IRRESISTIBLE - Bab 1

12
0
Deskripsi

"Dari orang di meja seberang," ujar pelayan berseragam sembari membungkuk, agar suaranya yang beradu dengan dentuman musik dapat terdengar lebih jelas oleh gadis muda yang tengah duduk sendirian di sofa. 

 

 

"Dari orang di meja seberang," ujar pelayan berseragam sembari membungkuk, agar suaranya yang beradu dengan dentuman musik dapat terdengar lebih jelas oleh gadis muda yang tengah duduk sendirian di sofa.

Seina sontak menatap ke seberang dan menemukan pemuda yang sedang duduk sendirian mengangkat gelas tinggi-tinggi. Ujung jempolnya tertahan, batal memantik api demi sebatang rokok yang sudah terselip di bibir.

"Sebaiknya kamu jangan minum ini..." Tiba-tiba seorang lelaki duduk di hadapannya, dengan enteng menyingkirkan minuman yang baru saja tiba. Seina menatap protes, tetapi senyuman menawan dari wajah yang luar biasa tampan membuat batang rokok di antara bibirnya nyaris terjatuh.

Setelan jas itu dipadu dengan kemeja hitam, yang kancing atasnya dibuka dua. Lelaki di hadapannya tersenyum, menampakkan deretan gigi yang berbaris rapi.

"Kenapa?" Seina bertanya tanpa mampu mengalihkan pandangan sedikit pun dari lelaki karismatik di hadapannya. Tatapannya menyusuri alis, mata, dan hidung mancung yang menyeret kesan tak biasa.

Lelaki tampan itu mencondongkan tubuh dan menyodorkan sebotol air mineral dingin. Masih tersegel dan berembun seperti baru keluar dari lemari es.

"Ada yang masukin pil ke minuman kamu. Saya khawatir ada yang niat jelek. Lagian, kamu kayaknya mabuk. Minum ini..." Lelaki itu, sekali lagi menampakkan senyumannya yang berkarisma.

"Wow, thanks..." Seina menatap takjub. Ia memang merasa sedikit mabuk. Lelaki tampan di hadapannya membukakan tutup botol dan Seina tanpa ragu menenggak air mineral dingin dari tangan lelaki itu. "Om sendirian?" tanyanya pada lelaki yang sepertinya lebih tua. Seina menyimpulkan dengan cepat, mungkin lelaki tampan di hadapannya berusia sekitar tiga puluhan.

"Iya. Kamu?" Lelaki itu balas bertanya selagi Seina diam-diam sibuk memuji gaya rambut dengan poni membelah dahi yang membuat penampilan lelaki berahang tegas di hadapannya terasa sangat kekinian.

"Mmm... " Seina melempar tatapannya mengelilingi seluruh penjuru tempat yang tampak hingar bingar. "Temen-temen aku... " Seina tidak menemukan teman-temannya yang tadi pamit melantai. Sepertinya tenggelam dalam kerumunan manusia-manusia yang bergoyang sambil mabuk. "Aku disuruh jaga sofa," jawabnya kemudian dengan tatapan sayu yang diiringi senyuman lebar, membuat siapa saja mudah menyimpulkan bahwa ia sedang berada di bawah pengaruh alkohol.

Lelaki di hadapannya tersenyum tipis. "Harusnya ada satu orang yang jagain kamu di sini."

"Kenapa harus dijaga? Aku bukan anak kecil." Seina santai memantik api dan membakar ujung batang rokoknya.

"Nama kamu?" tanya lelaki di hadapannya dengan tatapan penuh minat.

"Seina. Om?" Seina balik bertanya.

"Levi."

Levi. Seina tersenyum kecil. Sungguh nama yang mudah diingat.

"Apa asyiknya dugem sendirian?" tanya Seina kemudian, dengan sedikit berteriak karena dentuman suara musik semakin mengencang.

Bibir Levi membentuk segaris senyum, dengan tatapan lekat yang sulit dimentahkan oleh perempuan mana pun. "Mau pindah tempat nggak? Biar lebih enak ngobrolnya. Kalau kamu mau... "

Seina dapat merasakan debar antusias yang kian menguat. Lelaki tampan itu sepertinya benar-benar tertarik kepadanya. "Temen-temen aku.... " Ia menggumam resah seraya mengedarkan pandangan dengan mimik ragu.

Lelaki di hadapannya sudah berdiri dan mengulurkan tangan. "Mau pindah ke lounge di lantai bawah? Saya yang traktir..." Tawaran menarik itu ditutup dengan isyarat gerakan kepala yang sangat sulit diabaikan. Seina menilai lelaki di hadapannya sangat atraktif sehingga gerakan sekecil apa pun terbaca menarik.

Senyuman Seina lepas begitu saja. Ia menenggelamkan sebatang rokok yang masih utuh ke dalam asbak, lalu menyambar tas-nya dan menyambut uluran tangan Levi.

Jemarinya tenggelam dalam genggaman hangat Levi. Mereka bergandengan tangan membelah kerumunan manusia yang sedang asyik melantai terbius hentakan musik. Seina membiarkan Levi yang menjelma bak perisai dan memimpin jalannya.

Levi sesekali menoleh, seperti memastikan keadaannya baik-baik saja. Lelaki itu tidak melepaskan genggaman tangannya, bahkan hingga mereka memasuki lift.

Seina melirik tangannya yang masih tenggelam dalam genggaman tangan Levi, meski di dalam lift hanya ada mereka berdua. Wajahnya mendongak demi menemukan wajah Levi. Baru Seina sadari, Levi tinggi juga. Ia mendapatkan lirikan Levi yang terbaca usil. Tangannya tetap digenggam dan Seina menunduk demi menyembunyikan senyuman dari hati yang tersipu-sipu.

Pintu lift terbuka dan Seina melihat lounge dengan cahaya kekuningan. Iringan musik jazz terasa lebih menenteramkan dibanding musik hingar bingar di kelab tadi. Mengobrol di sini tentu jauh lebih baik. Levi memilih tempat di meja bundar dan Seina dapat melihat dengan lebih jelas rupa paripurna om-om keren yang kini kembali duduk di hadapannya.

Buku menu disodorkan, Levi langsung memesan. Whiskey untuk Levi dan segelas soda untuknya. Seina tak dapat menahan senyumannya ketika Levi mengembalikan buku menu pada waitress sambil menatap jenaka ke arahnya yang sudah bersiap protes.

"Kamu mabuk." Levi segera menjelaskan sebelum ia sempat mengucap protes. "No alkohol..."

"Om siapanya aku sih? Care banget?" Seina menaikkan sebelah alis.

"Saya? Kan kenalan baru kamu...."

Jawaban barusan membuat senyuman Seina tergelincir begitu saja. "Oke, aku berusaha menghormati yang lebih tua. Om, asli sini?" Seina tertarik ingin tahu.

Levi hanya mengangguk sembari menarik bibirnya membentuk garis lurus. "Kamu? "

"Saya pendatang," jawab Seina sambil menyalakan sebatang rokok. Baru tiga bulan menjadi perokok aktif, ia merasa sudah mahir dalam urusan hembus menghembuskan asap.

"Kerja juga?"

Senyuman tipis mengembang dari bibir yang lipstiknya sudah memudar. "Emang kelihatan tua ya? Aku baru 19 tahun.... " Asap rokok dihembuskan santai. "Om mau rokok?"

Levi menggeleng pelan.

"Nggak ngerokok?" Seina menarik kembali kotak rokoknya.

"Saya kurang suka sama merek itu..." Kedua mata Levi melirik bungkusan rokok mild yang memang kebanyakan pangsa pasarnya mahasiswa. Waitress datang dan meletakkan pesanan mereka. Seina melihat Levi yang mengucapkan terima kasih sambil tersenyum kecil.

"Om umur berapa?" Seina memiringkan kepala. Ia jadi penasaran karena penampilan lelaki di hadapannya tidak seperti cowok seumurannya, tetapi luar biasa enak dilihat.

"Tebak."

"Mmm... 30?"

"Apa saya kelihatan semuda itu?"

"Ohh! Jangan bilang Om udah 40 lebih! Sumpah nggak keliatan!" puji Seina terus terang.

"Saya belum sampai 40..."

"Jadi umur Om berapa? "

"Hampir empat puluh.... "

"Tiga sembilan?" Seina melebarkan kedua mata.

"Tiga puluh tujuh...." Lagi-lagi senyuman Levi mengembang.

"Jangan bilang Om udah punya istri!" Seina menatap waspada.

"Saya masih single.... "

"Single?" Seina melotot sangsi. "Ada pacar?"

"Nggak ada.."

"BULLSHIT!"

Reaksi keras Seina membuat para pengunjung lain menoleh.

"Beneran nggak ada pacar?" Seina masih belum ingin percaya.

"Nggak ada."

"Kenapa?"

"Nggak laku."

" HAHAHAHAHA! " Tawa Seina lepas begitu saja. Lagi-lagi mengundang perhatian orang-orang yang berada di lounge. "Om lucu deh!" Seina menyambar gelas whiskey Levi.

Levi hanya menaikkan kedua alis sembari memperhatikan Seina yang menenggak minumannya.

"Kamu sudah mabuk...."

"Kan ada Om..." Seina menatap genit.

"Rumah kamu bukan di Bekasi kan?"

Tawa Seina meledak. Lagi-lagi menyeret tatapan terganggu para pengunjung lain. Sementara Levi hanya menatap whiskey-nya yang tinggal setengah gelas.

"Kamu suka minum?"

"Kadang," jawab Seina enteng. "Om, kenapa nggak nikah-nikah? Maho ya?" tanya Seina dengan cengiran jahil.

"Apa itu maho?" Levi benar-benar tidak tahu. Ia melihat Seina yang tertawa dan minum lagi.

"Gay," jawab Seina setengah berbisik.

Senyuman bibir Levi membentuk garis lurus. "Mau buktiin, saya maho atau nggak?"

"Maksud Om?"

***
 


Mereka berakhir di seat belakang di mobilnya.

"Mmh..." Desahan pelan lolos dari bibir Levi, saat Seina menjadi kian liar tak terkendali. Seina rakus menciuminya, seolah esok kiamat. Tatapan Seina berkali-kali melucutinya, seiring gerak tangan yang agresif menjamah bagian sensitifnya.

Serampangan, tetapi juga membangkitkan nafsu dengan cepat. Levi, menuntun sebelah tangan Seina menyelami pengait celana yang telah terbuka.

Seina seketika menampakkan wajah bingung sekaligus penasaran.

"Ke... keras Om?" tanya Seina sambil memberi tekanan lebih. Gemas melihat om-om berwajah tampan yang ia sudah lupa siapa namanya itu menatap pasrah memohon dipuaskan.

Jadi ini rasanya barang, eh batang? Seina menatap takjub sebelah tangannya yang sudah tenggelam di balik celana om-om ganteng yang baru saja ia kenal.

Eh, siapa nama si Om Ganteng ini? Ravi? Davi? Vir? Ah bodo deh! Otak Seina rasanya tumpul. Tidak bisa berpikir apalagi mengingat nama untuk saat ini. Otaknya sedang sibuk memerintahkan sebelah tangannya untuk masuk lebih dalam, merogoh seluruh isi celana si Om.

"Mmm...." Levi hanya menggumam nikmat ketika tangan Seina mengelus dan meremas kejantanannya. Berikutnya tangan gadis itu menggenggam dan mulai bergerak naik turun.

Kening Seina menempel erat pada keningnya. Aroma pekat alkohol sedari tadi menyeruak dari bibir Seina. Namun, Levi tidak peduli saat sebelah tangannya menuntun tangan Seina agar bergerak lebih cepat.

"A...ah...." Levi tak kuasa mengatupkan bibirnya. Rasanya baru saja sekejap kenikmatan itu kian merambat naik, sebelum tiba-tiba Seina hilang kesadaran dan wajah gadis itu terjatuh di atas dadanya.

"Shit!" Sebelah tangan Levi reflek menangkap wajah Seina dan mendapati gadis itu mendengkur. Levi hanya bisa menyandarkan kepala sembari menatap frustasi langit-langit mobilnya.

Mau bagaimana lagi?

Levi memutuskan keluar dari mobil, berniat merokok sambil mencari udara segar. Kaca mobil diturunkan sedikit, tidak lebih dari 10 cm. Ia membiarkan Seina tidur pulas di seat belakang, berselimutkan jas yang tadi ia kenakan.

Bersandar pada Range Rover hitamnya, Levi mengamati kondisi parkiran yang sepi.

Sekarang gimana?

Levi menggaruk pelan pipinya. Apa ia harus membawa pulang Seina? Atau, meninggalkan Seina sendirian di hotel?

"Seina! Seina.... " Suara gaduh memecah hening. Levi melihat dua orang pemuda sibuk meneriakkan nama gadis yang kini sedang terlelap di dalam mobilnya.

"Shit! Gue telp nggak diangkat! Padahal hapenya aktif!" ucap pemuda berjaket denim.

Levi yang masih dalam posisi santai, mau tak mau menajamkan pendengarannya. Tidak terdengar ringtone dari dalam mobilnya.

"Kan gue udah bilang sama lo! Jaga Seina jangan biarin sendirian di sofa!" ucap pemuda satunya yang berkaos hitam.

"Ya kan gue pura-pura pergi, supaya kita nggak dicurigai? Tadi dia minum minuman itu nggak?" Pemuda berjaket denim menatap gusar temannya.

Levi menyesap rokok sambil diam-diam memperhatikan.

"Mana gue tahu! Harusnya kalo dia minum, kita udah party sekarang! Brandon udah booking kamar hotel, kita bisa gila-gilaan sama Seina!"

"Jangan-jangan dia pingsan terus diangkut stranger lagi? Batal deh kita jual Seina ke Brandon! Batal ngicip juga! Ah tai!" Pemuda berjaket denim berjongkok sembari mengusap wajahnya.

Levi melirik melalui sudut mata, meski ia tahu tidak dapat menembus kaca mobil riben hitam pekat miliknya. Dalam hati mengutuk aksi dua pemuda bajingan, yang sepertinya merupakan teman-teman Seina. Di saat yang sama, terbesit rasa iba.

Jika saja tadi ia bersikap masa bodoh, entah bagaimana nasib Seina kini.

Dasar bajingan! Levi membuang puntung rokoknya ke pelataran dan membuatnya remuk di bawah sol pantofel.

Sekarang gimana? Levi kembali ke dalam mobilnya. Duduk di balik kemudi dan menyalakan musik.

"Wise men say... 
Only fools rush in... 
But I can't help falling in love with you..."

Suara bariton Elvis Presley mengantar mobilnya meninggalkan parkiran dan membelah jalanan yang berangsur sepi.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya IRRESISTIBLE - Bab 2
10
3
Levi menatap gadis muda yang kini terbaring di atas ranjangnya. Mendengkur, dengan bibir terbuka lebar. Meski begitu, tidak mengurangi pesona yang dimiliki gadis berambut hitam hingga sebatas pinggang itu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan