
“Selamat ulang tahun, Sayang. Inget gak waktu pertama kali kita merayakan ulang tahun bersama di hotel bintang lima itu. Kuhadiahi kamu seluruh tubuhku. Kamu sangat mesra mencumbuku. Ah, andai waktu itu bisa terulang.” - Yona
Pesan yang dikirim Yona ke WA Mas Gibran itu, langsung dibaca oleh Gita, istri Gibran. Membuat dadanya bergemuruh menahan emosi. Yona sudah melampaui batas. Apalagi, disertai poto vulgar untuk menggoda. suaminya.
“Najis, ganjen, gak punya malu!” umpat Gita.
Part 1. Mancing Emosi
"Mas kenapa sih, harus ke rumah Yona mulu? Aku gak suka ya, kalau Mas terus-menerus datang ke rumah mantan istri Mas itu!"
"Mau gimana lagi Dik, namanya juga urusan anak."
Mas Gibran suamiku, orangnya memang tidak enakan, sehingga setiap kali mantan istrinya menyuruh dia datang ke rumahnya, selalu tidak bisa menolak. Hingga suatu hari, aku menemukan pesan di whatsappnya.
"Ayah, Mama nyuruh Ayah ke sini. Seperti biasa, sendirian, tidak boleh ngajak siapa-siapa.
Emosi aku dibuatnya. Bagaimana tidak? Mantan istri suamiku itu sungguh tidak punya malu, setiap hari ada saja cara dia membuat agar suamiku datang ke rumahnya. Bahkan terkadang suka membuat Mas Gibran seperti lupa jalan pulang ketika pergi sholat maghrib atau isya di masjid dekat rumah. Masjid yang jarak tempuhnya hanya sekitar seratus meter itu, yang biasanya hanya memakan waktu tidak lebih dari lima menit untuk ditempuh dengan jalan kaki, bagi Mas Gibran terkadang bisa menjadi selama satu jam! Bayangkan coba, siapa yang tidak kesal?
Tahu apa alasannya?
"Tadi dicegat Novita, Yona nyuruh Mas ke sana sebentar." Begitu Mas Gibran menjelaskan acapkali kutanyai keterlambatannya pulang dari masjid.
Sejak mengetahui ayahnya kembali ke Surabaya, hampir setiap hari Novita, anak suamiku dari pernikahan pertamanya itu, datang ke rumah kami. Tepatnya rumah ibu mertuaku. Anak 15 tahun itu selalu berbisik ke telinga Mas Gibran, menyampaikan pesan ibunya, "Mama menyuruh ayah datang ke rumah."
Pada akhirnya tetap saja aku tahu, karena Mas Gibran selalu cerita kepadaku meskipun anaknya itu sudah berbisik-bisik di telinganya. Lagian pasti ketahuan, karena setelah itu Mas Gibran langsung merapikan diri untuk pergi bersama anaknya itu ke rumah mantan istrinya.
Pernah satu kali Mas Gibran meminta pendapatku soal penampilannya "Mas pake begini pantes gak, Dik?"
"Pantes kelihatan keren." Sahutku. Aku tidak tahu kalau malam itu dia akan bertemu mantan istrinya. Kukira hanya mengantar Novita les saja. Setelah pulang Mas Gibran cerita tentang pembicaraannya dengan Yona, saat itu aku tidak marah, namun itu menjadi senjata buatku memojokkannya setiap kali aku kesal.
"Oh, jadi berdandan minta pendapatku hanya untuk nemuin mantan?" Cibirku. Yang lagi-lagi hanya disambut tawa oleh Mas Gibran.
"Nggak gitu juga sih, tujuannya kan nganter Novita. Tapi Yona memintaku mampir sebentar." Kata Mas Gibran. Aku menahan diri meskipun dalam hati mengumpat, "dasar ganjen!
Yona, mantan istri suamiku itu, selalu berusaha mengajak bertemu mantan suaminya ini, dengan memanfaatkan Novita, anak mereka. Seperti malam ini, lagi-lagi dia pulang setelah satu jam kegiatan di masjid usai.
"Ngapain lagi dia?" tanyaku pada Mas Gibran yang langsung cerita sepulang mampir dari rumah Yona, yang menyebabkannya pulang terlambat dari biasanya.
"Membahas sekolah Novita." sahut Mas Gibran.
"Kenapa dengan sekolahnya?" Aku penasaran.
"Ya seputar rencana nanti kalau dia masuk SMA mau minta sekolah di mana?" sahutnya datar.
"Udah gitu aja?" Aku takjub dengan sikapnya. Benar-benar polos.
"Apaan sih, Dik?" Tanyanya. Mungkin dia mulai merasa tidak enak, terintimidasi.
"Mas tidak merasa ada yang salah gitu? Tidak merasa janggal gitu?" kejarku.
"Apanya yang salah?"
"Mas, Novita baru naik kelas dua SMP dua hari yang lalu kan? Masih menunggu dua tahun lagi untuk masuk SMA?"
"Iya, buat persiapan aja." sahutnya masih saja polos. Ck, aku menggeleng.
"Terlalu dini lah itu. Kirain enam bulan lagi lulus SMP, waktunya bicarain mau SMA di mana. Masih dua tahun udah ngajak ngebahas. Alasan aja itu mah!" kesal aku merepet.
"Apaan sih, Dik? Gitu amat kamu." Mas Gibran seperti tidak terima dengan omelanku.
"Ya iyalah," aku kesal, "alasan aja itu mah ngebahas sekolah Novita. Aslinya dia yang pengen ketemu sama Mas. Kangen sama Mas!"
"Hahaha, kamu cemburu ya?" Mas Gibran menggodaku.
"Gak!" bantahku. "Yonanya aja yang gak tahu diri!"
"Ah ngaku aja. Kamu cemburu." Mas Gibran memainkan matanya sambil senyum-senyum menggodaku,
“Lihatlah Nak, ibumu cemburu." Lanjutnya sambil berjongkok di depan Nadira anak kami.
"Ish…" cibirku makin kesal.
Sebenarnya ini bukanlah yang pertama kali Yona seperti ingin menggoda suamiku. Apa yang dia lakukan saat ini, hanya mengingatkanku sewaktu kami masih di Jakarta dulu. Saat itu Yona mengirimi suamiku pesan di tengah malam. Di atas jam 12 malam, sekadar bertanya, "Mas apa kabar?"
Awalnya Mas Gibran tidak menanggapinya. Namun malam berikutnya dia kembali mengirimi pesan, "apakah mas bisa pulang ke Surabaya jika sewaktu-waktu saya minta bantuan tanda tangan? Aku mau membeli tanah di daerah kota, mau minta bantuan Mas untuk tanda tangan."
Hah? Mau beli tanah, ngapain ngubungin mantan suaminya untuk tanda tangan? Setelah berpisah selama 11 tahun? Jelas aku curiga! Untung suamiku type setia dan jujur. Juta tulus mencintaiku sepenuhnya, sehingga dia menceritakan pesan tersebut kepadaku sebelum membalasnya.
"Mas jawab aja, gak bisa. Ada-ada aja. Dia dia sendiri yang mau beli tanah, ngapain Mas yang suruh tanda tangan? Aneh!" Gerutuku saat itu.
Kemudian Mas Gibran menjawab pesan tersebut, dengan jawaban yang sangat memuaskan bagiku. "Maaf Mbak, saya tidak bisa".
Bagiku, menyebut wanita itu dengan panggilan "Mbak" itu sudah membuktikan bahwa Mas Gibran sudah tidak berminat kepadanya. Sudah menganggap Yona sebagai orang lain. Lagi pula, Mas Gibran juga masih terikat kerja sama membangun bisnis dengan temannya. Mana bisa mau seenaknya pulang kampung? Biarpun itu bisnis sendiri, kedua belah pihak tetap wajib dan sepakat untuk mengikuti dan mematuhi SOP perusahaan yang mereka rancang dan sepakati bersama. Jadi tidak bisa semaunya.
Padahal Yona masih memiliki kerabat lain, kenapa coba memilih mantan suami yang sudah lama berpisah dan tidak ada komunikasi untuk tanda tangan pembelian tanahnya? Aku menilai itu hanya akal-akalan saja, padahal dia aslinya hanya ingin memulai komunikasi lagi dengan suamiku. Huh, dasar!
Tidak lama kemudian, perusahaan yang dibangun Mas Gibran dan temannya mengalami kebangkrutan. Saat itu kondisi memang sedang pailit di mana-mana, banyak perusahaan yang dijual dan gulung tikar, termasuk bisnis Mas Gibran. Mau tidak mau, kami kembali ke Surabaya, dan memulai bisnis baru, sekaligus ikut mengelola bisnis keluarga yang selama ini sudah berjalan dan besar. Akhirnya kami memutuskan menetap di kota Pahlawan tersebut, dan terpaksa tinggal menumpang di rumah mertuaku sementara waktu, yang jarak rumahnya lumayan dekat dengan rumah mantan istri suamiku itu.
Kami menumpang bukan karena tidak memiliki rumah. Suamiku memiliki rumah bertingkat di daerah Gresik yang saat ini di huni oleh tiga anak asuh kami. Sementara dari Jakarta, aku juga membawa satu anak asuh lagi, dan dua anak kandung kami, jadi total anak yang akan tinggal bersama kami adalah enam. Untuk itu kami perlu memperluas rumah agar layak dihuni oleh anak-anak, pengasuh, dan pembantu kami.
Hari ini adalah bulan kedua kami berada di Surabaya. Aku masih harus terus menahan diri menghadapi Yona, karena kami masih tinggal di rumah mertuaku. Renovasi rumah kami belum selesai.
Seperti pagi ini, saat aku membeli seikat kacang panjang, dan sekilo telur, kulihat Yona datang dan memilih-milih daging sapi.
"Ini tuh buat makan Novita. Dia mah gak suka kalau makan gak pakai daging!" Serunya. Aku cuek, toh dia tidak bicara kepadaku. "Kasihan dia, kalau main ke tempat ayahnya cuma dikasih makan pakai sayur kacang dan dadar telur. Murahan dan membosankan."
Aku pura-pura tidak mendengar ucapan Yona. Sekali lagi, dia bukan bicara kepadaku, jadi aku merasa tidak ada kepentingan untuk menyahut. Aku justru berbicara kepada ibu pemilik warung.
"Saya sudah, Bu. Berapa total belanjaan saya?"
"Telur dua puluh empat ribu, dan kacang panjang tiga ribu." Sahut ibu pemilik warung. Kukeluarkan uang lima puluh ribuan. Begitu menerima kembalian aku langsung pamit pulang.
"Dasar gak ada akhlak!" Baru beberapa langkah aku berjalan, ada suara sumbang yang sedikit ditekan. Suara Yona. Dadaku bergemuruh, yakin kalimat itu ditujukan kepadaku. Kakiku terasa berat, hatiku berkecamuk antara ingin berhenti dan berbalik badan kepadanya, lalu mencabik-cabik mulutnya, juga sisi damai hatiku yang menyuruh untuk mengabaikan dan melanjutkan langkah pulang. Hatiku bimbang, gaplok mulut dia dulu atau tidak?
***
BAB 2. Tertipu Oleh Anak Tiri
"Dasar gak ada akhlak!" Sebuah ungkapan yang sungguh merendahkan. Sisi hatiku ingin memberinya pelajaran sekaligus menyadarkannya, siapa yang tidak berahlak sebenarnya. Wanita yang mengganggu suami orang, dan hanya berani mengolok dengan menyindir, apa pantas disebut berakhlak?
Kakiku kembali melangkah. Jangan diladeni, teriak hatiku. Aku memilih menurut. Aku harus kuat pada prinshipku, selama orang itu tidak terang-terangan bicara kepadaku, biarlah ia menggonggong seperti anjing.
***
Sampai di rumah aku langsung menuju dapur. Menaruh belanjaan, cuci tangan dan masuk kamar. Melepaskan jilbab serta menaruh dompet di atas lemari.
"Novita kirim pesan." Mas Gibran menyambutku saat aku keluar dari kamar lagi.
"Kenapa?" Tanyaku mencoba sekalem mungkin, mengesampingkan bayangan Yona yang nyinyir di warung tadi. Walau bagaimana, Novita dan Yona dua sosok yang berbeda. Jika ada di antara mereka yang membuat masalah denganku, aku tidak boleh melibatkan yang lainnya, kecuali mereka yang mau melibatkan diri.
"Mau main ke sini." kata Mas Gibran lagi.
"Oh." Gumamku, seraya melangkah menuju dapur. Aku membeli kacang dan telor sebenarnya hanya untuk simpanan, kalau-kalau aku ingin makan sayur nantinya. Tetapi kali ini aku tidak jadi memasukkannya ke dalam kulkas. Sepertinya aku akan mewujudkan ucapan Yona tentang anaknya yang setiap kali ke tempat ayahnya, hanya disuruh makan dengan sayur kacang dan telur. Biar dia tahu, seperti apa rasanya sayur kacang dan dadar telur buatan ibu tirinya ini. Aku tersenyum sinis.
Padahal, selama lima bulan tinggal bersama ibu mertua, ini pertama kalinya aku membeli sayuran kacang panjang, niatnya cuma mau kurebus dan cocol sambal. Aku malas memasak sayuran satu ini karena membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk mengolahnya, dan bumbu juga harus lengkap jika mau enak. Aku lebih suka masakan sederhana yang paling hemat waktu saat dimasak dan dibersihkan. Seperti kol, sawi, kailan, bayam, dan sejenisnya. Yang bisa kutumis hanya dengan jahe iris dan garam. Sedangkan kacang panjang, kangkung, enaknya dengan bumbu komplit seperti bawang merah, bawang putih, cabe. Aku tidak telaten melakukan itu.
"Mas pergi dulu, Dik." Di tengah-tengah kesibukanku menyemai sayuran untuk kumasak demi Novita, Mas Gibran berseru, ia sudah bersiap hendak keluar. Mas Gibran memang suka semaunya kalau memanggilku. Terkadang menyebut namaku, terkadang Dik, terkadang Sayang. Yang nomot tiga itu, panggilan yang paling tidak kusukai.
"Kemana?" Tanyaku.
"Jemput Novita." Sahutnya.
"Pake dijemput?"
"Iya, Mas disuruh pamit ke Umminya dulu, kalo mau ajak Novita ke sini." Ummi adalah sebutan untuk neneknya Novita. Ibunya si Yona.
"Lah bukannya Novita yang mau main ke sini, gak ada yang ngajak?" Tanyaku mulai tidak enak hati.
"Iya, tapi kata Novita, Ummi meminta Mas tetap harus ke sana pamitin dia." Terang Mas Gibran.
"Ketemuan ama mantan lagi deh." Seruku kesal. Gak anak gak emak sama saja! Semoga saja Novita beda.
"Apaan sih Dik. Orang cuma mau jemput Novita aja kok."
"Novita udah segede itu, jelas-jelas mau main ke tempat ayahnya, perjalanan cuma tiga menit dari sana ke sini, pake suruh pamit, suruh jemput segala. Ribet amat!" Gerutuku.
"Mau gimana lagi, mereka maunya begitu." Datar Mas Gibran menjawab. Aku geram, tetapi ya sudahlah. Kubiarkan Mas Gibran pergi ke rumah mereka untuk menjemput Novita. Aku melanjutkan pekerjaanku.
***
Aku pecinta makanan pedas. Ingin rasanya menaruh banyak cabe pada sayur kacang berbumbu santanku ini. Tetapi aku teringat Novita, yang tidak suka pedas. Jadi aku mengalah. Gampang aku nanti bikin sambal, pikirku. Walau pada akhirnya aku memilih membeli sambal sachetan ketimbang bikin. Malas ribet.
"Yang, tolong isiin pulsa nomor Novita ya." Tiba-tiba Mas Gibran muncul di dapur. Jam 11:00, mereka sudah datang sejak satu jam setengah lalu. Novita sedang tiduran sambil menatap layar ponselnya di ruangan televisi. Dari suaranya itu adalah game yang memang biasa dia mainkan setiap berada di sini. Terkadang dia hanya menonton video di TikTok dan Youtube.
"Perasaan belum lama diisi seratus ribu?" protesku.
"Iya sudah habis." Sahut Mas Gibran.
"Boros amat, aku aja yang buat kerja seratus ribu buat sebulan." lanjutku lagi.
"Iya dia buat nonton-nonton tiktok dan Youtube makanya cepat habis." Sahut Mas Gibran lagi datar. "isiin yak."
"Aku selesaikan ini dulu." Aku pun mengalah. Sebenarnya biaya hidup Novita sudah diberikan kepada ibunya setiap bulan. Dari uang makan, biaya sekolah, uang jajan, pulsa, Internet dan lainnya, tetapi, entahlah, sepertinya masih kurang saja setiap bulannya. Ada saja yang dipinta Novita kepada ayahnya. Beli sepatu, beli sepeda, tas, baju, handphone, terakhir yang belum bisa kami penuhi adalah laptop. Dia belum membutuhkan benda itu.
"Makasih, Sayang." Sahut Mas Gibran seraya memegang pinggangku.
"Lepas." Aku menghentakkan diri. "Risih tau!"
Mas Gibran senyum-senyum sambil memainkan alisnya yang tebal. Aku sebal melihatnya. Beberapa menit kemudian, ia kembali ke ruangan di mana anak-anak berada.
Sambil menunggu sayur matang, kubuka mobile banking, membeli pulsa untuk Novita. Kulihat transaksi sebelumnya. Baru dua belas hari yang lalu nomornya kuisi pulsa seratus ribu. Agak malas akupun mengisi lima puluh ribu lagi pada nomor Novita. Setelah itu aku kembali ke dapur.
"Siang makan apa kita, Yang. Novita laper katanya." Lagi-lagi Mas Gibran masuk dapur.
"Iya ini udah mateng. Mas ambil piring aja ama nasi." Sahutku sekaligus memintanya membantu. Mas Gibran langsung mengerjakan apa yang kupinta. Aku menghidangkan sayur kacang dalam mangkuk besar, dan telur dadar dalam piring. Setelah semuanya siap, kami mulai makan bersama. Sayur santan kacang begini, sudah berbulan-bulan aku tidak memasaknya. Dan sekarang kami bisa menikmatinya lagi.
Saat sedang asyik menikmati sayur tersebut, tiba-tiba kulihat Novita menyendok sayur dengan sendok yang dia gunakan untuk memasukkan makanan ke mulutnya.
"Astaga, Novita?" Spontan aku bergumam. "Itu kan ada sendok sayurnya. Kenapa pakai sendok yang dipakai ke mulut?"
"Eh iya lupa." Sahutnya tanpa merasa bersalah. Gustii, aku memasaknya dengan perjuangan, dan baru menyendok satu sendokan sayur kecil, tetapi sayur itu bercampur dengan sendok bekas mulut Novita. Aku paling tidak bisa makan barengan kalau bukan dengan keluarga inti yang paling dekat denganku. Aku tidak akan mungkin memakan sayur itu lagi! Ugh… sekali lagi hatiku kesal.
***
Tiga jam kemudian.
"Yang ada uang?" Aku sedang tiduran sambil mengetik di ponselku, ketika Mas Gibran lagi-lagi muncul. Sebagai ibu rumah tangga, selain mengurus rumah, isi perut keluarga dan anak-anak, aku juga memanfaatkan waktu kosongku untuk bekerja sebagai freelancer online untuk menghasilkan uang. Aku juga nyambi mengelola online shop, agar hasilnya bisa kupakai bersedekah dan berbagi kepada keluargaku sendiri tanpa mengganggu uang pemberian suamiku. Terkadang juga hasil kerjaku itu bisa kami gunakan untuk menutup kebutuhan ketika suamiku sedang tidak memiliki uang. Karena, meskipun kami memiliki bisnis keluarga yang lumayan, kebutuhan keluarga kami juga sangat besar, sehingga terkadang kami kehabisan uang untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya. Seperti hari ini.
"Tinggal lima puluh ribu di dompetku." Sahutku. "Itu pun buat persediaan belanja besok."
"Kuranglah." Sahut Mas Gibran.
"Buat apa?"
"Novita butuh uang buat outbond besok."
"Ya kalau kita gak ada mau gimana? Mas kan tahu tabungan kita udah terkuras ludes buat renovasi rumah."
"Nadira sama Nadifa kan punya tabungan. Pakai saja uang mereka buat Novita." Tiba-tiba suara yang sangat kukenali sudah terdengar di belakang kami. Itu ibu mertuaku.
"Nggak bisa dong Bu. Uang mereka ya milik mereka, buat simpenan mereka. Kok suruh dikasihkan Novita. Aku gak setuju." Protesku.
"Ya mau gimana lagi, Novita butuh uang, ayahnya gak punya." Sahut Ibu mertua lagi. "Lagian Nadira sama Nadifa kan masih kecil, belum butuh uang. Paling juga nanti habis sama kamu."
"Sekarang belum butuh, ke depannya butuh. Aku keberatan uang mereka dikasihkan siapa pun. Aku saja biarpun kepepet tidak pernah pakai uang mereka." Tegasku, seraya melangkah meninggalkan Ibu mertua dan suamiku. Masuk kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur dengan dongkol.
"Ayolah, Dik." Rayu Mas Gibran yang ternyata menyusulku ke kamar.
"Terserah ya, yang jelas aku tidak setuju!" Sungutku.
"Di mana?" Mas Gibran tampak sama sekali tidak mengindahkan perasaanku.
"Dompet coklat, lemari." Sahutku ketus. Mas Gibran keluar kamar. Tidak lama kemudian kudengar pintu luar dibuka. Itu pasti Novita yang hendak pulang. Kemudian sepi.
Perlahan aku turun dari kasurku, melangkah ke lemari, mengecek dompet Nadira dan Nadifa. Gustiiii, aku langsung lemas. Uang satu juta diambil semua? Hatiku terasa nyeri. Tidak terima uang anak-anakku diberikan kepada kakaknya tanpa keikhlasanku!
Part 3. Ngajak Ketemuan Di Cafe
Perlahan aku turun dari kasurku, melangkah ke lemari, mengecek dompet Nadira dan Nadifa. Gustiiii, aku langsung lemas. Uang satu juta diambil semua? Hatiku terasa nyeri. Tidak terima uang anak-anakku diberikan kepada kakaknya tanpa keikhlasanku!
***
Aku sangat kecewa begitu mengetahui uang anak-anakku diambil semua oleh Mas Gibran untuk kebutuhan Novita kemarin. Lebih sakit lagi ketika siang ini kubaca status whatsapp anak itu pamer gambar jalan-jalan di kota Malang, bersama Yona dan beberapa anggota keluarga besar mereka. Penasaran aku mengomentari status tersebut.
"Seru ya Nov, kegiatan sekolah tapi bisa diikuti oleh seluruh keluarga?"
"Ini bukan kegiatan sekolah, Bunda. Rekreasi keluarga. Idenya Mama seminggu lalu." Balas Novita. Anak itu memang masih polos, dan tidak mau berdusta. Aku berjalan mendekati Mas Gibran yang sedang menonton televisi sambil minum teh buatanku.
"Mas lihat," kataku seraya meyodorkan layar ponselku ke depan wajahnya, "ternyata rekreasi Novita itu idenya Yona lho. Bukan kegiatan sekolah."
"Ya Mas gak tau. Yona WAnya bilang kalo Novita mau ada kegiatan outbond dari sekolah hari ini."
"Kok Mas gak bilang kalau Yona kirim pesan whatsapp?"
"Ya ini bilang."
"Kalau aku gak nanya mana bilang Mas!" Rasa kesalku benar-benar terasa ke ubun-ubun kali ini.
"Apaan sih, Dik."
"Mantan istrimu itu memang pendusta! Dan Mas masih aja bisa dikibulin ama dia. Dimanfaatin gak jelas. Aku gak ridho uang anak-anakku dipakai buat biayain mereka senang-senang. Balikin!" Tuntutku.
"Apaan sih, Dik. Iya nanti kalau Mas sudah ada uang." Sahut Mas Gibran tetap lembut.
"Tidak. Aku mau sekarang. Aku gak ridho!"
"Ya Mas gak ada uang sekarang." Sahutnya. Aku menghentak tubuhku. Berjalan menuju kamar. Rasa kesal membuatku menangis di sana. Mas Gibran menyusulku.
"Kamu kenapa sih, Dik." Tanyanya sambil hendak meraih bahuku, namun aku mundur dan menghindari sentuhannya. Mas Gibran berusaha merayu, aku bertahan dengan rasa kesal yang bertumpuk. Akhirnya Mas Gibran menyerah, dan keluar kamar lagi.
Mas Gibran suamiku merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ketiga saudaranya sudah sukses dengan pekerjaan masing-masing. Tentu saja mereka juga memiliki bagian di bisnis keluarga, namun mereka tetap bekerja di perusahaan orang lain karena domisili yang berbeda. Sedangkan Mas Gibran tidak pernah punya minat bekerja di perusahaan orang lain. Dia lebih suka membangun bisnis sendiri meskipun berkali-kali gagal. Untungnya, bisnis keluarga yang di kelola kakak perempuannya berjalan dengan baik, dan semakin besar, sehingga kami tidak mengalami kesulitan ekonomi, meskipun hidup secara sederhana. Lalu kenapa kami memiliki anak asuh? Namanya Hamish dan Haura. Tidak ada yang tahu jika mereka adalah anak asuh, kecuali Mas Gibran dan aku. Aku pun tahunya tidak sengaja, ketika Mas Gibran lupa menutup laci rahasia di lemarinya, saat kami berkemas akan berangkat ke Jakarta enam tahun lalu. Semua orang tahunya mereka adalah anak kandung Mas Gibran dan Raihannah. Tidak ada yang tahu jika Raihannah belum pernah melahirkan anak selama di perantauan. Dan Mas Gibran telah berjanji kepada almarhumah istrinya itu, "jangan pernah sebut mereka sebagai anak asuh, kepada siapapun. Karena mereka adalah anak-anak kita."
Mas Gibran memenuhi janji tersebut.
Raihannah adalah seorang aktivis pendidikan, dia sangat aktif menyuarakan pendidikan untuk anak kurang mampu. Bahkan dia bersosialisasi ke pelosok-pelosok. Hingga suatu hari, dia terdaftar sebagai tenaga pendidik untuk sebuah wilayah primitif di salah satu ujung negeri ini. Mas Gibran dengan setia menemani istrinya itu. Selama tiga tahun lebih mereka ada di rantau, tanpa pulang ke rumah di Jawa Timur. Di sanalah mereka bertemu Hamish dan Haura, dua anak malang dari TKI yang dipulangkan karena hamil di luar negeri. Hamish berusia 3 tahun, dan Haura berusia 1,5 tahun saat diadopsi. Sayangnya, tiga tahun setelah itu Raihannah meninggal dunia karena sakit, setelah kembali ke kota Gresik. Dua tahun kemudian, Mas Gibran menikahi Yona.
Hampir seharian aku mengurung diri di kamar. Rasa kesal membuatku tidak ingin bertemu orang-orang. Aku hanya keluar saat waktu sholat tiba, mendengar anak-anak ribut, dan makan. Kemudian masuk kamar lagi.
Jelang maghrib Mas Gibran kembali masuk. Wajahnya datar. Tidak terlihat kesal, tidak juga ada senyuman. Dia mengulurkan tumpukan uang seratus ribuan kepadaku.
"Nih Mas balikin." Katanya. Aku diam. Mas Gibran menaruh uang tersebut di sampingku, lalu keluar lagi. Dapat uang dari mana dia? Aku membatin. Kuambil uang itu, berjingkat menuju lemari. Kukembalikan uang tersebut ke dompet khusus milik Nadhira dan Nadhifa. Lalu, aku melangkah mendekati Mas Gibran.
"Mas," Panggilku.
"Hmm." Gumamnya tanpa menoleh. Masih fokus dengan ponsel di tangannya.
"Bisa kah Mas jangan komunikasi sama Yona lagi?" Pintaku. Mas Gibran mengangkat kepalanya, menatapku.
"Kami cuma ngomongin masalah anak, Dik."
"Novita sudah gede lho Mas. Apa yang dibutuhkannya, dia sudah bisa bicara langsung ke Mas. Kalian sudah bisa kok berdiskusi tanpa perantara Yona."
"Iya tapi kadang Yona ingin bicara langsung."
"Mas kok jadi bela dia terus sih?" Nadaku kembali meninggi.
"Apa sih Dik?"
"Dia itu udah mantan Mas. Ini bahaya kalau Mas terus-menerus menuruti permintaan dia. Atau Mas memang ingin memberi dia kesempatan merusak rumah tangga kita?" Mengatakan itu, dadaku rasanya sesak sekali.
"Kok gitu sih Dik ngomongnya?"
"Lha terus apa? Mas tanya deh sama Ustadz, boleh gak mantan saling ketemuan? Ngobrol berdua?" kesalku.
"Ya kalau begitu, besok kalau dia minta Mas ke sana lagi, kamu ikut saja." Kata Mas Gibran.
"Jadi masih akan terus bertemu? Sampai kapan?"
"Iya, iya, nanti Mas tolak dia, udah jangan dibahas lagi." Sahut Mas Gibran akhirnya, terkesan malas ribut denganku. Aku mendesah, menghentakkan pantat di kursi sampingnya.
Baru beberapa menit aku membuka sosial mediaku, ponsel Mas Gibran sudah melengking dengan musik yang tidak enak didengar oleh telingaku. Kulongok ponsel di tangan suamiku itu. Nama Yona terpampang di sana.
"Mau apa lagi, dia?" Kataku, seraya menyentuh tombol terima dan memberinya suara besar.
"Mas, Novita kecelakaan, bisa ke sini?" Suara Yona langsung terdengar nyaring.
"Hah, kecelakaan gimana?" Tanya Mas Gibran.
"Ya pokoknya kecelakaan."
"Kok bisa sih?"
"Ampuun pake nanya lagi! Ke sini saja napa! Udah gak peduli ya sama anak?" Seru Yona.
"Di mana?"
"Di cafe Moon And Start. Sendirian saja, jangan bawa siapa-siapa!" Kata Yona. Panggilan langsung dia matikan.
"Wow dah mulai ngajak ketemuan di cafe!" Sindirku.
"Kan kamu dengar sendiri, Dik. Novita kecelakaan."
"Mas yakin?" Kejarku. "Kalau benar kecelakaan, kenapa bukannya ketemuan di rumah sakit, tapi malah di cafe? Kan aneh?"
"Sudahlah, Dik. Mas ke sana dulu, kita lihat dulu keadaan Novita." Pintanya.
"Oke, tetapi kalau dia baik-baik saja, jangan salahkan aku ya kalau aku sumpahin kecelakaan beneran."
"Dik kok gitu sih ngomongnya."
"Habisnya udah sering ditipu, Mas masih aja percaya sama omongan Yona."
"Ya kita lihat nanti, apa dia nipu atau tidak." Sahut Mas Gibran lagi, seraya bersiap-siap untuk pergi.
"Nadhira!" Panggilku kepada anak sulung kami.
"Iya Bunda." Nadhira datang.
"Ayah mau jalan-jalan tuh. Sana ikut ayah." Ucapku tanpa meminta pendapat Mas Gibran. Kulihat Mas Gibran hanya bisa pasrah pada ulahku. Dia diam saja meskipun dari sorot matanya ada semburat protes. Aku tidak peduli. Hanya dengan cara ini, Mas Gibran tidak akan membonceng mantannya itu. Kuberi Nadhira jaket dan helm. Lalu dengan lincah anak itu duduk di jok motor depan ayahnya. Motor meluncur meninggalkanku di ambang pintu. Awas aja kamu Yona, kalau sampai kecelakaan itu hanya alasan agar bisa ketemu suami orang!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
