
Cinta tak datang setiap hari, tapi ketika singgah seringkali ia menetap dalam waktu lama. Mungkin setahun, dua tahun, tiga tahun, dan seterusnya. Don Kray tak meneruskan, ia selalu tersesat dalam ilmu hitungan, dan baginya cinta jauh lebih rumit dan memusingkan!
Mungkin ini saat yang tepat untuk berhenti mencintai… ucap Don Kray kepada dirinya sendiri.
Sudah dua jam pemuda ini mematung di depan cermin. Bola matanya terlihat hampir tidak bergerak di muka cermin, sedang pikirannya berkecamuk tak karuan. Memikirkan seorang gadis yang dicintainya, Karmina.
Bayang-bayang Karmina tak pernah gagal menyusup ke dalam benteng pikiran Don. Ia sendiri pun bingung mengapa dirinya tak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Bahkan, sesudah ia mengetahui bahwa gadis itu tak menaruh perasaan padanya.
"Ya, mungkin ini saat yang tepat?" ucap Don. Ia tahu, bahwa ia harus melupakan gadis itu. Namun bagian dirinya yang satu berkata lain, hatinya hanya menginginkan Karmina seorang.
Cinta tak datang setiap hari, tapi ketika singgah seringkali ia menetap dalam waktu lama. Mungkin setahun, dua tahun, tiga tahun, dan seterusnya. Don Kray tak meneruskan, ia selalu tersesat dalam ilmu hitungan, dan baginya cinta jauh lebih rumit dan memusingkan! Setiap hari, ditelannya cinta itu bulat-bulat. Pahit-pahit manis. Sekiranya sejauh itulah deskripsi Don terhadap cinta yang pernah ditelannya.
Tapi belakangan, Don mulai bingung. Sesekali datang pikiran yang menyuruhnya untuk melupakan Karmina. Sebelumnya Don tak mau ambil pusing. Toh juga, saat ini kita hanya berteman dan hubungan kami baik-baik saja, untuk apa aku melupakannya, begitu pikirnya. Namun, pikiran itu semakin sering mampir dan berceloteh. Malah suara-suara yang berasal dari pikirannya sendiri itu lebih sering didengarnya dibanding suara Karmina.
Di muka cermin, dengan penuh kesadaran. Don hendak memutuskan. Ia terus menimbang-nimbang, menembus jauh ke hari-hari depan, memilih satu hari di antara jutaan hari yang belum datang. Menjalani hidup di hari X beserta susulannya yang teramat pahit. Semua demi kemajuan diri. Melupakan Karmina selagi bisa, demikian pikir Don.
..........
Don membiarkan pikirannya menembus jauh ke hari-hari di belakang, mundur ke beberapa bulan sebelumnya. Suatu hari di mana ia meminta maaf kepada Karmina, yakni setelah ia mengungkapkan isi hatinya begitu saja, tanpa peringatan, tanpa aba-aba.
"Maafkan aku Mina… mungkin tadi bukanlah saat yang tepat untuk membicarakannya," ucapnya.
"Tidak pernah ada saat yang tepat untuk hal seperti ini, Don," jawab Karmina.
........
Don tersenyum di muka cermin. “Terima kasih, Karmina,” gumamnya.
Setelah terbius selama beberapa waktu di sana, Don memutar tubuh dan menghadap ke pintu kamar. Kibasan rambut basahnya yang bergaya pompadour itu memercikkan air ke udara. Butir butir air melayang selama sepersekian detik, kemudian mendarat ke sekitar, tak terkecuali cermin berukuran setengah badan yang sejak tadi dipandanginya. Basah, sebasah rasa cintanya kepada Karmina yang tak kunjung kering.
Don membuka pintu kamarnya, kemudian langsung mengarah ke lantai dua rumahnya. Bunyi berdecit terdengar seraya Don berlari kecil menaiki tangga kayu yang reot. Sampai di atas, matanya hanya tertuju pada pintu berjaring-jaring kawat yang memunggungi sinar matahari. Ditariknya gagang besi pintu yang sudah karatan itu, sinar kelabu menyambut matanya yang sayu. Untunglah, hari ini matahari malu-malu, cuaca cerah berawan. Entah sudah berapa lama Don tak mengunjungi sudut teratas yang dapat ditapaki di rumahnya ini. Sebuah tempat yang dahulu sering dikunjunginya—sebelum Don Kray jadi mahasiswa.
Tempat jemuran, di sinilah tempat dimana Don bisa menikmati langit dengan privat. Sewaktu kecil Don sering menghabiskan waktu sendiri di tempat ini. Biasanya sore hari, sehabis pulang bermain dengan teman-teman sekolahnya. Don kecil suka duduk di atas tembok keran air yang berbatasan dengan rumah tetangga. Tinggi tembok itu sekitar 100cm. Don betah berlama-lama di sini, bila langit sedang bagus. Langit biru, awan putih, pesawat terbang, dan burung, dipandangi dengan polos, sampai kedua matanya agak menyipit, silau. Bahkan ia suka memikirkan hal-hal gila, seperti Bagaimana kalau posisinya di balik, bahwa daratanlah yang sebenarnya di atas dan langit yang di bawah. Kemudian ia membayangkan dirinya jatuh ke langit.
Kadangkali ia juga mendatangi tempat jemuran saat pagi buta, yakni untuk menyaksikan proses terbitnya matahari. Don pun tak mengerti, mengapa ia merasa bersemangat selepas menyelesaikan kegiatan pagi harinya yang kurang bermakna itu.
Sewaktu SMA, Don sudah jarang nongkrong di tempat ini. Ia lebih banyak menghabiskan waktu nongkrong bersama teman-teman SMA-nya di luar rumah. Walau demikian, pada saat-saat kusutnya secara otomatis kakinya akan melangkah ke sini. Dan adegan estetik Don pun dimulai, dibakarnya rokok gudang garam filter. PUSS… Ditatapnya langit, sambil mengawas jeli segala burung gereja, dan benda apapun saja yang melintas di atas kepalanya. Kegiatan ini membuat Don merasa tenang.
Tali-tali jemuran yang melintang mulai bergoyang. Gemuruh angin datang dari arah Selatan. Rambutnya yang mirip roti buaya bergoyang-goyang ke atas. Don memutar badan sejenak, dibakarnya sebatang rokok Sampoerna Kretek. Setelah kesulitan menyalakan rokoknya selama beberapa saat, ia membalikkan badannya ke arah semula, menghadap ke Selatan. Ia berjalan beberapa langkah, sambil merunduk tuk menghindari tali-tali jemuran yang tak tenang. Don tak menyangka, bahwa tembok keran air alias tembok terbelakang rumahnya sudah sedemikian rendahnya, hanya sampai ulu hatinya. Ia teringat akan waktu-waktu yang dahulu ia pernah habiskan di tempat ini. Masa-masa sedih, takut, dan marah. Saat ini ketiga rasa itu sedang bercampur aduk di dalam hatinya. Ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. Rasa rindunya pada Karmina yang tinggal di ujung selatan sana, yang tak mungkin dapat dilihatnya dari sini. Don mengulurkan tangan ke cakrawala jauh, berharap dapat menjangkau Karmina dari situ.
Don marah pada dirinya, karena saat ini ia tak mampu melakukan apapun untuk menemui perempuan itu. Ia takut, kalau beberapa hari yang lalu adalah kali terakhir ia memeluk Karmina. Sebab ia tahu, kalau kondisi perempuan itu sedang tidak baik-baik saja.
"Aku ingin mendengar, kalau kau sudah tak takut lagi dengan hari esok. Karmina, sungguh aku tak pernah yakin untuk melupakanmu," ucap Don sambil memandang seekor burung gereja yang terbang tinggi ke arah Selatan.