
Menjadi gigolo, ternyata tidak sesederhana perkiraannya dulu. Dulu Ricky pikir, gigolo adalah pekerjaan mudah. Hanya tinggal celup-celup dan uang akan datang dengan mudah. Ricky tidak pernah membayangkan, dengan menjadi gigolo ia harus menerima dirinya disentuh kapan saja. Lelah tidak lelah, mood tidak mood, ia harus siap kapan pun si tante membutuhkannya.
Alicia sampai di apartemennya pada pukul sepuluh malam. Begitu sampai, ia segera melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal rumahan. Alicia meletakkan tas-nya di atas meja ruang tamu dan segera menuju ke kamar mandi. Sudah dua tahun ia menempati apartemen yang sekarang, demi mengejar jarak lebih dekat dengan kantor. Kebetulan saat ini ia bekerja di outlet prioritas yang berada di menara kantor pusat di Thamrin. Sebenarnya, unit apartemen ini adalah milik ayahnya dan ia hanya tinggal menempati saja.
Apartemen yang ia tempati bisa dibilang cukup nyaman. Saat melewati pintu masuk, terdapat space tempat di mana ia bisa meletakkan lemari sepatu dan mengganti alas kakinya terlebih dulu. di space itu ia juga meletakkan cermin, tempat payung, dan juga keset.
Alicia juga terbiasa meletakkan kunci mobilnya di atas rak sepatu meski sudah jarang menggunakan mobilnya sendiri karena kini sehari-hari ada Tono yang siap mengantar jemput. Semenjak menduduki jabatan yang setara dengan kepala cabang ini, ia memang mendapatkan fasilitas mobil dinas sepaket dengan supir. Jika ada janji temu sepulang kerja seperti tadi, Tono akan menurunkannya dan ia pulang sendiri dengan menaiki taksi online.
Melewati space kosong setelah pintu, terdapat ruang tamu yang langsung berhadapan dengan TV besar di atas bufet. Ruang tamu itu menjadi satu area dengan meja makan dan pantry. Hanya ada satu kamar tidur di apartemennya. Di unit apartemen ini juga terdapat mini balkon yang biasa ia gunakan untuk menjemur pakaian. Alica menilai tempat ini cukup nyaman. Dari balkon atau jendela kamarnya, ia bisa melihat ke menara apartemen sebelah yang sebenarnya masih satu pengembang dengan apartemen yang ia tempati. Hanya saja, unit apartemen di menara sebelah memang lebih mahal .
Alicia segera mengganti pakaiannya dan memasukkan pakaian kotornya ke dalam keranjang anyaman rotan di kamar. Berikutnya ia membuka kulkas dan mengambil kotak plastik berisi salad buah. Alicia segera duduk di sofanya yang nyaman dan menyalakan televisi. Ia mengganti-ganti saluran dan berhenti pada saluran yang menampilkan acara masak-masak.
Alicia menatap layar dengan berselera sambil menyantap salad-nya.
"Waaah! Kepitingnya enak!" Ia sengaja bicara sendiri demi mengusir sunyi.
Beginilah ia mengisi waktu istirahatnya di penghujung malam. Hanya sendirian sambil menikmati tontonan yang membuat pikirannya rileks.
Ucapan Ghea tadi kembali menggema di kepalanya.
"Gue takut terlalu tenggelam dalam misi nemu laki yang terbaik dan akhirnya gue tambah tua. Di saat gue udah tua, gue baru nyadar gue sudah melewatkan banyak laki-laki baik cuma demi idealisme gue akan sosok laki-laki paling perfect. Dan saat itu terjadi, gue udah merasa nggak menarik lagi secara fisik. Udah jelas minder buat hunting laki oke dan akhirnya.....gue piara berondong."
Alicia kembali menatap hampa meja di ruang tamunya. Entahlah, ia sendiri diam-diam sudah merasa lelah dengan perjalanan romansanya. Rasanya setelah kehilangan Arsa, ia jadi takut memulai hubungan baru. Apakah ia trauma? Alicia juga tidak tahu dan tidak ingin memikirkannya. Yang jelas, tiga tahun memang bukanlah waktu yang singkat. Dua tahun tidak bersama, nyatanya belum membuat Alicia sepenuhnya lupa akan segala kenangannya dengan Arsa. Terbesit rasa salah, karena Arsa kini sudah merupakan suami orang.
Ternyata memilih sendiri selama dua tahun belum memberinya cukup kekuatan untuk melangkah maju melanjutkan hidup. Alicia sudah tidak merindukan masa lalunya bersama Arsa. Akan tetapi luka yang ia rasakan kerap membuatnya membentengi diri dari lelaki manapun yang mendekat.
Siapa yang menyangka, selama dua tahun lamanya ia sudah tidak pernah menjalin hubungan romantis dengan siapa pun. jangankan menjalin hubungan romantis. Sekadar teman jalan pun tidak ada. Alicia benar-benar hanya sendirian selama dua tahun belakangan dan menjalani rutinitas sehari-hari yang menjemukan tanpa kehadiran pria.
Namun, kejadian di malam saat ia bertemu dengan Ricky adalah pengecualian. Entah mengapa, ia mampu melupakan sejenak segala kekhawatirannya akan pria saat mendapati senyuman manis Ricky. Senyuman Ricky saat itu membuat hatinya seketika lumer. Secara mengejutkan, ia membiarkan dirinya terlibat dalam obrolan santai dengan orang asing setelah dua tahun lamanya tidak bersentuhan dengan pria. Ricky menimbulkan debaran berbeda pada hatinya, yang mana selama ini debaran itu hanya dimiliki oleh satu nama.
Sikap Ricky malam itu kelewat santai. Mereka hanya membicarakan hal-hal biasa tentang musik jazz dan tempat nongkrong yang patut ia coba untuk melepas penat. Ricky bahkan tidak bertanya di mana ia bekerja dan di mana ia tinggal. Ricky juga tidak menggali informasi apakah ia memiliki seorang pria dalam hidupnya. Ricky sedikit pun tidak terlihat ngarep kepadanya. Ricky hanya bertanya apakah ia sering pulang larut? Apakah ia sering kelelahan bekerja di bank? Apakah ia stres? Alicia menceritakan sekilas tentang pekerjaannya tanpa harus menjelaskan di mana ia bekerja. Ricky seperti peka terhadap privasinya dengan tidak bertanya mengenai hal-hal seputar informasi pribadi.
Malam itu Ricky memberikan perhatian yang telah rama ia rindukan dari seorang pria. Alicia tahu, malam itu ia memang juga menginginkan Ricky. Perasaannya terhanyut dengan cepat.
Apa daya, rasa nyaman yang mampu diberikan Ricky dalam waktu sekejap saja membuatnya lalai menjaga diri hingga ceroboh bercinta dengan pria asing yang bahkan belum dikenal lewat dari enam jam. Siapa sangka, Ricky berondong yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya dan merupakan peliharaan tante-tante kesepian. Alicia rasa benar-benar sudah sangat terlambat untuk menyadari kebodohannya.
***
Jam sebelas malam, Ricky baru saja sampai di apartemennya.
Ia menyalakan lampu dan segera melepas sepatunya. Ricky memasukkan sepatunya ke dalam lemari tertutup di dekat pintu dan segera menghempaskan tubuhnya yang kesal ke atas sofa besar di ruang tamu. Ia mengeluarkan barang-barang seperti kunci mobil, rokok, dan korek api dari dalam saku jaketnya kemudian merebahkan tubuhnya dengan nyaman.
Semenjak menjadi simpanan Lusy, ia pindah ke apartemen ini. Letaknya sangat strategis, di daerah Thamrin. Tentu saja apartemen ini milik Lusy. Meski begitu, bukan apartemen paling mewah yang pernah ia tempati. Tante sebelum Lusy, pernah memberinya fasilitas tinggal di unit apartemen yang lebih mewah dengan private lift di depan kamar. Memang para tante yang pernah menjadi klien-nya selama ini merupakan istri dari pengusaha kaya raya. Mereka semua, selalu memberinya fasilitas apartemen yang nyaman meskipun jika kontrak berakhir ia harus segera angkat kaki.
Apa suami mereka tidak tahu? Secara mengejutkan para tante itu mengaku suami mereka tidak peduli. Bahkan, suami-suami mereka juga punya simpanan. Ricky sempat terheran-heran sendiri. Pernikahan macam apa itu? Masing-masing dari mereka punya simpanan sendiri-sendiri.
Sebenarnya, Ricky tidak pernah meminta diberi tempat tinggal. Akan tetapi, para tante yang menjadi klien-nya lebih suka jika mereka bertemu di tempat yang privat. Menyewa kamar hotel jelas sangat boros dari segi biaya. Meski pun mereka orang kaya, mereka tetap memperhitungkan biaya yang dibutuhkan untuk menunjang aktivitas main gila ini. Ia tentu saja tidak menolak. Teman-teman satu band-nya hanya tahu ia selama ini menyewa apartemen yang nyaman dan sering berpindah-pindah. Tidak ada yang perlu tahu bahwa ia pindah apartemen tergantung tante siapa yang sedang menunjang hidupnya saat itu.
Apartemen milik Lusy ini, meski tidak semewah apartemen sebelumnya, tetap saja sangat nyaman. Ruang tamu di apartemen ini tergolong cukup luas dan terdapat pintu kaca yang langsung terhubung dengan balkon. Dari balkon ruang tamu ia bisa melihat kolam renang dan taman apartemen di bawah. Unit apartemen ini juga memiliki area dapur yang luas dan menjadi satu dengan ruang makan. Tapi yang paling Ricky suka dari seluruh bagian di apartemen ini tentu saja kamarnya.
Apartemen ini hanya memiliki satu kamar tidur yang luas dengan ranjang berukuran king size. Seperti ruangan lainnya, kamar tidurnya juga lekat dengan nuansa American Classic.
Terdapat jendela kaca berukuran besar yang memberikan pemandangan gedung-gedung bertingkat. Di sebelah kamar tidurnya terdapat ruang ganti pribadi yang mayoritas berisi barang-barang branded hadiah dari para tante-tantenya.
Selain kamar, Ricky juga menyukai kulkas empat pintu di dapurnya. Lusy selalu mengisi penuh kulkasnya dengan aneka makanan dan minuman. Lusy juga memasak untuknya. Seringnya memasak steak dan lobster. Lusy memang berbeda dengan para tante sebelumnya. Terkadang Ricky merasa Lusy sesekali melayaninya dan kelewat memanjakannya.
Dari para tante yang pernah menjadi kliennya, hanya Lusy yang bertindak hingga sejauh ini. Mobilnya yang paling mahal, didapat dari Lusy. Jika para tante sebelumnya memberi hadiah mobil di kisaran harga dua ratus jutaan, Lusy memberinya mobil yang harganya lebih dari setengah miliar.
Seolah belum cukup, Lusy memberi kepercayaan lebih dengan membuatkan surat kuasa sehingga ia bisa bertransaksi melalui rekening pribadi wanita itu. Lusy juga memberinya deposito dengan nominal besar. Bagi Ricky 2,5 M adalah nominal yang sangat besar meski bagi Lusy nominal itu sepertinya bernilai receh.
Ricky mulai berpikir untuk kembali pada kehidupannya yang normal. Kontrak dengan Lusy selalu diperpanjang setiap enam bulan. Ricky sedang mempertimbangkan untuk tidak memperpanjang kontrak dan mulai membangun kos-kosan di Surabaya. Ricky rasa sudah saatnya menjalani karir bermusiknya dengan lebih serius. Ia bahkan sudah turut mengajar di kelas musik. Kebetulan, Wisam teman satu band-nya membuka kelas olah vokal dan kelas musik. Selama beberapa minggu terakhir ia sudah ikut mengajar di kelas piano. Tentu saja Ricky tidak ingin lama-lama menjalani profesi gigolo.
Diam-diam ia merindukan kehidupannya yang dulu. Bukan pada bagian kehidupan saat tidak punya uang, melainkan saat ia bebas menentukan pilihan kepada siapa hatinya akan jatuh. Ricky ingin punya seorang kekasih dan kembali menjalani kehidupan normal seperti anak muda pada umumnya. Ia ingin kembali merasakan jatuh cinta. Ricky rindu bercinta karena ingin, bukan karena keharusan.
Menjadi gigolo, ternyata tidak sesederhana perkiraannya dulu. Dulu Ricky pikir, gigolo adalah pekerjaan mudah. Hanya tinggal celup-celup dan uang akan datang dengan mudah. Ricky tidak pernah membayangkan, dengan menjadi gigolo ia harus menerima dirinya disentuh kapan saja. Lelah tidak lelah, mood tidak mood, ia harus siap kapan pun si tante membutuhkannya.
Ia pernah sekali menolak ajakan tantenya karena lelah dan membuat si tante marah besar. Memang dalam surat kontrak ia tidak ingin diperlakukan seperti budak seks. Tapi dalam realitanya, seringnya ia hanya dijadikan robot pemuas nafsu. Para tantenya juga selalu menuntut kepuasan batin. Jangan sampai servisnya dinilai tidak memuaskan. Awal-awal merintis karir dulu, ia harus rela performa ranjangnya dikritik habis-habisan.
"Tante bayar mahal kamu bukan buat nafas bau jigong dan liat sikap males-malesan! Rugi Tante bayar mahal kalau cuma dapet beginian!" Kritikan pedas dari salah satu mantan kliennya itu masih ia ingat sampai saat ini.
Siap tidak siap, lelah tidak lelah, sedih atau bad mood, ia harus seratus persen siap kapan pun kliennya ingin dilayani. Ia harus konsisten selalu bisa memuaskan klien-nya. Sekali saja mereka tidak puas, rentetan penghinaan dan kalimat pedas memenuhi telinganya. Bahkan dulu wajahnya pernah dilempar dengan ponsel saat ia gagal memuaskan seorang tante yang hiperseks. Tentu saja tarif dua ratus lima puluh juta tidak langsung ia dapatkan dalam waktu sekejap. Kenaikan tarifnya meningkat seiring dengan pengalaman dan performa ranjangnya.
Memang ini pilihannya sendiri. Akan tetapi deposito nominal besar pemberian Lusy tadi, membuat Ricky punya alasan untuk segera pensiun dini. Rasanya benar-benar ketiban rezeki. Tentu saja biaya pendidikan Ishana juga sudah ia pikirkan. Ia sungguh setuju dengan saran Lusy, agar Ishana mengambil kursus dan tetap mendaftar di universitas. Selepas kursus, Shana bisa langsung membuka usaha seperti yang disarankan Lusy sehingga ia bisa lebih menghemat anggaran pendidikan untuk Ishana. Bagaimana pun juga, membangun kehidupannya sendiri tetap menjadi prioritas utama.
Ricky sudah mencari informasi melalui Helena, yang kebetulan juga mengambil jurusan fashion designer di sekolah mode. Helena sudah merekomendasikan beberapa kampus atau tempat kursus di bidang ini. Setahu Ricky, Helena bersekolah di sekolah mode favorit. Meski Helena tidak pernah menceritakan biayanya, ia yakin seluruh biaya itu sungguh tidak murah. Tentu saja gadis sekelas Helena yang berasal dari keluarga kaya raya tidak akan memikirkan soal biaya. Sungguh berbeda dengan dirinya yang mendapatkan uang besar bahkan dari hasil menjual diri. Tentu Ricky tidak ingin menghabiskan seluruh hasil kerja ranjangnya selama ini hanya untuk biaya pendidikan Shana di sekolah mode.
Keluarganya selama ini percaya, penghasilannya dari bermain musik sungguh lumayan untuk menyambung hidup tanpa harus bekerja kantoran dari hari Senin sampai Jumat seperti kebanyakan orang lainnya. Untuk pertama kalinya, sang ayah memuji hobinya bermain musik karena sudah terlihat lumayan menghasilkan. Selama ini yang ayah dan ibunya tahu, ia tidak pernah lagi meminta kiriman uang dan malah rutin mengirim uang kepada orang tuanya setiap bulan. Keluarganya pernah mengunjunginya ke Jakarta dan terkagum-kagum saat melihat apartemen yang ia tinggali. Ricky mengaku ia menyewa apartemen yang nyaman dari hasil bermain musik dan kedua orang tuanya percaya.
Akan tetapi, profesi gigolo ini membuat Ricky lelah. Ia merasa jiwanya sangat tandus dan gersang.
Gimana rasanya jatuh cinta lagi? Ricky menatap hampa lampu kristal di atas kepalanya. Meskipun Lusy masih cantik dan seksi, tetap saja rasa itu tidak pernah ada di dalam hatinya. Yang membedakan Lusy dengan tante-tante sebelumnya, ia masih bisa berselera saat menatap tubuh polos Lusy. Bukan hal yang mudah, harus membangun gairah dan mempertahankan ereksi tetap keras sempurna saat berhadapan dengan wanita yang sungguh tidak membangkitkan selera. Akan tetapi, selama ini ia berhasil melakukan tugasnya, tanpa obat perangsang sekali pun. Ia hanya perlu membayangkan sosok random yang menggugah selera. Seringnya barisan para mantan. Kasihan sekali mereka, harus menjadi bahan bersetubuh dengan wanita-wanita berumur.
Seleranya pada wanita masih sama, yang cantik dan yang enak dilihat. Akan tetapi, kini Ricky ingin menyasar pada wanita-wanita dengan pemikiran dewasa. Selama berhubungan dengan tante-tante, ia tidak pernah menerima jawaban 'terserah'. Para tante tidak mengharuskannya menjadi cenayang yang menebak-nebak isi hati wanita. Berhubungan dengan para wanita dewasa, membuat Ricky tidak lagi menginginkan gadis-gadis muda dengan skill komunikasi yang payah.
Kali ini, pekerja kantoran sungguh masuk kriterianya. Mungkin, yang seperti Alicia.
Alicia. Senyuman Ricky langsung lepas begitu saja. Padahal, tidak ada apa pun di langit-langit ruang tamunya. Dalam sekejap saja, bayangan Alicia muncul. Ricky kembali mengingat kecantikan paripurna dari wajah anggun Alicia.
Entahlah. Sebenarnya, Ricky sering bertemu dengan gadis yang lebih mencuri perhatian daripada Alicia. Akan tetapi senyuman kalem Alicia selalu berhasil melumpuhkan hatinya berkali-kali. Ricky tahu, seseorang yang bekerja di bidang jasa seperti perbankan memang harus rajin tersenyum. Ia pun juga rajin menebar senyum ketika tampil menyanyi di atas panggung agar para penonton merasa senang. Akan tetapi, senyuman Alicia terasa begitu menjerat. Tidak tersenyum saja sudah sangat cantik, apalagi jika tersenyum. Mana bisa, ia tidak terkesan oleh senyuman dari bibir penuh Alicia?
Ricky juga menyukai wajah lugu Alicia. Wajah Alicia seperti perempuan polos baik-baik. Penampilan Alicia juga terlihat begitu anggun. Sungguh saat berada di outlet prioritas tadi, ia harus berjuang mengendalikan kedua matanya agar tidak terlalu sering memandangi Alicia.
Tunggu. Kayaknya pernah liat. Tapi di mana ya? Dahi Ricky berkerut. Ia ingat, perasaannya terhadap Alicia begitu mirip dengan keadaan hatinya yang berdebar-debar saat berkenalan dengan salah seorang wanita pengunjung bar yang sudah ia lupakan.
Ricky mencoba memanggil kembali ingatannya terhadap sosok wanita yang telah melewatkan satu malam dengannya. Namun hingga dahinya berkerut dalam, ia tetap tidak bisa mengingatnya. Sayang sekali, padahal ia sungguh ingat bagaimana debaran di dadanya pada malam itu. Ia masih ingat bagaimana hatinya ketika kembali diterjang pesona. Tetapi sejauh ini, ia hanya mengingat sosok wanita itu berambut panjang. Sebatas itu saja.
Angan Ricky kembali pada Alicia. Segala yang ada pada diri wanita itu sangat layak mendapat pujian. Alicia sungguh telah mencuri seluruh minatnya. Ricky sadar, tidak mungkin ia bisa berbuat lebih selain mengagumi Alicia. Hanya saja, pertemuannya dengan Alicia telah menciptakan ruang kekaguman di hatinya.
Alicia Syandana. Ricky kembali menggaungkan nama perempuan cantik itu di dalam hatinya. Berapa umurnya? Kayaknya antara dua puluh delapan? tunggu, jabatannya priority banking manajer. Ricky segera mengingat penjelasan Lusy bahwa jabatan Alicia setara dengan kepala cabang. Mungkin di atas tiga puluh. Tapi masih keliatan kayak cewek dua puluhan. Ricky kembali terhanyut memikirkan Alicia. Entah mengapa, memikirkan Alicia menimbulkan perasaan yang berbeda di hatinya.
Ricky sadar, ia tidak bisa jatuh cinta kepada Alicia. Perasaan itu hanya akan tersimpan sia-sia. Akan tetapi Ricky merasa tidak ada salahnya hanya sebatas mengagumi.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
