
Lantaran sakit hati karena tiba-tiba diputus sang pacar yang ternyata selingkuh dengan sahabatnya sendiri, Kavia Roemani Jagland menyetujui tawaran pernikahan seorang pria yang baru dikenalnya beberapa jam.
"Menikahlah denganku. Akan kubuat mantanmu menyesal sudah menyia-nyiakanmu."
Siapa yang menduga jika pria yang akan menikahinya itu adalah pewaris tunggal dari keluarga konglomerat Wirahardja, Javas Rashaka Wirahardja yang kasak-kusuknya menyukai sesama jenis.
Kavia kira menikah adalah solusi, tapi ternyata masalah yang jauh lebih besar datang. Apalagi ketika Javas menginginkan seorang anak dari rahimnya!
- Perintah Menikah
"Nikah?! Omong kosong apa ini?!"
Suara bariton itu naik satu oktaf. Mata pemilik suara itu melotot tak percaya. Spontan tangannya meremas kertas yang dia genggam dengan kesal. Dua alis tebal yang membingkai mata cokelatnya menyatu. Wajah tampannya memerah seketika. Javas Rashaka Wirahardja murka setelah membaca surat dari sang kakek yang memintanya untuk segera menikah.
"Bilang sama pria tua itu aku nggak mau menuruti perintahnya!" ujarnya kesal lalu melempar buntalan kertas yang dia remas ke arah pria dengan setelan jas abu yang berdiri di depannya.
"Presdir bilang warisan itu tidak akan pernah jatuh seutuhnya ke tangan Anda jika dalam satu bulan Anda belum membawa calon istri ke hadapannya," ucap Phil, nama pria berjas abu itu sembari masih mempertahankan senyumnya yang tenang.
"Damn it! Apa pria tua itu pikir mencari calon istri mudah?"
Phil tersenyum lagi, lantas bergerak maju untuk meletakkan amplop cokelat yang sedari tadi dia bawa. "Presdir menawarkan beberapa kandidat yang bisa Anda pilih di sini. Anda bisa mengencani mereka, lalu menentukan pilihan setelahnya."
"What?" Si tampan Javas mengusap wajah frustrasi. Dia menarik napas beberapa kali sebelum tangan kirinya menyambar amplop cokelat tersebut. Dengan malas, dia membuka ikatan tali amplop itu. Lalu mengeluarkan isinya. Berlembar-lembar foto wanita cantik kini tepat di depan matanya. "Apa kakek sudah gila? Aku disuruh mengencani wanita sebanyak ini?"
"Pilih salah satu yang Anda suka kalau begitu."
Lagi si pemilik rahang tegas itu membuang napas. Dilihatnya satu per satu foto-foto itu sampai akhir. Namun satu pun tak ada yang menarik di matanya. "Nggak ada yang menarik," tandasnya melempar foto terakhir.
Pria yang sudah bertahun-tahun menjadi asisten Javas itu menarik napas panjang. "Tidak heran kalau presdir mempercayai rumor yang beredar."
"Rumor apa?"
"Rumor kalau Anda penyuka sesama jenis."
"Are you kidding me?"
"Itulah yang saya dengar." Phil mengangkat bahu sambil membereskan foto-foto itu. Matanya menyipit ketika melihat salah satu wanita yang familiar. "Ini bukankah Aliya?" tanya pria itu sambil menunjukan foto itu pada Javas.
"Siapa Aliya?"
"Adik Amira."
Dengan cepat foto itu berpindah ke tangan Javas. "Apa iya?" Dia mengamati wajah di foto itu dengan seksama. Garis wajah itu memang mirip Amira. Namun senyumnya jelas beda. Sontak dia tertawa. "Fix, kakek benar-benar gila. Setelah gagal dengan kakaknya, aku ditawari mengencani adiknya. Sinting!"
"Tidak ada yang salah. Anda mau mencoba?" Alis Phil naik sebelah.
Namun cucu keluarga Wirahardja itu menggeleng tegas. "Sorry, aku tidak tertarik." Javas berdiri seraya melepas jas. "Kepalaku pusing aku mau cari angin."
"Semoga Anda beruntung."
Javas hanya tersenyum miring sambil mengayunkan langkah menuju pintu keluar. Dia tahu maksud kata 'beruntung' dalam kalimat asistennya itu. Agak menyebalkan memang. Selama ini dia menutup telinga perkara dirinya yang sudah lama sendiri. Tapi makin ke sana beritanya malah makin meresahkan. Penyuka sesama jenis mereka bilang? Itu jelas menyentil egonya sebagai pria sejati. Apollonya bereaksi melihat dada seksi, bukan dada berotot. Sialan!
***
Baru saja Javas keluar dari lift matanya menangkap adegan kekerasan. Dia sampai harus meringis mendengar bunyi keras telapak tangan seorang wanita yang mendarat sadis di pipi seorang pria. Dia bisa melihat wajah murka wanita itu, matanya melotot tajam seperti mau menerkam. Javas tidak peduli. Mungkin mereka hanya pasangan yang sedang bertengkar.
Langkah Javas langsung berbelok menuju koridor penghubung sebuah bar & cafe yang ada di rooftop gedung hotel yang dia pijak ini. Sebuah bar & cafe milik Erland, temannya, yang baru dibuka beberapa hari lalu. Dia melewatkan soft openingnya dan baru sempat datang malam ini.
Rooftop bar & cafe itu memiliki kubah kaca yang terbuka saat cuaca cerah seperti sekarang. Kubah itu akan bergerak menutup saat cuaca sedang tidak bersahabat. Saat masuk, Javas langsung suka dengan konsep yang Erland pilih itu.
Seorang pria tinggi dengan apron warna hitam di balik bar melambaikan tangan padanya. Dia Erland. Javas yang melihatnya langsung tersenyum dan dengan segera menghampiri pria tersebut.
"Akhirnya datang juga, Sob!" sapa Erland seraya mengangkat tangan memberi salam ala lelaki begitu Javas tepat di hadapannya.
"Sorry baru sempat ke sini." Javas mengamati suasana sembari duduk di salah satu stool. "Rame nih. Sukses kayaknya ini tempat."
"Thanks."
"Tiap hari begini?"
"Sejak buka seminggu lalu begini terus."
Javas menggeleng bangga. "Apa gue bilang. Sejak dulu harusnya lo incar tempat ini."
Erland tersenyum. "Kan harus cari modal dulu, Man."
Alasan klise yang sering Javas dengar. Padahal Javas tidak pernah keberatan jika Erland ingin dirinya berinvestasi pada bisnisnya.
"Oh ya? Mau minum apa? Gue traktir."
"Itu wajib. Yang enak di sini apa?"
"Well! Gue baru punya temuan racikan baru. Lo wajib coba karena ini pasti bakal enak banget."
Javas mengiyakan saja. Sambil menunggu Erland meracik minumannya dia memutar stool untuk melihat-lihat suasana bar ini. Ada live musik di sudut kafe. Di sudut lain ada gerombolan wanita yang tengah berhaha-hihi entah mengobrolkan apa. Lalu terlihat juga pasangan yang tengah menikmati hidangan kafe. Melirik ke meja lain Javas juga melihat---
"Sialan! Brengsek! Erland! Beri aku Smirnoff tanpa mix!"
Makian seorang wanita mengalihkan perhatian Javas. Ekor matanya melirik seseorang yang baru saja duduk di sebelahnya. Hanya terpaut satu stool sebagai jarak. Bukankah itu wanita yang di depan tadi? Wanita yang dengan sadis menampar pasangannya.
"Hei, What's up?" tanya Erland menanggapi wanita itu.
"Erland, Please," pinta wanita itu. Wajah gusarnya tidak bisa ditutupi.
"Oke, hanya satu sloki."
Diam-diam Javas memperhatikan wanita itu. Hidung wanita itu runcing jika dilihat dari samping. Dia memiliki rambut cokelat bergelombang sebatas punggung. Bibir merah mudanya terlihat mengkilap. Kulitnya putih dengan bentuk tubuh sedikit berisi. Lumayan seksi.
"Any problem, Pretty?" tanya Erland saat memberikan wanita itu satu sloki Smirnoff.
Javas sedikit terlupakan begitu wanita itu datang, untung dia sudah mendapatkan minumannya. Tiba-tiba saja wanita itu sesenggukan. Membuat Javas melirik di balik gelas minumannya. Dia menangis?
Erland langsung kalang kabut mencarikan wanita itu tisu. Dia terlihat khawatir. "Kamu bisa cerita pelan-pelan."
"Aku diputusin. Brengsek! Dia yang selingkuh aku yang diputusin!" ujar wanita itu lagi dengan nada sedih campur marah yang kental. "Dan kamu tau, siapa selingkuhannya? Sahabatku sendiri. Double kill banget kan?"
Wow, pantas saja pria tadi mendapat tamparan keras dari wanita itu. Diam-diam Javas memasang telinga. Merasa tertarik dengan sesi curhat wanita itu.
"I'm sorry to hear that, Honey. Aku yakin kamu bisa mendapat lelaki yang lebih baik daripada dia. Lelaki seperti itu nggak pantas kamu tangisi."
Sambil menyusut hidung mancungnya yang ikut berair, wanita itu mengangguk. "Ya, pasti itu. Aku bakal tunjukan sama pengkhianat-pengkhianat itu kalau aku bisa dapetin lelaki yang lebih baik segala-galanya. Makan tuh bekasku!"
Javas mengerjap saat melihat wanita itu langsung menandaskan isi slokinya dalam sekali teguk. Apa dia akan baik-baik saja? Satu detik, dua detik, sampai lima detik tidak ada yang berubah dari wanita itu. Javas pikir wanita itu bakal langsung mabuk.
"Satu sloki lagi, Please."
Erland menggeleng. "Aku buatin minuman lain. Sea breeze cocok buat hati yang lagi galau."
"Aku nggak galau! Aku bakal bikin dia menyesal udah mutusin aku dan malah bersama si pagar makan tanaman itu!"
"I know. Makanya jangan mabuk kalau kamu nggak galau."
"Satu botol vodka nggak akan bikin aku mabuk."
"Aku nggak mau berurusan sama Gyan."
"Dia lagi bucin sama calon istrinya. Nggak bakal ngurusin aku."
"Sorry, Dear."
Wanita itu menggeram jengkel. "Nyebelin banget sih. Aku obrak-abrik juga nih bar!"
"Kasih aja, Land. Gue yang tanggung jawab kalau dia mabuk." Akhirnya Javas angkat suara. Bibirnya melengkung ke atas saat wanita itu menoleh ke arahnya. "Hei, aku Javas," sapanya sembari mengulurkan tangan.
Wanita di depannya tidak langsung menyambut. Tatap birunya malah memperhatikan tampang Javas dengan seksama. Dari wajah, bola matanya bergerak turun ke bahu dan dada pria itu. Lumayan seksi dan tampan. Setelah sekian detik berlalu, barulah dia menyambut uluran tangan Javas.
"Kavia."
2. Sebuah Penawaran
Erland meninggalkan mereka saat seseorang membutuhkannya. Satu botol vodka sudah dia berikan kepada Javas. Pria berambut ikal itu juga sempat berpesan tentang Kavia yang biasanya tidak bisa menoleransi di gelas ketiga.
Sepeninggalnya Erland, Javas menuang vodka itu ke dalam sloki milik Kavia. "Kenal Erland di mana?" tanyanya sembari mendorong kembali sloki ke depan wanita itu.
"Dia teman kakakku. Kamu?"
"Erland teman satu kuliah dulu."
Kavia mengangguk dan mulai meneguk isi gelasnya lagi. Meski sedang sakit hati parah, dia tidak boleh mabuk atau jika Gyan—kakaknya—tahu dia bisa disidang di depan papi. Bisa-bisa papi menyuruhnya pulang ke rumah lagi.
"Jadi, lelaki itu mutusin kamu dan malah jalan sama sahabat kamu? Aku turut prihatin."
"Hei, nggak baik menguping pembicaraan orang."
Javas mengangkat bahu. "Kamu bicara sambil teriak. Telingaku masih normal anyway."
Wanita dengan rambut cokelat bergelombang itu mendecih. Dia agak malas dengan lelaki asing yang suka ikut campur urusan orang.
"Nggak heran kalau kamu gampar dia." Javas meraih minuman hasil karya Erland di depannya. Sebelum Kavia protes, dia mengimbuhi ucapannya lagi. "Aku baru keluar dari lift ketika tangan kamu mendarat di pipi lelaki dungu itu."
Mendengar itu Kavia berlagak tak peduli. "Memang dia pantas dapetin itu."
"So, apa yang akan kamu lakuin setelah ini?"
"Nggak tau. Mungkin liburan." Tatapan Kavia menerawang. Sakit di hatinya seperti berlapis-lapis. Dia tidak yakin apa liburan bisa membuatnya bangkit? Bohong kalau dia tidak galau. Dia galau parah sekarang, sampai rasanya ingin mati saja. Tapi, bukan Kavia kalau tidak pandai menyembunyikan segala lukanya.
"Aku punya penawaran menarik," ujar Javas. Pikiran itu seketika terlintas di benaknya saat melihat raut sedih yang sedang wanita itu sembunyikan. Javas tahu betul rasanya dikhianati seperti apa.
Kavia tersenyum mengejek. Dia tampak mengambil sesuatu dari dalam saku blazernya. Sebuah kotak persegi. "Semenarik apa sampai kamu nawarin itu?" tanya dia seraya mengeluarkan satu batang rokok dari kotak itu.
"Menarik karena tawaran ini bernilai besar."
Ujung rokok itu menyala saat api kecil dari pemantik membakarnya. Kavia mengisap ujung lain yang dia jejalkan ke mulutnya. Kepulan asap putih membumbung pelan saat napasnya berembus dari mulut. "Oh ya? Apa itu?" Mata biru Kavia menangkap seorang bartender yang mendorong asbak kecil ke arahnya.
"Aku sedang mencari perempuan yang mau bersedia menjadi istriku."
"Terus apa urusannya denganku?"
"Mungkin kamu berminat." Javas tersenyum penuh percaya diri.
Ini Kavia tidak salah dengar kan? Dia menyentil ujung rokok yang sudah menjadi abu ke asbak sebelum perhatiannya dia limpahkan pada pria di sampingnya itu.
"Ini aku harus bersyukur atau sedih sih? Aku baru aja diputus pacar, eh sekarang ada pria tampan nawarin aku jadi istrinya." Kavia menertawakan keadaannya yang benar-benar konyol. "Kenapa kamu nawarin itu ke aku? Lelaki kayak kamu nggak usah nyari juga perempuan-perempuan juga pada menyerahkan diri. Kecuali aku, off course."
"Mungkin kamu benar. Tapi mereka bukan jenis perempuan yang bisa diajak kerjasama. Menikahlah denganku. Akan kubuat mantan kamu menyesal sudah menyia-nyiakan wanita secantik kamu."
Ajakan Javas kali ini terdengar serius sampai Kavia perlu menatap lamat-lamat pria itu. Javas jenis pria yang tak cukup dipandang hanya sekali saja. Bahkan Kavia mengakui pria itu jauh lebih tampan dari Fabby, mantannya. Javas memiliki postur tubuh tinggi dengan otot dan urat yang bertonjolan di dada dan lengannya yang tertutup kemeja navy.
Dan dari printilan yang Javas kenakan, Kavia tahu pria itu mungkin punya pekerjaan bagus. Ambil contoh saja jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri pria itu. Itu Patek Philippe, Kavia tahu karena itu salah satu jam tangan koleksi papinya yang harganya gila-gilaan. Minimal direkturlah kalau aksesorisnya saja bisa semahal itu.
"Pantas aja tawaran itu bernilai besar." Lagi-lagi Kavia tertawa.
"Kita bisa buat kesepakatan kalau kamu tertarik. Satu tahun, aku cuma butuh satu tahun."
Bagaimana ya? Kavia itu cantik, tapi bukan jenis cantik wanita kebanyakan yang sering Javas lihat. Ada sesuatu yang berbeda yang membuatnya tertarik, entah itu apa. Dan sekilas melihat saja, Javas bisa tahu wanita itu juga cerdas. Bentuk tubuhnya sangat enak dipandang. Satu lagi yang menarik dari wanita itu yang baru Javas sadari beberapa saat lalu. Kavia memiliki mata biru yang Javas yakin bukan dihasilkan dari softlens. Itu biru asli.
"Menikah dengan kesepakatan kayak gitu sama aja kamu mempermainkan lembaga pernikahan."
"Kamu nggak tanya benefit apa yang bisa kamu dapat kalau jadi istriku?"
Kavia menengadah seraya membuang napas, tapi kemudian membiarkan Javas membeberkan keuntungan yang dia tawarkan.
"Aku akan menjamin kehidupan mewah selama kamu menjadi istriku tanpa perlu kerja keras. Mobil, rumah, belanja sesuka hati, liburan keliling dunia, dan juga saham perusahaan."
Anjir! Kavia menatap Javas tak percaya. Pria itu tidak lagi membual kan?
"Kalau kamu mau, asistenku akan mengurusnya segera," tambah Javas lagi. Membuat Kavia yakin bahwa Javas bukanlah pria sembarangan.
Siapa Javas sebenarnya? Direktur BUMN? Anak seorang pejabat? Atau founder start up? Atau memang Kavia yang terlalu meremehkan?
Bukannya apa, Javas tampak seumuran dengan Fabby. Dan di usianya saat ini Fabby hanya menempati posisi manajer di salah satu perusahaan bergengsi. Itu saja sudah pencapaian yang luar biasa.
Lalu siapa Javas yang berani menawarkan benefit seroyal itu? Pikiran Kavia mungkin terlalu sempit jika menjadikan Fabby sebagai tolak ukur pencapaian seorang lelaki yang kebetulan seumuran dengan mantannya itu. Tapi jujur, Kavia tidak tertarik dengan penawaran itu. Dia bisa mendapatkan itu semua dari papinya tanpa perlu menjerumuskan diri menikah dengan pria asing yang baru dikenalnya.
"Sori, tapi aku nggak tertarik." Kavia kembali menyesap rokoknya.
"Seenggaknya pikirkan reaksi mantan kamu nanti. Dia pasti nggak nyangka kamu bisa dapat pengganti secepat itu. Tunjukkan padanya, kalau dia nggak ada apa-apanya buat hidup kamu."
"Tapi nggak dengan nikah juga. Bisa aja kan kamu pura-pura jadi pacar baruku?"
Javas menggeleng. "Sayangnya yang aku butuhin di sini status pernikahan."
"Ya udah kamu ajak aja sana pacar kamu. Kenapa kamu ngajakin aku? Bahkan kita belum kenal lebih dari satu jam." Kavia berdecak. "Orang gila mana yang baru bertemu langsung ngajak nikah?"
Pria bermata cokelat itu tertawa. "Memang agak konyol sih. Tapi aku beneran bingung."
"Jangan sembarangan ngajak nikah orang, Bung. Gimana kalau aku cuma mau manfaatin keadaan?"
"It's ok. Tujuan kita memang saling memanfaatkan." Javas meminta sticky note dan sebuah bolpoin dari bartender. Dia lalu menuliskan sesuatu di sana. "Hubungi aku di nomor ini kalau kamu berubah pikiran." Dia menyobek satu lembar kertas kecil itu lalu menyerahkannya kepada Kavia.
Untuk menghargai usaha dan traktiran pria itu, Kavia menerimanya. Dan memasukkan carik kertas itu ke dalam saku blazer. "Thanks buat traktirannya. Aku mau balik." Dia mematikan rokoknya yang tinggal setengah lalu beranjak turun dari stool.
"Mau aku antar?"
"No, Thanks."
Dari posisinya Javas terus memandangi punggung wanita itu yang makin menjauh. Sudut bibirnya terangkat. Aneh rasanya bisa langsung tertarik pada wanita yang baru dia lihat. Javas bukan jenis pria yang gampang klik pada pertemuan pertama. Kalau saja tidak begitu, mungkin dia sudah berhasil mengencani puluhan wanita yang kakeknya pilihkan.
3. Menggalau
Bunyi 'klik' tanda kunci apartemen berhasil dibuka dari luar tidak membuat Kavia lantas bangun dari rebahan. Terlalu malas buat sekedar menyeret langkah untuk tahu siapa yang datang. Kalau bukan Gyan, paling Dian. Hanya dua orang itu yang dia amanahi password apartemennya. Bahkan papi sama maminya tidak.
Kavia makin merapatkan selimut. Kantuk masih bergelayut. Sudah dua hari ini dia mendekam di apartemen. Sengaja minta cuti dari kerjaan. Tidak ada yang dia lakukan kecuali makan dan tidur. Mandi pun cuma sekali sehari saking magernya.
"Ya ampuunnn! Kaviaaa!"
Dengan cepat Kavia menyambar bantal untuk menutupi telinganya. Suara menggelegar yang bisa mengguncangkan gedung apartemen itu dia yakini berasal dari living room unitnya. Dan siapa lagi yang bisa teriak dengan kekuatan penuh seperti itu kalau bukan sahabatnya?
"Perawan kok rumahnya kumuh, jorok gini! Ini apartemen apa tempat sampah?!"
'malas, Di.' Kavia cuma menyahut dalam hati. Dia yakin sebentar lagi Dian akan kembali merepet seperti petasan imlek.
"Kebiasaan banget, kalau putus cinta pasti sebelas dua belas kayak orang sinting. Rumah nggak diurus, baju kotor nyampir di mana-mana, sampah bekas snack bertebaran. Sakit hati sih sakit hati, Vi. Tapi lo tetep kudu jaga kebersihan tempat lo. Lo mau tempat ini jadi sarang nyamuk. Mau lo kena DBD, terus koit? Lo belum nikah, Vi. Emang lo nggak penasaran rasanya surga dunia? Nggak pengin punya anak-anak yang lucu.... Bla bla bla.... "
Kavia berada di kamarnya, tapi dia masih bisa mendengar omelan Dian di living room sambil terkantuk-kantuk. Hal seperti itu sudah biasa sejak mereka tinggal satu atap ketika menempuh pendidikan di Kanada. Omelan itu akan berhenti tepat ketika unitnya rapi kembali. Jadi, selama nyerocos ngalur-ngidul itu Dian sambil beres-beres kekacauan yang Kavia buat.
"Bangun lo!"
Kavia mengerang ketika selimutnya ditarik paksa. Jika Dian sudah membangunkannya, artinya bersih-bersihnya sudah selesai.
"Bangun, Mandi sana!"
"Ih mau apa sih mandi," sahut Kavia ogah-ogahan.
"Ya mandi biar badan lo nggak bau. Dandan yang cantik terus nongkrong. Tepe-tepe sama cowok ganteng plus tajir. Gaet mereka. Tunjukin kalau lo bisa cepet move on!"
Rasanya Kavia ingin memaki orang yang tengah berkacak pinggang di depannya ini. Dipikir nyari cowok itu gampang?
"Lo itu cantik, Kavi. Modal lo gede, perawatan mahal. Ditinggal cowok brengsek aja galaunya dua hari dua malam." Dian menarik paksa tangan Kavia sampai wanita itu terbangun. "Liat diri lo. Udah kayak zombie. Sadar, Vi! Sadaaar!"
Astaga! Sumpah ini berisik banget. Dengan terpaksa Kavia membuka matanya setengah. Sekarang dia bisa melihat dengan jelas cewek manis berbadan gemoy itu tengah melotot padanya.
"Nih! Baca!" seru Dian sambil mengacungkan sebuah kartu.
"Apaan?" tanya Kavia malas.
"Ini undangan pertunangan Fabby sama Mak lampir."
"Apa?" Kali ini mata Kavia terbuka sempurna dan langsung merebut undangan dari tangan Dian. Dengan tak sabar dia membuka undangan tersebut dan segera membaca isinya.
Setelahnya, tubuh Kavia terasa lemas seketika. Luka di hatinya yang masih menganga lebar seolah sengaja disiram air garam. Seakan belum cukup pengkhianatan yang mereka lakukan, kini keduanya malah makin memperpuruk dirinya.
"Ayo! Vi! Sadar! Move on! Ngapain lo begini buat orang yang udah nggak peduli sama lo. Jangan sia-siain air mata lo. Jangan sia-siain kehidupan lo yang pasti jauh lebih berharga daripada mereka." Dian mengguncang-guncang bahu Kavia ketika wanita itu tampak terkulai lemas.
"Ya udahlah, Di. Biarin aja. Moga mereka bahagia," sahut Kavia lemah seperti orang kehilangan tenaga. Lalu menjatuhkan kembali tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Lah biarin aja gimana? Ya lo bangun, gerak. Jangan kayak gini terus. Mereka nggak boleh bikin lo kayak gini."
"Emang gue mesti gimana? Sabotase acara mereka?"
"Ya enggak juga. Seenggaknya tunjukin ke mereka kalau lo baik-baik aja. Lo harus datang ke pesta pertunangan mereka."
Kavia menyatukan dua alis, menatap sahabatnya. "Lo mau lihat gue pingsan di sana?"
Seakan lelah menghadapi sahabatnya yang galau, Dian menepuk jidatnya sendiri. "Lo ke sana jangan sendirian atau sama gue. Bawa gebetan atau pacar baru."
"Masalahnya nyari di mana gebetan dan pacar baru itu?"
"Ya siapa kek lo bawa. Temen Gyan kan banyak bawa kek salah satunya." Tiba-tiba mata Dian berbinar. "Ah! Gue jadi ingat si ganteng Marsel. Lo bawa dia aja! Ganteng tajir, Fabby mah lewaat."
"Dih, ogah! Gue nggak mau berurusan sama si penjahat kelamin itu."
"Tapi dia cowok yang masuk akal. Yang lebih segala-galanya dari Fabby."
Kavia menggeleng tegas. Bahkan Gyan melarang dirinya berdekatan dengan anak konglomerat dari keluarga Wiratama itu, saking bejadnya. Dua sahabat itu meluruhkan bahu seraya mengembuskan napas berat.
"Gue di sini aja. Biarin mereka bahagia," ucap Kavia pasrah kendati sakit di hatinya terasa makin dalam.
Dian menepuk tangan Kavia pelan. Dia prihatin dengan sahabat satu-satunya itu. "Sabar ya."
"Sebentar!"
Tiba-tiba Kavia teringat sesuatu. Dengan cepat dia melompat dari tempat tidur dan bergerak ke keranjang cucian kotor. Membuat Dian bingung melihat tingkahnya. Pasalnya Kavia saat ini malah mengaduk-ngaduk isi keranjang yang belum sempat dia bawa ke laundry.
"Ketemu!" teriaknya kemudian.
Dian sampai mengernyit melihatnya. "Apaan?"
Senyum Kavia terulas lebar sembari menunjukkan secarik sticky note pada Dian. "Mungkin ini jawaban."
Dengan cepat Dian merebut sticky note tersebut. "Nomor siapa?"
"Nomor cowok ganteng," ujar Kavia sembari mengingat pertemuannya dengan pria bernama Javas dua hari lalu di kafe Erland. "Namanya Javas."
"Serius? Siapa dia?"
Itu masalahnya. Kavia tidak tahu apa-apa tentang pria itu selain rupanya yang tampan dan penawarannya yang cukup ajaib.
"Gue nggak tau. Gue ketemu tanpa sengaja di kafe Erland di malam Fabby mutusin gue."
"Ganteng mana sama Fabby?"
"Kalau ngomongin fisik, cakep cowok itu sih. Cuma..."
"Kok ada cumanya?"
Mengalirlah cerita pertemuannya dengan pria bernama Javas itu tanpa Kavia tutupi sama sekali termasuk penawarannya.
"Aneh juga ya?" komen Dian setelah Kavia selesai cerita. "Kalau dia seganteng itu dan tajir melintir kenapa dia kayak orang putus asa nyari istri? Random banget minta lo jadi istrinya padahal baru pertama ketemu."
"Itu juga yang gue pikirkan. Lagian gila nggak sih kalau gue tiba-tiba nikah sama orang yang baru pertama gue kenal?"
"Dia nggak gay kan?"
Pertanyaan Dian membuat Kavia baru sadar akan hal itu. Benar juga. Siapa tahu ajakan menikah pria itu untuk menutupi orientasi seksnya yang menyimpang. Astaga, sayang sekali orang setampan Javas gay.
"Gue nggak tau. Menurut lo apa gue perlu hubungi dia?"
Wanita dengan postur gemoy di depan Kavia tampak berpikir. "Nggak ada salahnya dicoba. Siapa tahu dia jawabannya."
Keduanya saling melempar pandang sebelum tersenyum dan segera merapat untuk menghubungi nomor itu. Dengan hati-hati Kavia mengetik angka di layar ponselnya lantas menarik napas panjang sebelum menekan tombol calling.
Tersambung!
Dengan hati berdebar keduanya menunggu panggilan itu diangkat. Hanya dua kali nafa dering lalu....
"Halo... Dengan siapa saya bicara?"
Suara empuk itu mengudara melalui saluran ponsel milik Kavia. Dian sampai menutup mulutnya agar tidak teriak mendengar suara berat nan empuk itu.
"Halo, aku Kavia. Malam itu kita bertemu di kafe Erland."
Jeda. Pria di seberang sana tidak bersuara lagi. Mungkinkah dia tak ingat? Namun....
"Oh... Ya, kamu. Jadi? Kamu berubah pikiran untuk menerima tawaranku?"
Eh?
4. Sebuah kontrak
Mungkin ini terlalu impulsif. Namun telepon singkat kemarin malam itu membawa Kavia bertemu lagi dengan Javas. Dian terus mendukungnya untuk bertemu dengan pria itu. Bukan di tempat Erland seperti waktu itu. Kali ini mereka bertemu di salah satu restoran yang berada di kawasan sebuah industri estate di pinggiran kota.
Kavia langsung bisa melihat pria itu ketika memasuki restoran. Javas terlihat lebih menonjol dibandingkan pengunjung lain sehingga wanita itu bisa dengan cepat menemukannya.
"Aku nggak tau kalau ada restoran di kawasan industri begini," ujar Kavia begitu sampai di meja Javas.
"Makanya aku meminta kita bertemu di sini agar kamu tau. Silakan duduk," sahut Javas sopan. Tidak seperti malam itu yang lebih santai, outfit Javas siang ini terlihat begitu sopan.
"Ini seperti kita sedang melakukan transaksi rahasia. Bertemu di kawasan yang menurutku kurang..." bola mata biru itu bergerak, mengedar ke sekeliling. "ramai."
Javas tertawa. Jenis tawa membuatnya semakin tampan seperti malam itu. "Pertemuan ini memang rahasia," ucapnya berubah jadi serius. Namun sejurus kemudian, pria itu tersenyum hangat. "Oke, kamu mau pesan apa?"
"Jadi apa yang membuatmu berubah pikiran?" tanya Javas setelah urusan pesan makanan selesai.
Tiba-tiba wajah Kavia mengeras. Dadanya merasakan kembali ngilu yang luar biasa mengingat undangan pertunangan sang mantan. "Aku ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan," ujarnya dingin. Mata birunya penuh kabut dendam.
Tanpa sadar bara api yang bisa Javas lihat di mata wanita itu membuat bibirnya melengkung. "Aku pasti akan membantu misimu, selama kamu membantu misiku juga."
"Sebenarnya ada misi apa di balik pernikahan yang kamu mau?"
Javas tersenyum kecil. "Aku nggak punya kewajiban untuk menjawab itu. Tapi aku bisa menjamin kamu nggak akan rugi menikah denganku."
Misterius sekali. Mata Kavia menyipit. "Aku nggak akan menikahi bos mafia kan?" Otaknya mungkin terdengar novel banget, tapi siapa tahu Javas ini pimpinan gembong narkoba atau pembunuh berdarah dingin. Benefit yang pria itu tawarkan tidak main-main. Wajar kan kalau Kavia curiga?
Sekali lagi Javas tertawa. Dia tampak mengambil sesuatu dari dalam kantong jasnya. Selembar kartu nama yang lantas dia letakkan di atas meja dan didorong ke arah wanita itu. "Ini kartu nama dan pekerjaanku."
Kavia langsung meraih kartu nama itu dan membacanya dengan seksama. Dia cukup tercengang dengan jabatan yang pria itu miliki dan perusahaan besar yang menaunginya. Javas Rashaka Wirahardja dengan gelas dua master di belakang namanya, saat ini menduduki jabatan sebagai CFO perusahaan besar HYOT. Siapa yang tidak tahu perusahaan yang memiliki anak cabang di mana-mana itu? Tidak heran pria itu menawarkan kemewahan.
Kavia berdeham sesaat setelah membaca kartu nama itu. Dirinya juga bukan wanita sembarangan. Dia juga lulusan magister bisnis di UBC, ya meskipun bukan cum laude seperti kakaknya. Dan sekarang pun dirinya menempati posisi yang lumayan bergengsi di perusahaan properti sang papi. Meskipun kerap kali Gyan bilang jabatannya itu hanya formalitas. Sialan. Dia benar-benar bekerja. Otaknya tidak sejongkok itu.
Baiklah, sekarang Kavia sudah memastikan pria di hadapannya menang level soal karir daripada sang mantan.
"Percaya kalau aku bukan mafia?"
"Itu hanya sebuah kartu nama kan?"
"Setelah bertemu kakekku nanti, kamu juga akan kuperkenalkan ke jajaran direksi perusahaan."
Sontak saja hal itu membuat Kavia ternganga. "Memang harus?"
Anggukan Javas terlihat begitu serius. "Itu yang paling penting. Mereka harus tahu aku memiliki istri."
Mata biru itu mengerjap. Sepertinya ini bukan permainan ringan. Apakah dia harus tetap maju? Atau...
Bunyi notif pesan masuk mengalihkan perhatiannya. Dengan segera Kavia menggulir layar ponsel. Pesan dari Dian lengkap dengan sebuah foto yang dikirim.
Dian : sent picture
Dian : Tanpa beban banget mereka berdua di mal. Rasanya pengin gue sleding mulut mereka.
Rasanya seperti ada yang menikam tepat di ulu hati ketika melihat foto Fabby dan si pengkhianat itu berciuman. Kavia memejamkan mata seraya menarik napas panjang. Menghalau hawa panas yang menyeruak masuk ke dadanya.
"Makin cepat kita menikah, itu makin baik," ucap Kavia setelahnya.
***
"Ada lagi yang ingin kamu tambahkan?" tanya Javas setelah memberi waktu pada Kavia untuk membaca isi perjanjian pra nikah yang asistennya buat.
Semua pasal yang Kavia baca tidak ada yang memberatkan. Larangan memiliki hubungan dengan pria lain selama masa pernikahan juga bukan masalah bagi Kavia.
"Aku tidak mau melakukan seks," ujar Kavia. Itu memang tidak tertuang dalam perjanjian, tapi ada pasal yang menyebutkan mereka tidur dalam satu kamar yang sama.
Untuk beberapa saat Javas terdiam. "Kenapa?"
"Aku tidak bisa melakukannya dengan orang yang tidak aku cintai."
Bisa dimengerti. "Oke. Aku hanya akan melakukannya kalau kamu yang minta. Tapi kita akan tetap tidur di kamar yang sama."
"Dengan satu bed tambahan."
"Are you kidding me?"
"Aku nggak bisa jamin kamu nggak akan menyerangku saat tidur."
Javas tampak menarik napas panjang. Lantas dengan terpaksa mengangguk. "Oke. Phil akan mengurusnya."
Keduanya lantas menandatangani kontrak itu di atas sebuah materai. Perjanjian itu praktis berlaku setelah mereka mengikrarkan janji pernikahan nanti dua minggu dari sekarang. Namun Kavia lupa tindakan impulsifnya itu berdampak pada keluarganya. Tidak mungkin dia menikah diam-diam tanpa keluarganya tahu. Mau tak mau dia harus mengenalkan sosok Javas ke tengah-tengah keluarganya.
"Menikah?!" Suara Delotta—maminya—melengking saat Kavia memberitahu rencana pernikahan dadakan itu.
Bukan hanya Delotta yang dibuat syok. Daniel dan Gyan yang berada di ruang sama pun tak kalah terkejut.
"Jokis kamu nggak lucu, Vi," respons Gyan. Dia tahu adiknya suka iseng dan agak bandel, tapi dia tak menyangka keusilannya sekarang ini benar-benar terdengar menyebalkan.
"Sayang, kamu nggak serius kan?" tanya Daniel, papinya, yang tampak paling bisa mengendalikan ekspresi.
"Dua Minggu lagi. Lusa dia berencana datang untuk melamar Kavi ke papi."
"What?!" seru Gyan tertahan. Yang berencana menikah itu dirinya, kenapa jadi adiknya nyerobot begini? Dia mengusap wajah menahan geram. "Kamu jangan main-main ya, Vi? Apa yang merasuki kamu?"
"Sebelumnya kamu nggak pernah mengatakan apa pun ke kami. Tapi kenapa tiba-tiba membawa kabar mengejutkan begini?" Delotta tampak cemas. Pikirannya mulai menduga-duga ke hal negatif. "Kamu nggak apa-apa kan, Nak?" tanya wanita itu hati-hati.
Daniel melambaikan tangannya. "Come here, Baby," pintanya pada anak keduanya itu.
Kavia menurut. Dia mendekat dan duduk di antara Daniel dan Delotta. Dua tangannya meremas ujung dress yang dia pakai.
"Kavi Sayang. Apa kamu tau pernikahan itu apa?" tanya Daniel lembut. Yang disambut anggukan putrinya itu. "Pernikahan itu sebuah keputusan besar di hidup seseorang. Secara batin dan lahir kita harus punya kesiapan matang sebelum menjalani itu. Pernikahan itu bukan permainan."
"Aku tau, Pi. Tapi aku beneran nggak main-main."
"Sayang." Kali ini Delotta meraih tangan putrinya dengan perlahan. "Nggak terjadi sesuatu sama kamu kan, Nak?" tanya wanita itu hati-hati.
"Kalau mami menyangka aku hamil. Aku berani mami periksa sekarang. Aku nggak hamil, Mam."
Delotta menggigit bibir, tatapnya beralih kepada suaminya, lalu bergulir ke putra pertamanya. Dia bingung menyikapi persoalan ini.
"Siapa laki-laki itu? Fabby?" tanya Gyan menyipitkan mata.
"Bukan."
"Siapa, Nak? Mereka dari keluarga baik-baik kan?" tanya Daniel ikut penasaran.
Sebelum menjawab, mata serupa milik Daniel itu menatap berganti sang mami, papi, juga Gyan. "Javas. Namanya Javas Rashaka Wirahardja."
Gyan di depannya mengernyitkan kening. Dia belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Kecuali...
"Wirahardja dari HYOT?" tanya Daniel menyipitkan mata birunya yang masih saja bersinar di usianya yang terbilang senja.
"Papi tahu?" Mata Kavia melebar. Jika sang papi tahu itu artinya Javas memang dari keluarga baik-baik.
Daniel memundurkan badan perlahan lantas mengangguk. "Kalau memang dia serius. Papi tunggu kedatangannya besok lusa," pungkas Daniel, yang langsung membuat Kavia mengembuskan napas lega.
5. Si Tuan Takur
Mungkin kakek tua itu seumuran Daniel, papinya. Atau bisa jadi lebih. Uban putihnya menutupi hampir semua kepalanya. Bahkan jambang dan kumisnya yang melintang pun berwarna putih. Mata legamnya yang terbingkai alis lebat itu menatap begitu tajam. Agak mengerikan seperti Tuan Takur Sing di serial India yang sering Bi Sari—asisten rumah tangga di rumah Kakek Ricko—tonton dulu jaman Kavia masih kecil.
Malam ini Javas membawa Kavia ke rumah besar Kakek Javendra. Kakek yang menurut Javas sering berseberangan dengan dirinya. Dari sini Kavia tahu betapa kaya rayanya keluarga Wirahardja itu. Rumahnya serupa penthouse milik almarhum Nani di Florencia. Jika dibanding Fabby yang berasal dari keluarga biasa jelas mantannya itu kalah telak. Tapi Kavia mencintai pria biasa brengsek itu. Jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih ingin bersama Pria bedebah itu.
Deheman keras membuat Kavia tersentak. Dia segera sadar dari kenyataan bahwa dirinya saat ini berada di ruang tamu besar keluarga Wirahardja. Javas di sebelah mencolek sedikit lengannya dan menunduk seraya berbisik.
"Sapa kakek."
Kavia menelan ludah gugup. Lalu segera mengangguk. Tangannya terangkat dan melambai penuh semangat. "Halo, Kakek. Saya Kavia, saya calon istri Javas. Senang bertemu kakek," sapa Kavia dengan wajah ceria dan senyum lebar.
Namun keceriaannya berubah canggung kala tidak ada tanggapan sedikit pun dari si kakek. Orang-orang di sekitarnya pun tampak ikut mengheningkan cipta. Apa sapaannya tadi salah? Bahkan Javas di sebelahnya pun diam saja. Kavia jadi bingung.
"Selamat malam." Akhirnya si Tuan Takur bersuara. Suara yang berat dan dalam.
Entah bagaimana ceritanya suara itu mampu membuat kuduk Kavia meremang. Benar-benar suara keramat.
Tidak lebar seperti tadi, kali ini Kavia tersenyum kikuk. "Selamat malam, Kek."
"Kita makan malam dulu," ucap Kakek Javendra tegas, lantas berbalik diikuti oleh seorang yang sejak tadi berdiri di sampingnya. Mungkin asisten pribadinya.
"Aku nggak tau kalau kakekmu semenyeramkan ini," bisik Kavia, mencondongkan badan mendekati Javas.
"Kamu kan baru mengenalnya. Daripada menyeramkan, dia lebih ke menyebalkan."
Kavia melotot mendengarnya. Cucu macam apa Javas ini mengatai kakeknya sendiri menyebalkan? Kavia juga punya kakek, tapi ganteng dan ramah meskipun sudah tua. Tapi orang tua memang kadang menyebalkan sih.
Makan malam ini terlalu formal. Tidak ada suara selain denting sendok dan garpu. Suasana macam apa ini? Namun yang menjadi pertanyaan di benak Kavia adalah di mana orang tua Javas berada? Kalau pria lain mengenalkan calon istri lebih utama ke orang tuanya terlebih dulu, tapi Javas malah membawanya ke rumah sang kakek.
Meja makan panjang ini terasa sunyi. Jika bukan karena pelayan-pelayan yang berkeliaran di rumah ini, Kavia yakin rumah besar ini sudah mirip sebuah pemakaman.
"Jadi kapan kalian menikah?" tanya Javendra setelah makan malam itu usai.
Saat ini ketiga orang itu berada dalam sebuah ruangan yang lebih privasi. Bahkan asisten sang kakek diminta keluar lebih dulu.
Kavia mengernyit mendengar pertanyaan itu. Semendesak itukah pernikahan ini?
"Rencananya dua minggu lagi, Kek," sahut Javas.
"Dua Minggu? Apa tidak bisa lebih cepat lagi?"
Hampir saja rahang Kavia terjatuh. Mau secepat apa lagi memangnya?
"Kakek mencoba menantangku lagi?" Rahang Javas tampak mengeras. Dia tahu Kakek sedang marah padanya lantaran dia menolak semua kandidat yang kakeknya pilihkan.
"Kenapa? Bukankah makin cepat makin baik? Kamu tidak bisa mempersiapkan rencana pernikahanmu sendiri? Masih perlu bantuan kakek?" Suara itu terdengar begitu meremehkan. "Sebenarnya apa yang bisa kamu lakukan tanpa kakek, Javas?"
Javas meremas arm rest kursinya dengan erat. Pria tua itu selalu saja membuat kepalanya mendidih. "Kakek tidak perlu mencemaskan itu," ucapnya menyeringai. "Aku bisa mengurus semuanya."
"Memang seharusnya begitu kan?" Alis lebat Kakek terangkat. "Kamu yang memilih wanitamu sendiri, maka kamu pula yang akan mengurus semuanya sendiri." Tatapannya beranjak kepada wanita di samping cucunya yang masih saja diam. "Siapa nama kamu tadi?"
Kavia terperanjat. Dengan gugup dia menjawab, "Ka-Kavia, Kek."
"Cucuku memberi imbalan apa padamu sampai wanita secantik kamu mau menikah dengannya?"
Pertanyaan itu sama sekali tidak pernah Kavia duga. Alih-alih menanyakan tentang bibit bebet bobot, pria tua itu menanyakan sesuatu yang sulit untuk Kavia jawab.
"Ka-kami tidak—"
"Omong kosong apa ini? Aku sudah memenuhi keinginan kakek, tidak bisa kah kakek memuluskan jalan kami saja?" sela Javas terlihat kesal. "Asal kakek tahu." Javas tiba-tiba meraih tangan Kavia dan menggenggamnya. "Kami menikah karena saling mencintai. Jadi, kakek tidak perlu melontarkan pertanyaan yang tidak masuk akal."
Javendra terdiam seraya memandangi wajah cucunya yang penuh emosi. Lagi-lagi pria tua itu masih melihat sikap kekanakan Javas. Banyak pertimbangan yang membuatnya tidak bisa langsung segera menyerahkan hak waris pada cucunya itu. Dengan sikap yang emosianal seperti itu Javas bisa dikalahkan dengan mudah oleh para pesaingnya. Javendra jelas tidak akan membiarkan itu terjadi.
"Baik." Javendra mengangguk. "Lakukan apa yang kamu mau."
***
"Sekarang kamu tau kan betapa menyebalkannya pria tua itu?"
"Hei, pria tua itu kakek kamu. Nggak sopan." Kavia mendengus. "Hubungan kalian tidak akur?"
Javas terdiam. Dua tangannya memegang erat kemudi. Mata cokelatnya lurus memperhatikan jalanan. Dulu hubungannya dengan sang kakek sangat harmonis. Semua menjadi menyebalkan ketika Javas beranjak remaja dan kakek terlalu banyak memberinya aturan. Terlebih setelah peristiwa itu.
"Kamu melihatnya seperti itu?"
Kavia mengangkat bahu. "Percakapan kalian yang membuatku berkesimpulan begitu. Aku juga punya kakek, dan hubungan kami nggak berjarak seperti kamu dan kakekmu."
Javas tidak menjawab. Dia hanya merespons dengan senyum kecil. Jujur Javas juga menyesali hubungannya sekarang dengan pria tua keras kepala itu.
"Dan aku minta maaf kalau lancang. Kenapa kamu tidak mengenalkan aku sama orang tua kamu? Mereka—"
"Kedua orang tuaku meninggal ketika usiaku 15 tahun," potong Javas yang langsung membuat Kavia menyesal.
"Javas, Sori. Aku nggak bermaksud...."
"It's okay. Kamu wajar bertanya. Aku nggak masalah. Mereka meninggal karena kecelakaan ketika aku sedang mengikuti kegiatan kemah bakti. Ibu sempat melarangku ikut, mungkin seandainya aku menurut dia nggak akan mengalami kecelakaan itu bersama Ayah." Javas menelan ludah. Penyesalan terbesar di hidupnya sampai saat ini dia belum bisa patuh sepenuhnya pada sang Ibu.
Remasan di pundaknya membuat Javas makin memegang erat kemudi.
"Jangan menyalahkan diri sendiri. Mereka pergi karena memang sudah takdir. Tidak ada kata 'seandainya' jika Tuhan sudah berkehendak," ucap Kavia. Dia tidak pandai menghibur, entah darimana kata-katanya itu meluncur. "Jangan cerita lagi kalau itu membuat kamu sedih." Kavia menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. "Mungkin sebaiknya kita memikirkan bagaimana cara mempersiapkan sebuah pernikahan dalam waktu sesingkat ini."
Senyum Javas kembali mengembang. "Kamu nggak perlu pusing, Phil akan membuat pernikahan kita sangat istimewa. Jadi, kamu bisa menunjukkan pada mantan dan sahabatmu itu kalau penghianatan yang mereka lakukan tidak akan bisa membuatmu terpuruk sedikit pun."
Terdengar sempurna. Kavia sangat ingin menunjukkan itu pada mereka. Kehilangan Fabby tidak membuatnya rugi sama sekali. Semua akan mengira dialah yang meninggalkan Fabby demi bersama pria yang lebih baik. Harga dirinya terselamatkan. Seperti kata Dian, Kavia tidak layak disingkirkan oleh seorang Fabby, apalagi demi wanita bermuka dua seperti Jemma.
=============
Welcome to the Jagland Family. Sudah tahu kan Kavia itu siapa? Aku tunggu dukungan teman-teman dan ulasannya. Happy reading.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
