaruh piring berisi buah ke atas karpet di tengah-tengah orang-orang itu. "Kasihan itu Helena. Nanti berpikir yang tidak-tidak dia." Mas Harris tertawa. Kulihat Mbak Tutik mengambil sepotong apel di depannya. Dilemparnya ke kepala Mas Haris. Pria itu berusaha menghindar.
"Sukurin!" Mendapat pembelaan dari Mbak Tutik dan Mama, aku jadi memiliki keberanian untuk menjulurkan lidahku pada Mas Harris yang menyebalkan itu. Membalas ejekannya selama ini. Kulihat Mas Harris memungut potongan apel yang tadi mengenai kepalanya. Lalu menggigitnya. Aku memperhatikan dengan seksama. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Antara takut dan rasa penasaran menunggu reaksi alergi yang bakal menyerang tubuh Mas Iparku itu. Separah apakah?
Mas Harris menghabiskan lumayan banyak buah potongnya, sebelum berdiri pindah ke meja makan. Mama mengambil panci kecil, menyendok nasi biryani lengkap dengan beberapa lauk untuk dimasukkan ke sana.
"Nyisain buat Arsen." Katanya. Ah, Mama memang sangat peduli. Bukan cuma untuk Mas Arsen, Tetapi juga untuk suami dan anak Mbak Romlah di rumah.
"Ayo langsung makan saja." Ajak Mama. "Nungguin Arsen ya percuma."
Aku merasa tidak enak hati dengan ucapan mama barusan. Mama pasti kecewa sama suamiku. Bahkan Mama belain membuat bebek peking sendiri demi putra bungsunya itu, karena dia sangat menyukainya.
"Takut dia gak mau makan kambing. Dia kan angot-angotan, Na." Begitu kata mama tadi siang saat membuat marinasi bebek dan ayam. Nasi biryani yang mama pesan menggunakan daging kambing.
Setelah beberapa orang mengambil makanan, aku ikutan menyendok nasi yang melingkar di tampah besar di meja ke piringku. Kuambil sepotong daging kambing. Kalau di Arab, kambingnya tidak dipotong-potong seperti ini, tetapi utuh satu ekor. Aku menyuap, sambil terus memperhatikan Mas Harris yang mulai merasa tidak nyaman. Sekali dua kali dia menggaruk beberapa bagian badannya. Di lehernya kulihat mulai muncul bercak merah. Jantungku terasa semakin kencang berdebar.
"Kamu kenapa, Harris?" Mama sepertinya mulai menangkap gelagat tidak baik yang tengah terjadi pada putra ketiganya.
"Gak tau nih, Ma, alergiku kok sepertinya kambuh." Sahut Mas Harris mulai terlihat kepayahan.
"Kamu alergi daging kambing?" Mas Ibnu, anak ketiga Mama bertanya.
"Tidaklah. Entah ini kenapa." Harris mulai tampak semakin kepayahan.
"Padahal gak makan pir kan? Mbak Tutik ikut bertanya. Mama selalu terbuka kepada anak-anaknya, sehingga mereka saling paham kondisi dan kabar satu sama lain.
"Kamu lihat lah tadi. Aku tak makan pir sama sekali." Sahut Mas Harris. Kali ini disertai tatapan mata tajamnya kepadaku. Bulu kudukku meremang. Apakah aku ketahuan?
***
Satu jam kemudian, kami selesai menikmati makan malam. Aku kenyang dengan nyaman meskipun tadi sempat ketakutan sebentar. Masa bodoh dengan Mas Arsen, toh dia juga gak bakal kelaparan di sana. Ugh…
Aku bergegas mencuci tanganku. Kulihat Mas Harris sudah melepas pakaiannya. Dada bidangnya cukup menggoda jika tidak sedang banyak bercak merahnya. Sama sih dengan dada Mas Arsen, bedanya dada Mas Harris ada sedikit bulu-bulu yang tumbuh di sana, sedang Mas Arsen tidak.
Mama sedang sibuk di dapur, membuatkan ramuan untuk mengatasi gatal dan bercak merah di tubuh Mas Harris. Kudengar, Mas Harris juga sudah menelepon seorang dokter untuk mengiriminya obat-obatan.
Aku berjalan ke belakang rumah.
"Di rumah ada pesta pun tidak pulang!" Aku masih menggerutu kesal sambil menyabun tangan.
"Istri muda." Tiba-tiba aku kepikiran ucapan Mas Harris satu jam yang lalu. "Mungkin kah?"
Aku menghembuskan napas sekali hentak. Kukebaskan tanganku yang basah. Lalu membalik tubuhku, berniat kembali bersama keluarga di dalam. Aku mencuci tanganku di wastafel belakang rumah, karena di dapur banyak yang antri.
"Emmhhh" saat aku membalik badan, wajahku langsung menabrak sesuatu, tepat setelah badanku membelakangi westafel. Tubuh tinggi besar telanjang dada sudah ada di depanku.
"Mas Harris?" Kapan dia datang? Tak ada suara tak apa, tahu-tahu sudah berdiri di sini.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya. Tubuh kami hanya berjarak sekitar 3 centi saja.
"Cuci tangan." Sahutku. Aku tidak bisa mundur karena belakang tubuhku sudah mentok di westafel. Aku hanya bisa memundurkan sedikit kepalaku agar jaraknya sedikit menjauh dari wajahnya. Sialnya, aku tetap bisa mencium napasnya yang memburu. Sial, sial, sial!
"Bukan itu yang kutanyakan." Ucapnya, lebih terdengar berbisik dan penuh tekanan. "Tapi buah pir."
Aku paham arah pembicaraan Mas Harris. "Kenapa aku? Kan Mas tahu buah-buahan tadi diminta Mama semua. Mama yang ngupas dan motong. Helen mah cuma nyeleseiin pir doang. Gak bercampur, gak apa." Sahutku. Aku mulai sedikit gentar karena Mas Harris belum juga mau mundur. Aku juga takut jika sampai ada yang melihat, mereka bisa salah paham.
"Ris." Itu suara Mama. Kami menoleh. Kesempatanku untuk merunduk, dan berlari dari hadapan Mas Harris.
"Ngapain kalian?" Tanya mama yang sudah di ambang pintu belakang.
"Cuci tangan, Ma. Di dapur ngantri." Sahutku. Lalu menerobos masuk lewat samping Mama. Kudengar Mama bicara dengan Mas Harris. Aku masuk ke kamarku. Membaringkan tubuh di atas kasur. Bayangan tajam tatapan Mas Harris saat di wastafel tadi, deru napasnya yang berbeda, membuat bulu kudukku kembali meremang. “Apakah dia akan membunuhku kali ini?"
PART 4
Mas Harris mengejarku ke westafel. Benarkah dia tahu kalau aku mengaduk buah-buahan itu dengan pir? Kali ini dia pasti akan membunuhku. Bulu kudukku meremang membayangkan kematianku di tangan pria tampan yang mirip suamiku itu.
-------
Rasanya nyaman sekali bisa membaringkan tubuh di atas kasur. Seharian tadi sama sekali tidak bisa istirahat karena menyiapkan acara malam ini. Mbak Tutik, karena suaminya bekerja jadi baru bisa datang setelah jam lima sore. Begitu juga Mbak Sofia, istri Mas Rasyid, dan Mbak Aulia istri Mas Ibnu. Anak Mama hampir semuanya pekerja kantoran kecuali Mas Harris.
Mas Harris memiliki banyak usaha. Menurut Mama, anak-anaknya yang paling telaten dan tekun memang cuma Mas Harris. Sehingga dia yang terlihat paling sukses. Berapa pun modal yang diberikan orang tua kepada Harris semua berwujud menjadi usaha. Berbeda dengan Arsen, yang selalu meminta modal usaha namun tidak pernah terlihat hasilnya. Sampai bosan yang memberikan modal.
“Tapi dia jadi bangkrut setelah ditipu temannya sendiri, Na,” kalimat Mama setahun lalu kembali terngiang.
“Harris tu gak tegaan, makanya suka dimanfaatin orang,” Ingatanku masih lanjut mengenang ucapan Mama.
“Apa kata Mama? Harris gak tegaan? Dia sejahat itu kepadaku!” aku mendecih kesal.
"Helena!" Belum puas aku membaringkan tubuhku, sebuah suara menggema, mengagetkanku.
"Iyaaa." Aku langsung berjingkat. Jangan sampai dia masuk ke kamarku untuk balas dendam.
"Keluar! apalah kamu nie, masih sore dah tiduran aja. Kayak ada suami saja. Beresinlah dulu itu meja." Suara Mas Harris masih menggema. Aku turun dari ranjang, membuka pintu kamar, dan keluar lagi. Kulihat Mas Harris sedang menatapku dengan penuh kepuasan mengerjaiku. Merah-merah di kulitnya sudah dibalurin dengan ramuan buatan Mama. Sedang sekarat pun masih sanggup teriak aja nih orang. Aku membatin.
"Biarin ih Harris. Capek dia. Dari pagi dah di dapur sama Mama" Mama membela. Nyes, rasanya aku bahagia memiliki ibu mertua yang menyayangiku. Sayangnya keberadaanku di sini karena tertipu oleh Arsen. Kalau tahu dia dah mirip benalu di keluarganya, mana mau aku nikah sama dia. Aku memang mencintainya, tetapi aku bukan type orang yang mudah dibutakan oleh cinta. Terus ini apa dong? Aku terjebak.
"Iya itu si Harris bawel banget." Mbak Tutik menimpali.
"Cepatlah kawin lagi kau tu Harris, biar tidak reseh." Mas Ibnu ikut menyumbang suara. Semua tertawa. Tubuhku terasa melambung, karena bahagia peroleh banyak pembelaan.
"Kawin mah gampang. Cari wanita yang betul-betul itu sulit." Sahut Harris. "Yang juga royal sama Mama." Aku mendengus. Memohon pada Tuhan dalam hati, semoga mulut lamis itu terkunci dari menyinyiriku kali ini. Aku mengambil lap, membasahinya dan berniat mengelap meja.
"Kalo beliin sesuatu buat Mama gak pilih yang murahan" Lanjut Mas Harris. Seketika tanganku berhenti bergerak. Tuh kan? Dia pasti nyinyir dan menyindir durian yang kubeli? Ingin rasanya aku menyumpal mulut nyinyirnya itu dengan serbet basah ini. Sepertinya aku harus membuat dia mengalami balasan yang lebih dari malam ini. Kambuhnya alergi saja tidak dapat membuatnya tobat. Kulanjutkan gerakan tanganku mengelap meja dengan cepat, sambil memikirkan apa yang bisa kulakukan, untuk memberi pelajaran kepada seorang Harris.
"Helena, aku minta maaf ya untuk kejadian tadi." Tiba-tiba Mbak Tutik mendekatiku.
"Apa Mbak? Tanyaku.
"Lipstikmu." Sahut Mbak Tutik. Dia merasa bersalah karena lipstikku dihancurin oleh Wildan.
"Oh tidak masalah." Sahutku tulus. Sayangnya ketulusanku itu langsung ternoda oleh mulut lamis Mas Harris yang tiba-tiba kembali nyeletuk.
"Kenapa kamu Tutik, lipstik murahan gitu, kamu beli 10 juga dapet buat menggantinya."
"Tau apa kamu soal lipstik, bawel!" Mbak Tutik meraih lap di meja, dan dilemparkannya ke muka Harris. Seperti sebelumnya, pria itu berusaha menghindar.
"Sudah ayo siap-siap yang mau pulang." Mama mengingatkan. "Yang mau menginap ya menginap. Itu kamar cukup buat kalian semua." Seketika yang masih tiduran pada bangun, mencari barangnya masing-masing dan bersiap untuk pergi. Mas Rasyid beserta keluarganya, begitu juga Mas Ibnu dan Mbak Tutik. Jam menunjukkan angka 23:30 menit.
"Pulang semua?" Tanyaku. Biasanya Mbak Tutik suka menginap.
"Iya, Na. Besok masih ada acara keluar." Sahut Mbak Tutik.
"Ya udah hati-hati, Mbak." Balasku.
Kami mengantar keluar. Sampai mereka masuk ke mobil masing-masing dan meninggalkan halaman rumah. Mas Harris berinisiatif menutup gerbang. Mama masuk rumah lagi, aku berniat mengikutinya ketika tiba-tiba suara Mas Harris kembali mengusik.
"Woi, Helena!" Aku berhenti, kembali memutar tubuh menghadapnya.
"Apa?"
"Kamu tidak lihat? Aku sedang kepayahan begini, kamu tidak ada inisiatif membantu gitu?"
"Lah, ngapain pulak aku membantu? Itu tugas Mas Harris nutup gerbang!" Sahutku seraya memutar tubuh kembali.
"Bantuin, Na. Masmu lagi sakit itu." Rupanya Mama masih mendengar suara kami.
“Gak papalah, Ma. Kuat dia tu.” Aku coba menawar.
“Hush, jangan gitu. Sana bantuin dulu, gerbangnya agak rusak, berat.” Mama masih mengharap.
"Baik, Ma." Sahutku akhirnya. Terpaksa berputar lagi untuk membantu Mas Harris. Dasar manja! Cuma gitu doank minta bantuan! Gerutuku. Kaki melangkah mendekati tempat Harris berada. Namun, sebelum aku sampai di gerbang, kulihat Mas Haris bertindak mencurigakan. Kepalanya mengarah ke rumah, matanya memperhatikan kamar Mama. Dia pasti sedang memastikan apakah Mama sudah masuk kamarnya atau belum. Aku canggung, dadaku berdebar, teringat kejadian di westafel tadi. Apa yang akan dia lakukan padaku kali ini?
PART 5
Maju mundur, maju mundur. Aku terus menimbang. Serba salah. Kalau aku maju, artinya aku siap dengan segala kemungkinan yang akan dilakukan Mas Harris kepadaku. Kalau aku mundur, aku tidak enak sama Mama. Karena Mama yang menyuruhku membantu Mas Harris menutup gerbang. Aku memang selalu tidak sanggup menolak permintaan Mama, karena Mama sangat baik kepadaku.
Jalanan depan rumah sudah mulai senyap. Motor maupun pedagang keliling sepertinya sudah pada istirahat. Dalam hati aku menyesali diri, tahu mau ada acara kumpul-kumpul di rumah, kenapa tidak sejak pagi atau siang menyiram roda pintu gerbang yang beberapa hari ini seperti macet. Sangat seret saat didorong.
Sekitar jarak tiga meter dari keberadaan Mas Harris, aku berhenti. Kulihat cahaya dari kamar Mama berubah redup, itu artinya Mama sudah mapan di atas pembaringannya, memberi peluang kepada Harris untuk bebuat semaunya tanpa ada gangguan. Tubuhku merinding, Mas Harris menatapku, seraya tersenyum miring seperti mengejek. Aku merasa takut.
Maju mundur, maju mundur. Aku meragu. Mataku mengerjap. Dan dalam hitungan detik, Mas Harris sudah ada di sampingku. Dari samping kanan kiri bibirnya mencuat dua taring yang tajam. Mas Harris menyeringai jahat. Matanya berubah, menyala merah.
"Aaaaaa.." Aku menjerit ketakutan. Tubuhku terhuyung, pandanganku kunang-kunang. Aku berniat menyelamatkan diri, dari si vampir Harris, namun tenagaku seperti hilang, tubuhku limbung.
***
"Kamu kenapa, Na?" Tanya Mama. Raut mukanya tampak cemas. Aku menyapukan pandanganku. Aku ada di kamar Mama. "Kamu pingsan barusan."
"Ada, ada vampire, Ma." Aku tergagap.
"Kamu ini ada-ada saja." Sahut Mama. "Tak adalah vampir itu."
Mas Harris muncul di ambang pintu.
"Kenapa dia?" Tanyanya. Aku tercekat. Mengangkat sedikit kepala, dengan kedua mata melotot menatap wajahnya. Tidak lagi kudapati kedua taring di mulutnya. Tidak juga warna merah menyala di kedua matanya. Aku menjatuhkan kepalaku kembali di kasur Mama. Napasku masih belum stabil.
"Dah kamu tidur di sini saja." Kata mama seraya menyelimuti tubuhku.
"Halu dia tu." Samar aku masih mendengar ucapan Mas Harris
"Sudah sana kamu istirahat, besok barengan aja, sekalian cek kesehatan ke dokter, kalian berdua." Mama mendorong tubuh Harris. Aku meringkuk di balik selimut. Kuraih kain kompres di keningku. Tuh kan Mama begitu baik. Aku jatuh sebentar saja sudah di kompres. Kuletakkan kain tersebut di atas nakas, lalu kembali meringkuk.
***
Aku mencium sedapnya aroma pandan. Mataku mengerjap, kulihat di atas nakas ada nampan yang menampung mangkuk yang masih mengepulkan asap, dan segelas air putih. Pasti dari mangkuk itu aroma pandan ini, batinku.
"Sudah bangun, Na?" Mama masuk ke ruangan. Aku baru ingat kalau semalam aku tidur di kamar Mama.
"Jam berapa, Ma?" Tanyaku. Kepalaku terasa pening sekali. Kulihat Mama berpakaian sangat rapi.
"Jam delapan." Sahut Mama.
"Hah?" Hatiku merasa tidak enak. Aku belum pernah bangun sesiang ini selama tinggal di rumah ini.
"Kamu tidur saja. Mama mau keluar, ada janji sama pemilik rumah yang di Kampung Makassar." Ucap Mama. Itu adalah rumah yang akan Mama beli ke depannya.
"Helena pindah ke kamar sendiri saja, Ma." Kataku. Berusaha bangkit.
"Jangan dipaksa kalau masih pusing. Kamu tu dari semalam tidur juga ngigau mulu. Kamu beneran ngeliat vampir?" Tanya Mama. Tangannya sibuk memakai perhiasan.
"Entah, Ma." Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Sepertinya otakku yang memang sedang tidak waras. Aku terlalu berhalusinasi. Mana mungkin Mas Harris berubah jadi vampir. Bahkan Mama pun pasti akan menjadi saksi, kalau Mas Harris sama sekali tidak mendekatiku semalam. Aku hanya terbawa perasaan ketakutan.
"Nanti kalau kepala sudah tidak berat, kamu pergi ke dokter bareng Harris." Ucap Mama
What? Bareng pria bawel itu? Oh nooooo. "Iya, Ma." Sahutku. Dasar mulut dan hati gak sinkron! Aku merutuki diri sendiri.
Sebelum mama pergi, aku berpindah ke kamarku. Mama membawakan nampan berisi bubur kacang hijau dan air putih tadi. Aku masih keliyengan. Entahlah, sepertinya aku sakit. Padahal semalam aku berencana mau main ke kontrakan temanku di daerah Cililitan. Sekalian mau mengajak dia jalan-jalan di PGC (Pusat Grosir Cililitan). Aku malas di rumah ini tanpa Arsen, dan harus bertemu Mas Harris sepanjang weekend ini karena dia juga tidak ngantor. Aku berharap waktu akan cepat berlalu.
Di dalam kamar, aku langsung meraih ponselku. Kulihat ada beberapa miss call dari Mas Arsen. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa benci sekali membaca nama Arsen di ponselku. Kupikir, aku akan menghapusnya. Namun kemudian aku memilih klik "edit".
"Orang Asing" Begitu aku mengganti nama Arsen di daftar kontakku. Kuletakkan kembali ponselku. Berniat mencicipi bubur buatan Mama, namun tiba-tiba saja perutku terasa mual sekali. Aku langsung keluar kamar, berlari ke kamar mandi. Aku muntah-muntah di wastafel kamar mandi.
Setelah perutku terasa kosong dan lega, aku mendongak, mencuci tangan, seraya memperhatikan pantulan wajahku di cermin. Saat itulah aku melihat ada sosok lain yang melongo menatapku, sedang duduk di toilet!
"Sudah?" Tanyanya seraya melebarkan matanya menatapku. Kedua tangannya memegang koran yang ia letakkan di pangkuannya.
"Gila!" Umpatku seraya keluar dari kamar mandi. Dadaku berdegup kencang. Oh… Harrriiiis. Aku masuk ke kamarku kembali. Meremas rambutku dengan kesal.
"Bodoh!" Umpatku pada diri sendiri. Kenapa tadi tidak memperhatikan ada Mas Harris di kamar mandi. Main nyelonong saja.
"Ugh… Ini bukan salahku. Kenapa pulak dia tidak mengunci pintunya?" Aku berusaha menghibur diri.
Sambil menahan sakit kepala, aku meraih ponselku, memeriksa tas punggungku, membuka dompet. Setelah semua kurasa lengkap, aku segera mematut diri di depan cermin. Aku harus segera keluar rumah. Bulu kudukku kembali meremang menyadari kami hanya berdua di rumah saat ini. Harris bisa saja membunuhku jika aku tidak segera minggat, pikirku.
Dengan cepat aku melangkah. Mumpung Mas Harris belum keluar dari kamar mandi, pikirku. Pelan-pelan kubuka pintu depan.
"Mau kemana?" Mas Harris keluar dari kamar mandi.
"Ada urusan." Sahutku gugup. Sial sekali!
"Mama bilang aku harus mengantarmu ke rumah sakit."
"Tidak perlu. Aku sibuk." Sahutku tanpa menoleh.
"Mama bilang kamu hamil."
Deg, seketika tubuhku terasa membeku. Tanganku gemetar, kunci rumah di tanganku jatuh ke lantai. Pelan aku memutar tubuhku. Menatap nanar wajah Mas Iparku.
"A.. apa? Mas Harris bilang apa?" Aku tidak percaya. Suaraku gemetar. Sudah tiga tahun lebih pernikahan kami, aku seperti lupa pernah berharap bisa hamil, tetapi kabar ini?
"Kamu hamil." Ulang Mas Harris. Kalimat itu mampu menggerakkan kakiku untuk kembali melangkah ke dalam, lalu duduk di kursi. Mataku berkaca-kaca. Entah ini perasaan apa. Antara rasa tidak percaya, harapan, juga keraguan.
"Ayo kuantar ke dokter" Lanjut Mas Harris lagi. Tanpa menunggu jawabanku, pria itu memutar tubuh, melangkah ke kamarnya. Belum sampai di pintu kamar, dia kembali menoleh.
"Ganti pakaianmu. Aku begini tampan dan kekar, jangan sampai kamu menjatuhkanku dengan pakaian murahanmu itu!" Lalu tubuhnya lenyap di balik pintu kamar.
"Dasar breng…" Upz… aku tidak boleh mengumpat. Jika benar aku hamil, maka mulai sekarang aku harus menjaga ucapanku. Hatiku melunak. "Sabar, sabar, sabar."
PART 6
"Kamu hamil." Ulang Mas Harris. "Aku antar periksa ke dokter, tapi ganti pakianmu, jangan menjatuhkanku dengan pakaian murahanmu itu!"
-------
Harusnya aku sakit hati dengan ucapan Mas Harris barusan. Tetapi aku masih dilenakan oleh berita kehamilanku. Apakah itu benar? Atau ini hanya jebakan agar aku masuk dalam perangkapnya, untuk dia membalas dendam padaku? Bercak merah di tubuhnya sudah hilang, mungkin dia sudah konsumsi obat pereda alergi dari dokter. Seharusnya dia sudah melupakan soal pir semalam, toh dia juga sudah sembuh.
Sebelum Mas Harris keluar dari kamarnya, aku segera mengambil langkah seribu. Aku tidak mau kelemahanku saat ini dia jadikan kekuatan untuk membalasku. Ah, aku bingung sendiri, kenapa aku bisa terlibat perang lahir batin dengannya seperti ini? Aku memilih pintu belakang untuk melarikan diri, agar tidak ada suara gemerincing kunci. Pintu belakang hanya pakai slot, dan itu sangat mudah dibuka tanpa suara. Lalu melipir lewat samping kost-kostan yang khusus perempuan.
Aku berjalan keluar dari gang. Mengabaikan sakit kepala yang menyerang. Menyetop angkutan umum warna merah yang melintas di depanku. Klinik Salsabila tujuanku.
Di dalam angkutan umum, berkali-kali aku membuka nomor kontak Mas Arsen, yang sudah berganti nama menjadi, "Orang Asing". Antara ingin menelepon dan mengabari apa yang dikatakan Mas Harris, namun juga tidak ingin. Memangnya dia masih peduli padaku? Peduli perasaanku? Sepertinya tidak. Kalau peduli, dia pasti pulang semalam. Akhirnya aku memilih memasukkan kembali ponselku ke dalam saku baju.
Drrrt… Drrrttt… Baru berapa detik kukantongi ponselku sudah kembali bergetar. Mama.
"Iya, Ma."
"Kamu di mana?"
"Mmm mau ke klinik, Ma." Sahutku gugup.
"Naik apa? Kenapa tidak bareng Harris? Kamu kan lagi sakit. Kalo pingsan lagi gimana?" Mama langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan.
"Helen baik-baik saja, Ma." Sahutku merasa tidak enak hati.
"Ke klinik mana?" Tanya Mama lagi. Duh, aku bingung. Kalau aku jawab, aku khawatir Harris disuruh menyusulku. Jika tidak kujawab, Mama pasti akan memarahiku. "Helena?"
"Ah, iy, iya Ma." Aku tergagap. "Klinik Salsabila Ma."
"Ya sudah, nanti biar Harris menyusul." Sahut Mama. "Kamu hati-hati."
"Tapi, Ma!" Klik. Sambungan terputus. Gustiii, bener kan, Harris lagi?
Aku turun dari angkutan umum tepat di depan klinik. Lumayan ramai karena memang sudah siang. Aku langsung ke bagian pendaftaran.
"Ada kartu berobatnya, Mbak?" Tanya petugas. Ah, aku tidak membawanya. Aku kabur begitu saja tadi. Tiba-tiba seseorang muncul di sampingku, menarik tubuhku mundur. Mas Harris!
"Dia sudah daftar, tinggal menunggu panggilan." Ucapnya kepada petugas.
"Oh yang Mas daftarkan barusan ya."
"Ya." Sahut Mas Harris. Lalu dia mendorong tubuhku dengan ujung jarinya, mengisyaratkan agar naik ke lantai atas. Aku mengikutinya.
Mas Harris berpenampilan sangat rapi. Dengan kemeja hijau, celana panjang abu-abu, dan lengkap dengan sarung tangan seperti biasanya. Entah kenapa pria itu memiliki banyak sekali koleksi sarung tangan. Kemana pun pergi dia selalu memakai sarung tangan.
"Nyonya Helena Anastasya!" Giliranku tiba. Aku suka ke klinik ini karena memang cepat. Aku melangkah ke kamar di mana petugas tadi meneriakkan namaku.
"Bapaknya tidak ikut masuk?" Tanyanya saat aku hampir masuk ke kamar.
"Tidak perlu." Sahutku. Perempuan ini pasti mengira Mas Harris suamiku.
"Silakan, Mbak." Sambut seorang dokter pria setengah baya. Aku duduk sesuai instruksinya. Menjawab serangkaian pertanyaan, lalu menyuruhku berbaring di ranjang pemeriksaan.
"Selamat ya, Mbak. Ini usianya sudah berjalan lima mingguan." Ucap dokter tersebut sambil menjalankan alat pemeriksaan USG.
"Alhamdulillah. Terima kasih Dokter " Sahutku. Air mataku meleleh. Aku menangis bahagia. Sudah lima minggu, mengapa aku tidak merasakannya?
Kudengar pintu terbuka. Seseorang masuk.
"Silakan duduk, Pak." Asisten dokter mempersilakan. Dokter meninggalkanku, asistennya yang melanjutkan, membersihkan cairan di perutku.
"Selamat ya Pak, istri Bapak positif hamil." Kudengar ucapan dokter. Aku terhenyak. Apakah yang masuk barusan Mas Arsen? Atau Mas Harris? Aku merapikan pakaianku.
"Jadi gini, Pak." Lanjut dokter Rizal. "Kandungan istri Bapak sudah berjalan 5 minggu, tetapi kondisi rahimnya lemah, jadi harus benar-benar dijaga."
"Baik, Dokter." Itu beneran suara Mas Harris. Bagaimana bisa dia tiba-tiba jadi suamiku? Aku keluar dari balik tirai. Mas Harris berdiri dari duduknya. Matanya mengerjap menatapku, samar, samar sekali, aku bisa melihat bibirnya tersenyum. Senyum yang tidak bisa kuterjemahkan, namun aku tahu, itu bukan ejekan seperti biasanya, juga bukan karena dendam.
"Ada yang mau ditanyakan?" Dokter Rizal menatap wajah kami bergantian. Aku menggeleng. Mas Harris tersenyum kepadanya.
"Sudah cukup, Dok. Terima kasih." Katanya.
"Silakan." Sahut Dokter Rizal. Kami mengangguk bersamaan.
“Ohya,” saat kami baru hendak menarik gerendel pintu, Dokter Rizal kembali memanggil. Kami menoleh bersamaan.
“Ibunya jangan terlalu stress dan kecapek’an, itu bisa membahayakan si janin.” Lanjut Dokter Rizal. Kulihat Mas Harris mengangguk.
“Baik, Dok, saya berjanji akan menjaganya.” Ucapnya kemudian, membuatku terpana. Apa maksud ucapannya? Yang seharusnya menjagaku adalah Arsen, adiknya. Bukan dia!
Kami berjalan menyusuri lorong klinik yang terbilang lumayan besar ini. Menuju anak tangga yang akan mengantar kami ke lantai dasar. Saat berjalan, aku tidak bosan-bosannya menatap poto hasil USG di tanganku, sehingga aku tidak menyadari, ketika hampir sampai di tangga, seseorang tiba-tiba berlari dengan tergesa menuju atas.
“Hati-hati!” teriak Harris, bersamaan dengan tubuhku yang terhuyung karena hampir tertabrak orang tersebut. Dalam sekejap napasku menderu, dan ketika menyadari apa yang terjadi, aku sudah berada di dalam dekapannya. Sesaat mata kami beradu.
“Kenapa? Baru menyadari kalau aku lebih tampan dari suamimu?” ucapnya.
“Huh sok polos!” Aku melapaskan diri dengan kasar dari pelukannya.
“Setidaknya aku sudah memenuhi janjiku ke Dokter tadi, bahwa aku akan menjaga kalian.” Aku berjalan menjauh tanpa menggubris ucapannya. Tetapi, hei…, bukankah itu tadi benar?Hatiku memprotes.
“Huh benar apanya? Dia aja selalu mencelakaiku!” Aku memutuskan.
***
"Kamu sangat meremehkanku!" Kami sudah ada di mobil ketika Mas Harris mengatakan itu. "Aku menyuruhmu berganti pakaian, tetapi kamu malah minggat begitu saja. Memang ya, ngomong sama orang miskin itu susah!"
Aku memilih diam. Tadinya aku hampir meminta maaf dan berterima kasih kepadanya untuk semua yang dia lakukan pagi ini. Tetapi dengan penghinaannya barusan aku tidak perlu lagi meminta maaf, apalagi berterima kasih. Aku hanya perlu memikirkan bagaimana agar mulut dia bisa bisu selamanya, biar sadar mulut lamisnya itu terlalu pedas untuk dipelihara.
"Aku melakukan ini juga karena perintah Mama." Ucapnya lagi. Aku masih diam. "Kalau tidak, mana sudi aku mengantarmu yang berpenampilan miskin seperti itu."
Gustii… padahal pakaian yang kukenakan juga tidak murah-murah amat menurutku. Ini termasuk mahal, karena untuk membeli ini aku perlu merengek dulu pada Mas Arsen.
"Buat apa beli baju seharga 500 ribu? Mending kamu tabung bisa untuk keperluan lainnya nanti!" Begitu Mas Arsen melarangku dulu. Namun aku terus merengek, dan dia hanya memberiku uang 300 ribu untuk membeli baju. Sisanya aku menabung dari sisa belanja yang dia kasih.
Oh iya, tentu saja bagi Mas Harris ini adalah murahan. Semua baju Mas Harris tidak ada yang beli di pasaran. Semua bajunya adalah pesanan khusus dari desainer yang dia percaya. Aku tidak tahu harganya, tetapi pasti tidak ada yang seharga 500 ribu, seperti yang kupakai.
Ponsel Mas Harris berbunyi.
"Iya, Ma."
"Sudah, Ma"
"Positif."
"Lima Minggu."
"Baik, Ma."
"Oke."
Aku mengira-ngira obrolan itu. Mama pasti menanyakan hasil pemeriksaanku. Panggilan selesai. Mas Harris memutar mobilnya ke arah lain.
"Kenapa ke sini?" Tanyaku.
"Nanti juga tau!" Ketus sekali dia menjawab. Mobil meluncur dengan cepat ke arah Cibubur. Perasaanku mulai dihinggapi rasa was-was. Akan kah dia membawaku ke suatu tempat mengerikan? Masih kah dia ingin mengintrogasiku tentang pir semalam? Bulu kudukku kembali meremang.
Mobil belok ke sebuah minimarket khusus buah di daerah Cibubur. Ah, aku lega. Dia tidak akan membunuhku.
"Ngapain kita ke sini?" Tanyaku.
"Jalan saja bawel!" Bentaknya. Aku menghembuskan napas. Padahal maksud pertanyaanku adalah, di Pasar Rebo saja banyak buah, kalau cuma mau beli buah ngapain jauh-jauh ke Cibubur? Sekali lagi, aku menghela napas. Rasanya ingin sekali ada Arsen di sini, sehingga aku bisa menumpahkan rasa sesakku di dadanya. Ah, sedang apa pria itu di Bogor? Kenapa dia tidak mengabariku? "Istri muda" Ucapan Mas Haris semalam kembali terngiang.
"Kamu tidak turun?" Mas Harris mengejutkanku. Aku membuka pintu mobil, dan melangkah keluar. Kami masuk ke minimarket. Mas Harris inisiatif mengambil troli. Dan terus melangkah menuju buah-buahan.
"Mama nyuruh membeli buah. Kamu boleh ambil buah apa saja yang kamu inginkan." Ucapnya. Aku tersenyum samar. "Ingat, hanya buah tidak yang lainnya!"
Aku melangkah meninggalkan Mas Harris. Melihat-lihat buah apa yang paling mahal, yang sekira bisa membuat kantong pria yang sedang bersamaku ini terkuras lebih dalam. Toh kondisi dia sedang bangrut saat ini.
"Anggur Black Autum Rp. 112.000/pack" ini sekitar ½ kilo. Lumayan mahal, tetapi aku tidak perlu mangambil itu, Mas Harris pasti akan membeli itu.
"Tomat import jumbo Rp. 24.000/100gram." Aku ambil itu saja. Seorang pramuniaga mendekatiku. Aku meletakkan tomat di atas timbangan digital terdekat. Mbak Pramuniaga dengan cekatan memijit-mijit tombol di timbangan. Lalu menaruh tomat ke dalam kantong dan menempelkan struk yang keluar dari timbangan tadi. Beratnya empat ratus gram lebih sekian. Aku menaruh tomat ke dalam keranjang. Mas Harris mengangkat alisnya. Lalu dengan ujung jari telunjuk dan jempolnya ia menenteng tomat ke depan wajahnya. Aku menunggu reaksinya.
"Tomat bukan buah. Ini sayuran!" Tegasnya.
"Itu tomat buah, Pak. Bisa dimakan." Sebelum aku menyahut Mbak Pramuniaga sudah menjelaskan. Aku puas, menggerakkan alis dan mataku untuk menegaskan, bahwa Mas Harris tidak berhak menolak buah pilihanku. Mas Harris menggerakkan kedua bahunya. Kalah.
Aku berjalan lagi, tepat di samping Mas Harris aku melihat pir Xiang Li. Harganya murah, sebungkus hanya 37 ribu berisi 7 butir. Aku tidak suka buah pir, tetapi aku berharap bisa menjadikannya alat sekali lagi untuk mengerjai Mas Harris. Tanganku terjulur untuk meraih buah tersebut.
"Tidak yang itu." Has Harris mencengkeram pergelangan tanganku.
"Ini buah juga." Jawabku berharap dia melepaskan cengkeramannya.
"Tapi aku bilang tidak." Dia melepaskan tanganku lalu mendorong trolinya menuju kasir. Aku mengikutinya.
"Berati Mas tidak konsisten dengan ucapan Mas tadi."
"Aku berhak menarik ucapanku lagi." Sahutnya. "Kapan pun!"
"Dasar kejam!" Aku berjalan menjauh. Kubiarkan Mas Harris berdiri di depan kasir sendirian. Aku berjalan menuju rak snack. Kuraih sebungkus mie lidi pedas, kemudian kembali ke Mas Harris. Kuletakkan camilan tersebut ke meja kasir. Petugas langsung memindainya untuk memasukkan harganya.
“Yang itu, jangan dimasukkan ke kantong,” Tiba-tiba Mas Harris berkata, seraya menunjuk sebungkus mie lidi pilihanku. Kami semua menatapnya.
“Mau dimakan langsung, Mbak?” tanya karyawan yang bertugas memasukkan belanjaan ke plastic kresek.
“Tidak!” Mas Harris langsung menyela sebelum aku menjawab. Petugas, menatap Mas Harris dan aku bergantian. Bingung.
“Jadi?”
“Itu buat nyemil kalian saja. Kalian makan bareng-bareng.” Balas Harris lagi.
“Eh kok gitu?” petugas menatapku, dengan tatapan tidak enak hati.
“Apaan sih?” aku menatap Mas Harris kesal.
“Kamu sedang hami, Sayang, camilan ini harus diskip dulu, okey? Demi kesehatan kalian,” sekali lagi aku dibuat terhenyak oleh Mas Harris, ia menatapku dengan senyuman yang tulus. Tuhan, andai dia adalah, Mas Arsen…
“Aiih… kalian so sweet,” Suara Mbak kasir menyadarkanku dari lamunan. Aku gugup. Buru-buru mengulas senyum kepadanya. Kemudian mengalihkan pandanganku kembali ke Mas Harris.
“Ah, iya, kamu benar, Sayang.” Ucapku, seraya dengan sengaja meletakkan tanganku di dada bawah bahu Mas Harris. Kemudian menurunkannya ke dada tengahnya dengan lembut. Setelah itu aku pamit dan duduk di kursi tunggu yang tersedia di deretan depan samping dinding kaca.
***
Satu jam kami di toko buah. Suara adzan dzuhur dari banyak masjid sudah terdengar. Kami masuk ke dalam mobil.
Mobil siap bergerak kembali. Dadaku terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Duduk di kursi samping Mas Harris tiba-tiba aku merasa canggung sekali, sementara Mas Harris, kulihat wajahnya hanya datar-datar saja.
Baru beberapa meter berjalan, lagi-lagi Mas Harris berbelok semaunya. Kali ini kami berhenti di Platinum Resto & Cafe. Sebuah tempat makan yang terjamin kebersihannya, serta enak makanannya, karena banyak pilihan menu dari berbagai negara.
"Di rumah tidak ada makanan. Kita makan dulu." Ucapnya. Aku menatapnya takjub. Terbuat dari apa hati orang ini sebenarnya? Kenapa terkadang baik terkadang sadis?
PART 7
Hatiku mempertanyakan, "Terbuat dari apa hati Mas Harris? Terkadang baik terkadang sadis.
--------
Kami sampai rumah jam dua siang. Begitu mobil masuk ke halaman, aku langsung turun dan berjalan menuju teras depan. Kepalaku kembali sakit, padahal tadi sempat reda setelah meminum obat pemberian dokter. Mama sudah ada di rumah. Dia langsung menyambut kami, dan memberiku ucapan selamat.
"Akhirnya kamu akan menjadi Ibu, Helena." Mama terlihat bahagia. "Masuklah, Arsen sudah datang."
Deg.
"Kapan dia datang, Ma?" Tanyaku hambar. Entah mengapa aku seperti tidak berharap dia datang. Entahlah. Rasanya aku tidak ingin melihat dia.
"Entah. Mama tanya juga tidak dijawab." Sahut Mama. Dasar anak durhaka, batinku mengumpat.
"Baik-baiklah kepadanya, sepertinya dia sedang marah." Bisik Mama pelan. Aku langsung melepas sepatuku dan bergegas ke kamar. Kulihat Mas Arsen sedang berbaring tidak melakukan apa-apa.
"Mas." Panggilku lembut.
"Luar biasa." Sambutnya seraya bertepuk tangan tiga kali penuh dengan praduga. Aku tercekat. Aura tidak enak langsung kurasakan. Aku mendekatinya, berniat menyalami tangannya. Namun dia mengebaskan tangannya dariku.
"Mas." Ulangku bingung.
"Jadi begini ya keseharianmu di rumah? Jalan-jalan terus dengan Abangku." Uapnya. Nadanya penuh dengan tuduhan.
"Apa maksudmu, Mas?" Aku mulai merasa tidak nyaman mendengar ucapannya.
"Sok polos!" Balasnya mengejek. Aku menghembuskan napas berat. Sakit kepalaku semakin menjadi. "Suami banting tulang dibelain lembur akhir pekan. Eh istri di rumah senang-senang dengan pria lain. Abang sendiri pun diembat!"
Seketika darahku terasa mendidih. Tega sekali dia menuduhku berselingkuh.
"Mas, jangan sembarangan menuduh ya." Terdengar nada marah pada suaraku. "Kami pergi tu baru hari ini. Itu pun karena kami ketemu di klinik. Helen berangkat naik angkot!"
"Masih mau membela diri?" Tanyanya tak percaya.
"Jadi Mas maunya gimana?" Tanpa sadar kalimat tantangan keluar dari mulutku.
"Ouw… mulai berani ya sekarang? Siapa yang mengajarimu?"
"Mas bisa bicara baik-baik kan?" Pintaku dengan tegas. Menekankan bahwa aku juga bisa marah.
"Dalam seminggu berapa kali kamu keluar bareng Mas Harris?"
"Mas apa-apaan sih? Kami keluar tu hanya mau berobat. Helen USG, dan Mas Harris periksa kesehatan karena alerginya kambuh!" Jawabku kesal.
"Bisa ya kebetulan begitu?"
"Terserah kalau Mas gak percaya."
"Bagaimana aku mau percaya? Hanya ke Klinik Salsabila yang jarak tempuhnya gak sampai 10 menit, kalian pergi hampir satu hari!" Arsen benar-benar marah kali ini.
"Ya, itu karena Mama menyuruh kami membeli buah."
"Di Pasar Rebo ada banyak buah. Tiga menit perjalanan dari klinik Salsabila, kemana sisa waktunya?" Mas Arsen semakin nanar menatapku.
"Percuma juga Helen jelaskan. Mas tetap tidak akan percaya."
"Jelaskan!" Bentaknya. Aku kaget. Seumur-umur ini adalah pertama kalinya aku dibentak sedemikian rupa.
"Mas!" Suaraku sama tingginya.
"Aku curiga sama anak yang kamu kandung. Katakan itu anak siapa?" Mas Arsen semakin kehilangan kendali. Telunjuknya menuding ke perutku penuh amarah.
"Oh… Jadi Mas menuduhku berzina?" Aku teriak. "Tega sekali kamu Mas!" Kubuka pintu dengan kasar. Aku keluar dan kembali kubanting pintunya. Aku berlari keluar.
"Helena!" Tak dipedulikan panggilan Mama. Hatiku terlalu sakit atas tuduhan Mas Arsen. Kakiku terus berjalan, dan naik ke angkot 08 yang sudah menungguku di jalan besar. Itu karena supirnya melihatku yang berjalan kaki di gang menuju jalan utama, sehingga dia berhenti untuk menungguku.
Begitu aku naik, angkutan umum langsung bergerak. Aku tahu penumpang pada memperhatikanku yang sedang menangis. Aku tidak peduli. Kuraih ponselku yang masih di saku. Untung aku belum mengeluarkannya tadi.
"Mell" Suaraku gemetar, saat aku berbicara dengan temanku melalui ponsel pintarku.
"Hei, kamu kenapa, Na?" Amell tampak kaget.
"Aku ke rumahmu ya. Aku tidak tau mau ke mana." Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin aku pulang ke rumah orang tuaku di Bekasi. Jadi aku memilih melipir ke rumah teman yang pastinya lebih bisa memahamiku.
"Ada apa sih, Na? Kamu di mana sekarang?"
"Aku naik angkot 08, tolong jemput aku di PGC ya, Mell. Aku tidak bawa uang sama sekali." Aku berbicara sambil terus menangis. Saat itu kurasakan ada yang bergolak di perutku. Terasa melilit, sakit sekali.
"Yaa ampuuun, Helena. Ya sudah kutunggu kamu di sana." Sahut Amell dari seberang.
"Makasih Mell." Kami menyudahi obrolan. Aku masih terisak. Tubuhku terguncang karena tangisanku. Semua penumpang membisu.
***
Amel langsung memberiku segelas air es, begitu kami sampai di rumahnya. Sakit perutku agak berkurang. Begitu juga rasa sesak di dadaku. Napasku kembali teratur.
"Apa yang terjadi?" Dia mengulang pertanyaannya yang tadi, setelah melihatku tenang. Dengan air mata yang terus mengalir, aku menceritakan semuanya kepada Amell
"Dasar lelaki gak tahu diri suamimu itu!" Amel tampak kesal. Tentu saja. Amell adalah orang yang sangat paham perjalanan cinta kami. Sejak dulu dia sudah tidak setuju aku menikah dengan Arsen, yang usianya sepuluh tahun di atasku. Amel ingin aku menikah dengan teman kerja kami, Faiz. Usianya tiga tahun di atasku. Posisiinya sudah bagus di perusahaan. Baik dan sudah perhatian sejak aku belum mengenal Arsen. Sayangnya aku sama sekali tidak tertarik kepadanya. Arsen yang customer mewah kami, berhasil menaklukkan hatiku. Sejak itu Faiz tidak pernah lagi mengantarku pulang karena aku dijemput Arsen dengan mobil mengkilap yang menyilaukanku.
Ah, kalau saja aku cerita ke Amell, kalau Arsen juga ternyata duda yang memiliki anak sudah usia dua belas tahun, dia pasti akan semakin marah.
Awalnya aku juga tidak menyangka Arsen sudah memiliki anak dari pernikahan pertamanya. Dia tidak pernah bilang kalau dia pernah menikah. Tepatnya tidak mengaku saat kutanyai, karena aku penasaran dengan usianya yang sudah bapak-bapak. Aku terkejut ketika tiba-tiba saat Mama akan mengadakan makan malam bersama, anak itu muncul diantar ibunya. Aku yang menerima kedatangan mereka, karena sedang menyapu halaman depan.
Aku menghembuskan napas lagi, sesak sekali setiap kali mengingati semua kedustaan Arsen padaku.
"Kamu istirahatlah." Ucap Amel. "Masuk saja ke kamar."
Aku sudah sering menginap di rumah Amell, jadi sudah paham mana kamar yang harus kutempati.
"Aku ke toilet dulu." Sahutku seraya bangkit. Beberapa langkah kakiku berjalan, Amell memanggil.
"Na." Aku menoleh. "Kamu mending ke dokter lagi deh."
"Kenapa?" Aku bingung.
Amell memberi isyarat sesuatu di bagian belakangku. "Da, darah di pantatmu."
Aku memutar beberapa derajat kepalaku ke belakang untuk melihat yang ditunjuk Amell. Benar, rok bagian belakangku sudah nemplok warna merah melebar. Aku harusnya merasakan ada cairan yang keluar dari bagian bawahku, tetapi aku terlalu sibuk dengan perasaanku sehingga mengabaikan hal tersebut.
"Mell?" Seruku ketakutan.
"Kamu ke toilet, aku ambilkan pembalut." Ucap Amell seraya bangkit dari duduknya. "Setelah itu kita ke Dokter." Diam-diam aku bersukur karena memiliki sahabat sebaik Amell.
***
Tiga puluh menit kemudian. Di sinilah kami. Di ruang pemeriksaan dokter perempuan yang cantik dan masih muda. Kami ada di RSIA Cinta Bunda daerah Cililitan.
"Mbak sepertinya terlalu stress ya." Ucap Dokter yang memiliki nama Intan tersebut.
"Jadi bagaimana, Dok? Tanya Amell. Dokter Intan menghela napas.
"Dok?" Aku menatap cemas.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
