REUNI ( Bab 1-5 )

5
2
Deskripsi

Di usianya yang terbilang cukup untuk menikah, Wina masih saja belum mendapatkan pasangan yang cocok dengannya.

Di sebuah reuni sekolah dia dipertemukan lagi dengan Tama, mantan ketua osis yang dulu sangat Wina sukai. Namun, pria itu sudah berkeluarga. Yang lebih tidak Wina duga selanjutnya, ternyata Tama adalah klien barunya. Mereka pun mulai akrab. Dan, pada akhirnya perasaan yang tidak seharusnya tumbuh, terjadi di antara mereka.

Di sisi lain ada Giko-sahabat dari SMA sekaligus atasannya-yang tiba-tiba...

1. Selamat Ulang Tahun

Selamat membaca, dan jangan lupa kasih dukungan. Untuk kekurangan dalam novel ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya.

Salam Sayang 
Yuli F. Riyadi


πŸ’–πŸ’–πŸ’–


Aku tidak tahu apakah aku harus bersyukur atau malah nelangsa karena lagi-lagi ulang tahunku hanya ditemani  dua sohibku yang ganteng-ganteng ini. Padahal aku sangat berharap tahun ini ada seseorang yang mengajakku makan malam romantis dengan musik klasik sebagai pengiring kegiatan makanku. Namun, lagi-lagi aku harus puas makan malam di kafe dengan mereka. Si playboy dan si Kulkas yang sudah dari sejak sekolah menengah atas selalu saja mengikuti ke mana-mana.

Aku meringis. Itu terlalu berlebihan. Mereka tidak mengikutiku. Hanya kebetulan saja lanjut kuliah di tempat yang sama setelahnya. Nyatanya ketika kami lulus kuliah, hanya si Kulkas alias Danar yang bertahan satu kerjaan denganku. Sama-sama satu divisi pula. Dan, si Giko playboy yang sok tampan itu begitu lulus kuliah langsung cabut ke Washington untuk lanjut S2.

Namun, seolah Tuhan memang menakdirkan kami untuk selalu bersama, Giko pun akhirnya bergabung di perusahaan tempatku dan Danar bekerja. Di antara puluhan  perusahaan ayahnya, Giko malah nyangkut di perusahan ini. Yap! Perusahaan tempat kami bekerja itu milik ayah Giko. Jadi, kamu tahu kan kenapa dia sangat berdedikasi menjadi penyelamat wanita jomlo ini? Menyebalkan.

Dia selalu bangga dengan ke-playboy-annya karena dia menganggap sudah mengentaskan kaum jomlowati di muka bumi ini. Astaga, aku juga jomlo tapi sori-sori to say kalau harus menyerahkan diri padanya.

"Tiup lilinnya dong, Beb. Kan umur lo nambah lagi," ujar Giko dengan senyum mengejek. Dia tampak puas melihat lilin angka 28 yang menancap kokoh di atas keik yang dia bawa.

Aku mendorong keik itu ke tengah meja. "Gue bukan anak kecil lagi yang harus tiup lilin untuk merayakan kesialan gue karena jatah umur gue berkurang satu tahun di muka bumi."

"Astaga, Win. Lo tuh harusnya bersyukur lo masih hidup di usia lo yang sekarang ini. Bukannya malah menganggap sial."

Ya Tuhan, ampuni aku. "Ya habisnya lo sengaja banget naruh angka di keik itu. Maksudnya apa coba? Lo mau bilang ke semua orang kalau umur gue nyaris menginjak angka kritis sebagai seorang perempuan?"

Giko menggeleng-geleng. "Wanita dengan prasangkanya." Dia menoleh kepada Danar di sebelahnya. "Lo tau nggak kenapa gue nggak pernah bertahan lama pacaran sama cewek?"

Danar hanya mengedikkan bahu. Dia selalu tidak mau ikut ambil bagian kalau aku dan Giko terlibat perdebatan.

"Mungkin karena lo bertahan lamanya kalau pacaran sama cowok," ujarku asal.

"Sembarangan! Cewek itu ribet dan prasangkanya ngalahin langit tujuh lapis. Nyebelin banget, padahal gue cuma geser ke toilet bentar udah dituduh macam-macam." Giko menyandarkan punggung ke sofa.

"Ya, kalau cowoknya macam lo emang patut curiga sih, Ko. Apa lo lupa cewek terakhir lo itu ketemu di mana?" Aku mengingatkan. Di mana pun Giko berada lelaki itu selalu tebar pesona. Di toilet sekali pun.

"Ya itu kan namanya takdir. Emang gue pernah nyangka bakal ketemu calon pacar gue pertama kali di mana?" Giko mengembangkan tangan. Memang susah ngomong sama playboy kawak macam dia.

"Ngeles aja lo." Aku melirik sebal tidak berharap obrolan ini dilanjutkan.

"Jadi tiup lilin enggak nih?" tanya Danar kalem. Dia tampak jengah mendengar aku dan Giko adu mulut. Pemandangan yang selalu dia lihat saat kami berkumpul.

"Jadi dong. Kan lilinnya udah gue siapin spesial." Giko menyahut jail.

Sumpah, ya, aku ingin sekali menyingkirkan angka 28 itu yang seolah-olah sedang mengejekku.

"Gue nggak mau tiup lilin. Cukup potong kue aja. Jangan rusak acara gue dengan angka-angka itu." Aku bersidekap tangan mengeluarkan jurus andalan. Ngambek.

"Ahelah, gitu aja sensi. Nggak bisa dibecandain lo, kayak cewek," cibir Giko.

Aku mendelik sebal. Danar-lah yang akhirnya menyingkirkan lilin angka itu dari atas keik.

"Sudah, potong kuenya," katanya memberiku pisau kue.

Aku menurut dan memotong kue itu. Karena di depanku cuma ada mereka, otomatis potongan pertama aku kasih ke salah satu dari mereka. Dan pilihanku jatuh ke Danar karena dia tidak rese seperti Giko.

"Lo ya, padahal yang beli keik ini gue. Kenapa lo kasih potongan pertama ke Danar? Giko protes tak terima.

"Kalau lo nggak ngeselin, gue kasih ke elo."

Giko mendengus. Namun, tidak lama kemudian sifat usilnya kumat lagi. Dia mencolek krim pada keik itu dan menempelkannya ke hidungku. Tawanya lantas pecah. Tidak mau kalah aku juga melakukan hal yang sama padanya.

"Astaga, kalian stop dong bercandanya. Kayaknya cuma meja kita aja deh uang rame, yang lain mah enggak," untuk pertama kalinya sejak kedatangan kami ke kafe ini Danar mengomel. Aku dan Giko kontan menoleh ke sekitar kami. Memang ada yang sempat curi pandang ke arah kami sih, tetapi Giko malah mengedikkan bahu.

"Biarin aja, sih. Selamat ulang tahun, Win!" Giko tersenyum lebar seraya mengulurkan tangannya. Dia lantas menarikku ke dalam pelukannya. Oh, bukan. Bukan pelukan selayaknya orang normal, melainkan yang dia peluk itu leherku. Aku rasa dia memang berniat membunuhku di hari ulang tahunku. Kampret memang. Aku menepuk-nepuk keras lengannya agar lepas.

"Geblek lo! Seneng lo ya kalau gue mati?!" omelku begitu Giko melepas pelukannya.

Lelaki sableng itu malah tertawa keras. "Sori, Win. Abis lo gemesin banget kan jadi pengin bunuh."

Dasar sinting! "Arwah gue bakal ngintilin lo seumur hidup kalau itu terjadi," semburku jengkel.

Danar mengulurkan tangan tidak menghiraukan Giko yang masih terus tertawa ngakak. 
"Selamat ulang tahun, Win semoga impian lo tercapai," ucap cowok berkulit macho itu. Isi doanya masih sama seperti tahun lalu. Ya, aku paham kalau Danar itu tidak kreatif. Jadi, aku maklum. Aminkan saja.

"Terima kasih, ya, Nar."

Danar itu manusia normal, jadi tentu saja memelukku juga dengan gaya manusia normal pada umumnya.

"Aku nggak bisa kasih apa-apa. Cuma ini aja. Moga kamu suka." Danar menyerahkan sebuah kotak kecil yang terbungkus kertas kado bergambar hati.

"Kok pakai acara kasih kado segala sih? kan biasanya juga enggak." Nyaris tak pernah, selain makan malam dan potong kue.

"Makasih dong, Win. Udah dikasih kado. Itung-itung hiburan lo, karena doa tahun kemaren belum terkabul sama Tuhan." Giko lagi-lagi tersenyum meledek.

Mulut Giko memang isinya racun. Entah ada koslet apa di dalam kepalaku sampai-sampai masih bertahan jadi temannya.

Aku tak menghiraukan ocehannya, dan kembali fokus kepada Danar. "Thanks  ya, Nar."

Giko meletakkan sesuatu ke atas meja. Sebuah kotak juga. Ukurannya lebih besar sedikit dibanding kotak dari Danar. "Gue juga punya kado buat lo."

"Kalian pasti udah merencanakan ini."

"Ya iyalah, Win. Kan tadi gue bilang kami mau hibur lo, karenaβ€”"

Aku mengangkat tangan. "Stop! Jangan dilanjutkan." Karena aku tahu ujungnya pasti tidak enak didengar.

Giko nyengir. "Buka gih kado dari kami."

Aku tersenyum. Sebenarnya tanpa kado pun aku sudah senang karena mereka ingat ulang tahunku. Bohong kalau aku tidak suka perayaan seperti ini. Aku malah cukup terharu. Karena siapa sih yang tidak terharu mendapatkan perhatian dari mereka? Sahabat-sahabat terbaik yang walaupun terkadang menyebalkan, tapi sering aku butuhkan juga.


2. Undangan Reuni

Reuni? Aku berpikir sejenak. Apa ada yang bisa aku banggakan di reuni tersebut? Karier? Aku masih bekerja sebagai staf marketing di perusahaan orang. Suami? Jangankan suami, pacar saja tidak punya. Anak? Dari mana dapat anak, kalau belum punya suami? Kepalaku menggeleng. Bibirku mengerut. Nyaris tidak ada yang bisa aku banggakan. Aku mendesah pasrah.

Tadi pagi aku mendapat undangan reuni lewat email. Aku yakin bukan hanya aku saja yang dapat email itu. Danar dan Giko pasti dapat juga. Mereka pasti akan menggeretku ke sana. Kalau mereka sih enak ada yang bisa mereka banggakan. Giko menampu jabatan manajer personalia di perusahaan ini. Dia juga pasti tidak akan membawa tangan kosong ke reuni itu. Sementara Danar? Meskipun jomlo, setidaknya saat ditanya bekerja di mana, dia bisa menjawab dengan bangga. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar.

Sebenarnya ada satu alasan kuat yang bisa membawaku ke sana. Namun ... tanganku bergerak menekan kursor laptop dan masuk ke akun instagram. Miris, seorang wanita berusia akhir dua puluhan sepertiku masih saja stalking akun seseorang yang belum tentu mengingatku. Dan yang lebih miris daripada ini, orang tersebut sudah memiliki keluarga bahagia. Kenapa aku bisa bilang begitu? Ya, karena di usia muda dia sudah memiliki dua anak, rumah dan kendaraan yang nyaman, serta pekerjaan yang mapan. Jujur, setiap dia posting tentang keluarganya aku iri membayangkan kehangatan mereka.

"Bukannya itu Tama, Win?"

Astaga! Aku buru-buru meng-close akun instagram mendengar suara itu. Aku memutar kursi dan melihat Danar sudah berada di dekatku.

"Tadi itu Tama, 'kan?" tanya Danar lagi.

Aku meringis lantas mengangguk. "Eh, lo dapat undangan reuni nggak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Semoga Danar tidak bertanya soal Tama lagi.

"Iya, dapat. Giko barusan nelpon gue. Tanya mau datang atau enggak." Danar meletakkan sebuah map ke mejaku. "Tolong cek, ya."

"Terus lo mau datang?"

Danar mengedikkan bahu. "Gue ngikut kalian aja."

"Kali aja kan di sana lo bisa dapat jodoh. Eh btw, dia itu satu sekolah dengan kita 'kan?" Maksudku adalah cewek yang tidak bisa bikin Danar move on sampai sekarang hingga dia betah menjomblo.

"Iya. Tapi udah masa lalu juga." Danar mengibaskan tangan.

"Kali saja dia masih jomlo, Dan."

"Dengar-dengar sih begitu. Tapi nggak penting juga."

"Masa sih?" Aku menatapnya jail.

Lelaki berperawakan tinggi itu terkekeh. "Udah, kerja. Nanti soal reuni dibahas pas makan siang aja." Danar kembali beranjak ke ruangannya.

"Psst! Psst!"

Aku tahu itu suara desisan dari kubikel di sebelahku. Tempat si Arin.

"Apa sih, Rin?" tanyaku mulai membuka dokumen yang tadi Danar bawa.

"Jodohin gue sama dia napa sih, Win." Arin masih dengan permintaan yang sama seperti kemarin.

"Susah kalau dia mah. Hatinya udah beku kayak es di kutub Selatan."

"Es di kutub Selatan juga ada yang udah mencair, Win," sambut Arin. Dia masih belum percaya si Kulkas susah diketuk pintunya.

"Kalau Giko aja gimana? Dia pasti lebih gampang." Giko pasti mau kalau ngedate sama Arin, dan minta sama dia untuk kencan sama cewek itu semudah membuka telapak tangan.

"Pak Giko? Nggak ah." Arin bergidik.

"Lah kenapa? Dia ganteng, tajir lagi. Anak bos, Rin."

"Ganteng sih ganteng. Tapi ya ampun! Dengar-dengar cewek satu divisi pernah dia kencani. Gila nggak tuh?"

Aku menoleh melihat Arin. "Masa sih? Gue kok nggak tahu soal itu, ya."

"Sudah jadi rahasia umum ke-playboy-an anak bos besar itu. Tajir, ganteng, tapi kalau sana sini mau ya sori sori to say aja. Gue masih mau panjang umur. Jatuh cinta sama laki-laki kayak Pak Giko pasti bikin gue mati muda."

Tawaku pecah. Ya Tuhan, ternyata ada juga cewek yang anti sama si Giko.

"Jangan ketawa aja. Gue beneran minta tolong sama lo buat comblangin gue sama Pak Danar. Sosoknya suamiable banget." Arin menangkupkan kedua tangan seraya terpejam.

Aku memutar bola mata. Suamiable dari mananya? Memang kalau sudah kepincut tai kucing juga bakal dianggap jimat.

***

Aku melihat Giko melenggang memasuki kantor divisi marketing. Jam makan siang padahal kurang lima belas menit lagi. Kenapa manusia itu sudah menyambangi kantorku? Mentang-mentang anak si bos jadi begitu kelakuannya. Dia langsung menyambangi kubikelku seperti biasa.

"Jam makan siang masih lima belas menit lagi btw," ujarku seraya mengepak kertas dan menjepitnya dengan clip paper.

"Tau gue, Win. Nggak ada kerjaan di kantor jadi sekalian aja ke sini." Mata Giko mulai jelalatan. Dia melirik Arin di kubikel sebelah.

"Rajin amat sih, Arin," sapanya kemudian. Matanya berkilat-kilat mirip kucing garong liat ikan asin.

"Iya, Pak." Arin terdengar menjawab dan tersenyum singkat sebelum fokus kembali ke layar laptopnya.

"Makan siang bareng mau enggak?" tanya Giko mulai masang jerat.

"Enggak deh, Pak. Makasih. Saya udah ada janji makan siang," tolak Arin sadis.

"Win, ada bethadine enggak?" tanya Giko tiba-tiba padaku.

Aku mengernyit heran. Habis ngajak makan siang orang kok malah minta betadine. "Buat apaan sih?"

"Buat ngobatin luka hati gue akibat penolak Arin." Giko memegangi dada sebelah kirinya seraya berakting kesakitan.

"Lebay lo!" semburku. Lalu beranjak menuju ruangan Danar. Giko tampak duduk di kursiku sambil terus ganggu Arin saat aku hendak membuka handle pintu ruangan Danar.

"Giko udah ada di sini tuh, Dan," kataku begitu masuk, lalu meletakkan proposal yang aku bawa ke meja Danar.

"Mana? Kok nggak ke sini?" Danar membuka halaman pertama proposal itu.

"Tuh di luar lagi godain Arin. Kelakuan kalau belum dapet, pantang menyerah. Heran gue tobatnya kapan itu anak." Aku bergerak duduk di kursi depan meja Danar.

Danar terkekeh. "Itu kan hobi dia. Kalau udah hobi susah diilanginnya."

Aku bergidik. "Jangan sampai gue punya laki kayak dia." 
.
Danar menjeda kegiatannya membaca proposal dan melirikku. "Jangan ngomong gitu. Nanti kalau kamu jatuh cinta sama dia repot."

Aku mendelik tak terima. "Gue jatuh cinta sama dia? Gue pasti salah minum obat."

Danar tertawa dan menggeleng. "Siapa tahu kan? Kan kita nggak tahu besok lo bakal jatuh cinta sama siapa?"

Aku tertegun. Danar benar. Jatuh cinta itu misteri. Tidak bisa direncanakan sebelumnya. Kadang hal yang tidak dinyana-nyana malah bisa bikin kita jatuh cinta. Namun, kalau itu Giko? Astaga! Pertama, aku udah kenal lama Giko, jadi sudah tahu boroknya. Kedua, track recordnya sudah buruk di mataku perihal asmara. Gila, aku tidak mau menyodorkan diri kepada lelaki yang rajin ganti pacar seperti ganti celana dalam setiap hari. Seperti kata Arin bisa-bisa nanti mati muda sambil berdiri.

3. Soal Reuni

Giko tidak berhasil mengajak Arin makan siang bersama. Aku yakin wanita itu jengah mendengar rayuan gombal yang dikeluarkan lelaki playboy itu.

"Hanya soal waktu. Biasa, cewek mah gitu. Suka tarik ulur, jinak-jinak merpati. Ntar kalau gue jauhin baru deh nyesel. Ngarep dideketin lagi." Giko mengibaskan tangan. "Gue udah sering nemuin cewek yang begitu."

Aku melirik Danar yang hanya bisa menggeleng mendengar komentar Giko soal Arin.

"Ya, siapa sih cewek yang mau dideketin kalau ujung-ujungnya cuma buat main-main doang? gue juga ogah." Aku meraih gelasku yang masih penuh.

"Dari mana mereka tahu kalau kami laki-laki deketin cuma buat main-main doang? Kalian aja yang sudah berburuk sangka duluan."

Aku berdecak. "Cewek juga tahu kali mana cowok yang beneran serius dan cowok yang hanya main-main doang kayak lo. Cukup lihat aja track record lo yang buruk, mereka tahu kalau lo itu nggak pernah serius untuk urusan asmara."

Aku bersumpah akan menyiram air minum ini ke mukanya kalau dia berani membantah.

"Terserah lo, deh, Win. Kalian mahluk dunia yang terlalu banyak pertimbangan. Bahkan untuk satu buah baju yang mau dibeli saja harus keliling mal berjam-jam dulu. Eh, ujung-ujungnya balik ke pilihan pertama juga." Giko menyadarkan punggung ke kursi.

"Kalau nggak gitu, kami perempuan nggak akan pernah tahu mana yang terbaik untuk kami pilih. Memiliki sikap selektif itu wajib buat kami, agar nggak sampai kejadian salah pilih." Aku menyeruput minumanku. Setelahnya menatap Danar. "Yang gue bilang bener, 'kan, Dan?"

Danar yang seperti biasa hanya mendengar perdebatan kami nampak tercenung. "Benar, sih, meskipun nggak sepenuhnya."

"Kok gitu?"

"Nyatanya kasus cerai malah menjamur. Dalam proses memilih itu kan kita cuma bisa melihat tampak luarnya saja. Seselektif apa pun kita, nanti bakal nemu cacat yang akhirnya bisa menjadi cikal bakal munculnya konflik," ungkap Danar seolah dia pakar dalam hal ini. Pacaran saja belum pernah.

"Gaes, udah, ya, kita tutup kasus ini. Sekarang kita bahas reuni. Kalian mau pada datang nggak?" tanya Giko mengalihkan pembicaraan.

"Gue ngikut kalian aja," jawab Danar.

"Gue ...." Mendadak aku ragu membuat keputusan. "Gue nggak punya sesuatu yang bisa gue banggain. Gue nggak usah ikut aja, deh."

Dua pasang mata dengan sinar yang berbeda menatapku seketika. Hmm, reaksi mereka terlalu berlebihan. Memang ucapanku ada yang salah?

"Sejak kapan lo jadi insecure gini?" tanya Giko melongo.

"Sejak gue dapat email dari panitia reuni," Aku mengerang sebal.

"Astaga, jangan terlalu diambil pusing, Win."

Aku mendesah. Menolak pura-pura tidak tahu kalau reuni itu ajang kuat-kuatan mental.

"Jadi, apa yang harus gue jawab kalau salah seorang dari mereka bertanya soal pencapaian gue selama ini?" tanyaku tak semangat.

Giko menyeringai. Tidak, aku tidak akan membiarkan dia mengeluarkan koleksi kata-katanya yang absurd.

"Sudahlah, lupakan. Urusan datang enggaknya, kita lihat ntar aja." Aku buru-buru mengakhiri kegiatanku, dan tidak membiarkan Giko berkomentar lagi. "Gue duluan, ya, Arin udah nunggu gue."

"Loh, Win. Kok jadi buru-buru gini?" protes Giko.

"Gue lupa mau bantuin Arin sesuatu." Aku melihat ke Danar. "Tolong. Bayarin makan gue dulu, ya, Dan. Gue cabut."

Aku sudah tidak peduli lagi mereka berdiskusi apa. Mungkin saol wanita yang akan mereka bawa nanti saat reunian.

Aku mendesah duduk di kursi. Menyalakan kembali laptop dan membuka akun instagram. Lagi-lagi kegiatan stalking. Giko pasti akan mengolokku habis-habiskan kalau tahu kegiatanku yang satu ini. Ternyata aku lebih mengenaskan dari Danar. Lelaki itu masih punya kesempatan untuk bisa meraih cinta masa lalunya. Lah aku? Laki-laki yang sangat aku sukai bahkan nggak pernah sadar kalau aku menyukainya dulu itu.

Yudhistira Pratama atau biasa disebut Tama. Laki-laki yang berhasil mencuri perhatianku sejak aku mengenal manisnya rasa merah jambu. Namun, rasa itu hanya bisa kupendam dalam hati. Bahkan sampai saat ini. Aku membawanya ke mana pun aku pergi. Miris.

Mungkin karena ini juga aku selalu gagal menjalin sebuah hubungan. Ya, aku pernah berpacaran dua kali sebelumnya. Pertama saat semester pertengahan kuliah. Aku pernah berpacaran dengan anak dari fakultas hukum. Namun, tidak bertahan lama. Hanya sekitar empat bulan aku sudah tidak menemukan ketidakcocokan. Kedua sekaligus yang terakhir adalah tiga tahun lalu. Hubunganku kandas karena dia ketahuan selingkuh di belakangku. Bukan aku sih yang melihatnya berselingkuh, tetapi si Giko. Dan, dia pun berakhir bonyok di tangan Giko.

Jadi, selama tiga tahun ini aku betah menjomlo. Sebenarnya nggak betah, hanya saja aku masih saja belum menemukan orang yang tepat. Apa lagi tujuanku sekarang bukan sekadar mencari pacar. Aku ingin ketika menjalin sebuah hubungan, maka itu adalah hubungan yang serius. Umurku sudah bukan waktunya lagi bermain-main. Masa keemasannya sebentar lagi hilang.

Tubuhku menegak ketika melihat unggahan baru dari akun instagram Tama. Dia mengunggah kegiatannya yang sedang memimpin sebuah rapat di kantornya. Foto yang diambil secara candid. Tama terlihat gagah dengan kemeja slimfit berwarna biru muda sebuah dasi berwarna navy bergaris diagonal menggantung di kerah kemejanya.

Ya Tuhan, kenapa mahluk setampan Tama bukan jodohku sih? padahal jujur dulu itu, Tama pernah ada dalam doaku. Tapi, garis hidup berkata lain. Aku mendadak berhenti mendoakan Tama ketika tahu dia jadian dengan Sintia, teman sekelas lelaki itu. Gadis itu pula yang menjadi istri Tama sekarang. Gimana aku nggak iri coba? Itu membuktikan bahwa Tama itu adalah seorang lelaki setia.

"Woy! Bengong aja!"

Suara Arin mengagetkanku. Aku belum sempat menggulir layar laptop ketika dia datang. Jadi foto Tama yang sedang memimpin rapat bisa dilihat oleh wanita itu.

"Wah! Siapa itu? Ganteng banget. Gebetan lo ya, Win?" tanya Arin duduk di kursinya yang berada tepat di sebelahku.

"Bukan lah. Itu cuma akun yang kebetulan lewat di beranda gue." perasaanku kepada Tama tidak ada yang tahu, bahkan Danar dan Giko sekali pun.

"Masa sih?" Arin melempar tatapan menggoda.

"Ya iyalah. Eh, kenapa tadi lo nggak makan bareng kita sih?" tanyaku mengalihkan topik. Aku nggak mau Arin mengorek-ngorek keadaan hatiku yang mendadak pilu kalau mengingat Tama.

"Nggak, ah. Pak Giko reseh." Arin bergidik.

Aku terkekeh. "Yakin nih nggak mau nyobain sama dia? kali aja cocok."

Arin mendengus. "Nggak selera. Meskipun tampangnya lebih charming dari Pak Danar. Gue bakal terima dengan tangan terbuka seandainya yang lo tawarin itu Pak Danar." Dia merentangkan tangan lebar dan tersenyum.

Danar. Dia memang tampan. Aku menjadi saksi perubahannya tahun demi tahun. Saat masih kuliah juga lumayan banyak cewek yang deketin dia. Cuma dia bukan seorang playing. Jadi, ya cewek-cewek itu hanya dianggap angin lalu saja.


4. Di Butik


Aku melotot ketika melihat flyer pengumuman reuni sekolah dimuat di akun IG alumni sekolah. Ternyata ada dress code untuk menghadiri acara tersebut. Tidak susah. Bagi alumni perempuan menggunakan  warna putih, sementara alumni laki-laki warna navy. Dan jenis pakaian tidak ditentukan, yang jelas warnanya sesuaikan.

Aku belum memutuskan akan datang, tapi sudah mengingat apakah aku punya dress warna putih atau enggak. Siapa tahu Danar atau Giko menarikku paksa ke acara itu.

"Nggak pulang lo, Win?" tanya Arin yang sudah siap menenteng tas.

"Iya bentar lagi," sahutku masih meng-stalking komen yang ada di postingan terbaru acara reuni itu. Mataku berbinar ketika akun Tama ikut berkomentar. Lalu aku tertarik untuk komen di bawahnya dengan pertanyaan yang sama. Sejenak aku terkikik.

"Gila lo ya, Win?"

Eh? Aku mendongak. Ternyata Arin masih ada. "Gue pikir lo udah balik, Rin."

"Ini gue mau balik. Udah ah gue cabut. Lo ati-ati jangan ketawa sendirian. Udah sepi ini," ujarnya sembari berlalu.

Aku sontak celingukan. Benar. Hanya aku yang ada di workstation serta OB yang masih tampak mondar-mandir. Aku mengakhiri kegiatanku menekuri IG dan segera membereskan apa-apa yang ada di atas meja.

Aku sudah akan meninggalkan kubikel ketika pintu ruangan Danar terbuka. Manajer Marketing itu penampilannya terlihat sudah tidak serapi pagi tadi. Lengan kemejanya digulung hingga siku, bahkan dasi yang menggantung di kerah lehernya sudah tidak terlihat. Danar melangkah setelah menutup pintu.

"Lo belum pulang, Win?" tanya Danar berjalan mendekat.

"Ini mau balik. Lembur?"

Danar mengangguk. "Pak Reno ngasih banyak kerjaan. Lo pulang bareng Giko?"

"Enggak. Gue naik bus."

Danar yang saat ini berdiri di depan water dispenser menoleh. "Nggak bareng Giko aja?"

"Enggaklah. Dia paling udah balik sama teman kencannya."

"Gue anter aja kalau gitu." Paper cup yang sudah diambil, disimpannya kembali ke tempatnya.

"Nggak usah, Dan. Lo kan lagi sibuk. Udah ah. Gue duluan." Aku melambaikan tangan dan buru-buru meninggalkannya.

Aku memang kerap nebeng Danar atau Giko. Siapa saja yang kebetulan pulang di jam yang sama. Tapi, kalau mereka sibuk nggak mungkin aku mau merepotkan mereka.

"Win!"

Aku menoleh dan mendapati Giko berjalan tergesa ke arahku. Tepatnya mungkin ke lift yang sedang aku tunggu.

"Danar mana?" tanya dia setelah berhasil berdiri di sampingku.

"Masih banyak kerjaan."

Pintu lift terbuka dan kami masuk. Tidak ada siapa pun di dalam selain kami berdua.

"Bilangin dia jangan serius banget kalau kerja. Hidup juga perlu dinikmatin. Nggak heran kalau predikat jomlo masih aja nempel."

Aku berdecak. "Lo ngajak ngobrol jomlo juga by the way."

Giko terkekeh. "Lupa gue," tangannya yang jail dengan iseng mengacak rambutku.

"Giko, gue udah susah payah nyisir nih. Lo berantakin lagi." Aku kembali merapikan rambutku yang berantakan sambil mendumel.

Kebiasaan buruknya bikin aku pengin meng-sleding kepalanya.

"Ahelah, Win. Mau lo rapi atau berantakan nggak ada yang protes."

"Tetep aja penampilan cewek itu harus menarik bahkan di saat jomlo sekali pun. Siapa tau kan ada pangeran lewat tak terduga. Jadi, kalau penampilan oke kan nggak malu-maluin."

Giko mencibir. "Pangeran apaan, Pangeran William?"

Pintu lift terbuka  kami lantas berjalan beriringan. Dan, saat tangan Giko melambai, aku tahu dia sedang ditunggu seseorang sekarang. Mataku menyipit melihat wanita berkacamata dengan rambut tergerai.

"Gi, itu Bu Rina?" tanyaku tanpa melepas pandangan dari sosok yang berdiri di depan resepsionis.

"Yoi! Gue duluan ya, Win. Lo bisa pulang sendiri kan?"

Tidak perlu menunggu jawabanku Giko langsung menghampiri Bu Rina. Bahkan tangan lelaki itu langsung menyambar pinggang Bu Rina, lalu keduanya berjalan keluar lobi.

Aku spontan menepuk jidat. "Bahkan tante-tante dia embat juga."

***

Aku sedang memilih baju di sebuah butik salah satu mal ketika mataku tanpa sengaja menangkap sosok bayangan seseorang. Aku bergegas meninggalkan rentengan baju yang sedang aku pilih begitu saja dan beranjak keluar.

Di depan pintu kaca transparan butik tersebut aku celingukan. Aku tidak mungkin salah lihat.

"Nyari siapa sih, Win?" tanya Giko ikut celingukan.

"Tadi gue liat Tamβ€”" aku spontan memejamkan mata. Lupa sesaat bahwa aku datang ke sini bersama Giko. "Enggak. Bukan siapa-siapa. Gue kayaknya salah liat doang. Masuk lagi yuk." Aku menyeret lengan Giko masuk ke butik kembali. Sempat aku menoleh ke belakang lagi. Dan, dari kejauhan aku melihat dia. Hanya sekilas sebelum sosok itu berlalu makin menjauh.

Demi apa! Dadaku berdetak kencang. Padahal manusianya jauh, lalu gimana bisa efeknya sedahsyat ini? Tanpa sadar aku menyentuh dadaku. Dia ternyata ada di Jakarta.

"Lo kesambet apa gimana sih, Win?" Giko meneleng dengan pandangan aneh, menatapku. Lagi-lagi aku lupa sedang bersama playboy cap ayam jago ini.

"Siapa yang kesambet. Gue tadi cuma liat pangeran," sahutku asal sembari kembali menuju hanging stand.

"Hah? Pangeran William beneran ada?"

"Pangeran Will mah udah tua, kalau yang gue liat tadi jauh lebih tampan," ujarku sembari membayangkan wajah tampan Tama. Namun, wajah itu mendadak buyar ketika wajah istrinya ikut nongol.

"Halah, paling juga masih gantengan gue ke mana-mana," Giko berdecih. Dia paling tidak suka kalau aku sudah membahas ketampanan pria lain jika kami sedang bersama. Padahal fungsi dia cuma teman.

"Iya, kalau dilihat dari puncak Monas pake sedotan."

"Heh, sembarangan. Nggak ada yang raguin ketampanan gue ya." Giko tampak tak terima. "Semua cewek bahkan ngantri minta gue ajak kencan."

Aku memutar bola mata. Entah pelet apa yang Giko lempar pada cewek-cewek itu, yang jelas buat aku peletnya nggak bakal mempan.

"Termasuk Bu Rina?"

Giko menggerak-gerakkan alisnya. "By the way gue udah lama banget ngincer dia. Dan akhirnya ketangkep juga. Binal euy di atas ranjang," ujarnya tertawa.

"Gue nggak tertarik denger petualangan ranjang lo."

Biasanya Danar yang selalu dengar cerita-cerita Giko dan wanita-wanitanya. Dengan bangga dia akan memamerkan koleksi kondomnya atau gaya baru yang dia praktekkan bersama partner-nya. Menjijikkan.

"Sekali-kali denger, kali aja lo tertarik nyoba, Win. Gue siap bantu pecahin telur lo."

"Sinting." Aku menabok kepala Giko yang kurang oksigen itu dengan hanger baju.

"Astaga, sakit Win! Pantes lo jomlo. Galak masih dipelihara."

Aku melotot sebelum masuk ke ruang ganti. "Diem lo! Awas kalau ngintip."

Giko melengos. "Sori, emang ada yang bisa gue intip gitu? Dada lo aja rata gitu, apa yang mau gue intipin?"

Setelah mengatakan itu dia ngeloyor pergi ke etalase khusus outfit pria. Aku sendiri sudah menemukan satu dress yang akan aku gunakan nanti di acara reuni sekolah. Meski aku tidak yakin akan datang, persiapan tetap perlu.

Aku keluar dari ruang ganti dengan gaun terusan ruffle sepanjang bawah lutut. Gaun tanpa lengan ini polos di bagian atas hingga pinggang. Lalu merumbai dari pinggang hingga ke bawah lutut. Tidak ada printilan yang menyilaukan mata. Cukup simpel dan aku suka.


5.  Mantan Giko

Aku memutar di depan cermin. Setengah berlenggok dan menelengkan kepala untuk memperhatikan pantulan diri sendiri yang tampak beda dengan balutan gaun yang memeluk erat tubuhku itu. Dulu aku memiliki tubuh mungil. Namun, berkat olahraga renang yang aku ikuti semasa remaja, tubuhku menjadi lebih tinggi. Aku merasa puas dengan keadaan diriku sekarang. Meski nggak cantik-cantik banget, aku terbilang manis sebagai seorang wanita. Eits, ini bukan aku loh yang bilang. Yoga mantan pacarku yang pernah dibuat bonyok oleh Giko yang bilang.

Tone kulitku tidak terlalu putih, tapi juga tidak bisa disebut cokelat. Entah ini jenis warna kulit apa, kuning? Ya, orang bilang kuning langsat.

"Wuidih! Tuan Putri kayaknya udah siap datang ke acara reuni nih."

Aku menoleh ketika suara Giko terdengar. Sontak aku memamerkan diri dan berputar di hadapannya. "Cocok enggak, sih gue pake warna putih? Gue nggak pede sama warna kulit," tanyakuku melirik lenganku yang terbuka.

"Cocok, kok. Lo kan emang selalu cocok pake apa pun. Lo aja yang nggak terlalu pede. Gue jadi pasangan lo aja kali, ya buat datang ke reuni nanti."

"Enggak!" Aku kembali menghadap cermin. Datang sebagai pasangan playboy artinya mematikan pasaran diri sendiri.

"Kenapa?" tanya Giko dengan alis tertaut. "Gue ganteng, nggak bakal malu-maluin lo," ujarnya mendekat lalu berdiri di belakangku sembari melihat ke cermin. Telunjuknya menunjuk pantulan kami di dalam cermin. "Lihat, cocok banget, kan?"

"Mana ada. Nggak usah ngadi-ngadi. Bawa aja Bu Rina." Aku menyikut perutnya.

Alasanku datang itu Tama. Apa kata dia kalau aku datang membawa gandengan? Apalagi yang jadi gandenganku Giko. Oh, aku nggak suka dijadiin bahan olok-olok nanti.

Giko mendesah. "Gue nggak mau bawa teman kencan. Pasti ribet. Mending bawa lo."

Manusia paling aneh sejagat ini benar-benar nggak mau dirugikan. "Bilang aja lo mau caper dan cari mangsa baru di reuni nanti, kan?"

"Kagak. Paling juga yang single cuma lo doang. Ngapain gue caper sama lo?"

"Sialan. Ada banyak kok yang masih single. Lo ngomong seolah-olah gue jomblo paling ngenes sedunia sampe-sampe rela jadi gandengan playboy cap ayam jago kayak lo. Idih, sori ya." Aku melengos lalu kembali fokus pada penampilanku.

"Gue, kan bermaksud buat nyelametin lo dari kejulidan kaum nyinyir nanti. Udah suuzon aja sih, huh!" Tangannya yang jail itu mengacak rambutku.

"Giko! Ih! Gue baru creambath!" teriakku kesal, tanpa peduli tatapan pengunjung lain. Dasar tangan nggak punya adab.

Danar akhir-akhir ini sibuk. Jarang sekali pulang sore. Yang masih gemar pulang sore cuma si playboy itu. Jadi, terpaksa aku mengajaknya. Ini juga sebenarnya ajaib. Biasanya Giko paling tidak suka menemaniku belanja. Mungkin dia sudah mulai bosan sama Bu Rina makanya saat aku iseng mengajaknya ke butik dia oke-oke saja.

Selesai dari butik, kami makan es krim yang didapat dari salah satu outlet. Kami makan es krim sembari berhaha-hihi di salah satu bangku panjang mal. Saat itulah tanpa sengaja mataku menangkap sosok familier dari arah berlawanan.

"Gi, itu Siska kan mantan lo?" tanyaku menepuk-nepuk lengan Giko sembari terus memelototi salah satu mantan Giko yang kebetulan berada di mal ini.

Giko yang sedang menjilati es krimnya menoleh, dan mengikuti arah pandangku. "Mana?"

"Tuh! Dia sama temannya kayaknya, deh. Lo nggak samperin?"

"Ogah, males," sahut Giko santai sembari terus menjilati pucuk es krim.

"Dia masih cantik banget, Gi. Lo yakin nggak nyesel putus dari dia?"

"Kenapa gue yang nyesel? Kan dia yang mutusin gue."

Aku melihat Siska naik ke eskalator berniat turun ke bawah. Dan tepat saat itu dia juga melihatku. Aku yakin dia melihat Giko di sebelahku juga karena untuk beberapa saat ada raut terkejut yang nampak dari wajahnya.

Aku melempar senyum padanya. Namun, dia tidak membalas. Bahkan melengos seolah tidak sudi menerima senyumanku. Buset.

"Dendam banget kayaknya sama gue dia," ujarku begitu Siska tidak nampak lagi.

"Kenapa harus dendam sama lo?" tanya Giko. Kulihat es krimnya tinggal separo.

"Ya, kan kalian putus karena dia salah paham sama gue."

Giko mendesah lalu menyaplok es krimnya dalam ukuran besar. "Itu bukan salah lo. Dia aja yang nggak mau denger penjelasan gue main putus-putus aja. Pasti nyesel dia."

"Apa dia nggak makin berpikir kita ada apa-apa setelah tadi liat kita?"

"Bodo amat!" Giko kembali menyaplok es krimnya kali ini sekalian cone kerupuknya. Bunyi 'kriuk' terdengar saat dia mengunyah.

Sepertinya Giko masih sakit hati. Saat putus dari Siska, aku sangat tahu dia lagi sayang banget sama wanita itu. Wajar kalau dia akhirnya tidak peduli. Setahu aku, dia tidak pernah secuek ini sama mantan-mantannya. Terkhusus sama Siska saja dia begini. Mungkin sakitnya sudah terlanjur dalam.

"Dah ah, yuk. Lo laper nggak?" Giko berdiri setelah mengelap mulutnya dengan tisu.

"Gue kalau abis makan es krim lapernya ilang. Balik aja deh."

"Bener nih nggak mau makan? Awas ya kalau lo ngadu sama Danar bilang nggak dikasih makan sama gue."

Aku tertawa saja. Giko tipe royal, jadi ketika aku bilang dia pelit pasti mencak-mencak.

"Nggak. Ntar kalau laper gue bisa turun ke bawah nyari somay."

"Ya udah, yuk balik." Tangan jailnya langsung menggaet leherku dari samping. Kebiasaan buruk banget. Memangnya aku kambing?

Giko sangat berbeda dengan Danar. Si playboy ini nggak pernah canggung untuk melakukan skinship seperti ini. Setiap kali aku jalan sama lelaki itu, sebelah tangannya selalu merangkul pundakku. Atau kalau tidak, aku yang menggaet lengannya. Tapi, ya hanya sekadar itu.


Orang mungkin melihatnya kami seperti sepasang kekasih. Dan setiap kami bilang hubungan kami hanya sebatas sahabatan pasti tidak akan ada yang percaya. Sahabat antara laki-laki dan perempuan itu bullshit.

Whatever, sih, toh nyatanya kami memang sahabatan dari jamannya baru masuk SMA. Tiga belas tahun kami bersama dan selama itu tidak terjadi apa-apa. Danar dan Giko tetap menjadi sahabat yang baik. Tidak pernah keluar dari zona itu.

Telepon dari Danar masuk tepat ketika Giko menurunkan aku di depan gedung apartemen. Aku melirik ponsel sebentar, lalu melambaikan tangan saat Giko mulai putar balik.

"Lo jadi ke butik tadi?" tanya Danar di sana ketika aku menerima panggilannya. Aku celingukan melihat kanan-kiri jalan berniat menyeberang.

"Ini baru balik. Lo masih di kantor?"

"Masih. Ini baru selesai. Pusing banget kepala gue."

Setelah memastikan tidak ada pengendara mobil atau pun motor yang lewat, aku bergegas menyeberang.

"Tumben banget orang gila kerja kayak lo ngeluh pusing. Paling juga–Aaargh!"

Lampu mobil yang menyorot tajam membuatku memejamkan mata saking ngerinya. Aku tidak sempat menghindar dan sontak berjongkok seraya menggenggam erat ponsel.

Aku tidak tahu mobil itu datang dari mana. Sebelum menyeberang tadi aku sudah memastikan tidak ada satu kendaraan yang lewat. Sempat aku mendengar suara Danar memanggil di ujung telepon, tapi teredam oleh kerasnya suara jeritanku dan derum mobil yang begitu terasa dekat.


####

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Selanjutnya REUNI (Bab 6-10)
5
1
Di usianya yang terbilang cukup untuk menikah, Wina masih saja belum mendapatkan pasangan yang cocok dengannya.Di sebuah reuni sekolah dia dipertemukan lagi dengan Tama, mantan ketua osis yang dulu sangat Wina sukai. Namun, pria itu sudah berkeluarga. Yang lebih tidak Wina duga selanjutnya, ternyata Tama adalah klien barunya. Mereka pun mulai akrab. Dan, pada akhirnya perasaan yang tidak seharusnya tumbuh, terjadi di antara mereka.Di sisi lain ada Giko-sahabat dari SMA sekaligus atasannya-yang tiba-tiba saja memintanya untuk jadi pacar pura-pura. Namun, lama kelamaan perasaan Giko menjadi nyata.Bagaimana Wina menghadapi keduanya? Siapa yang akan dia pilih?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan