Stupid Cupid - Bab 32

12
9
Deskripsi

"Gimana ya caranya ngajak dia jalan?"
 

"Gimana ya caranya ngajak dia jalan?"

Becky mencelupkan irisan bengkoang pada bumbu rujak di dalam mangkuk. Sore ini sekembalinya dari kantor, ia melihat Barbara sedang membuat rujak manis di dapur. Ia berinisiatif membantu membuat bumbu dan kini mereka menikmati rujak berdua di meja makan.

"Kamu optimis banget?" Barbara menatap Becky dengan lagak sinis yang dibuat-buat. "Emang dia udah kasih respon?"

"Budi pagi ini puji rambut aku..." Sebelah tangan Becky yang bersih membelai rambutnya yang tergerai di depan dada. "Katanya rambutku kayak baru keluar dari salon!" Becky menunjukkan raut bangga.

"Dia bilang gitu?" Barbara jadi lebih memperhatikan rambut Becky yang kini tampak bergelombang. Untuk model rambut, Becky memang kerap berganti-ganti sesuai selera.

"Iya." Becky mencomot potongan tahu dan mencelupkannya pada bumbu rujak. "Tadi pas berangkat ke kantor dia nebeng Baby, gara-gara semalem ban mobilnya aku kempesin dua, hi hi hi..." Becky santai memasukkan tahu ke dalam mulut meski menemukan raut keheranan Barbara.

"Kamu, kempesin ban-nya?"

"Iya, biar bisa bareng ke kantor.  Misi sukses..."

"Becky!" Barbara melotot protes. "Tingkah kamu udah kayak psikopat..."

"Biar!" Becky menggigit nanas.

"Perasaan kamu ke Pak  Linggar..."

"Budi!" Becky meralat panggilan sayangnya untuk Linggar. Di luar kantor, ia hanya ingin mendengar nama Budi.

"Eh Budi..." Barbara reflek meralat panggilannya barusan. "Perasaan kamu ke Budi itu udah nggak sehat. Kayaknya kamu udah terobsesi deh sama dia..."

"Ya gimana dong? Dia susah orangnya. Diajak ngobrol pasif. Baru semalem kita ngobrol lagi gara-gara aku paksa makan mi jala..."

"Kamu paksa dia makan?" Barbara berkedip-kedip menatap Becky. "Berani-beraninya kamu maksa bos kamu makan?"

"Roti jalanya masih banyak, dia udah janji mau abisin.  Aku cuma ingetin aja. Kalo nggak maksa mubazir."

"Becky....." Barbara rasanya sudah tidak tahu lagi harus berkata apa.

"Terus, pas di mobil, dia puji rambut aku..."

Barbara merespon dengan menggigit kerupuk.

"Budi yang sediem dan sepasif  itu, tiba-tiba puji rambutku!"

"Tapi bisa aja basa-basi soalnya nebeng..." Barbara segera menemukan perubahan pada raut wajah Becky. Barbara tidak bermaksud menghancurkan kebahagiaan Becky. Tapi ia perlu mengingatkan Becky agar tidak mudah luluh oleh pujian murah mengingat kecenderungan Becky yang terlalu cepat cinta. Bahkan si Budi ini, belum apa-apa sudah dicintai sebegitunya.

"Dia tuh tadi beneran puji rambut aku! Nggak ada laki-laki yang puji rambut aku kayak baru keluar dari salon!" Becky menggigit kerupuk dengan gemas. Kenapa Barbara tidak mengizinkannya percaya bahwa tadi ia memang secantik itu di hadapan Linggar?

"Beck, kamu tuh harus kasih kesempatan supaya Budi itu penasaran. Jangan kamu yang inisiatif ngajak jalan. Kasih kesempatan Budi buat inisiatif duluan. Kamu boleh kirim sinyal, tapi jangan kamu melulu yang maju terus. Kamu harus tahu, Budi itu juga tertarik sama kamu apa nggak?"

"Hhh!" Becky membuang napas berat. "Kan udah aku bilang, Budi ini beda sama cowok lain yang langsung respon!"

"Ya itu karena cowok-cowok lain itu tertarik sama kamu. Emang seharusnya gitu. Mereka respon sinyal kamu, terus mereka maju deketin kamu. Kalau nggak ada pergerakan, itu patut dipertanyakan.  Jangan-jangan emang nggak tertarik."

"Dia puji rambut aku!"

"Bagus. Tapi sabar dulu! Jangan langsung kamu ajak jalan..."

Hening ketika Barbara menyadari raut kecewa Becky.

"Demi kebaikan kamu, Beck." Barbara menekankan maksudnya. "Aku nggak pingin lagi liat kamu kecewa sama sakit hati."

Becky menghela napas panjang. "Aku naksir banget sama dia!"

Oh God! Kini Barbara yang menghela napas panjang. "Becky, Pak Linggar ini..."

"Budi!" Becky kembali meralat.

"Eh iya. Budi ini spesial kan?"

Becky mengangguk dengan raut cemberut.

"Kamu mau banget kan sama dia?"

Becky kembali mengangguk.

"Berarti, deketinnya harus pake strategi!" Barbara menekan telunjuknya ke atas meja. Ia tidak bisa menasihati Becky yang sedang tergila-gila dengan cara seperti tadi, jadi ia akan merubah nasihatnya menjadi motivasi. "Nah, supaya kamu dapetin Budi, kamu nggak boleh ceroboh dan bikin dia hilang minat. Asal kamu tahu, cowok itu bisa sejahat itu. Mereka bisa nggak ada rasa tapi tetep tidur sama cewek, selama cowok bisa dapetin benefit itu." Barbara membuat tanda kutip dengan kedua tangan ketika memberi penekanan pada kata itu. "Mereka bisa terus pura-pura cinta. Terus kalo udah bosen, ya udah.... bubar. Cowok jahat kayak gitu nggak akan mengusahakan apa pun dalam hubungan sampai kamu capek sendiri."

Becky menatap hampa. Rasanya seperti Barbara sedang membaca ulang hubungannya dengan David yang sudah hambar sejak memasuki tahun ketiga mereka pacaran, meski hubungan mereka baru benar-benar berakhir di tahun ke-empat.

"Semoga Budi ini nggak sejahat itu ya? Makanya kamu perlu strategi. Supaya apa? Supaya kamu nggak terlalu banyak berjuang dan ngeluarin banyak energi, terus ujung-ujungnya kecewa lagi. Kamu bisa dapetin Budi kalau strategi ini berhasil."

"Terus apa strateginya?" Becky rasanya sudah malas mendengar ocehan Barbara.

"Jual mahal."

Ah! Lagi-lagi! Becky setengah mati menahan dongkol. Dengan Linggar yang demikian pasif, jual mahal hanya akan membuat jarak di antara mereka terbentang semakin jauh.

"Jual mahal, Beck." Barbara mengulangi sarannya. "Kasih diri kamu sendiri kesempatan buat diperjuangkan laki-laki. Kalau memang Budi juga suka kamu, dia pasti cari cara supaya kalian bisa lebih deket."

"Memang kalo udah nggak perawan, bisa jual mahal ya?" Becky menatap getir dan seketika mendapatkan raut serba salah Barbara. "Apalagi, aku udah umur segini. Kalo aku jual mahal, nggak bakal ada yang mau sama aku."

"Becky..."

"Suka nggak suka, cowok menilai cewek dari dia perawan apa enggak."

"Kalo jejaka yang menilai seperti itu, itu fair!" tegas Barbara. "Kalo cowok itu bahkan udah nggak jejaka, tapi menilai rendah cewek yang udah nggak perawan, itu konyol! Dungu! Keledai!" Barbara menatap Becky dengan gemas.

Tawa Becky berderai. Entah kenapa bagian keledai itu sangat lucu. "Gimana kalo... Budi itu masih jejaka?"

Pertanyaannya bersambut kedua mata Barbara yang melirik ke atas.

"Mmm...." Barbara menggumam. Entah kenapa, ia tidak yakin Linggar sealim itu.

"Dia itu kayaknya alim. Pas pertama kali kenalan aja, nggak mau salaman soalnya jaga wudhu..." Becky kembali mengulang kisah pertemuannya dengan Linggar.

"Iya, kamu udah cerita. Itu jam berapa sih?"

"Lupa. Pokoknya sore, sebelum dia pamit...."

"Pamit ke mana?"

"Dia bilang mau balik."

"Balik ke mana?" Barbara mencomot irisan apel.

"Ke hotel..."

"Dia pamit balik ke hotel?" Barbara merasa ada sesuatu yang janggal.

"Jadi dia nginep di hotel deket kantor. Pas kita kenalan, dia bilang nggak bisa lama, soalnya ada janji sama temennya." Becky menceritakan kembali kisah pertemuan pertamanya dengan Linggar. "Nah, setelah kita ngobrol-ngobrol, dia bilang kalo harus balik. Aku sih mikirnya balik ke hotel, soalnya dia kayak buru-buru gitu..."

"Ohh...." Barbara mengerutkan dahi. "Terus dia jaga wudhu buat apaan ya? Kalo balik hotel, dia bisa wudhu di hotel nggak sih?"

Becky jadi menyadari kejanggalan dalam pengakuan Linggar.

"Ya kan? Logika, dia pamit alasannya mau balik. Entah balik ke hotel, entah ketemu temennya. Kalo dia melipir masjid juga bisa wudhu lagi kan?"

"Iya ya?"

Becky mengerutkan dahi. Sepertinya Linggar juga bukan orang yang saklek tidak ingin bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram. Tadi saja Linggar menggenggam tangannya, meski itu diakibatkan oleh respon terhadap tangannya yang tidak sengaja menyenggol paha. Becky kembali mengingat ucapan Ningtyas saat hari pertama Linggar bekerja di kantor.

"Dia nyalamin semua orang di kantor. Terus liat mejanya Mbak kosong..."

Semua orang, berarti laki-laki dan perempuan berjabat tangan dengan Linggar. Bekcy semakin yakin Linggar tidak masalah bersalaman dengan semua orang.

"Becky...."

Suara Barbara bagai menyadarkannya.

"Kamu yakin, masih mau maju deketin Budi?"

Becky merasa Barbara sedang membaca pikirannya saat ini. Becky ingat ia belum bercerita jika sempat diblokir oleh Linggar. Jika ia bercerita, sudah pasti Barbara akan membuat kesimpulan yang tidak ingin ia dengar.

"Soalnya kalo denger cerita kamu, kayaknya dia nggak tertarik sama kamu." Barbara menatap Becky dengan prihatin. "Kayaknya, dia juga nggak alim...."

                                             

                                 ***

'Kos bulanan Malang.'

Malam itu sebelum pulang, Linggar memasukkan kata kunci pada kolom pencarian di laman internet.  Sejenak Linggar tenggelam mencari kos-kosan yang terlihat nyaman. Ia tertarik mengecek iklan kos-kosan yang berada di kawasan Soekarno Hatta dan segera merasa tertarik. Linggar melihat foto bangunan minimalis modern kos-kosan khusus laki-laki yang tampak nyaman dengan tarif hanya satu juta sekian-sekian. Meski tarif yang ditawarkan belum termasuk wifi, kos-kosan tersebut sudah dilengkapi area parkir, ruang tamu, dapur umum, dan kamar mandi dalam.

Wah, boleh nih. Linggar segera tertarik menghubungi dan menekan ikon WhatsApp.

Berhubung anggaran perbaikan rumah dinas belum turun, maka perusahaan harus menyediakan anggaran untuk menginap di penginapan. Akan tetapi, di situasi pelik seperti sekarang, anggarannya untuk menginap terlihat memakan biaya yang besar.

"Beban biaya untuk penginapan Bapak itu satu bulan sekitar enam juta Pak." Tadi Lukman menjelaskan. "Cukup besar di tengah keadaan kita yang sedang efisiensi ketat. Saya sudah hitung anggarannya, kita bisa menghemat jika beban biaya penginapan Bapak ditekan. Kalau biayanya bisa ditekan, kita bisa gunakan anggaran untuk hal-hal yang juga krusial dan butuh penanganan cepat. Seperti perbaikan alarm dan AC di ruangan Bapak. Saya sudah cek dana cadangan area kita juga sudah nggak banyak. Jadi memang kita berhemat ini harus sampe di titik berdarah-darah Pak...."

Sebagai pimpinan yang baik, tentu saja ia setuju. Mana mungkin ia mengorbankan kepentingan lain hanya demi kenyamanannya? Linggar bernegosiasi dengan dirinya sendiri. Ia bisa tidur di mana saja, asal bersih dan nyaman. Linggar sudah menetapkan, ia tidak akan memperpanjang masa menginapnya di guest house sepupu Becky dan langsung pindah ke kos-kosan bulanan murah yang ia temukan di internet.

                                                                                                                ***

Sudah jam setengah sembilan malam ketika Becky sedang bersiap-siap membersihkan riasan di wajahnya. Ia sudah menggosok gigi dan duduk di depan cermin. Sambil menatap wajahnya, Becky memikirkan ulang perkataan Barbara tadi.

Apa iya, Linggar tidak tertarik kepadanya?

Becky membuang napas berat.

Tadi sesampainya di guest house, ia melihat mobil dinas Linggar sudah tidak ada. Kata Astuti, tadi pagi ada seorang supir yang mengaku dari Bank Nesia datang dan mengecek mobil. Supir itu diantar dengan sepeda motor oleh lelaki berseragam office boy. Tak lama kemudian supir itu memompa ban mobil dengan alat yang dibawa, lalu setelah itu supir tersebut pamit dan membawa mobil dinas Linggar. Pantas, saat keluar kantor tadi Becky sudah melihat mobil dinas Linggar di parkiran.

Setelah Barbara pulang, ia sempat menunggu Linggar di meja resepsionis. Sepertinya Linggar pulang terlambat lagi karena hingga jam delapan Linggar tidak juga muncul.

"Becky, kenapa kamu masih nungguin dia?" Becky bicara pada dirinya sendiri di cermin. "Inget, apa kata Barby. Jual mahal." Becky menatap wajahnya yang tampak berat.

Tapi, gimana kalo aku sama dia jadi makin jauh? Becky menatap gamang wajahnya sendiri. Rasanya kalo nggak sama dia, aku udah males sama yang lain. Becky belum-belum sudah merasa putus asa. Di mana lagi ia bisa  menemukan yang seperti Linggar?

Ponsel yang tiba-tiba berdenting membuat Becky menurunkan pandangannya. Ia melihat notifikasi chat dari Hilda.

Hah? Tumben?

Becky memutuskan segera membaca chat Hilda.

'Mbak Becky, sibuk?'

'Enggak, kenapa Hilda?' Becky segera membalas. Dalam sekejap merasa penasaran. Tidak biasanya Hilda menghubunginya di luar jam kerja.

Ia segera mendapatkan panggilan masuk dari Hilda.

"Ya Beb, kenapa?" Becky bertanya dengan ramah dan lembut, seperti biasanya.

"Mbak, sori ganggu. Aku mau konfirmasi aja. Apa bener Pak Linggar mau cabut dari guest house?"

"Hah? Cabut?" Becky menatap bingung wajahnya sendiri.

"Iya Mbak. Jadi gini, mamaku kan punya kos-kosan di daerah Soehat, nah sore tadi mamaku dihubungi sama orang namanya Linggar, ngakunya dari Bank Nesia. Kata mamaku nanya-nanya soal kos-kosan gitu. Terus, mau sewa kamar buat sebulan dulu, sambil nunggu rumahnya selesai direnov. Mamaku konfirmasi dong ke aku, apa iya ada yang namanya Linggar di Bank Nesia? Singkat cerita, aku cari info ke Doni." Hilda menyebut nama salah satu bawahan Lukman.

"Nah, kata Doni, Pak Lukman emang saranin Pak Linggar buat pindah ke kos bulanan yang lebih murah, soalnya efisiensi kan? Kata Doni sih, yang nggak lebih dari satu setengah juta per bulan.  Nah, aku cuma mau mastiin, beneran Pak Linggar mau pindah ke kos? Itu aja sih..."

APA? Becky bagai tertusuk-tusuk ribuan jarum. Jadi Linggar akan pindah menginap di tempat lain dan ia belum tahu? Lebih buruk lagi, kos-kosan yang akan ditempati Linggar milik orangtua Hilda.

Becky tidak bisa membayangkan jika Hilda melancarkan jurus-jurus rayuan maut pada Linggar.

"E... aku barusan pulang Beb..." Becky membuat alasan. "Coba nanti aku tanya dulu ya ke Pak Linggar? Aku seharian ini nggak ketemu sama beliau. Mau nanya juga udah malem."

"Oke Mbak. Ya, cuma mau tahu aja sih."

"Iya, iya nggak pa-pa."

"Ya udah kalo gitu. Makasih Mbaaak."

Hilda mengakhiri panggilan.

OH MY GOOOOOOOOD! Becky benar-benar panik. Dengan debar tak menentu dan jari gemetaran ia segera menghubungi Barbara.

"Halo..."

"Beb...eh, Bar!" Becky setengah berteriak. "Barbara, ini gawat. Kamu harus bantu aku!"

"Kenapa?" Suara Barbara berubah tegang.

"Bisa nggak, biaya nginep buat Pak Linggar dirubah jadi bulanan?"

"Hah? Maksudnya?"

"Kan dia bayarnya harian. Maksud aku, dijadiin bulanan aja, satu jutaan gitu sebulan!"

"Haaaaah?" Terdengar nada protes Barbara.

"Pleaseeee! Soalnya kantor efisiensi. Ini kalo nggak bisa murah, Pak Linggar mau pindah..."

"Waduh. Tarif guest house itu udah murah. Kalo mau yang sejutaan mending ke kos-kosan aja!"

"Itu maksudku! Pak Linggar mau pindah ke kos!"

"Terus? Masalahnya apa?"

"Dia mau pindah ke kosan sundal di kantor!"

"Hah?"

"Aku nggak bisa biarin My Budi digoda-goda sama sundal! Dia itu sok baik, tapi aku ngerasa aura sundalnya itu kuat banget!"

"Alah alah Becky...."

"Barby pleaseee! Demi akuuuu! Kan guest house juga sepi? Daripada kehilangan pemasukan lho!" Becky berusaha melobi Barbara.

"Aduh, gimana ya..."

"Udah nggak pa-pa!"

"Dua juta deh..."

"Deal!" Becky berniat menomboki saja kekurangannya. Becky hanya ingin cepat saja, mumpung Barbara setuju menurunkan tarif. Demi mengamankan Linggar, ia akan melakukan apa saja.

"Ya udah, sebulan aja lho ya?"

"Dua bulaaaan!"

"Haaaah?"

"Makasih Barbara! I love you!" Becky segera memutus panggilan dan menyahut cardigan di belakang pintu. Ia tidak punya waktu untuk mengganti baju tidurnya. Lagi pula, ia mengenakan baju tidur yang sopan dengan celana panjang. Becky bertekad ia harus segera bicara dengan Linggar. Becky rasa masih cukup sopan mengetuk pintu kamar Linggar. Mumpung belum jam sembilan.

Becky menyusuri lorong menuju kamar Linggar. Hembusan udara dingin tidak mampu membawa terbang kecamuk di kepalanya.

Kemungkinan besar, alasan menjaga wudhu di hari pertama mereka bertemu hanya alasan yang dibuat-buat saja. Setelah itu, Linggar memblokir nomornya. Linggar tampak tidak antusias saat mengobrol dengannya hingga ia sering kehilangan topik obrolan. Tapi tadi pagi Linggar menggenggam tangannya, meski tidak disengaja. Linggar juga memuji rambutnya. Becky tidak bisa membiarkan Linggar menjauh di saat ia baru saja mendapatkan kesempatannya.

Tanpa gentar Becky mengetuk pintu kamar Linggar. Ia harap, Linggar belum tidur.

Pintu dibuka. Becky tertegun sejenak saat mendapati Linggar tanpa kacamata, dalam kaos hitam tanpa lengan dan celana training. Ia melihat Linggar yang sedikit tersengal dan berkeringat. Tatapannya segera tertuju pada bisep yang terlihat menawan.

Ow. Becky segera mengatupkan bibir.

"Ya Becky?" Linggar menatap heran.

"Maaf Pak, menganggu waktu istirahatnya. Panas ya, Pak? Kok keringetan?" Becky merasa perlu tahu darimana asal keringat Linggar.

Linggar menjilati sejenak bibirnya yang sedari tadi kering. "Saya lagi push up. Kenapa?"

Ow. Becky menatap sekilas ke arah dada dan perut Linggar. "Saya cuma mau nawarin program paket efisiensi...."

"Paket efisiensi?" Alis Linggar serta merta terangkat.

"Eh, maksud saya paket hemat Pak!" Becky mengutuk keras bibirnya yang jadi belepotan.

"He-em? Itu gimana?" Linggar yang segera tertarik melipat kedua tangan di depan dada.

Ow. Kedua mata Becky lagi-lagi melirik bisep.

Ih, macho!

"Emm itu, jadi guest house ada program paket hemat, Pak." Becky mengembalikan tatapannya pada wajah Linggar. "Menginap satu bulan hanya satu juta empat ratus Pak!"

"Oh ya?" Linggar lagi-lagi mengangkat alis.

"Iya Pak. Saya info sekarang mumpung inget, ini program baru dari Barbara.  Kali aja Bapak mau perpanjang sewa kamar?"

"Saya kebetulan memang lagi cari kos bulanan sih. Soalnya perusahaan kan efisiensi." Linggar menjelaskan keadaannya. "Jadi anggaran buat saya nginep dipotong lagi. Tadi sudah tanya-tanya sama kos-kosan bulanan di daerah Soekarno Hatta, itu sebulan satu juta dua ratus..."

Eh? Becky seketika putus asa. Kok lebih murah?

"Bapak udah fix pindah ke situ?"

"Belum sih, rencana mau saya fix-in besok..."

NO! BUDI! HUWAAAAAA! Becky menatap putus asa. "Jadi Bapak... mau pindah?" tanyanya tak rela.

Linggar hanya menjawab dengan senyuman kecil. Ia sudah memutuskan untuk pindah. Ia sudah melihat-lihat foto-foto kos-kosan itu di internet dan merasa cocok. Tapi penawaran paket hemat barusan cukup menarik juga.  Meski lebih mahal, tetap tidak over limit. Ia tidak perlu repot-repot pindah dan tetap bisa menikmati suasana nyaman di sini. Lagi pula, di sini juga lebih dekat dengan kantor.

"Di sini aja Pak...." Becky sedikit memohon.

"Hmm...." Linggar menimbang-nimbang sejenak. Becky, adalah faktor yang membuatnya harus berpikir dua kali. Jika ia tetap di sini, Becky akan terus menggodanya seperti ini. "Saya kayaknya.... pindah."

Hati Becky seketika hancur.

"Maaf Becky."  Linggar tersenyum kecil. "Di situ lebih murah...." Linggar mengutarakan alasan yang ia yakin bisa dipahami Becky.

"Mau saya bantuin nego ke Barbara?" Becky belum ingin menyerah.

"Apa sepupu kamu nggak rugi?"

Becky seketika menemukan jalan buntu. Nasihat-nasihat Barbara bermunculan kembali, tetapi wajah Linggar yang sedang menunggu jawabannya menggugurkan semua nasihat itu.

Dengan degup yang kian mengencang Becky melangkah masuk. Sekarang atau tidak sama sekali. Sebelah tangannya mendorong dada Linggar yang terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba. Becky dapat merasakan dada keras Linggar juga debaran yang membuat dadanya siap meledak. Sementara Linggar yang masih terkejut, tak punya pilihan selain melangkah mundur. Tatapan intens Becky ampuh membuatnya kehilangan seluruh daya diri. Kejadian yang begitu cepat dan melemahkan sendi-sendinya, hingga tiba-tiba tepi tempat tidur membuatnya terduduk.

Masih ternganga, Linggar tak bisa berbuat banyak saat sebelah lutut Becky menekan tepi tempat tidur. Kedua tangan Becky membingkai halus kedua pipinya.

Ciuman itu mendarat di bibirnya yang terbuka. Kedua matanya juga masih terbuka saat Becky menyesap bibirnya.

Saking terkejutnya, Linggar tidak bisa menggerakkan tubuh. Mendadak jadi lumpuh. Otaknya pun jadi beku. Namun, bibir Becky membuatnya lebih lemah lagi hingga tak kuat menahan kelopak matanya agar tetap terbuka. Sudah lama ia tidak disentuh wanita. Linggar seketika mencair saat merasakan ciuman lembut yang menyirami jiwa gersang.

Becky menarik bibirnya, membuat Linggar membuka lagi matanya. Tatapan mereka terjalin dan ia menemukan raut tegang Becky. Entah bingung, entah takut, entahlah. Ia sedang tidak mampu mengartikan raut wajah Becky yang terlihat seperti cemas.

Sebelah tangan Becky sudah mau pergi, Linggar reflek menahan tangan yang sedari tadi meremas kecil belakang kepalanya.

Sekali lagi.

Linggar memagut bibir Becky.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Stupid Cupid - Bab 33
9
12
Kacau.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan