Garis Batas #UnlockNow ( Part 29-30 )

1
0
Deskripsi

Pangeran Archad dari Kerajaan Yemliha sudah cukup umur untuk menikah. Ratu Adriene mengusulkan seorang putri cantik dari Kerajaan Siberia.

Namun, Pangeran enggan menuruti perjodohan itu karena dia mencintai seorang wanita yang bukan dari bangsanya. Jelas saja hal itu sangat ditentang oleh Ratu Adriene.

Ratu memberi waktu kepada pangeran untuk melupakan Erina (perempuan yang pangeran cintai) sebelum raja kembali untuk menyambut rombongan dari Siberia.

Bisakah Pangeran Archad mempertahankan cintanya mengingat dunianya dan Erina sangatlah berbeda?  

Part 29 - Pasrah

Erina tengah mengayuh sepeda dengan santai ketika melihat beberapa orang sedang berada di depan pintu rumahnya. Satu di antaranya adalah pria yang dia kenal. Pria yang tempo hari menagih utang ayahnya. Sudah tiga kali ini mereka mendatangi rumah Erina guna menagih utang.

Wanita berambut cokelat itu kontan tersadar bahwa hari ini adalah batas akhir tenor yang diberikan orang Siberia itu. Mendadak tungkai Erina lemas. Dia bingung apa yang harus dia lakukan sekarang. Sebelum orang-orang Siberia itu menyadari kedatangannya, dengan cepat Erina memutar stang sepeda. Dia hendak kabur.

Namun, baru saja akan bergerak menjauh seorang pria menghadang. Erina nyaris jatuh dari sepeda jika kakinya tidak refleks memijak tanah.

Pria di hadapannya menyeringai. "Kamu mau kabur, Nona manis?"

Seolah ketiban sial, Erina mengembuskan napas berat. “Saya tidak kabur. Saya mau membeli sabun di toko kelontong depan,” bantah Erina dengan aie muka dibuat setenang mungkin.

Pria yang Erina tahu bernama Alexvo itu mengangkat sebelah alis, tak percaya. "Oh ya?"

"Ya, tentu saja."

Pria itu mengangguk-angguk. "Tapi mungkin sebaiknya kamu tunda dulu. Karena ayahku sudah lama menunggumu. Ada hal penting yang harus kita bahas."

Sesaat Erina merasa menyesal sudah pulang ke rumah. Seharusnya dia bertahan di toko untuk beberapa lama lagi. Namun, siapa yang menyangka jika orang-orang Siberia itu datang lagi. Dengan sangat terpaksa Erina pasrah saja ketika Alexvo menggiringnya pulang ke rumah.

"Kalian kenapa bisa bersama?" tanya Victor, ayah dari Alexvo. Lelaki tua yang sudah sejak setengah jam lalu menunggu kepulangan Erina.

"Oh, kami bertemu di depan," sahut Alexvo tersenyum kecil seraya melirik Erina.

Tanpa menanggapi ucapan Alexvo,  Erina merogoh tas selempangnya. Dia mencari kunci rumah. Mudah baginya menemukan kunci itu di antara printilan di dalam tas.

"Silakan masuk," ucap wanita itu seraya membuka pintu rumah setelah sebelumnya berhasil membuka gembok.

"Kalian tunggu di luar saja," ucap Victor kepada anak buahnya sebelum masuk.

Di ruang tamu sempit rumah Erina, mereka duduk saling berhadapan. Victor duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu berukir, ada alas empuk di bagian tempat duduknya. Alexvo berada di sisinya. Sementara Erina duduk menghadap mereka.

"Maaf sebelumnya Tuan Victor." Erina membuka percakapan pertama kali. Dia tahu betul tujuan orang-orang itu menemuinya. "Saya tahu tenor yang Anda berikan sudah berakhir, tapi maaf karena saya tidak bisa melunasi utang itu sekarang. Tapi saya juga tidak bisa menikah dengan putra Anda. Jadi, saya mohon agar Anda memberi saya waktu lagi. Saya janji akan lebih berusaha."

Wanita bermata biru itu menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Mau diancam sampai mati pun, jumlah yang mereka inginkan tidak ada.

Victor mengangguk. Harapan Erina pria itu bisa memahami kondisinya.

"Baik. Seperti yang sudah aku katakan padamu waktu itu. Utang ayahmu sudah banyak mendapat toleransi. Sampai kapan aku harus menunggu lagi? Sesuai kesepakatan dengan ayahmu, kalau dia tidak mampu membayar utangnya. Maka kamu harus siap dijodohkan dengan anakku. Itu yang tertulis dalam perjanjian itu."

Harapan Erina hanya angan-angan ketika Victor mengucapkan kalimat panjang itu.

"Kamu jangan takut. Kami tidak akan membebankan biaya apa pun di pernikahan itu. Kamu hanya perlu duduk di sisi Alexvo saat proses pernikahan itu berlangsung."

"Tapi, Tuan kami tidak saling mencintai, bahkan kami tidak mengenal satu sama lain." Erina mencoba membantah.

"Kalian akan lebih mengenal setelah menikah, cinta akan tumbuh setelah itu. Yakinlah dengan ucapanku," ujar Victor lagi. Dia menatap tajam wanita berkulit putih itu. "Atau kalau kamu masih tetap tidak mau, kami bisa membawa masalah ini ke jalur hukum."

Lagi-lagi pria itu mengancam, membuat Erina tidak berkutik. Sepertinya memang tidak ada cara lain selain menerima perjodohan itu. Sontak mata wanita itu terpejam. Dalam bayangannya dia melihat sosok ibu dan ayahnya yang sudah tiada.

Tidak ada lagi tempat mengadu. Dirinya hidup sebatang kara, dan harus menanggung suatu akibat dari perbuatan yang tidak pernah dia lakukan.

"Satu Minggu dari sekarang kamu hanya perlu mempersiapkan diri. Setelah menikah, kamu akan aku bawa ke Siberia," ucap Alexvo menyeringai. Akhirnya, dia bisa menikah dengan wanita yang sudah sejak pandangan pertama berhasil merebut hatinya.

"Bolehkah saya meminta syarat?" tanya Erina dengan kepala menunduk. Dua tangannya meremas kain rok yang dia kenakan.

"Harusnya tidak. Tapi, oke. Kamu mau minta mahar apa?" tanya lelaki berambut ikal yang akan menjadi calon suami Erina itu.

"Bukan. Ini bukan tentang mahar. Tapi, apakah boleh pernikahan itu dilakukan di sini? Di rumah ini?"

Sudut bibir Alexvo menyeringai lebar. "Syaratmu sangat mudah. Tentu boleh. Apa kamu mau kita mengadakan pesta di sini juga?"

"Saya tidak mengharapkan itu."

Victor menyela kemudian. "Kami setuju. Dan tidak ada salahnya jika rumah ini dihias layaknya rumah yang akan mengadakan kenduri besar."

"Itu tidak perlu, sungguh," ujar Erina meyakinkan. "Saya cuma ingin orang tua saya yang sudah tiada bisa melihat pernikahan anaknya di rumah ini." Nada suara Erina melemah di ujung kalimat. Dia benar-benar sudah berada di titik pasrah.

"Baiklah. Orang-orangku nanti akan membersihkan dan merias rumah ini. Seseorang juga akan mengukur baju pengantin kalian. Satu lagi, sebaiknya kamu keluar dari Toko itu."

Kali ini Erina mengangkat wajah. "Itu tidak bisa saya lakukan, Tuan. Saya memiliki tanggungan utang pada pemilik toko."

"Utang itu akan kami lunasi. Besok izinlah untuk tidak bekerja lagi," ucap Victor, membuat serta-merta Erina menahan napas.

Jika boleh, dia lebih ingin tetap membayar utang Eshaq, dan utang dari orang Siberia dianggap lunas oleh mereka. Namun, tentu saja itu tidak mungkin terjadi.

Erina mengembuskan napas pelan. Seminggu dari sekarang entah hidupnya akan seperti apa.

Victor dan anak buahnya pamit setelah mengatakan tujuannya. Namun, putranya Alexvo memilih tetap tinggal.

"Kamu lebih cantik jika rambutmu tergerai," ujar Alexvo, membuat bola mata indah Erina bergulir padanya.

Kata-kata pria itu sama sekali tidak menggetarkan. Yang ada Erina kesal karena pria itu tidak kunjung pulang.

"Tidak ada yang bisa Anda lakukan di sini. Sebaiknya Anda pulang," usir Erina secara halus. Jujur, dia tidak nyaman dengan keberadaan pria itu.

Pria tampan berambut ikal itu terkekeh. "Kamu mengusirku, Nona? Sebentar lagi kita akan jadi suami istri. Bukannya lebih baik kita saling mengakrabkan diri?"

Erina tidak menjawab. Tidak ada keinginan sedikit pun untuk mengakrabkan diri. Dia berdiri dan beranjak ke dapur. "Anda mau minum sesuatu?" 
Seandainya dia bisa meracuni manusia itu.

"Boleh. Apa pun yang calon istriku suguhkan."

Wanita bermata biru itu menghela napas dan tidak menghiraukan ucapan Alexvo. Dia bergerak memasak sedikit air dan menyeduh teh chammomile. Saat hendak mengambil teh, tatapnya tanpa sengaja melihat bungkus makanan kucing yang masih tersegel rapi.

Mendadak Erina teringat dengan pria bermata jingga yang dia temui di senja hari. Archad. Pria berambut keperakan yang anehnya tidak bisa menghilang dari ingatan wanita itu.

 

 

Part 30 - Kenangan

Rasa lelah bergelayut membuat Erina tidak banyak bicara. Kepalanya pun mendadak penuh membayangkan akan hidup dengan orang yang tidak dia kenal selama ini.

Pria yang akan menjadi calon suaminya itu terus menceritakan tentang negerinya. Tidak pernah terpikirkan sedikit saja Erina akan menikahi pria asing dari negeri jauh.

"Aku ingin mengajakmu melihat bulan purnama di langit Siberia. Di sana bulan purnama terlihat lebih besar daripada di sini," ucap Alexvo sembari menunjuk bulan yang hendak memasuki fase bulan baru.

Mata Erina bergulir ke atas langit yang gelap. Bulan berbentuk sabit akhir bisa terlihat dari jendela kamarnya. Namun, dia sama sekali tidak tertarik. Daripada dia melihat bulan purnama di Negeri Siberia lebih baik dia melihat bulan di tepi Sungai Kizilirmark bersama Carlos.  

"Bukannya bentuk bulan di mana-mana sama saja?" sahut Erina tampak bosan. Sudah hampir satu jam Alexvo berada di rumahnya. Dia mulai bosan dan mengantuk.

"Memang benar. Tapi dari kemiringan bumi, tiap-tiap bulan yang terlihat di suatu tempat bentuknya berbeda-beda."

Masa bodoh. Erina tidak peduli.

"Begitu ya? Saya kurang tahu."

"Kamu tidak perlu bicara seformal itu padaku. Kita tidak akan lama lagi menikah. Aku ingin kita lebih terlihat akrab."

"Iya, baiklah." Erina menutup mulutnya yang menguap lebar. Dia sengaja melakukan itu di depan Alexvo agar pria itu tahu dirinya sudah tidak kuat menahan kantuk.

Usahanya itu berhasil ketika akhirnya Alexvo berdiri. "Sepertinya kamu lelah. Lebih baik kamu istirahat. Besok akan aku antar kamu menemui pemilik toko sekaligus membayar lunas semua utang ayahmu di sana."

Tidak ada yang bisa Erina lakukan. Dia  berdiri dan mengikuti langkah Alexvo yang hendak keluar rumah.

"Jika kalian berbaik hati melunasi utang ayahku di Toko Eshaq kenapa kalian tidak membiarkan utang ayahku pada kalian juga lunas?" pertanyaan itu spontan keluar dari mulut Erina ketika Alexvo sampai di beranda rumahnya.

Pria berambut ikal itu berbalik lalu senyumnya mengembang. "Utang itu akan lunas jika kamu menikah denganku. Kurang baik apa keluarga kami? Utang lunas dan kamu dapat bonus suami tampan seperti aku," sahut Alexvo dengan tingkat percaya diri yang luar biasa tinggi.

Wanita bermata bulat di hadapannya tidak menjawab. Wajahnya yang kuyu tapi cantik itu tampak kesal. Namun, ekspresi yang Erina tunjukkan malah membuat Alexvo terkekeh.

"Kamu makin cantik jika sedang cemberut seperti itu." Alexvo mencondongkan wajah ke depan. Tangannya terulur menyentuh pipi Erina. "Selamat malam," ucapnya lalu berbalik dan pergi.

Bahkan ketika disentuh pria itu Erina tidak merasakan debar apa pun. Hatinya terlanjur memiliki pikiran buruk tentang pria Siberia itu.

Erina tidak menghiraukan perasaannya yang datar kepada pria itu. Dia segera menutup pintu lalu bernapas lega. Udara yang dipenuhi oksigen seolah kembali mengelilinginya.

"Aku tidak menyukai pria itu. Bagaimana mungkin kami menikah?" desahnya.

Langkahnya bergerak masuk kamar. Lalu menghampiri nakas yang terdapat pigura dirinya ketika masih berusia sepuluh tahun, saat di mana kedua orang tuanya masih ada dan lengkap.

Erina duduk pelan sembari menatap pigura itu. Dia mengusap permukaan berlapis kaca itu pelan.

"Ayah kenapa sih Ayah meninggalkan banyak utang yang tidak sanggup aku bayar? Karena utang-utang ayah itu aku harus rela menikah dengan laki-laki yang tidak aku cintai," gumamnya, berbicara pada wajah sang ayah di pigura. Dia lantas menatap wajah sang ibu. "Bu, apa yang harus aku lakukan? Bahkan mereka akan membawaku pergi dari Yemliha."

Dada Erina mendadak sesak. Meskipun dia tidak memiliki saudara di Yemliha, dan hidup sebatang kara, tapi kota ini adalah tanah lahirnya. Dia dibesarkan di kota ini dengan penuh suka oleh ayah dan ibunya. Banyak kenangan manis tersimpan di Yemliha.

Walaupun orang tuanya sekarang sudah tidak ada lagi, setidaknya dia masih bisa memeluk kenangan itu.

Satu tetes air mata Erina meluncur membasahi pipinya. Beberapa detik berikutnya dia merasa sedih karena menyadari dirinya tidak memiliki siapa-siapa tempatnya berbagi keluh kesah. Erina menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan meringkuk di sana. Di tengah rasa lelah lantaran seharian bekerja serta rasa pusing memikirkan pernikahan yang bukan impiannya, dia jatuh tertidur. Harapannya, saat bangun nanti dia berada di dunia ketika ayah dan ibunya masih ada.

***

Pesta rakyat Negeri Kucing Yemliha dimulai. Semua menyambut antusias pesta yang diadakan kerajaan sebagai permulaan perhelatan suci pernikahan agung Putra Mahkota dengan Putri Siberia.

Setiap hari, pihak kerajaan memesan menu makanan dalam jumlah besar untuk mendukung pesta tersebut. Semua bersuka cita dan sangat antusias dengan acara itu, kecuali Archad tentu saja.

Hari ketiga dirinya terkurung di istana, dia mulai beraksi. Dua pengawal di depan pintu berhasil dia perdaya sehingga dengan mudah dia lolos dari pintu kamar yang selalu dijaga ketat itu.

Archad tidak berniat kabur dari istana. Dia hanya ingin menyelinap ke kamar sang ayah, Raja Altan. Archad tahu ayahnya serta Raja Alyusha tengah berkeliling ke pesta rakyat tersebut, sehingga pejantan anggora itu menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin.

Senyum kucing bermata jingga itu menyeringai ketika sudah berada di dalam kamar. Tujuan dia satu, memasuki sebuah ruang rahasia milik Altan yang ada di balik lukisan bergambar nenek moyangnya.

Seperti dugaannya, kamar Altan bersih. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya aliran air taman buatan di dekat sebuah meja yang menyebabkan kebisingan. Air taman buatan itu terlihat alami dan indah.

Kembali Archad melanjutkan tujuannya setelah mengitari kamar Altan dengan bola mata jingganya. Dia menggeser pigura besar yang membingkai gambar nenek moyangnya. Di balik pigura itu terdapat sebuah pintu besi yang dilengkapi dengan kunci yang berupa angka-angka dalam abjad romawi.

Altan pernah memberitahunya password pintu itu dulu, ketika Raja Yemliha itu pamit pergi berpetualang.  

Dan beruntungnya, password itu belum berubah, sehingga Archad bisa memasuki ruang rahasia itu dengan mudah.

Ruang rahasia itu gelap meskipun hari di luar terang benderang. Pencahayaan sangat minim. Hanya dari sebuah lampu redup, yang tampak bergelantungan di langit-langitnya. Walaupun tidak begitu terang, mata Archad cukup awas.

Archad menuruni sebuah tangga yang menuju ke arah bawah. Dia bergerak pelan dan hati-hati. Ketika sampai di ujung tangga, matanya berbinar melihat benda-benda berharga di depan sana. Menyebar di hampir semua bagian sisi dinding.

Archad mengeluarkan sebuah kantong, lantas dia memenuhi kantong itu dengan koin emas yang berhamburan di sepanjang lantai, berkumpul dengan benda-benda berharga lain yang jika dijual maka nilai jualnya akan tinggi.

Setelah dirasa cukup, Archad segera kembali dari ruang yang penuh kilau itu. Dia sudah memiliki bekal untuk menolong Erina dari jeratan utang yang menyiksa hidup wanita itu. Koin emas sebanyak ini lebih dari cukup untuk membayar keseluruhan utang-utang ayah wanita itu.

Kucing keperakan itu menyeringai, tapi ketika berbalik dan hendak menuju pintu keluar dia dikejutkan oleh seekor kucing betina yang secara tiba-tiba berdiri di depannya.

Jantung Archad hampir saja melompat dibuatnya. Dia bahkan sampai refleks mundur beberapa langkah karena kaget.

"Archad? Sedang apa kamu di sini?"

 

Kira-kira siapa yang nge-gap Archad?

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Garis Batas
Selanjutnya Garis Batas #UnlockNow ( Part 31-32 )
1
0
Pangeran Archad dari Kerajaan Yemliha sudah cukup umur untuk menikah. Ratu Adriene mengusulkan seorang putri cantik dari Kerajaan Siberia.Namun, Pangeran enggan menuruti perjodohan itu karena dia mencintai seorang wanita yang bukan dari bangsanya. Jelas saja hal itu sangat ditentang oleh Ratu Adriene.Ratu memberi waktu kepada pangeran untuk melupakan Erina (perempuan yang pangeran cintai) sebelum raja kembali untuk menyambut rombongan dari Siberia.Bisakah Pangeran Archad mempertahankan cintanya mengingat dunianya dan Erina sangatlah berbeda?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan