
Musibah sekali buatku memiliki bos setan seperti dia. Hampir setiap hari kena semprot. Tampang boleh oke, tapi attitude minus, Gaes. Amit-amit jabang bayik kalau aku sampai jatuh cinta sama dia. Ogah banget!
-Arvia Reikanastida-
Aku akan membuatnya pusing dan bingung. Setelahnya akan aku tarik dia ke dalam pelukanku.
-Fredric Ramon Milanov-
Via nggak tau lagi bagaimana harus bersikap karena nyaris tiap hari kepalanya dibikin kemebul oleh Bos setan macam Ramon. Ada saja yang membuatnya bertahan lama-lama...
3. Sabar
"Thanks juga ya buat kiriman singkong Thailandnya," ujarku lalu kembali menyantap makan siang.
"Singkong Thailand apaan? Gue nggak kirim makanan apa pun selain makan siang ini," ujar Mohan, membuatku serta-merta menghentikan suapan.
"Lah, kalau bukan lo siapa dong? lo satu-satunya orang yang gue curigai. Kan lo jago bikin singkong thailand."
"Iya, tapi bukan gue. Orang tadi pagi gue sibuk di bengkel. Ini aja yang masak bukan gue. Makanya gue suruh karyawan gue yang ambil mobil lo."
Aku mengerutkan kening. Jadi, kalau bukan Mohan siapa dong?
"Mungkin mantan lo kali," celetuk Mohan.
"Pran? kayaknya nggak mungkin deh."
Mantanku yang bernama Pran nggak hobi kirim kejutan apalagi hal yang berbau manis. Dia itu pria lurus dengan tingkat membosankan yang luar biasa tinggi. Makanya aku nggak bisa lama bertahan dengannya.
"Kan dia masih ngarepin balikan sama lo. Bisa aja kan dia berubah jadi romantis seperti yang lo mau," ujar Mohan beranalisa.
"Mustahil sekali. Selain nggak romantis dan nggak peka, dia itu sok sibuk, mana punya waktu dia buat ngirim beginian ke kantor gue?"
Mohan mengedikkan bahu. "Siapa tahu, kan?"
Di saat Mohan sibuk makan dengan lahap, aku malah sibuk berpikir siapa yang kirim singkong Thailand itu. Mungkin aku perlu menginterogasi OB nanti.
"Makanan gue udah habis. Gue balik ya," ujar Mohan setelah minum air mineral pada botolnya.
Aku mengangguk saja, dan masih sibuk menerka-nerka siapa orang yang tepat aku tuduh sebagai pelaku. Dari divisi marketing sampai HRD, aku absen satu per satu nama yang berpotensi melakukan itu. Biar gimana juga aku lumayan popular di Eaglefood. Nggak jarang aku sering menerima salam dari beberapa lajang Eaglefood.
"Vi, jangan bengong! Gue balik dulu."
Aku tersentak saat Mohan tiba-tiba menabok keras bahuku. Untung makanan yang aku pegang nggak loncat.
"Iya, sana balik," usirku sebal.
Aku kembali melanjutkan makan. Kali ini aku melakukannya dengan cepat karena jam istirahat siang tinggal sepuluh menit lagi. Aku belum sempat ke toilet untuk berdandan. Setelah makan siangku habis dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, aku bergegas meninggalkan taman dan beranjak menuju toilet.
Aku yang nggak bisa hidup tanpa make up, berasa ada yang kurang jika sehari saja nggak ada gincu menempel di bibirku. Kata Lila sih aku memiliki kecantikan alami yang nggak perlu ditutupi dengan pulasan bedak. Tapi, aku tetap tidak percaya diri. Apalagi di tanggal rawan. Biasanya akan muncul jerawat muka yang sangat merusak pemandangan.
"Hai, Via. Makin cakep aja," sapa salah seorang cowok yang berpapasan denganku.
Aku cuma melambaikan tangan dan tersenyum sejenak. Hal seperti ini sudah biasa buatku. Hanya Pak Ramon, lelaki single yang imun dari pesonaku. Hobinya yang suka marah-marah bikin aku ingin menggantung lehernya di depan pintu divisi.
Lila sudah sibuk di depan komputer saat aku masuk. Tumben sekali dia sudah ada di sana. Biasanya dia telat meskipun hanya lima menit. Jika keterlambatannya itu diakumulasikan sebenarnya keterlambatanku tadi pagi nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia.
"Jangan rajin-rajin. Gaji lo nggak bakal naik," ujarku saat kembali ke kursi.
Lila hanya melirik sejenak sebelum kembali fokus ke layar di depannya. "Pak Ramon minta laporan hari ini lebih cepat dikirim."
"Cuma punya lo kan? Gue enggak?"
"Nggak tau. Tanya aja sendiri sama orangnya."
"Dih, ogah banget. Kerjaan tadi pagi aja gue belum selesai."
Pintu ruangan kabag terkuak, sosok bos setan yang aslinya tampan itu muncul. Matanya memindai isi ruangan. Lalu berhenti tepat ketika menemukanku. Aku bergegas menghindari tatapannya. Aku nggak mau kena sasaran omelannya lagi.
"Sepuluh menit dari sekarang, bawa laporan kamu ke ruangan saya, Via."
Aku ingin mengumpat pelan saat itu juga mendengar dia bicara. Tepat saat dia kembali masuk, umpatanku itu mengudara cukup keras.
"Bangs... &*%^$#!"
"Mulut ya mulut," tegur Farhan di belakangku. "Mending lo cepet kerjain deh. Sepuluh menit bukan waktu yang lama, Nona Via."
Aku menggeram kesal. Di antara banyaknya manusia di kantor ini, kenapa harus aku yang dijadikan sasaran? Kan nyebelin.
Aku mengerjakan laporan yang tinggal setengah dengan kekuatan super. Sepuluh jariku, aku manfaatkan semua. Dan, dalam waktu kurang dari sepuluh menit laporan dalam bentuk kertas itu sudah aku bundel dalam satu dokumen. Aku beranjak ke ruangan Tuan Besar Ramon yang terluknuct.
"Masuk!"
Suara besarnya terdengar beberapa saat setelah aku mengetuk pintu ruangannya. Aku mendorong pintu pelan. Dan hal pertama yang aku temui di ruangan itu hanya satu. KESURAMAN.
"Permisi, Pak." Aku menyelinap masuk dan menutup pintunya kembali. Mendekati Pak Ramon yang ada di kursi kebesarannya, aku menyodorkan laporan yang aku buat.
"Ini laporan hasil penjualan kemarin yang Bapak minta. Sudah saya input dan balancing."
Pak Ramon masih sok sibuk di depan laptopnya. "Taruh di situ," ucapnya tanpa melihat ke arahku.
Aku menurut dan meletakan dokumen di mejanya. Lantas bergerak mundur hendak keluar lagi. Tapi ...
"E-eh, mau ke mana kamu?"
Aku menghentikan langkah dan mengerutkan kening bingung. "Kembali ke meja saya, Pak."
"Memang kamu dengar saya menyuruh kamu keluar?"
"Enggak sih, Pak."
"Ya udah. Tetap di situ. Jangan ke mana-mana sebelum aku suruh."
"I-iya, Pak."
Dan, aku nggak dipersilakan duduk sama sekali. Sementara dia kembali sibuk dengan pekerjaannya. Kalau dia selembar kertas sudah aku gilas-gilas, remas-remas, dan aku lempar ke tong sampah.
Sepuluh menit aku berdiri dan belum ada tanda-tanda dia mengakhiri pekerjaannya. Kakiku sudah terasa pegal, tapi pria di depanku masih anteng-anteng saja.
"Pak, masih lama enggak? Masih banyak kerjaan lain yang harus saya kerjakan," tanyaku mencoba membuat makhluk terkutuk itu sadar.
Pak Ramon mendongak, mata birunya langsung menatapku. "Sori, saya lupa kalau masih ada kamu di sini."
What?
Rasanya sia-sia saja aku tertahan di ruangan ini. Bagaimana dia bisa melupakan aku yang segede gaban di hadapannya? Aku memasang tampang masam sedemikian rupa. Kedua tanganku benar-benar gatal ingin mencekiknya.
Namun, seolah tidak peduli dengan wajah kesal yang aku tunjukkan, Pak Ramon dengan santai memintaku duduk. Seandainya dia bukan atasanku, sudah aku lempar heels tujuh senti yang aku pakai ini ke kepalanya.
"Memang kamu nggak pegal berdiri terus dari tadi?" tanya Ramon tanpa rasa bersalah. "Kursi itu berfungsi buat kamu duduki."
Aku juga tahu! Tapi masalahnya Anda diam saja dari tadi! teriakku dalam hati.
Aku malas menyahut dan memutuskan duduk saja. Daripada sumpah sarapahku menyembur ke mukanya, urusannya pasti akan lebih ribet.
Pak Ramon tampak mengecek laporan yang aku kasih. Membacanya dengan serius tanpa berkomentar seperti biasanya. Lalu terakhir dia mengambil pena dan membubuhkan tanda tangan di sana. Yang artinya laporanku diterima. Tumben sekali.
"Kamu boleh keluar," ucapnya kemudian.
"Tidak ada yang perlu saya revisi, Pak?"
"Nggak ada. Pekerjaanmu bagus."
Aku mengerjap. Baru kali ini dia memuji pekerjaanku. Baiklah, setidaknya rasa kesalku padanya berkurang sedikit.
"Oke, Pak." Aku kembali meraih laporan itu. Lalu pamit undur diri. Namun ...
"Via!"
"Ya?" Spontan aku memutar badan padahal tanganku sudah akan meraih gagang pintu.
"Lelaki yang di taman tadi itu pacar kamu?"
4. Kencan Buta
Aku membiarkan telepon pintarku terus bergetar di atas meja. Aku tahu pasti siapa pelakunya. Mama. Pesannya sejam lalu belum aku balas. Terlalu malas karena isinya pasti mengingatkan aku agar datang tepat waktu ke tempat kencan buta yang sudah Mama rencanakan.
Aku nggak paham, kenapa Mama selalu saja berusaha menjodohkan aku dengan anak dari teman-temannya? Ya, baiklah. Usiaku sudah di ambang akhir angka dua puluhan. Usia yang banyak orang bilang rawan bagi wanita yang belum menikah. Tapi, please deh, itu bukan akhir dari segalanya. Aku lelah meminta Mama untuk mengakhiri kegiatannya memamerkan aku pada teman dan koleganya. Tidak akan pernah Mama dengar. Dan, sekarang lihat! ponselku terus saja bergetar dengan layarnya yang bercahaya.
"Heh, nyokap lo tuh! Durhaka banget lo nggak angkat panggilan dari nyokap," tegur Lila yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangku.
Aku yang masih sibuk menghadap layar monitor komputer tidak peduli. "Biarin aja. Males gue."
"Kenapa sih?"
"Lo yang kenapa, jam segini belum pulang, emang lo nggak dicariin laki lo?"
Lila meringis. "Rafael lagi ke Surabaya. Jadi, ya nggak bakal ada yang nyari."
Rafael, direktur keuangan perusahaan ini. Seandainya lelaki mentereng itu bukan anak bos besar, mungkin saja posisinya dulu sebagai kepala bagian enggak akan pernah diganti dengan sosok pria menyebalkan seperti Ramon.
Aku mendengus. "Pantas saja jam segini masih di kantor."
"Tuh, lihat ponsel lo nyala lagi. Angkat dulu, barang kali penting."
Aku masih tidak peduli dan terus memainkan jariku di atas kibor komputer. "Nggak ada yang penting, paling juga cuma ngingetin gue soal kencan buta itu."
Lila melebarkan mata. "Jadi, lo masih sering kencan buta?"
Reaksi Lila berlebihan. "Kalau enggak karena nyokap, gue ogahlah dateng ke kencan buta itu. Kesannya gue bener-bener cewek nggak laku sampai harus dicariin jodoh begitu," sungutku sebal, Mama beneran keterlaluan sih.
Bukannya prihatin, Lila malah tergelak. Dasar teman nggak ada akhlak.
"Masa dari sekian cowok pilihan nyokap lo, nggak ada satu pun yang nyantol sih, Vi? Emang nggak ada yang bagus gitu?" Lila menarik kursi dan duduk di sebelahku padahal wanita itu sudah bersiap hendak pulang.
Aku mengangkat bahu. "Nggak ada. Pokoknya aku nggak mau sampai jadi sama cowok rekomendasi Mama itu. Gue bisa nyari sendiri kali."
Lagi-lagi Lila tergelak. Dia baru berhenti tertawa saat mataku menatapnya lekat-lekat.
"Ups, sori."
Aku kembali memainkan jemariku dengan lincah di atas tuts. Memasukkan data entry satu per satu faktur dan invoice dari beberapa pemasukan dan pengeluaran perusahaan.
"Oke, jadi kali ini kalian mau ketemuan di mana?"
"Nyokap bilang sih di Loewy."
Lila manggut-manggut. "Ya udah, mending tutup file lo, terus siap-siap."
"Rencananya sih gue mau mangkir."
"Heh, jangan. Siapa tau pilihan nyokap lo kali ini tipe lo. Emang lo nggak mau buktiin ke cowok India itu kalau lo juga bisa move on dari dia?"
Aku memundurkan kursi lalu menatap menantu big boss itu. "Nggak ada sangkut pautnya sama Mohan. Lagi pula gue udah lama move on, masih lo ungkit aja."
"Siapa tau aja. Tiap pacaran lo kan nggak pernah berhasil lantaran hati lo masih condong ke dia."
Aku mendengus. "Sok tau. Udah, mending lo balik sana. Jangan ganggu gue ngerjain ini. Datang atau enggaknya gue ke kencan buta itu ditentukan cepat enggaknya gue nyelesein kerjaan ini," ujarku menunjukkan tumpukan invoice di atas meja.
Lila langsung berdiri. "Oke, kalau gitu gue cabut. Good Luck," ucapnya menepuk pelan bahuku sebelum pergi.
Aku membuang napas kasar lantas kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terdistraksi gara-gara Lila. Kantor sudah sangat sepi, hanya tinggal OB yang terlihat mondar-mandir. Sepertinya cuma aku yang bertahan di ruang sempit kubikel ini.
Mama menelepon lagi tepat saat pekerjaanku selesai. Aku baru saja meregangkan otot-otot yang kaku lantaran terus duduk sepanjang hari. Meski malas, aku akhirnya menggapai benda pipih yang terus bergetar itu.
"Vi, kamu nggak lupa kan?" tanya Mama sebelum aku sempat mengucapkan salam.
Aku mendesah. "Iya, Ma. Ini bentar lagi aku jalan. Kerjaanku baru selesai."
"Jangan sampai telat loh, Vi. Kasian Bima kalau harus nunggu kamu lama."
"Iya, kalau enggak macet ya aku nggak bakal telat. Mama kan tau Jakarta kayak apa."
"Tapi kamu usahakan dong datang cepat. Jadi, nggak bakal kena macet."
"Iya, iya. Kalau mama ngomong terus begini, kapan aku berangkat?"
"Oke, oke. Cepat ya, Vi."
Astaga, Mamaku nggak sabaran banget. Kayak jarak Kuningan dari sini dekat aja.
Aku sengaja tidak meng-upgrade penampilanku. Aku ingin memberi kesan buruk pada kencan pertama, seperti biasanya di kencan-kencan sebelum ini. Wajahku pasti seperti wajan yang diolesi minyak goreng, mengkilat. Tapi, bodo amat. Setelah membereskan meja kerja, aku bergerak keluar kantor.
Aku memesan ojek daring alih-alih memesan taksi. Jam segini pasti lagi macet-macetnya lalu lintas. Daripada aku kena omelan Mama karena membiarkan teman kencanku pulang sebelum bertemu, lebih baik aku naik ojek yang bisa selap-selip sana sini.
Restoran yang terletak di Jalan Lingkar Mega Kuningan itu tidak terlalu ramai saat aku sampai. Aku langsung disambut seorang pelayan restoran wanita yang menanyakan perkara reservasi.
"Sebentar, Mbak." Aku merogoh ponsel dan memastikan nama orang yang akan menjadi teman kencan butaku pada pesan yang Mama kirim. "Reservasi atas nama Bima Anggara, Mbak."
Pelayan itu tersenyum dan mengangguk. "Mari silakan, Bu."
Pelayan restoran itu membawaku ke bagian dalam restoran dan menunjukkan padaku meja yang sudah ter-reservasi atas nama Bima. Meja itu masih kosong, itu artinya laki-laki itu belum datang. Sial. Kenapa harus aku sih yang pertama datang? Aku nggak mau dia mengira akulah yang paling antusias di sini. Padahal aku sudah sengaja ditelat-telatin datangnya, ternyata dia yang paling telat. Hmm.
Dan, sudah hampir sepuluh menit aku duduk manis di meja ini, batang hidung lelaki bernama Bima itu tidak muncul juga. Tahu akan begini, aku nggak mau repot-repot meluangkan waktu.
Notifikasi chat masuk terdengar. Nama Mohan lengkap dengan isi chat tampil di pop up layar ponselku.
Mohan : [ Lo belum balik?]
Baru akan mengetik balasan. Suara seseorang yang menyebut namaku dengan nada ragu terdengar. Refleks aku menoleh ke belakang. Seorang pria matang berperawakan tinggi besar dengan muka sebening kaca tampak menatapku.
"Iya. Kamu Bima?"
Pria itu mengangguk kecil, langkahnya lalu beralih menuju ke kursi di seberangku. "Iya, saya Bima."
Aku memperhatikan dengan seksama penampilannya. Ciri khas pria metroseksual. Tinggi badannya hampir sama dengan Mohan. Hanya saja dia memiliki tone kulit yang cerah dengan wajah sekinclong porselen ala-ala oppa Korea.
Aku yang sengaja tidak meng-upgrade make-up jadi merasa minder sendiri.
"Sori, bikin kamu menunggu lama. Tadi ada urusan sebentar. Oke, mau pesan langsung?" tanya pria itu dengan suara yang terdengar sangat empuk ala-ala penyiar radio ibu kota.
Aku mengangguk. "Boleh."
Dengan sopan dia memanggil pelayan restoran. Aku masih mengawasinya diam-diam, memperhatikannya saat berinteraksi dengan pelayan restoran. Aku akui dia memiliki good attitude. Jika dibandingkan dengan Pak Ramon, jelas bos setan itu kalah jauh.
Aku mengerjap. Kenapa aku membandingkan Bima dengan lelaki setengah gila itu?
"Jadi, kamu bekerja di Eaglefood?" tanya Bima, setelah pelayan yang mencatat pesanan kami pergi.
"Iya." Dia lumayan interaktif di pertemuan pertama. Dan itu membuatku urung melakukan hal yang menyebalkan. Mungkin Lila benar, siapa tahu pria di hadapanku ini cocok. "Kamu sendiri kerja di mana?"
"Aku punya usaha sendiri sih."
Good looking, body goal, good attitude, dan punya usaha sendiri. Benar-benar paket lengkap.
"Oh ya? Usaha apa?" tanyaku, merasa menyesal sudah meragukan kandidat Mama kali ini. Dan, sialnya aku nggak mempersiapkan diri sama sekali.
"Usaha kecil-kecilan sih, cuma barber shop dan coffee shop."
Dahiku mengernyit. Tidak kedengaran elit, tapi aku menghargainya. "Franchise?"
Bima mengangguk. "Kamu tahu Barberbims? Atau Kopi Janji Kita?"
Aku melebarkan mata. "Jangan bilang kamu owner-nya?"
Bima tidak mengiyakan, tapi aku tahu dugaanku benar. Ternyata dia tidak bisa dianggap remeh. Aku tahu benar kedua nama brand itu, tapi nggak menduga kalau lelaki di depankulah pemiliknya.
"Kamu hebat, muda dan mandiri."
Ganteng dan sopan. Untuk dua kata itu cuma aku sebut dalam hati saja.
Semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja sampai makanan kami datang. Lalu kami mulai makan malam dan sesekali mengobrol hal-hal ringan soal pekerjaan dan minat.
Aku merasa menemukan mate yang tepat. Obrolan kami nyambung dan seru. Biasanya kandidat yang Mama kirim selalu membuatku tak nyaman, tapi Bima pengecualian. Ya, setidaknya sampai kami menghabiskan isi piring kami masing-masing. Karena setelahnya, pria itu membuat pengakuan yang sangat mengejutkan. Yang lumayan membuatku patah hati seketika. Padahal aku sudah merasa cocok dengannya.
"Aku minta maaf," ucap Bima seraya menunduk. Sikap percaya dirinya yang dari awal dia tunjukkan lenyap tak bersisa. "Tapi, aku beneran nggak bisa melanjutkan ini. Aku hanya menuruti apa kata ibuku untuk bertemu denganmu dan meninggalkan kesan baik di depanmu."
Aku menelan ludah kecewa. Rasanya sulit dipercaya. Bima itu sempurna, tapi ...
"Aku kira tadi kita bisa lanjut, karena aku merasa cocok," ujarku tersenyum getir. Tenggorokanku rasanya tercekik.
"Kita cocok sebagai teman kurasa."
Teman? Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya. Mencoba memahami situasi ini, meski jujur aku teramat syok.
"Lihat, lelaki di ujung sana, yang mengenakan kemeja flanel biru."
Aku menoleh ke belakang, mengikuti arah pandang Bima, dan aku bisa langsung menemukan lelaki yang Bima maksud. Lelaki itu sebelas dua belas penampilannya dengan Bima. Wajahnya juga tampan. Namun ....
"Dia pacarku. Kami sudah menjalin hubungan hampir setahun," ucap Bima, membuatku mendadak seperti kehilangan asupan udara pada paru-paruku.
"Aku harap kamu bisa mengerti," ucapnya lagi. Kali ini seraya menepuk punggung tanganku. "Kalau aku tinggal nggak apa-apa, kan? Bill-nya sudah aku bayar. Terima kasih ya buat kencan istimewanya malam ini."
Bima beranjak dari kursinya, dan menghampiri lelaki yang dari tadi menatap tajam ke arah kami. Ya Tuhan! Saat keduanya keluar dari restoran rasanya aku ingin mengamuk saat itu juga.
Bagaimana bisa lelaki sesempurna itu memiliki orientasi seks menyimpang?! Apes banget sih gue.
5. Mendadak Cengeng
Aku benci merana. Apa lagi merana yang disebabkan cinta. Orang bilang aku punya wajah yang sempurna, gampang memikat hati siapa saja. Tapi kenyataannya tidak segampang orang bilang. Aku tidak pernah beruntung untuk urusan asmara.
Cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan, layu sebelum berkembang. Miris, dan aku terjebak di friendzone selama bertahun-tahun. Padahal aku sudah teramat sangat nyaman bersama Mohan. Entah dia yang tidak peka, atau aku yang terlalu pintar menyembunyikan perasaan. Yang jelas selama ini aku biarkan dia bersama wanita lain, aku juga dengan pria lain. Kami jalan masing-masing, meski ternyata asmara cinta kami tidak ada yang mulus.
Cinta selanjutnya ... ah lagi-lagi aku kurang beruntung. Pria yang dekat denganku hampir semuanya brengsek, kalau tidak ya tipe pria yang membosankan. Hingga sampai sekarang rasanya terlalu lelah untuk menemukan orang yang tepat. Tapi, ternyata Mama tidak selelah anaknya. Dia makin gencar mencarikan aku jodoh.
"Bentar lagi kamu 30 tahun, Vi. Kamu nggak malu dibilang perawan tua? Nggak iri sama sepupu kamu yang udah punya momongan?"
Bosan banget aku kalau mama sudah mengoceh seperti itu.
"Wah, padahal Via cantik. Pacarnya juga banyak, tapi kok nggak ada yang ngajak serius?"
Itu ucapan lambe turah tante-tanteku. Yang kelihatannya bahagia melihat nasibku. Sungguh terlalu. Untung aku punya jurus menebalkan muka, dan anti baper.
Dan, malam ini Dewi Fortuna juga enggan datang kepadaku, panah cubid meleset, padahal sudah mengarah padaku. Kalau sudah begini rasanya aku ingin teriak sama Mama.
"Stop! Cariin aku jodoh, Ma. Kandidat yang Mama kasih nggak ada yang bener!"
Tapi, itu jelas nggak mungkin atau aku akan dicap sebagai anak durhaka. Aku menjatuhkan kepala ke atas meja. Meratapi nasib yang selalu merana. Percuma punya wajah cantik, kalau tidak ada yang serius melirik.
"Gebetan kamu pergi tuh sama laki-laki lain."
Ya Tuhan! Kenapa di saat aku sedang meratapi nasib, suara bos setan itu terngiang sih? Aku memejamkan mata rapat, berharap suara itu hilang. Oh, mungkin aku harus merapal doa biar afdol.
"Wah, kasihan sekali ternyata dia lebih suka yang ganteng daripada yang cantik."
Kenapa suaranya terdengar lagi. Sepertinya aku harus benar-benar merapal doa pengusir syaiton.
"Lain kali kalau cari teman kencan yang bener dong. Kalau asal pilih jadinya ya begitu tuh."
Aku mengerang, seraya mengangkat kepala. Kenapa suara bos kampret masih ada saja?! Tolong, aku sedang ingin tenang.
"Bisa pergi nggak lo?!" seruku masih dengan mata terpejam erat. Aku nggak sudi melihat wajah Pak Ramon meski cuma bayangan.
"Kamu ngusir saya? Dasar tidak sopan."
Aku terpekik, dan sontak memegang kening ketika sebuah sentilan mendarat di dahiku. "Sakit."
Aku membuka mata dan sosok yang paling aku hindari itu ada di hadapanku.
"Padahal gue udah baca doa-doa, kenapa dia masih ada di sini?" gumamku, bingung. Parahnya, bos setan itu malah melotot padaku. Seolah-olah dia nyata saja.
"Kamu pikir saya ini setan?"
Aku terperanjat. Jadi, laki-laki di depanku ini beneran wujud Pak Ramon?
"P-Pak Ramon?"
"Kamu pikir siapa?" Dia melotot padaku. Mata birunya hampir-hampir keluar.
Aku nyengir, sembari menggaruk belakang kepala. "Bapak ngapain di sini?"
"Menurut kamu?"
"Bapak ngikutin saya ya?" tuduhku asal.
"Kayak kamu orang penting saja."
"Bapak udah lama di sini?"
"Lumayan lama buat melihat adegan kamu dicampakkan seorang pria yang lebih memilih pria juga."
Aku meringis sembari memejamkan mata. Dobel sial banget nggak sih? Kenapa harus ada Pak Ramon di saat nasibku sejelek ini? Aku spontan mengangkat tas dan menutup muka lantaran malu. Ini benar-benar memalukan woy! Ketahuan melakukan kencan buta, tapi berakhir dicampakkan.
"Kamu nggak laku apa bagaimana sampai-sampai harus melakukan kencan buta?"
Ya Tuhan, pertanyaannya menohok sekali. Dia benar-benar pandai membuat orang kesal.
"Saya bukannya nggak laku ya, Pak. Saya cuma menuruti perintah ibu saya," sahutku menahan jengkel.
"Tuh, ibu kamu saja sampai turun tangan. Saking nggak lakunya apa gimana?"
Aku mendelik sebal. Sembarangan banget dia bicara. Apa dia tidak bercermin? Seperti dia sudah punya pasangan saja.
"Bapak jangan ngomong sembarangan ya. Saya ini cantik, saya bisa dapetin siapa pun pria yang saya mau."
Pak Ramon menaikkan kedua alis seolah tak percaya apa yang aku bilang. Dia menggeleng seraya tersenyum meremehkan. "Percaya diri kamu terlalu tinggi. Satu pun bahkan belum dapat."
Aku menggeretakkan gigi kesal. Tanganku mengepal erat. Kalau bukan atasan, sudah kutonjok muka bulenya itu. Namun yang menyebalkan, kata-katanya barusan membuat pertahananku jebol. Astaga, aku bahkan pernah mendapat perkataan yang lebih pedas, tapi nggak aku tanggapi secengeng ini.
"Memang kenapa kalau saya nggak laku? Itu bukan urusan Bapak kan? Kenapa Bapak ikut campur? Bahkan Bapak sudah menghina saya." Aku mengusap kasar air mata yang tiba-tiba saja meluncur. Menyebalkan. Kenapa juga aku harus menangis seperti ini di depan manusia tak berperasaan itu?
"Vi-Via ... Saya..." Pak Ramon tertegun. Dia tampak terkejut melihatku tiba-tiba menangis.
"Nasibku memang selalu sial. Tambah sial lagi bertemu Bapak di sini," selaku dengan air mata yang makin menderas. Aku berdiri dan segera berlari meninggalkan restoran, secepat yang aku bisa. Lalu ketika merasa lelah aku berhenti. Mematung seperti orang bingung.
Aku menghela napas berat, dan berjongkok di tengah jalan, mengumpat dengan kesal. Merutuki diri sendiri yang tiba-tiba cengeng. Aku pasti makin terlihat rendah di mata bos sialan itu.
"Dasar bos setan! Tidak punya perasaan! Gue sumpahin lo nabrak tiang listrik sampe matanya yang biru jungkir balik!" Kembali aku menyumpahi manusia tampan itu. Iya tampan, tapi tak punya adab.
Sumpah sarapahku mengudara saat aku merasakan sebuah tangan menyentuh atas kepalaku. Aku terdiam untuk beberapa saat. Pikiranku langsung teringat Mohan. Dia satu-satunya manusia yang selalu ada saat aku butuh. Pelan aku mendongak, tapi yang kulihat tidak seperti harapanku.
Aku melihat mata biru itu menatapku, sendu. "I'm sorry to my words," ucapnya terdengar tulus.
Aku masih tertegun di tempat karena ternyata Pak Ramon-lah yang ada di depanku alih-alih Mohan. Dia duduk berjongkok, mensejajarkan diri denganku, dan menyentuh puncak kepalaku, lalu tangannya bergerak turun. Ibu jarinya mengusap pipiku yang basah dengan lembut.
Aneh, kenapa dia tiba-tiba bersikap lembut?
Aku tersadar dan langsung berdiri. Pak Ramon pun menyusulku berdiri.
"Kenapa Bapak masih ada di sini?" tanyaku, mengusap sendiri pipiku yang basah. Apa-apaan tadi itu? Kenapa aku membiarkan dia menyentuhku?
"Saya minta maaf. Tadi saya keterlaluan."
Semua yang dia lakukan padaku memang keterlaluan. "Bapak baru sadar?"
"Sori, saya nggak bermaksud membuat kamu menangis."
Mungkin dia terkejut. Aku yang biasanya diam dia perlakuan seenaknya tiba-tiba menangis.
"Bapak nggak perlu minta maaf. Saya kan cuma bawahan Bapak, jadi mau Bapak katain seenaknya juga nggak apa-apa kan? Suka-suka bos. Kan bos selalu benar," ujarku sarat akan sindiran keras.
Gestur tubuh Pak Ramon tampak gusar. Dia pasti tidak nyaman mendengar kata-kataku. Biarkan saja, biar dia tahu rasa.
"Bukan begitu maksud saya. Saya tadi hanya—"
"Nggak apa-apa saya sudah biasa kok. Bapak tenang aja," ucapku sok tegar, sok sabar. Padahal dalam hati ingin sekali menendang dan melempar jauh-jauh manusia sialan di depanku ini.
"Via!"
Ah, aku merasa lega mendengar suara itu. Aku menoleh dan mendapati Mohan tengah berjalan dengan langkah gegas ke arahku. Beruntung aku sempat mengirim pesan, memintanya menjemputku ketika Bima dengan tega mencampakkan aku.
"Sori ya, gue lama. Tadi ada sedikit kerjaan. Kita pulang sekarang?" tanya Mohan sesampainya di depanku. Matanya sempat melirik Pak Ramon yang tampak diam melihat kedatangan Mohan.
"Nggak apa-apa. Kita pulang sekarang aja. Hari ini aku lelah banget," sahutku dengan nada tak bersemangat.
"Ya udah, ayo." Mohan meraih pergelangan tanganku.
Pak Ramon membeku ketika tatapnya memandang langsung kepada genggaman tangan Mohan. Reaksinya aneh.
"Saya pulang duluan, Pak. Permisi," ucapku padanya sebelum beranjak pergi. Aku membiarkan saja saat dia tidak menyahut.
Mohan segera menarik tanganku membiarkan Pak Ramon sendirian. Pria itu masih berdiri di sana, menatapku yang mulai memasuki mobil Mohan.
***
"Kali ini cokelat dan bunga mawar. Cieee...."
Aku mengerutkan dahi melihat Lila pagi-pagi sudah memasang tampang menggoda. Hanya sambil lalu dia lantas keluar dari kantor divisi.
"Apaan sih?" Aku menggeleng tak mengerti. Lalu bergerak menuju meja kerjaku. Dan tatapku langsung bersirobok dengan sesuatu yang berada di atas meja. Satu kotak cokelat bersama satu tangkai bunga mawar lengkap dengan kertas memo di atasnya. Jadi, ini yang bikin Lila pagi-pagi menggodaku.
Aku menarik kertas memo itu dan membaca tulisannya.
6. Seblak
"Mama minta maaf."
Aku menghela napas mendengar kata maaf Mama meluncur. Sepertinya soal akhir kencan buta malam itu Mama sudah tahu. Aku yakin Mohan yang memberi kabar itu.
"Mohan cerita?" tanyaku sembari memainkan pena.
"Iya. Mama beneran nggak tau kalau anak Jeng Ela begitu. Mama jadi merasa bersalah ngenalin Bima ke kamu." Ada nada penyesalan yang kental dari suara Mama.
Aku mengetuk-ngetuk pena ke atas meja di ruang rapat. "Ya udah sih, Ma. Udah jadi nasib aku. Tadinya padahal aku pikir bisa klop. Tapi ternyata dia udah punya pacar istimewa," aku tertawa tanpa suara mengingat malam mengenaskan itu. Aku sebut mengenaskan karena sempat terpesona dan sedikit berharap pada Bima.
"Nanti deh, Mama kenalkan sama laki-laki lain yang lebih oke. Mama masih punya banyak stok ...."
Suara Mama berikutnya sudah seperti dengungan lebah di telingaku. Sudah sampai kejadian begini pun, Mama tidak kapok menyuruhku kencan buta. Aku biarkan Mama mengoceh sepanjang jalan aku balik ke divisi setelah ikut meeting di lantai tujuh bersama Lila. Panggilan telepon berakhir begitu aku kembali mendaratkan bokong ke atas kursi.
Aku membuang napas kuat-kuat setelah mendengar wejangan Mama soal jodoh. Rasanya penatku makin bertambah.
"Kenapa jadi suntuk begitu setelah ditelepon nyokap?" tanya Lila, mengernyit menyaksikan muka bete-ku.
"Nyokap bakal rencanain kencan buta lagi, gue capek," sahutku mewek. Menjatuhkan kepala ke atas meja.
"Loh, yang kemarin nggak berhasil?" tanya Lila.
Aku kembali menegakkan kepala. Soal kencan buta bersama Bima aku belum sempat cerita padanya. Dan, aku yakin dia akan terbahak kalau aku ceritakan. Jadi, lebih baik aku tetap bungkam.
Aku menggeleng sebagai jawaban. Lalu kembali menjatuhkan kepala ke atas meja.
"Heran gue, tipe cowok lo kayak gimana sih? Ini itu nggak mau. Dahlah, lo sama Pak Ramon aja," omel Lila sembari membereskan dokumen yang berserak di mejanya. Dia sudah mirip emak-emak aja.
"Ya yang namanya nggak cocok masa mesti dipaksain?"
"Kalau ketemunya baru sekali gimana bisa menilai? Coba dong pertemuan kedua, ketiga juga."
"Kesan pertama itu yang menentukan pertemuan kedua dan seterusnya. Kalau yang pertama aja udah bikin ilfil, kedua juga sama aja."
Lila menggeleng. Dia seperti kehabisan kata-kata.
Aku meraih bunga mawar yang aku simpan di tempat pensil. Sepertinya aku butuh vas kecil untuk menyimpan bunga-bunga yang belakangan ini mampir ke mejaku tiap pagi.
"Gue penasaran yang kirim ini. Siapa tau aja itu jodoh gue."
"Ajak ketemuan aja."
"Gimana caranya?"
"Lo tulis aja memo balasan, kalau dia ngasih lo bunga lagi juga dia bakal liat."
Aku melirik Lila. Ucapannya benar. "Kenapa gue nggak kepikiran ya?"
"Soalnya otak lo lagi nggak fokus." Lila menggapai ponselnya yang bergetar dan bibirnya mengulas senyum. Aku sudah bisa menebak itu panggilan dari siapa. "Gue turun dulu ya, Rafael udah di lobi."
Tuh kan!
Aku hanya mengangguk lemah. Jujur, aku iri melihatnya yang selalu mendapat perhatian dari Rafael, suaminya. Kapan aku bisa seperti dia? Rasanya mustahil mengharapkan usia tiga puluh nanti bisa jadi istri orang.
Kantor sepi di jam makan siang. Aku terlalu malas untuk turun ke bawah. Beberapa kali melirik ponsel berharap Mohan tiba-tiba datang membawakan makanan, tapi ponselku senyap-senyap saja. Beberapa kali ada notifikasi masuk, tapi isinya tawaran pinjol. Hadeh, nasib jomlo gini amat ya.
Aku membuka bungkus cokelat yang aku dapat tadi pagi. Salah satu produk cokelat kesukaan, biasanya aku menyetok beberapa di apartemen. Tapi belakangan sudah tidak pernah lagi lantaran tiap pagi seseorang-entah makhluk jenis apa selalu memberiku kiriman cokelat lengkap dengan bunga-bunganya.
"Ehem!"
Suara deheman itu hampir membuatku terlonjak. Aku menoleh cepat dan mendapati Pak Ramon tidak jauh dari kubikelku. Mata birunya tampak melirikku. Aku pikir dia sudah tidak ada di kantor.
"Kamu nggak makan siang?" tanya dia sembari berjalan mendekat. Tumben nanya-nanya.
"Ini kan sudah jam makan siang. Harusnya waktunya makan ya makan. Kalau sakit perusahaan juga yang disalahkan."
Entah kenapa mendengar ocehannya bikin kupingku panas. Serius, aku sama sekali tidak mengharapkan dia menyapaku.
"Memang siapa yang bikin saya nggak bisa keluar makan siang? Bapak enggak lihat kerjaan saya numpuk?" tanyaku ketus. Males juga pura-pura baik di depan atasan macam dia.
Pak Ramon menarik sudut bibirnya. "Ya itu kan salah kamu sendiri. Kalau kerjaan kamu bener ya nggak bakal ada revisi-revisian."
Sehari saja tidak membuatku dongkol sepertinya susah buat bos setan itu. "Bapak kalau mau makan mending cepet deh. Jangan malah gangguin kerjaan saya."
"Kamu ngusir saya?"
"Ya bagus kalau bapak nyadar."
Bodo amat! Mau dicap tidak sopan kek. Aku tidak peduli.
Pak Ramon menggeram. Dan, aku merasa puas bisa bikin dia jengkel seperti itu.
"Seblak ready, Mbak!"
Mang OB tahu-tahu sudah meletakkan bungkusan di mejaku. Siapa yang pesan seblak? Aku bahkan belum menitip apa pun sama dia.
"Mang, salah kirim ya?" tanyaku heran.
"Enggak. Itu beneran seblak buat Mbak Via."
"Iya, tapi saya kan nggak pesen."
"Anggap aja itu rejeki, Mbak."
"Eh? Mamang traktir saya?"
Mang OB mengibaskan tangan. "Bukan, Mbak. Saya mah cuma dititipin."
"Iya, tapi siapa yang kasih in-"
"Saya ke belakang dulu, Mbak. Laper juga."
Dan, OB itu langsung ngacir meninggalkanku yang masih bengong, kebingungan. Aku melirik dan menyingkap sedikit styrofoam box berwarna putih di atas meja. Isinya beneran seblak yang terbungkus plastik transparan.
"Dimakan aja sih, pake tanya siapa yang kasih."
Aku lupa kalau masih ada Pak Ramon di sini. Kepalaku mendongak, manusia yang tingginya nggak kira-kira itu masih menjulang di hadapanku. "Bapak belum pergi?"
Mata birunya mendadak menyorot tajam saat aku bertanya. Apa pertanyaanku salah?
"Dasar tak tahu terima kasih," gerutunya. Lalu beranjak masuk ke ruangannya alih-alih keluar kantor. Apa dia nggak makan siang?
"Kenapa aku mikirin dia. Mau makan siang atau enggak, bodo amat," gumamku segera tersadar.
Aku mengeksekusi seblak di hadapanku. Dari tampilannya kelihatan enak. Langsung saja aku tumpahkan kuah pedasnya ke dalam styrofoam box. Lalu kucicipi rasanya sedikit.
"Beuh! Pedesnya ngalahin mulut si bos!" seruku spontan. Dan ....
"Kamu ngatain saya?"
Pintu ruang kabag tiba-tiba terbuka. Kepala Pak Ramon menyembul dari sana.
"Dih, Bapak GR deh."
"Saya nggak tuli ya, Via."
"Siapa juga yang bilang Bapak tuli?"
Pak Ramon mendengus, lalu kembali menutup pintu dengan kencang. Heran, sepertinya itu manusia kerasukan setan beneran.
Lagi asyik-asyiknya menikmati ceker pedas yang menjadi salah satu toping seblak tersebut, ponselku menjerit. Nama Mohan tertera di layar persegi benda itu.
"Seblaknya udah datang?" tanya Mohan begitu panggilannya aku terima.
"Jadi, ini dari lo?" tanyaku sembari mengibas-ngibaskan tangan ke depan mulut. Gila pedes banget.
"Iya. Ada warung seblak baru di dekat bengkel. Jadi, aku coba pesenin buat lo. Pasti lo masih males makan gara-gara kejadian malam itu."
Aku meringis. Mohan memang paling tahu perasaanku. Hal remeh seperti ini saja dia paham. Sayangnya, dia nggak pernah paham soal perasaanku.
"Ya gitu deh. Thanks, ya."
"Ya udah habisin gih. Suka kan?" tanya Mohan, nadanya seperti sedang menahan tawa.
"Suka sih, tapi ini pedes banget."
"Dari sepuluh level, gue pesen yang level sembilan."
"Gila! Pantes aja pedesnya kayak ditampar bolak-balik. Gue nggak yakin perut gue bakal selamet."
Tawa Mohan meledak. Sepertinya dia sengaja membuat perutku mulas. Memang nggak ada akhlak. Namun, tiba-tiba seseorang merebut sendok yang aku pegang, dan aku belum sempat mencegah saat Styrofoam box-ku tiba-tiba berakhir di tong sampah.
"Apa-apaan ini?" Aku mendongak kesal saat tahu Pak Ramon-lah pelakunya.
"Kalau tahu itu bakal bikin perut kamu sakit, mending nggak usah dimakan," ucapnya sok tahu.
Astaga! Setengah saja belum aku habiskan. "Pak, itu makan siang saya!" Mataku melotot saking nggak terimanya seblak dari Mohan dia buang.
"Kamu makan ini aja. Susu bisa menetralisir rasa pedas." Dia meletakkan sebungkus roti dan sekaleng susu beruang, lalu bergegas pergi kembali ke ruangannya.
Aku yang kesal karena sikapnya yang menyebalkan tadi mendadak bingung melihat roti berukuran panjang dan satu kaleng susu yang tergeletak di atas meja menggantikan seblak level 9 dari Mohan.
Aku melirik pintu ruangannya yang sudah tertutup rapat lagi. "Dasar bos aneh."
Namun, lantaran perutku masih merasa lapar, aku sobek juga bungkus roti itu. Nggak mungkin kan aku kembali memungut seblak my bestie yang sudah tak berdaya di tong sampah?
***
Pekerjaanku selesai ketika jarum pendek jam menunjuk ke angka tujuh. Aku celingukan, ternyata di ruangan ini hanya aku yang bertahan. Semua lampu kubikel padam kecuali lampu di mejaku.
Aku merentangkan tangan ke atas, lalu menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan. Berkutat seharian di depan komputer bukan hanya membuat mata lelah, badan juga tak kalah pegal. Dengan lelah yang bergelayut, aku membereskan tetek bengek benda yang aku bawa dan memasukkannya ke dalam tas. Aku ingin segera sampai ke apartemen dan merebah di kasurku yang empuk.
Namun, tiba-tiba bunyi tak asing terdengar dari dalam perutku. Refleks tanganku menyentuh perut. Aku bergegas, ingin segera turun ke bawah. Sebungkus roti dari Pak Ramon siang tadi tidak cukup untuk mengganjal perut sampai malam. Aku perlu mencari sesuatu untuk menyumpal perutku yang meronta.
Saat melangkah di koridor menuju lift aku mendengar suara kaki lain dari arah belakang. Ada sedikit rasa lega karena ternyata yang masih di kantor bukan hanya aku seorang. Setidaknya aku tidak sendirian saat berada di dalam lift nanti. Aku menekan tombol lift begitu sampai di ujung koridor. Seseorang yang tadi berjalan di belakangku menyusul kemudian.
"Lembur juga, ya?" tanyaku sembari menoleh. Aku yang tadi merasa senang karena ada teman, mendadak bad mood seketika saat tahu siapa orang yang sekarang berdiri tepat di sebelahku.
Pria bermata biru yang lengan kemejanya sudah digulung hingga siku di sebelahku itu menoleh. "Iya, seseorang membuat saya harus mengecek dan menyalin ulang catatan arus kas yang berantakan."
Siapa lagi yang bisa berkata semenyebalkan itu selain Pak Bos kita yang terhormat? Tuan Ramon Milanov.
7. Mogok
Sebenarnya aku sedang tidak ingin berdekatan dengan manusia bermata biru itu. Masih kesal kalau ingat perkataannya. Namun, nasib sialku seolah belum putus meskipun jam kerja sudah selesai.
Akan lebih baik kalau di dalam kotak besi ini ada orang lain selain aku dan Pak Ramon. Sehingga aku bisa mengajak ngobrol orang tersebut selama lift membawaku turun ke lantai bawah. Aku terlalu malas berbasa-basi dengan bos setan itu.
Beberapa kali dia berdeham, tapi aku tidak peduli. Aku lebih memilih diam dan memperhatikan penampilan diri di pantulan pintu lift. Itu lebih menarik daripada membangun percakapan dengan manusia bon cabe itu.
"Kamu sudah berapa lama bekerja menjadi staf akunting?"
Suara itu tiba-tiba terdengar mengisi kekosongan ruang sempit lift yang entah kenapa saat ini terasa longgar. Aku melirik Pak Ramon yang berdiri dengan jarak tidak kurang dari satu meter dari Posisiku.
"Bapak tanya sama saya?"
Mata birunya menyorot sebal tiba-tiba. "Memang selain saya dan kamu ada orang lain lagi di sini?"
Aku menatap aneh pria itu. "Ya, kan bisa aja Bapak lagi telponan."
"Saya tanya sama kamu ya, Via," ucapnya penuh penekanan.
Aku mengangguk-angguk. "Saya belum lama di posisi ini, Pak. Biasanya kan saya di sub-anggaran."
"Pekerjaannya kan sama saja. Kalau kamu bisa di sub-anggaran, harusnya juga bisa di sub-akunting."
Aku menengok angka digital di atas pintu lift. Kenapa waktunya terasa lama sekali? Aku tidak mau berlama-lama kena ceramah Pak Ramon.
"Iya, diusahakan, Pak," pungkasku akhirnya. Namun, sepertinya Pak Ramon tidak mau melepasku begitu saja.
"Jangan cuma bilang diusahakan, saya tidak pernah melihat kamu berusaha memperbaiki kualitas kerja kamu. Yang ada malah makin berantakan."
Demi langit dan bumi, apa dia tidak capek mengoceh terus? Matahari bahkan sudah kelelahan menyinari bumi Jakarta sehingga harus tenggelam 12 jam lamanya. Sementara Pak Ramon? Aku curiga di belakang punggungnya terpasang alkalin.
"Perbaiki dong. Saya juga ingin mengurus pekerjaan lainnya, bukan cuma pekerjaanmu saja. Memangnya kamu tid—"
Pak Ramon berhenti mengoceh mendadak saat aku tiba-tiba menyodorkan satu bungkus cokelat padanya. "Bapak kayaknya butuh ini, deh. Suasana hati Bapak sepertinya lagi kurang baik."
Pak Ramon menggulirkan pandangannya ke batang cokelat yang aku sodorkan. Dia terlihat bingung.
"Cokelat bisa membuat mood kita jadi lebih baik," ujarku lagi meniru kata-kata di secarik memo dari pemberi cokelat itu. "Coba, deh Pak. Daripada Bapak mengomel terus, nanti cepet tua loh."
Pak Ramon malah diam. Dan, bukannya meraih cokelat itu dia malah memalingkan muka. Namun, anehnya wajahnya yang pucat itu mendadak memerah sampai telinga. Bertepatan dengan itu, suara dentingan lift terdengar. Pintu lift terbuka dan detik berikutnya, aku melihat Pak Ramon keluar begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Tuh orang kenapa jadi aneh gitu? Marah gara-gara gue bilang dia bakal cepet tua kalau mengomel?" gumamku masih dengan menatap punggungnya yang terus menjauh.
"Lalu, apa kabar gue? Yang tiap hari kenyang sama makiannya?" Aku menunjuk diri sendiri, lantas mengangkat bahu. Berusaha tidak peduli.
Malam makin merangkak naik, punggung sudah sangat mendambakan empuknya tempat tidur. Aku bergegas menuju parkir area yang ada di depan gedung. Tidak begitu ramai karena sekarang bukan jam kerja. Lampu sein mobil berkedip ketika aku menekan remote alarm mobil.
Tidak menunggu waktu lama, aku langsung bergerak masuk saat sampai di depan mobil–yang kata Mohan masih bagus mesinnya itu.
Aku menyalakan mesinnya segera, bayangan kasur empuk sudah menari-nari di kepalaku. Namun sialnya, beberapa kali memutar kunci, mesin mobil tidak mau menyala.
"Heh, lo barusan gue puji punya mesin bagus lho, tapi kenapa malah ngadat lagi coba?!" Dengan kesal aku memukul kemudi. Bayangan kasur di atas kepalaku sontak buyar.
Aku keluar dari mobil dengan hati dongkol. Kurang apes apa coba? Aku pikir gara-gara ketemu Pak Ramon nasibku jadi sial. Dasar laki-laki pembawa si—
"Mobil kamu kenapa?"
Aku menoleh cepat mendapati suara itu. Dan, kedua alisku menyatu seketika saat melihat Pak Ramon berjalan mendekatiku. Bukannya dia sudah duluan, ya? Kok masih ada di tempat parkir?
"Mogok," sahutku malas.
"Mau coba dibenerin?"
"Emang Bapak bisa?" tanyaku sangsi. Urusan begini itu si Mohan jagonya.
Pak Ramon mengedikkan bahu. "Dicoba aja dulu, kalau nggak bisa, ya suruh orang bengkel besok ke sini," ujarnya sembari berjalan ke kap depan mobilku.
Aku mengekorinya dan berdiri agak mundur ketika dia mulai membuka kap mobil. Namun, yang terjadi di luar dugaan. Mesin mobil mengeluarkan asap membuatku makin melangkah mundur. Aku panik, ngeri sendiri melihat mobilku seperti terbakar. Selalu saja seperti ini.
Pak Ramon mengibas-ngibaskan tangan menghalau asap mobil yang mengenai dirinya.
"Udah, Pak. Tutup lagi aja. Bahaya. Nanti mobilnya meledak. Tinggal aja." Secara refleks karena panik aku menarik lengan Pak Ramon menjauh dari mobilku.
"Tapi, Via. Itu kapnya belum ditutup lagi."
"Udah biarin." Aku terus menariknya menjauh. Aku tak mau mati sia-sia bersama mobil butut itu.
Aku terus melangkah cepat sampai tak sadar masih terus menenteng tangan Pak Ramon. Hingga ....
"Mobil saya di sana."
Langkahku terhenti, dan spontan melepas tangannya. Tiba-tiba situasi canggung menyergap. Aku buru-buru mengalihkan pandang. Sementara Pak Ramon menggaruk belakang telinganya.
"Maaf, Pak. Tadi saya panik."
"Oke, no problem," sahut Pak Ramon mengangguk. "Jadi, mobilnya ditinggal saja?" tanya dia menunjuk mobilku yang teronggok tak berdaya. Dasar mobil sialan.
"Mau bagaimana lagi?" Aku mengangkat bahu pasrah.
"Ada yang jemput enggak?"
Eh? Aku celingukan. Situasi seperti ini tidak aku prediksi. Jadi, aku tidak meminta Mohan menjemput. Aku pikir mobilku baik-baik saja.
"Enggak ada sih, Pak. Tapi saya bisa pesan taksi online," tanganku bergerak merogoh tasku mencari ponsel.
"Biar saya antar saja."
Hah? Aku belum menemukan ponsel saat dia berkata begitu.
Aku nyengir. "Tidak perlu, Pak. Saya naik taksi online aja," tolakku, kembali mencari ponsel yang anehnya tidak ada di tempatnya. Astaga, kenapa di situasi genting seperti ini benda keramat itu malah raib?
"Kamu kan wanita, bahaya kalau malam-malam pulang sendiri naik taksi online."
Lebih bahaya jika saya harus berdua di dalam mobil sama Bapak.
Aku jelas tidak sudi menyerahkan telingaku untuk mendengar ocehannya karena kesalahan-kesalahan yang sudah aku lakukan.
"Nggak apa-apa, bener deh, Pak."
"Mbantah terus kamu. Jakarta itu rawan bahaya. Berita rampok yang pura-pura jadi supir taksi itu banyak. Kamu mau dirampok di tengah jalan? Mending cuma dirampok, kalau sampai dibunuh dan diperkosa gimana?"
What? Aku melotot ngeri. Aku bukan pecinta berita kriminal, tapi berita itu memang pernah aku dengar. Dan, sekarang Pak Ramon tanpa belas kasihan menakut-nakutiku.
"Bapak jangan nakutin saya."
"Saya nggak nakutin kamu, tapi terserah sih. Kalau kamu mau pulang sendiri silakan. Saya duluan." Pak Ramon memutar langkah, meninggalkanku menuju mobilnya.
Aku kebingungan sekarang. Celingukan sendiri karena suasana malah makin sepi dan mendadak mencekam. Ah! Menyebalkan sekali. Aku yang belum juga menemukan ponsel menyerah, dan mengejar langkah Pak Ramon.
"Pak! Tunggu! Saya ikut Bapak!"
Sebenarnya ini memalukan. Namun, selain tidak mau mati meledak di dalam mobil butut, aku juga tidak mau mati dirampok, dibunuh, dan diperkosa. Ya Tuhan, itu mah paket lengkap. Sadis.
Pak Ramon itu biarpun sengak-nya nauzubillah, tapi dia cukup low profil soal memilih mobil. Tunggangan Pak Ramon bukan jenis mobil keluaran Eropa atau Amerika. Masih keluaran Jepang yang produksinya ada di Indonesia, tapi bukan jenis mobil sejuta umat juga. Masih cukup menterenglah dipake seseorang yang memiliki jabatan sebagai kepala bagian keuangan di Eaglefood.
Aroma moccachino langsung menusuk indera penciumanku saat aku naik ke mobilnya yang memiliki pijakan tinggi. Aku suka karena tidak membuat perut mual saat baru pertama kali masuk.
Well, akhirnya aku duduk manis di samping bon cabe—maksudnya Pak Ramon. Dia pasti merasa menang karena sudah berhasil membuatku ketakutan.
"Pakai sabuk pengaman kamu," ucapnya begitu menyalakan mesin mobil.
Aku menurut saja dan tidak banyak protes lagi. Setelahnya aku duduk dengan tenang, menatap lurus ke jalanan seperti menatap masa depan ceria.
"Di mana tempat tinggalmu?" tanya Pak Ramon ketika mobilnya bergabung bersama kendaraan lain di jalan besar.
"Tebet, Pak."
Setelahnya tidak ada percakapan apa pun lagi. Aku memutuskan diam. Kami tidak akrab kalau bukan urusan pekerjaan. Itu pun akrab dalam artian sering kena hujat.
"Saya lapar," ucapnya tiba-tiba.
"Kalau lapar, ya makan."
Ini sudah lewat pukul delapan. Perutku sebenarnya lapar, tapi aku lebih ingin cepat sampai apartemen dan merebah.
"Kalau begitu mampir sebentar."
Aku cepat menoleh. Mampir sebentar? "Mau ke mana, Pak?"
"Cari makan."
"Aduh, Pak. Bapak nggak bisa antar saya dulu baru kemudian cari makan? Saya ngantuk, Pak. Capek, pengin tidur."
"Tidur dalam kondisi lapar itu nggak nyaman."
Lah, yang lapar kan situ? Dan tanpa meminta pendapatku, mobilnya berbelok ke kawasan pujasera.
"Nggak akan lama. Cuma isi perut habis itu pulang," katanya sebelum turun dari mobil. Dengan langkah lunglai aku mengikutinya berjalan di belakang.
Kalian tahu apa yang dia pesan? Ketoprak, Gaes! Aku melongo saat dia menghampiri dan memesan makanan berbahan dasar ketupat itu. Tampang boleh bule, tapi selera Indonesia sejati.
"Kamu mau juga enggak, Vi?" tanya Pak Ramon menoleh padaku.
"Boleh deh, Pak. Tapi, yang pedes ya."
"Sedang saja. Tadi siang kamu makan seblak pedes, kan?"
Iya, kan situ yang buang seblak gue di saat gue lagi nikmat-nikmatnya kepedesan.
Kami duduk di sebuah bangku panjang, tepat di sebuah meja persegi panjang berwarna putih mengkilap. Saking mengkilapnya, permukaannya itu bisa buat ngaca.
"Bapak sering ke sini, ya?" tanyaku seraya melihat kondisi pujasera yang tampak ramai.
"Lumayan. Karena makanan di sini lengkap dan murah meriah."
Aku takjub mendengar jawabannya. Ternyata harga juga menjadi pertimbangan Pak Ramon dalam memilih makanan. Diam-diam aku terkikik. Yang bakal jadi pasangannya pasti tidak akan pernah masuk ke restoran mewah di Senayan City.
"Kenapa tertawa? Ada yang lucu?"
Aku buru-buru menggeleng. "Nggak ada, Pak." Aku meringis sedikit. "Nggak nyangka aja muka bule kayak Bapak doyan juga sama ketoprak."
8. Kertas Memo
Aku menatap lenganku yang beberapa kali sempat digigiti nyamuk. Ada bintik-bintik merah di sana. Sepanjang kegiatan makan malamku dengan si Bapak Kepala Bagian Keuangan Yang Terhormat di meja panjang ini, aku sibuk menapok nyamuk yang tiba-tiba berkeliaran di sekitar kami. Apa sebegitu baunya aku sampai nyamuk betah mengelilingiku? Aku tahu, seharian ini belum mandi. Terjebak di kantor dengan tumpukan pekerjaan dan jam segini masih belum sampai ke apartemen, tapi aku yakin 100 persen kalau badanku masih wangi. Parfum mahal yang aku pakai nggak mungkin menghianatiku, kan?
Pak Ramon bergegas mengajakku masuk ke mobil karena melihatku yang sudah merasa tak nyaman. Dia bahkan meminta maaf karena kegiatan makan ketoprak kami terganggu. Peristiwa yang langka, kan? Aku harus digigiti nyamuk dulu baru dia mau minta maaf.
"Di dasbor ada minyak kayu putih, kamu bisa pake itu," ucapnya ketika kami kembali masuk mobil.
Tanpa menunggu aku segera membuka laci dasbor yang tepat berada di depanku. Kalau tidak cepat aku oles dengan minyak kayu putih gatalnya akan makin menjadi.
"Lain kali cari tempat makan yang elit dikit, Pak. Jadi, saya nggak habis dimakan nyamuk begini," gerutuku, agak sebal.
"Biasanya juga nggak begini. Bau kamu terlalu menyengat kali makanya nyamuk pada datang."
"Apa?" Aku melotot sesaat, dan tidak menghiraukannya lagi. Aku sudah sibuk mencari minyak kayu putih. "Mana sih, Pak?" Terlalu banyak benda-benda nggak penting di dalam laci dasbor. Tisu basah, gunting, handsanitizer, alat cukur, kaset CD, tumplek jadi satu di sana.
"Ada kok, ukurannya kecil." Pak Ramon mulai menjalankan mobilnya keluar area pujasera.
Aku menemukannya. Minyak kayu putih berukuran kecil. Namun, nggak hanya minyak kayu putih yang aku temukan. Ada buku kecil—bukan tepatnya buku memo. Gambarnya mirip dengan memo yang menempel di depan bungkus cokelat yang tiap pagi terdampar di meja kerjaku.
Aku tertegun untuk beberapa saat sembari meneliti buku memo itu. Tidak ada tulisan apa pun di sana. Aku tidak bisa—
"Udah ketemu minyaknya?"
Aku menoleh cepat dan menunjukkan buku memo itu pada Pak Ramon. "Pak, ini—"
Tanpa aku duga pria itu langsung mengambil memo itu dan melemparnya ke belakang. Aku cukup terkejut, reaksinya tidak terduga sama sekali.
"Kok dibuang sih, Pak?"
"Via, jangan suka sembarangan ngambil benda orang. Kamu tau, itu namanya tidak sopan," sentaknya. Membuatku heran. Padahal dia yang menyuruhku mencari minyak kayu putih.
"Barang di dasbor banyak, dan aku nggak sengaja nemu itu, Pak."
"Tujuan kamu, kan nyari minyak kayu putih. Nggak seharusnya kamu ngambil benda lain juga. Kamu tau arti batasan, kan?" Pak Ramon bicara penuh penekanan, seolah-olah aku ini anak bodoh yang tidak tahu mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
"Maaf," ucapku akhirnya. Dan, memilih tidak berdebat. Menurutku itu hal sepele, tapi reaksi Pak Ramon sangat berlebihan. Dasar bos setan.
Pak Ramon menurunkan aku di jalan depan apartemen. Lalu dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa pun. Setelah kejadian memo tadi sampai aku turun, dia mendiamkan aku. Astaga, aku tertawa tanpa suara.
"Sebenarnya dia punya masalah apa? Bawaannya sensi mulu kayak nenek-nenek lagi PMS." Aku mencibir sebelum masuk ke gerbang apartemen yang tidak dijaga petugas keamanan. Entah mereka pergi ke mana.
—oOo—
"Kapan, sih lo bisa menjaga mobil lo dengan baik?" omel Mohan seraya mengotak-atik mesin mobilku yang lagi ngambek. Jumpsuit yang dia pakai penuh oli, tangannya juga sama. Dia memutar topi yang dia kenakan menghadap ke belakang. Lalu tangannya kembali bergerak memutar kunci, mengencangkan sebuah tutup yang aku tidak tahu fungsinya apa.
Sudah setengah jam Mohan berada di depan gedung kantor Eaglefood. Rengekanku yang membuatnya ada di sini. Biasanya dia hanya akan mengirim salah satu pegawainya, tapi kali ini dia turun tangan langsung.
"Gue udah jagain dia kok dengan mempercayakan dia ke lo," ujarku disertai cengiran. "Gimana? Bisa nyala lagi enggak?"
"Bentar lagi kita coba."
Mohan masih berusaha. Pelipisnya sudah banjir keringat, cuaca siang ini memang luar biasa. Percaya atau tidak, bahkan aku memakai payung untuk melihat Mohan bekerja.
"Lo masuk aja sana. Nanti kalau udah beres gue kabari."
"Nggak apa-apa. Santai aja. Gue udah izin mau benerin mobil kok sama Pak Bos."
"Tapi cuaca panas, lo nggak takut kulit lo gosong? Jangan salahin gue kalau warna kulit lo jadi gelap." Mohan menyemprotkan sesuatu di semua permukaan mesin mobil. Entah cairan apa yang dia semprot itu.
"Hari ini gue nggak dapat cokelat dan bunga mawar," celetukku tiba-tiba. "Biasanya dapat tiap pagi."
Mohan berhenti sesaat dari aktivitasnya. Dia menatapku dengan pandangan bertanya. "Maksudnya?"
"Maksudnya, lo yakin nggak kirimin gue cokelat tiap pagi?"
Sekarang aku melihat kening Mohan berkerut, tapi kemudian kembali tak peduli. "Enggak, ngapain gue ngirim lo cokelat. Kalau seblak iya kemarin itu," katanya kembali menyemprot mesin mobil. "Fans lo kali."
Aku mencebik, sudah aku duga. Mohan tidak seromantis itu. Dan, tidak ada sesuatu juga yang mengharuskannya melakukan itu. Kami sahabat. Pure sahabat. Ya, meskipun aku menginginkan lebih.
Aku kembali teringat dengan memo yang kutemukan di dasbor mobil Pak Ramon kemarin malam. Kertas memo itu sama persis dengan kertas memo yang ada di cokelat dan mawarku. Mungkinkah .... Aku menggeleng cepat. Tidak mungkin dia. Itu sangat mustahil.
"Udah selesai." Mohan bergerak menutup kap mobil. "Coba lo nyalain mobil lo."
"Oke." Aku mengangguk. Menyerahkan payung ke Mohan, lalu beranjak masuk ke mobil. Dan sekali putar, mesin mobil nyala. Aku melengkungkan bibir, Mohan memang montir yang bisa diandalkan. Kepalaku melongok ke jendela mobil.
"Daebak sekali Anda!" seruku, mengacungkan ibu jari tinggi-tinggi. Setelah mematikan mesin mobil, aku keluar lagi.
"Gue boleh balik sekarang?" tanya Mohan sembari mengangsurkan payungku kembali. Dia lantas berjongkok membereskan peralatannya.
Aku membungkuk untuk memayunginya. Ada sedikit iba melihatnya kepanasan. Matanya terus memicing menghalau sinar matahari yang menyengat.
"Nanti rincian biayanya lo WA ke gue aja ya," ujarku seraya tersenyum.
Kepala Mohan mendongak dan untuk beberapa saat tatap kami bertemu. Tidak lama, karena lelaki itu langsung melepas pandang. "Nggak usah dipikirin."
"Harus dipikirin dong. Akhir-akhir ini gue selalu bikin lo repot."
Mohan menutup kotak peralatannya. "Bukannya udah sering?" Dia lantas beranjak berdiri bersamaan denganku yang juga berdiri dengan benar, masih dengan posisi memayunginya.
"Tapi akhir-akhir ini sering banget." Lagi-lagi dadaku bergetar saat menatapnya seperti ini. Aku benci, perasaanku sudah tertolak sejak lama. Saat Mohan dengan tega mengenalkan seorang cewek padaku ketika masih kelas sepuluh SMA.
Mohan tertawa lalu mendorong payungku. "Tumben banget, sih lo sadar. Makan siang apa tadi?"
Aku sontak mengerucutkan bibir. Dia sama sekali nggak bisa diajak main drama sedikit. "Ya, udah sana balik lo," usirku mengibaskan tangan.
"Oke. Weekend besok pulang, kan?"
"Kenapa? Mau ajak nonton?" tembakku langsung.
Mohan nyengir. Memang cuma ada di anganku saja laki-laki itu berinisiatif mengajak nonton.
"Ada pameran otomotif Minggu ini. Kali aja lo tertarik ikut."
Aku mendesah. Kalau bukan pameran otomotif, kopdar komunitasnya. Semuanya kegiatan yang sangat membosankan, tapi aku tidak pernah bisa menolak ajakannya. Apalagi di saat statusku lagi jomblo begini.
Aku menutup payung sebelum masuk lobi. Mohan beberapa saat lalu sudah meninggalkan gedung Eaglefood dan berjanji akan mengajakku makan Bakmie Jawa kalau aku mau ikut ke pameran itu.
"Sudah selesai?"
Langkahku yang hendak masuk lobi tertahan. Aku celingukan mencari sumber suara yang sangat familier itu. Lalu ketika kepalaku memutar ke belakang, tampaklah sosok itu. Sosok yang selalu membuat hari-hariku senewen. Siapa lagi kalau bukan Pak Ramon?
Tunggu, kenapa si Bapak tiba-tiba ada di sini? Jangan bilang dia menungguiku selama Mohan membetulkan mobil.
9. Pacar Mohan
"Bapak dari mana?"
Aku mengangkat jari telunjuk, tapi segera diturunkan kembali. Hampir lupa di hadapanku sekarang itu si bos.
"Saya pikir Bapak ada di kantor divisi."
Pak Ramon berdeham sejenak, lalu membenarkan dasinya sendiri. "Saya ada urusan di luar tadi," ujarnya lantas mendahuluiku memasuki lobi.
Aku berjalan di belakangnya, agak jauh agar tidak bersisian dengannya. Biarkan saja dia kembali ke kantor lebih dulu. Aku tidak berharap satu lift bersamanya. Namun, ketika aku sedang menikmati jalan santai ala-ala putri keraton, Pak Ramon tiba-tiba berbalik, membuatku seketika ngerem mendadak. Dia menatapku dengan sorotnya yang tajam.
Aku langsung siaga satu. Gestur tubuhnya seperti orang hendak menerkam.
"Kamu kelamaan izin keluar," katanya sembari menudingku.
Keningku berkerut, lalu tatapku bergeser ke pergelangan tangan. "Kelamaan? Saya izinnya kan satu jam, ini bahkan belum ada satu jam, Pak."
Ini bos ngadi-ngadi sekali.
"Masa? Saya lupa tuh. Saya rasa kamu sebenarnya nggak perlu izin segala. Orang bengkel 'kan bisa ngerjain sendiri tanpa kamu temani."
Aku menarik bibir. Dia kumat lagi nyinyirnya. "Iya, Pak. Saya terima nasehat Bapak," sahutku memamerkan senyum selebar mungkin agar urusan ini cepat selesai.
Pak Ramon kembali berbalik ke depan. Namun, belum ada tiga langkah dia kembali berputar menghadapku. Aku sedikit terperanjat melihat kelakuannya itu.
"Terus kenapa kamu masih berdiri saja di situ? Ingat ya, Via. Deadline laporan harian kamu belum ada di meja saya."
Ya Tuhan! Tanpa dia ingatkan pun aku juga tahu. "Saya ingat, Bapak."
"Lalu kenapa kamu masih diam di situ? Memangnya nggak mau balik ke kantor?"
Aku memalingkan muka, lalu melirik kondisi sekitar. Aku nggak mau jadi tontonan gara-gara kena omelan si bos. "Iya, iya. Ini saya mau cepat-cepat."
Dengan langkah gegas aku melewati Pak Ramon. Kalau bukan dia yang duluan, itu artinya aku yang harus mendahului dia. Menghindari Pak Ramon adalah jalan terbaik untuk tetap menjaga kewarasanku. Namun, nggak semudah itu, Bestie. Pria itu malah berhasil menyusulku ketika di depan lift. Dia bahkan lebih dulu masuk ketika pintu lift yang sudah terbuka.
Aku mematung di tempat untuk beberapa saat antara ingin masuk bersamanya atau menunggu lift lain.
"Heh, kenapa kamu diam?! Cepat masuk!" sentak Pak Ramon yang sontak membuatku berjengit.
Pintu lift bergerak merapat dan secara refleks aku cepat melangkah sebelum pintu benar-benar tertutup sempurna. Aku bisa melihat tangan Pak Ramon terulur dan menggapai tanganku, lalu menariknya dengan kencang hingga ketika pintu lift tertutup rapat, aku terjerembab di pelukan lelaki setengah bule itu.
Astaga, apa dia nggak bisa menahan tombol lift agar pintu tetap terbuka bukannya malah menarikku seperti kambing hendak disembelih?
Kepalaku membentur dadanya yang bidang. Lumayan sakit, aku berharap kepalaku nggak akan gegar otak.
"Kamu mau peluk saya terus?"
Hah? Aku seketika mendongak dan wajah menyebalkan Pak Ramon bisa kutangkap dengan jelas. Hidungnya yang mencuat khas orang barat membuat mataku mengerjap, belum lagi bulu-bulu halus yang menyebar di area rahang dan dagunya. Dia lumayan tampan, tapi sayang menyebalkan.
Dengan cepat aku melepaskan diri, menjauh. Memalingkan muka karena tiba-tiba saja perasaanku mendadak ... aneh. Tanganku bergerak menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, dan bergeser agak jauh dari posisi Pak Ramon. Setelahnya kami saling diam sampai pintu lift terbuka di lantai divisi kami berada. Aku keluar lebih dulu dan meninggalkan Pak Ramon. Bodo amat dengan sopan santun.
***
Aku baru saja menutup pintu mobil saat mendengar suara deru mobil lain memasuki carport rumah Mohan yang terletak persis di seberang rumahku—maksudnya rumah orang tuaku. Rasa penasaran membuat langkahku tertahan. Mataku menyipit memperhatikan sosok yang keluar dari pajero putih milik Mohan.
Dari sisi pintu kemudi sosok Mohan keluar, lalu sisi lain seorang wanita bergaya feminim tampak menyusul. Aku makin menyipitkan mata, lalu ketika tahu siapa wanita itu kontan mataku melotot.
"Itu Belinda, 'kan?" gumamku setengah terkejut, bahkan mulutku setengah terbuka menyaksikan itu. Aku tidak percaya ini. Mohan jalan sama wanita itu tanpa memberitahuku.
Begini, Belinda itu teman sekolah kami dulu yang nyaris tidak pernah akur denganku. Rumahnya ada di blok belakang, beda RT satu RW. Lalu bagaimana Mohan bisa bersama Belinda? Lelaki itu sangat tahu wanita itu musuh bebuyutanku, dan sekarang? Lihat, mereka berdua memasuki rumah. Aku menggeram tanpa sadar.
"Liatin apa sih, Vi?"
Aku terperanjat mendapati Mama tiba-tiba ada di sebelahku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku sehingga kalau aku menoleh sudah dipastikan wajah kami akan beradu.
"Mama ngagetin aja sih!" Aku refleks menekan dada.
"Lagian kamu serius banget liatin rumah tetangga."
Aku memutar langkah mengabaikan Mama yang masih saja berusaha melongok isi rumah Mohan.
"Kamu liatin Mohan tadi, Vi?" tanya Mama mengejar langkahku yang sudah memasuki rumah.
"Iya, Ma. Tadi Mohan keluar mobil sama Belinda. Mereka pacaran, Ma? Kok Mohan nggak pernah cerita ke aku, ya."
Ada rasa nggak nyaman saat mengatakan itu. Rasanya masih sama seperti dulu, sedikit nyeri jika lihat Mohan jalan dengan wanita selain aku.
"Belinda anaknya Jeng Neli itu memang jadi agak sering main ke rumah Mbak Ayu, sih. Denger-denger Jeng Neli pengin jodohin Mohan sama Belinda."
Aku yang sudah duduk di sofa ruang tengah segera menoleh dengan kening berkerut. "Dijodohin?!"
Mama mengangguk dan beranjak duduk di sebelahku. "Tuh, Belinda nurut lho dijodohin harusnya kamu gitu juga," ujar Mama tersenyum penuh muslihat.
Aku melepas napas kasar. Kalau yang dijodohin pas, sih nggak masalah. Jodoh pilihan Mama sama sekali nggak ada yang cocok buatku. Terakhir yang kukira klop malah belok.
Tante Ayu dan Mama cukup dekat. Mereka sudah seperti saudara, tapi anehnya kedua wanita paru baya itu nggak pernah kepikiran buat jodohin aku sama Mohan. Malah Mama yang kehebohan buat nyariin aku jodoh. Padahal jodoh ada di depan rumah.
"Aku mandi dulu, Ma. Gerah," ucapku beranjak menuju kamar. Aku sempat mendengar Mama mendumel pelan.
"Padahal anakku juga tak kalah cantik, tapi Mbak Ayu nggak pernah mau melirik."
Aku tertegun sejenak dan cepat-cepat menoleh, tapi Mama tampak sudah asyik dengan tayangan kuliner di salah satu stasiun TV swasta. Kalau aku nggak salah mengartikan, bukannya dumelan Mama itu seperti mengharap Mohan jadi jodohku?
Tanganku bergerak membuka pintu, tapi kepalaku masih memikirkan berbagai kemungkinan. Seandainya aku dulu bilang jujur suka sama Mohan, mungkin aku nggak perlu lagi ngikutin keinginan Mama buat kencan buta.
Hanya saja, menyatakan perasaan lebih dulu kepada seorang lelaki bukan aku banget. Aku biasa dikejar, bukan mengejar. Jadi, kalau sampai aku nembak duluan, apa kabar harga diri yang selama ini kujunjung tinggi-tinggi?
10. Hang Out
"Vi! Mohan!"
Teriakan Mama melengking ngalahin jam wekerku di apartemen. Sampai-sampai aku yang masih memejamkan mata mendadak melek. Bangun dengan rasa kaget membuat kepalaku migrain. Pusing sontak mendera. Tanganku terangkat dengan gerakan pelan, sisa-sisa mengantuk masih bergelayut. Namun, karena kepalaku berdenyut aku terpaksa memijatnya. Aku tekan dengan keras kepala bagian kanan yang terasa berat dan sedikit nyeri.
Aku sangat yakin kemarin tidak habis kejedot atau kepentok benda keras. Mungkin bisa jadi salah bantal-maksudnya salah posisi tidur. Aku tengah menyingkap selimut saat ketukan pintu terdengar. Lalu suara khas Mohan menyusul kemudian.
"Boleh masuk nggak, Vi?"
"Gue baru bangun! Masih ileran jangan masuk," seruku. Namun, suaraku sia-sia lantaran pintu sudah terbuka. Sosok Mohan lengkap dengan hidungnya yang bangir menyembul dari balik pintu. Sekonyong-konyong aku melempar bantal ke arahnya. Dan, Yes! Tepat sasaran.
"Nggak sopan banget, sih," gerutu Mohan memungut bantalku kembali yang terjatuh setelah mengenai mukanya.
"Lo tuh yang nggak sopan. Nggak diizinin masuk malah buka pintu," omelku seraya turun dari ranjang. Beruntung aku nggak hobi pake baju tidur seksi saat tidur. Jadi, masih aman ketika lelaki itu beranjak masuk.
"Udah jam sembilan, Vi. Katanya lo mau ikut ke pameran otomotif?"
Ah, ya. Janji itu sengaja aku lupa karena kemarin sore lihat Belinda masuk ke rumah Mohan. Kesel rasanya melihat musuh bebuyutan masuk ke sarang sahabat sendiri. Aku merasa terkhianati.
"Tiba-tiba gue males," sahutku beranjak duduk di depan cermin. Menuang cairan pembersih wajah ke atas kapas dan membersihkan muka dari bekas-bekas skincare.
"Kebiasaan banget, deh. Makanya kalau tidur itu jangan kemalaman. Lo ndrakor lagi pasti semalam." Aku melihat dari pantulan cermin Mohan duduk di tepian tempat tidur.
"Ya, memang gue mesti ngapain lagi selain itu? Gue kan JOMLO, jadi malam minggu bisanya ndrakor. Nggak kayak lo bisa dinner sama GEBETAN baru lo."
Suaraku pasti terdengar sangat ketus. Aku bahkan sengaja menekankan kata 'jomlo' dan 'gebetan' pada kalimatku.
"Gebetan apa, sih?"
Aku mengarahkan bola mata ke atas-atas. Kenapa, sih Mohan harus pura-pura bego?
Aku memutar tubuh, berbalik menghadapnya. "Gue nggak masalah lo mau deket sama cewek mana pun yang lo suka, ya, Han. Tapi kenapa harus Belinda, sih? Lo tau banget kalau gue sama dia nggak pernah akur. Jadi, kalau lo minta restu sama gue buat pacaran sama dia. Ya, sori sori tu sey," ujarku langsung ke poin yang dari kemarin cukup membuatku sebal.
"Belinda?"
Aku melotot dan hampir menimpuknya dengan botol pembersih yang aku pegang. Muka innocent yang dia pasang nyebelin banget.
Tanganku mengacung. "Jangan pura-pura amnesia. Lo kemarin sore habis jalan kan sama dia?"
Kening Mohan tampak berlipat. Bola matanya bergerak ke samping seolah tengah memikirkan sesuatu. Dan, tiba-tiba saja dia membulatkan mulut. "Ooh, kemarin sore. Itu nggak ada niat, sih. Ibu nyuruh gue nganter Belinda ke klinik. Katanya perut Belinda sakit dan nggak ada yang nganter ke klinik. Ya, udah cuma gitu doang," terangnya lalu mengangkat bahu.
Aku menyipitkan mata dengan badan sedikit condong ke depan. "Yakin cuma itu doang? Gue denger dari Mama katanya Belinda sering main ke rumah lo."
"Nggak, sih. Paling nganterin pesanan catering ibu. Ibu kan lagi diet sehat."
Nggak ada info seperti itu. Mama bilang Tante Ayu mau jodohin Mohan sama Belinda. Aku rasa sepertinya Mohan nggak tahu niat terselubung ibunya. Aku melempar kapas bekas ke tong sampah.
"Gue mau mandi. Sana keluar."
"Oke, jangan pake lama." Mohan beranjak berdiri.
"Gue kan udah bilang males."
"Nggak cuma Bakmi Jawa gue tambah cokelat, deh."
"Godiva?" Aku menawar. Dan, selanjutnya aku melihat Mohan mendesah pasrah.
Aku mengayunkan kepalan tangan ke bawah. "Yes. Omset bengkel lo sehari jutaan. Wajar, dong kalau gue milih cokelatnya berkelas dikit."
"Udah, buruan. Gue tunggu di ruang tengah."
Aku melesat cepat ke kamar mandi. Membayangkan cokelat dari kedai asal Belgia itu membuatku berliur. Sekali-kali Mohan mengajakku ke kedai Godiva di GI kalau dia lagi kebanjiran omset. Melihat sikap pasrahnya tadi bisa dipastikan kantongnya sedang dalam kondisi tebal.
Meski koleksi cokelat dari penggemar rahasia sudah lumayan stoknya, aku nggak akan menolak jika Mohan mentraktir ecussion pondant-nya Godiva.
Aku berputar sekali di depan cermin. Memastikan outfit yang aku kenakan nggak akan njomplang jika berdampingan dengan Mohan. Aku mengetuk ujung flatshoes yang kupakai sebelum bergerak keluar kamar.
Terdengar tawa Mohan dan Mama ketika aku membuka pintu. Seperti biasa kedua manusia beda generasi itu selalu terlihat renyah kalau sudah mengobrol.
"Yuk! Berangkat. Gue nggak sabar makan es krim Godiva," ujarku memecah obrolan mereka.
"Es krim Godiva?" Mama memelotot horor. Suzanna saja kalah. "Mohan kamu jangan mau diporotin Via. Astaga, Vi, kalau minta traktir itu mikir dong."
Mohan tertawa melihat Mama terpekik. Sementara aku buru-buru meninggalkan ruang tengah. Aku nggak mau ambil resiko kena rentetan wejangan Mama.
"Nggak apa-apa, Tante. Nggak sering-sering juga, kok."
"Ah, kamu itu terlalu manjain dia."
Aku masih mendengar suara Mohan dan Mama, tapi lebih baik pura-pura tak peduli. Mengabaikan keduanya yang mungkin sedang menyusulku ke depan. Dan, dugaanku benar saat melihat mereka keluar rumah.
"Mohan! Cepetan! Nungguin apa lagi, sih? Time is money!" teriakku, lantaran Mohan malah masih asyik saja mengobrol dengan Mama di teras.
Bunyi 'bip' satu kali dibarengi kedipan lampu sein menandakan Mohan sudah membuka kunci mobilnya. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu penumpang bagian depan dan duduk manis menunggu pangeranku-sori, maksudnya bestieku.
"Asyik banget, sih, ngobrol sama Mama, heran," gerutuku begitu Mohan masuk ke mobilnya, menyusulku beberapa saat kemudian.
"Ngobrol sama Tante Della itu nggak akan ada habisnya. Kalau ditambah Ibu pasti seru."
Aku berdecak. Sebegitu akrabnya mereka, bahkan Mohan sudah dianggap Mama seperti anaknya sendiri. Tapi, Tante Ayu nggak berniat menjadikan aku calon mantunya.
"Godiva es krim! I'm coming!" seruku saat Mohan mulai melajukan kuda besinya.
***
Aku nggak paham soal otomotif, jadi aku hanya bergerak mengekori Mohan ke mana pun dia pergi. Di depan sebuah motor yang dipamerkan secara eksklusif, Mohan berhenti agak lama. Dia sepertinya tertarik dengan motor keluaran luar negeri itu.
Motor sport besar berwarna hitam yang aku pikir mirip seekor belalang itu berhasil menarik pengunjung lain selain Mohan. Dari keterangan sales mereka, motor sport tersebut hanya diproduksi sepuluh biji. Jadi, harga yang ditawarkan lumayan bikin aku syok. Namun, Mohan tampak biasa saja mendengar harga yang ditawarkan.
Aku menarik lengan Mohan agar dia sedikit menunduk. "Lo mau beli?" tanyaku berbisik.
"Nggak tau, masih bingung."
"Nggak usah, daripada lo beli itu motor yang kalau hujan kehujanan, dan kalau panas kepanasan mending lo beli apartemen dekat gue aja. Harganya sebelas dua belas bisa dapat tipe 2R."
Belum kalau mendapatkan celaka di jalanan. Dan, aku jelas nggak sudi membonceng jok yang sepertinya buat naruh bokongku saja nggak muat.
Setelah keliling-keliling semua stand otomotif, akhirnya aku berhasil membuat Mohan tidak beli satu pun item yang dipamerkan. Mohan harus puas hanya dengan mengantongi kartu nama salesman produk mereka.
Mohan mengembuskan napas ketika kami keluar dari pameran otomotif dengan hasil nihil. "Duit gue selalu aman kalau lo ikut."
"Dan lo sengaja, 'kan maksa gue ikut biar duit lo aman?" selorohku lantas tertawa.
"Nggak sampai begitu. Gue tetep bakal hubungi sales motor belalang tadi."
Aku berdecak, lalu membuka pintu mobil dan masuk. Aku baru menyahut lagi ketika Mohan sudah memasang sabuk pengamannya. "Mending lo traktir gue cokelat banyak-banyak daripada buat beli tuh motor."
Kami langsung menuju Grand Indonesia. Tidak terlalu banyak pengunjung saat aku dan Mohan mendatangi Godiva. Seorang karyawan dari kedai cokelat-yang berlokasi di lantai paling bawah mall itu menyambut kedatangan kami ramah. Mataku sontak berbinar saat menemukan pralin macam-macam bentuk berderet rapi di etalase. Masing-masing bentuk dan jenis disimpan dalam satu wadah yang berbeda. Semua tampak menggiurkan. Geser ke kanan aku menemukan gift box aneka cokelat yang dipamerkan begitu cantik dan apik. Satu buah etalase eksklusif bersandar di dekat dinding. Tepat di depan etalase terdapat lima buah meja bulat dengan kaki pendek layaknya kursi. Di atas permukaan meja itulah hampers coklat-mulai dari truffle hingga pearl choco dipamerkan.
"Mau itu boleh?" tanyaku menuding bulk praline yang dibandrol 350 ribu per 100 gram.
"Boleh."
Aku cukup tahu diri dan memesan hanya setengah harga. Karena aku tertarik dengan choco bar-nya. Aku melihat choco bar yang sering penggemar rahasiaku kasih ada di sana, di rak kaca saling bertumpuk. Nggak melulu cokelat Godiva, tapi aku tahu cokelat yang seseorang itu kasih bukan cokelat 20 ribuan.
Aku hendak meraih cokelat tersebut ketika sebuah suara yang sangat familier terdengar. Lagi-lagi aku berdelusi, nggak mungkin sekali, 'kan kalau Pak Ramon ada di sini?
Namun, ketika dengan perlahan kepalaku menoleh ke samping kiri, tepatnya melirik pick-up area yang berada di paling ujung kedai, mataku sontak terbelalak.
Nggak mau berlama-lama dalam kekagetan, aku segera berpaling dan memutar badan. Sedang apa bos setan bin iblis itu ada di sini?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
