Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris (6-10)

4
0
Deskripsi

WARNING MATURE CONTENT 

(please, be wise in choosing reading)

 

Lantaran sakit hati karena tiba-tiba diputus sang pacar yang ternyata selingkuh dengan sahabatnya sendiri, Kavia Roemani Jagland menyetujui tawaran pernikahan seorang pria yang baru dikenalnya beberapa jam.

"Menikahlah denganku. Akan kubuat mantanmu menyesal sudah menyia-nyiakanmu."

Siapa yang menduga jika pria yang akan menikahinya itu adalah pewaris tunggal dari keluarga konglomerat Wirahardja, Javas Rashaka Wirahardja yang kasak-kusuknya...

6. Melamar 



Yang paling menyeramkan saat ini adalah tatapan mata Gyan yang menghunus. Kavia tahu pria itu satu-satunya orang yang paling kesal di sini. Mungkin merasa rencana pernikahannya sudah disabotase. Tapi Kavia berusaha masa bodo. 

Javas di sisinya tampak tenang. Tangannya meletakkan cangkir ke meja kembali setelah berhasil menyesap isinya. Kembali pria itu menatap Daniel dan Delotta yang duduk tepat di seberangnya. 

"Maaf jika kedatangan saya begitu tiba-tiba. Tapi saya ke sini dengan niat baik." Dia menoleh ke sisi Kavia. "Dengan tulus, saya berniat meminang putri cantik Anda dan menjadikannya istri saya." Kembali matanya menatap Daniel. "Saya harap Pak Daniel dan Bu Delotta menyambut niat baik saya." 

"Kalian kenal di mana?" tanya Gyan menyambar. Sejak tadi dia terus mengawasi pria yang dibawa adiknya itu. 

Meski terdengar tidak sopan lantaran pertanyaan itu menyela proses pinangan itu, Javas tetap menjawab. "Kami mengenal di sebuah kafe." 

"Berapa lama kalian saling kenal?" 

Mendengar pertanyaan itu Kavia kontan gelisah. Dia buru-buru menjawab sebelum Javas yang melakukannya terlebih dulu. "Satu tahun lalu. Kami kenal di kafe satu tahun lalu. Ayolah, Mas. Biarkan Javas menyelesaikan ini." 

Kening Gyan berkerut. "Kamu kenapa ngebet banget sih? Aku di sini itu mau melindungi kamu. Kamu adikku, wajar dong aku banyak tanya sama calon suami dadakanmu itu." 

Bibir Kavia mengerut. Dia sudah menduga kalau kakaknya itu pasti akan mengintervensi mami dan papinya soal Javas ini. 

"Javas pria baik dan dia juga dari keluarga baik-baik." 

"Oh ya?" Alis Gyan menanjak sebelah. "Kalau dia serius seharusnya dia bawa orang tuanya ke sini untuk ikut melamar kamu." 

Kavia hendak membalas, tapi dengan cepat Javas menahan lengannya. Pria itu lantas tersenyum tipis. "Kedua orang tua saya sudah meninggal sejak saya berusia 15 tahun." 

Detik itu juga Gyan merasa mati kutu. Dia memundurkan badan dan langsung mengucapkan kata maaf. 

"Saya hanya memiliki seorang kakek. Dan dua paman dari pihak Ibu," ucap Javas lagi. 

"Jadi benar kakekmu itu Javendra Wirahardja?" tanya Daniel mulai angkat suara. 

"Benar, Pak."

Daniel mengangguk-angguk. "Ya, aku pernah dengar Javendra memiliki seorang cucu. Sejak orang tuamu meninggal dia yang mengurus perusahaan keluarga. Tapi beberapa tahun ke belakang saya sempat mendengar perusahaan kalian sempat mengalami gonjang-ganjing." 

Rumor itu ternyata benar-benar menyebar luas. Javas menarik napas. Dia tidak menduga wanita yang secara random dia ajak menikah ternyata bukan dari keluarga sembarangan. Javas tahu Blue Jagland Corp. Perusahaan properti besar yang sedang merambah bisnis di bidang pariwisata perhotelan. 

Javas tersenyum. "Benar. Tapi kami bisa mengatasi itu semua. Anda bisa melihat index saham perusahaan kami sekarang." 

"Ya, ya saya tahu. Saham kalian menguat dibanding perusahaan lain yang satu bidang dengan kalian." 

Ada kebanggaan tersendiri mendengar Daniel mengetahui prestasi perusahaannya sekarang. Itu akan makin memudahkan misinya menikahi Kavia. 

"Kembali ke tujuan awal. Saya meminta izin kepada Anda untuk menikahi Kavia." 

Lagi-lagi Daniel tidak langsung menjawab. Dia malah menatap istrinya yang juga masih bungkam. Dia tidak meragukan latar belakang pria muda di depannya. Hanya saja pernikahan yang terkesan dadakan ini begitu mengganjal. Apalagi Gyan, putra pertamanya sedang mempersiapkan pernikahanya dua bulan ke depan.

"Saya sebenarnya bingung. Saat Kavia memberitahu kami tentang rencana pernikahan kalian yang mendadak ini. Apakah ada urgensi tertentu? Maaf, bukan kami ingin menghalangi, tapi ini masih terasa ganjil. Atas dasar apa kalian memutuskan menikah secepat ini?" 

Sebelum datang menemui orang tua Kavia, Javas sudah memprediksi pertanyaan ini. Jadi, sebisa mungkin dia sudah mempersiapkan jawaban yang masuk akal. 

"Saya mencintai putri Anda." Javas menoleh lagi kepada Kavia, kali ini ditambah bumbu adegan meraih tangan wanita itu. "Sebenarnya saya juga berjanji pada diri sendiri jika suatu saat menemukan wanita yang tepat, maka saya tidak akan menunda lagi untuk segera menikahinya. Dan saya bersyukur Kavia menjadi wanita yang tepat itu." 

"Tapi dua minggu?" Daniel menyipit. "Pernikahan macam apa yang dipersiapkan dalam waktu dua minggu? Sebagai orang tua saya ingin membuat pernikahan putri saya berkesan." 

"Kalau itu yang Anda cemaskan, Anda tak perlu khawatir. Saya sudah mempersiapkannya dengan matang," sahut Javas penuh rasa percaya diri. Sedikit lagi, sedikit lagi dia akan mendapat izin dari orang tua bermata biru itu. 

Daniel tampak menghela napas. Dia melirik istrinya, yang juga menatapnya. Sepertinya Delotta juga tidak bisa berbuat banyak. Melihat keseriusan Javas, dia tampak luluh. 

"Oke, saya—" 

"Aku nggak mau dilangkah, Pi," sela Gyan yang sudah melihat gelagat sang papi akan menyetujui pernikahan mereka. 

Masalah pun datang. Malam itu perdebatan tentang siapa yang duluan menikah menjadi makin alot. Kavia menyarankan untuk mereka menikah bersama. Namun, Gyan menolak tegas. Dia tetap ingin pernikahannya dilaksanakan terlebih dulu. Nyaris saja kepala Kavia meledak. Sebelum Delotta akhirnya menengahi perdebatan mereka dan memutuskan Gyan menikah lebih dulu secara agama. 

***

Kavia berputar di depan Javas. Saat ini dirinya tengah melakukan fitting baju pengantin di sebuah butik bridal ternama. Salah satu privillege orang seperti Javas, dengan cepat dia bisa mendapatkan sepasang baju pengantin yang dibuat secara eksklusif oleh desainer kondang. Wanita itu bingung melihat tampang Javas yang malah melongo tanpa memberi komentar apa pun. 

"Apa gaun ini nggak cocok?" tanya Kavia sembari memperhatikan gaun yang melekat pas di tubuhnya. "Aku pasti kelihatan gendut." Dia mencebik. Merasa kesal sendiri dia pun meminta pegawai butik memilihkan gaun lain. 

"Nggak, jangan!" cegah Javas saat menyadari Kavia meminta gaun lain. "Kamu cocok pakai gaun itu. Aku suka." 

"Aku nggak kelihatan gendut?" 

"Nggak, siapa yang bilang begitu?" Javas beranjak berdiri dan mendekati Kavia. Sebenarnya dia tidak menyangka dengan balutan gaun pengantin warna putih Kavia makin terlihat cantik. Itu sebabnya dia sempat tercengang. "Kamu cantik." 

Hanya satu kalimat singkat, tapi cukup membuat bibir merah Kavia melengkung. Wanita itu kembali menghadap cermin. Mata birunya mengerjap indah. Dia yakin di hari pernikahannya nanti, Fabby akan menyesal sudah berani mematahkan hatinya. 

Kavia mendongak ketika Javas yang sudah berganti setelan jas pengantin berdiri di sampingnya. "Wow, ganteng juga calon suamiku," ujarnya seraya menggerak-gerakkan alis.

Sembari menyugar rambut, Javas berujar, "bukannya memang seharusnya begitu? Suamimu harus lebih tampan dari mantan kamu."

Wajah Kavia terlihat mengeras. Dia kembali menghadap cermin, memperhatikan penampilan dirinya dan Javas di pantulan cermin dengan serius. Keduanya tampak serasi. Tidak akan ada yang tahu jika keduanya memiliki tujuan tertentu di pernikahan nanti. 

"Kalian benar-benar perfect couple goal," ucap seorang wanita dengan gaun off-shoulder berwarna maroon. Dia desainer yang menangani baju pengantin mereka. "Nggak perlu ada perbaikan khusus karena rancangan saya begitu pas di tubuh semampai calon istri Pak Javas." 

"Terima kasih," balas Kavia singkat. 

"Pak Javas Anda beruntung mendapat calon istri secantik Mbak Kavia." 

Tanpa diduga Javas menarik pinggang Kavia dari samping hingga tubuh wanita itu merapat padanya. "Ya, kamu bisa fotokan kami berdua?" 

Dan keesokan harinya berita tentang pernikahan mereka pun dengan cepat menyebar ke seantero negeri. Foto-foto mereka yang tengah fitting di butik tersebar di beberapa media elektronik dan menjadi perbincangan hangat. Kavia tidak menduga jika pengaruh Javas yang hanya seorang CFO begitu besar.

 

7. Topeng 

Mungkin ini berlebihan, tapi Kavia melakukannya. Siang ini dia berdandan habis-habisan lantaran ada janji temu dengan Fabby. Bahkan daripada lelaki itu, dia datang terlebih dulu ke tempat yang dijanjikan. Namun sudah sepuluh menit menunggu, batang hidung lelaki itu belum juga tampak. Kavia mulai gelisah di tempat. Beberapa kali dia menengok jam tangan, dan pintu masuk restoran secara berganti. 

 

Seharusnya memang tidak semudah ini dia membuat janji temu. Namun dia tidak memungkiri bahwa ada rindu yang menggebu pada lelaki itu. 

 

Suara dehaman membuat Kavia terkesiap. Dadanya mendadak berdebar kencang. Itu suara Fabby, dia yakin. Dan...benar. Sontak Kavia berdiri. 

 

"Hai, sori. Nunggu lama," ujar pria berambut ikal itu saat berada di depan Kavia. Dia bergerak mendekat, hendak mencium pipi Kavia, tapi secara refleks wanita itu menghindar. Pria itu sempat tertegun, sebelum mengucapkan maaf lagi. 

 

Sudah menjadi kebiasaan. Dia lupa kalau hubungan mereka sekarang sudah tidak seperti dulu lagi.

 

Kavia meneguk ludah sambil tersenyum kaku. Rasanya aneh bersikap canggung begini. "Silakan duduk," ucapnya, yang lantas mendapat anggukan dari Fabby. 

 

"Apa kabarmu?" tanya pria itu, menatap lekat Kavia. Di mata dan hatinya Kavia selalu istimewa. Tidak ada yang berubah sedikit pun. 

 

Sudut bibir Kavia sedikit terangkat. Kalau boleh, dia ingin memaki lagi seperti malam itu. Bisa-bisanya lelaki itu menanyakan kabar setelah membuatnya hancur. Seandainya bisa, Kavia ingin berteriak : Aku berantakan! Dan gara-gara kamu, aku akan menikah dengan pria yang tidak aku cinta! Dasar Bedebah!

 

Tapi Kavia tidak akan bertindak bar-bar lagi. Dia ingin main cantik sekarang. 

 

"Very well," sahutnya mengangkat dagu. Dia ingin menunjukkan pada Fabby bahwa dirinya bisa bertahan. Ya, meskipun mati-matian dia menahan diri untuk tidak memeluk pria itu. Demi Tuhan! Dia rindu. 

 

"Kamu udah pesan?" tanya Fabby sembari menarik buku menu. "Aku pesenin matcha latte ya." 

 

Sial! Di bawah meja tangan Kavia mengepal. Dalam hati terus merapal doa agar dirinya tidak baper dengan perlakuan lelaki itu, tapi.... 

 

"Kasih ekstra topping mozzarella ya selain wortel. Matcha lattenya normal sugar. Sekalian minta air mineralnya." 

 

Si brengsek itu paling tahu dan paling mengerti tentang dirinya. Itulah sebabnya Kavia susah melupakan. Seandainya kesalahan yang Fabby lakukan tidak sefatal itu, Kavia akan ikhlas memaafkannya. 

 

"Baik, ditunggu sebentar ya, Kak." Pelayan yang mencatat pesanan mereka pun berlalu. 

 

Fabby memusatkan perhatian sepenuhnya pada wanita di depannya. Dia menghela napas sejenak, sebelum membuka mulut lagi. "Aku minta maaf untuk semuanya." 

 

"Aku ke sini bukan untuk mendengar permintaan maaf kamu." 

 

"Iya, tapi aku merasa perlu melakukannya lagi sebelum kamu benar-benar memberiku maaf." 

 

"Aku nggak semurah hati itu memaafkan kalian. Kesalahan kalian fatal!"

 

"Aku tau, Vi. Ya, aku memang bodoh. Aku sebenarnya nggak mau begini, tapi..." Fabby hendak meraih tangan Kavia, tapi dengan segera wanita itu menjauhkan diri. Raut kecewa kontan tercetak jelas di wajahnya. "Vi, andai aku—" 

 

Ucapan lelaki itu terhenti saat tiba-tiba Kavia menaruh sesuatu ke atas meja dan mendorong ke dekatnya. Fabby terkesiap saat tahu benda itu. "Ini..." 

 

Bukan cuma Fabby yang bisa memberinya undangan pertunangan, Kavia juga bisa melakukan hal sama. Malah selangkah lebih maju karena yang dia beri adalah undangan pernikahan langsung. 

 

"Sabtu nanti. Aku harap kamu bisa datang." 

 

Kavia bisa mendengar ada umpatan kecil yang keluar dari bibir pria itu. Wajah Fabby tampak syok menatap undangan berbentuk persegi berhias bunga kering yang direkat wax stamp gold dengan inisial dua huruf. 

 

Tangan Fabby bergetar meraih benda bertema vintage itu. Bibirnya terkunci rapat. Dengan pelan dia membuka lipatan kertas bertekstur tersebut. Di halaman pertama Fabby disambut foto mesra Kavia dan seorang pria tampan. Rahangnya mengeras, terlebih ketika membaca isi undangan itu. 

 

Dia kembali menatap Kavia. Tatapannya tajam namun menyiratkan luka. "Are you kidding me?" desisnya tak percaya. Dia melempar undangan itu seraya menggeleng. "That's impossible."

 

"Why?" respons Kavia heran. "Kamu bahkan memberiku undangan lebih dulu." 

 

"Itu persoalan lain, Kavia." 

 

"Persoalan lain apa?" 

 

Fabby mengusap wajah. Dia sudah tidak bisa terlihat santai. "Kavia, listen to me. Aku dan Jemma—"

 

"Kalian menusukku dari belakang," potong Kavia cepat. "Lukaku belum kering tapi kalian sudah melempar luka lagi dengan memberiku undangan pertunangan. Apa yang sekarang aku lakukan salah?" 

 

"Kamu sedang berusaha membalas kami?" 

 

"Kalau iya kenapa? Tindakanku benar kan?" 

 

"Astaga, Kavia." Kembali Fabby mengusap wajah. "Aku dan Jemma nggak seperti yang kamu pikir. Aku hanya—"

 

"Permisi, pesanannya, Pak." 

 

Fabby membuang napas. Sejenak dia berusaha menenangkan diri selagi pelayan menyajikan pesanan ke meja. Setelah mengucapkan terimakasih, dia kembali fokus pada wanita yang sebenarnya masih dia cinta itu. 

 

"Kamu nggak serius kan?"

 

"Aku nggak pernah seserius ini." 

 

Fabby membenarkan posisi duduk. Wajahnya terlihat serius dengan mata menatap lurus. "Kavia, asala kamu tau, aku—" 

 

"Sayang, sori aku lama." 

 

Seorang wanita datang menginterupsi percakapan mereka. Dia bahkan langsung mengecup pipi Fabby tanpa peduli dengan keberadaan Kavia. 

 

Fabby yang kaget langsung salah tingkah. Apalagi ketika melihat reaksi Kavia. 

 

"Eh?! Ada my bestie, sori tadi aku nggak liat," seru wanita itu saat menemukan Kavia. Wajahnya tampak terkejut, entah itu beneran atau hanya pura-pura.

 

Kavia berdecih. Reaksinya benar-benar terlihat palsu. Wanita itu Jemma. Si pagar makan tanaman. Pengkhianat, pelakor, musang berbulu domba, dan masih banyak lagi sebutan yang Dian sematkan untuk wanita itu. 

 

Jemma memasang wajah sedih lalu mendekati Kavia. "Vi, gue beneran minta maaf. Gue nggak bermaksud merebut Fabby dari lo, gue—" Jemma terkejut saat Kavia menyentak tangannya yang akan menyentuh wanita itu. Dia spontan menunduk. "Lo pasti benci banget sama gue." 

 

"Menurut lo? Nggak usah berdrama deh." 

 

Tepat dugaan Kavia. Setelah pura-pura minta maaf, Jemma tampak menyeringai. Benar-benar musang!

 

"Tapi lo emang pantes sih ditinggalin," ujar Jemma lalu bergerak mundur dan beranjak duduk di sisi Fabby. Raut sedihnya hilang tak berbekas. Berganti dengan raut kebencian yang kental. "Gue muak jadi kacung lo selama ini. Gue benci selalu berada di belakang lo. Kalau bukan karena keluarga lo yang kaya, lo itu nothing! Lo hanya lebih beruntung soal itu." 

 

Mata biru Kavia melebar. Dia tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut orang yang selama ini dia anggap sahabat. 

 

"Lo selalu saja merebut apa yang gue punya. Semua orang sayang sama lo, perhatian sama lo, peduli sama lo yang sebenarnya nggak butuh apa-apa lagi, bahkan orang yang gue sayang pun lo ambil. Kurang apa gue selama ini ke lo sampai lo berlaku nggak adil gini ke gue?" 

 

"Jemma, cukup. Tenangin diri kamu." Fabby di samping wanita itu kembali gusar. 

 

"Lo itu manusia teregois yang pernah gue kenal! Gue benci sama lo, gue muak jadi temen lo! Manusia sombong kayak lo nggak pantas dijadikan teman." 

 

Seperti dihantam kenyataan pahit, Kavia terhenyak. Dia tidak bisa merespons lantaran terlalu syok. Dia tidak menyangka sahabat yang dia sayang dengan tulus ternyata bukan hanya menikamnya dari belakang, tapi juga sudah menyimpan kebencian sejak lama. 

 

Jadi, yang dia lihat selama ini apa? Sikap baik Jemma padanya, dukungan wanita itu selama ini. Semua itu apa? 

 

"Jangan salahin gue kalau akhirnya Fabby lebih pilih gue dibanding lo. Lo itu memang toxic!" 

 

Kavia tertegun. Toxic dia bilang? Matanya membayang, tapi dia tidak ingin menangis. Setidaknya bukan di tempat ramai begini. Baiklah, sekarang sudah jelas. Dia cukup tahu. 

 

"Siapa yang berani mengatai calon istriku toxic?" 

 

Suara bariton itu! Mata biru Kavia kontan bergerak cepat. Dia baru sadar kalau pengunjung restoran hampir semua menatap ke arahnya. Ya wajar sih, dia kena labrak di depan umum begini. 

 

Javas kemudian muncul. Sosoknya yang dominan dengan cepat menyedot perhatian semua mata yang ada di sana. Dia masih mengenakan setelan jas lengkap. Auranya benar-benar menyihir tiap pengunjung tak terkecuali Jemma dan Fabby. 

 

"Javas, kamu kenapa ada di sini?" Tanya Kavia bingung dengan pria itu yang tiba-tiba saja muncul. 

 

"Mau jemput kamu dong, Sayang," sahut pria itu seraya mengusap kepala Kavia. "Jadi, Sayang. Apa ada yang membuat masalah denganmu di sini?" 

 

"Uhm...." Kavia melirik sedikit ke arah Jemma yang melongo dan Fabby yang tampak kesal. "Nggak ada kok." 

 

Kavia segera berdiri dan menyampirkan tas ke bahu. Dia kembali menangkat dagu. "Dia Javas, calon suami gue. Gue ke sini sebenarnya cuma mau kasih undangan, eh nggak taunya malah ada yang buka topeng di sini. Whatever sih, gue nggak peduli," ujarnya mengangkat bahu. "Jangan khawatir gue pasti datang ke acara pertunangan kalian kok, ya meskipun nanti pasti acaranya biasa aja." Kavia berdecap meremehkan. 

 

Dia puas melihat wajah Jemma yang merah padam, tapi dia tak peduli.

 

"Udah kan, Sayang? Yuk! Kita pergi. Nggak baik bergaul lama-lama sama mereka. Beda level," ujar Javas tersenyum lebar. Matanya sempat melirik sepasang sejoli yang tampak tidak bisa berkutik itu. 

 

Kavia langsung merangkul lengan Javas, lalu melenggang meninggalkan meja itu. 

 

Demi apa pun! Hatinya saat ini tidak setegar ucapannya.

 

8. Dua Kali Lipat Sakitnya 



Tisu di mobil Javas hampir habis. Kavia terus menggunakan itu untuk menyeka pipinya yang terus saja basah. Setelah meninggalkan restoran, dadanya yang terasa sesak meledak. Dia tidak tahan dan menangis kencang di dalam mobil. Memaki dengan berbagai macam umpatan. Rasa sakit itu bukannya hilang malah bertambah parah. 

"Sebenarnya apa yang kamu tangisi? Kamu sudah berhasil membuat mereka bungkam," ujar Javas sambil fokus ke jalan raya yang terpantau ramai lancar. 

"Aku, aku cuma nggak nyangka aja. Ternyata orang yang selama ini kuanggap teman baik, menyimpan benci sebegitu dalam. Aku pikir selama ini dia tulus. Sumpah, ini sakit banget." Kembali air mata Kavia menderas. "Jadi semua yang dia tunjukkan selama ini palsu. Aku bingung, sebagai teman aku berusaha bersikap baik, tapi ternyata dia menilai lain." 

Javas membelokkan kemudi memasuki sebuah gerbang kawasan perumahan elit dalam kota. Begitu melewati pintu gerbang yang dijaga ketat oleh dua sekuriti, pemandangan sekitar berubah menjadi lebih asri. Wilayah asri dengan pedestrian itu adalah arah menuju rumah Javas. 

"Itu hal yang lumrah." 

"Lumrah bagaimana? Aku sama Jemma sudah berteman sejak kami masih duduk di bangku sekolah. Aku bisa bertahan dengannya karena kupikir pertemanan yang dia tawarkan itu tulus. Kalau aku terlahir punya segalanya, memang itu salahku? Kenapa dia bisa sebenci itu?" 

Bukan seperti perumahan pada umumnya yang memiliki kavling berdempetan, di kawasan ini rumah-rumahnya berjarak. Bangunanya bahkan ada yang memiliki empat lantai. Javas membelokkan kemudi ke kiri sebelum akhirnya mobilnya berhenti di depan sebuah pintu gerbang besi yang tertutup rapat. Pintu itu terbuka otomatis ketika dia membunyikan klakson. 

"Itu namanya iri, dengki. Dia pasti sering gibahin kamu di belakang. Kamu nggak perlu membuang air mata buat teman seperti itu. Air matamu terlalu berharga." Javas menghentikan mobilnya di carport sebuah modern house dengan dominan warna gelap dan cokelat serta turunannya. Begitu menekan tombol rem dan mematikan mesin mobil, dia menoleh. "Yuk, turun." 

"Ini di mana?" tanya Kavia celingukan, dia tidak menyadari ke mana Javas membawanya pergi. 

"My home," sahut Javas seraya membuka pintu mobil. Kavia pun melakukan hal sama. 

Wanita berambut cokelat itu mengedarkan pandang ke sekitar begitu turun. Rapi. Taman di halaman rumah ini rapi untuk ukuran penghuni seorang pria. Javas mengajaknya memasuki rumah dengan pintu ganda minimalis itu. Tidak sebesar rumah papi, tapi Kavia akui rumah ini bagus. Mencerminkan penghuninya sekali. 

"Welcome to my—uhm, Our home. Kamu akan tinggal di sini setelah kita menikah nanti." 

Kavia menyeka sudut matanya yang masih menyisakan air mata agar bisa melihat interior rumah dengan jelas. Sempurna! Dia berseru dalam hati. "Kamu tinggal di sini sama siapa?" 

"Selama ini sendiri." Javas bergerak menuju dapur yang letaknya di seberang family room. Dia membuka kulkas dua pintu side to side dan mengambil botol air mineral dari sana. Kavia yang mengikutinya beranjak duduk di kursi tinggi yang berbaris rapi di depan kitchen island. "Minum dulu. Di restoran tadi sepertinya minuman dan makanan kamu masih utuh." Javas menyerahkan botol air yang segelnya sudah dia buka. 

"Ya, aku belum sempat menyentuh minuman, dan pelakor itu keburu datang." 

Dari cara Kavia meneguk minuman itu Javas tahu wanita itu kehausan. Energinya pasti sudah terkuras habis. Setengah liter air itu tandas tak bersisa. Wow. Javas sedikit membungkuk dan menumpukkan dua tangannya ke kitchen island berhadapan dengan Kavia. "Setelah ini kamu akan merasa lebih baik." 

Mata biru itu menatap Javas dan mengembuskan napas kasar. "Aku nggak yakin." 

***

Acara pertunangan Fabby dan Jemma berlangsung di rumah orang tua Jemma. Seharian sebelum acara, Kavia terus uring-uringan di apartemen. Bahkan belum ada satu suap nasi pun yang masuk ke perutnya sejak pagi. Setegar-tegarnya dia, kalau sudah sendiri dan ingatan semua kenangan manis bersama Fabby bermunculan, air matanya akan meleleh dengan sendirinya. 

Dia sadar sebentar lagi Javas akan datang menjemput, tapi dibandingkan siap-siap wanita itu lebih memilih meringkuk di atas sofa sambil meratapi nasib. Pesan dan panggilan dari Dian pun dia abaikan. Dia baru beranjak bangun ketika bel apartemen berbunyi. Dan saat membuka pintu sosok Javas yang sudah rapi muncul. Pria itu menaikkan sebelah alisnya ketika melihat penampilan Kavia yang acak-acakan. 

"Aku nggak jadi datang ke acara pertunangan mereka," ujar wanita itu sebelum Javas protes dengan penampilannya yang acakadut. 

"Why?"

Kavia tidak menjawab dan memilih berbalik masuk. Javas mengikutinya. 

"Oh My God. Jangan bilang kamu habis nangis lagi dan galau seharian?" Javas menggeleng seraya menyentuh dahinya sendiri. 

Mendengar itu Kavia menghentikan laju kakinya. Dia sudah berhasil menahan diri untuk tidak menangis lagi. Tapi keberadaan orang di dekatnya malah membuat hatinya kembali lemah. Rasa sakit itu menyeruak dan tangisnya pecah lagi. Bahunya terguncang hebat. Dia menyentuh dadanya yang terasa sangat sesak. Harusnya dia lebih bisa menahan diri. Memalukan. Sudah ketiga kalinya dia menangis seperti ini di depan Javas. Dia baru saja akan mengusap pipinya ketika dari belakang sepasang lengan merengkuhnya. 

"Silakan kamu menangis sekarang, tapi di depan mereka jangan," ujar Javas pelan, membuat Kavia tertegun selama beberapa saat. Seolah tengah menemukan sandaran, wanita itu menangis kian parah. Dan dengan baik hati Javas membiarkan Kavia menumpahkan semua kepedihannya. 

"Kamu cinta banget sama dia ya?" tanya pria itu. Dalam dekapannya, Kavia mengangguk. "Tidak apa-apa. Lukamu masih baru. Waktu yang akan menyembuhkan luka itu." 

Setelah membiarkan wanita itu menangis di pelukannya, dan memastikan Kavia sudah kembali tenang, Javas meyakinkan wanita itu untuk datang ke acara pertunangan itu meskipun hanya sebentar. "Setidaknya kamu harus menunjukkan pada mereka bahwa kamu baik-baik saja meskipun sebentar. Kamu ingat tujuan kita kan?" 

Padahal Kavia sudah memutuskan tidak akan datang, tapi mendengar kata-kata Gyan, jiwa dendamnya muncul lagi. Dia tidak boleh terus lemah. Javas benar. 

Pria itu pun tersenyum saat akhirnya Kavia mengangguk. "Good." 

Dan tidak berapa lama tiga orang pria menyusul masuk ke apartemennya. Kavia agak terkejut dengan kemunculan mereka. Satu di antaranya yang mengenakan setelan jas hitam Kavia mengenalnya sebagai asisten pribadi Javas. Namun dua orang pria lain yang mengiringi terlihat asing, tapi dari penampilan keduanya Kavia sepertinya tahu mereka siapa. 

"Aduh, Nek. Kamu berantakan banget."

Kavia terkejut saat dua orang pria asing dengan gaya gemulai itu menggaet dua lengannya tiab-tiba. "Kalian—" 

"Kami makeup artist dan fashion stylist yang akan mendendongi yey dari bebek burik jadi angsa cantik," jawab mereka kompak dan sangat berisik. 

Sontak Kavia mengerutkan alis sembari menahan senyum dengan mata tertuju ke Javas. Pria itu cuma melambaikan tangan dan menyuruh dua pria setengah mateng itu membawa Kavia pergi. 

Dan setelah beberapa lama menunggu akhirnya mereka berhasil mendandani Kavia sesuai keinginan Javas. 

"Hai, Tampan! Liat ke sini, eike belum pernah mendendongi pere secantik calon istri yey!" seru salah satu pria gemulai itu sambil menenteng Kavia keluar kamar dengan penampilan yang jauh lebih fresh. 

Javas yang duduk di sofa ditemani Phil, menoleh. Senyumnya perlahan mengembang melihat Kavia kembali menjadi wanita cantik lagi. Demi Tuhan! Saat Javas datang tadi, wanita itu sangat berantakan. Rambut awut-awutan, mata bengkak, wajah kusam, dan entah pakaian kumal dari mana yang wanita itu pakai. 

Namun sekarang? Javas yakin daripada si pemilik acara, Kavia akan lebih terlihat menonjol di sana nanti. 

"Good, Marly. Aku puas." 

Pria yang dipanggil Marly menyentak kepala ke belakang, merasa bangga. "Seneng deh bisa muasin yey, Tampan," sahutnya genit. 

Melihat itu Kavia menahan tawa. Dua pria gemulai itu begitu genit di depan Javas. 

"Karena yey cantik banget, kita rela deh si tampan jadi suami yey, tapi kalau yey bosen, tolong kasih lepehannya ke kite," ujar pria yang berperan menjadi fashion stiylist Kavia malam ini. 

"Sebaikanya kamu diam, Tince, kalau nggak mau mulutmu kujahit," gertak Javas, membuat pria yang disebut Tince itu sontak mingkem. 

"Calon laki lo sadis," bisik Tince kepada Kavia. "Untung ganteng." 

Kavia tidak tahan lagi. Tawanya lantas pecah melihat Tince dan Marly bersungut-sungut saat Javas mengusir mereka keluar. 

"Nah, begitu. Kamu lebih cocok tertawa, daripada terus bersedih." Javas mengulurkan lengannya, dan membiarkan Kavia menyambutnya.

 

9. Bekas 



Langkah Kavia terhenti saat mendengar tepuk tangan meriah dari arah dalam rumah Jemma. Refleks dia meremas lengan Javas. Dia tahu betul itu tepuk tangan apa. Pasti mereka sudah berhasil menyematkan cincin satu sama lain. 

"Kenapa berhenti?" tanya Javas menoleh. Dia melihat wajah cantik Kavia menegang. "Kavia, ingat kata-kataku. Kamu bisa lebih bahagia dari mereka. Angkat dagumu tinggi-tinggi. Tanamkan pada diri kamu bahwa kamu jauh lebih beruntung karena memiliki calon suami yang lebih segalanya dari mantan kamu. Dan kamu akan selalu menang dari bekas temanmu itu." 

Kata-kata Javas lagi-lagi berhasil menyuntikkan semangat di hati Kavia. Dia menatap ke depan. Wajah sedihnya berubah menjadi lebih angkuh. "Hm, ayo kita jalan." 

"Good. Kamu wanita paling beruntung malam ini," ucap Javas tersenyum sambil menepuk pelan tangan Kavia sesaat. 

Saat hendak mencapai pintu masuk seseorang terdengar memanggil. Keduanya kembali menghentikan langkah dan menoleh ke asal datangnya suara. Dari posisinya Javas melihat seorang wanita berbadan subur setengah berlari menghampiri dirinya. Uhm, tepatnya Kavia. 

"Dian, kenapa lo lari-lari?" tanya Kavia mengerjap, melihat wajah penuh peluh sahabatnya. Napas Dian tersengal seperti habis maraton. 

"Gue panggil-panggil lo dari tadi, Bego. Malah nggak nyahut-nyahut. Astaga, gue udah kayak mau mati," sahut Dian dengan napas ngos-ngosan. Sambil memegangi dadanya. 

"Siapa juga yang suruh ngejar gue." Kavia mengerutkan pangkal hidungnya sebal. 

"Kuyang, lo gue chat, gue telponin kagak diangkat-angkat. Gue cemas. Dan tadi gue juga sempet ke unit lo, tapi lo udah nggak ada. Gue pikir lo nggak datang ke sini." Napas Dian sudah lebih teratur. Matanya melirik pria jangkung di sebelah Kavia. Dan sudah bisa menebak siapa pria tampan itu. 

"Kan lo yang kekeh suruh gue datang. Jadi ya gue datanglah." 

Dian mesem-mesem tak jelas. Wajahnya yang berkeringat itu mendadak sumringah. Kavia tahu betul penyebabnya, bahkan wanita gemoy itu memberi kode padanya. 

"Javas, dia Dian. Sahabatku," ucap Kavia memperkenalkan Dian pada Javas. "Dan, Di. Ini yang namanya Javas." 

Tanpa malu-malu Dian langsung mengulurkan tangan. Dan ketika Javas menjabat tangan itu, dia menekan dengan begitu kencang sambil meringis lebar. "Perfect!" serunya dengan mata berbinar-binar, sampai Javas merasa aneh. 

"Udah lepasin!" Kavia menepuk tangan Dian yang masih belum mau lepas dari tangan Javas. 

"Astaga, Vi. Pelit banget sih," protes Dian dengan bibir manyun. Namun dia tersenyum lagi ketika menatap Javas. "Kalau calon suami lo modelan gini sih, gue yakin Fabby bakal jiper langsung." 

"Thank you." Javas menyahut sambil tersenyum kecil. "Kita bisa masuk ke dalam?" 

"Gaslah! Yang mesra ya kalian." Dian terkikik sambil menutup mulutnya. Lantas bergerak mengekori keduanya memasuki rumah dengan hiasan ornamen engagement. Dia tidak menyangka, bahwa pria bernama Javas bakal setampan itu. Sangat relate dengan suara empuknya yang dia dengar di telepon waktu itu. 

Pestanya lumayan meriah. Banyak tamu yang hadir dan memberi selamat. Suara musik mengalun lembut mengiringi pesta tersebut. Sebagian tamu tampak asik berdansa, dan sebagian lainnya mengobrol sambil menikmati hidangan yang ada. 

Seperti dugaan Javas. Kehadirannya langsung menyedot perhatian. Hampir semua mata tertuju kepada mereka. Bahkan ada yang terang-terangan memberikan jalan dan menyambut serta mengantar keduanya ke tempat pemilik acara berada. 

Kembali Kavia meremas lengan Javas saat tatap birunya menemukan Fabby tengah berdansa bersama Jemma. Keduanya saling melempar tawa dan belum menyadari kehadirannya. Saat seseorang terlihat membisikkan sesuatu pada kedua orang itu, barulah mereka berhenti berdansa dan langsung menoleh ke arah kedatangan Kavia dan Javas. Tawa keduanya sontak pudar. Wajah Fabby bahkan tampak berubah mengeras. 

"Saatnya beraksi. Kamu siap?" bisik Javas. Yang dibalas anggukan mantap oleh Kavia. 

Keduanya lantas lanjut berjalan menghampiri mereka dengan langkah tegap. Seperti kata Javas, Kavia harus mengangkat dagu tinggi-tinggi dan menunjukkan aura penuh kebahagiaan. Dia berusaha, sangat berusaha meskipun hatinya terluka. 

"Lo beneran datang rupanya," ucap Jemma terdengar penuh kemenangan. Bibirnya tersenyum miring. 

"Oh jelas. Kan gue mau ngasih selamat ke lo," sahut Kavia tak kalah sinis. "Selamat ya, udah berhasil jadi pelakor. Cocok kok kalian." 

Jemma terlihat ingin menyerang Kavia, tapi Fabby di sebelahnya segera menahan. "Jaga sikap kamu," desis lelaki itu. 

Sementara Javas menarik sedikit Kavia agar menjaga jarak dengan Jemma. Namun, dia tidak menduga kalau wanita itu akan melepaskan diri dan malah makin maju. 

"Tersinggung ya? Kan emang benar lo itu pelakor. Tapi emang pantes sih, cewek kayak lo emang pantesnya sama bekas gue. Dari dulu kan juga gitu, lo suka ngembat bekas gue." 

Kata-kata pedas Kavia yang diucapkan dengan nada tenang, sukses menyulut emosi Jemma. 

"Sialan! Ngaca! Lo punya kaca kan?! Sikap lo yang bikin Fabby berpaling ke gue! Bukan hanya gue, dia juga udah lama enek sama lo, Anjing!" 

Teriakan Jemma sontak mengundang perhatian para tamu. Dalam sekejap suasana mendadak bising dan tidak kondusif. Apalagi Jemma telihat makin mencak-mencak. 

Dengan tenang Kavia mundur dan kembali menggandeng lengan Javas. Emosinya sangat terkontrol dengan baik. Dia senang melihat Jemma mencak-mencak tak terkendali. 

"Jemma, tenang! Kamu cuma jadi pusat perhatian para tamu," tegur Fabby dengan wajah memerah. 

"Tapi, Fab! Cewek sialan ini menghina aku." Kembali Jemma menatap Kavia dengan berang. "Lo pasti sengaja kan datang ke sini buat merusak semuanya!" 

Javas menahan Kavia yang terlihat akan membalas. "Sudah cukup. Jangan jatuhkan level kamu di sini," bisik pria itu mengingatkan. 

"Gue cuma ngomong apa adanya. Kenapa lo marah-marah? Udah makin jelas level kita memang beda. Ya udahlah, gue juga ke sini cuma mampir kok, tiba-tiba ingat aja kalau malam ini ada acara pertunangan bekas pacar dan bekas temen gue," pungkas Kavia sebelum berbalik dengan menarik lengan Javas kembali. Dia lantas melangkah meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa langkah.... 

"Heh! Cewek sombong! Nggak heran semua ninggalin lo! Lo itu pantes buat ditinggalin! Lo itu sengak! Sok cantik! Mau menang sendiri! Dan gue yakin, cowok di samping lo pasti juga bakal lepehin lo, karena nggak tahan sama sikap lo yang suka ngatur!" 

"Jemma, diam!" 

"Tapi, Fab! Dia—" 

"Aku bilang diam!" 

Kembali hati Kavia merasa seperti ditikam. Dia menunduk dan memejamkan mata. Tangannya mencengkeram erat lengan Javas. Dadanya berdenyut nyeri. 

"Jangan hiraukan, kita pulang. Oke?" bisik Javas lagi. Dia melepas pegangan Kavia pada lengannya, lalu berganti dirinya yang menggenggam tangan wanita itu. 

Kavia mengangguk. Mencoba menulikan pendengarannya, lantas kembali berjalan di sisi Javas tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Tidak peduli pada keributan di acara itu setelahnya. 

Dan begitu berhasil mencapai tempat mobil Javas terparkir, wanita itu langsung menyentuh dadanya yang terasa sesak. Sialan! 

"Kavia, are you okay?" tanya Javas menyentuh bahu wanita itu. 

"I'm not." Sekuat tenaga Kavia menahan diri agar tidak menangis. Kata-kata Jemma terus terngiang di kepalanya. Membuat dirinya bertanya-tanya, apa benar dia separah itu? Jika dipikir-pikir dari dulu memang dia sering ditinggal teman-temannya. Hanya Jemma dan Dian yang masih terus bertahan sejauh ini. 

"Jangan pikirkan ucapan Mak Lampir itu, Vi!" 

Itu suara Dian. Kavia yang menghadap body mobil segera berbalik. Dan begitu melihat satu-satunya sahabat yang tersisa itu, dia langsung memeluknya. 

"Apa gue sejahat itu, Di?"

 

10. Tidak Mau Bercinta 



Asap putih baru saja Kavia embuskan dari mulut. Dia berusaha membuang pikirannya yang kacau bersama kepulan-kepulan asap yang dia buat. Meski belum sepenuhnya, beban dalam dirinya sedikit membaik. Dian juga beberapa kali meyakinkan wanita itu bahwa dirinya akan selalu ada. Wanita berbadan subur itu sempat menitipkan Kavia pada penjagaan Javas ketika dia pamit pulang lantaran harus ke rumah sakit untuk menjaga adiknya yang baru saja operasi usus buntu. Saat ini Kavia dan Javas ada di VVIP room salah satu kelab malam setelah berhasil pergi dari pesta pertunangan sialan itu. 

Mata biru itu melirik gelas bir yang Javas dorong ke dekatnya. "Bir?" Kavia mengangkat sebelah alisnya lalu terkekeh. "Ini nggak akan cukup. Aku butuh yang kadar alkoholnya lebih tinggi. Seenggaknya beri aku whiskey." 

Javas menggeleng, menautkan tangannya, dan menatap wanita itu. "Kita harus menjaga kesehatan untuk beberapa hari ke depan. Kamu butuh tubuh yang fit di pernikahan kita nanti." 

"Astaga, Javas. Itu hanya alkohol. Aku nggak akan mati kalau hanya minum sedikit. Kamu sangat tahu aku butuh itu."

Pria berambut cokelat itu mendebas dan menyerah. "Nggak lebih dari tiga gelas." 

Decapan bosan keluar dari bibir manis Kavia. Dia kembali menyesap rokoknya dan mengembuskan asapnya tepat ke wajah tampan Javas. 

"Rokok juga tidak baik buat kesehatan. Sebaiknya kamu kurangi hobi kamu ini," ujar Javas sembari mengibaskan tangan, mengusir asap rokok. Tangannya dengan cepat mengambil alih batang nikotin itu dari sela jemari Kavia saat wanita itu hendak menyesapnya lagi. 

"Javas! Itu masih panjang!" seru Kavia saat Javas memadamkan rokoknya. Dengan kesal wanita itu mengambil satu batang lagi, tapi gerakannya kalah cepat dengan tangan Javas. Pria itu berhasil merebut kotak rokok tersebut. Sontak saja Kavia menggeram jengkel. 

"Daripada kamu menghisap rokok itu, lebih baik kamu menghisap p*nisku."

Kavia berdecak. "In your dream." Dia mengambil botol whiskey yang baru saja pelayan sajikan dan membuka tutupnya. 

"Bukannya itu lebih menyenangkan?" Javas melipat lengan ke dada, menatap wanita itu dengan punggung bersandar pada sofa. 

Ketika berhasil menandaskan satu gelas whiskey, tiba-tiba Kavia beranjak duduk di pangkuan pria itu. Tangan wanita itu meraba pipi Javas yang kasar karena ditumbuhi baby facial hair. "Kamu nggak lupa dengan perjanjian kita kan?" 

"Sure." Javas berusaha terlihat tenang dengan sikap wanita itu. Pasalnya dari rahang, jari-jari lentik Kavia mulai iseng menyentuh dadanya. 

"Jadi, kenapa kamu memancingku?" 

"Aku nggak keberatan kalau kamu mau." 

Wajah Kavia mendekat ke sisi telinga Javas dan berbisik. "Tapi aku nggak bisa." Kavia terkekeh geli ketika melihat telinga Javas memerah. Hatinya yang sedih agak ringan karena berhasil mengerjai pria itu. 

Namun detik berikutnya dia kaget, saat tiba-tiba saja Javas menyentaknya, dan menarik wajahnya mendekat. Belum sempat Kavia menghindar Javas sudah berhasil meraup bibirnya. Javas memeluk pinggang dan menekan kepalanya dengan kuat saat Kavia mencoba melawan. 

Dengan sedikit gigitan kecil, Javas berhasil membuat bibir Kavia terbuka. Kesempatan itu dia gunakan untuk memperdalam ciumannya. Pria itu bahkan melesakkan lidahnya ke dalam rongga mulut Kavia. 

Rintihan kecil Kavia lolos ketika tangan Javas menyentuh dadanya dan meremasnya dengan lembut. Sial! Dia berusaha menyingkirkan tangan kurang ajar pria itu, tapi tidak berhasil. Bahkan Javas berhasil menurunkan tali gaunnya. 

Mata Kavia melebar saat Javas menurunkan bagian atas gaun. Dia berusaha mendorong dada Javas, agar lelaki itu menghentikan aksi kurang ajarnya. Namun lagi-lagi gagal kala tangan besar Javas kembali menyentuh dadanya. Kavia seperti tersengat listrik ribuan killo watt. Merasakan secara langsung telapak tangan besar itu menangkup payudaranya. Reaksi tubuhnya tidak seperti yang dia harapkan. 

"Javas, hentikan," ucap Kavia dengan napas tersengal saat Javas memberinya jeda untuk bernapas. Namun alih-alih berhenti, pria itu kembali membungkam bibir Kavia. Wanita itu bahkan mendesah saat Javas memainkan puncak dadanya. Rasanya percuma melawan, Kavia sudah kehilangan tenaga. Pikiran warasnya juga sedang tidak berkerja dengan baik. Maka, ketika ciuman Javas turun ke perpotongan leher, dia hanya bisa mendesahkan nama pria itu. Pun ketika mulut Javas menenggelamkan puncak dadanya dan mengulumnya penuh kelembutan. 

Gelenyar aneh itu mengguyur sekujur tubuhnya. Kavia bisa merasakan bagian bawahnya lengket dan basah. Dan seperti mengerti kegelisahan wanita itu, tangan Javas lantas bergerak ke sana, melewati paha mulusnya yang terbuka lantaran gaun panjangnya sudah tersingkap tinggi. Kavia menengadahkan kepala seraya menekan kepala Javas agar makin tenggelam di dadanya saat pria itu berhasil menyentuh area bawah perutnya. Tidak tanggung-tanggung, pria itu melesakkan dua jarinya di sana sekaligus. Membuat Kavia menjerit. 

"Javas, stop," desah Kavia yang merasa kepalanya mulai pusing. Cumbuan dan sentuhan pria itu membuatnya kehilangan kendali. Dia tidak ingin berakhir di pelukan lelaki itu, tapi reaksi tubuhnya menghianati dirinya. 

Bola mata Kavia memutih. Sialan! Dia menikmati apa yang dilakukan pria itu. Dua tangan Kavia mencengkeram punggung sofa saat merasakan miliknya berdenyut begitu kencang. Kavia tahu dirinya akan segera mencapai kepuasan. Maka, dia tidak ingin menahannya lagi. Wanita itu menggeram, lalu memeluk Javas erat. 

"Javas, aku sam—pai." 
Lenguhannya mengudara, tubuhnya bergetar hebat beberapa kali di pelukan pria itu, dan dia berhasil melepaskan semuanya tanpa sisa. Oh, rasanya begitu lega. Kepalanya mendadak ringan meskipun jantungnya berdetak kencang. Secara berangsur suara desahannya melirih. Namun getaran yang berangsur meringan itu masih saja membuat sekujur tubuhnya merinding. 

Kavia membuang napas lega. Dia masih dalam posisi memeluk Javas. Dalam keadaan begini sejujurnya dia menginginkan lebih. Tapi.... 

"Aku nggak bawa pengaman," bisik Javas. Yang serta merta membuat Kavia menjauh dari pelukannya. 

"Pengaman buat apa? Sudah aku bilang kan aku nggak mau—" 

"Kamu menyukainya." Javas menarik dua jarinya yang tenggelam di milik wanita itu, lalu secara sengaja menunjukkan jarinya yang basah mengkilat itu ke depan Kavia. "Keluar begitu banyak." 

Melihat itu Kavia menelan ludah. Wajahnya pun kian memerah. Dia membuang tatapannya ke segala arah menghindari tatapan Javas. "Itukan reaksi yang wajar. Apalagi aku baru saja orgasme." 

"Tubuhmu cukup sensitif. Aku nggak yakin dengan ucapanmu yang nggak mau bercinta denganku." 

Kavia menunduk, demi apa pun dia malu. 

Javas menjepit dagu Kavia. Memaksa wanita itu untuk menatapnya. "Aku nggak keberatan kalau kamu butuh." 

Dan tindakan pria itu selanjutnya cukup membuat Kavia tercengang. Javas menjilat dua jarinya yang terkena cairan cinta milik Kavia dan mengulumnya sambil memejamkan mata. Dia terlihat menikmati dan tidak merasa jijik sama sekali. Kavia tidak pernah melihat yang seperti itu, bahkan Fabby tidak pernah melakukan itu. 

"Apa yang kamu lakukan?! Apa kamu nggak merasa jijik?" tanya wanita itu histeris dengan mata melebar. 

"Kenapa? Ini kan milik calon istriku." 

"Aku memang calon istri kamu, tapi aku bukan wanita yang kamu cintai." 

Mendengar itu Javas mendadak tercenung. Wanita itu masih saja bicara soal cinta, padahal gara-gara cinta itu dia terluka. Tiga tahun lalu Javas juga pernah memberikan cintanya pada seseorang, dan itu adalah penyesalannya yang paling besar. Tak akan pernah lagi dia membiarkan perasaan bodoh itu menguasainya lagi. 

"Sudah merasa baikan? Kalau sudah, aku akan mengantarmu pulang," ujar Javas segera mengakhiri percakapan mereka. Dia membantu Kavia membenarkan gaunnya lagi. Ibu jarinnya mengusap bibir wanita itu. "Lain kali nggak usah melawan kalau aku cium, jadi lipstik kamu nggak berantakan." 

Kavia menepis tangan Javas dan mendelik. "Ciuman kamu ganas. Sudah berapa lama kamu nggak berciuman?" 

Namun dengan iseng Javas melempar pertanyaan balik. "Kamu sendiri, sudah berapa lama nggak melakukan hubungan seksual?"

Brengsek! 

Javas tergelak ketika dengan kesal Kavia mendorong dadanya. Wanita itu turun dari pangkuannya dengan wajah cemberut. "Lebih baik kamu diam, dan cepat antar aku pulang," perintah wanita itu sambil membenarkan rambutnya yang berantakan. 

Javas beranjak berdiri lalu mencondongkan tubuh ke dekat Kavia. "My pleasure, Wife," desahnya lembut. Kecupannya dengan capat mendarat di pipi wanita itu, baru kemudian menjauh seraya tersenyum lebar. 

========+++=======

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris (11-14)
5
0
WARNING MATURE CONTENT (Bijaklah dalam memilih bacaan) Lantaran sakit hati karena tiba-tiba diputus sang pacar yang ternyata selingkuh dengan sahabatnya sendiri, Kavia Roemani Jagland menyetujui tawaran pernikahan seorang pria yang baru dikenalnya beberapa jam.Menikahlah denganku. Akan kubuat mantanmu menyesal sudah menyia-nyiakanmu.Siapa yang menduga jika pria yang akan menikahinya itu adalah pewaris tunggal dari keluarga konglomerat Wirahardja, Javas Rashaka Wirahardja yang kasak-kusuknya menyukai sesama jenis.Kavia kira menikah adalah solusi, tapi ternyata masalah yang jauh lebih besar datang. Apalagi ketika Javas menginginkan seorang anak dari rahimnya!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan