
Di usianya yang terbilang cukup untuk menikah, Wina masih saja belum mendapatkan pasangan yang cocok dengannya.
Di sebuah reuni sekolah dia dipertemukan lagi dengan Tama, mantan ketua osis yang dulu sangat Wina sukai. Namun, pria itu sudah berkeluarga. Yang lebih tidak Wina duga selanjutnya, ternyata Tama adalah klien barunya. Mereka pun mulai akrab. Dan, pada akhirnya perasaan yang tidak seharusnya tumbuh, terjadi di antara mereka.
Di sisi lain ada Giko-sahabat dari SMA sekaligus atasannya-yang tiba-tiba...
6. Nasi Goreng Mas Jawir
"Kamu nggak pa-pa?"
Sebuah suara menyapaku. Aku yang berjongkok dengan kepala menunduk penuh rasa takut pelan mengangkat wajah. Wajah seorang pria dengan alis tebal, serta hidung yang mencuat tampak begitu dekat denganku. Aku pikir dia malaikat yang akan menjemputku, mungkin saja tubuhku sudah terpental jauh dan terguling. Sementara nyawaku masih tetap tertahan di lokasi kejadian.
Namun, wajah malaikat itu terasa tak asing buatku. Sorot matanya yang teduh dan bibirnya yang penuh sama persis dengan seseorang yang sering aku stalking akun Instagramnya. Aku tidak salah lihat atau sedang berhalusinasi kan? Masa wajah di hadapanku yang saat ini tengah mengerjap mirip Tama?
"Ap-apa gue masih hidup?" tanyaku setengah sadar.
"Ya, lo masih hidup."
Aku cukup terkejut mendengar suara itu lagi. Dia menjawab, aku tidak sedang berdelusi. Pandanganku bergeser ke depan mobil yang hampir menabrakku. Ternyata posisinya masih jauh dari tempatku. Aku benar-benar masih hidup. Saat menengok kaki sendiri yang masih menapak di bumi aku makin yakin masih ada di alam dunia. Spontan aku membuang napas lega. Namun.... Pria di hadapanku ini?
Aku kembali menoleh padanya. Memastikannya bukan Tama. Tapi gagal, wajah itu tetap milik Tama. Sama persis dengan foto-foto yang sering pria itu unggah di akun sosial media.
"Lo..."
"Wina! Halo! Lo baik-baik aja?! Wina, ada apa?! Jangan bikin gue cemas!"
Aku sontak melirik ponsel yang aku genggam. Ah, Danar. Aku lupa sedang teleponan dengannya. Kedatangan mobil dari arah tak terduga membuatku syok sehingga melupakannya. Refleks aku kembali mendekatkan ponsel ke telinga.
"Halo, Danar. Gue baik-baik aja," ujarku memberitahunya agar dia tidak khawatir. Lalu tatapku beranjak ke pria tampan yang masih menungguiku.
"Sepertinya kita pernah ketemu, tapi di mana ya?" tanya pria itu menatapku dengan mata menyipit.
Aku beranjak berdiri. "Sori, gue harus pergi," ucapku terburu dan segera kabur, setengah berlari menuju gedung apartemen tanpa peduli dengannya lagi.
"Lo yakin? Tadi kenapa lo teriak?" tanya Danar dengan nada yang terdengar cemas.
"Tadi gue hampir tertabrak. Untungnya selamat."
"Lo serius?! Tapi lo beneran nggak apa-apa kan? Lo pasti belum makan. Giko nggak ngajak lo makan?"
Pintu otomatis lobi terbuka dan aku segera masuk. Aku bersyukur memiliki sahabat yang peduli seperti mereka. Cuma dua tapi bisa diandalkan dalam situasi apa pun. Mungkin karena itu juga aku merasa baik-baik saja meskipun tidak memiliki pacar.
"Gue tadi sama Giko makan es krim kok," sahutku melangkah menuju lift.
"Gue mampir ke apartemen lo."
Setelahnya sambungan kami terputus. Aku mengangkat bahu dan masuk lift. Aku tidak kaget. Danar akan selalu melengkapi hal yang tidak Giko lakukan padaku. Itu sesuatu yang biasa. Sikap dewasa lelaki itu dan sikap konyol Giko satu sama lain saling melengkapi. Mereka berdua seperti sedang bergotong-royong untuk melindungiku.
Aku kembali ingat kejadian barusan yang hampir saja membuatku mati. Namun pemilik kendaraan cukup cekatan, sehingga tidak membiarkan mobilnya berhasil melindasku. Aku sangat mengenali wajah itu dan aku sangat yakin dia Tama. Tapi dengan bodohnya aku lari terbirit-birit ketika dia sepertinya mulai sadar mengenaliku.
Tama ada di Jakarta. Setahu aku, lewat profil instagramnya dia tinggal di Surabaya. Jika dia berada di sini, kemungkinan besar Tama akan datang ke reuni itu. Perasaan senang tiba-tiba membuncah. Lalu kesal sendiri dengan tindakanku yang baru saja kabur dari pria itu.
"Harusnya aku menyapanya. Mengingatkannya bahwa kami pernah satu sekolah bukan malah kabur begini. Dasar Wina bego." Aku memukul kepala dan terpekik sendiri karena ternyata sakit.
Aku menjatuhkan diri ke sofa begitu memasuki unit. Gaun yang tadi aku beli aku simpan di atas meja. Kembali aku menghidupkan layar ponsel dan membuka akun Instagram. Mungkin saja ada reels atau story yang aku lewatkan. Aku juga baru ingat di butik tadi sempat melihat sekelebatan sosok Tama. Dan setelah kejadian tadi aku bisa memastikan penglihatanku memang baik-baik saja. Aku tidak salah orang. Itu mungkin benar-benar dia. Namun, masalahnya kenapa Tama ada di area apartemenku?
Seharusnya aku bertanya. Bukan malah kabur. Tapi, yang tadi aku beneran belum siap untuk menyapanya. Masih terlalu syok lantaran tidak ada persiapan apa pun. Beda dengan reuni nanti. Semoga Tama melupakan kejadian malam ini.
Postingan Tama diunggah dua hari lalu ketika dia sedang memimpin sebuah meeting. Setelahnya tidak ada postingan apa pun. Bahkan line story-nya tidak menyala.
Aku baru keluar dari kamar mandi ketika mendengar suara bel. Bahkan aku masih membungkus rambutku dengan handuk. Menyeret kaki, aku keluar dari kamar dan membuka pintu untuk tamu yang sudah bisa aku pastikan Danar.
Punggung lebar Danar langsung terlihat begitu aku membuka pintu. Lelaki itu kontan berbalik dan menunjukkan kantong yang dia bawa.
"Gue bawa nasi goreng," ujarnya masuk begitu saja, melewatiku tanpa permisi. Dia sudah menganggap unitku seperti rumahnya sendiri. Jadi, dia merasa aman-aman saja. Tapi, jika sudah menikah nanti nggak akan aku biarkan dua laki-laki itu seenaknya keluar masuk unit.
Aku bergerak menuju sofa dan membuka gulungan handuk di atas kepalaku. Sementara Danar berada di pantri untuk mengambil piring dan sendok.
"Lo beneran langsung ke sini? Nggak pulang dulu?" tanyaku. Dari kemeja yang dia kenakan aku bisa tahu langsung ke sini. Pertanyaanku tadi cuma basa-basi saja.
"Kalau pulang terus ke sini lagi, itu wasting time banget. Mending sekalian jalan," sahutnya menaruh piring di atas meja lantas mulai mengeluarkan isi kantong bawaannya.
Bau wangi nasi goreng hangat menusuk hidungku. Aku sangat hapal wangi ini. "Ini nasgor yang ada di depan kantor ya?"
Danar mengangguk. "Langganan lo."
Aku terkekeh. Biasanya kalau kami bertiga lembur, pulangnya kami akan mampir ke warung nasgor Mas Jawir. Ya, itu nama warung yang ada di banner tendanya. Mas Jawir sendiri nama pemilik warung tersebut.
"Mas Jawir nanyain lo. Makanya punya lo dikasih ekstra telur ceplok," ujar Danar seraya membuka bungkus nasi gorengku dan menaruhnya di atas piring.
"Asik!" seruku sembari menggosok-gosok tangan. Aku baru akan mencomot irisan mentimun ketika tangan Danar dengan cekatan menabok tanganku.
Matanya mendelik. "Cuci tangan dulu gih."
"Tangan gue bersih ya. Gue baru mandi," dengusku menunjukkan dua telapak tangan ke depan muka lelaki berambut cepak itu. "rambut gue aja masih basah."
"Iya, iya. Gulung lagi rambut lo kalau gitu. Jangan sampai lo makan nasi goreng campur tetesan air dari rambut lo."
"Rambut gue udah kering kok." dengan sengaja aku mengibaskan rambut. Mengharap Danar akan marah-marah seperti yang kerap Giko lakukan saat aku membuatnya kesal. Namun, ternyata dia tidak mengatakan apa pun selain mendesah dan menggeleng.
"Sudah, ini makan. Habiskan biar nggak oleng lagi." Danar mendorong piring nasi gorengku mendekat. Manusia satu ini sama sekali tidak ekspresif. Dari dulu sampai sekarang aku dan Giko kesulitan memberinya kejutan. Kami selalu gagal lantaran yang kami lakukan tidak membuatnya terkejut sama sekali.
7. Reuni
Aku mematut diri di depan cermin beberapa kali. Kadang berputar, kadang condong ke depan. Memastikan penampilanku hari ini tidak terlihat aneh. Waktu mengepas di butik sih Giko bilang gaun ini cocok buatku. Tapi tetap saja aku merasa nggak percaya diri.
Sekarang aku memusatkan ke riasan wajah. "Aku nggak terlalu menor kan?" gumamku pada pantulan diri di dalam cermin. Aku sengaja memilih make-up dengan warna nude agar terlihat natural. Inginnya sih tanpa make up, sayangnya aku nggak memiliki kecantikan alami yang bisa dibanggakan. Wajahku gampang kering dan itu sangat mengganggu. Aku akan selalu membawa face mist ke mana-mana.
Telunjukku bergerak menyingkirkan poniku yang sedikit menjuntai. Aku belum sempat merapikannya, padahal Giko kerap mengingatkan aku. Dia risih setiap kali melihatku membenarkan poniku yang kerap kali mengganggu aktivitasku. Sampai-sampai dia gemas sendiri dan membelikanku penjepit rambut mini.
Kali ini aku enggak akan membiarkan poniku menjadi masalah di reuni nanti, jadi aku mengambil jepitan lidi untuk merapikannya.
Setelah memastikan semuanya sempurna, aku mengambil heels dan menyambar clutch di atas meja rias. Sekali lagi aku memperhatikan penampilanku di pantulan cermin sebelum keluar dari kamar. Giko baru saja mengirimiku pesan bahwa dia sudah ada di lobi. Bukan hanya Giko, Danar juga. Akhirnya kami sepakat untuk pergi ke tempat reuni bersama.
"Apa sih yang berubah? Perasaan sama aja. Masih Wina yang gue kenal," ujar Giko begitu aku sampai di hadapannya.
Aku berdecak kesal, tahu maksud dari perkataannya. "Cuma bentar, lo pasti lebih lama lagi nunggu cewek-cewek lo yang menor itu."
Giko memutar bola mata. "Semua cewek sama saja. Lama," katanya lantas beranjak melangkah.
Danar hanya tersenyum kecil menanggapi kami. Dia sama sekali tidak berkomentar apa pun tentang penampilanku. Apa aku beneran seperti biasa yang mereka lihat? Padahal aku berharap kedua lelaki itu pangling atau apa kek.
Bibirku mengerucut lantas menyusul Giko diikuti Danar. Mobil Giko sudah ada di depan lobi ketika aku keluar.
"Mobil gue ada di basemen. Kayaknya lebih efektif berangkat bareng satu mobil aja," ucap Danar, dia membukakan pintu mobil buatku.
"Jadi, pulangnya lo mampir ke sini lagi?" tanyaku sebelum masuk.
"Iya." Dia lalu beranjak masuk ke bagian depan menemani Giko.
"Kita telat cuma gara-gara nunggu lo. Pasti acaranya udah dimulai," gerutu Giko sebelum dia menyalakan mesin mobilnya.
"Ya ampun cuma telat lima belas menit. Lo kayak nggak tau jam Indonesia aja," sahutku kesal. Nggak biasanya Giko bawel begini.
"Lagian ngapain sih lo ke reuni pake dandan begitu?"
Lah?
"Ya gue kan cewek masa nggak boleh dandan?"
"Gue yakin sih ada yang lo harepin ketemu kan makanya lo dandannya lama?"
Aku mendengus. "Sok tau."
"Taulah! Emang gue kenal lo sehari dua hari?"
"Biarin aja sih, Gi. Kali aja Wina nanti ketemu jodoh di reunian," timpal Danar. Seperti biasa dia akan selalu menjadi penengah kami.
"Bener kan di sini? Lantai berapa sih?" tanya Giko sesaat setelah memarkirkan mobil. Kami sekarang berada di salah satu parkir hotel berbintang di kawasan Jakarta Selatan.
"Kalau enggak salah lantai lima," sahut Danar, dia membuka satu kancing bagian atas kemejanya.
"Kalau bingung kan tinggal nanya, gitu aja repot," sambarku lalu bergerak mendahului mereka.
Suasana ballroom di lantai lima tampaknya meriah. Sejak dari keluar lift aku melihat hilir mudik panitia reuni. Entah sponsor acara ini siapa, yang jelas acara ini aku rasa bukan acara reuni biasa. Bahkan kami harus memindai barcode yang sudah kami terima di email.
Sudah aku duga, saat kami datang acara sedang berlangsung. Ada dua orang host yang berdiri di atas panggung tengah bercuap-cuap.
"Tempat duduk kita di mana, Dan?" tanya Giko setengah berbisik.
Danar menunduk menekuri ponselnya. "Liat email lo coba. Di sana ada nomor kursinya kalau nggak salah."
"Ribet amat sih, itu masih banyak kursi kosong. Kita tinggal duduk aja."
"Giko!"
Saat itu sebuah suara memanggil nama si playboy. Kami kompak menoleh. Lalu seperkian detik berlalu mataku membelalak melihat siapa yang memanggil si playboy barusan.
"Itu Tama kan?" tanya Danar seraya memperhatikan seseorang yang kini berjalan mendekat ke arah kami. Aku auto melangkah mundur dan sedikit menyembunyikan diri di balik punggung Danar.
"Iya, ketos kita. Tambah ganteng aja."
"Giko! Apa kabar Man?" sapa Tama yang langsung menjabat tangan Giko begitu sampai di depan kami.
"Baik, Bro. Makin kece aja lo. Padahal denger-denger lo udah berkeluarga dan jadi hot daddy," sambut Giko yang disusul kekehan singkat Tama.
"Bisa aja lo. Eh, lo ke sini sama siapa?" tanya Tama. Aku mendadak waswas ketika Tama bertanya.
"Nih, dua sohib gue biasa. Lo masih ingat mereka kan?" Giko beringsut lalu memamerkan Danar. "Lo ingat Danar kan? Dia bukan anggota inti osis sih, tapi jadi anggota sekbid humas."
Tama kuintip tengah mengulurkan tangan kepada Danar. "Gue ingat kok, yang jago bikin banner kan?"
Giko tertawa dan membenarkan. "Lo benar, Tam. Nggak salah kan kalau dia sekarang jadi manager marketing?"
"Wah, serius? Hebat lo, Danar."
"Giko berlebihan," sahut Danar kalem.
"Di belakang lo siapa? Cewek lo? Atau istri lo?" ada nada penasaran yang kental dari suara Tama. Aduh bagaimana ini? Kenapa aku deg-degan? Astaga, aku beneran norak kalau nggak bisa menghadapi Tama sekarang.
"Bukan, Tam. Dia Wina. Lo ingat enggak sama cewek yang selalu sama kita berdua?" terang Giko. "Win, lo ngapa dah? Nggak nyapa Tama?"
Aku nyaris berdecak. Sudah kepalang tanggung juga. Akhirnya aku memamerkan diri dengan segenap deg-degan. Harapanku aku tidak bertingkat konyol di depan Tama.
Aku tersenyum canggung menatap lelaki jangkung itu. "Hai," sapaku singkat. Aku sempat melihat Tama melebarkan mata sebelum aku memutus pandangan.
"Astaga, Wina. Jadi lo yang malam itu hampir gue tabrak? Pantas aja rasanya familier," ujar Tama sedikit berseru.
"Eh nabrak apaan? Kok lo nggak cerita?" tanya Giko yang memang nggak tau kejadian itu.
"Oh, jadi lo yang hampir nabrak Wina? Gue pikir siapa, Wina nggak bilang," ujar Danar yang langsung mendapatkan pelototan dari Giko.
"Lo tau, Nar?"
Danar berdecak. "Kejadiannya pas lo abis jalan sama Wina. Makanya kalau nganter dia turunin di depan lobi langsung. Lo tau sendiri tuh cewek suka meleng."
Tama tertawa mendengar obrolan dua sahabat itu. "Nggak sengaja sih. Tapi untungnya Wina nggak apa-apa. Buktinya dia datang ke sini dengan kondisi yang...." Tama menggantung ucapannya dan menatapku lekat, membuatku sekonyong-konyong merasa jengah. "... Amazing," lanjutnya sedikit memelankan volume suara.
Kalian tahu gimana perasaanku saat ini? Seandainya punya sayap mungkin aku sekarang sudah terbang sembari berputar-putar.
"Dia memang amazing, saking amazingnya masih jomblo hingga sekarang."
Sial! Aku menyikut dengan keras perut Giko. Dia punya mulut musibah banget.
"Kalian ke meja gue aja. Tuh masih kosong banyak."
Tidak! Semoga saja Danar dan Giko menolak tawaran Tama itu. Tapi...
"Boleh." Sahutan Danar memupus harapanku. Aku tidak mungkin tahan satu meja dengan Tama. Bagaimana ini?
"Lo ke sini sama bini lo?" tanya Giko sembari berjalan beriringan dengan Tama. Aku dan Danar mengekor di belakangnya.
"Iya. Tuh dia lagi bertemu teman-temannya."
Ya Tuhan, aku tidak mau melihat Tama bermesraan dengan istrinya. Siapa saja tolong tarik aku dari sini!
________
8. Sintia
"Lo nggak bilang kalau yang hampir nabrak lo Tama?" Danar di sampingku berbisik.
"Gue nggak ngeh itu dia. Kejadiannya malam gue nggak bisa lihat dengan jelas. Mana gue tau kalau itu dia," balasku berbisik juga.
Saat ini kami sedang berada di meja nomor sepuluh. Ya, kami satu meja bersama Tama berkat kedua laki-laki yang datang bersamaku ini.
Tatapku beralih kepada Tama yang saat ini sedang asyik mengobrol dengan Giko. Keduanya dulu sama-sama anggota inti OSIS dan juga satu ekskul. Bahkan keduanya pernah mewakili paskib di tingkat provinsi. Jadi, sangat wajar jika pertemuan keduanya terlihat renyah.
Di meja lain aku melihat Sintia, wanita yang sudah dari jamannya sekolah selalu bersama Tama. Aku iri padanya. Seandainya bisa, aku mau bertukar posisi dengannya.
"Teman-teman sekelas kita mana ya?" tanya Danar entah kepada siapa, kepalanya celingukan.
Ya, selain Danar dan Giko aku tidak menemukan teman sekelasku lainnya. Apa mereka tidak hadir?
"Wina tuh paling jago."
Aku mendengar sayup-sayup suara Giko menyebut namaku di saat aku masih sibuk mencari keberadaan teman sekelas. Mataku baru menemukan seseorang yang aku kenal ketika Danar mencolek lenganku. Aku segera menoleh padanya dan bertanya melalui pandangan mata.
"Tama tanya tuh."
"Hah?" Aku sedikit terkejut dan menoleh kepada Tama yang duduk persis di seberangku. "Tanya apa ya? Sori, gue tadi nggak dengar."
"Astaga, masih di tempat rame begini lo nglamun sih, Win," sambar Giko. Tama di sebelahnya terkekeh.
"Siapa yang nglamun? Gue lagi nyari teman-teman sekelas kita," bantahku sewot.
"Terus nemu?"
"Ada, gue liat tadi... Siapa ya namanya..." Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Wajarkan kalau aku agak lupa? Satu-satunya yang nggak bisa lupa ya Tama. "Rini kalau nggak salah," lanjutku ragu.
"Kok kayak nggak yakin gitu? belum juga punya anak nama teman sendiri udah lupa."
Aku mengembuskan napas. Giko sedang mencoba mencari masalah denganku rupanya. "Kayak lo ingat semua nama teman sekelas kita aja," cibirku melengos. Masa bodo dengan apa yang dia katakan.
"Hai!"
Wanita cantik itu akhirnya menghampiri meja kami. Dan memang sebenarnya meja dia di sini. Bersama dengan suaminya. Iya, dia Sintia, istri Tama yang beruntung.
"Sintia, lo ingat gue?" tanya Giko menatap wanita itu dengan mata penuh binar. Aku jijik melihatnya. Dia selalu terlihat seperti orang kelaparan jika melihat wanita cantik.
"Ingat dong. Lo kan mantan Rita, sahabat gue. Dulu dia selalu curhat soal lo," sahut Sintia, lalu beranjak duduk di sebelah Tama.
"Ah, bikin gue GR aja. Pasti Rita bangga kan punya pacar ganteng kayak gue?"
Aku memutar bola mata. Giko dengan sifat percaya dirinya yang berlebihan.
Sintia tertawa singkat. "Sayangnya bukan itu yang dia ceritakan. Dulu dia bilang sering makan ati pacaran sama lo yang selalu jelalatan kalau liat cewek lewat."
Mampus lo! Semua yang ada di meja ini tertawa puas, kecuali Giko yang langsung mengerucutkan bibir. Sudah menjadi rahasia umum. Selain memang memiliki tampang oke, Giko terkenal playboy. Dia nggak pernah cukup punya satu pacar.
"Lo salah denger kali, Sin," protes Giko. Mukanya terlihat tak terima. Meskipun dia sahabatku, aku tidak akan membelanya. Memang kelakuannya dari dulu seperti itu.
Sintia mengalihkan perhatiannya padaku dan Danar berganti. "Duh, maaf banget kalau lo siapa ya? Dulu sering gue lihat cuma nggak tau namanya, sori banget," tanya Sintia, tepatnya padaku.
Kami memang tidak saling kenal dulu. Dan aku tahu nama dia pun karena dia pacar Tama. Aku nggak mungkin nggak stalking cewek yang berhasil merebut perhatian Tama.
"Gue Wina. Wajar sih, kita memang nggak pernah berinteraksi dulu itu," sahutku tersenyum tipis.
"Satu kelas sama Giko?"
Aku mengangguk, lalu melirik Danar di sebelahku. "Sama Danar juga."
"Nah, kalau Danar gue ingat. Ketua club mading kan?"
Danar tersenyum tipis dan mengangguk. Dia tetap nggak banyak omong seperti biasanya.
"By the way anak-anak kalian di mana?" tanya Giko. Entah kenapa pertanyaan itu membuat perasaanku nggak nyaman. Secara refleks aku menatap Tama, dan sialnya lelaki itu juga menatapku sehingga tanpa sengaja tatapan kami bertemu. Aku segera membuang pandang ke mana pun. Astaga, jantungku rasanya mau lepas saja.
"Mereka bersama pengasuhnya. Kami bisa kewalahan kalau bawa mereka," ujar Sintia tertawa, terdengar renyah.
Setelahnya aku memutuskan pamit untuk berkeliling mencari teman sekelas. Aku nggak mau terjebak satu meja dengan Tama serta istrinya lebih lama lagi.
Beruntung aku menemukan mereka. Segerombolan cewek yang dulu satu kelas denganku.
"Wina!" seru salah satu dari mereka yang aku ingat bernama Lia. Aku tersenyum lebar dan mendekati mereka.
"Eh, ada Danar juga!"
Danar? Aku sontak menengok ke belakang. Lelaki itu mengikutiku rupanya.
"Kalian memang soulmate banget ya dari dulu," ujar wanita yang aku tahu bernama Lutfi saat kami berada di depan mereka.
"Eh ada satu lagi kan ya? Si Giko mana?" tanya Lia sembari menengok belakangku.
"Dia di meja nomer sepuluh bareng mantan ketos," sahutku sedikit meringis.
"Cuma kalian berlima aja nih? Yang lain mana? Cowok-cowoknya nggak ada?" tanya Danar. Dia berdiri di sampingku mirip bodyguard.
Di rombongan cewek kelasku ini selain Lia dan Lutfi, cuma ada Mira, Ani dan Rini. Bahkan Febri teman sebangku dulu nggak ada.
"Tadi sih gue liat Tomi dan Guntur. Tapi sekarang nggak tau pergi ke mana," sahut Rini seraya menjulurkan leher. Mencari keberadaan mereka mungkin.
"Pasangan kalian mana By the way?" tanya Mira. "Atau jangan-jangan kalian malah pasangan," lanjutnya tersenyum penuh arti.
Danar hanya bisa terkekeh menanggapinya dan sepertinya tidak berniat membantah. Namun, aku tidak akan membuat mereka salah paham.
"Kami itu bestie forever. Danar mana mungkin mau sama gue? Selera dia tinggi, Girls," ujarku mematahkan dugaan Mira.
Mulut mereka beroh-oh ria mendengar jawabanku.
"Kalian sendiri kenapa datang sendiri-sendiri. Serius nggak ada yang bawa pasangan? Atau memang nggak ada pasangan?"
Kami terus mengobrol diselingi canda tawa mengingat kekonyolan jaman putih abu-abu. Sementara di panggung depan sana hiburan musik tetap berlangsung. Dari kami para alumni bahkan ada yang maju menunjukkan performa menyanyi dan bermain musik.
Aku beringsut meninggalkan teman-teman ketika perutku merasa lapar dan melipir menuju stand-stand makanan. Stand-stand makanan di sini lumayan lengkap. Acara reuni ini sudah mirip pesta pernikahan. Aku menuju ke stand bakso dan memesan satu kepada penjaganya.
"Nggak berubah ya? Dari dulu kamu suka bakso."
Aku menoleh ketika mendengar suara itu begitu dekat. Dan, jantungku nyaris putus saat menemukan Tama sudah berdiri di dekatku. Aku tidak menyadari kedatangannya.
Aku tersenyum canggung dan menunjuk panci bakso yang mengepul mengeluarkan asap ketika tutupnya terbuka. "Mau bakso juga?"
Entahlah, kemampuan berkomunikasiku mendadak payah seketika. Dan hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari mulutku untuk menyahutinya.
9. Canggung
"Gue minta maaf buat malam itu. Gue hampir ngenalin lo, tapi lo keburu pergi."
Aku ingin kabur, tapi kali ini kakiku tetap menjejak. Aku heran dengan pikiranku. Bukankah ini yang aku ingin? Bertemu Tama di reunian. Harusnya aku senang dan mengajak dia ngobrol. Bukan malah mati kutu dan nggak berkutik begini?
"Nggak apa-apa," aku menggeleng. Nyatanya aku kesulitan menggerakkan lidah yang mendadak kelu di depan Tama.
Aku bersyukur karena penjaga stand bakso segera memberiku mangkok bakso yang kupesan. "Gue ke sana dulu ya."
"Nggak makan bareng aja?" tanya dia, lalu pandangannya memindai ballroom yang lumayan ramai ini. "Tuh, ada tempat kosong kita bisa ke sana dan mengobrol."
Aku mengerjap. Sama sekali tidak menduga Tama akan mengajakku makan bersama. Tatapku lalu mencari sosok Sintia di meja nomor sepuluh. Nggak ada. Bahkan Giko juga raib entah ke mana. Jujur aku senang, tapi .... takut.
"Lo di sini. Gue cariin juga."
Danar muncul dengan sebuah piring di tangannya. Ada kelegaan tersendiri, seenggaknya kedatangan Danar bisa mengusir rasa canggung yang tiba-tiba menguasaiku.
Kulihat Tama menerima mangkok baksonya. Mungkin aku harus segera kabur darinya agar nggak terus-terusan bertingkah bodoh. Bagaimana enggak? Tama yang aku lihat sekarang jauh lebih keren daripada foto-fotonya yang sering aku stalking di IG. Potongan rambutnya lebih rapi, dia hanya mengenakan kaos navy yang dilapisi sebuah blazer dan celana jin, tapi entah kenapa pesonanya benar-benar memikat, dan membuatku ngelag sesaat. Angkle boot yang dia pakai makin membuatnya wow. Tampilan semi-formalnya berhasil menyedot perhatianku. Aku nggak bohong.
"Kita duduk di sana aja, yuk!" ajak Danar yang sama sekali nggak bisa aku tolak. "Tam, lo bareng kita aja."
Tama tersenyum kecil dan menggeleng. "Kalian duluan aja. Gue masih harus cari dessert."
Aku pikir dia mau karena tadi jelas-jelas mengajakku duduk bersama. Pandangan kami bertemu sejenak, tapi aku segera berpaling. Astaga, lama-lama aku bisa kena serangan jantung.
"Oke, duluan ya," ucap Danar. Aku bahkan berbalik mendahuluinya. Aku senang bisa melihat dan bertemu Tama lagi, cuma aku nggak menduga reaksiku bakal secanggung ini. Ini aneh. Padahal Tama bukan siapa-siapaku dulu, tapi vibes-nya seperti bertemu dengan mantan.
"Giko ke mana?" tanyaku begitu kami sampai pada salah satu meja.
"Tadi kan bareng Tama, tapi meja mereka udah keisi orang lain. Mungkin dia lagi tegur sapa sama lainnya."
Aku baru akan menyendok kuah bakso ketika sapaan dua wanita terdengar. Sapaan itu bukan tertuju padaku, melainkan Danar.
"Kami boleh duduk di sini dan ngobrol enggak?" tanya salah satu dari mereka meminta izin.
Aku nggak mungkin menolak kan? Aku juga tahu mereka. Dulu keduanya satu club dengan Danar.
"Lo tambah keren, Danar. Gue kira tadi bukan lo. Ya ampun, lo masih aja ya se-cool dulu."
Yang bicara itu Tasya. Aku ingin bisa seperti dia saat bertemu Tama. Bisa mengutarakan isi hati tanpa salah tingkah.
Dipuji berlebihan Danar cuma bisa tersenyum. "Lo apa kabar?"
"Gue baik banget. Syukurlah lo masih ingat gue."
"Lo inget gue juga enggak?" tanya satunya lagi yang duduk di sebelah Tasya. Aku ingat namanya Vina. Selain anak mading, dia juga anak cheers dulu. Pernah Giko gebet, tapi gagal.
Danar tersenyum. "Ingat, yang suka setor cerita mini kan?"
Vina tampak tersenyum lebar dan mengangguk. "Gue pikir lo lupa. Lo udah punya pacar atau istri belum, Nar?"
Wah, bisa ya mereka selancar itu? Seandainya aku bisa begitu pada Tama. Tanpa sadar aku memanyunkan bibir mengingat reaksiku yang enggak banget di depan Tama tadi.
Mengabaikan obrolan mereka aku mengedarkan pandang, mencari sosok mantan ketua osis itu. Aku bisa dengan mudah menemukannya. Dia ada di antara gerombolan mantan anggota inti OSIS. Ada istrinya juga di sana. Mereka tampak asyik mengobrol diselingi tawa.
Aku memandanginya dan hanya dengan itu bisa membuat senyumku tersungging. Magic banget. Dari dulu seperti ini. Cinta dalam hatiku nggak pernah terungkap sampai aku benar-benar kehilangan dan menyesal. Sialnya, ternyata aku susah sekali buat move on.
Aku terkesiap ketika Tama tiba-tiba menoleh ke arahku. Bahkan lelaki itu melempar senyum. Serta-merta gugup menyerangku. Bukannya membalas senyumnya, aku malah sibuk salah tingkah. Duh!
"Hari ini gue puas banget!" seru Giko saat kami sudah selesai menghadiri reuni itu. Saat ini kami dalam perjalanan pulang ke apartemen.
Acara reuni berakhir meriah. Gara-gara si Giko aku dan Danar terjebak di ballroom hingga akhir acara.
"Dapat mangsa berapa?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku yakin itu yang membuatnya puas.
Giko nyengir lalu terkekeh. "Banyak sih gue dapat nomor mereka. Lo bener Win. Banyak dari mereka yang single, so lo nggak usah cemas lagi mikirin umur yang mau kepala tiga."
Aku berdecak. "Masih dua tahun lagi ya."
"Ya, dan lo masih banyak kesempatan buat nyari yang terbaik. Gimana tadi? ketemu yang sama-sama single dan mapan enggak?"
Mataku secara otomatis melirik Danar yang duduk manis di depan samping Giko. "Ada sih. Tuh yang duduk di samping lo single dan mapan."
"Astaga!" Giko tertawa. "Emang lo tertarik sama kulkas? Ahelah, kalau mau udah dari dulu kali kulkas macarin elo."
"Gue manusia ya, Gi. Bukan kulkas." Untuk pertama kalinya kudengar Danar protes saat dikatain kulkas. Biasanya juga diam aja.
"Eh, tadi ada yang nyamperin Danar dua cewek cantik loh. Bahkan mereka saling minta nomor WA," ujarku mengingat Tasya dan Vina. "Dan lo tau enggak salah satu dari mereka siapa?" tanyaku, sengaja membuat Giko penasaran. Posisiku maju tepat di belakang dan tengah-tengah kedua lelaki itu.
"Siapa emang?"
"Gebetan lo! Si Vina!"
"Vina ketua cheers?"
"Siapa lagi? Lo disamperin dia enggak?"
"Boro-boro."
Dan aku tergelak melihat bibir Giko manyun tujuh senti. Jiwa playboy-nya pasti tersentil.
"Bagi-bagi nomornya, Nar," ujarnya, sembari terus fokus ke jalanan.
"Lo minta sendiri aja. Gue nggak mungkin ngasih ke lo tanpa seizinnya," sahut Danar.
"Pelit banget lo. Ya lo minta izinlah sama dia. Bilang kalau Giko, temen lo yang ganteng ini minta nomornya."
Aku berdecih. Narsisnya bikin aku mual. Playboy bersanding dengan kenarsisan benar-benar menjijikkan. Herannya cewek-cewek itu dulu mau-mau aja dideketin Giko.
Danar tertawa pelan. "Oke nanti gue tanya. Tapi kalau dia nggak kasih izin lo jangan maksa ya."
"Gue pantang maksa ya, kayak di dunia ini cewek cuma dia aja."
Relate banget kan jawabannya sama julukannya?
Aku mendorong pelan bahu Giko. "Bu Rina gimana?"
"Enggak gimana-gimana. Dia tetep partner yang hebat."
Aku menggeleng dan memilih bergerak mundur. Giko sudah benar-benar tidak tertolong.
10. Meeting
"Lo sama Arin meeting ke tempat klien bisa enggak, Win?"
Aku mendongak dan melihat Danar sudah berdiri di depan kubikelku. Sebenarnya aku malas bertemu klien, lalu mempersuasi agar mau bekerja sama dengan kami. Itu kan tugas Danar sebagai manajer.
Lelaki itu menatapku, dengan sorot yang bisa aku artikan 'please, jangan tolak permintaanku', menyebalkan.
"Emang lo mau ke mana?" tanyaku kembali memelototi layar laptop.
"Gue ada seminar di Bogor. Siang ini juga harus berangkat," ujarnya sembari melirik pergelangan tangannya. "Tinggal datang aja sih, nanti juga perusahaan mereka tahu kalau lo memperkenalkan diri. Gue udah buat janji kok."
"Tanya aja sama Arin," aku menunjuk Arin yang sedang berjalan ke arah kami. Dia habis dari mesin fotokopi yang ada di koridor.
"Eh, ada Pak Danar. Kenapa, Pak?" tanya Arin begitu sampai. Wanita rambut sebahu itu lantas masuk ke kubikel.
"Habis makan siang ketemu sama klien ya. Eh bukan klien sih, masih calon," ujar Danar. Aku harap Arin menolak.
"Siap. Apa sih yang enggak buat Bapak?"
Heh?! Sontak aku menoleh padanya. Aku sama cewek berponi itu memang nggak pernah satu hati. Keenggananku nggak sampai padanya.
"Oke, kalian ke Inti Persada. Pake mobil kantor aja."
"Gue belum deal," protesku cepat. Serius, aku lagi mager. Sejak reunian itu nggak ada yang tersisa kecuali rasa iri yang menggunung akibat melihat Tama dah istrinya selalu berdua di acara itu.
"Kalau malas ngomong, biar Arin aja yang ngomong. Lo cukup temani dia. Kasihan kalau cuma Arin sendiri aja." Danar menatapku dan Arin berganti. Mukaku sudah aku asem-asemin, tapi dia tetap memintaku pergi. "Oke, gue harus segera berangkat."
Lelaki jangkung berkulit macho itu lantas kembali ke ruangannya. Dan, sepeninggalnya Danar, aku merasakan gempa tiba-tiba. Dengan kencang Arin mengguncang-guncang lenganku.
"Astaga, Arin. Lo kenapa sih?"
Aku melihat wajahnya yang ingin menjerit namun ditahan. Sesekali mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Ekspresi terharu yang aneh.
"Dia perhatian banget kan ke gue? Oh my God. Dia nggak mau gue sendirian," ujarnya dengan ekspresi lebay.
Aku mendesah dan kembali berputar menatap laptop. "Gue kira apaan."
"Aaa! Ya ampun!" Dia kembali menjerit tertahan. "Liat, dia langsung kirim gue email?"
Aku memutar bola mata. Nggak hanya Arin karena gue juga dapat email dari Danar. Isinya ya tentu saja berkas proposal yang bakal kami presentasikan di depan klien agar mereka mau kerjasama dengan perusahaan kita.
"Pelajari tuh, soalnya lo nanti yang bakal presentasi di depan calon klien," ujarku menunjuk laptop Arin.
"Iya, dong. Mungkin ini awal kedekatan gue sama Pak Danar. Siapa tahu gue bakal sering diajak meeting di luar sama dia. So, gue bakal bawa keberhasilan hari ini." Arin berkata penuh semangat di akhir kalimat.
Inti Persada termasuk jenis perusahaan besar yang akan memakai jasa kami sebagai sarana payroll gaji karyawannya. Dan tugas kami meyakinkan mereka agar mau menandatangani perjanjian kerjasama. Aku biasanya ditugaskan untuk mencari perusahaan kelas kakap seperti ini. SDM di dalamnya memiliki potensi besar sebagai calon nasabah untuk produk-produk kami. Setali tiga uang.
Aku dan Arin dibawa masuk oleh salah seorang karyawan dari mereka menuju lantai sepuluh. Karyawan dengan name tag Adi itu bilang kedatangan kami sudah ditunggu.
Sudah ada dua orang ketika kami memasuki sebuah ruangan meeting. Semuanya laki-laki. Mereka menyambut kedatangan kami dan mempersilakan kami duduk. Setelah basa-basi dan memperkenalkan diri, Aku mulai membuka laptop yang sudah aku hubungkan ke layar proyektor.
"Tunggu, Mbak Arin. Manajer kita sebentar lagi datang," cegah salah seorang dari mereka ketika Arin hendak memulai presentasinya.
"Oke, Pak."
Aku yang duduk di samping Arin membuang waktu singkat itu dengan mengecek notifikasi ponsel. Ada pesan dari Danar yang memberiku semangat, dan dia juga bilang baru sampai ke gedung tempatnya seminar.
Aku mendengar pintu terkuak, tapi aku tidak mengangkat wajah dari layar ponsel. Aku sedang berbalas pesan dengan Giko di WA grup kami yang berisi cuma tiga biji orang namun ramenya ngalahin pasar.
"Maaf, ya saya terlambat. Silakan bisa dimulai presentasinya."
Jariku yang sedang mengetik sebuah pesan balasan terhenti. Serta-merta aku mengangkat wajah, dan menoleh ke sumber suara. Di meja paling ujung, aku melihat dia. Yudhistira Pratama tengah duduk manis memperhatikan layar proyektor. Aku bengong untuk beberapa saat, tapi Arin di sampingku segera menyadarkanku.
"Win, mulai," bisiknya gemas.
Aku dengan bodoh mengangguk. Lalu kembali ke layar laptop dengan perasaan tidak tentu arah. Berbagai pertanyaan bersarang di kepalaku. Khususnya tentang keberadaan Tama di sini. Apakah Danar tahu ini? Lalu dengan sengaja mengirimku ke sini? Aku menggeleng. Rasanya tidak mungkin. Tapi sepulang dari sini akan aku pastikan.
Sepanjang Arin presentasi di depan aku hanya bisa diam. Sesekali melihat layar laptop dan mencuri pandang ke arah Tama yang tampak serius. Dia sama sekali tidak heran atau takjub karena bertemu denganku di sini. Tidak ada tanda-tanda itu, dia biasa saja dan fokus memperhatikan penjelasan Arin. Diam-diam aku merasa kecewa. Sampai akhirnya ....
"Ada yang ingin ditanyakan Bapak-Bapak sekalian?" tanya Arin mengakhiri penjelasannya.
Tama di ujung meja menggeleng. "Penjelasan Mbak Arin cukup jelas. Bagaimana dengan yang lain?" tanya dia menatap dua rekannya.
Mereka mengangguk. "Saya cukup jelas sih, Pak. Sangat terperinci penjelasan Mbak Arin. Mungkin kita bisa langsung membicarakan kontrak kerjasamanya," sahut salah satu dari mereka yang duduk tepat di depanku.
Di depan layar, Arin tampak melebarkan senyum. "Oke, Pak. Kami akan segera follow up ke atasan untuk mengurus kontrak kerjasama."
"Tidak sekarang saja Mbak Arin?"
"Biasanya kalau urusan kontrak kerjasama manajer kami langsung yang menangani, Pak."
Pria berkacamata di depanku mengangguk. "Oke, Mbak. Nanti kita atur pertemuan lagi. Jadi, kita tutup rapat ini saja."
Arin langsung setuju. Dia terlihat sangat bahagia dan terus tersenyum lebar ketika orang-orang Inti Persada menyalaminya. Hanya Tama yang masih bertahan di posisinya ketika kedua rekannya keluar.
"Win, gue duluan ke toilet ya. Nanti gue tunggu lo di bawah," bisik Arin, dan tanpa menunggu jawabanku dia sudah kabur duluan. Sehingga aku yang masih membereskan perlengkapan presentasi terjebak satu ruangan dengan Tama.
Aku tidak tahu kenapa dia tidak langsung keluar saat rapat sudah selesai. Apa dia punya waktu selonggar itu? Aku pura-pura tak peduli dengan terus merapikan beberapa alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas.
"Ini kebetulan apa gimana sih? Kita dipertemukan lagi."
Aku yang sedang memasukkan laptop ke dalam tas mengangkat wajah lalu tersenyum kecil tanpa berniat menjawab. Dan ketika aku beranjak berdiri serta hendak keluar dari ruang antara rongga dan meja, dia pun melakukan hal yang sama. Seperti sengaja menungguku dia tidak langsung keluar ruangan. Lalu saat langkahku dekat dengannya, dia mengatakan sesuatu yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak.
"Senang bertemu kamu lagi, Wina."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
