PTBP Bab 1 s/d 3 (Gratis)

2
0
Deskripsi

Blurb

Marhara mendadak gila pada suatu sore, membuat gempar warga kota, kemudian hilang dibawa pergi laki-laki. Sang ayah kemudian meminta tolong kepada tiga sahabat Marhara untuk membantu mencarinya, yaitu : Yunika, gadis yang tak punya pekerjaan dan keahlian lain kecuali melarikan diri dari rentenir dan mengajak kawin kekasihnya. Alea, si mucikari yang kerap berurusan dengan pria-pria kaya hidung belang. Lalu Dinda, si gadis virilis yang masa remajanya banyak dihabiskan dengan urusan orang mati....

 

1. Menghilangnya sang gadis rasionalis

Sumatera Utara, tahun 1995

 

Sore hari, menjelang magrib, gerombolan burung walet terbang seakan menodai langit, mengitari kepala Marhara yang dengan seronoknya duduk di tepi gedung bertingkat empat tempat walet-walet itu dipelihara. Kicau kawanan walet terdengar sungguhan, tidak seperti suara tiruan yang selama ini berasal dari tape yang diputar berulang-ulang. Kaki Marhara menjuntai, melihat orang-orang berkerumun di bawahnya yang menunjuk-nunjuk serta meneriakinya dengan nada panik bercampur amarah.

Pasalnya, Marhara duduk di tepi atas gedung dalam keadaan telanjang. Buah dadanya yang masih kokoh khas anak perawan itu bagai teropong yang mengundang perhatian. Paling tidak, bagian kemaluaanya terapit oleh pahanya sendiri. Rambut hitam legam sepunggungnya berkibar diterpa angin sore. Ia melihat ke bawah, wanita muda hingga tua menyerapahnya dengan kata-kata pedas bahkan mencaci karena tindakan kurang ajarnya itu. Akibatnya, para lelaki yang merupakan suami atau kekasih mereka bermuka gila karena mendapat tontonan gratis. Kulit Marhara kuning langsat, tampak berkilauan meski sinar matahari yang menyorot tepat di hadapannya itu menyiram penuh.

Sumpah serapah para wanita yang marah tak dapat Marhara dengar sebab itulah alasan ia duduk di atas, hanya agar telinganya tak mendengar dan meskipun ia mendengar, Marhara tak akan peduli dengan omongan mereka.

"Perempuan gila! Marhara tiba-tiba menjadi gila!" pekik salah seorang bapak yang lebih memilih melotot pada Marhara ketimbang mengurusi dagangan ikan asinnya yang sudah dikunyahi kucing.

"Gadis paling cantik sekecamatan itu sudah tak waras."

"Marhara, turunlah atau bunuh diri sekarang karena kau sudah membuat laki-laki kami ngences."

Seruan perempuan yang sedang menggendong bayi tak berarti apa-apa bagi Marhara. Ia tetap memandangi mereka, orang-orang berdatangan semakin banyak, jumlahnya tak terhitung seperti kerumunan orang yang menonton layar tancap. Bagi laki-laki yang lehernya kuat, mereka bakal tahan mendongak ke atas selama berjam-jam. Namun bagi laki-laki tua yang punya penyakit darah tinggi atau rematik, apalagi baru sembuh dari stroke, berharap saja mereka tidak mati di tempat dalam keadaan muka tercengang dan mata melotot.

Salah seorang gadis yang merupakan tetangga Marhara segera berlari ke rumah orang tuanya yang berjarak tiga ratus meter, tersengal-sengal memanggil orang tua si gadis bugil agar segera pergi melihat malapetaka itu. Subari Nasution dan Ambarita terkejut setengah mati dan mulanya menganggap si penyampai berita itu hanya membual. Bagaimana mungkin putri bungsunya yang paling penurut, berpendidikan dan paling dibanggakan itu berperilaku bagai orang tak waras? Demi Tuhan, Marhara masih berada di dalam kamarnya dua jam yang lalu, tidur sore dan tak ada tanda-tanda anaknya itu terkena penyakit spontan gila.

"Kemungkinannya ada dua, Nantulang. Marhara memang mau bunuh diri atau dia cuma duduk telanjang karena gila."

Subari—sang ayah—tergesa mengencangkan sarungnya dan mengenakan kaus oblong untuk mengikuti ke mana si penyampai berita itu pergi. Ambarita menjinjing dasternya, sandal terbalik sudah tak lagi ia pedulikan meskipun kakinya tersaruk batu karena tak nyaman. Tak ada waktu memperbaiki sandal. Suaminya tak lihai berlari karena penyakit asam urat di kaki sedang kambuh-kambuhnya tadi siang.

"Di sana!" kata si penyampai itu sambil menunjuk ke atas sebuah bangunan bertingkat empat.

Subari dan Ambarita mendongak serentak dan hampir terkena serangan jantung melihat anak perempuannya bertubuh polos tanpa punya rasa bersalah.

Bagian dinding gedung itu berlubang-lubang sebagai media untuk tempat walet keluar-masuk. Rumput atau benalu tumbuh di sebagian permukaan dinding yang meretak. Pada posisi tegak lurus ke atas, kaki Marhara yang menjuntai bergoyang-goyang seperti orang yang menikmati udara sore di pinggir pantai bersama ketenangan yang sulit diartikan. Marhara bahkan tak mengindahkan teriakan ayahnya sendiri.

Bagaimana caranya Marhara naik ke atas sementara gadis itu tak pernah masuk apalagi mendatangi gedung tua tersebut? Para warga yang berkerumun mendesak Subari untuk segera naik dan membujuk Marhara agar turun, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang tahu bagaimana cara naik ke atas sana. Si pemilik rumah walet tak pernah ada di tempat dan penjaga gedung itu pastilah sudah pulang sebab jam kerja sudah habis. Pintu masuk terkunci. Satu-satunya cara untuk bisa mencapai atas pastilah melalui tangga di dalam.

Seorang pria tua yang berprofesi sebagai penebang pohon pinang meminjamkan kapaknya pada Subari walau pada akhirnya pria itu sendiri yang membacok pintu lalu menendangnya sampai terbuka. Subari memasuki ruangan gelap itu. Seumur-umur sejak gedung itu berdiri dua puluh tahun di sana, Subari tak pernah tahu seperti apa isi rumah yang selalu bising dengan suara-suara tiruan walet. Setiap lantai, bagian langit-langit melintang kasau-kasau kayu yang disejajarkan rapi tempat sarang keputih-putihan dikumpulkan para walet. Baunya aneh, tapi Subari tak sempat mengumpat.

Sementara ia naik ke atas, orang-orang di luar semakin gaduh. Ambarita menangis sejadi-jadinya, punggungnya dielus oleh ibu-ibu di sekelilingnya untuk menenangkan. Siapa pun tak akan menyangka jika seorang gadis baik-baik seperti Marhara bertingkah seperti itu. Pekikan mereka kembali serempak ketika Marhara berdiri, masih di tepi atas gedung. Rambutnya melambai-lambai menutupi kedua matanya yang seolah tak berhasrat sama sekali.

Semakin tampaklah bentuk tubuh moleknya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Para lelaki tak dapat menahan lagi, alat kelamin mereka tak lagi dapat dikendalikan hingga mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing sedangkan sebagian yang tersisa memilih bergeming untuk mengagumi.

"Demi Tuhan, Marhara! Kalau kau mau mati jangan berlama-lama, kau malah membuat malapetaka di kota ini!"

Marhara tetap diam. Di belakangnya, Subari memanggilnya dengan suara lembut. Membujuk hati-hati. Terlalu takut bila saja Marhara melangkahkan satu kakinya dan terjun bebas ke bawah. Meski hanya empat lantai, tapi tengkorak kepala pasti pecah juga bila sudah menumbuk lantai beton.

"Marhara, anakku! Berbalik dan kembalilah pada Ayah, Nak. Apa yang terjadi sama kau?"

Jangankan menoleh, mendengar pun Marhara tetap tak mau. Kakinya seolah terpaku di sana. Kalau pun ia jatuh, maka dorongan dari dalam dirinyalah yang membuat ia terjun. Dua pemuda di belakang Subari mengawasi bila sewaktu-waktu Marhara jatuh pingsan, Subari sudah pasti butuh orang lain untuk membawanya ke bawah. Dua pemuda seumuran anak SMA yang wajahnya hampir mirip malah saling sikut, berlomba siapa yang mencapai lebih dulu.

Tidak ada jawaban ataupun ungkapan yang dapat Marhara utarakan di setiap bujukan juga pertanyaan halus yang dilontarkan ayahnya. Seminggu belakangan ini, Marhara bagai kehilangan jiwanya sendiri. Tidak ada traumatis yang ia terima apalagi perlakuan tidak manusiawi dari manusia lain yang membuatnya kehilangan akal. Raganya yang bergerak itu bagai dikendalikan entah oleh apa dan oleh siapa. Jauh di bawah alam sadarnya, Marhara serasa ingin teriak dan menangis. Namun ia tak tahu, dunia yang berjalan di depan matanya justru terlihat seperti kabut mainan yang mengepul-ngepul, menutupi pandangan dan menekan dadanya. Teriakan orang-orang serupa dengungan lebah yang tak berperibahasa.

Tadinya, jauh-jauh hari sebelum hari gila ini datang, Marhara tak ubahnya gadis dua puluh tahun yang sangat suka tertawa dan bicara sebagaimana orang normal. Ia bergaul dengan orang lain, terutama tiga sahabatnya yang tak pernah memberi pengaruh buruk. Marhara tertawa meski tak tampak tertawa sungguh-sungguh sebab pikirannya selalu tertuju pada satu pria bernama Togi. Satu-satunya pemuda yang berhasil membuat ia hampir lupa pada dunia, keluarga, sahabat dan kini dirinya sendiri.

Tatapan matanya mengarah pada langit senja di mana matahari sudah hampir tenggelam dan beberapa menit lagi adzan maghrib akan berkumandang. Marhara masih sama, berdiri telanjang dan tak mengindahkan bujukan ayahnya yang sudah dua langkah hampir mencapai. Tangan Subari merentang, siap untuk menyergap tubuh Marhara dari belakang. Namun hal itu dengan cepat disadari Marhara dan tolehan wajahnya yang tiba-tiba mengejutkan Subari. Marhara melotot seolah mengecam tindakan ayahnya.

"Jika berani mendekat, aku akan melompat!" sergahnya penuh ancaman.

"MARHARA!"

Teriakan seorang pemuda di bawah yang menyerukan namanya merangsang pendengaran. Marhara melihat ke bawah, Togi sudah berdiri di sana dan berlari ke arah pintu masuk. Senyum Marhara merekah begitu saja seperti bunga mawar merah yang mekar di pagi hari. Ia berbalik, tangan ayahnya masih melebar dan dua pemuda di belakang Subari melakukan hal yang sama. Salah satunya bahkan mengeluarkan air liur di sudut bibir, lebih kepada tak tahan melihat tubuh Marhara.

Marhara menangkupkan kedua tangannya di depan dada ketika melihat Togi muncul. Mengigit ujung jemari tangannya sambil nyengir. Pemuda itu tidak tersenyum sebagaimana biasanya. Marhara masih berdiri di tepi, menyambut kedatangan Togi yang berjalan ke arahnya dan begitu saja melewati Subari yang terbengong.

"Togi, akhirnya kau datang."

"Marhara, apa yang kaulakukan? Kenakan pakaianmu sekarang dan pulanglah," bujuk Togi.

Pemuda itu berkulit sedikit gelap seperti bertahun-tahun tersengat matahari, berambut keriting, dua alisnya menyatu dan bertemu di tengah-tengah, bibir Togi tipis, hidungnya mancung dan dagunya runcing. Yang paling membuat Marhara menyukainya adalah tutur lembut Togi yang mampu menggairahkan seluruh tubuhnya.

"Aku tidak pernah menyuruhmu telanjang seperti ini, bahkan di depan ayahmu sendiri."

Mendengar nada halus pemuda itu, lagi-lagi Marhara senang bukan main. "Bawa aku bersamamu, Togi. Aku akan turun jika kau yang membawaku."

Togi menggeleng sebentar lantas tersenyum. Dilihatnya pakaian Marhara tergeletak tak jauh dari posisi gadis itu, ditimpa bebatuan agar tidak terbang dibawa angin. Wajah Subari merah padam melihat Togi membantu Marhara mengenakan pakaiannya sebab hanya dengan pemuda itulah Marhara menurut. Tangan Subari ditepis berkali-kali dan hatinya terasa sakit ketika Marhara membentak dan melotot padanya. Subari yakin itu adalah Marhara anak gadisnya, tetapi yang tampak di depan matanya justru seperti perempuan binal yang sakit jiwa. Ia hanya diam mematung sampai Marhara mengenakan pakaiannya dengan lengkap. Togi melihat Subari dan mengatakan kalau dia sendiri tak tahu bagaimana Marhara bisa seperti ini. Pemuda itu memintanya bersabar dan menawarkan diri untuk mengantarkan Marhara pulang ke rumah.

Mau tak mau, Subari menurut sebab hanya itulah cara satu-satunya agar Marhara mau pulang ke rumah. Setelahnya Subari mungkin akan memanggil tabib atau kiyai, atau mungkin dukun sekalipun untuk mengobati penyakit spontan gila anak gadisnya. Ia hanya bisa mengikuti Togi yang menuntun Marhara turun ke bawah. Pundak anak gadisnya yang tampak kecil itu dirangkul oleh pemuda asing yang baru satu kali Subari temui sekitar dua minggu yang lalu saat Togi datang ke rumahnya untuk mengajak Marhara menonton bioskop tetapi ditolak mentah-mentah oleh Marhara. Kini Subari seakan menyerahkan Marhara begitu saja dengan sukarela.

Orang-orang berbisik-bisik dan memandangi Marhara seperti sampah masyarakat yang hina ketika berjalan melewati. Togi meminta maaf, disusul Subari dan Ambarita yang turut meminta maaf karena sudah membuat mereka terganggu.

Togi menyuruh Marhara masuk ke dalam kabin depan pickup tak bermuatan yang tadi dibawanya. Subari dan Ambarita memilih untuk berjalan kaki saja, toh nanti mereka akan bertemu di rumah. Pickup itu melaju lebih dulu. Sandal Ambarita tidak lagi terbalik saat berjalan ke rumah dan Subari masih terbengong-bengong tak mengerti. Begitu mereka sampai di rumah, pickup Togi belum sampai. Mereka menunggu, satu jam kemudian pickup itu tidak juga sampai. Subari dan Ambarita gelisah, uring-uringan dan bertanya pada semua warga yang tadi berkumpul di depan rumah walet. Sayangnya, tak ada satu pun dari mereka yang memperhatikan ke mana pickup itu pergi.

Begitulah jam-jam berikutnya bahkan hari-hari ke depannya. Pickup itu tidak juga sampai. Marhara tidak kembali, Marhara tidak pulang, dan Marhara menghilang entah ke mana setelah dua minggu berselang.

 

 2. Sebelum marhara menggila

Bukan main terlukanya hati Subari mendapati kenyataan anak perawannya tak kunjung kembali. Hari demi hari ia habiskan untuk menunggu dan mencari keberadaan Marhara hingga ke pelosok kota, desa, bahkan gubuk-gubuk di ladang orang, siapa tahu Marhara dan pemuda bernama Togi itu bersembunyi di sana. Dua kakak kandung Marhara―Farida dan Sarifah―adalah wanita yang sudah berumah tangga dan memiliki anak, Subari tak bisa mengerahkan tenaga kedua anaknya itu untuk turut mencari. Para tetangga, sanak saudara, dan warga di bawah kepemimpinannya sebagai kepala lingkungan juga sudah membantunya mencari informasi. Laporan orang hilang yang Subari dengungkan ke kepolisian juga belum menemukan titik terang. Alih-alih berpencar dan menyelidiki, aparat berseragam lengkap itu kerap kedapatan Subari sedang berleha-leha di kantor polisi, tertawa menggelak membahas hal yang terdengar tak penting tapi barangkali lucu di telinga yang lain. Subari acap kali bertanya mengenai perkembangan kabar keberadaan Marhara, sayangnya tak ada yang ia dapati selain jawaban tak jelas atau omongan bahwa para polisi itu sedang berusaha mengumpulkan informasi, tetapi dengan mata yang tak melihat wajah kekhawatiran Subari sama sekali. Proses yang seakan diulur-ulur itu tak memuaskan. Setiap hari, Subari akan pulang dengan kekecewaan yang tak sudah-sudah dan kembali merenung di dalam kamar anak perempuannya.

Aroma kamar Marhara masih sama seperti yang gadis itu tinggalkan dua minggu yang lalu. Manis dan lekat dengan bau seumpama daun sirih yang terkena embun. Kasur yang kini Subari duduki masih mengeluarkan bau matahari sebab siang sebelum hari menghilangnya Marhara, gadis itu menjemurnya di halaman depan rumah. Memukul-mukul tilam dengan pukulan yang terbuat dari rotan. Tak tampak kegilaan bertengger di jiwa Marhara kala itu. Subari ingat betul bagaimana raut wajah menahan udara berdebu yang mengelilingi tubuhnya saat tilam digebuk-gebuk. Kemudian sembari menggulung tilam untuk dikembalikan ke kamar, Marhara meminta tolong pada Subari untuk membawa masuk dua kursi. Dengan kedua tangan Subari sendiri kursi makan yang digunakan untuk tempat bertenggernya tilam itu diangkat. Matahari jam tiga sore begitu hangat dan keringat di kening Marhara berkilauan. Gadis itu menggumamkan lagu cinta ciptaan Roma Irama saat berjalan masuk. Suaranya merdu, jernih dan enak didengar. Tentu saja, selain bekerja sebagai staf di sebuah penginapan, Marhara mengambil pekerjaan sampingan dengan menjadi biduan di acara-acara hajatan. Suaranya yang merdu dan mendayu itu sangat disukai orang-orang di kota. Tak heran jika nama Marhara cukup terkenal di kalangan pengusaha kibot dan juga para pejabat yang haus hiburan.

Ambarita yang kala itu baru pulang dari pasar dengan membawa dua kantung plastik belanjaan bahan dapur, kebutuhan kamar mandi, dan sebungkus kue bika ambon dari toko roti langganan pun dibuat senang karena nyanyian itu. Marhara masih saja bernyanyi selagi memasang sprei dan sarung bantal guling bercorak bunga melati. Jika suaranya tak lagi terdengar, itu bertanda Marhara sudah begitu mengantuk. Tak ada yang mampu menandingi kenyamanan dari tilam yang masih hangat dan sprei yang harum. Ambarita ingin memberitahu anaknya bahwa bika ambon tak harus dibuat menunggu sampai Marhara terbangun karena ia paling tahu kalau gadis itu tidak suka jika kue favoritnya dingin. Lantas kesibukan sepasang suami istri itu memberi makan ternak ayam dan entok ternyata memalingkan perhatian. Mereka kecolongan, tanpa tahu ternyata Marhara keluar lewat pintu depan, pergi tanpa pamit dan malah disemburkan kabar buruk mengenai kegilaan mendadak Marhara.

Marhara merupakan sosok gadis dua puluh tahun yang dikenal sangat ramah dan banyak bicara. Sehari-hari Marhara bekerja sebagai pelayan di sebuah hotel kalangan menengah ke atas. Melati Sukma adalah nama hotel tersebut, letaknya hanya berjarak lima ratus meter dari tempat tinggalnya. Setiap pagi, dengan dandanan cantik rok pendek, kemeja putih dengan rompi merah bercorak ulos dan dihias mungil oleh dasi kupu-kupu kerah bajunya, Marhara akan mendayung sepeda mininya sampai ke hotel. Subari sering menawarkan diri untuk mengantar gadis itu berangkat menggunakan sepeda motor, tapi dengan kemandirian yang sudah sangat matang itu, Marhara tak ingin kelihatan bak anak manja di mata teman-temannya. Meski terkadang Marhara luluh juga di waktu-waktu genting saat ia terlambat.

Subari masih duduk di tepi ranjang Marhara. Wajahnya sendu menatap langit kelabu dari jendela sisir yang terbuka lebar. Kamar itu berada di lantai dua, lantai papan di bawah kaki Subari menimbulkan suara sedikit berderak ketika ia berdiri, melangkah menuju meja belajar tempat dulu Marhara menghabiskan dua jam mengerjakan PR sekolah setiap malam. Sebuah pigura mini berwarna merah muda berdiri, wajah Marhara terlihat sangat cantik dengan pose wajah yang sangat dekat, menampakkan bagian ujung kepala hingga perut. Satu tangannya menopang dagu dan senyum yang sangat memesona itu tak dapat menandingi anak gadis siapa pun di lingkungan tempat tinggalnya.

Foto itu diambil saat Marhara masih berusia tujuh belas tahun, kemeja putih yang dikenakan menandakan bahwa anak itu sengaja difoto saat pulang sekolah. Rambut hitam legam dan lurus bagaikan selendang pekat yang ditenggerkan di kepala, mata binarnya terpancar mulia. Hidung mancung itu sangat jelas diwariskan dari Subari, dan kulit seputih buah pir yang baru dikupas adalah keindahan luar biasa yang diturunkan sang ibu. Siapa pun yang tak pernah mengenal Marhara, tak akan tahu seperti apa gadis itu jika bicara. Ia terkenal sebagai pengkritik tajam, pemerhati situasi dan penyerang ulung dalam urusan berorganisasi. Subari sudah menentukan dan sangat yakin, kelak Marhara akan menjadi penerus dirinya sebagai Kepala di lingkungan Nangadok, daerah kekuasaannya selama tiga puluh tahun terakhir. Subari bahkan pernah berpikir, dengan kemampuan Marhara yang sangat piawai dalam urusan berorganisasi, mengarahkan masyarakat dan ditambah dengan namanya yang sudah dikenal banyak orang, gadis itu bisa saja menjadi Camat, Bupati, bahkan Gubernur di usia muda.

Namun apa yang dihadapi keluarganya sekarang hanyalah tebaran aib dan kehilangan yang menyakitkan. Istri Subari masuk ke dalam kamar Marhara dan melihat suaminya menangis seperti anak cengeng sambil memandangi pigura. Ambarita menyentuh pundak Subari dan rasanya ingin ikut menangis meskipun sisa air mata mungkin sudah tak ada lagi sebab Ambarita sudah menghabiskannya di hari-hari sebelumnya. Subari dengan susah payah menenangkan istrinya kala itu, kini justru istrinya yang berbalik menenangkannya.

"Dia sangat cantik," kata Subari dengan getaran suara yang pilu. "Aku tak bisa percaya nasib anak kita seperti ini. Aku takut Marhara tidak akan pernah kembali lagi."

Ambarita menggigit bibir, matanya bergeser ke pigura lain di atas meja yang sama. Ada foto Marhara bersama tiga temannya. Empat anak perempuan saling merangkul dan tertawa menghadap kamera. Ambarita mengembuskan napas selagi menemukan ilham lantas berkata pada suaminya, "Marhara akan kembali. Kita lupa kalau selama ini Marhara punya sahabat terbaik yang saling melindungi."

Mereka mengenakan seragam sekolah yang sama, putih abu-abu. Ambarita tentu sangat mengenal tiga sahabat Marhara itu. Paling pinggir dari sebelah kanan namanya Yunika, gadis berkulit cokelat pekat tetapi pemilik senyum termanis. Kemudian Marhara sendiri, berdiri terhimpit oleh keberadaan Yunika dan gadis berkulit putih bersih yang hampir sama cantiknya dengan Marhara, namanya Alea Aritonang. Dan yang berada di urutan terakhir bernama Dinda Kanita, seorang gadis keturunan Jawa itu berpose dengan wajah sedikit angkuh dan tersenyum sekadar. Sekilas, mereka memiliki tinggi yang hampir sama, 161 cm, meski kenyataannya Marhara adalah yang paling tinggi di antara mereka.

Subari memandangi istrinya dan berpikir setelah Ambarita mengatakan itu. Bagaimana bisa mereka melupakan ketiga gadis tersebut selama ini? Ia bahkan tak ingat harus mengabarkan bahwa salah satu sahabat mereka sedang berada dalam lingkaran misteri besar sekarang. Masalah itu nyata, bukan bualan, mungkin juga mereka tak akan percaya bahwa Marhara yang dikenal paling judes dan rasionalis itu mendadak gila dan menghilang. Subari dan Ambarita sepakat, mereka tak lagi bisa mengharapkan polisi, saudara, dan warganya yang hanya baik di depan matanya itu saja. Satu-satunya yang bisa sepasang suami istri itu harapkan hanyalah kerelaan hati tiga sahabat Marhara. Barangkali mereka tahu soal hubungan Marhara dan Togi selama ini. Meski kebimbangan merangkul, khawatir kalau-kalau tiga gadis itu menolak untuk membantu, atau tak peduli sebab sudah lama Subari tak mendengar Marhara pergi berkumpul dengan mereka, tetapi Subari kembali didorong oleh perasaan tak tenang.

Mengumpulkan tiga sahabat Marhara yang memiliki kehidupan masing-masing bukanlah perkara mudah. Subari bahkan tak tahu alamat mereka apalagi nomor telepon rumah yang sudah pasti mereka tak memilikinya. Ia mulai mengacak-ngacak buku sisa peninggalan sekolah Marhara. Mungkin ia bisa menemukan tulisan yang bisa dijadikan petunjuk. Ambarita bilang, anak-anak perempuan biasanya doyan mengoleksi diari. Lebih tepatnya, buku cantik yang di dalamnya dituliskan biodata teman-teman sekelasnya di sekolah. Mereka lantas bertekad menemukan buku itu di antara tumpukan buku nonfiksi tentang motivasi, biografi orang-orang sukses, kumpulan kata-kata bijak, sosial politik, teori kepemimpinan, dan Subari takjub mendapati kegemaran anaknya sendiri yang tak pernah ia ketahui. Bukannya mencari buku diari, Subari malah tambah sedih menyadari impiannya menjadikan Marhara pemimpin di Nangadok ternyata bukan angan-angan semata.

Buku itu akhirnya ditemukan. Sampulnya berwarna merah bergambar bunga mawar putih, buku itu sebesar dua telapak tangan dan masih terlihat sangat bagus. Ambaritalah yang banyak bekerja sementara suaminya justru menghabiskan waktu dengan membuka buku-buku bacaan Marhara sambil mengisak.

"Berhentilah menangis dan temui ketiga gadis itu di rumah mereka," sergah Ambarita.

Esoknya, pagi-pagi sebelum jam tujuh, Subari menyiapkan sepeda motor Astutinya menuju kediaman salah satu dari mereka. Subari menyusun rencana. Mula-mula ia akan pergi ke arah Barat kota Medan di mana Yunika dan keluarganya terakhir kali menempati rumah kontrakan. Beruntungnya Marhara sempat menuliskan alamat terakhir gadis itu di bagian paling bawah catatan biodata Yunika. Sebagai orang pertama yang akan Subari temui, ia begitu yakin Yunika akan bersedia terlibat sebab yang ia tahu, gadis itu tak punya pekerjaan dan keahlian lain kecuali melarikan diri dari rentenir dan mengecoh orang-orang kaya bodoh. Subari akan coba berkompromi agar gadis itu mau diajak untuk menemui dua sahabatnya yang lain. Selanjutnya Subari akan mendatangi Alea, si gadis suku Batak yang terakhir Subari dengar banyak bekerja dan berurusan dengan pria-pria kaya hidung belang. Satu-satunya orang terakhir yang Subari niatkan untuk dimintai tolong adalah Dinda, si gadis virilis yang masa remajanya banyak dihabiskan dengan urusan orang mati. Dari yang sering Subari perhatikan setiap kali tiga gadis itu datang ke rumahnya untuk bermain dengan Marhara, ia paling tidak bisa mengenal baik sifat dan perilaku Dinda yang sering berubah-ubah. Ia mencoba untuk memaklumi, sebagaimana yang Marhara pernah ceritakan tentang sahabat paling pemberaninya itu, tak ada orang yang bisa membaca prinsip hidup pengurus orang mati sebab tak ada orang mati yang bisa diajak bercengkerama.

Subari menaiki sepeda motornya dengan tekad bulat yang sangat berapi-api. Tanpa tahu, kendala yang lebih sulit bakal ia hadapi kemungkinan besar akan menggagalkan harapannya semula.

 

 

                                                                3. yunita si tukang hutang 

Rumah Yunika berada di lorong-lorong sempit, paling sempit, menyudut dan mungkin buntu. Meskipun Subari belum tahu dan pada hakikatnya, ia hanya mengandalkan petunjuk dari orang-orang yang ditanya. Subari memarkir sepeda motor merah putihnya di ujung gang, ia harus berjalan kaki untuk bisa masuk ke dalam lorong itu. Yunika tinggal di deretan rumah kontrakan yang saling berhadap-hadapan. Antara ujung beranda rumah dengan rumah di depannya hanya satu setengah langkah dan bila hujan mengguyur, bisa dibayangkan seperti apa jalan itu membentuk parit. Tidak banyak yang mengenal Yunika ternyata, Subari memaklumi sebab keluarga gadis itu tak ubahnya manusai nomaden yang berkelana tak tentu arah. Kakinya melewati jalan setapak berkerikil yang sebagian tandas karena diambili anak-anak untuk dijadikan mainan gatheng di depan pintu rumah mereka. Ibu-ibu berkumpul dan memandanginya saat berjalan melewati lantas berbisik-bisik dengan mata yang masih menyantroni. Subari harus menunduk menyembunyikan wajah sebab asumsi orang-orang itu barangkali tak baik.

Ia hanya tinggal mencari rumah nomor C6 setelah matanya lelah menelisik satu per satu nomor di pintu rumah yang ditulis dengan cat minyak. Kini, kakinya berhenti tepat di depan rumah bernomor C6. Seorang laki-laki bertubuh pendek dan kurus berdiri di ambang pintu, menghadap ke dalam rumah. Subari ingin bertanya, tetapi lengkingan suara seorang wanita dari dalam tiba-tiba membuatnya tersentak kaget.

"MINGGU DEPAN! Apa tak kau dengar aku ngomong apa? Mau seratus kali pun kau minta uang sama aku tak akan ada yang kau dapat!"

Subari mengernyitkan dahi, ia kenal betul, itu suara Yunika, si gadis yang saat ini sedang dicarinya. Kepalanya melongok ke dalam untuk memastikan sosok itu, lagi-lagi ia dikejutkan dengan suara sesuatu yang pecah. Mungkin gelas atau piring yang jatuh ke lantai.

"Apa itu? Tak bisa bagus sedikit kau taruh piring itu, Rasti?" teriak Yunika lagi. Gadis itu kembali menghadapi tamunya. "Udahlah, Bang. Kalau ada pasti kukasih samamu sekarang, aku lagi repot—"

"Namboru bilang kau janji mau kasih ini hari, makanya aku datang," sergah pria pendek itu.

"Bilang sama Namboru, adikku lagi sakit. Aku bahkan tak punya uang untuk pergi ke rumah sakit."

"Sakit apa adik kau?"

"Tak tau, itulah makanya mau kubawa dia ke rumah sakit, tapi uang pun aku tak punya." Yunika memperhatikan pria itu dari atas ke bawah lantas kembali berkata, "begini saja, kuminta dulu uang Abang, berapalah yang ada untuk adikku berobat, nanti kalau adikku udah sehat, 'kan bisa aku kerja lagi, dapat duit aku, bisa kubayar hutangku sama Namboru. Kalau begini terus aku, kapan aku bisa cari uang, Bang?"

Pria itu menggeleng tak setuju. "Arghhh ... lagu lama. Akal-akalan kau sajanya itu, nanti kalau adikmu sudah sehat, mana mungkin kau mau kerja. Paling kau berhutang lagi sama orang."

"Bisa pulak lah Abang ngomong begitu samaku? Udah lupanya kau kalau kita dulu pernah saling jatuh cinta, Bang Betran? Sekarang kau bikin aku susah begini. Paling tidak kau kasih aku sedikit uang sebagai tanda perpisahan."

"Argghhh! Tak ada kayak gitu!"

"Suami istri cerai saja dapat harta gono-gini, paling tidak orang pacaran juga dapat gono gini, Bang. Biar ridho aku, jadi kau tak menjomlo begini. Berpikirlah sedikit!"

Akhirnya, mata yunika bertemu dengan Subari dan tampaknya gadis itu segera menyudahi negosiasi dengan si pria pendek. Rumah itu dipenuhi dengan gerutuan dari satu mulut ke mulut lawan. Yunika masih beralasan tak punya uang karena tak bisa bekerja selama adiknya sakit. Meski dilontarkan caci maki keberatan dari si pria pendek, akhirnya pria itu mengeluarkan dompet dan memberikan empat lembar uang bergambar orang utan pada Yunika. Umpatannya berdenging di telinga Subari sementara Yunika tersenyum mendapatkan kemenangannya. Mata mereka saling bertemu saat pria itu berpapasan dengannya.

"Kusarankan untuk tak meminjamkan uang pada gadis itu atau Bapak akan bernasib sial sepertiku."

Subari tak berkomentar kecuali menaikkan sebelah alisnya heran memandangi si pria pendek sampai menghilang di jalan keluar lorong. Yunika menyapa Subari dan menyuruhnya masuk setelah sebelumnya menyalim tangan orang tua itu penuh hormat. Gadis itu tinggal di rumah yang sangat kecil. Bersama tiga adik prempuan dan ibunya, Subari membayangkan cara mereka tidur di rumah yang hanya punya satu kamar. Sebab tak ada kursi tamu apalagi sofa, ia dipersilakan duduk di lantai beralaskan tikar anyaman. Kaus oblong yang gadis itu kenakan tampak kendur dan ketika ia bersimpuh menyuguhkan secangkir teh hangat, Subari bisa melihat bagian ketiaknya sobek. Tampaknya sobekan itu akan bertambah di ketiak yang satunya lagi. Suara tangis adik perempunnya yang masih berusia sepuluh tahun mengalihkan perhatian Subari ketika mereka hendak serius bicara. Yunika pergi sebentar ke kamar dan entah apa yang gadis itu lakukan, tangisan adiknya tidak lagi terdengar.

"Maaf, Pak. Adik aku suka rewel jika sedang sakit. Dia demam sudah tiga hari," kata Yunika saat kembali duduk di hadapan Subari. Tak ada tanggapan selain senyum pemakluman yang ditujukannya pada Yunika serta ucapan semoga cepat sembuh. "Apa yang terjadi pada Marhara sampai Bapak datang menemuiku sendirian? Aku tak menyangka Bapak bisa menemukan tempat tinggalku."

Subari menyesap teh hangat buatan Yunika sebentar. Dengan gelagat yang berusaha ia tegarkan, Subari hampir tak tahu harus memulai dari mana.

"Bapak, butuh bantuanmu dan teman-temanmu," pintanya dengan suara rendah. "Marhara menghilang dua minggu yang lalu. Satu jam sebelum dia menghilang, satu RT dibuatnya heboh dengan pertunjukan gilanya."

"Gila bagaimana maksud Bapak?" tanya Yunika penasaran.

"Marhara telanjang bulat dan duduk di atas rumah walet. Duduk tenang seperti manusia tak bersalah yang sedang menikmati senja di pantai. Semua orang mengatai Marhara kena penykit spontan gila."

Yunika tekejut bukan main mendengar penuturan ayah dari sahabatnya itu. Bagaimanapun dari yang ia ketahui soal Marhara, tak ada satu pun hal tak masuk akal yang dapat diterima oleh akal sahabatnya itu sendiri. Marhara bukan tipe perempuan yang dengan mudahnya percaya pada orang lain dan itu sebabnya Marhara sering diamanati sebagai bendahara kelas saat di sekolah, juga diunjuk sebagai ketua panitia berbagai acara sekolah. Marhara adalah gadis bermartabat yang dengan segala macam godaan laki-laki tak akan pernah mengubah keputusan dan kepribadiannya yang keras itu. Yunika berkali-kali menyangkal, malah menganggap Subari berhayal saat melihat Marhara menggila. Namun tak ada yang lebih membuatnya terkejut saat Subari mengatakan Marhara menghilang dibawa laki-laki. Yang membuat Yunika geram, ia sama sekali tak menahu soal laki-laki bernama Togi yang berdasarkan pengakuan Subari pernah sekali datang ke kediamannya dua minggu sebelum kejadian itu pula.

Terdapat rana yang tak masuk di akal Yunika. Ia mulai menerka-nerka, apa hanya dia—dari dua sahabatnya yang lain—yang tak tahu menahu soal laki-laki asing itu? Marhara tak pernah bertingkah aneh, justru ia sendirilah yang selama ini paling aneh di antara teman-temannya.

"Terakhir kali kami bertemu, satu bulan yang lalu," kata Yunika pada Subari. "Waktu itu, Marhara bahkan tidak menceritakan apa-apa pada kami selain pekerjaannya di hotel yang menyebalkan itu."

Bagaimanapun, Yunika memang harus percaya. Pria tua itu menangis di hadapannya, mengisak dan tersedu seumpama baru ditinggal mati orang terkasih. Barangkali memang itulah yang sedang dirasakan Subari. Sebab jika Marhara tak kunjung kembali, kemungkinan anak perempuannya itu sudah mati. Yunika berpikir, bagaimana jika Marhara diculik lalu diperkosa kemudian dibunuh? Jasadnya bisa saja dibuang ke laut atau ke jurang Bukit Barisan. Atau bagaimana jika laki-laki itu menjual Marhara ke bandit kota untuk dijadikan budak nafsu, atau pelacur, atau pelayan kamar yang bisa dipakai dan dicampakkan sewaktu-waktu. Semua yang Yunika bayangkan membuatnya merinding dan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ia kembali bicara.

"Ke mana kami harus mencarinya? Polisi saja tak punya petunjuk, konon lagi kami yang hanya orang biasa. Tak punya koneksi apalagi pengalaman mencari orang hilang."

Subari menunduk dan berpikir, kedua tangan yang ia bentangkan di atas lutut yang terlipat membuatnya tampak seperti orang yang sedang bersemedi.

"Dan lagipula, pasti butuh waktu berhari-hari menyisir tempat-tempat yang kemungkinan didatangi Marhara. Aku tak bisa meninggalkan adik-adikku dan juga Mamak tanpa uang." Marhara menatap mata Subari yang tengah mendengarkannya. "Kecuali ada yang menjamin hidup mereka tidak kekurangan selama aku pergi."

Terjadi kesepakatan awal antara dua orang itu. Subari berjanji dan menjamin keluarga Yunika aman dan tak kekuarangan suatu apa pun. Setiap pagi, Subari akan mengantarkan lauk untuk mereka makan, juga beberapa uang untuk kebutuhan sekolah dan keperluan lain. Yunika tentu lega mendengar hal itu, ia tak pernah meragukan omongan seorang pria yang dikenalnya bermartabat tinggi selama ini. Sebagaimana Yunika mengenal Marhara yang tak pernah ingkar janji, sifat itu tentu diturunkan dari sang ayah. Tanpa menunggu lama, Yunika mendatangi ibunya yang saat itu sedang bekerja di sawah orang untuk berpamitan.

Matahari berada di sepenggalan kepala ketika Yunika menelusuri jalan setapak persawahan. Ia memanggil ibunya yang sedang menanam padi, berdiri dan mengernyitkan dahi saat menyambut kedatangannya. Wanita setengah baya berkulit hitam dengan wajah yang dilumuri bedak dingin itu menyahut panggilan anaknya. Tangannya yang berlumpur dikecipakan ke udara. Serta merta Yunika menceritakan maksud dan tujuannya. Sebagaimana ia merayu dan bermuka penuh keyakinan ketika meminjam uang pada orang, Yunika tampaknya tak begitu sulit meminta restu ibunya pula.

"Jadi macam mana kalau depkolektor itu datang mencari kau? Adikmu tak bisa menghadapi mereka."

"Berdoa sajalah supaya mereka tak datang selama aku pergi," jawabnya.

"Belum tentu juga kalian bisa menemukan Marhara. Jangan pula nanti kau menambah dosa dengan menambah masalah seperti urusanmu dengan para rentenir itu."

"Apa bedanya aku dengan para rentenir itu? Kami sama-sama menggandakan dosa." Yunika bersikeras, ia tahu mana yang terbaik, toh selama dirinya pergi, mereka yang ditinggalkan bakal baik-baik saja. "Katakan pada mereka nanti, aku akan pulang membawa banyak uang untuk membayar hutang."

 

BERSAMBUNG

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya PTBP - Bab 4 s/d 6 (Gratis!)
0
0
Bab ini masih gratis, jangan lupa klik lovenya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan